Anda di halaman 1dari 25

Cerita Legenda Timun Mas dari Jawa Tengah

Di sebuah desa hiduplah seorang perempuan tua bernama Mbok Yem. Ia hidup sebatang kara.
Mbok Yem ingin sekali memiliki seorang anak, agar dapat merawat dirinya yang sudah mulai
tua. Namun, itu semua mustahil karena ia tidak mempunyai suami.

Setiap hari MbokYem pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Pada suatu hari, di tengah
hutan. Ia bertemu dengan seorang raksasa yang sangat menyeramkan. Tubuh raksasa itu lebih
tinggi dari pohon. Kulitnya penuh dengan bulu yang kasar. Kulitnya gelap. Mulutnya terdapat
sepasang taring yang sagat tajam. Kukunya panjang dan kontor.

Mbok Yem sangat ketakutan. Tubuhnya gemetaran melihat mahluk yang sangat besar itu.
Raksasa itu berkata dengan suara yang sangat membahana," Hei, perempuan tua? Jangan takut,
aku tidak akan memakanmu. Kamu sudah terlalu tua. Dagingmu keras dan tidak enak. Aku
datang kesini hanya ingin memberikan sesuatu padamu."

Raksasa itu memberikan beberapa butir benih tanaman dan berkata,"Tanamlah benih ini dan
rawatlah dengan baik dan kau akan mendapatkan semua yang kau inginkan selama ini.. tapi
ingat, kau tidak boleh menikmatnya seorang diri. Kau harus memberikannya kepadaku juga
sebagai tanda terima kasih."

Mbok Yem hanya mengangguk. Ia langsung pulang ke rumahnya. Setiba Mbok Yem dirumah,
sesuai dengan petunjuk si raksasa itu, di tanamlah benih tersebut. Ajaibnya, keesokan harinya,
benih tanaman itu telah tumbuh menjadi tanaman mentimun. Buah-buahnya besar-besar. Jika
terkena sinar matahari, warnanya besinar seperti emas.

Karena penasaran dengan dengan buah mentimun itu, akhirnya di petiklah satu yang paling
besar. Ketika di belah, Mbok Yem sangat terkejut. Di dalam timun tersebut ada seorang bayi
perempuan yang sangat cantik.

"Jadi ini maksud dari ucapan si raksasa." ujarnya dalam hati.

Betapa senangnya Mbok Yem. Tidak pernah terbayangkan akan mempunyai seorang anak
perempuan yang sangat cantik. Karena lahir dari buah mentimun berwarna keemasan. Anak itu
di beri nama Timun Mas.

Keesokan harinya, di hutan, Mbok Yem bertemu kembali engan si raksasa Raksasa itu berkata, "
Engakau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan selama ini. Sesuai dengan janjimu, engkau
harus membaginya denganku."

Mbok Yem bingung, ia bertanya, " Bagaimna mungkin bayi perempuan bisa dibagi?"

"Tidak usah bingung perempuan tua. Kau boleh memilikinya sampai usia 17 tahun. Selanjutnya.
Anak itu akan menjadi santapanku." Jelas raksasa.

"Baiklah raksasa. Aku akan merawat anak itu, dan menganggap anak itu anakku sendiri sampai
usia 17 tahun," ujar Mbok Yem.

Timun Mas tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat baik hati dan cantik jelita. Kulitnya
kuning langsat. Tubuhnya tinggi semampai. Rambutnya hitam berkilau. Semakin hari
kecantikannya, semakin terlihat.

Timun Mas juga sangat rajin membantu ibunya. Ia selalu menemani ibunya mencari kayu bakar
di hutan. Kebaikan hati Timun Mas membuat Mbok Yem khawatir kehilangannya. Ia sangat
menyayangi Timun Mas untuk menjadi santapan si raksasa.
Tahun demi tahun terus berganti. Kini, Timun Mas sudah menginjak usia 17 tahun. Sudah
waktunya bagi raksasa itu untuk mengambil Timun Mas Mbok Yem menyuruh Timun Mas
bersembunyi di dalam kamar. Tiba-tiba, terdengar suara dentuman yang sangat keras. Itu adalah
suara langkah kaki si raksasa. Mbok Yem gemetar ketakutan.

"Hai perempuan tua! Mana anak perempuanmu yang telah kau janjikan untukku ?" teriak raksasa
itu.

"Ia sedang mandi di kali, Tuan raksasa. Tubuhnya sangat bau. Kau pasti tidak akan suka
memakannya" Ujar Mbok Yem.

"Baiklah. Aku akan kembali seminggu lagi. Pastikan ketika aku kembali ia sudah siap untuk ku
bawa ke hutan." Ujar raksasa.

"Tentu saja. Tuan. Aku tak akan mengecewakanmu." Ujar Mbok Yem.

Maka pergilah raksasa itu kembali ke hutan. Mbok Yem dan Timun Mas sangat lega. Mereka
masih punya waktu semiggu untuk bersama. Namun, setelah seminggu berlalu dan raksasa itu
datang kembali, ibu dan anak ini tetap tidak mau berpisah. Timun Mas kembali bersembunyi.
Kali ini di dapur, di dalam tempayan air yang kosong.

" Hai perempuan tua. Aku kembali untuk menagih janjimu! Cepat serahkan anak perempuanmu."
Teriak si raksasa.

" Maaf, Tuan raksasa. Timun Mas sedang menjual kayu ke kampung. Bila saja engkau datang
lebih pagi, engkau pasti bertemu dengan dia." Ujar Mbok Yem

Dengan setengah marah raksasa itu berteriak. " Baiklah, ku beri waktu 1 minggu lagi. Jika
anakmu tidak kau serahkan kepadaku. Akan ku hancurkan rumahmu."

Mbok Yem semakin ketakutan dan bingung denngan ancaman si raksasa. Ia sungguh tidak rela
anak perempuanya yang sangat cantik menjadi santapan si raksasa yang kejam itu. Melihat
keadaan ibunya. Timun Mas berkata. " Ibu, janganlah bersedih. Relakanlah aku menjadi santapan
raksasa itu." Ujar Timun Mas.

"Tidak anakku. Ibu tidak akan membiarkanmu menjadi mangsa raksasa jahat itu. ibu akan
melakukan apapun untuk menyelamatkanmu." Ujar Mbok Yem.

Kemudian Mbok Yem pergi menemui seorang kakek yang sakti tinggal di gunung. Kakek sakti
itu memberikan benih mentimun, sebuah duri, sebutir garam, dan sepotong terasi.

Seminggu kemudian, raksasa itu datang lagi. Kali ini, si raksasa sudah tidak dapat menahan
emosinya. Kakinya yang besar, di hentak-hentakan ke tanah sehingga bumi bergetar.

"Cepat serahkan anakmu atau ku hancurkan rumah beserta dirimu! Aku sudah sangat lapar!"
teriak raksasa.

" Maaf, Tua raksasa. Anakku sudah berjalan ke hutan. Kembalilah engkau ke hutan tempat
tinggalmu. Timun Mas sudah berada di sana." Kata Mbok berbohong. Pada saat itu. Timun Mas
sudah keluar rumah melalui pintu belakang. Ia membawa semua benda yang di berikan oleh
kakek sakti dari gunung itu. Ketika akan kembali ke hutan, si raksasa melihat Timun Mas berlari
dari belakang rumah. Di kejarnya Timun Mas.

Meskipun panik. Timun Ma masih mengingat perintah ibunya untuk melempar sebutir benih
mentimun. Benih mentimun itu langsung berubah menjadi lading mentimun dengan buah yang
besar-besar. Karena kelaparan, si raksasa memakan mentimun-mentimun di ladang itu. Setelah
keyang. Ia kembali mengejar Timun Mas. Meskipun perutnya yang kekenyangan membuat
jalannya menjadi lambat. Raksasa itu tetap bisa mengejar Timun Mas karena langkah kakinya
yang panjang.

Ketika si raksasa sudah dekat. Timun Mas melemparkan sebuah duri. Duni itu berubah menjadi
sebuah hutan bambu. Hutan bambu itu memperlambat jalan raksasa itu. Tubuhnya menjadi
penuh luka karena tertusuk batang bambu.

Namun, raksasa itu tidak menyerah. Ia tetap mengejar mangsanya. Kali ini, Timun Mas
melemparkan sebutir garam. Garam itu berubah menjadi sebuah lautan yang luas. Raksasa itu
harus berenang untuk mengejar Timun Mas. Ia berhasil, tetapi tubuhnya sudah sangat lelah.

Raksasa itu terus mengejar Timun Mas meskipun sudah kelelahan. Timun Mas melempar
sepotong terasi. Kali ini terasi tersebut berubah menjadi lumpur hisap. Raksasa itu berteriak
meminta tolong ketika tubuhnya terhisap lumpur.

Tubuh raksasa yang besar tidak mampu melawan hisapan lumpur karena kelelahan. Ia pun tewas
terhisap lumpur. Maka, tamatlah riwayat raksasa jahat itu. Setelah bebas dari raksasa jahat itu.
Kehidupan Timun Mas dan Mbok Yem membaik.

Timun Mas bertemu dengan seorang pangeran dari negeri seberang. Pangeran itu jatuh cinta
kepadanya. Merekapun menikah. Timun Mas dan Mbok Yem diboyong oleh pangeran itu ke
istananya. Mereka hidup bahagia selamanya
Cerita Rakyat Ande Ande Lumut
Pada zaman dahulu, ada sebuah Kerajaan besar yang bernama Kerajaan Kahuripan. Namun,
untuk mencegah perang persaudaraan Kerajaan Kahuripan di bagi menjadi dua Kerajaan, yaitu
Kerajaan Kediri dan Kerajaan Jenggala. Suatu hari sebelum Raja Erlangga meninggal, ia
berpesan untuk menyatukan kembali kedua Kerajaan tersebut.

Akhirnya, kedua Kerajaan tersebut bersepakat untuk menyatukan kedua Kerajaan, dengan cara
menikahkan Pangeran dari Kerajaan Jenggala, yaitu Raden Panji Asmarabangun. Dengan Putri
cantik Dewi Sekartaji dari Kerajaan Kediri.

Namun, keputusan untuk menikahkan Pangeran Raden Panji Asmarabangun dengan Putri
Sekartaji, di tentang oleh Ibu Tiri Putri Sekartaji. Karena Istri kedua dari kerajaan Kediri
menginginkan Putri kandungnya sendiri yang menjadi Ratu Jenggala. Akhirnya, ia
merencanakan untuk menculik dan menyembunyikan Putri Sekartaji dan ibu kandungnya.

Suatu hari, Raden Panji datang ke Kerajaan Kediri untuk menikah dengan Dewi Sekartaji.
Namun, Putri Sekartaji sudah menghilang. Mengetahui hal itu Pangeran Panji sangat kecewa.
Namun, Ibu tiri Putri Sekartaji membujuknya untuk tetap melangsungkan pernikahan tersebut.
Putri Sekartaji di gantikan dengan Putri kandungnya Intan Sari. Namun, Pangeran langsung
menolak usulan tersebut.

Karena sangat kecewa, Pangeran Panji memutuskan untuk mencari Putri Sekar dan Ibunya. Ia
akhirnya mengganti namanya menjadi Ande-ande Lumut. Suatu hari, ia menolong seorang
Nenek yang sedang kesusahan yang bernama Mbok Randa. Akhirnya, mbok Randa
mengangkatnya sebagai anak angkat dan tinggal dirumah Mbok Randa

Suatu hari, Ande-ande Lumut meminta ibu angkatnya untuk mengumumkan bahwa ia sedang
mencari calon istri. Banyak gadis-gadis desa di sekitar desa Dadapan untuk bertemu dan
melamar Ande-ande Lumut. Namun, tidak seorangpun yang ia terima untuk di jadikan istrinya.

Sementara, Putri Sekar dan ibunya Candrawulan berhasil membebaskan diri dari sekapan ibu
tirinya. Mereka pun mengirimkan pesan melalui Burung Merpati untuk di sampai kepada Raja
dari Kerajaan Kediri. Mengetahui bahwa Putri Sekar dan Ibunya mengirimkan surat. Intan Sari
dan Ibunya segera melarikan diri.

Putri Sekar sangat senang dan berniat untuk bertemu dengan Pangeran Panji. Namun, ia pun
kecewa karena Pangeran Panji sudah pergi berkelana. Ia pun memutuskan untuk berkelana juga
untuk mencari Pangeran Panji

Suatu hari, ketika Putri Sekar tiba di rumah seorang janda yang mempunya tiga anak gadis
cantik. Nama ke tiga Janda tersebut adalah, Klenting Merah, Kelentin Biru dan Klenting Ijo.
Akhirnya, Putri Sekar pun mengganti namanya menjadi Klenting Kuning. Mendengar berita
yang bersumber dan desa Dadapan kabar itu menyebutkan jika Mbok Randa mempunyai anak
angkat, seorang pemuda yang sangat tampan wajahnya_ Ande-ande Lumut namanya.
Ketampanan Ande-ande Lumut sangat terkenal menjadi buah bibir dimana-rnana. Banyak gadis
yang datang ke desa Dadapan untuk melamar anak angkat Mbok Randa itu.

Kabar tentang Ande-ande Lumut sedang mencari Istri terdengar oleh ke ke empat gadis cantik
tersebut. Akhirnya, Janda tersebut menyuruh anak-anaknya untuk pergi menemui Ande-Ande
Lumut.

Suatu hari, mereka segera berangkat. Namun, mereka hanya pergi bertiga karena Klenting
Kuning mempunyai pekerjaan rumah yang belum selesai. Mereka bertiga saling mendahului agar
terpilih oleh Ande-ande Lumut. Namun, di tengah perjalanan mereka sangat kebingungan karena
harus menyebrang sungai. Di tengah kebingungan tersebut. Tiba-tiba, muncullah. Pemuda
bernama Yuyu Kakang. Ia menawarkan untuk mengantarkan mereka menyebrang. Tapi, Yuyu
Kakang mengajukan satu syarat. ‘’ Jika sudah menyebrangkan kalian, maka perbolehkan aku
untuk mencium kalian bertiga’’ pada awalnya mereka menolak. Namun, karena itu jalan satu-
satunya mereka pun terpaksa menyetujui persyaratan tersebut.

Sesampainya di rumah mbok Randa, mereka langsung memperkenalkan diri satu persatu.
Melihat kedatangn ketiga gadis cantik tersebut, ia segera memanggil Ande-ande Lumut. Namun,
ia langsung menolak ketiga gadis tersebut.

Sementara itu, setelah menyelesaikan pekerjaannya Kleting Kuning. Kleting Kuning pun juga
berniat datang ke desa Dadapan Untuk bertemu dengan Ande-ande Lumut. Keinginan itu
disarnpaikannya kepada ibu angkatnya. Kleting Kuning berangkat menyusul ketiga Kleting
lainnya. Tibalah ia di tepi sungai. Ia pun merasa kebingungan untuk menyebrang. Namun, lagi-
lagi Yuyu Kangkang datang menawarkan bantuannya. Sama seperti ketiga Klenting setelah di
sebrangkan Klenting Kuning harus bersedia untuk di cium. Klenring Kuning pun segera naik ke
punggung Yuyu Kangkang.

Setelah mereka tiba di seberang, Kleting Kuning langsung membuka kotoran ayam yang
dibungkus daun pisang. Ia mengoleskannya pada kedua pipinya. Yuyu Kangkang kemudian
menagih janji. Kleting Kuning segera memasang pipinya yang diolesi kotoran ayam. Yuyu
Kakang pun marah dan menyuruhnya segera pergi.

Ande-ande Lumut menolak ke tiga Klenting karena telah di cium oleh Yuyu Kangkang. Tiba-
tiba, Ande-ande Lumut sangat terkejut ketika melihat kedatangan Klenting Kuning. Mbok Randa
sangat heran melihat sikap anak angkatnya. Banyak gadis-gadis cantik yang datang untuk
melamarnya. Namun, ia tolak dengan berbagai alasan. Tapi, melihat Klenting Kuning yang
berpakaian sangat kumal dan badannya yang sangat bau malah di sambut dengan wajah bahagia
dan berseri-seri.

Akhirnya, Mbok Randa pun terdiam. Ia mengikuti Ande-Ande Lumut menemui gadis itu.
Sementar, Kleting Kuning terkejut sekali melihat Ande-Ande Lumut adalah tunangannya, Raden
Panji Asmarabangun.

Akhirnya, di depan semua orang, Klenting Kuning langsung mengubah diri menjadi Putri
Sekartaji. Semua orang sangat terkejut melihat sosoknya yang sangat cantik. Ketiga kakak
angkatnya pun sangat terkejut ketika mengetahui jika sosok yang selama itu mereka perlakukan
dengan tidak baik itu ternyata Putri Sekartaji.

Tak lama kemudian, mereka di kejutkan oleh Ande-ande Lumut yang membuka dirinya. Ia tidak
lain adalah Pangeran Raden Panji. Kedua sejoli tersebut sangat bahagia karena dapat bertemu
kembali. Akhirnya, Raden Panji langsung membawa Putri Sekar dan ibu angkatnya Mbok Randa
ke Kerajaan Jenggala. Mereka pun segera melangsungkan pernikahan.

Akhirnya Kerajaan Kediri dan Kerajaan Jenggala dapat bersatu kembali


Kisah Malin Kundang, Si Anak Durhaka

Pada zaman dahulu di sebuah perkampungan nelayan Pantai Air Manis di daerah Padang,
Sumatera Barat hiduplah seorang janda bernama Mande Rubayah bersama seorang anak laki-
lakinya yang bernama Malin Kundang. Mande Rubayah amat menyayangi dan memanjakan
Malin Kundang. Malin adalah seorang anak yang rajin dan penurut.

Mande Rubayah sudah tua, ia hanya mampu bekerja sebagai penjual kue untuk mencupi
kebutuhan ia dan anak tunggalnya. Suatu hari, Malin jatuh-sakit. Sakit yang amat keras,
nyawanya hampir melayang namun akhirnya ia dapat diseiamatkan-berkat usaha keras ibunya.
Setelah sembuh dari sakitnya ia semakin disayang. Mereka adalah ibu dan anak yang saling
menyayangi. Kini, Malin sudah dewasa ia meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau ke
kota, karena saat itu sedang ada kapal besar merapat di Pantai Air Manis.

“Jangan Malin, ibu takut terjadi sesuatu denganmu di tanah rantau sana. Menetaplah saja di sini,
temani ibu,” ucap ibunya sedih setelah mendengar keinginan Malin yang ingin merantau.

“Ibu tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa denganku,” kata Malin sambil menggenggam tangan
ibunya. “Ini kesempatan Bu, kerena belum tentu setahun sekali ada kapal besar merapat di pantai
ini. Aku ingin mengubah nasib kita Bu, izinkanlah” pinta Malin memohon.

“Baiklah, ibu izinkan. Cepatlah kembali, ibu akan selalu menunggumu Nak,” kata ibunya sambil
menangis. Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengizinkan anaknya pergi.
Kemudian Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus, “Untuk
bekalmu di perjalanan,” katanya sambil menyerahkannya pada Malin. Setelah itu berangkatiah
Malin Kundang ke tanah rantau meninggalkan ibunya sendirian.

Hari-hari terus berlalu, hari yang terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore
Mande Rubayah memandang ke laut, “Sudah sampai manakah kamu berlayar Nak?” tanyanya
dalam hati sambil terus memandang laut. la selalu mendo’akan anaknya agar selalu selamat dan
cepat kembali.

Beberapa waktu kemudian jika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar
tentang anaknya. “Apakah kalian melihat anakku, Malin? Apakah dia baik-baik saja? Kapan ia
pulang?” tanyanya. Namun setiap ia bertanya pada awak kapal atau nahkoda tidak pernah
mendapatkan jawaban. Malin tidak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya.

Bertahun-tahun Mande Rubayah terus bertanya namun tak pernah ada jawaban hingga tubuhnya
semakin tua, kini ia jalannya mulai terbungkuk-bungkuk. Pada suatu hari Mande Rubayah
mendapat kabar dari nakhoda dulu membawa Malin, nahkoda itu memberi kabar bahagia pada
Mande Rubayah.

“Mande, tahukah kau, anakmu kini telah menikah dengan gadis cantik, putri seorang bangsawan
yang sangat kaya raya,” ucapnya saat itu.

“Malin cepatlah pulang kemari Nak, ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang…,” rintihnya pilu
setiap malam. Ia yakin anaknya pasti datang. Benar saja tak berapa lama kemudian di suatu hari
yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang megah nan indah berlayar menuju pantai.
Orang kampung berkumpul, mereka mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang
pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira.Mande Rubayah amat gembira mendengar
hal itu, ia selalu berdoa agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya, sinar keceriaan
mulai mengampirinya kembali. Namun hingga berbulan-bulan semenjak ia menerima kabar
Malin dari nahkoda itu, Malin tak kunjung kembali untuk menengoknya.

Ketika kapal itu mulai merapat, terlihat sepasang anak muda berdiri di anjungan. Pakaian mereka
berkiiauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum karena bahagia disambut
dengan meriah. Mande Rubayah juga ikut berdesakan mendekati kapal. Jantungnya berdebar
keras saat melihat lelaki muda yang berada di kapal itu, ia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda
itu adalah anaknya, Malin Kundang. Belum sempat para sesepuh kampung menyambut, Ibu
Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. la langsung memeluknya erat, ia takut kehilangan
anaknya lagi.

“Malin, anakku. Kau benar anakku kan?” katanya menahan isak tangis karena gembira,
“Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”

Malin terkejut karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang—camping itu. Ia tak
percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Sebelum dia sempat berpikir berbicara, istrinya yang
cantik itu meludah sambil berkata, “Wanita jelek inikah ibumu? Mengapa dahulu kau bohong
padaku!” ucapnya sinis, “Bukankah dulu kau katakan bahwa ibumu adalah seorang bangsawan
yang sederajat denganku?!”

Mendengar kata-kata pedas istrinya, Malin Kundang langsung mendorong ibunya hingga
terguling ke pasir, “Wanita gila! Aku bukan anakmu!” ucapnya kasar.

Mande Rubayah tidak percaya akan perilaku anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata, “Malin,
Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak! Mengapa kau jadi seperti ini Nak?!” Malin Kundang tidak
memperdulikan perkataan ibunya. Dia tidak akan mengakui ibunya. la malu kepada istrinya.
Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata,
“Hai, wanita gila! lbuku tidak seperti engkau! Melarat dan kotor!” Wanita tua itu terkapar di
pasir, menangis, dan sakit hati.

Orang-orang yang meilhatnya ikut terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing.
Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, Pantai Air Manis sudah sepi.
Dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Ia tak menyangka Malin yang dulu disayangi tega
berbuat demikian. Hatinya perih dan sakit, lalu tangannya ditengadahkannya ke langit. Ia
kemudian berdoa dengan hatinya yang pilu, “Ya, Tuhan, kalau memang dia bukan anakku, aku
maafhan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku yang bernama Malin
Kundang, aku mohon keadilanmu, Ya Tuhan!” ucapnya pilu sambil menangis. Tak lama
kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah menjadi gelap. Hujan tiba-
tiba turun dengan teramat lebatnya. Tiba-tiba datanglah badai besar, menghantam kapal Malin
Kundang. Laiu sambaran petir yang menggelegar. Saat itu juga kapal hancur berkeping- keping.
Kemudian terbawa ombak hingga ke pantai.

Esoknya saat matahari pagi muncul di ufuk timur, badai telah reda. Di kaki bukit terlihat
kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang! Tampak sebongkah batu
yang menyerupai tubuh manusia. Itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk
ibunya menjadi batu karena telah durhaka. Disela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan
belanak, dan ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus
mencari Malin Kundang.

Sampai sekarang jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal dan manusia itu,
terdengar bunyi seperti lolongan jeritan manusia, terkadang bunyinya seperti orang meratap
menyesali diri, “Ampun, Bu…! Ampuun!” konon itulah suara si Malin Kundang, anak yang
durhaka pada ibunya.
Asal mula Ikan Duyung

Dahulu kala, hiduplah pasangan suami istri dengan tiga anak yang masih kecil, pagi itu mereka
makan nasi dengan ikan. Masing-masing beroleh bagiannya. Ikan yang dihidangkan rupanya
tidak habis dimakan, sang suami berpesan kepada istrinya sebelum berangkat ke kebun" istriku,
tolong siapkan ikan yang tersisa tadi untuk makan nanti sore".

" baik pak, jawab si istri" dan pada siang harinya, istri dan ketiga anaknya makan siang bersama.
Tiba-tiba bungsu menangis, dia inginkan yang disimpan di lemari. Dengan sabar, ia mencoba
memberi pengertian kepada anak bungsunya." nak, ikan yang di lemari itu untuk makan Ayah
nanti sore".

" baik pak, jawab si istri" dan pada siang harinya, istri dan ketiga anaknya makan siang bersama.
Tiba-tiba bungsu menangis, dia inginkan yang disimpan di lemari. Dengan sabar, ia mencoba
memberi pengertian kepada anak bungsunya." nak, ikan yang di lemari itu untuk makan Ayah
nanti sore".

Entah apa yang terjadi, si bungsu malah menangis sekeras-kerasnya. Akhirnya, sisa ikan itu
diberikan kepada anaknya yang paling bungsu. Seketika itu juga, rani si bungsu tak terdengar
lagi.
Setelah seharian si Ayah begitu selesai bekerja tampak ya begitu lapar dan lelahnya. Di benak
nya, iya terbayang makan sore dengan ikan. Dengan cekatan, si Ibu menghidangkan makanan.

Namun sang ayah tidak melihat sisa ikan tadi pagi. Raut mukanya langsung berubah masam.
" istriku, mana sisa ikan tadi pagi?" tanya si Ayah kepada istrinya.
" maaf suamiku, ketika makan siang si bungsu menangis, ingin makan dengan ikan." jawab si
istri.

Akan tetapi bukannya mengerti dengan watak anak bungsunya, sang suami malah terlihat begitu
marah. Saat itu juga, istrinya dipaksa mencari ikan di laut.
" kau tidak boleh pulang ke rumah sampai mendapat ikan yang banyak, sebagai pengganti ikan
yang dimakan si bungsu" marah suami kepada istrinya tanpa belas kasihan. Sang istri pun pergi
dengan rasa sedih dan sakit hati kepada suaminya. Itu berat meninggalkan ketiga anaknya,
khususnya si bungsu yang masih menyusui.

Sudah lama Si Buta kembali ke rumah. Ketiga anaknya yang masih kecil itu begitu merindukan
ibunya. Mereka mencari ibunya ke pinggir laut, terus saja mereka memanggil-manggil ibunya.

Proses pencarian ibunya hampir mustahil, karena tidak seorang pun ada di situ. Sungguh ajaib, si
Ibu tiba-tiba mu laut. Dihampirinya si bungsu dan segera disusuinya. Sang Ibu berpesan kepada
ketiga anaknya agar mereka kembali ke rumah. Kata sang ibu, ia tidak lama lagi akan pulang.
Ketiga anaknya pun mematuhi perintah sang Ibu dan segera pulang. Semalaman mereka
menunggu sang ibu. Namun, sang ibu yang dirindu rindukan oleh anaknya tak juga kunjung
datang.

Kecemasan terhadap nasib sang ibu, akhirnya keesokan harinya Mereka pun kembali ke laut.
" ibu, pulanglah ke rumah..! Si bungsu ingin menyusui ujar si sulung ketika tiba di pinggir laut.
Tak lama, ibu mereka pun muncul dari laut. Lalu, ibu menyusui si bungsu. Barulah kelihatan ada
sesuatu yang berubah dengan tubuh sang ibu. Ada sisik di sekujur tubuhnya. Rasa suka cita sirna,
berganti dengan rasa ragu dan takut.
" sini bungsu, gua kan menyusuimu," bujuk si Ibu
" tidak! Kau bukan Ibuku...!" tukas si bungsu
" aku adalah ibu kalian anak-anakku"
" bukan...! Kau bukan ibu kami! Jawab si sulung sambil menarik adik-adiknya meninggalkan
tepi laut. Mereka pun terus menyusuri pantai tanpa tujuan yang jelas. Tiap kali mereka
memanggil si Ibu, tiap itu pula muncul si ibu dengan tubuhnya yang disesaki sisik ikan.
Akhirnya, ibu itu menjadi ikan duyung, separuh tubuhnya berwujud manusia dan separuhnya lagi
berwujud ikan.
Asal Usul Kota Banyuwangi

Pada zaman dahulu di kawasan ujung timur Propinsi Jawa Timur terdapat sebuah
kerajaan besar yang diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijaksana. Raja
tersebut mempunyai seorang putra yang gagah bernama Raden Banterang.
Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. “Pagi hari ini aku akan berburu ke hutan.
Siapkan alat berburu,” kata Raden Banterang kepada para abdinya. Setelah peralatan
berburu siap, Raden Banterang disertai beberapa pengiringnya berangkat ke hutan.
Ketika Raden Banterang berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di
depannya. Ia segera mengejar kijang itu hingga masuk jauh ke hutan. Ia terpisah
dengan para pengiringnya.

“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang, ketika kehilangan jejak
buruannya. “Akan ku cari terus sampai dapat,” tekadnya. Raden Banterang menerobos
semak belukar dan pepohonan hutan. Namun, binatang buruan itu tidak ditemukan. Ia
tiba di sebuah sungai yang sangat bening airnya. “Hem, segar nian air sungai ini,”
Raden Banterang minum air sungai itu, sampai merasa hilang dahaganya. Setelah itu,
ia meninggalkan sungai. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba dikejutkan
kedatangan seorang gadis cantik jelita.

“Ha? Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia seorang manusia? Jangan-jangan setan
penunggu hutan,” gumam Raden Banterang bertanya-tanya. Raden Banterang
memberanikan diri mendekati gadis cantik itu. “Kau manusia atau penunggu hutan?”
sapa Raden Banterang. “Saya manusia,” jawab gadis itu sambil tersenyum. Raden
Banterang pun memperkenalkan dirinya. Gadis cantik itu menyambutnya. “Nama saya
Surati berasal dari kerajaan Klungkung”. “Saya berada di tempat ini karena
menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah saya telah gugur dalam
mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar ucapan gadis itu, Raden
Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung itu,
Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulang ke istana. Tak lama
kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia.

Pada suatu hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar istana. “Surati!
Surati!”, panggil seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping. Setelah
mengamati wajah lelaki itu, ia baru sadar bahwa yang berada di depannya adalah
kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk
mengajak adiknya untuk membalas dendam, karena Raden Banterang telah
membunuh ayahandanya. Surati menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden
Banterang karena telah berhutang budi. Dengan begitu, Surati tidak mau membantu
ajakan kakak kandungnya. Rupaksa marah mendengar jawaban adiknya. Namun, ia
sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati. “Ikat kepala
ini harus kau simpan di bawah tempat tidurmu,” pesan Rupaksa.

Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden Banterang,
dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di hutan. Tatkala Raden Banterang
berada di tengah hutan, tiba-tiba pandangan matanya dikejutkan oleh kedatangan
seorang lelaki berpakaian compang-camping. “Tuangku, Raden Banterang.
Keselamatan Tuan terancam bahaya yang direncanakan oleh istri tuan sendiri,” kata
lelaki itu. “Tuan bisa melihat buktinya, dengan melihat sebuah ikat kepala yang
diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat kepala itu milik lelaki yang dimintai tolong
untuk membunuh Tuan,” jelasnya. Setelah mengucapkan kata-kata itu, lelaki
berpakaian compang-camping itu hilang secara misterius. Terkejutlah Raden Banterang
mendengar laporan lelaki misterius itu. Ia pun segera pulang ke istana. Setelah tiba di
istana, Raden Banterang langsung menuju ke peraaduan istrinya. Dicarinya ikat kepala
yang telah diceritakan oleh lelaki berpakaian compang-camping yang telah menemui di
hutan. “Ha! Benar kata lelaki itu! Ikat kepala ini sebagai bukti! Kau merencanakan mau
membunuhku dengan minta tolong kepada pemilik ikat kepala ini!” tuduh Raden
Banterang kepada istrinya. “ Begitukah balasanmu padaku?” tandas Raden
Banterang.”Jangan asal tuduh. Adinda sama sekali tidak bermaksud membunuh
Kakanda, apalagi minta tolong kepada seorang lelaki!” jawab Surati. Namun Raden
Banterang tetap pada pendiriannya, bahwa istrinya yang pernah ditolong itu akan
membahayakan hidupnya. Nah, sebelum nyawanya terancam, Raden Banterang lebih
dahulu ingin mencelakakan istrinya.

Raden Banterang berniat menenggelamkan istrinya di sebuah sungai. Setelah tiba di


sungai, Raden Banterang menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki
compang-camping ketika berburu di hutan. Sang istri pun menceritakan tentang
pertemuan dengan seorang lelaki berpakaian compang-camping seperti yang
dijelaskan suaminya. “Lelaki itu adalah kakak kandung Adinda. Dialah yang memberi
sebuah ikat kepala kepada Adinda,” Surati menjelaskan kembali, agar Raden
Banterang luluh hatinya. Namun, Raden Banterang tetap percaya bahwa istrinya akan
mencelakakan dirinya. “Kakanda suamiku! Bukalah hati dan perasaan Kakanda! Adinda
rela mati demi keselamatan Kakanda. Tetapi berilah kesempatan kepada Adinda untuk
menceritakan perihal pertemuan Adinda dengan kakak kandung Adinda bernama
Rupaksa,” ucap Surati mengingatkan.

“Kakak Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda diminati bantuan, tetapi
Adinda tolah!”. Mendengar hal tersebut , hati Raden Banterang tidak cair bahkan
menganggap istrinya berbohong.. “Kakanda ! Jika air sungai ini menjadi bening dan
harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk,
berarti Adinda bersalah!” seru Surati. Raden Banterang menganggap ucapan istrinya itu
mengada-ada. Maka, Raden Banterang segera menghunus keris yang terselip di
pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu menghilang.

Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau nan harum merebak di sekitar
sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara gemetar. “Istriku
tidak berdosa! Air kali ini harum baunya!” Betapa menyesalnya Raden Banterang. Ia
meratapi kematian istrinya, dan menyesali kebodohannya. Namun sudah terlambat.

Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa Jawa disebut Banyuwangi.
Banyu artinya air dan wangi artinya harum. Nama Banyuwangi kemudian menjadi nama
kota Banyuwangi.
Asal-Usul Kota Surabaya

Dahulu kala, di lautan nan luas (tepatnya di Laut Jawa), hiduplah 2 hewan buas yang sama-sama
angkuh dan tak mau kalah. Kedua hewan tersebut adalah ikan hiu sura dan seekor buaya. Karena
tinggal berdampingan, dua hewan tersebut sering berselisih dan berkelahi ketika memperebutkan
makanan. Karena sama-sama kuat, tangkas, ganas, dan sama-sama cerdik, perkelahianpun terus
berlangsung karena tidak ada yang bisa menang dan tidak ada yang bisa kalah. Pada akhirnya,
kedua hewan tersebut merasa bosan dan lelah jika harus terus berkelahi. Menyadari hal itu
keduanya kemudian sepakat mengadakan perjanjian tentang pembagian area kekuasaan.

"Hai Buaya, lama-lama aku bosan berkelahi denganmu." kata ikan hiu Sura. "Hmm, Aku juga,
Sura. Lalu, apa yang mesti kita lakukan supaya perkelahian kita ini bisa berhenti?" tanya
BuayaUntuk mencegah terjadinya perkelahian lagi di antara kita, alangkah baiknya jika kita
membagi daerah ini menjadi 2 daerah kekuasaan. Aku berkuasa di dalam air dan hanya bisa
mencari mangsa di dalam air, sedang engkau barkuasa di daratan dan dengan begitu mangsamu
harus pula yang ada di daratan. Lalu, sebagai batasnya, kita tentukan lebih dulu yaitu tanah
yang dapat dicapai air laut pada saat pasang surut!"
"Oke, aku setujui dengan gagasanmu itu, Sura!" kata Buaya sambil mengangguk.

Dengan adanya perjanjian tersebut, untuk beberapa saat ikan hiu Sura dan buaya tak pernah
berkelahi lagi. Keduanya sepakat untuk saling menghormati wilayah kekuasaannya masing-
masing. Namun, setelah waktu berselang begitu lama, ikan-ikan yang menjadi mangsa hiu sura
mulai habis dilautan. Sebagian ikan yang tersisa justru bermigrasi ke arah muara sungai Brantas
karena takut dimangsa si hiu Sura. Menyadari hal itu, ikan hiu sura terpaksa dengan sembunyi-
sembunyi mulai mencari mangsanya di muara sungai agar tidak ketahuan oleh buaya. Namun
tanpa disadari si buaya ternyata mengetahui tingkah si hiu sura dan langsung menyerangnya.
Sura, kenapa kau melanggar perjanjian yang sudah kita berdua sepakati? Kenapa kamu berani-
beraninya memasuki wilayah sungai yang adalah daerah kekuasaanku?" tanya si Buaya.
"Eits... Aku melanggar perjanjian? Ingatkah engkau akan bunyi perjanjian kita? Bukankah
sungai ini berair? Dan karena ada airnya, jadi sungai ini juga termasuk daerah kekuasaanku,
bukan?" Kata Sura mengelak.
"Apa maksudmu Sura? Bukankah sungai itu berada di darat, sedang daerah kekuasaanmu ada
di laut, berarti sungai itu termasuk daerah kekuasaanku!" jawab Buaya ngotot.
"Ohh... Tidak bisa. Bukankah aku tidak pernah sekalipun mengatakan kalau air itu hanya air
laut? Bukankah pula air sungai itu ait" jawab Hiu Sura.
"Hmm... Rupanya sengaja kau mencari gara-gara denganku, Sura?" hentak Buaya.
"Tidak!! Ku kira alasanku sudah cukup kuat dan aku ada dipihak yang benar!" elak Sura.
"Kau memang benar-benar sengaja mengakaliku Sura. Aku tidaklah sebodoh yang engkau kira!"
jawab Buaya mulai marah.
"Aku tak peduli kau pintar atau bodoh, yang jelas sungai dan laut merupakan daerah
kekuasaanku!" serang Sura tak mau mengalah.

Adu mulut antara Sura dan Baya pun berakhir dengan perkelahian yang sengit. Perkelahian kali
ini menjadi sangat seru dan dahsyat karena keduanya merasa sama-sama tidak salah. Mereka
saling menggigit, menerjang, memukul, dan menerkam. Dan dalam waktu sekejap, air sungai
disekitarnya tempat perkelahian itu menjadi merah karena darah yang keluar dari luka kedua
binatang itu. Mereka bertarung dengan mati-matian. Buaya mendapat gigitan Sura di ujung ekor
sebelah kanan, sehingga ekor tersebut selalu membengkok ke kiri. Sedangkan Sura tergigit
ekornya hingga nyaris putus. Karena sama-sama sudah terluka parah, keduanya kemudian
berhenti berkelahi. Ikan surapun mengalah dan akhirnya kembali ke laut. Buaya yang menahan
sakitnya pun merasa puas karena telah mampu mempertahankan daerah kekuasaannya.
cerita rakyat asal usul Surabaya
Tak berselang lama diketahui bahwa kedua hewan tersebut ternyata mati karena luka yang cukup
parah dari bekas perkelahian. Dan untuk mengenangnya, penduduk sekitar menyatakan untuk
memberi nama Surabaya pada daerah disekitar tempat perkelahian antara ikan Sura dan Buaya
tersebut.
Cerita Rakyat Jaka Tarub
Pada zaman dahulu kala, di sebuah desa tinggallah seorang Janda bernama Mbok Randa. Ia
tinggal seorang diri karena suaminya sudah lama meninggal dunia. Suatu hari, ia mengangkat
seorang anak Laki-laki menjadi anaknya. Anak angkatnya diberi nama Jaka Tarub. Jaka Tarub
pun tumbuh beranjak dewasa.

Jaka Tarub menjadi pemuda yang sangat tampan, gagah, dan baik hati. Ia juga memiliki
kesaktian. Setiap hari, ia selalu membantu ibunya di sawah. Karena memiliki wajah yang sangat
tampan banyak gadis-gadis cantik yang ingin menjadi istrinya. Namun, ia belum ingin menikah.

Setiap hari ibunya menyuruh Jaka Tarub untuk segera menikah. Namun, lagi-lagi ia menolak
permintaan ibunya. Suatu hari Mbok Randa jatuh sakit dan menghembuskan nafas terakhirnya.
Jaka Tarub sangat sedih.

Sejak kematian Mbok Randha, Jaka Tarub sering melamun. Kini sawah ladangnya terbengkalai.

“Sia-sia aku bekerja. Untuk siapa hasilnya?” demikian gumam Jaka Tarub.

Suatu malam, Jaka Tarub bermimpi memakan Daging Rusa. Pada saat ia terbangun dari tidurnya,
ia pun langsung pergi ke hutan. Dari pagi sampai siang hari ia berjalan. Namun, ia sama sekali
tidak menjumpai Rusa. Jangankan Rusa, Kancil pun tidak ada.

Suatu ketika, ia melewati telaga itu dan secara tidak sengaja ia melihat para bidadari sedang
mandi disana. Di telaga tampak tujuh perempuan cantik tengah bermain-main air, bercanda, ber-
suka ria. Jaka Tarub sangat terkejut melihat kecantikan mereka.

Karena jaka Tarub merasa terpikat oleh tujuh bidadari itu, akhirnya ia mengambil salah satu
selendangnya. Setelahnya para bidadari beres mandi, merekapun berdandan dan siap-siap untuk
kembali ke kahyangan.

Mereka kembali mengenakan selendangnya masing-masing. Namun salah satu bidadari itu tidak
menemukan selendangnya. Keenam kakaknya turut membantu mencari, namun hingga senja tak
ditemukan juga. Karena hari sudah mulai senja, Nawangwulan di tinggalkan seorang diri.
Kakak-kakanya kembali ke Khayangan. Ia merasa sangat sedih.

Tidak lama kemudian Jaka Tarub datang menghampiri dan berpura-pura menolong sang
Bidadari itu. Di ajaknya bidadari yang ternyata bernama Nawang Wulan itu pulang ke rumahnya.
Kehadiran Nawang Wulan membuat Jaka Tarub kembali bersemangat.

Singkat cerita, merekapun akhirnya menikah. Keduanya hidup dengan Bahagia. mereka pun
memiliki seorang putri cantik bernama Nawangsih. Sebelum mereka menikah, Nawang wulan
mengingatkan kepada Jaka Tarub untuk tidak menanyakan kebiasan yang akan dilakukannya
nanti setelahnya ia menjadi istri.

Rahasianya Nawang Wulan yaitu, Ia memasak nasi selalu menggunakan satu butir beras, dengan
sebutir beras itu ia dapat menghasilkan nasi yang banyak. Setelah mereka menikah Jaka Tarub
sangat penasaran. Namun, dia tidak bertanya langsung kepada Nawang wulan melainkan ia
langsung membuka dan melihat panci yang suka dijadikan istrinya itu memasak nasi. Ia melihat
Setangkai padi masih tergolek di dalamnya, ia pun segera menutupnya kembali. Akibat rasa
penasaran Jaka Tarub. Nawang Wulan kehilangan kekuatannya. Sejak saat itu, Nawang Wulan
harus menumbuk dan menampi beras untuk dimasak, seperti wanita umumnya.

Karena tumpukan padinya terus berkurang, suatu waktu, Nawangwulan tanpa sengaja
menemukan selendang bidadarinya terselip di antara tumpukan padi. ternyata selendang tersebut
ada di lumbung gabah yang di sembunyikan oleh suaminya.
Nawang wulan pun merasa sangat marah ketika suaminyalah yang mencuri selendangnya.
Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke kahyangan. Jaka Tarub pun meminta maaf dan
memohon kepada istrinya agar tidak pergi lagi ke kahyanngan, Namun Nawangwulan sudah
bulat tekadnya, hingga akhirnya ia pergi ke kahyangan. Namun ia tetap sesekali turun ke bumi
untuk menyusui bayinya. Namun, dengan satu syarat, jaka tarub tidak boleh bersama Nawangsih
ketika Nawang wulan menemuinya. Biarkan ia seorang diri di dekat telaga.

Jaka Tarub menahan kesedihannya dengan sangat. Ia ingin terlihat tegar. Setelah Jaka Tarub
menyatakan kesanggupannya untuk tidak bertemu lagi dengan Nawangwulan, sang bidadaripun
terbang meninggalkan dirinya dan Nawangsih. Jaka Tarub hanya sanggup menatap kepergian
Nawangwulan sambil mendekap Nawangsih. Sungguh kesalahannya tidak termaafkan. Tiada hal
lain yang dapat dilakukannya saat ini selain merawat Nawangsih dengan baik
Asal Mula Danau Toba

Di wilayah Sumatera hiduplah seorang petani yang sangat rajin bekerja. Ia hidup sendiri
sebatang kara. Setiap hari ia bekerja menggarap lading dan mencari ikan dengan tidak mengenal
lelah. Hal ini dilakukannya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Pada suatu hari petani tersebut pergi ke sungai di dekat tempat tinggalnya, ia bermaksud mencari
ikan untuk lauknya hari ini. Dengan hanya berbekal sebuah kail, umpan dan tempat ikan, ia pun
langsung menuju ke sungai. Setelah sesampainya di sungai, petani tersebut langsung
melemparkan kailnya. Sambil menunggu kailnya dimakan ikan, petani tersebut berdoa,“Ya
Alloh, semoga aku dapat ikan banyak hari ini”. Beberapa saat setelah berdoa, kail yang
dilemparkannya tadi nampak bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani tersebut
sangat senang sekali, karena ikan yang didapatkannya sangat besar dan cantik sekali.

Setelah beberapa saat memandangi ikan hasil tangkapannya, petani itu sangat terkejut. Ternyata
ikan yang ditangkapnya itu bisa berbicara. “Tolong aku jangan dimakan Pak!! Biarkan aku
hidup”, teriak ikan itu. Tanpa banyak Tanya, ikan tangkapannya itu langsung dikembalikan ke
dalam air lagi. Setelah mengembalikan ikan ke dalam air, petani itu bertambah terkejut, karena
tiba-tiba ikan tersebut berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik.

“Jangan takut Pak, aku tidak akan menyakiti kamu”, kata si ikan. “Siapakah kamu ini? Bukankah
kamu seekor ikan?, Tanya petani itu. “Aku adalah seorang putri yang dikutuk, karena melanggar
aturan kerajaan”, jawab wanita itu. “Terimakasih engkau sudah membebaskan aku dari kutukan
itu, dan sebagai imbalannya aku bersedia kau jadikan istri”, kata wanita itu. Petani itupun setuju.
Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu
mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar
maka akan terjadi petaka dahsyat.

Setelah beberapa lama mereka menikah, akhirnya kebahagiaan Petani dan istrinya bertambah,
karena istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Anak mereka tumbuh menjadi anak yang
sangat tampan dan kuat, tetapi ada kebiasaan yang membuat heran semua orang. Anak tersebut
selalu merasa lapar, dan tidak pernah merasa kenyang. Semua jatah makanan dilahapnya tanpa
sisa.

Hingga suatu hari anak petani tersebut mendapat tugas dari ibunya untuk mengantarkan makanan
dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi tugasnya tidak dipenuhinya.
Semua makanan yang seharusnya untuk ayahnya dilahap habis, dan setelah itu dia tertidur di
sebuah gubug. Pak tani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Karena
tidak tahan menahan lapar, maka ia langsung pulang ke rumah. Di tengah perjalanan pulang, pak
tani melihat anaknya sedang tidur di gubug. Petani tersebut langsung membangunkannya. “Hey,
bangun!, teriak petani itu.

Setelah anaknya terbangun, petani itu langsung menanyakan makanannya. “Mana makanan buat
ayah?”, Tanya petani. “Sudah habis kumakan”, jawab si anak. Dengan nada tinggi petani itu
langsung memarahi anaknya. “Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri! Dasar anak ikan!,” umpat
si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan dari istrinya.

Setelah petani mengucapkan kata-kata tersebut, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap
tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras.
Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk
sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba.
Asal Mula Salatiga

Dulu, kabupaten Semarang termasuk wilayah kesultanan Demak. Daerah ini diperintah oleh
seorang Bupati bernama Ki Ageng Pandanaran. Beliau seorang Bupati yang ditaati rakyat. Selain
berwibawa, beliau juga kaya raya.

Akan tetapi, lama kelamaan beliau makin memperkaya diri sendiri. Beliau tidak lagi
mempedulikan rakyatnya. Sunan Kalijaga penasehat Sultan Demak, bermaksud mengingatkan
sang Bupati. Dengan berpakaian compang-camping, beliau menyamar sebagai pedagang rumput.
Beliau menawarkan rumput kepada Ki Ageng. Ki Ageng mau membeli rumput itu dengan harga
murah. Sunan Kalijaga tidak mau memberikannya.

Akhirnya, Ki Ageng marah dan mengusir Sunan Kalijaga. Sebelum pergi, Sunan Kalijaga
berkata bahwa dia dapat menunjukkan cara memperoleh kekayaan dengan mudah. Sunan
Kalijaga kemudian meminjam cangkul. Sunan Kalijaga lalu mencangkul tanah di depan
kabupaten. Ki Ageng kaget ketika melihat bongkahan emas sebesar kepala kerbau di balik tanah
yang di cangkul Sunan Kalijaga. Ki Ageng lalu memerhatikan pedagang rumput itu dengan
seksama. Setelah tahu siapa sebenarnya, ia pun terkejut. Kemudian, ia minta maaf. Ia pun
bersedia dihukum karena kesalahannya. Sunan Kalijaga memaafkan Ki Ageng. Sunan Kalijaga
berpesan agar Ki Ageng kembali memerintah dengan cara yang benar.

Sejak kejadian itu, hidup Ki Ageng menjadi gelisah. Beliau lalu memutuskan untuk menebus
kesalahannya. Beliau meninggalkan jabatan Bupati. Beliau ingin mengikuti jejak Sunan Kalijaga
menjadi penyiar agama. Beliau pun berniat pergi ke gunung Jabaikat. Beliau akan mendirikan
pesantren disana. Nyai Ageng ingin ikut bersama Ki Ageng. Ki Ageng memperbolehkan Nyai
Ageng ikut, tetapi dengan syarat, Nyai Ageng tidak boleh membawa harta benda.

Pada waktu yang ditentukan, Nyai Ageng belum siap. Beliau masih sibuk. Nyai Ageng ternyata
mengatur perhiasan yang akan dibawanya dalam tongkat bambu. Ki Ageng lalu berangkat
duluan. Setelah siap, Nyai Ageng lalu menyusul. Ditengah jalan, Nyai Ageng dihadang tiga
perampok yang meminta hartanya. Akhirnya semua perhiasan yang dibawa diberikannya kepada
perampok.

Nyai Ageng menyusul Ki Ageng. Setelah bertemu, Nyai Ageng menceritakan peristiwa yang
dialaminya. Ki Ageng berkata bahwa kelak, tempat Nyai Ageng dirampok akan dinamakan
“Salatiga”, berasal dari kata salah dan tiga, yaitu tiga orang yang bersalah.
Cindelaras

Kerajaan Jenggala dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raden Putra. Ia didampingi oleh
seorang permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang memiliki sifat iri dan dengki. Raja
Putra dan kedua istrinya tadi hidup di dalam istana yang sangat megah dan damai. Hingga suatu
hari selir raja merencanakan sesuatu yang buruk pada permaisuri raja. Hal tersebut dilakukan
karena selir Raden Putra ingin menjadi permaisuri.

Selir baginda lalu berkomplot dengan seorang tabib istana untuk melaksanakan rencana tersebut.
Selir baginda berpura-pura sakit parah. Tabib istana lalu segera dipanggil sang Raja. Setelah
memeriksa selir tersebut, sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun
dalam minuman tuan putri. “Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri,” kata sang
tabib. Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan patih
untuk membuang permaisuri ke hutan dan membunuhnya.

Sang Patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke tengah hutan belantara.
Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuh sang permaisuri. Rupanya sang patih sudah
mengetahui niat jahat selir baginda. “Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan
kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh,” kata patih. Untuk mengelabui raja, sang
patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya. Raja merasa puas ketika
sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.

Setelah beberapa bulan berada di hutan, sang permaisuri melahirkan seorang anak laki-laki.
Anak itu diberinya nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan
tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika
sedang asyik bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur ayam. Cindelaras kemudian
mengambil telur itu dan bermaksud menetaskannya. Setelah 3 minggu, telur itu menetas menjadi
seekor anak ayam yang sangat lucu. Cindelaras memelihara anak ayamnya dengan rajin. Kian
hari anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang gagah dan kuat. Tetapi ada satu
yang aneh dari ayam tersebut. Bunyi kokok ayam itu berbeda dengan ayam lainnya.
“Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya
Raden Putra…”, kokok ayam ituCindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya itu dan
segera memperlihatkan pada ibunya. Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa
mereka sampai berada di hutan. Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke
istana dan membeberkan kejahatan selir baginda. Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi
ke istana ditemani oleh ayam jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang
sedang menyabung ayam. Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam. “Ayo,
kalau berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku,” tantangnya. “Baiklah,” jawab Cindelaras.
Ketika diadu, ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam waktu
singkat, ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak
terkalahkan.

Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat hingga sampai ke Istana. Raden
Putra akhirnya pun mendengar berita itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya
untuk mengundang Cindelaras ke istana. “Hamba menghadap paduka,” kata Cindelaras dengan
santun. “Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat jelata,” pikir baginda.
Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras
kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah
kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.
Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras
berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras
dan ayamnya. “Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah kau
sebenarnya, anak muda?” Tanya Baginda Raden Putra. Cindelaras segera membungkuk seperti
membisikkan sesuatu pada ayamnya. Tidak berapa lama ayamnya segera berbunyi.
“Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya
Raden Putra…,” ayam jantan itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra terperanjat mendengar
kokok ayam Cindelaras. “Benarkah itu?” Tanya baginda keheranan. “Benar Baginda, nama
hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda.”

Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa yang
sebenarnya telah terjadi pada permaisuri. “Aku telah melakukan kesalahan,” kata Baginda Raden
Putra. “Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku,” lanjut Baginda dengan
murka. Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera memeluk
anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan hulubalang segera
menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra, permaisuri dan Cindelaras dapat
berkumpul kembali. Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras menggantikan kedudukan
ayahnya. Ia memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana.
Lutung Kasarung

Pada jaman dahulu kala di tatar pasundan ada sebuah kerajaan yang pimpin oleh seorang raja
yang bijaksana, beliau dikenal sebagai Prabu Tapak Agung.

Prabu Tapa Agung mempunyai dua orang putri cantik yaitu Purbararang dan adiknya Purbasari.

Pada saat mendekati akhir hayatnya Prabu Tapak Agung menunjuk Purbasari, putri bungsunya
sebagai pengganti. “Aku sudah terlalu tua, saatnya aku turun tahta,” kata Prabu Tapa.

Purbasari memiliki kakak yang bernama Purbararang. Ia tidak setuju adiknya diangkat
menggantikan Ayah mereka. “Aku putri Sulung, seharusnya ayahanda memilih aku sebagai
penggantinya,” gerutu Purbararang pada tunangannya yang bernama Indrajaya. Kegeramannya
yang sudah memuncak membuatnya mempunyai niat mencelakakan adiknya. Ia menemui
seorang nenek sihir untuk memanterai Purbasari. Nenek sihir itu memanterai Purbasari sehingga
saat itu juga tiba-tiba kulit Purbasari menjadi bertotol-totol hitam. Purbararang jadi punya alasan
untuk mengusir adiknya tersebut. “Orang yang dikutuk seperti dia tidak pantas menjadi seorang
Ratu !” ujar Purbararang.

Kemudian ia menyuruh seorang Patih untuk mengasingkan Purbasari ke hutan. Sesampai di


hutan patih tersebut masih berbaik hati dengan membuatkan sebuah pondok untuk Purbasari. Ia
pun menasehati Purbasari, “Tabahlah Tuan Putri. Cobaan ini pasti akan berakhir, Yang Maha
Kuasa pasti akan selalu bersama Putri”. “Terima kasih paman”, ujar Purbasari.

Selama di hutan ia mempunyai banyak teman yaitu hewan-hewan yang selalu baik kepadanya.
Diantara hewan tersebut ada seekor kera berbulu hitam yang misterius. Tetapi kera tersebut yang
paling perhatian kepada Purbasari. Lutung kasarung selalu menggembirakan Purbasari dengan
mengambilkan bunga –bunga yang indah serta buah-buahan bersama teman-temannya.

Pada saat malam bulan purnama, Lutung Kasarung bersikap aneh. Ia berjalan ke tempat yang
sepi lalu bersemedi. Ia sedang memohon sesuatu kepada Dewata. Ini membuktikan bahwa
Lutung Kasarung bukan makhluk biasa. Tidak lama kemudian, tanah di dekat Lutung merekah
dan terciptalah sebuah telaga kecil, airnya jernih sekali. Airnya mengandung obat yang sangat
harum.

Keesokan harinya Lutung Kasarung menemui Purbasari dan memintanya untuk mandi di telaga
tersebut. “Apa manfaatnya bagiku ?”, pikir Purbasari. Tapi ia mau menurutinya. Tak lama
setelah ia menceburkan dirinya. Sesuatu terjadi pada kulitnya. Kulitnya menjadi bersih seperti
semula dan ia menjadi cantik kembali. Purbasari sangat terkejut dan gembira ketika ia bercermin
ditelaga tersebut.

Di istana, Purbararang memutuskan untuk melihat adiknya di hutan. Ia pergi bersama


tunangannya dan para pengawal. Ketika sampai di hutan, ia akhirnya bertemu dengan adiknya
dan saling berpandangan. Purbararang tak percaya melihat adiknya kembali seperti semula.
Purbararang tidak mau kehilangan muka, ia mengajak Purbasari adu panjang rambut. “Siapa
yang paling panjang rambutnya dialah yang menang !”, kata Purbararang. Awalnya Purbasari
tidak mau, tetapi karena terus didesak ia meladeni kakaknya. Ternyata rambut Purbasari lebih
panjang.

“Baiklah aku kalah, tapi sekarang ayo kita adu tampan tunangan kita, Ini tunanganku”, kata
Purbararang sambil mendekat kepada Indrajaya. Purbasari mulai gelisah dan kebingungan.
Akhirnya ia melirik serta menarik tangan Lutung Kasarung. Lutung Kasarung melonjak-lonjak
seakan-akan menenangkan Purbasari. Purbararang tertawa terbahak-bahak, “Jadi monyet itu
tunanganmu ?”.

Pada saat itu juga Lutung Kasarung segera bersemedi. Tiba-tiba terjadi suatu keajaiban. Lutung
Kasarung berubah menjadi seorang Pemuda gagah berwajah sangat tampan, lebih dari Indrajaya.
Semua terkejut melihat kejadian itu seraya bersorak gembira. Purbararang akhirnya mengakui
kekalahannya dan kesalahannya selama ini. Ia memohon maaf kepada adiknya dan memohon
untuk tidak dihukum. Purbasari yang baik hati memaafkan mereka. Setelah kejadian itu akhirnya
mereka semua kembali ke Istana.

Purbasari menjadi seorang ratu, didampingi oleh seorang pemuda idamannya. Pemuda yang
ternyata selama ini selalu mendampinginya dihutan dalam wujud seekor lutung.
Legenda Batu Menangis

Disebuah bukit yang jauh dari desa, didaerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan
seorang anak gadisnya.
Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai prilaku yang amat buruk.
Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah.
Kerjanya hanya bersolek setiap hari.
Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti.
Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan
ibunya yang miskin, setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.
Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar desa itu
amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis itu berjalan
melenggang dengan memakai pakaian yang bagus dan bersolek agar orang dijalan yang
melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya. Sementara ibunya berjalan dibelakang sambil
membawa keranjang dengan pakaian sangat dekil. Karena mereka hidup ditempat terpencil, tak
seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu dan anak.
Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu
terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya
memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat orang yang berjalan dibelakang gadis itu,
sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.
Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu,
“Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu?”
Namun, apa jawaban anak gadis itu ?
“Bukan,” katanya dengan angkuh. “Ia adalah pembantuku !”
Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekati lagi
seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.
“Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?”
“Bukan, bukan,” jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. ” Ia adalah budakk!”
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan yang menanyakan perihal
ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.
Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat
menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawabannya sama dan yang amat
menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu berdoa.
“Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya
memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah anak durhaka ini ! Hukumlah
dia….”
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi
batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak
gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.
” Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini.
Ibu…Ibu…ampunilah anakmu..” Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada
ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah
menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih
menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang
mendapat kutukan ibunya itu disebut ” Batu Menangis “.
Demikianlah cerita berbentuk legenda ini, yang oleh masyarakat setempat dipercaya bahwa kisah
itu benar-benar pernah terjadi. Barang siapa yang mendurhakai ibu kandung yang telah
melahirkan dan membesarkannya, pasti perbuatan laknatnya itu akan mendapat hukuman dari
Tuhan Yang Maha Kuasa.
Cerita Rakyat Aji Saka
Dahulu kala, ada sebuah kerajaan bernama Medang Kamulan yang diperintah oleh
raja bernama Prabu Dewata Cengkar yang buas dan suka makan manusia. Setiap hari
sang raja memakan seorang manusia yang dibawa oleh Patih Jugul Muda. Sebagian
kecil dari rakyat yang resah dan ketakutan mengungsi secara diam-diam ke daerah
lain.
Di dusun Medang Kawit ada seorang pemuda bernama Aji Saka yang sakti, rajin dan
baik hati. Suatu hari, Aji Saka berhasil menolong seorang bapak tua yang sedang
dipukuli oleh dua orang penyamun. Bapak tua yang akhirnya diangkat ayah oleh Aji
Saka itu ternyata pengungsi dari Medang Kamulan. Mendengar cerita tentang
kebuasan Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka berniat menolong rakyat Medang
Kamulan. Dengan mengenakan serban di kepala Aji Saka berangkat ke Medang
Kamulan.
Perjalanan menuju Medang Kamulan tidaklah mulus, Aji Saka sempat bertempur
selama tujuh hari tujuh malam dengan setan penunggu hutan, karena Aji Saka
menolak dijadikan budak oleh setan penunggu selama sepuluh tahun sebelum
diperbolehkan melewati hutan itu.
Tapi berkat kesaktiannya, Aji Saka berhasil mengelak dari semburan api si setan.
Sesaat setelah Aji Saka berdoa, seberkas sinar kuning menyorot dari langit
menghantam setan penghuni hutan sekaligus melenyapkannya.
Aji Saka tiba di Medang Kamulan yang sepi. Di istana, Prabu Dewata Cengkar sedang
murka karena Patih Jugul Muda tidak membawa korban untuk sang Prabu.
Dengan berani, Aji Saka menghadap Prabu Dewata Cengkar dan menyerahkan diri
untuk disantap oleh sang Prabu dengan imbalan tanah seluas serban yang
digunakannya.
Saat mereka sedang mengukur tanah sesuai permintaan Aji Saka, serban terus
memanjang sehingga luasnya melebihi luas kerajaan Prabu Dewata Cengkar. Prabu
marah setelah mengetahui niat Aji Saka sesungguhnya adalah untuk mengakhiri
kelalimannya.
Ketika Prabu Dewata Cengkar sedang marah, serban Aji Saka melilit kuat di tubuh
sang Prabu. Tubuh Prabu Dewata Cengkar dilempar Aji Saka dan jatuh ke laut
selatan kemudian hilang ditelan ombak.
Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Ia memboyong
ayahnya ke istana. Berkat pemerintahan yang adil dan bijaksana, Aji Saka
menghantarkan Kerajaan Medang Kamulan ke jaman keemasan, jaman dimana rakyat
hidup tenang, damai, makmur dan sejahtera.
BATU GOLOG

Pada jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing di Nusa Tenggara Barat hiduplah
sebuah keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan sang suami bernama Amaq
Lembain
Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan kedesa desa
menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi.
Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula. Pada suatu hari, ia
sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya diatas sebuah batu ceper didekat
tempat ia bekerja.
Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin lama makin menaik.
Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai memanggil ibunya: “Ibu batu ini
makin tinggi.” Namun sayangnya Inaq Lembain sedang sibuk bekerja. Dijawabnya, “Anakku
tunggulah sebentar, Ibu baru saja menumbuk.”
Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama makin meninggi hingga
melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak sejadi-jadinya. Namun, Inaq
Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampi beras. Suara anak-anak itu makin lama makin
sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak terdengar lagi.
Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu mencapai awan.
Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain tersadar, bahwa kedua anaknya
sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu Goloq.
Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat mengambil anaknya.
Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. dengan sabuknya ia akan dapat memenggal
Batu Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan sabuknya batu itu terpenggal menjadi tiga bagian.
Bagian pertama jatuh di suatu tempat yang kemudian diberi nama Desa Gembong olrh karena
menyebabkan tanah di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat yang diberi nama Dasan
Batu oleh karena ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu ini. Dan potongan
terakhir jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh. Sehingga tempat itu diberi
nama Montong Teker.
Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah menjadi dua ekor burung.
Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan adiknya berubah menjadi burung Kelik. Oleh
karena keduanya berasal dari manusia maka kedua burung itu tidak mampu mengerami telurnya
Cerita Rakyat Keong Mas

Masih berasal dari Jawa Timur, Keong Mas adalah satu dari kumpulan cerita rakyat pendek yang
juga cukup populer. Kisah ini bagus lho Bun untuk diceritakan kepada si kecil, apalagi sebagai
dongeng sebelum tidur.

Seorang raja mempunyai dua orang putri cantik. Nama kedua putri tersebut adalah Candra
Kirana dan Dewi Galuh. Namun, perangai kedua putri tersebut sungguh berbeda, Candra Kirana
yang begitu baik sedangkan saudaranya begitu angkuh.

Suatu hari raja memberitahu bahwa seorang pangeran tampan bernama Inu Kertapati melamar
Candra Kirana. Mendengar hal tersebut timbulah rasa iri Dewi Galuh. Gadis itu kemudian pergi
menemui seorang penyihir untuk mengubahnya menjadi seekor keong.

Penyihir tersebut berhasil mengubah Candra Kirana menjadi seekor keong lalu membuangnya ke
sungai. Ia bisa berubah menjadi manusia lagi jika bisa menemukan cinta sejatinya. Kemudian,
keong emas ditemukan oleh seorang nenek yang sedang menjaring dan membawanya pulang.

Keesokan harinya ketika nenek kembali dari mencari ikan, ia melihat berbagai hidangan lezat
tersaji di meja. Tak hanya itu, rumahnya pun menjadi lebih bersih. Kejadian tersebut terjadi
berulang kali hingga membuat nenek penasaran.

Beberapa waktu kemudian, nenek berpura-pura untuk pergi bekerja namun kembali lagi tak lama
kemudian. Ternyata, yang membantunya selama ini adalah keong emas jelmaan seorang putri
cantik yang dulu ia temukannya di sungai. Dari situ, Candra Kirana menceritakan semua yang
terjadi pada dirinya sehingga menjadi seekor keong.

Sementara itu, sang Pangeran pun tidak tinggal diam dan ikut mencari Candra Kirana yang tiba-
tiba menghilang. Dia mencari tanpa lelah hingga ke pelosok desa. Hingga pada suatu hari ia
kelelahan dan pergi ke salah satu rumah warga untuk meminta minum.

Alangkah terkejutnya ia ketika melihat Candra Kirana di sana. Seketika itu juga kutukan Candra
Kirana menghilang. Kemudian, sang pangeran membawa Candra Kirana beserta sang nenek ke
kerajaan.

Sang Penyihir dan Dewi Galuh pun mendapatkan hukumannya. Candra Kirana dan Inu Kertapati
kemudian menikah dan bahagia selamanya.

Jangan iri dengan apa yang dimiliki oleh lain adalah pesan yang terkandung dalam kumpulan
cerita rakyat pendek yang berjudul Keong Mas ini. Karena rasa iri bisa membuat orang
melakukan apa saja. Hal tersebut tentu tak hanya akan merugikan orang lain, tetapi juga diri
sendiri pada akhirnya.

Anda mungkin juga menyukai