Anda di halaman 1dari 5

Cerita Rakyat TTU:

“Raja Udang dan Sisir Perak Si Gadis”

Pada zaman dahulu kala, di Desa Noemuti, Kecamatan Meomafo Timur, Kabupaten TTU,
hiduplah satu keluarga yang rukun. Keluarga itu terdiri dari Bapak, Ibu dan anak-anak.
Mereka hidup bahagia, rumah tempat kediaman mereka sederhana, bersih, rapi dan
teratur baik. Halamannya ditanam dengan bunga-bunga beraneka ragam dan sedap
dipandang mata. Selain bunga-bunga, ditanami juga bermacam-macam pohon. Tak jauh
dari situ terletak sebuah sungai yang bernama Sungai Noemuti, airnya sangat jernih.

Pada suatu hari, seorang anak gadis dari keluarga itu hendak pergi mandi. Ia menyiapkan
segala kebutuhan untuk dibawanya. Tidak lama kemudian berangkatlah gadis itu ke
sungai dengan membawa sebuah sisik perak peninggalan nenek moyangnya. Di sana
gadis itu mulai mencuci barang cuciannya, lalu mandi dan mencuci rambutnya yang
panjang serta menyisirnya dengan sisir perak yang dibawanya. setelah itu, ia menjunjung
barang cucian serta menaruh sisir pada rambutnya pada bagian belakang.

Ia menyeberangi sungai dan berjalan kembali menuju rumah mereka. Setiba di rumah
dipegangnya rambutnya ternyata sisir peraknya tidak ada lagi. Ia sangat sedih, karena
sisir perak kesayangan dan satu-satunya peninggalan neneka moyang yang di wariskan
kepadanya sudah tidak ada. Antara sedih dan menyesal gadis itu memutuskan kembali
ke sungai mencari sisir peraknya. Ia mencari kesana kemari sepanjanag jalan, keseberang
sungai dengan rasa bingung, sisir peraknya itu tidak dilihatnya.

Ia berdiri dalam keadaan bingung, tiba-tiba ia mendapat satu jalan dan ia mengikuti arus
air dan mencari sisir itu mungkin terhanyut dibawa arus. Segera ia berjalan mengikuti
arus itu sambil mencari sisirnya yang hilang itu. Tiba-tiba ia melihat Raja Udang.

Segera gadis itu bertanya kepada Raja Udang : "Hai Raja Udang apakah kamu melihat sisir
perakku?".
Jawab Raja Udang : "Saya tidak melihatnya, coba tanyakan pada Raja Limbar."
Sang gadis itu melanjutkan perjalanannya, tak lama kemudian ia bertemu dengan Raja
Limbar. Kepada Raja Limbar gadis itu berkata : "Raka Limbar, apakah engkau melihat
sisir perakku?"
Raja Limbar menjawab: "Saya tidak melihatnya, coba tanyakan kepada Raja Belut."
Gadis itu berjalan terus, tak lama berselang ia bertemu dengan Raja Belut.
Kepada Raja Belut anga gadis bertanya lagi : "Hai raja Belut, apakah engkau melihat sisir
perakku?"
"Saya tidak melihatnya," jawab Raja Belut. Coba tanyakan kepada Raja Buaya," kata Raja
Belut.

Gadis itu berjalan terus menyusuri sungai sambil mencari sisir perak itu. Ia hampir putus
harapan bahwa sisirnya sudah hilang. Sambil berjalan dan berpikr demikian tiba-tiba ia
bertemu dengan Raja Buaya. "Hai Raja Buaya apakah engkau melihat sisir perakku?"
"Tunggu sebentar saya pergi mengambilnya," kata Raja Buaya.
Raja Buaya segera berangkat. Tak berpa lama kemudian kembalilah Raja Buaya dengan
membawa sebuah kotak yang dianyam dari daun lontar.
Raja buaya mendekati si gadis itu lalu menyerahkan kotak yang dibawanya sambil
berkata: "Terima dan bawalah pulang, tiba di rumah baru engkau membukanya."
"Terimakasih banyak," jawab sang gadis itu.

Ia pun segera kembali ke rumah dengan hati yang sangat lenga dan gembira.
Karena sang gadis itu ingin sekali melihat sisirnya itu, maka duduklah ia ditengah jalan
lalu ia membuka kotak itu. Apa yang dilihatnya? Dalam kotak itu ada bermacam-macam
ulat. Si gadis itu hilang akal tak sadarkan diri. Keluarlah ulat-ulat itu lalu memakan sang
gadis sampai habis.

Pada akhri cerita ini pencerita berkata: "Foouh..... (bim sala bim).
Hancur seluruhnya dan masuklah ke dalam akar jagungku supaya bertambah subur
ternyata esok pagi saya melihat daun jagungku segar bugar. (*)

(Dilansir poskupangwiki.com dari buku Himpunan Cerita Rakyat NTT Seri I yang dibuat oleh Unit Pelaksana Teknis
Dinas (UPTD) Arkelogi Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Provinsi NTT, Tahun 2004.)
Cerita Rakyat Belu:
“Mane Ikun Si Putera Bungsu”

Adalah Tujuh orang bersaudara. Yang bungsu bernama Mane Ikun. Mereka bertugas
menjaga kebun ayahnya yang selalu dirusak oleh seekor babi besar yang
bernama Brutu Ratak. Keenam kakak Mane Ikun tidak pernah berhasil membunuh babi
itu. Pada suatu saat Mane Ikun berhasil membunuh babi itu.

Seekor anaknya berlalu menuju barat dan seekor lagi bersama induknya ke arah timur.
Dalam perlarian itu, Brutu Ratak melwati banyak tempat yang jauh dan berhutan yang
bernama Matemauk. Di hutan inilah Brutu Ratak tertangkap.

Ketujuh saudara itu kemudian membagi dagingnya. Lalu pulanglah mereka bersama-
sama. Namun keenam kakak Mane Ikun mempunyai hati yang jahat. Mereka hendak
menyusahkan Mane Ikun. Ia disuruh kembali ke Faki untuk mengambil batu asah milik
ayahnya. Padahal batu asah itu telah dibawa oleh kakak-kakaknya.

Di dalam perjalanannya, Mane Ikun ditangkap oleh segerombolan raksasa yang


kemudian membanya ke suatu tempat bernama Kmesak Leobele. Ia dimasukkan ke
dalam tetu aineruk bersama kedua ekor elang yang ditangkapnya di Faki.
Mane Ikun bersahabat karib dengan kedua elangnya.

Para raksasa memelihara Mane Ikun dengan maksud untuk membunuhnya setelah ia
menjadi gemuk. Niat raksasa itu tidak dapat terpenuhi karena kedua elang itu menolong
menyelamatkan Mane Ikun. Kedua elang itu menerbangkan Mane Ikun ke
puncak Bukit Kailaku, sebuah bukit batu yang tidak dapat dirobohkan walaupun oleh raja
sekalipun. Tinggalah Mane Ikun bersama kedua elang sahabatnya di puncak Kailaku.

Mereka memelihara berbagai macam ternak. Ada ayam, babi, kambing dan anjing. Pada
suatu hari, kedua saudaranya datang berburu di leun laran knakun laran,
tempat Mane Ikun tinggal. Lalu mereka saling memperkanalkan diri sebagai kawan dan
membuat rencana untuk mengadakan suatu pertandingan adu ayam.

Pada waktu ditentukan, datanglah keenam kakaknya dengan ayam-ayam mereka yang
siap diadu. Mereka memasang taji pada ayamnya. "biarlah ayamku bertanding tanpa taji,"
kata Mane Ikun. Ayam Mane Ikun sebenarnya adalah seekor elang.

Begitu ayam kakanya dilepaskan, elang itu langsung menyambar leher ayam lawannya
sampai putus. Ayam itu mati dan dengan demikian Mane Ikun memenangkan
pertandingan itu. Begitulah terjadi sampai tujuh kali pertandingan. Kakaknya sudah
mempertaruhkan segalanya sampai pada akhirnya mereka mempertaruhkan
orangtuanya.

Akhirnya Mane IKun dapat berjumpa kembali dengan orang tuanya. Kepada orang tuanya
ia lalu memperkenalkan diri dan menyatakan bahwa ia adalah anak bungsu yang dibuang
oleh keenam saudaranya. Orang tuanya membawa pulang Mane Ikun ke rumah mereka
yang terletak di antara kaki Bukit Berebaba dan kaki Bukit Kailaku. Disana ia berkebun
dan menetap.

Cerita ini mungkin suatu dongeng saja. Tetapi dengki dan iri hati terhadap orang yang
jujur dan berhasil seperti Mane Ikun seringkali terjadi. Namun ketaatan dan kesetiaan
dalam persahabatan mempermudah datangnya pertolongan tepat pada waktunya.
Dan akhirnya keberuntungan selalu menyerati orang yang tidak bersalah. (*)

Dilansir poskupangwiki.com dari buku Himpunan Cerita Rakyat NTT Seri I yang dibuat oleh Unit Pelaksana

Teknis Dinas (UPTD) Arkelogi Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Provinsi NTT, Tahun 2004.

Anda mungkin juga menyukai