Anda di halaman 1dari 11

Menu  Search

Dongeng Sebelum Tidur


Berikan yang terbaik untuknya…

Advertisements

REPORT THIS AD

Teryosha

Dongeng dari Rusia.

Jaman dahulu kala, di tepi hutan hiduplah sepasang suami istri yang sudah tua. Karena tidak dikaruniai seorang
anak pun mereka sering merasa kesepian. Suatu hari si Ayah menebang kayu di hutan dan membuatkan Ibu sebuah
boneka kayu. Ibu sangat senang sekali, dia membuatkan baju untuk boneka itu, menggendongnya bahkan
bersenandung meninabobokannya:

Tutuplah matamu yang indah, Teryosha,


Tidurlah anakku sayang!
Semua burung dan ikan,
Semua kelinci dan serigala
Telah pulang ke tengah rimba,
Tidurlah anakku sayang!

Lama-kelamaan, boneka kayu yang dipanggil Teryosha itu semakin mirip manusia sampai akhirnya dia menjelma
menjadi seorang anak laki-laki yang cerdas. Ayah membuatkannya sebuah perahu kecil berwarna putih dengan
sepasang dayung berwarna merah. Teryosha menaiki perahu tersebut dan berkata:

Perahu kecilku, lakukanlah apa yang kumau


Bawalah aku ketempat ikan berkumpul.

Perahu kecil itu perlahan-lahan mulai bergerak ke tengah sungai, makin lama makin jauh.
Sejak saat itu setiap hari teryosha pergi memancing. Siang hari ibunya akan datang ke tepi sungai dengan
membawa makan siang, lalu mulai bernyanyi memanggil Teryosha:

Datang dan makanlah, Teryosha anakku,


Ibu bawakan susu, keju, roti dan madu!
Teryosha, mendengar suara ibunya dari kejauhan, akan segera mendayung perahunya ke tempat ibunya menunggu.
Ibu akan mengambil ikan yang ditangkapnya, memberinya makan siang, mengganti pakaiannnya, kemudian
membiarkannya berlayar lagi.

Seorang penyihir jahat melihat kejadian itu dan mulai mempelajari apa yang dilakukan ibu saat memanggil
Teryosha. Dia ingin sekali menyantap teryosha. Maka, suatu hari dia datang ke tepi sungai dan mulai bernyanyi
dengan suaranya yang sember:

Datang dan makanlah, Teryosha anakku,


Ibu bawakan susu, keju, roti dan madu!

Teryosha tahu bahwa itu bukanlah suara ibunya. Dia memerintahkan perahunya untuk segera menjauhi tempat si
penyihir. Penyihir jahat itu lalu pergi ke tempat pandai besi dan memintanya untuk mengubah tenggorokannya
sehingga dia bisa memiliki suara seindah suara ibu teryosha. Si pandai besi menuruti kemauan si penyihir. Lalu si
penyihir kembali ke tepi sungai dan mulai bernyanyi memanggil Teryosha:

Datang dan makanlah, Teryosha anakku,


Ibu bawakan susu, keju, roti dan madu!

Kali ini Teryosha mengira kalau itu adalah suara ibunya, karena suaranya memang sangat mirip. Dia mulai
mendayung perahunya ke tepi sungai. Dengan mudah si penyihir menangkapnya, memasukkannya ke dalam tas,
dan membawanya ke tengah hutan.

Di tengah hutan ada sebuah gubuk tempat si penyihir tinggal bersama anak gadisnya yang bernama Alynoka.
Penyihir menyuruh anaknya menyalakan oven dan memanggang Teryosha untuk makan malam, lalu dia pergi lagi.
Alyonka mulai menyalakan api. Ketika api membesar dan sudah sangat panas, dia menyuruh teryosha untuk
berbaring di atas panggangan. Tapi Teryosha hanya duduk di atasnya, merentangkan tangan dan kakinya sehinggga
Alyonka tidak bisa memasukkan panggangan tersebut ke dalam oven.
“Aku menyuruhmu berbaring,” bentak alyonka.
“Aku tidak tahu bagaimana cara berbaring. Coba tunjukan padaku…”, jawab Teryosha.
“Berbaringlah seperti kucing dan anjing tidur,” kata alyonka.
“Kalau begitu tunjukkan padaku, aku belum mengerti,” pinta Teryosha.
Alyonka lalu berbaring di atas panggangan, dan Teryosha dengan cepat mendorongnya ke dalam oven, menutup
dan menguncinya rapat-rapat. Dia berlari keluar dan memanjat sebuah pohon oak tua, karena dia melihat
kedatangan si penyihir di kejauhan.

Penyihir itu sangat kelaparan, dia segera membuka pintu oven dan melahap alyonka dengan rakusnya. Karena
merasa kekenyangan dia keluar dan mulai bersenandung :

Ku akan bermalas-malasan dan berbaring tenang,


Dengan daging Teryosha aku senang dan kenyang!

Teryosha menjawab lirih dari atas pohon oak:

“ Dengan daging Alyonka kamu kenyang! ”

“Ah, itu hanya suara angin,” pikir si penyihir, maka dia terus bersenandung:

Ku akan bermalas-malasan dan berbaring tenang,

Dengan daging Teryosha aku senang dan kenyang!

Dan Teryosha menjawab lagi: ” Dengan daging Alyonka kamu kenyang!”

Penyihir mendongak dan melihat Teryosha duduk di atas pohon. Dia sangat marah lalu berlari ke pohon dan
mencoba merobohkannya dengan cara menggigitnya. Dia terus menggigiti pohon oak sampai gigi depannya patah.
Dia berlari ke pandai besi: “Buatkan aku gigi besi.”
Pandai besi membuatkan 2 gigi besi dan memasangkannya. Lalu si penyihir menggigiti pohon oak lagi.
Dia terus menggigiti pohon oak sampai 2 gigi bawahnya patah. Dia meminta pandai besi membuatkannya dua gigi
besi lagi, yang lalu dipasangnya. Lalu kembali menggigiti pohon oak tersebut. Semakin lama semakin cepat, hingga
pohon oak itu mulai bergoyang-goyang dan hampir tumbang.
“Apa yang harus kulakukan?” pikir Teryosha.
Tiba-tiba dia melihat sekawanan angsa liar terbang melintas, maka Teryosha memohon bantuan pada mereka:

Oh, teman-teman baikku, angsa-angsa yang cantik,


Tolong bawalah aku pulang ke tempat ibuku yang baik!

Tetapi angsa-angsa itu menjawab: “Nanti ada sekawanan angsa lagi yang terbang di belakang kami, mereka lebih
muda dan kuat daripada kami, mereka pasti bisa membawamu”.
Penyihir yang mendengar jawaban si angsa, tertawa sinis, dan menggigiti pohon oak lebih keras lagi.
Sekawanan angsa yang lain datang lagi, Teryosha kembali memohon:

Oh, teman-teman baikku, angsa-angsa yang cantik,


Tolong bawalah aku pulang ke tempat ibuku yang baik!

Tapi angsa-angsa itu menjawab: “Ada seekor anak angsa yang terbang di belakang kami, Dia bisa membawamu
pulang”
Tinggal sedikit lagi gigitan maka penyihir akan bisa menumbangkan pohon oak.
Tak berapa lama, seekor anak angsa terbang melintasi kepala Teryosha, dia kembali memohon:

Wahai anak angsa yang baik hati,


Tolong bawalah aku pulang ke tempat ibu yang kusayangi!

Angsa muda itu merasa kasihan melihat Teryosha, maka dia pun membiarkan Teryosha naik ke punggungnya. Dan
membawa Teryosha terbang meninggalkan si penyihir yang marah menuju rumah ibu Teryosha.
Akhirnya sampailah Teryosha dan angsa muda di rumah orangtua Teryosha. Dari balik jendela dia melihat Ibu
Teryosha sedang menyajikan pancake, memberikan satu untuk ayah dan berkata: “ini satu untukmu, dan satu lagi
untukku.”
“Lalu mana buatku?” tanya Teryosha dari luar rumah.
“Keluarlah dan lihat siapakah yang meminta pancake.” kata ibu kepada ayah.
Ayah keluar dan menemukan Teryosha, lalu membawanya masuk. Ibu Teryosha sangat gembira melihatnya. Dia
memeluk dan menciumi Teryosha yang sangat dirindukannya.
Mereka menghadiahi si anak angsa makanan dan minuman yang banyak, dan membiarkannya bebas di halaman
sampai dia tumbuh besar dan kuat. Sekarang dia siap memimpin sekelompok angsa untuk terbang, dan tidak
pernah melupakan Teryosa.

Ucapan Ajaib dari Peri

Dahulu, ada seorang janda yang memiliki dua anak perempuan. Anak yang sulung angkuh dan pemarah seperti
ibunya, sedangkan yang bungsu manis dan lemah lembut.

Sang ibu sangat memanjakan anaksulung nya yang memiliki sifat yang mirip dengannya, dan memperlakukan si
bungsu dengan sangat buruk. Si bungsu disuruhnya melakukan hamper semua pekerjaan di rumah. Salah satu dari
tugas si bungsu yang malang adalah berjalan kaki 1 kilometer jauhnya ke sebuah mata air dan membawa pulang air
dalam sebuah ember besar.

Pada suatu hari saat si bungsu sedang mengambil air di mata air, seorang wanita tua datang dan meminta air untuk
minum.

“Tunggu sebentar, akan kuambilkan air yang bersih untuk Ibu,” kata si bungsu kepada wanita tua itu. Diambilnya air
yang paling jernih dan bersih, lalu diberikannya kepada wanita tua itu dengan menggunakan teko air agar dapat
dengan mudah diminum.

Wanita tua yang sebenarnya adalah seorang peri itu berkata, “Kamu sangat sopan dan suka menolong, jadi akan
kuberikan keajaiban untukmu. Setiap kata yang kamu ucapkan akan mengeluarkan sekuntum bunga, batu permata,
dan mutiara dari mulutmu.”

Si bungsu tidak mengerti maksud wanita tua itu. Ia hanya tersenyum lalu berpamitan dan berjalan pulang.
Sesampainya di rumah, ibunya memarahinya karena terlalu lama membawakan air. Si bungsu meminta maaf
kepada ibunya dan menceritakan kejadian yang dia alami, bahwa ia menolong seorang wanita tua yang kemudian
memberinya keajaiban. Selama si bungsu bercerita, bunga-bunga, batu permata dan mutiara terus berjatuhan keluar
dari mulutnya.

“Kalau begitu, aku harus menyuruh kakakmu pergi kesana.” Kata sang ibu. Lalu disuruhnya si sulung untuk pergi ke
mata air dan apabila bertemu dengan seorang wanita tua, disuruhnya si sulung untuk bersikap baik dan
menolongnya.

Si sulung yang malas tidak mau pergi berjalan kaki sejauh itu. Namun dengan tegas, ibunya menyuruhnya pergi,
“Pergi kesana sekarang juga!!!” sambil menyelipkan wadah air dari perak ke dalam tas si sulung.

Sambil menggerutu si sulung berjalan menuju mata air. Saat tiba disana, ia berjumpa dengan wanita tua itu. Tapi
kali ini wanita tua itu berpakaian indah bagaikan seorang ratu. Lalu, wanita tua itu meminta minum kepada si
sulung.

“Apa kamu kira aku datang sejauh ini hanya untuk memberimu minum? Dan jangan pikir kamu bisa minum dari
wadah air perakku. Kalau mau minum ambil saja sendiri di mata air itu!” kata si sulung kepada wanita tua itu.

Karena sikapnya yang kasar, wanita tua yang sebenarnya seorang peri itu mengutuknya. “Untuk setiap kata yang
kamu ucapkan, seekor katak atau ular akan berjatuhan keluar dari mulutmu!”

Saat tiba di rumah, si sulung menceritakan apa yang dialaminya kepada ibunya. Saat bercerita, beberapa ekor ular
dan katak berjatuhan keluar dari mulutnya.

“Astaga!”, teriak ibunya jijik. “Ini semua gara-gara adikmu. Di mana dia?”

Sang ibu lalu pergi mencari si bungsu. Karena ketakutan, si bungsu lalu lari dan bersembunyi di hutan.

Seorang Pangeran yang sedang berburu terkejut melihat seorang gadis yang sedang menangis sendirian di hutan.
Ketika Pangeran itu bertanya, dengan tersedu-sedu si bungsu menceritakan apa yang terjadi. Saat bercerita, bunga-
bunga, mutiara serta batu permata pun berjatuhan dari mulutnya.

Pangeran jatuh hati kepada gadis yang baik itu. Dan Pangeran juga tahu ayahnya tidak akan keberatan
mendapatkan seorang menantu yang baik seperti itu, apalagi dengan mutiara serta batu permata yang terus
dihasilkannya. Maka Pangeran pun membawa si bungsu ke istana, lalu mereka menikah dan hidup berbahagia.

Sementara itu di rumah, sikap si sulung menjadi semakin memuakkan, dan ia pun terus menerus mengeluarkan
katak serta ular dari mulutnya, sampai-sampai ibunya pun mengusirnya dari rumah.

Karena ia tidak tahu harus kemana dan tidak ada seorangpun yang mau menampungnya karena sifatnya yang
buruk, ditambah dengan katak-katak dan ular-ular yang terus keluar dari mulutnya, maka akhirnya ia pun tinggal
sendirian di tengah hutan.

12/07/2011  Leave a Reply


Advertisements

REPORT THIS AD

Tersinggung Pada Kuda

Raja amat sayang dan bangga pada kuda hitamnya. Si Hitam tampak gagah dan anggun, bulunya berkilat dan
ringkiknya kuat. Sekali-sekali Raja mengendarainya keliling istana.

Suatu pagi, Raja singgah di kandang kuda yang terletak di halaman belakang istana. Raja amat heran ketika melihat
Mista, si penjaga kuda, sedang menyuapi si Hitam. Di dekat tempat rumput ada baskom kecil, entah berisi cairan
apa. Dan si Hitam makan rumput dengan lahap.
“Wow, rupanya si Hitam ini kuda manja. Makan saja disuapi!” komentar Raja. Segera Raja membungkuk, mengambil
segenggam rumput dan mencoba menyuapi si Hitam. Olala, si Hitam melengos, tak mau disuapi Raja. Tanpa
banyak bicara, Raja segera meninggalkan kuda kesayangannya. Hatinya marah, wajahnya merah padam.
“Keterlaluan! Disuapi Raja, malah tidak mau! Si Hitam benar-benar telah menghinaku!” umpat Raja sambil berjalan
masuk ke dalam istana. “Kalau kusuruh orang membuang si Hitam ke hutan, tentu orang-orang akan heran. Dan si
Mista pasti akan bercerita, bagaimana si Hitam menghinaku. Huh, namaku tentu akan cemar!” pikir Raja.

Di dalam istana Raja menyibukkan diri membaca surat-surat yang masuk. Ia berusaha melupakan ulah si Hitam
yang tak mau ia suapi. Namun hatinya tetap marah. Kepada siapa ia harus bercerita? Saat makan malam, Raja
makan dengan murung.

Selesai makan, akhirnya raja tak tahan lagi. Ia menceritakan kejadian pagi itu pada permaisuri.
“Bayangkan, seekor kuda menolakku. Si Hitam tak mau kusuapi. Benar-benar aku merasa terhina!” keluh Raja.

Permaisuri mendengarkan cerita Raja dengan serius lalu berkata,


“Aaah, tak usah diambil hati. Mungkin saja si Hitam sudah kenyang! Pergilah ke kandang dan coba berikan rumput
saat si Hitam sedang lapar!”

Jawaban permaisuri sedikit menghilangkan kekesalan di hati Raja. Namun, Raja tetap ingin tahu, apa sebabnya si
Hitam tak mau makan rumput dari tangannya. Raja akhirnya menyuruh Pak Kosim untuk menyelidiki hal ini. Pak
Kosim adalah tukang cukur raja. Raja sangat mempercayainya, sebab Pak Kosim pandai menjaga rahasia.
“Baiklah, Baginda. Hamba akan mencari tahu, mengapa si Hitam tidak mau makan rumput dari tangan Baginda.
Hamba akan mengadakan acara cukur gratis untuk karyawan-karyawan istana. Tempatnya di depan kandang si
Hitam!” usul Pak Kosim.
Raja setuju, dan Pak Kosim segera membuka kios cukur di depan kandang kuda. Beberapa karyawan istana mulai
berdatangan untuk mencukur rambut mereka. Sambil mencukur Pak Kosim memperhatikan gerak-gerik Mista,
penjaga si Hitam. Setelah tak ada lagi orang yang dicukur, Pak Kosim membereskan peralatannya.

Pak Kosim lalu mendekati Mista yang sedang menyuapi si Hitam. Ia mengambil segenggam rumput,
memasukkannya ke dalam baskom kecil berisi cairan dan menyuapi si Hitam. Si Hitam menyambut rumput itu
dengan lahap.
“Kuda istimewa, makannya disuapi oleh penjaga yang istimewa juga!” puji Pak Kosim.
“Aah, Pak Kosim! Kudanya memang hebat. Penjaganya sih biasa saja!” kata Mista merendah. Pak Kosim tersenyum,
“Jangan merendah. Akan kubuktikan kalau kau memang istimewa!” ujar Pak Kosim. Ia lalu mengambil segenggam
rumput, dan menyuapi si Hitam. Namun si Hitam melengos. Pak Kosim tertawa, “Tuh, lihat sendiri! Si Hitam tak mau
kusuapi. Ia hanya mau disuapi olehmu, penjaganya yang istimewa!” ujar Pak Kosim.

Mista tertawa juga. “Hahaha, kalau tahu caranya, si Hitam sih mau saja disuapi siapa pun. Buat si Hitam yang
penting bukan siapa yang menyuapinya. Yang penting rumputnya harus dicelup ke air madu dulu!” Mista
menjelaskan. Ia mengambil segenggam rumput, mencelupkannya ke dalam air madu dan menyuapi si Hitam.

Pak Kosim mengikuti jejak Mista. Ternyata benar! Si Hitam memakan rumput dari tangan Pak Kosim dengan lahap.
Hati Pak Kosim berbunga-bunga karena ia sudah berhasil menyeselaikan tugas dari Raja.
“Apa pun, kalau tahu caranya jadi mudah. Kalau belum tahu caranya ya susah!” kata Mista.

Pak Kosim bergegas menghadap Raja. Ia menjelaskan rahasia rumput si Hitam. Betapa lega hati raja.
“Hahaha, bodoh sekali. Mengapa aku bisa tersinggung pada kuda, hahaha…” tawa Raja di dalam hati.
Pak Kosim mendapat sekantung uang emas. Ia pulang ke rumahnya dengan amat gembira.

12/07/2011  Leave a Reply


Advertisements

REPORT THIS AD

Telaga Bidadari

Dahulu kala, ada seorang pemuda yang tampan dan gagah. Ia bernama Awang Sukma. Awang Sukma mengembara
sampai ke tengah hutan belantara. Ia tertegun melihat aneka macam kehidupan di dalam hutan. Ia membangun
sebuah rumah pohon di sebuah dahan pohon yang sangat besar. Kehidupan di hutan rukun dan damai. Setelah
lama tinggal di hutan, Awang Sukma diangkat menjadi penguasa daerah itu dan bergelar Datu. Sebulan sekali,
Awang Sukma berkeliling daerah kekuasaannya dan sampailah ia di sebuah telaga yang jernih dan bening. Telaga
tersebut terletak di bawah pohon yg rindang dengan buah-buahan yang banyak. Berbagai jenis burung dan
serangga hidup dengan riangnya. “Hmm, alangkah indahnya telaga ini. Ternyata hutan ini menyimpan keindahan
yang luar biasa,” gumam Datu Awang Sukma.
Keesokan harinya, ketika Datu Awang Sukma sedang meniup serulingnya, ia mendengar suara riuh rendah di telaga.
Di sela-sela tumpukan batu yang bercelah, Datu Awang Sukma mengintip ke arah telaga. Betapa terkejutnya Awang
Sukma ketika melihat ada 7 orang gadis cantik sedang bermain air. “Mungkinkah mereka itu para bidadari?” pikir
Awang Sukma. Tujuh gadis cantik itu tidak sadar jika mereka sedang diperhatikan dan tidak menghiraukan
selendang mereka yang digunakan untuk terbang, bertebaran di sekitar telaga. Salah satu selendang tersebut
terletak di dekat Awang Sukma. “Wah, ini kesempatan yang baik untuk mendapatkan selendang di pohon itu,”
gumam Datu Awang Sukma.
Mendengar suara dedaunan, para putri terkejut dan segera mengambil selendang masing-masing. Ketika ketujuh
putri tersebut ingin terbang, ternyata ada salah seorang putri yang tidak menemukan pakaiannya. Ia telah ditinggal
oleh keenam kakaknya. Saat itu, Datu Awang Sukma segera keluar dari persembunyiannya. “Jangan takut tuan putri,
hamba akan menolong asalkan tuan putri sudi tinggal bersama hamba,” bujuk Datu Awang Sukma. Putri Bungsu
masih ragu menerima uluran tangan Datu Awang Sukma. Namun karena tidak ada orang lain maka tidak ada jalan
lain untuk Putri Bungsu kecuali menerima pertolongan Awang Sukma.

Datu Awang Sukma sangat mengagumi kecantikan Putri Bungsu. Demikian juga dengan Putri Bungsu. Ia merasa
bahagia berada di dekat seorang yang tampan dan gagah perkasa. Akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi
suami istri. Setahun kemudian lahirlah seorang bayi perempuan yang cantik dan diberi nama Kumalasari.
Kehidupan keluarga Datu Awang Sukma sangat bahagia.

Namun, pada suatu hari seekor ayam hitam naik ke atas lumbung dan mengais padi di atas permukaan lumbung.
Putri Bungsu berusaha mengusir ayam tersebut. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah bumbung bambu yang
tergeletak di bekas kaisan ayam. “Apa kira-kira isinya ya?” pikir Putri Bungsu. Ketika bumbung dibuka, Putri Bungsu
terkejut dan berteriak gembira. “Ini selendangku!, seru Putri Bungsu. Selendang itu pun didekapnya erat-erat.
Perasaan kesal dan jengkel tertuju pada suaminya. Tetapi ia pun sangat sayang pada suaminya.

Akhirnya Putri Bungsu membulatkan tekadnya untuk kembali ke kahyangan. “Kini saatnya aku harus kembali!,”
katanya dalam hati. Putri Bungsu segera mengenakan selendangnya sambil menggendong bayinya. Datu Awang
Sukma terpana melihat kejadian itu. Ia langsung mendekat dan minta maaf atas tindakan yang tidak terpuji yaitu
menyembunyikan selendang Putri Bungsu. Datu Awang Sukma menyadari bahwa perpisahan tidak bisa dielakkan.
“Kanda, dinda mohon peliharalah Kumalasari dengan baik,” kata Putri Bungsu kepada Datu Awang Sukma.”
Pandangan Datu Awang Sukma menerawang kosong ke angkasa. “Jika anak kita merindukan dinda, ambillah tujuh
biji kemiri, dan masukkan ke dalam bakul yang digoncang-goncangkan dan iringilah dengan lantunan seruling. Pasti
dinda akan segera datang menemuinya,” ujar Putri Bungsu.

Putri Bungsu segera mengenakan selendangnya dan seketika terbang ke kahyangan. Datu Awang Sukma menap
sedih dan bersumpah untuk melarang anak keturunannya memelihara ayam hitam yang dia anggap membawa
malapetaka.

12/07/2011  Leave a Reply


Advertisements

REPORT THIS AD

Si Pelit

Seorang yang sangat pelit mengubur emasnya secara diam-diam di tempat yang dirahasiakannya di tamannya.
Setiap hari dia pergi ke tempat dimana dia mengubur emasnya, menggalinya dan menghitungnya kembali satu-
persatu untuk memastikan bahwa tidak ada emasnya yang hilang. Dia sangat sering melakukan hal itu sehingga
seorang pencuri yang mengawasinya, dapat menebak apa yang disembunyikan oleh si Pelit itu dan suatu malam,
dengan diam-diam pencuri itu menggali harta karun tersebut dan membawanya pergi.

Ketika si Pelit menyadari kehilangan hartanya, dia menjadi sangat sedih dan putus asa. Dia mengerang-erang
sambil menarik-narik rambutnya.

Satu orang pengembara kebetulan lewat di tempat itu mendengarnya menangis dan bertanya apa saja yang terjadi.

“Emasku! oh.. emasku!” kata si Pelit, “seseorang telah merampok saya!”

“Emasmu! di dalam lubang itu? Mengapa kamu menyimpannya disana? Mengapa emas tersebut tidak kamu
simpan di dalam rumah dimana kamu dapat dengan mudah mengambilnya saat kamu ingin membeli sesuatu?”

“Membeli sesuatu?” teriak si Pelit dengan marah. “Saya tidak akan membeli sesuatu dengan emas itu. Saya bahkan
tidak pernah berpikir untuk berbelanja sesuatu dengan emas itu.” teriaknya lagi dengan marah.

Pengembara itu kemudian mengambil sebuah batu besar dan melemparkannya ke dalam lubang harta karun yang
telah kosong itu.

“Kalau begitu,” katanya lagi, “tutup dan kuburkan batu itu, nilainya sama dengan hartamu yang telah hilang!”

Harta yang kita miliki sama nilainya dengan kegunaan harta tersebut.

12/07/2011  Leave a Reply


Advertisements

REPORT THIS AD

Si Miskin Yang Tamak

Cerita Rakyat Riau

Alkisah di Riau pada jaman dahulu kala hiduplah sepasang suami istri yang sangat miskin. Mereka hidup serba
kekurangan karena penghasilan mereka tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Jangankan untuk
membeli lauk pauk, untuk mendapatkan beras pun kadang-kadang harus berhutang pada tetangga. Hidup mereka
benar-benar memprihatinkan.

Suatu hari pak Miskin bermimpi. Seorang kakek datang menemuinya dan memberikannya seutas tali.
“Hai Miskin! Besok pergilah merakit dan carilah sebuah mata air di sungai Sepunjung!” kata si kakek yang kemudian
menghilang.

Pak Miskin terbangun dengan bingung. “Wahai, mimpi apa aku tadi? Kenapa kakek tadi menyuruhku pergi merakit?”
kata pak Miskin dalam hati.
Hari masih pagi, ketika pak Miskin akhirnya memutuskan untuk mengikuti pesan si kakek.
“Tidak ada salahnya mencoba. Siapa tahu aku mendapatkan keberuntungan,” pikir pak Miskin.

Maka pergilah ia dengan menggunakan perahu satu-satunya. Dia terus mendayung di sepanjang sungai sambil
mencari mata air yang dimaksud si kakek dalam mimpinya. Tidak berapa lama dilihatnya riakan air di pinggir sungai
pertanda bahwa di bawah sungai itu terdapat mata air.
“Hmmm, mungkin ini mata air yang dimaksud,” pikir pak Miskin.

Dia menengok ke kanan dan ke kiri mencari si kakek dalam mimpinya. Namun hingga lelah lehernya, si kakek tidak
juga kelihatan.

Ketika dia sudah mulai tidak sabar, tiba-tiba muncullah seutas tali di samping perahunya. Tanpa pikir panjang
ditariknya tali tersebut. Ternyata di ujung tali itu terikat rantai yang terbuat dari emas. Alangkah senangnya pak
Miskin. Cepat-cepat ditariknya rantai itu.
“Oh, ternyata benar, ini adalah hari keberuntunganku. Dengan emas ini aku akan kaya!,” kata pak Miskin dengan
gembira.

Dia menarik rantai itu dengan sekuat tenaga dan mengumpulkan rantai tersebut di atas perahunya. Tiba-tiba
terdengar kicau seekor burung dari atas pohon: “Cepatlah potong tali itu dan kembalilah pulang!”

Namun karena terlalu gembira, pak Miskin tidak mengindahkan kicauan burung itu. Dia terus menarik rantai emas
itu hingga perahunya tidak kuat lagi menahan bebannya. Dan benar saja, beberapa saat kemudian perahu itu miring
dan kemudian terbalik bersama pak Miskin yang masih memegang rantai emasnya.

Rantai emas yang berat itu menarik tubuh pak Miskin hingga terseret ke dalam sungai. Pak Miskin berusaha
menarik rantai itu. Namun rantai itu malah melilitnya dan menyeretnya semakin dalam.

Pak Miskin yang kehabisan udara, gelagapan di dalam air. Dengan susah payah dia melepaskan diri dan kembali ke
permukaan. Dengan nafas tersengal-sengal dilihatnya harta karunnya yang tenggelam ke dalam sungai. Dalam hati
dia menyesal atas kebodohannya. Seandainya dia tidak terlalu serakah pasti kini hidupnya sudah berubah. Tapia pa
mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Dan pak Miskin pun pulang ke rumahnya dengan tangan hampa.

12/07/2011  Leave a Reply


Advertisements

REPORT THIS AD

Older posts

Email Subscription

Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 2 other followers

Enter your email address

Sign me up!

Categories

Dongeng Anak
Dongeng Anak

Teryosha
Tersinggung Pada Kuda
Telaga Bidadari
Si Pelit
Si Miskin Yang Tamak
Si Kancil dan Siput
Si Jubah Merah
Seruling Sakti
Seorang Raja dan Nelayan
Saudagar Jerami
Sangkuriang
Ratu Aji Bidara Putih
Raksasa Yang Egois
Rajawali Yang Cerdik
Raja Yang Bodoh
Raja Telinga Keledai
Raja Kayu
Rachel dan Batu Bertuah
Putri yang Sempurna
Putri Yang Menjadi Ular
Putri Warna Warni
Putri Uwina
Putri Tidur
Putri Seorang Saudagar
Putri Senaya Yang Pandai
Putri Melati Wangi
Putri dan Tikus
Putri Bisu (Silent Princess)
Putri Aubergine
Puteri Tidur
Pulau Kakak-Beradik
Pulau Hantu
Pilt, Monster Yang Tak Menyeramkan
Peri Ikan
Peri dan Hutan Berkabut
Perempuan Tua dan Hantu Jadi-jadian
Peramal Istana
Penyihir Tua
Penjahit Yang Riang Gembira
Pengembara dan Sekantong Uang
Penebang Kayu yang Tidak Tahu Berterimakasih
Penculikan Tabib Istana
Pemerah Susu dan Ember nya
Pangeran Yang Membalas Budi
Pangeran Katak
Pangeran Ivan dan Sineglazka
Pangeran dan Permaisuri
Pangeran Bungsu dan Putri Laut
Paman Alfred dan 3 Ekor Rakun
Pahlawan Cilik
View Full Site

Create a free website or blog at WordPress.com.

Anda mungkin juga menyukai