Anda di halaman 1dari 34

THE SECRET OF ARGANI

1
2
Malam ini ditengah ramainya kota, aku berniat mengunjungi sebuah

pemeran seni yang berada di pusat ibukota. pameran tersebut

menampilkan 62 lukisan karya para seniman Indonesia.

Lukisan-lukisan itu dibuat pada masa awal kemerdekaan Indonesia,

yakni tahun 1950-an hingga 1960-an. Masa itu juga menandai tahap

awal perkembangan seni rupa Indonesia. Kebutulan Jarak pameran

dengan rumah ku cukup dekat, untuk itu aku memutuskan untuk

berjalan kaki.

Dari kejauhan pameran nya sudah cukup terlihat ramai, berbondong

bondong orang dengan cepat mendatangi pintu masuk pameran

tersebut. Aku menginjakkan kaki, mencoba melihat dari dekat. Di

dalam nya terdapat berbagai macam lukisan juga artefak yang

mengandung makna juga sejarah yang berbeda. mata ku menyoroti ke

berbagai penjuru arah dan akhirnya aku melihat salah satu lukisan

yang terlihat menarik.

3
4
Aku mendekat tepat di depan lukisan, terlihat indah nya detail serta

kontras warna yang dapat memanjakan mata dan terdapat pula

kumparan sejarah dari lukisan tersebut, aku pun turut membaca nnya.

lukisan yang dipamerkan ini dilambangkan sebagai potret

pasca-kemerdekaan. pada masa kolonial, lukisan kerap menampilkan

keindahan alam Nusantara atau Mooi Indie. Para seniman melihat

realitas secara berbeda setelah kemerdekaan. Keindahan alam pada

lukisan mulai ditinggalkan, kemudian digantikan lukisan bertema

kerasnya kehidupan wong cilik atau rakyat kecil.

Lukisan yang aku lihat ini buah karya mereka yang tergabung dalam

sanggar Pelukis Rakyat yang dibangun pada 1947. Pelukis nya yaitu

Sekelompok orang yang pada masa perjuangan tidak hanya merekam

peristiwa Indonesia pada masa sulit, tetapi ikut pula dalam kecamuk

perang untuk mempertahankan bangsa. Mereka adalah saksi

pertempuran Agresi Militer I dan II.

5
Aku terkagum melihat nya, begitu banyak sejarah yang dapat aku

pelajari. alasannya aku memang menyukai sejarah, sejak kecil ayah

membelikan ku sebuah buku cerita tentang kegigihan pak soekarno

untuk menjadikan indonesia sebagai negara yang merdeka, sebelum

tidur ayah membacakan buku itu, dan hingga menduduki bangku

sekolah dasar aku banyak mempelajari sejarah kecil tentang

indonesia.

tidak hanya ayahku, kakek ku juga seorang pendongeng handal

bagiku, namun ini bukan dongeng biasa, melainkan dongeng tentang

orang zaman zaman dulu ketika kakek masih muda.

Tidak terasa aku melihat lihat beberapa karya di pameran jam sudah

menunjukkan pukul 13:00, aku berencana untuk segera pulang, belum

sempat aku keluar dari pameran hp ku berdering, kulihat telfon dari

ayah ku.

6
“halo yah, kenapa?” tanya ku

“kamu dimana kinan?”

“Aku di pameran dekat rumah yah”

“Cepat pulang nak, kakek mu….” ucap ayah yang terdengar lirih.

“Kakek mu, telah tiada”

ucapan ayah membuat jantungku berdetak lebih kencang, tubuh ku

terasa lemas, setitik air membasahi pipi ku, aku tidak bisa menahan

nya kali ini. aku bergegas menuju rumah.

Kakek memang sakit, umur nya yang tidak muda lagi membuat rentan
nya terkena penyakit, terlebih setelah kepergian nenek kakek mulai
merasa kesepian. ia ditinggalkan oleh seseorang yang menemani nya
selama hampir 67 tahun. nenek meninggal 3 bulan lalu dan sejak
itulah kakek sering sakit sakitan. meskipun keluarga ku membawa nya
ke rumah sakit dan diberikan pengobatan nyata nya kakek tidak dapat
beraktifitas normal seperti pada biasanya. bahkan ia sering melamun
sambil memegang surat dan foto yang entah aku tidak pernah tau apa
isi nya.

7
Sesekali aku bertanya ia hanya menjawab “ apa arti kehidupan ini
setelah nenek tiada , gadis pujaanku pergi meninggalkan ku” Selama
perjalanan pulang samar samar ingatan tentang kakek muncul, dimana
ia kerap kali memanggil nama ku. “jeng, jeng kinan” “Kakek
memberi mu nama maheswari yang berarti dewi agung, nenek mu
juga bernama gayatri, gayatri maheswari seorang wanita jelita kuat
dan cerdas kakek berharap diajeng akan sama seperti nenekmu”
Nama ku kinan, diajeng kinanti maheswari.

keluarga ku biasa memanggil ku jeng kinan. dikarenakan aku anak

terakhir dan perempuan paling muda diantara yang lainnya. terlepas

dari perempuan termuda keluargaku juga berasal dari suku jawa,

meskipun kami sekeluarga memutuskan untuk pindah ke jakarta tetapi

keluarga ku masih cukup fanatik atau masih mengikuti adat istiadat

leluhur.

Iring iringan pelayat berlalu. Kini di kompleks pemakaman hanya

tersisa aku sendiri. harum tanah merah yang menimbun jasad kakek

tercium menyegarkan di antara bunga melati dan bunga mawar

ditebar. air mata berselancar lincah di pipi, jatuh membasahi paha.

8
aku berusaha tenang seperti nyanyian para burung pagi ini. Namun,

duka melukai segenap ceria. idi pelukanku, sebuah buku bersampul

kulit milik kakek terasa hangat menyentuh hati. Ini adalah satu

satunya warisan khusus untukku. aku pun menyadari ungkapan kakek

beberapa hari sebelum nya "diajeng, jaga baik baik buku ini. jaga

kenangan di dalamnya. dan mulai esok, Kamulah pemiliknya." Itu

pesan terakhir kakek.

setelah aku ingat ingat kembali buku itulah yang sering kakek bawa

dan selalu baca ketika ia merenung, dan di dalam buku itu kakek

menyimpan sepenggal kertas serta selembar foto.

Andai memiliki sayap, niscaya rasa sedih dan duka ini kutinggalkan

terbang. Mengudara bersama burung calliope hummengbird.

Namun, makam baru kakek yang bahkan patoknya masih bersih

membuatku kembali menginjak tanah.

9
Kuseka mata, tidak ada habis nya jika terus menangis. Kuputuskan

membuka buku yang usianya lebih tua dari kemerdekaan negeri ini.

Apa yang kakek tulis? Kertas kuning kasar khas tempo dulu membuat

jemariku bergetar. Tulisan tangan kakek tertera. Aksara sambung

yang indah.

Ini luar biasa. Ternyata, kakek menulis kenangan masa mudanya. Aku

bisa segera mengerti, dari tulisan serta gaya bahasa kakek. pastilah

intelektual dan kaum cerdas masa lalu yang ditindas oleh kekejaman

para penjajah keji.

Aku membersihkan batu di sekitar tanah, duduk di atasnya. Air mata

mengering dengan sendirinya, itu kabar baik. Dengan begitu aku bisa

fokus membaca.

10
11
Kisah Kakek bermula di tahun 1944, tentang kejamnya kekaisaran

Jepang pada pribumi. masa masa terkelam bangsa negeri ini. Tiga

tahun penuh penyiksaan, ketakutan, dan tiada hentinya harapan

dilambungkan.

Waktu panen amat ditunggu tunggu petani Cirebon. Bagi mereka hasil

bercocok tanam satu satunya andalan setelah pada tahun 1944

pemerintah dai Nippon mewajibkan semua petani menjadi romusa

(sebuah sebutan atau panggilan bagi orang Indonesia yang

dipekerjakan secara paksa). Namun, hari ini tidak lagi.

Argani, lelaki kusam berambut sebahu lagi bermata besar, tengah

mengamati ladang. Ia berdiri didepan rumahnya yang lebih pantas

disebut gubuk. sudah saatnya padi-padi ini dipanen. Warna kemuning

merata pada pucuk kepala. Elok sekali.

12
Ia mengelus dada ketika mendengar kabar, sumber penghasilan

sekaligus satu satunya harta warisa keluarga, kini harus disetorkan

pada pemerintah tak berhati itu. Parahnya, seluruh warga diberi jata

dua gedeng saja (sepuluh kilogram). Mana janji kemerdekaan mereka

atas rakyat pribumi? Jika terus-menerus dirampas, merdeka hanya

angan di benak rakyat jelata.

"Ibu Pertiwi kembali bersedih. Tak Hendi para penjajah keji

menodainya dengan darah" Ujar Gayatri, Istri argani, Ia menyeka

keringat di pelipis. Menjadi romusa sungguh siksaan.

"Istriku, ibu Pertiwi mengajarkan kita untuk tetap bertahan dan tak

lelah berjuang. Hari ini kita dipaksa berkerja, esok dirampas harta

benda, lusa boleh jadi sudah tiada. Tetapi, selama tubuh kita milik

sendiri, tak boleh kita mengeluh. Ibu Pertiwi dan kita akan berdikari

dengan darah darah tertumpah itu." Balas argani. Meski tubuhnya

ringkih, ia tetap pejuang yang berpikiran merdeka.

13
Argani melangkah turun ke ladang. Terik matahari menembus

capingnya. Jika tak cepat selesai, para keisatsu (polisi Jepang) dan

keibodan (pembantu polisi Jepang) akan datang menagih. Camat

rakus desa itu terlalu tunduk pada dai Nippon. Ia lekas mengarahkan

arit untuk menebas batang batang padi.

"Mas, menurutmu suatu hari nanti kita benar-benar meraih

kemerdekaan? Bebas dari penjajah Nippon ataupun bangsa Eropa itu?

Suasana perang sampai hari ini belum kunjung reda, aku pesimis."

Gayatri bertanya kala mereka bersantai menikmati sore. Duduk di

depan rumah memandang luas hamparan bukit kecil.

"Jangan berkecil hati, Gayatri. Kamu bisa lihat di ibu kota sana, para

nasionalis bangsa kita sedang memperjuangkan kemerdekaan.

Kehadiran Nippon memang petaka, tapi mereka berhasil

menundukkan Belanda. Hukum dan kekuasaan berganti dengan cepat.

14
Tidak menutup kemungkinan tak lama lagi kita meraih kemerdekaan."

Argani menjawab lirih, serapa memperbaiki anak anak rambut yang

diterpa angin.

Gayatri memasang wajah muram. " Tetapi, mas, aku lelah dengan

berbagai paksaan dan kekerasan. Andai kata melawan, kita tetap

berakhir mengenaskan. Bambu runcing melawan senjata api? Oh,

bahkan tentara nippon di bekali pedang tajam. Kita selamanya merana

di bawah kaki mereka."

Sebagai seorang wanita, Gayatri tak kuasa mendengar rintihan

tetangga hampir setiap malam. Mayat mayat petani yang kelelahan

akibat kerja rodi kerap dibiarkan Nippon di pinggir jalan. Tak sedikit

pula terdapat mayat para penentang. Ia lelah dengan semua

pemandangan itu. Jiwanya tersiksa.

15
"Kita tak selamanya berperang menggunakan senjata." Argani

menatap istrinya. " Ideologi, pemahaman, dan kecenderungan

seseorang bisa jadi senjata kuat. Lihat saja, Belanda maupun Nippon

sangat memerangi pemuka agama karena dianggap sebagai ancaman.

Padahal, mereka tidak memiliki senjata termutakhir untuk melawan.

Mereka hanya menyebar kebaikan, menyatukan masyarakat. Istriku,

kekejian itu rapuh. Tidak akan selamanya berkuasa."

Sawah satu setengah hektare hampir rampung dipanen argani ketika

teriakan terdengar di pusat desa. Dua petani lari menghampirinya

dengan wajah penuh amarah. Mereka melapor jika pak camat sudah

datang dikawal polisi untuk menagih padi hasil panen warga. Bahkan,

warga diminta merampas simpanan padi milik haji kuswan.

16
"Mas intinya kamu harus kesana sekarang. Bisa gawat kalau warga

bertindak serampangan. Kamu bisa bicara dengan pak camat atau

kepala desa. Semuanya sudah ada di sana," pungkas salah seorang

petani.

"Baik. Pergilah lebih dulu, buat yang lain tenang." Argani bergegas,

melepas caping.

Dua petani di depannya mengganguk, bertolak. Salah tindak sedikit

akibatnya bisa fatal. Perlawanan terhadap tentara nippon tidak

selamanya menghasilkan ketenangan. Argani kerap menghadapi

perseturuan warga dan berusaha mengakhirinya dengan baik, tanpa

sedikit pun cekcok berlebihan.

Lelaki kusam. Berambut sebahu itu menghadap istrinya di dalam

rumah. "Gayatri, kunci pintu rapat-rapat. Jangan biarkan siapa pun

masuk sebelum aku pulang. Aku percaya padamu, jaga diri."

17
Raih terdiam. Wajah bulan berhias hidung mungil dan bibir ranum itu

berkerut khawatir."hati hati, mas. Semoga lancar."

…….

Tak terasa sudah beberapa menit aku membaca di dekat nisan kakek,

aku menutup buku bersampul kulit ini. Masih setengah halaman lagi

yang akan aku baca. ibu yang sedari tadi berbincang di luar komplek

pemakanan kini datang menjemput ku.

“jeng sudah mau petang, kita pulang ya? kita juga harus ikhlas

melepas kepergiannya” ajak ibu.

namun air mata ku seperti hujan deras di bawah kabut. membasahi

pipi, bumi bentala yang seolah olah mendukung duka yang ku rasakan

saat ini. aku mununduk dan menjawab nya “kehilangan masih jadi

tetap hal yang menyakitkan ya bu?

ibu tersenyum, menatap nanar ke arah ku.

18
Lalu ia duduk di samping ku, memegang tangan ku yang kini bagai di

rundung sepi, kosong, namun bergetar.

“Nduk, Manusia di takdirkan untuk menemui kematian, dan dengan

itu kita di uji oleh perasaan yang namanya kehilangan.” Aku menyeka

air mata ku lalu menatap bola mata ibu.

“lalu kenapa dari banyak nya cara kehilangan harus kematian bu,

bahkan umurku belum genap 20 tahun. aku masih ingin bercerita

denganya, aku ingin ia melihat ku tumbuh dewasa, berhasil, sama

seperti keinginannya. Ibu aku benci kehilangan ini, karena yang

kurasakan hanya ada kenangan dan rindu tanpa ada nya temu”

Sampai dirumah aku membersihkan diri, dan kembali ke kamar ku

untuk melanjutkan membaca buku harian kakek. Dulu Desa yang

kakek tinggali ini menjadi salah satu penghasil padi terbanyak setiap

tahunnya. Pemerintah dai Nippon di tanah air memanfaatkan itu

sebagai pasokan pangan bagi kekuatan militernya.

19
Melawan sekutu perlu banyak tenaga. Akan tetapi, tentu saja hal

tersebut hanya menguntungkan bagi mereka. Rakyat lagi lagi harus

menahan derita Seru-seruan menolak membumbung. Warga

berkumpul di balai desa. Satu dua sudah melaksanakan perintah

mengambil simpanan padi haji kuswan. Pak camat mengawasi

bersama beberapa keisatsu bersenjata lengkap. Argani tiba sebelum

terlambat. Ia mendekati pak haji kuswan. Napas nya terengah-engah.

Di sana, sekretaris desa bersama perangkat lainnya berjejer. Patuh

pada pemerintah pusat adalah kewajiban, mereka tidak bisa melawan

seenaknya. Argani hendak mendekati salah seorang dari mereka

ketika seruan salat Jumat berkumandang. Ia seorang muslim yang

taat, begitu pula warga lainnya.

20
" Pak camat, kami meminta izin untuk melaksanakan salat Jumat

terlebih dahulu. Baiknya semua ini dihentikan sementara." Anjur

argani mewakili semua warga. Ia berbicara sesopan mungkin. Namun,

camat rakus itu menolak dengan tegas. Seolah dirinya tak memiliki

kewajiban.

"Tidak bisa! Lanjutkan semua ini. perintah pusat tak bisa ditawar!"

"Ayolah, pak. izinkan kami menjalani kewajiban. Kami tidak

menawar perintah, hanya meminta jam istirahat ---" belum selesai

ucapan argani, sebongkah batu melayang cepat ke arah pak camat.

Disusul lemparan batu lainnya ke seluruh warga.

21
Celaka.

Argani melindungi diri, posisinya tidak menguntungkan. Pak camat

dan perangkat desa kabur tunggang langgang menunju Hutan.

Dua keisatsu yang berjaga merenggang nyawa. Secepat itu semuanya

terjadi. Haji kuswan melongo. Seluruh warga sudah menentang

kekuatan tentara Nippon.

Dengan ini tidak ada lagi keamanan. Hanya tinggal menunggu

hitungan jam pembalasan datang. Argani terduduk di serambi balai

desa. Rambut sebahunya acak-acakan. Rasa takut dan amarah adalah

pompa kuat yang memicu pemberontakan. Argani sudah menghindari

hal semacam ini. Pemberontakan hanya arena pertumpahan darah.

Namun, jika sudah seperti ini mau tidak mau ia harus turut

menghadapi serbuan tentara. Menyerah pada pihak musik sama

dengan bunuh diri. Melawan penjajah tentu saja adalah kehormatan.

Argani pun bangkit seraya menata hatinya yang berubah tak karuan.

22
Kemudian, warga melaksanakan salah Jumat seperti biasa.

Memanjatkan doa-doa pengharapan. Dengan para pemuka agama,

mereka mulai menyusun rencana.

"Merdeka itu hak semua bangsa , Gayatri. Kita pantas

memperjuangkannya, tetapi harus tetap ingat peluang tidak selalu

ada." Ujar argani ketika berada di rumah. Hari sudah gelap, cahaya

lilin berpendar di tengah ruangan.

"Mas aku mengerti. Keinginan merdeka bangsa kita sudah lahir tiga

ratus empat puluh delapan tahun. Bahkan, sebelum kita lahir. Begitu

banyak perjuangan, peperangan, tetapi semuanya tidak berhasil

menuai kemerdekaan itu sendiri. Akankah kali ini berbeda?" Gayatri

merapatkan selendang lusuh ke lehernya. Sejatinya, ia takut

kehilangan suami tercinta.

23
" Tidak ada yang tahu. Kita hanya perlu menggunakan peluang ini

sebaik mungkin. Kemerdekaan diraih dengan perjuangan. Titik

terberat dari kebebasan ialah berkorban. Gayatri, esok akan menjadi

momen penting bagi umat manusia setelah kita. Aku meski benci

pertumpahan darah, tetapi ingin meraih kemerdekaan dengan tangan

sendiri." Argani menyunggingkan senyum. Malam kian larut, ia

mendekap istrinya kuat-kuat.

Pukul enam pagi keesokan harinya. Dua truk berisi keisatsu dan

tentara Nippon datang menembus pembatas yang dibuat warga di

pintu desa. Senapan Laras panjang teracung mantap. Di pinggang,

tersarung sebilah pedang. Dengan sejarah kekejian, tentara tentara itu

sudah lebih dulu memberi aura menakutkan.

24
Truk melambat, pagi hari ini desa sungguh sepi. Seorang keisatsu

melompat turun, memeriksa keadaan. Berkeliling. Namun, tak lama

kemudian ia kembali seraya berteriak-teriak. Senapan yang

dipegangnya seolah kehilangan fungsi.

"MAJU!" Teriakan menggema di langit desa. Puluhan warga muncul

dari balik pepohonan. Bambu runcing dan parang terhunus. Seorang

lelaki dengan sorban putih memimpin. Suaranya lantang

mengomando.

Lemparan batu dari arah yang tak terduga menghujani pada tentara.

Rentetan tembakan terdengar kemudian. Dengan cepat desa jadi arena

pertempuran. Sekelompok keisatsu maju menghadang serangan lima

warga gagah berani. Bambu runcing yang mereka pegang menari

dengan indah di gelanggang, menghabisi musuh satu persatu.

25
Gemuruh pertempuran terdengar argani. Lelaki kusam itu mencium

kening Gayatri seraya berkata, "istriku, kemerdekaan bukan saja

dijunjung tinggi orang orang bodoh sepertiku. Kemerdekaan hak

semua manusia. Larilah ke hutan, temukan jalan setapak menuju desa

seberang. Tunggu aku disana. Pagi ini, kalau pun kami kalah dari

tentang bengis Nippon, setidaknya api pengorbanan ini akan

menyalakan obor besar semangat bangsa kita. Suatu saat nanti tanah

air ini akan berdikari."

Gayatri bergetar, tak kuasa ia melepas suaminya. Namun, dengan satu

keyakinan teguh, ia patuh. Perempuan itu lekas lari melewati sawah

seraya berlinang air mata.

26
Argani mengeratkan tali udeng yang dikenakannya, lalu meraih

bambu runcing yang tersandar di bilik rumah. Setelah memanjatkan

doa, ia beranjak memasuki kancah pertempuran.

Tubuh ringkihnya gesit bergerak di Antara musuh-musuh. Bambu

runcingnya menancap dada mereka. Tak mengenal ampun ia

menghabisi setiap tentara Nippon. Dua, Tiga, sampai lima orang

berhasil ditumbangkan.

" Merdeka itu dimulai dari hati. Manusia yang memiliki hati congkak

dan sukar menerima kebenaran akan susah melewati cobaan."

Perkataannya pada Gayatri mengiang di telinga. " Perjuangan

bukanlah alat yang bisa semena-mena digunakan.

27
Dai Nippon adalah contoh salah dalam hal ini. Menginvasi banyak

negara sama sekali bukan perjuangan."

Seorang warga rebah di hadapannya. Darah segar mengalir deras.

Argani menatap nanar. Ia melempar jauh bambu runcing yang

dipegangnya hingga mendarat tepat di dada keisatsu berwajah muram.

Tentara bengis Nippon tahu tahu menarik pelatuk tak jauh dari sana.

Suara menggelegar melesat cepat. Bahu kanan lelaki kusam itu

menerima timah panas.

Darah di mana- mana. Pada petani kenalannya terbaring tak

bernyawa. "Bambu runcing melawan senjata api?" Argani bergumam.

Suaranya nyaris tak terdengar. " Kapan semuanya berakhir? Apakah

pribumi memang selemah ini? " Ia memegangi bahu, darah

bercucuran merembesi pakaian.

28
Pikirannya kacau. Saat semuanya hampir menjadi gelap, gema takbir

terdengar bertalu-talu. Pemimpin pasukan berteriak lantang.

ALLAHUAKBAR!!

"Larilah ke hutan, selamatkan diri kalian! Jika bersikeras melawan

kita semua akan mati. Tolong, larilah!"

Rupanya kita memang kalah. Argani terhuyung, berusaha bangkit.

" Tidak ada perjuangan yang sia-sia. Pengorbanan termasuk juga

menerima kekalahan dengan lapang dada. Ibu Pertiwi mengajarkan

kita bahwa memerangi penderitaan tak selamanya membuahkan

kemenangan. Gayatri, merdeka itu dimulai dari banyak pertumpahan

darah." Lelaki ringkih itu memejamkan mata. Benar juga, ia pernah

mengatakan itu.

29
“Jeng sedang membaca apa?” aku terkejut ketika ibu sudah di depan

kamar ku.

“Bukan apa apa bu” Aku segera merapikan buku serta surat surat

milik kakek dan menyimpan nya di sebuat kotak.

“Kok belum tidur? ini sudah malam loh”

“ iya bu ini kinan mau tidur kok” ucap ku terbata bata.

ibu sudah kembali ke kamar nya, kini hanya aku sendiri. setelah

membaca buku harian kakek perasaan ku menjadi campur aduk semua

perasaan tersimpan di dalam nya tak lupa dengan kenangan yang akan

abadi dan ku simpan selama nya.

30
Sepanjang sisa hidupnya, kakek kerap memberitahuku bahwa ia tidak

ingin dijuluki pahlawan. "Jeng, itu tidak pantas untuk kakek. Lelaki

tua ringkih ini sudah cukup melewati banyak peristiwa negeri ini, dan

mendapatkan gelar pahlawan sungguh berlebihan. Kakek senang

melihatmu tumbuh besar dengan baik. Kakek selalu percaya, sebuah

perjuangan apa pun hasilnya tetap manis apabila bisa diterima dengan

lapang dada. Merdeka itu dimulai dari hati."

Aku pun menyadari bahwa betapa sulit nya, susah nya ketika

mengakkan keadilan di masa itu. maka dari itu bersyukurlah kita

hidup bangsa yang sudah merdeka, ketika keadilan mulai menjamin

kehidupan, kebebasan berpendapat serta di junjung oleh norma

hukum dan dilindungi hak asasi manusia.

31
32
aku memenjamkan mata dan berkata “bumi bentala yang kita sebut

indonesia, kemerdekaan yang telah tercapai semoga akan selalu ada

pahlawan yang terus memperjuangkan keadilan, kesatuan, kedamaian,

ketentrama dan keindahan di dalam nya.

"Selamat tinggal, kakek argani. Sang pejuang keadilan bangsa, cerita

dan rahasia mu akan selalu ku ingat. "

33
34

Anda mungkin juga menyukai