Anda di halaman 1dari 15

TIMUN MAS

Pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri petani. Mereka tinggal di sebuah desa di dekat
hutan. Mereka hidup bahagia. Sayangnya mereka belum saja dikaruniai seorang anak pun.

Setiap hari mereka berdoa pada Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa agar segera diberi seorang
anak. Suatu hari seorang raksasa melewati tempat tinggal mereka. Raksasa itu mendengar doa
suami istri itu. Raksasa itu kemudian memberi mereka biji mentimun.

“Tanamlah biji ini. Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan,” kata Raksasa.
“Terima kasih, Raksasa,” kata suami istri itu. “Tapi ada syaratnya. Pada usia 17 tahun anak itu
harus kalian serahkan padaku,” sahut Raksasa. Suami istri itu sangat merindukan seorang anak.
Karena itu tanpa berpikir panjang mereka setuju.

Suami istri petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu. Setiap hari mereka merawat
tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin. Berbulan-bulan kemudian tumbuhlah
sebuah mentimun berwarna keemasan.

Buah mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu masak, mereka
memetiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu. Betapa terkejutnya mereka, di dalam
buah itu mereka menemukan bayi perempuan yang sangat cantik. Suami istri itu sangat bahagia.
Mereka memberi nama bayi itu Timun Mas.

Tahun demi tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kedua orang tuanya
sangat bangga padanya. Tapi mereka menjadi sangat takut. Karena pada ulang tahun Timun Mas
yang ke-17, sang raksasa datang kembali. Raksasa itu menangih janji untuk mengambil Timun
Mas.

Petani itu mencoba tenang. “Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain. Istriku akan
memanggilnya,” katanya. Petani itu segera menemui anaknya. “Anakkku, ambillah ini,” katanya
sambil menyerahkan sebuah kantung kain. “Ini akan menolongmu melawan Raksasa. Sekarang
larilah secepat mungkin,” katanya. Maka Timun Mas pun segera melarikan diri.

Suami istri itu sedih atas kepergian Timun Mas. Tapi mereka tidak rela kalau anaknya menjadi
santapan Raksasa. Raksasa menunggu cukup lama. Ia menjadi tak sabar. Ia tahu, telah dibohongi
suami istri itu. Lalu ia pun menghancurkan pondok petani itu. Lalu ia mengejar Timun Mas ke
hutan.

Raksasa segera berlari mengejar Timun Mas. Raksasa semakin dekat. Timun Mas segera
mengambil segenggam garam dari kantung kainnya. Lalu garam itu ditaburkan ke arah Raksasa.
Tiba-tiba sebuah laut yang luas pun terhampar. Raksasa terpaksa berenang dengan susah payah.

Timun Mas berlari lagi. Tapi kemudian Raksasa hampir berhasil menyusulnya. Timun Mas
kembali mengambil benda ajaib dari kantungnya. Ia mengambil segenggam cabai. Cabai itu
dilemparnya ke arah raksasa. Seketika pohon dengan ranting dan duri yang tajam memerangkap
Raksasa. Raksasa berteriak kesakitan. Sementara Timun Mas berlari menyelamatkan diri.
Tapi Raksasa sungguh kuat. Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas. Maka Timun Mas pun
mengeluarkan benda ajaib ketiga. Ia menebarkan biji-biji mentimun ajaib. Seketika tumbuhlah
kebun mentimun yang sangat luas. Raksasa sangat letih dan kelaparan. Ia pun makan mentimun-
mentimun yang segar itu dengan lahap. Karena terlalu banyak makan, Raksasa tertidur.

Timun Mas kembali melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga. Tapi lama kelamaan tenaganya
habis. Lebih celaka lagi karena Raksasa terbangun dari tidurnya. Raksasa lagi-lagi hampir
menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan. Ia pun melemparkan senjatanya yang terakhir,
segenggam terasi udang. Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar.
Raksasa terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau
lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa panik. Ia tak bisa bernapas, lalu tenggelam.

Timun Mas lega. Ia telah selamat. Timun Mas pun kembali ke rumah orang tuanya. Ayah dan
Ibu Timun Mas senang sekali melihat Timun Mas selamat. Mereka menyambutnya. “Terima
Kasih, Tuhan. Kau telah menyelamatkan anakku,” kata mereka gembira.

Sejak saat itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orang tuanya. Mereka dapat hidup bahagia
tanpa ketakutan lagi.
Legenda Ular n’Daung
Dahulu kala, di kaki sebuah gunung di daerah Bengkulu hiduplah seorang wanita tua dengan tiga
orang anaknya. Mereka sangat miskin dan hidup hanya dari penjualan hasil kebunnya yang
sangat sempit. Pada suatu hari perempuan tua itu sakit keras.

Orang pintar di desanya itu meramalkan bahwa wanita itu akan tetap sakit apabila tidak
diberikan obat khusus. Obatnya adalah daun-daunan hutan yang dimasak dengan bara gaib dari
puncak gunung.

Alangkah sedihnya keluarga tersebut demi mengetahui kenyataan itu. Persoalannya adalah bara
dari puncak gunung itu konon dijaga oleh seekor ular gaib. Menurut cerita penduduk desa itu,
ular tersebut akan memangsa siapa saja yang mencoba mendekati puncak gunung itu.

Diantara ketiga anak perempuan ibu tua itu, hanya si bungsu yang menyanggupi persyaratan
tersebut. Dengan perasaan takut ia mendaki gunung kediaman si Ular n’Daung. Benar seperti
cerita orang, tempat kediaman ular ini sangatlah menyeramkan. Pohon-pohon sekitar gua itu
besar dan berlumut. Daun-daunnya menutupi sinar matahari sehingga tempat tersebut menjadi
temaram.

Belum habis rasa khawatir si Bungsu, tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh dan raungan yang
keras. Tanah bergetar. Inilah pertanda si Ular n’Daung mendekati gua kediamannya. Mata ular
tersebut menyorot tajam dan lidahnya menjulur-julur. Dengan sangat ketakutan si Bungsu
mendekatinya dan berkata, “Ular yang keramat, berilah saya sebutir bara gaib guna memasak
obat untuk ibuku yang sakit. Tanpa diduga, ular itu menjawab dengan ramahnya, “bara itu akan
kuberikan kalau engkau bersedia menjadi isteriku!”

Si Bungsu menduga bahwa perkataan ular ini hanyalah untuk mengujinya. Maka iapun
menyanggupinya. Keesokan harinya setelah ia membawa bara api pulang, ia pun menepati
janjinya pada Ular n’Daung. Ia kembali ke gua puncak gunung untuk diperisteri si ular.

Alangkah terkejutnya si bungsu menyaksikan kejadian ajaib. Yaitu, pada malam harinya,
ternyata ular itu berubah menjadi seorang ksatria tampan bernama Pangeran Abdul Rahman
Alamsjah.

Pada pagi harinya ia akan kembali menjadi ular. Hal itu disebabkan oleh karena ia disihir oleh
pamannya menjadi ular. Pamannya tersebut menghendaki kedudukannya sebagai calon raja.

Setelah kepergian si bungsu, ibunya menjadi sehat dan hidup dengan kedua kakaknya yang sirik.
Mereka ingin mengetahui apa yang terjadi dengan si Bungsu. Maka merekapun berangkat ke
puncak gunung. Mereka tiba di sana diwaktu malam hari.

Alangkah kagetnya mereka ketika mereka mengintip bukan ular yang dilihatnya tetapi lelaki
tampan. Timbul perasaan iri dalam diri mereka. Mereka ingin memfitnah adiknya.
Mereka mengendap ke dalam gua dan mencuri kulit ular itu. Mereka membakar kulit ular
tersebut. Mereka mengira dengan demikian ksatria itu akan marah dan mengusir adiknya itu.
Tetapi yang terjadi justru kebalikannya. Dengan dibakarnya kulit ular tersebut, secara tidak
sengaja mereka membebaskan pangeran itu dari kutukan.

Ketika menemukan kulit ular itu terbakar, pangeran menjadi sangat gembira. Ia berlari dan
memeluk si Bungsu. Di ceritakannya bahwa sihir pamannya itu akan sirna kalau ada orang yang
secara suka rela membakar kulit ular itu.

Kemudian, si Ular n’Daung yang sudah selamanya menjadi Pangeran Alamsjah memboyong si
Bungsu ke istananya. Pamannya yang jahat diusir dari istana. Si Bungsu pun kemudian mengajak
keluarganya tinggal di istana. Tetapi dua kakaknya yang sirik menolak karena merasa malu akan
perbuatannya.
Suri Ikun dan Dua Burung
Alkisah, di sebuah kampung di daerah Nusa Tenggara Timur, Indonesia, ada sebuah keluarga
petani yang mempunyai empat belas orang anak. Tujuh orang lelaki dan tujuh orang perempuan.
Anak lelakinya yang paling muda bernama Suri Ikun. Ia seorang pemberani dan suka menolong.
Berbeda dengan keenam kakak lelakinya, selain pendengki mereka juga penakut. Mendengar
dengusan babi hutan saja mereka lari tunggang-langgang.

Untuk memenuhi kebutuhan seorang istri dan keempat belas anaknya, sang Suami sebagai
kepala keluarga menanam umbi-umbian dan sayur-sayuran di kebunnya. Meskipun kebunnya
cukup luas, hasilnya terkadang tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, karena
tanamannya sering dirusak oleh kawanan babi hutan.

Pada suatu malam, sang Suami mengajak istri dan ketujuh anak lelakinya bermusyawarah untuk
mengatasi permasalahan tersebut.

“Wahai, Anak-anakku! Tentu kalian semua tahu bahwa kita hidup dari hasil berkebun. Untuk itu
kita harus menjaga semua tanaman yang ada di kebun,” ungkap sang Ayah.

“Apa yang harus kami lakukan, Ayah?” tanya si Sulung.

“Begini, Anakku! Ayah akan menugaskan kalian secara bergiliran meronda di kebun untuk
mengusir babi hutan,” kata sang Ayah.

Mendengar perkataan itu, ketujuh orang lelaki bersaudara tersebut terkejut.

“Aduh, adakah cara lain yang dapat kami lakukan selain meronda, Ayah?” keluh si Sulung.

“Apa maksudmu, Anakku!” tanya sang Ayah.

“Maaf, Ayah! Saya sangat takut pada babi hutan,” jawab si Sulung.

“Iya, Ayah! Kami juga takut,” sambung lima orang anaknya yang lain serentak.

Sang Ayah menjadi bingung mendengar keluhan keenam anaknya tersebut. Sejenak, ia berpikir
untuk mencari cara lain untuk mengusir babi hutan dari kebunnya. Suasana musyawarah
keluarga pun menjadi hening. Dalam suasana hening itu, tiba-tiba Suri Ikun angkat bicara.

“Maaf, Ayah! Jika Ayah mengizinkan, biarlah saya sendiri yang meronda di kebun,” pinta Suri
Ikun.

“Benarkah kamu sanggup meronda seorang diri, Anakku?” tanya sang Ayah.
“Benar, Ayah! Saya akan menangkap babi-babi hutan itu dengan panahku,” jawab Suri Ikun
dengan penuh semangat.

Alangkah senangnya hati keenam kakak lelaki Suri Ikun, karena mereka terbebas dari sebuah
tugas yang sangat berat.

Keesokan harinya, setelah mempersiapkan busur dan anak panahnya, berangkatlah Suri Ikun ke
kebun seorang diri untuk meronda. Sesampainya di kebun, ia langsung berkeliling melihat
keadaan kalau-kalau ada kawanan babi hutan yang sedang merusak tanamannya. Setelah
beberapa saat berkeliling dan tidak menemukan seekor babi hutan pun, Suri Ikun beristirahat di
bawah sebuah pohon besar. Ketika sedang asyik duduk bersandar sambil menikmati tiupan angin
sepoi-sepoi, tiba-tiba tiga ekor babi hutan sedang melintas tidak jauh dari depannya. Ia pun
segera bersembunyi di balik pohon tempatnya bersandar seraya menyiapkan anak panahnya.
Pada saat ketiga kawanan babi hutan itu akan memakan tanamannya, ia pun segera menarik anak
panahnya dari busurnya dan melepaskannya ke arah babi yang paling besar.

“Siuuut…. deg…!!!”

Anak panahnya tepat mengenai lambung kanan babi itu dan langsung terkapar di tanah.
Sementara dua babi hutan lainnya langsung melarikan diri ke balik semak belukar. Suri Ikun
segera menghampiri babi hutan yang sudah tidak bergerak itu.

“Wah besar sekali babi hutan ini. Pasti dagingnya sangat lezat,” gumam Suri Ikun.

Dengan perasaan senang dan gembira, Suri Ikun pun segera membawa pulang babi hutan itu ke
rumahnya. Oleh karena babi hutan itu sangat berat, sampai-sampai ia harus beberapa kali
berhenti beristirahat dalam perjalanan. Sesampainya di rumah, ia pun disambut gembira oleh
kedua orangtua dan saudara-saudaranya yang sudah lama menunggu.

“Wah, kamu hebat sekali, Suri Ikun!” ucap si Sulung memuji.

Kemudian mereka pun segera memotong-motong dan memasak daging babi hutan itu. Setelah
matang, si Sulung bertugas membagi-bagikan daging babi tersebut kepada saudara-saudaranya.
Oleh karena sifatnya yang dengki, ia hanya memberi Suri Ikun bagian kepala babi itu, yang
sudah tentu tidak banyak dagingnya. Begitulah seterusnya, setiap kali membawa seekor babi
hutan hasil buruannya, Suri Ikun selalu saja mendapat bagian kepala. Meski demikian, Suri Ikun
tetap merasa senang, karena hasil keringatnya dapat dinikmati oleh seluruh keluarganya.

Pada suatu sore, ayah mereka baru saja pulang dari mencari kayu bakar di sebuah hutan lebat
yang letaknya cukup jauh.

“Anak-anakku! Maukah kalian membantu, Ayah!”

“Apa yang dapat kami bantu, Ayah?” tanya si Sulung penasaran.


“Gerinda Ayah tertinggal di tengah hutan. Maukah kalian pergi mengambilnya?” pinta sang
Ayah.

Akhirnya, si Sulung pun mengajak keenam saudara lelakinya pergi ke hutan lebat itu. Pada saat
sampai di hutan, hari sudah mulai gelap. Menurut cerita, hutan tersebut dihuni oleh para hantu
rimba yang terkenal jahat. Suri Ikun berjalan mengikuti kakaknya menyusuri hutan lebat itu
sambil menggendong busur dan anak panahnya. Oleh karena gelapnya malam, Suri Ikun tidak
menyadari jika keenam saudaranya mengambil jalan lain yang menuju ke rumah. Sementara ia
terus berjalan menyusuri hutan. Semakin lama ia pun semakin jauh masuk ke tengah hutan.
Setelah menyadari ia ditinggal sendirian, ia pun berteriak-teriak memanggil keenam kakaknya.

“Kakak… di mana kalian?”

Berkali-kali Suri Ikun memanggil nama keenam kakaknya, tetapi tetap tidak mendapat jawaban.
Namun, beberapa saat berselang, tiba-tiba terdengar suara aneh menegurnya.

“Hei, Anak Manusia! Kini kamu tinggal sendirian. Tidak seorang pun yang bisa menolongmu,
karena saudara-saudaramu telah meninggalkanmu.”

“Kamu siapa? Tampakkanlah wujudmu!” seru Suri Ikun sambil menyiapkan anak panah dan
busurnya.

“Ha… ha… ha…!!! terdengar suara itu tertawa berbahak-bahak.

“Ketahuilah, Anak Manusia! Kami adalah hantu rimba penghuni hutan ini,” ujar suara itu.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba beberapa sosok bertubuh besar dan berwajah seram berdiri di
sekelilingnya. Baru saja Suri Ikun hendak menarik anak panahnya, para hantu tersebut segera
menangkapnya. Namun, mereka tidak langsung memakannya, karena ia masih terlalu kurus.

“Sebaiknya kita kurung dulu anak manusia ini,” ujar pemimpin hantu rimba itu.

Akhirnya Suri Ikun dikurung di dalam sebuah gua. Setiap hari ia diberi makan secara teratur agar
menjadi gemuk. Untungnya ada celah sehingga sinar matahari dapat memancar masuk ke dalam
gua. Dari celah itu ia bisa melihat keluar.

Pada suatu hari, Suri Ikun melihat dua ekor anak burung di celah gua yang kelaparan. Oleh
karena merasa iba, ia pun memberi Ikun sebagian makanannya kepada kedua anak burung itu.

“Waaah, kasihan sekali anak burung ini ditinggal induknya,” iba Suri Ikun seraya menyuapi
kedua anak burung itu.

Begitulah seterusnya, setiap melihat kedua anak burung itu kelaparan, Suri Ikun senantiasa
membagikan makanan kepada mereka. Beberapa bulan kemudian, kedua burung itu pun tumbuh
menjadi besar dan kuat. Ajaibnya, kedua burung itu dapat berbicara seperti manusia.
“Terima kasih Tuan karena telah menolong kami,” ucap seekor burung.

“Ampun, Tuan! Jika kami boleh tahu, Tuan siapa dan kenapa dikurung dalam gua ini?” tanya
seekor burung yang satunya lagi.

“Saya Suri Ikun, Sobat!” jawab Suri Ikun.

Setelah itu, Suri Ikun pun menceritakan semua kejadian yang dialaminya sampai ia bisa berada
di dalam gua itu.

“Baiklah, Tuan! Kami akan membebaskan Tuan dari gua ini,” kata seekor burung.

Alangkah senangnya hati Suri Ikun mendengar perkataan burung itu. Namun, hatinya masih
diselimuti oleh rasa bimbang.

“Wahai, Sobat! Bukankah hantu rimba itu berjumlah banyak dan sangat kuat? Bagaimana cara
kalian menolongku?” tanya Suri Ikun ingin tahu.

“Tenang, Tuan! Kami pasti bisa mengalahkan mereka,” ujar seekor burung.

“Begini, Tuan! Kami akan menyerang dan mencakar-cakar seluruh tubuh hantu-hantu itu,” jelas
seekor burung yang satunya.

Mendengar penjelasan itu, Suri Ikun terdiam sejenak. Ia pun berpikir mencari cara agar bisa
membantu kedua burung itu mengalahkan hantu-hantu tersebut.

“Baiklah kalau begitu! Aku akan membantu kalian dengan senjataku ini,” kata Suri Ikun sambil
menunjukkan panahnya.

Keesokan harinya, hantu-hantu tersebut datang mengantarkan makanan untuk Suri Ikun. Pada
saat mereka membuka pintu gua, dengan secepat kilat kedua burung itu langsung menyerang dan
mencakar-cakar seluruh tubuh mereka. Suri Ikun pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia
segera meluncurkan anak panahnya ke arah hantu-hantu tersebut. Maka tak ayal lagi, para hantu
itu pun terluka dan langsung kabur melarikan diri.

Setelah itu, kedua burung tersebut segera membawa terbang Suri Ikun menuju ke puncak sebuah
bukit yang tinggi. Sesampainya di sana, dengan kekuatan gaibnya, kedua burung tersebut
menciptakan sebuah istana megah untuk Suri Ikun lengkap dengan pengawal dan dayang-
dayangnya. Di sanalah untuk selanjutnya Suri Ikun tinggal dan hidup berbahagia.

Sementara itu, nun jauh di kampung, keluarga Suri Ikun hidup menderita. Sejak kepergian Suri
Ikun seluruh tanaman ayahnya habis dimakan dan dirusak kawanan babi hutan. Sebab, tidak
seorang pun saudara lelakinya yang berani mengusir kawanan babi hutan tersebut dari kebun
mereka.
Sangkuriang
Pada jaman dahulu, tersebutlah kisah seorang puteri raja di Jawa Barat
bernama Dayang Sumbi.Ia mempunyai seorang  anak laki-laki yang diberi
nama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu.

Ia berburu dengan ditemani oleh Tumang, anjing kesayangan istana.


Sangkuriang tidak tahu, bahwa anjing itu adalah titisan dewa dan juga
bapaknya.

Pada suatu hari Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk mengejar
hewan buruan. Maka anjing tersebut diusirnya ke dalam hutan.

Ketika kembali ke istana, Sangkuriang menceritakan kejadian itu pada


ibunya. Bukan main marahnya Dayang Sumbi begitu mendengar cerita itu.
Tanpa sengaja ia memukul kepala Sangkuriang dengan sendok nasi yang
dipegangnya. Sangkuriang terluka. Ia sangat kecewa dan pergi
mengembara.

Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali dirinya. Ia selalu


berdoa dan sangat tekun bertapa. Pada suatu ketika, para dewa
memberinya sebuah hadiah. Ia akan selamanya muda dan  memiliki
kecantikan abadi.

Setelah bertahun-tahun mengembara, Sangkuriang akhirnya berniat untuk


kembali ke tanah airnya. Sesampainya disana, kerajaan itu sudah berubah
total. Disana dijumpainya seorang gadis jelita, yang tak lain adalah Dayang
Sumbi. Terpesona oleh kecantikan wanita tersebut maka, Sangkuriang
melamarnya.  Oleh karena pemuda itu sangat tampan, Dayang Sumbi pun
sangat terpesona padanya.

Pada suatu hari Sangkuriang minta pamit untuk berburu. Ia minta tolong
Dayang Sumbi untuk merapikan ikat kepalanya. Alangkah terkejutnya
Dayang Sumbi demi melihat bekas luka di kepala calon suaminya. Luka itu
persis seperti luka anaknya yang telah pergi merantau. Setelah lama
diperhatikannya, ternyata wajah pemuda itu sangat mirip dengan wajah
anaknya. Ia menjadi sangat ketakutan.

Maka kemudian ia mencari daya upaya untuk menggagalkan proses


peminangan itu. Ia mengajukan dua buah syarat. Pertama, ia meminta
pemuda itu untuk membendung sungai Citarum. Dan kedua, ia minta
Sangkuriang untuk membuat sebuah sampan besar untuk menyeberang
sungai itu. Kedua syarat itu harus sudah dipenuhi sebelum fajar
menyingsing.

Malam itu Sangkuriang melakukan tapa. Dengan kesaktiannya ia


mengerahkan mahluk-mahluk gaib untuk membantu menyelesaikan
pekerjaan itu. Dayang Sumbi pun diam-diam mengintip pekerjaan tersebut.
Begitu pekerjaan itu hampir selesai, Dayang Sumbi memerintahkan
pasukannya untuk menggelar kain sutra merah di sebelah timur kota.

Ketika menyaksikan warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira


hari sudah menjelang pagi. Ia pun menghentikan pekerjaannya. Ia sangat
marah oleh karena itu berarti ia tidak dapat memenuhi syarat yang diminta
Dayang Sumbi.

Dengan kekuatannya, ia menjebol bendungan yang dibuatnya. Terjadilah


banjir besar melanda seluruh kota. Ia pun kemudian menendang sampan
besar yang dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh menjadi sebuah
gunung yang bernama "Tangkuban Perahu." 
Nusa Tenggara Barat

Batu Golog
Pada jaman dahulu di daerah Padamara
dekat Sungai Sawing hiduplah sebuah
keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq
Lembain dan sang suami bernama Amaq
Lembain.

Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan kedesa desa
menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi.

Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula. Pada suatu hari, ia
sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya diatas sebuah batu ceper didekat
tempat ia bekerja.

Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin lama makin menaik.
Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai memanggil ibunya: "Ibu batu ini
makin tinggi." Namun sayangnya Inaq Lembain sedang sibuk bekerja. Dijawabnya, "Anakku
tunggulah sebentar, Ibu baru saja menumbuk."

Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama makin meninggi hingga
melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak sejadi-jadinya. Namun, Inaq
Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampi beras. Suara anak-anak itu makin lama makin
sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak terdengar lagi.

Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu mencapai awan.
Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain tersadar, bahwa kedua anaknya
sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu Goloq.

Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat mengambil anaknya.
Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. dengan sabuknya ia akan dapat memenggal
Batu Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan sabuknya batu itu terpenggal menjadi tiga bagian.
Bagian pertama jatuh di suatu tempat yang kemudian diberi nama Desa Gembong olrh karena
menyebabkan tanah di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat yang diberi nama Dasan
Batu oleh karena ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu ini. Dan potongan
terakhir jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh. Sehingga tempat itu diberi
nama Montong Teker.

Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah menjadi dua ekor burung.
Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan adiknya berubah menjadi burung Kelik. Oleh
karena keduanya berasal dari manusia maka kedua burung itu tidak mampu mengerami telurnya.
MALUKU
Si Rusa dan
Si Kulomang
Pada jaman dahulu di sebuah hutan
di kepulauan Aru, hiduplah
sekelompok rusa. Mereka sangat
bangga akan kemampuan larinya.
Pekerjaan mereka selain merumput,
adalah

menantang binatang lainnya untuk adu lari. Apabila mereka itu dapat
mengalahkannya, rusa itu akan mengambil tempat tinggal mereka.

Ditepian hutan tersebut terdapatlah sebuah pantai yang sangat indah.


Disana hiduplah siput laut yang bernama Kulomang. Siput laut terkenal
sebagai binatang yang cerdik dan sangat setia kawan. Pada suatu hari, si
Rusa mendatangi si Kulomang. Ditantangnya siput laut itu untuk adu lari
hingga sampai di tanjung ke sebelas. Taruhannya adalah pantai tempat
tinggal sang siput laut.

Dalam hatinya si Rusa itu merasa yakin akan dapat mengalahkan si


Kulomang. Bukan saja jalannya sangat lambat, si Kulomang juga
memanggul cangkang. Cangkang itu biasanya lebih besar dari badannya.
Ukuran yang demikian itu disebabkan oleh karena cangkang itu adalah
rumah dari siput laut. Rumah itu berguna untuk menahan agar tidak hanyut
di waktu air pasang. Dan ia berguna untuk melindungi siput laut dari terik
matahari.

Pada hari yang ditentukan si Rusa sudah mengundang kawan-kawannya


untuk menyaksikan pertandingan itu. Sedangkan si Kulomang sudah
menyiapkan sepuluh teman-temannya. Setiap ekor dari temannya
ditempatkan mulai dari tanjung ke dua hingga tanjung ke sebelas. Dia
sendiri akan berada ditempat mulainya pertandingan.   Diperintahkannya
agar teman-temanya menjawab setiap pertanyaan si Rusa.

Begitu pertandingan dimulai, si Rusa langsung berlari secepat-cepatnya


mendahului si Kulomang. Selang beberapa jam is sudah sampai di tanjung
kedua. Nafasnya terengah-engah. Dalam hati ia yakin bahwa si Kulomang
mungkin hanya mencapai jarak beberapa meter saja. Dengan sombongnya
ia berteriak-teriak, "Kulomang, sekarang kau ada di mana?" Temannya si
Kulomang pun menjawab, "aku ada tepat di belakangmu." Betapa
terkejutnya si Rusa, ia tidak jadi beristirahat melainkan lari tunggang
langgang.
Hal yang sama terjadi berulang kali hingga ke tanjung ke sepuluh. Memasuki
tanjung ke sebelas, si Rusa sudah kehabisan napas. Ia jatuh tersungkur dan
mati. Dengan demikian si Kulomang dapat bukan saja mengalahkan tetapi
juga memperdayai si Rusa yang congkak itu.

Sumatra Barat
Pak Lebai Malang
    Tersebutlah kisah seorang guru agama yang hidup di tepi sungai disebuah desa di Sumatera
Barat. Pada suatu hari, ia mendapat undangan pesta dari dua orang kaya dari desa-desa tetangga.
Sayangnya pesta tersebut diadakan pada hari dan waktu yang bersamaan.

   Pak Lebai menimang- nimang untung dan rugi dari setiap undangan. Tetapi ia tidak pernah
dapat mengambil keputusan dengan cepat. Ia berpikir, kalau ia ke pesta di desa hulu sungai, tuan
rumah akan memberinya hadiah dua ekor kepala kerbau. Namun, ia belum begitu kenal dengan
tuan rumah tersebut. Menurut berita, masakan orang-orang hulu sungai tidak seenak orang hilir
sungai.

   Kalau ia pergi ke pesta di hilir sungai, ia akan mendapat hadiah seekor kepala kerbau yang
dimasak dengan enak. Ia juga kenal betul dengan tuan rumah tersebut. Tetapi, tuan rumah di hulu
sungai akan memberi tamunya tambahan kue-kue.   Hingga ia mulai mengayuh perahunya
ketempat pestapun ia belum dapat memutuskan pesta mana yang akan dipilih.

Pertama, dikayuh sampannya menuju hulu sungai. Baru tiba ti ditengah perjalanan ia mengubah
pikirannya. Ia berbalik mendayung perahunya ke arah hilir. Begitu hampir sampai di desa hilir
sungai. Dilihatnya beberapa tamu menuju hulu sungai. Tamu tersebut mengatakan bahwa kerbau
yang disembelih disana sangat kurus. Iapun mengubah haluan perahunya menuju hulu sungai.
Sesampainya ditepi desa hulu sungai, para tamu sudah beranjak pulang. Pesta disana sudah
selesai.

Pak lebai cepat-cepat mengayuh perahunya menuju desa hilir sungai. Sayangnya, disanapun
pesta sudah berakhir. Pak Lebai tidak mendapat kepala kerbau yang diinginkannya.

Saat itu ia sangat lapar, ia memutuskan untuk memancing ikan dan berburu. Untuk itu ia
membawa bekal nasi. Untuk berburu ia mengajak anjingnya.

Setelah memancing agak lama, kailnya dimakan ikan. Namun kail itu menyangkut di dasar
sungai. Pak Lebaipun terjun untuk mengambil ikan tersebut. Sayangnya ikan itu dapat
meloloskan diri. Dan anjingnya memakan nasi bekal pak Lebai. Oleh karena kemalangan
nasibnya, pak Lebai diberi julukan Lebai Malang. 

Anda mungkin juga menyukai