Anda di halaman 1dari 17

KEARIFAN LOKAL

MASYARAKAT TOROSIAJE

Tugas Mata Kuliah


Filsafat Kependudukan dan Ilmu Lingkungan

Oleh
Nini A. Kiay Demak

Dosen Pengampu :
Dr. Hasim, M.Si

PROGRAM STUDI KEPENDUDUKAN DAN LINGKUNGAN HIDUP


PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2020

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. karena berkat
Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
sebagai salah satu tugas dari mata kuliah Filsafat Kependudukan dan Lingkungan
Hidup.
Dalam makalah ini diuraikan mengenai “Kearifan Lokal Masyarakat
Torosiaje “ ditinjau dari lingkup Filsafat Kependudukan dan Lingkungan Hidup.
Makalah ini dibuat berdasarkan hasil observasi, kajian pustaka dan atas
bimbingan Dosen Pengampu, Dr. Hasim, M.Si serta bantuan dari berbagai pihak
dalam menyelesaikan tantangan serta hambatan selama mengerjakan makalah ini.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu penulis meminta pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga penulisan
ini dapat bermanfaat untuk semua pihak. Aamiin

Gorontalo, Januari 2020


Penyusun,

Nini A.Kiay Demak

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 1
1.3 Tujuan............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian dan Etimologi Kata Torosiaje ..................................... 3
2.2. Kearifan Lokal Masyarakat Torosiaje ........................................... 5
2.3 Kearifan Lokal Masyarakat Torosiaje ........................................... 5

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan..................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Dalam kehidupan manusia tumbuh tradisi, perilaku atau pengetahuan
tentang suatu obyek yang berkembang sesuai kedekatan manusia dengan alam
sekitar dan tantangan yang dihadapinya. Pemahaman manusia terhadap alam serta
bentuk perilaku manusia akibat kedekatannya dengan elemen ekologisnya
membentuk kearifan lokal masyarakatnya. Nilai-nila tradisi, sikap dan perilaku
berwawasan ekologis dalam tatanan hidup masyarakat lokal membentuk
kecerdasan ekologis suatu masyarakat. Nilai lokal ini misalnya berlaku bagi
masyarakat pesisir, ternyata cukup efektif dalam mengelola sumberdaya alam
serta upaya pelestarian ekosistemnya.
Kearifan lokal dan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh suatu masyarakat
diperoleh melalui proses yang panjang. Keberadaanya merupakan hasil adaptasi
melalui proses belajar sosial terhadap kondisi dan dinamika lingkungannya, baik
lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Dengan demikian, kearifan dan
pengetahuan lokal sudah teruji dan selalu mengalami kontekstualisasi, sejalan
dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi. Sebagai konsekuensinya,
kearifan dan pengetahuan lokal bukan sesuatu yang bersifat statis, melainkan
selalu berkembang secara komulatif, sejalan dengan perkembangan
masyarakatnya.
Demikian pula yang terjadi pada masyarakat di Desa Torosiaje , sebagai
salah satu perkampungan orang Bajo yang menetap sejak tahun 1901. Sebagai
masyarakat yang awalnya berasal dari Suku Bajo yang terkenal dengan budaya
melaut dan perkampungan berada di atas air, hingga saat ini, ketika penulis turun
di lokasi, meskipun masyarakatnya sudah terdiri dari beragam suku, yaitu
sebanyak 12 suku, namun budaya kearifan lokal bermukim di atas laut tetap
menjadi pilihan masyarakat Desa Torosiaje, dengan satu alasan semboyan mereka
dari beberapa penduduk bertutur bahwa laut adalah hidup kami. Meskipun

1
pekerjaan mereka bukan hanya melaut, namun melaut merupakan pekerjaan yang
dijalani sebagian besar masyarakat Suku Bajo.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Kearifan Lokal Masyarakat Torosiaje ditinjau dari Perspektif
Filsafat Kependudukan dan Lingkungn Hidup.
1.3 Tujuan
1. Dapat Menjelaskan Kearifan Lokal Masyarakat Torosiaje di Tinjau dari
Filsafat Kependudukan dan Lingkungn Hidup.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Etimologi Kata Torosiaje


Menurut penuturan Umar Lasandre, salah satu tokoh adat di Desa
Torosiaje, kata Torosiaje memiliki etimologi atau asal usul kata yang berasal dari
bahasa Bugis, terdiri dari 3 (tiga) buah kata yaitu Toro artinya “Tanjung”, dan si
Haji artinya seorang Haji, yang dalam hal ini sebagai orang yang pertama
menemukan sebuah tanjung wilayah daerah perairan di , Kecamatan Popayato,
Kabupaten Pohuwato yang kemudian daerah pesisir dan lautnya dijadikan tempat
tinggal dan bermukim
2.2 Sejarah Torosiaje
Desa Torosiaje berada di Kecamatan Popayato Kabupaten Pohuwato yang
didiami oleh Suku Bajo.Suku Bajo tak bisa lepas dari laut sekalipun mereka sudah
menetap di darat. Ketergantungan mereka dengan laut sangat tinggi, budaya dan
cara hidup mereka masih lekat dengan laut. Menurut Tokoh Masyarakat Bapak
Sansan Pasanre, masyarakat Suku Bajo mendiami kawasan laut Teluk Tomini ini
sejak Tahun 1901, Konon Suku Bajo berasal dari Laut Cina Selatan, ada yang
menyebutkan nenek moyang mereka berasal dari Johor, Malaysia. Mereka
keturunan orang-orang Johor atau keturunan Suku Sameng yang ada di

2
semenanjung Malaka Malaysia yang diperintahkan Raja Elolo Bajo untuk mencari
putrinya yang hilang dari istana.Orang-orang tersebut mengarungi lautan ke empat
penjuru mata angin dan ke sejumlah tempat sampai ke Pulau Sulawesi. Kabarnya
sang puteri berada di Sulawesi, menikah dengan pangeran Bugis kemudian
menempatkan rakyatnya di daerah yang sekarang bernama Bajoa. Sedangkan
orang-orang yang mencarinya juga lambat laun memilih tinggal di Sulawesi,
enggan kembali ke Johor.
Keturunan mereka lalu menyebar ke segala penjuru wilayah Indonesia
semenjak abad ke-16 dengan perahu.Itulah sebabnya mereka digolongkan suku
laut/nomaden atau manusia perahu (seanomedic).Suku Bajo datang ke desa ini
dengan menggunakan Palema atau rumah di atas Perahu Soppe beratap rumbia
yang terapung di laut dan bergerak hanya dengan bantuan dayung.Selama
beberapa tahun, mereka tinggal di Palema.Pekerjaan utamanya menangkap
ikan.Lambat laut, populasinya bertambah.Rombongan Patta Sompa diutus raja
untuk mencari putri yang hilang tersebut.Dalam pencarian itu Patta Sompa sampai
di Teluk Tomini. Pada sistem adat Suku Bajo, ada yang disebut Punggawa atau
kepala desa, Marsaole setingkat Kecamatan, Jagugu setingkat Bupati, Patta
Sompa adalah Punggawa pertama desa Torosiaje. (Utina, 2012).
Menurut cerita turun temurun waktu dulu ada seorang Haji tinggal di
sebuah pulau tempat sekarang menjadi desa Torosiaje. Orang Bajo hanya singgah
ke sana menjual ikan dan kulit penyu. Mereka menyebut tempat itu Toro (tanjung)
si Haji, demikianlah disebut Torosiaje.Pulau itu lama-lama digerogoti air laut dan
tinggal sepetak kecil yang diperkuat dengan onggokan batu batu karang.Dulu
memang setiap orang Bajo singgah dan kadang menetap di Torosiaje dengan
soppenya.Kemudian akhirnya menetap dan membangun pemukiman permanen di
atas laut, rumah-rumah kayu terpancang kuat di atas dasar laut.Dari bermula
menambatkan perahu, perlahan-lahan mereka membangun tempat tinggal berupa
rumah diatas laut dangkal.Suku Bajo ada yang menetap di wilayah laut yaitu Desa
Torosiaje, wilayah daratan di Desa Torosiaje Jaya, Desa Bumi Bahari untuk
Kabupaten Pohuwato dan wilayah Desa Tanjung Bajo di Kabupaten Tilamuta.

3
Desa Torosiaje menjadi Desa Defenitif pada tahun 1968, sehingga istilah
Punggawa berganti menjadi Kepala Desa.Pemukiman rumah suku Bajo dimulai
sejak tahun 2003. Pemerintah setempat mencoba menata suku Bajo agar punya
tempat tinggal yang layak.Awalnya mereka direlokasi ke darat.Suku Bajo diberi
rumah di darat dengan tujuan agar mereka bisa punya alternatif pekerjaan selain
melaut.Tetapi sebagian besar dari Suku Bajo yang direlokasi itu tidak betah,
mereka kembali ke laut dan membangun rumah mereka, sebagian ada ada juga
yang menetap di darat.Terbentuklah sebuah Desa Torosiaje yang terdiri dari dua
dusun; Dusun Mutiara dan Dusun Bahari Jaya dengan kehidupan yang mereka
jalani seluruhnya di atas laut.
Karena pandangan hidup suku Bajo yang menghormati laut sebagai
sumber kehidupan itu, lalu pemerintah Gorontalo mencoba menata kembali
pemukiman mereka di atas laut. Kini di Torosiaje, berdiri lebih dari 200 bangunan
dengan 399 KK. Jumlah Penduduk Desa Torosiaje 1399 Jiwa, dengan jumlah
penduduk laki-laki 695 Jiwa dan perempuan 704 jiwa (sumber: Profil Desa
Torosiaje Tahun 2016). Rumah tiang pancang yang mereka dirikan benar-benar
berdiri di atas laut dangkal yang terpisah dari daratan Popayato.Pada bekas
tanjung itu rumah-rumah suka Bajo dihubungkan oleh jembatan kayu yang
penjangnya mencapai 4.000 meter.Melingkar membentuk formasi permukiman
seperti huruf “U” raksasa.Pembangunan jembatan penghubung dibantu oleh
pemerintah daerah.Jembatan di perumahan komunitas Bajo, berfungsi sebagai
halaman dan menghubungkan antara rumah satu dan lainnya.
Dalam formasi itu juga terdapat sarana sosial seperti; Kantor Kepala Desa,
Masjid, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Puskesmas Pembantu, Aula
serbaguna, Kios, Rumah Makan, Penginapan yang semuanya dibangun di atas
laut. Tokoh Masyarakat yang juga sebagai Ketua Adat adalah Bapak Sansan
Pasanre dan Tokoh Agama ada 4 (empat) orang. Pekerjaan sebagian besar
penduduk Suku Bajo adalah Nelayan, lainnya ada pedagang, Tukang Ojek, PNS
(Guru, Bidan, Perawat, Mantri), ada juga penduduk yang tidak
bekerja/pengangguran namun hanya kurang dari 1 %.Hasil pengkajian tentang
jumlah penghasilan Nelayan suku Bajo diperoleh bahwa untuk nelayan tradisional

4
penghasilan bersih sekitar 300.000/bulan, nelayan Modern 700.000 s/d 800.000/
bulan.Desa Torosiaje sendiri sekarang dihuni oleh berbagai suku yaitu sebanyak
12 suku yaitu :
1. Bajau atau Bajo
2. Bugis
3. Minahasa
4. Jawa
5. Sangir
6. China
7. Sumatra
8. Kalimantan
9. Kaili
10. Gorontalo
11. Bali
12. Kendari
2.3 Kearifan Lokal Masyarakat Torosiaje Provinsi Gorontalo
Suku Bajo merupakan suku yang sering disebut dengan suku laut karena
bergantung pada laut untuk pemenuhan kehidupannya sehari-hari.Hampir seluruh
kehidupannya dihabiskan di atas perahu yang terus mengarungi lautan.Suku Bajo
menyebar secara luas.Sebagaimana layaknya kebudayaan lainnya, Suku Bajo juga
memiliki sistem adat istiadat dan kebudayaan sendiri. Dulu mereka menghabiskan
masa hidupnya di atas perahu dan berlayar dari satu tempat ke tempat lain.
Masyarakat Bajo berpindah-pindah karena menyesuaikan dengan keadaan ikan
yang ada di sekitar wilayah tempat tinggal, ketika ikannya sudah mulai habis
mereka mulai mencari tempat yang lain lagi untuk tempat tinggal baru. Lambat
laun muncullah kesadaran akan pendidikan anak-anak mereka yang tidak akan
terpenuhi ketika mereka masih berpindah-pindah. Kini, Suku Bajo telah menetap
di kawasan pesisir, namun rumahnya harus tetap berada di sisi bagian laut, bukan
di sisi bagian darat.Budaya mereka mencakup berbagai aturan yang dihasilkan
dari pengalaman dan spiritualitas mereka dengan kehidupan mereka yang
bergantung sepenuhnya pada alam.

5
Berdasarkan hasil wawancara dari beberapa tokoh masyarakat dan
beberapa kepala keluarga diperoleh beberapa informasi terkait dengan pandangan
dan pengetahuan lokal masyarakat setempat dalam memanfaatkan
lingkungannya untuk bertahan hidup dan melestarikan budaya dari leluhur
yaitu :
Ritual tolak bala adat suku Bajau Torosiaje yang disebut MASORO.

Yaitu ritual mendoakan bendera putih yang dianggap sebagai penolak bala,
dan akan di tanam di laut pada batas permukiman. Sebagai suku pengembara
laut, selain pada Agama, Bajau Torosiaje masih berpegang teguh pada budaya
adat istiadat dimana kepercayaan terhadap penguasa laut secara Animisme
dan Dinamisme masih cukup kental.
Hal ini pastinya menimbulkan pertentangan dengan Agama. Namun menurut
Rudi Salam Sinulingga, Budaya dan Agama, keduanya merupakan satu
proses yang berjalan seturut perjalanan waktu yang ada. Budaya lahir dari
perjalanan panjang umat manusia di dunia ini, membentuk suatu system
budaya dan menghasilkan karya yang bersifat kebendaan atau dalam bentuk
ajaran hidup dan sudah dijalankan oleh generasi dalam suatu budaya dan
dimasukkan dalam bentuk kearfian lokal suatu masyarakat.
Ritual ini merupakan salah satu hasil karya manusia mulai dari jaman dahulu.
Dimana Suku Bajo sangat menghormati laut karena merupakan sumber
penghidupannya. Bagi Suku bajo pamali untuk mengucapkan kata-kata yang tidak
pantas atau mengumpat di laut, hal tersebut menunjukkan betapa Suku Bajo
sangat menghargai laut. Suku Bajo sangat takut melanggar pamali. Mereka
beranggapan akan mendatangkan malapetaka dan musibah apabila melanggar

6
pamali. Malapetaka atau musibah tersebut dapat datang dalam berbagai bentuk
seperti tidak memperoleh ikan, badai, ombak besar, dsb.
Sistem kepercayaan lain yakni dalam bepergian menangkap ikan di laut
keluarga yang ditinggalkan tidak boleh membuang kotoran di laut seperti arang
kayu, air cabe, abu rokok serta larangan mencuci wajan di laut.
Salah satu pamali tersebut adalah larangan untuk menangkap ikan yang
berukuran kecil dan memakannya, mereka hanya boleh mengkonsumsi ikan yang
memiliki ukuran besar atau layak panen, dalam memanfaatkan sumber daya alam
masyarakat suku bajo masih menggunakan alat-alat tradisional yakni dengan
menggunakan jaring, tombak, panah dan pancing. Hal ini diyakini agar tidak
merusak ekosistem laut
Informasi yang diperoleh bahwa sebelum menangkap ikan mereka harus
terlebih dahulu mana lokasi terumbu terumbu karang/batu karang yang biasanya
banyak ikannya, caranya dengan mendekatkan ujung dayung ke telinga untuk
mendengar bunyi yang merambat, ada bunyi khas yang dapat dikenali sebagai
tanda bahwa di bawah laut ada terumbu atau batu karang. Selain itu terumbu
karang dikenali dengan permukaan air laut sekitar yang cukup tenang, tidak ada
arus laut, air laut tampak seperti minyak mendidih, berbuih dan biasanya berbau
anyir.
Selain tanaman Mangrove (Buah, Daun, Batang dan Akar) yang dipercayai
sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit, tanaman Mangrove juga merupakan
tempat untuk menggantungkan 1 (satu) sesajen dari 3 (tiga) sesajen yang dibuat
sebagai ritual untuk menyembuhkan penyakit (dua sesajen lainnya ditempatkan di
rumah dan dilarung kelaut). Sesajen tersebut digantungkan di pohon yang sudah
tua.
Jika ada masyarakat yang meninggal dunia pengurusannya tetap dilakukan
dengan cara Islam sebagaimana agama yang dianut oleh suku Bajo, jenazahnya
dikebumikan di daratan, adapun untuk bayi baru lahir plasenta atau ari-arinya
dibuang ke laut yang sebelumnya dibungkus dengan kain putih dan diberi beban
(batu) agar langsung tenggelam.

7
Kearifan lokal lainnya yakni tidak terlepas dari pengetahuan dalam
memprediksi kedaan cuaca saat melaut seperti dengan melihat kondisi air laut
yang tenang menandakan arus dilautan tidak kencang. Hal lain yakni dengan
melihat burung mendekati perairan menandakan air laut mulai surut. Serta
kondisi-kondisi lain seperti bau anyir dilaut, air laut berbusa menandakan
kesempatan untuk melaut bagus.
Rumah-rumah suku Bajo di Torosiaje berdiri di atas tonggak tonggak
kayu, di atas laut yang saling berhubungan. Mereka juga memiliki nama nama
jalan yang menghubungi antar blok. Seperti nama jalan di darat. Perumahan
penduduk berupa panggung di atas permukaan air laut di kedalaman antara satu
sampai delapan meter. Di antara rumah-rumah dihubungkan dengan jembatan
kayu yang sambung menyambung antar rumah yang membentuk menyerupai
huruf U,tiangnya menggunakan kayu Gopasa (Tanaman yang tahan air) diambil di
luar kawasan Mangrove. Kayu Gopasa yang digunakan adalah kayu yang sudah
kering sehingga dapat bertahan sampai 30 tahun, tinggi minimal adalah 4 meter,
terdiri 1 meter terbenam di pasir dan 3 meter di atas pasir laut.
Perumahan penduduk berupa rumah panggung di atas permukaan air laut
di kedalaman antara 1 sampai 8 meter, perumahan antar penduduk dihubungkan
dengan jembatan kayu. Tiang rumah dan jembatan dibangun menggunakan kayu
dari jenis tanaman yang tahan air (nama lokal Gopasa) yang diambil dari luar
kawasan mangrove. Pada awalnya masyarakat menggunakan tanaman yang sudah
tua dan mati (nama lokal Posi-posi) yang diambil dari kawasan hutan mangrove.
Perahu dayung atau bermotor tempel digunakan sebagai sarana angkutan dan
sebagai sarana perdagangan bahan makanan pokok. Kemudian pemerintah daerah
membangun jembatan konstruksi beton dari arah pantai melewati kawasan padat
hutan mangrove dan padang lamun, tetapi hanya sebatas area pasang-surut dan
tidak mencapai lokasi perumahan. Masyarakat tidak menyetujui lanjutan
pembangunan jembatan ini, dengan alasan akan masuknya sepeda motor ke
permukiman sehingga pencaharian penduduk dengan ojek perahu akan hilang.
Alasan lain adalah makin luasnya kerusakan mangrove dan padang lamun akibat
konstruksi jembatan, dan tidak dapat dihindari kebisingan, asap dan oli buangan

8
mesin sepeda motor yang mencemari perairan laut. Karena itu perahu dengan
motor tempel masih digunakan sebagai sarana angkutan utama antara daratan
dengan permukiman penduduk, waktu tempuh 5-10 menit. Saat ini Desa Torosiaje
ditetapkan oleh pemerintah kabupaten sebagai desa wisata.

Perilaku masyarakat Bajo mengalihkan penggunaan kayu dari kawasan


mangrove, menolak perluasan jembatan dengan alasan mempertahankan hutan
mangrove dan padang lamun serta menjaga perairan laut dari pencemaran
merupakan bentuk kecerdasan ekologis masyarakat Bajo dalam pelestarian
ekosistem pesisir. Kerusakan ekosistem mangrove disadari akan berdampak pada
kehidupan lamun dan terumbu karang, dan selanjutnya hilangnya biota laut (jenis-
jenis ikan karang), dan pada gilirannya kerusakan ekosistem pesisir dapat
mengganggu mata pencaharian pokok masyarakat. Dukungan masyarakat Bajo
menjadikan Desa Torosiaje sebagai desa wisata menunjukkan adanya kesadaran
masyarakat untuk mempertahankan ekosistem pesisir dan eksistensi permukiman
di perairan laut. Konsekuensinya adalah, masyarakat Bajo harus menjaga
kelestarian ekosistem dan sumberdaya alam pesisir, sehingga layanan jasa wisata
ini menjadi sumber kehidupan masyarakat secara berlanjut.

2. Tradisi melaut Sumberdaya laut dengan keragaman hayatinya menjadi sumber


kehidupan bagi masyarakat Bajo. Kedekatan emosional masyarakat Bajo dengan
sumberdaya laut memunculkan adanya tradisi yang disebut Mamia Kadialo.
Tradisi mamia kadialo berupa pengelompokan orang ketika ikut melaut dalam
jangka waktu tertentu serta sarana/perahu yang digunakan. Ada 3 kelompok
tradisi ini yaitu; palilibu, bapongka, dan sasakai. Palilibu, adalah kebiasaan melaut
yang menggunakan perahu jenis soppe yang digerakkan dengan dayung, kegiatan
melaut ini hanya dalam satu atau dua hari kemudian kembali ke permukiman
untuk menjual hasil tangkapan dan sebagian dinikmati bersama keluarga.
Bapongka atau disebut juga Babangi adalah kegiatan melaut selama beberapa
minggu bahkan bulanan dengan menggunakan perahu besar berukuran kurang
lebih 4 x 2 m yang disebut Leppa atau Sopek, sering mengikutsertakan keluarga
(istri dan anak-anak) bahkan ada yang hingga melahirkan anak di atas perahu, dan

9
yang penting ditatati selama bapongka adalah pantangannya. (Ramli dan Alwiah,
2008). Sasakai, yaitu kebiasaan melaut menggunakan beberapa perahu untuk
melaut selama beberapa bulan dengan wilayah jelajah antar pulau (Harun, 2011).
Selama kelompok menjalani mamia kadialo (melaut) ada pantangan yang boleh
dilakukan baik oleh keluarga yang ditinggal maupun mereka yang sedang melaut.
Pantangan itu antara lain dilarang membuang ke perairan laut seperti; air cucian
teripang, arang kayu atau abu dapur, puntung dan abu rokok, air cabe, jahe dan air
perasan jeruk, dan juga larangan mencuci alat memasak (wajan) di perairan laut.
Air cucian maupun bahan-bahan tersebut hendaknya ditampung kemudian
dibuang di daratan. Ada pula pantangan memakan daging penyu, jika ini dilanggar
maka dapat mendatangkan malapetaka, bencana badai, gangguan roh jahat bahkan
mereka yang pergi melaut tidak mendapatkan hasil apa-apa. Penyu dipercaya
banyak menolong manusia yang mengalami musibah, karena itu satwa ini tidak
boleh dibunuh. Masyarakat Bajo (generasi lanjut usia) masih mempercayai
gugusan karang tertentu sebagai tempat bersemayam arwah para leluhur.
Orangtua melarang anggota keluarganya menangkap ikan dan biota lainya di
sekitar gugusan karang, kecuali terlebih dahulu harus melakukan ritual tertentu
dengan menyiapkan sajian bagi leluhur. Kecerdasan ekologis dalam tradisi lokal
(mamia kadialo) ini antara lain; adanya larangan membuang limbah ke perairan
laut yang dapat mengakibatkan pencemaran laut dan mengganggu kehidupan
biota. Membuang abu dapur, abu rokok, air cabe, air jahe ke perairan dapat
mematikan ubur-ubur. Air cucian wajan dan alat memasak mengandung arang dan
jelaga yang dapat menyebabkan air keruh, sehingga dapat mengganggu kehidupan
lamun dan terumbu karang. Pantangan dalam menjalani Mami kadialo merupakan
upaya pemanfaatan sumberdaya laut dalam jangka waktu tertentu. Larangan bagi
penduduk membunuh penyu, dan mendekati gugusan terumbu karang tertentu
mengandung nilai pelestarian satwa guna mendukung eksistensi ekosistem
perairan laut dan pesisir.

3. Perilaku memperoleh hasil tangkapan Penduduk sebagian masih menggunakan


cara sederhana dalam penangkapan ikan. Alat-alat yang digunakan misalnya

10
memancing ikan dengan menggunakan sejenis benang katun tanpa mata pancing,
yang mereka sebut bina (Harun, 2011). Alat ini khusus memancing ikan Sori yang
memiliki paruh panjang dan banyak geriginya, benang akan terlilit paruh ikan
tersebut sehingga mudah terjerat. Selain memancing, penduduk juga
menggunakan tombak atau panah khusus menangkap ikan di terumbu karang.
Panah dan tombak mengarah pada ikan tertentu yang menjadi sasaran. Ikan yang
hidup di sekitar permukiman tidak dikonsumsi penduduk setempat kecuali
dijadikan umpan untuk pemancingan di perairan lepas. Penggunaan peralatan
penangkapan yang sederhana, selain penyiapannya mudah dan murah, peralatan
ini selektif terhadap ikan dan biota dalam ukuran tertentu dan sudah dapat
dikonsumsi. Tombak dan panah misalnya, hanya melukai ikan tertentu yang
menjadi sasaran. Kecerdasan ekologisnya adalah, biota (ikan) diberi kesempatan
untuk mencapai suatu stadium dewasa hingga dapat berkembangbiak. Dengan
demikian, sumberdaya hayati (biota) laut berpeluang untuk meningkatkan
populasinya guna mempertahankan spesiesnya.

4. Pengetahuan tentang gejala alam Kedekatan masyarakat Bajo dengan laut dan
pesisir memungkinkan mereka memiki berbagai pengetahuan lokal tentang gejala-
gejala alam, pengetahuan mana diketahui dan diterapkan sejak dari generasi
penduhulu. Di tengah terjadinya kerusakan atmosfer bumi yang berakibat
perubahan cuaca yang sulit diprediksi, ada gejala alam dan tanda-tanda atmosfer
yang masih digunakan oleh masyarakat Bajo saat melaut. Perairan terumbu
karang dikenal dari gejala-gejala seperti; permukaan laut sekitar cukup tenang,
arus kurang kencang, banyak buih atau busa putih dan bau anyir, dan ketika
dayung perahu berdesir saat berperahu. Gugusan karang dapat dikenal dari kilauan
cahaya bulan pada malam hari. Peralihan pasang surut alir laut pada siang hari,
ketika burung elang turun mendekati permukaan air laut pertanda air mulai surut.
Pengetahuan masyarakat terhadap gejala alam ini memiliki nilai ekologis.
Terumbu karang antara lain berfungsi sebagai penahan arus dan gelombang, sebab
itu di sekitar kawasan menunjukkan kondisi perairan laut yang cukup tenang,
sementara kilauan cahaya bulan akibat pantulan permukaan air yang cukup

11
tenang. Aktivitas burung elang mendekati permukaan laut karena ketika air surut
lebih banyak tampak biota laut yang menjadi mangsa burung elang.

12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masyarakat Bajo dekat dengan sumberdaya dan ekosistem mangorve,
lamun dan terumbu karang. Kondisi ekosistem ini tampak dipelihara dan dijaga
dengan baik walaupun aktivitas masyarakat dan permukimannya berada di tengah
ekosistem ini. Komunitas Bajo ini memiliki kearifan lokal yang secara ekologis
mampu mempertimbangkan kepentingan permukiman dengan konsep pelestarian
ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Ritual Masoro dan Tradisi
Mamia kadialo dengan pantangannya memiliki nilai pelestarian ekosistem pesisir.
Penggunaan peralatan sederhana pada kegiatan penangkapan ikan dinilai dapat
memberi konsekuensi ekologis yang positif bagi kelangsungan sistem ekologi
beserta sumberdaya hayatinya. Walau perkembangan ilmu pengetahuan makin
maju namun pengetahuan lokal tentang gejala alam yang dimiliki masyarakat
Bajo masih menjadi acuan bagi mereka dalam menjalani kehidupan di laut.

DAFTAR PUSTAKA

Harun, Roy. 2011. Kearifan Lokal Masyarakat Bajo dalam Melestarikan


Lingkungan Pesisir di Desa Torosiaje Kecamatan Popayato
Kabupaten Pohuwato. Tesis. PPs-UNG (tidak diterbitkan).
Utina, Ramli. 2012. Kecerdasan Ekologis Dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bajo
Desa Torosiaje Provinsi Gorontalo. Universitas Negeri
Gorontalo.

13
Esti, Hasrawati, 2017. Peran Kearifan Lokal Suku Bajo dalam Mendukung
Pengelolaan Kawasan Konservasi di Kabupaten Wakatobi.

14

Anda mungkin juga menyukai