Anda di halaman 1dari 6

Tinta darah skripsi

Panggil saja Adrie. Aku menjadi satu-satunya mahasiswi di Universitas Leiden yang
memiliki status sosial kelas bawah. Sekadar mencukupi biaya kuliah, aku harus bekerja
sebagai pelayan di sebuah toko pinggiran kota, toko tersebut disulap menjadi panti pijat.

Aku bukanlah mahasiswi yang berprestasi, bahkan, bisa dibilang aku ini bodoh.
Namun, ada sebuah pertanyaan besar dari teman-temanku, tak terkecuali aku pribadi. Saat
penerimaan nilai akhir. Aku selalu mendapatkan nilai yang tinggi, padahal semua orang tahu
bahwa diriku, tidak memiliki kompetensi untuk berprestasi. Maka dari itu, teman-temanku
menuduh kalau aku telah merayu-rayu para dosen, terutama dosen lelaki untuk mendapatkan
nilai yang tinggi.

Variasi cemoohan menjadi pesan belaka untukku, tak ada waktu untuk menggubris.
hanya membuang waktu walau sekadar mengindahkan. Baiklah, akan aku buktikan di
semester ini, di atas lembaran-lembaran skripsi ini, bahwa tudingan mereka tentang aku
selama ini fitnah.

Aku jumpai dosen pembimbingku, berkonsultasi pasal skripsi. Objek apa yang paling
menonjol untuk aku teliti, dan di mana aku bisa mendapatkan objek itu? Ke ujung bumi pun
akan kuperoleh ia.

Dosen pembimbingku, Ir. Wesley memberi saran, “untuk sekarang ini, aku pribadi
sangat tertarik dengan sebuah naskah, naskah yang konon di dalamnya berisi mantra-mantra
untuk bisa mengabadikan diri. Aku sangat berharap padamu Adrie, untuk mengambil objek
berupa naskah ini, segala macam keperluan kau; logistik, transportasi, obat-obatan, tempat
tinggal, akan kusiapkan dengan uangku pribadi, asal kau sukses mendapatkan naskah itu,
lebih tepat, mencurinya.”

Aku menjadi ragu, kegugupan terdengar dari intonasi suara beliau.

“Namun, bukanlah perkara mudah menyentuhnya dengan tanganmu, naskah ini telah
diturunkan selama dua puluh generasi dari pengarangnya, naskah ini Berbahasa Melayu, kau
butuh usaha lebih untuk berhasil.”

“Katakan padaku, dimana naskah itu berada?” Aku mendesaknya untuk langsung
menyebutkan letaknya.
“Papua, Indonesia.”

***

Keesokan harinya, aku bersiap-siap untuk pergi ke bandara, perjalanan panjang


menuju Indonesia. Ir. Wesley seorang yang menemaniku, aku dijemputnya di rumah. Dalam
perjalanan menuju bandara, ia banyak bercerita tentang kodisi Masyarakat Indonesia,
khususnya di Wilayah Papua. “Mereka hidup dalam keadaan terbelakang, memasak dengan
kayu, tinggal di dalam Honai (Rumah Adat Papua), hanya memakai dedaunan untuk
menutup bagian tubuh mereka yang sepantasnya, tapi kau jangan risau, orang di sana baik-
baik, ramah, sopan, tidak seperti kebanyakan kita di Eropa, yang hanya memikirkan pribadi
saja.”

Aku sampai di bandara seperempat jam kemudian. Ir. Wesley melepaskanku dengan
lambaian tangan, ia juga memberiku Rupiah (Mata Uang Indonesia), dia kata dengan uang
ini, hemat-hemat, aku bisa hidup di sana selama satu bulan.

Sekitar enam belas jam kemudian, aku sampai ke Tanah Papua. Aku sudah ditunggu
oleh seorang berwajah Asia, ia mahir berbahasa Belanda, ia membantuku mengangkat kopor
dan barang-barang lainnya. Kemudian mengantarkanku langsung menuju tempat tujuan,
tempat keberadaan naskah keabadian.

Aku mulai melakukan pendekatan dengan mereka, kupaksakan diriku terjun ke dalam
zaman batu, purba, terbelakang, ini semua demi PEMBUKTIAN. YA PEMBUKTIAN!

Rumah Honaiku hanya berjarak sepelemparan batu dengan rumah di mana naskah itu
berada. Aku baru mengetahui bahwa naskah itu dimiliki oleh seorang kepala suku, dan dia
memiliki hampir selusin pengikut yang sudi berjaga semalam suntuk untuk tuannya itu.

Pernah suatu ketika aku duduk dengan beberpa perempuan di sana. Kami saling
tanya-jawab dengan mereka, tak salah kalau Ir. Wesley bilang Masyarakat Papua sangat
ramah. Kala itu, aku sempat memancing obrolan tentang naskah. “Mama, aku pernah dengar
di desa ini ada keluarga yang bisa hidup kekal ya?” Aku rasa Bahasa Indonesiaku sangat
buruk, Cristiano; lelaki yang menjemputku di bandara, mengajarkan Bahasa Indonesia
seminggu tiga kali, dan aku membayarnya 500 ribu rupiah untuk sekali pertemuan, entah
murah atau malah kemahalan, aku belum paham cara menggunakan rupiah.
“Iya, Nak Adrie, itulah keluarga kepala suku, sebenarnya bukan kekal, tapi mereka
bisa hidup lebih lama. Kau tahu? Di dalam rumah kepala suku itu sekarang ada empat
generasi. Johan yang sekarang menjadi Kepala Suku, berusia 60 tahun, ayahnya, Jusuf; sudah
berusia 89 tahun, kakeknya; Jakub, masih hidup di usia 111 tahun. Moyangnya; Jerom, kau
tahu? Minggu kemarin, kami baru merayakan ulang tahunnya yang ke-140. Setahu Mama,
yang paling muda dari keturunan ini meninggal dalam usia 80 tahun, namanya Janson. Dia
yang menemukan mantra umur panjang, tapi sayangngnya, ia mati duluan sebelum
mempraktikkan mantranya. Alhasil keturunannyalah yang mewariskan mantra itu dan
menjadikannya sakral, sehingga tidak bisa dimiliki oleh masyarakat umum, dikukuhkanlah
namanya menjadi nama mantra itu (Mantra Janson).”

“Mama, apakah tidak ada orang yang berusaha mencuri naskah itu dari Kepala
Suku?” Aku berusaha menggali lebih dalam informasi tentang naskah.

“Sebentar, Mama coba ingat.” Ia diam dan melanjutkan sepuluh detik kemudian.
“Ada, namanya Gultom, dia pendatang, sama seperti kau. Berasal dari Denpasar, Bali. Ia
tidak mencuri, ia mencoba meminjam langsung kepada Kepala Suku Jusuf. Alasannya untuk
kuliah. Jusuf naik pitam ada orang asing yang mengungkit soal mantra keturunannya. Ia
memerintahkan pengikutnya untuk menangkap Gultom, malamnya dia di hukum gantung di
antara ratusan orang yang menyaksikan. Sejak saat itu, tak satupun orang berani mengungkit
pasal Mantra Janson.”

Aku semakin gemetar. Gultom, yang entah siapa dia, meminjam saja di hukum
gantung, bagaimana denganku yang hendak mencurinya?

Malamnya, aku diundang oleh Kepala Suku untuk datang ke rumahnya, ada jamuan
makan malam. Jamuan ini mirip pramuka. Di tengah hutan dengan unggun sebagai lentera di
dalam kepekatan malam. Ramai-ramai, hanya koteka yang mereka kenakan, tapi tampak
olehku, seperti dua buah batok kelapa di sekitar dada para perempuan. Aku risih dengan
pakaian ini, jadi aku meminta izin untuk memakai baju. Kepala Suku tidak masalah.

Kepala suku memberikanku izin untuk melihat-lihat ke dalam honainya. Aku


beralasan mengagumi desain honainya yang berbeda dengan honai kebanyakan. Aku masuk
ditemani istrinya yang bernama Yohana. Di dalam sini, kami hanya berdua. Semua orang
sedang sibuk bernyanyi dan berjoget di luar sana. Aku melihat seisi rumah, sekaligus curi-
curi pandang, mencari letak naskah itu.
Kesempatan terbuka lebar ketika Yohana keluar untuk mengambilkanku Swansrai;
minuman asal Papua yang terbuat dari fermentasi air kelapa. Aku menuju kamarnya, kucari
di setiap celah kamar itu, tapi tak juga berhasil menemukannya. Terdengar langkah Yohana
mendekat, aku semakin gusar, keringat dingin mengucur. Jantung berdetak semakin kencang,
saking kencangnya seperti hendak berhenti berdetak. Sekilas, aku melihat semacam kitab
bersampul cokelat di atas bantalan, tampak olehku sampul itu tertulis “Janson”, tak pikir
panjang, aku raih cepat-cepat, memasukkannya ke dalam baju, dan aku sudah berada di depan
kamar tepat ketika Yohana masuk ke dalam honai.

“Ini swansrai, Nak Adrie.” Aku minum dan menghabiskannya segera, jantung belum
berhenti berdegup.

“Mama Yohana, aku mau izin pulang ya, kepalaku pusing, aku tidak terbiasa berada
di tempat keramaian seperti ini.” Aku mencari cara untuk meninggalkan tempat ini, hutan ini,
pulau ini, dan negara ini, sebelum bernasib sama seperti Gultom. “Maafkan kami, Nak Adrie,
membuatmu tidak nyaman, Mama merasa bersalah, mari, Mama antar kau ke honaimu.”

Celaka jika ia harus mengantarku. “Tidak apa, Mama Yohana, aku bisa pulang
sendiri, terima kasih jamuannya, terima kasih swansrainya, dan terima kasih atas tawaran
pulangnya.” Satu lagi, terima kasih naskahnya; yang ini, aku ucapkan dalam hati.

Aku meninggalkan keramaian itu, berjalan cepat menyusuri pohon-pohon di dalam


gulita. Sampai ke dalam honaiku, aku kemas semua barang, aku bakar setiap bekas dan
jejakku di sini, selamat tinggal Honai, selamat tinggal Mama, selamat tinggal Kepala Suku,
selamat tinggal Yohana, selamat tinggal Tanah Papua. Aku akan merindukanmu,
keramahanmu, cintamu, kasih sayangmu. Terima kasih telah membantuku membuktikan pada
mereka bahwa aku bisa meraih nilai baik dengan usahaku. Maafkan penghianatan ini. Aku
akan bertanggung jawab kelak.

Kelak? Sepertinya tidak. Ketika aku menggendong kopor, dan berlari menyusuri
hutan, mencari jalan raya. Sebuah panah melesat menyisir di sisi sebelah kananku, nyaris
mengenai pundakku. Aku melihat ke belakang, sekitar puluhan lelaki dengan koteka berlarian
cepat, sambil berseru-seru marah. Aku rasa, mereka sudah sadar kehilangan naskah ini. Aku
lari dengan cepat dan cepat. Mereka tak kalah cepat. Tak mampu aku berlari jika
menggendong kopor ini. Sambil berlari, kitab yang aku simpan di sisi kanan kopor
kukeluarkan, dan kulepaskan koporku, sehingga aku bisa berlari tanpa beban.
Memang sudah menjadi kodratnya. Aku hanya wanita lemah, yang tidak mungkin
menang berlomba lari dengan laki-laki dewasa yang kerjaannya tiap detik berburu. Hanya
sekitar lima belas menit berlarian, aku terjatuh, letih. Otot betis kram, dan mereka hanya
butuh lima langkah lagi untuk menangkapku, ajalku sudah di depan mata.

Aku digotong seperti kambing yang hendak disembelih. Di depan honai kepala suku,
aku diikat pada sebuah tiang. Tampak olehku tali menggantung di sana, kulihat pula para
perempuan menangis menyaksikan aku, wanita muda, dengan penuh ambisi dan cita-cita,
harus mati mengenaskan. Di antara mereka, ada Mama yang paling histeris, ia adalah sosok
ibuku di sini.

Sementara itu, pemandangan buruk juga kusaksikan di sisi lain, Yohana di cambuk
dengan tambang, kudengar sayup-sayup bahwa dia dituduh membantuku mencuri kitab itu.
Aku tidak bisa menolongnya, tanganku terikat, mulutku dijahit.

Leherku telah masuk kedalam tambang itu, aku tak kuasa mengeluarkan air mata,
yang kutahu bahwa aku telah membuktikan pada mereka, lewat lembaran skripsiku ini, aku
berjuang menuliskan kematianku sendiri, tanpa bantuan teman, tanpa bantuan dosen, dan
tanpa bantuan siapa pun, semuanya adalah perjuangan dan usahaku sendiri, walaupun
akhirnya gagal. Di luar itu semua, aku juga mengambil pelajaran, bahwa kemenangan tidak
akan diraih dengan cara licik, kemenangan hanya akan diraih oleh kejujuran. Kepala suku
berteriak “Lepas talinya sekarang!” Tubuhku tergantung di udara, mengudara ke neraka.
Sebut saja Er-ragel. Agam dari Aceh ini tengah menuntut di Prodi Bahasa dan Sastra Arab
UIN Ar-Raniry juga bergiat di Bengkel Sastra Fozan Santa. Bisa temui saya di Instagram:
er_ragel.

Anda mungkin juga menyukai