Anda di halaman 1dari 15

Sistem Pengetahuan dan Kepercayaan Nelayan Tonrangeng

A. Pendahuluan
Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan
berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat
dan laut. Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri dari kategori-kategori
sosial yang membentuk kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan
simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor
kebudayaan ini menjadi pembeda masyarakat nelayan dari kelompok sosial
lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak
langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dengan mengelola potensi
sumber daya perikanan. Hal itu menjadi komponen utama konstruksi masyarakat
maritim Indonesia.
Dalam konteks ini, masyarakat nelayan didefinisikan sebagai kesatuan
sosial kolektif masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dengan mata pencahariannya
menangkap ikan di laut, pola-pola perilakunya diikat oleh sistem budaya yang
berlaku, memiliki identitas bersama dan batas-batas kesatuan sosial, struktur
sosial, dan sejarah sosial yang sama. Sebagai sebuah komunitas sosial,
masyarakat nelayan memiliki sitem budaya yang tersendiri dan berbeda dengan
masyarakat lain yang hidup di daerah pegunungan, lembah atau dataran rendah,
dan perkotaan. Walaupun demikian, di desa-desa pesisir yang sebagian besar
penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, atau
pembudidaya perairan, kebudayaan nelayan berpengaruh besar terhadap
terbentuknya identitas kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan
(Ginkel, 2007).

Kebudayaan nelayan adalah sistem gagasan atau sistem kognitif


masyarakat nelayan yang dijadikan referensi kelakuan sosial budaya oleh individu-
individu dalam interaksi bermasyarakat. Kebudayaan ini terbentuk melalui proses
sosio-historis yang panjang dan kristalisasi dari interaksi yang intensif antara
masyarakat dan lingkungannya. Kondisi-kondisi lingkungan atau struktur sumber

1
daya alam, mata pencaharian, dan sejarah sosial-etnis akan mempengaruhi
karakteristik kebudayaan masyarakat nelayan. Dalam perspektif antropologis,
eksistensi kebudayaan nelayan tersebut adalah sempurna dan fungsional bagi
kehidupan masyarakatnya.
Masyarakat nelayan adalah kelompok masyarakat yang kehidupannya
sangat tergantung pada sumber daya yang ada di dalam laut, karena hampir
semua aktivitas kehidupan mereka berkaitan dan berhubungan dengan laut. Ciri
khas kehidupan mereka adalah keras dan penuh resiko dalam mengarungi
kehidupannya, yang senantiasa bertarung melawan badai, sengatan matahari,
guyuran hujan dan dekapan angin malam yang dingin. Keadaan seperti ini lebih
dirasakan oleh nelayan tradisional, dengan perahu sampannya berani mengarungi
lautan luas, demi menghidupi diri dan keluarganya. Untuk tetap dapat bertahan
hidup pada masa-masa sulit seperti itu, telah melahirkan sistem pengetahuan dan
teknologi yang mampu menaklukkan ganasnya laut dan musim yang tidak
bersahabat.
Bagi masyarakat pesisir, sikap hidup dengan menganggap laut sebagai
sumber daya untuk kelangsungan pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat
adalah bentuk pemanfaatan potensi lingkungan alamnya. Melalui latar belakang
budaya yang dimiliki oleh masyarakat pesisir, muncul berbagai pengetahuan lokal
yang digunakan sebagai pedoman untuk mengatasi berbagai gejala alam,
pengetahuan tentang habitat laut, mencari nafkah dengan memanfaatkan potensi
kekayaan alam lingkungannya, yakni dengan berprofesi sebagai nelayan,
meskipun tidak semua masyarakat pesisir bekerja sebagai nelayan.
Sistem pengetahuan merupakan salah satu unsur kebudayaan universal,
yang ada dan bisa didapatkan di dalam semua kebudayaan di dunia, baik dalam
masyarakat pedesaan yang kecil terpencil maupun dalam masyarakat perkotaan
yang besar dan kompleks (Koentjaraningrat, 1992: 2). Sistem pengetahuan lahir
dari hasil pengalaman dan daya kreativitas masyarakat untuk digunakan sebagai
petunjuk atau pedoman dalam melakukan aktivitas demi kelangsungan hidup
sehari-hari. Sistem pengetahuan tersebut diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Dalam proses pewarisan, sistem pengetahuan tidak diterima

2
begitu saja, tetapi telah teruji kebenarannya berdasarkan pada berbagai peristiwa
dan pengalaman hidup yang berulang-ulang dialami, seperti didengar, dilihat, dan
dirasakan, baik dari diri sendiri maupun dari orang lain.
Sejak lama masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir mempunyai
pengetahuan tradisional tentang alam raya termasuk lingkungan laut, tidak hanya
dipandang sebagai status ruang hampa atau ruang kosong yang berproses secara
alamiah, melainkan alam itu dihayati sebagai bagian integral dari Sang Pencipta
yang penuh misteri. Konsep pengetahuan budaya yang dimiliki masyarakat bahwa
alam raya dikuasai oleh dewata, sedangkan unsur alam seperti langit, bumi dan
lautan diserahkan penjagaan dan pengaturannya kepada makhluk-makhluk gaib
dan dikenal sebagai figur yang melambangkan kebaikan dan kejahatan. Kebudayaan
nelayan terbentuk dari akumulasi pengalaman serta tingkat pengetahuan masyarakat
pendukungnya, dan terwujud dalam pola tingkah laku nelayan dalam memenuhi
kebutuhannya.
Masih Koetjaraningrat (2009: 288), masyarakat sekecil apapun tidak dapat
hidup tanpa memiliki pengetahuan tentang alam sekelilingnya. Setiap masyarakat
memiliki sistem pengetahuan relatif banyak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-
norma yang ada dalam masyarakat bersangkutan. Misalnya, sistem pengetahuan
tentang astronomi, pengetahuan tentang ekonomi dan mata pencaharian,
pengetahuan tentang lingkungan alam, dan pengetahuan tentang berbagai ritual
dan sebagainya.
Selain sistem pengetahuan, ada pula banyak macam kepercayaan yang
diyakini para nelayan yang bermukim di wilayah pesisir dan tersebar di berbagai
daerah di Indonesia yang sampai saat ini masih sering didengar. Ada kepercayaan
yang berupa pantangan atau sesuatu yang harus dilakukan seperti ritual yang bertujuan
untuk memohon keselamatan dan menghindarkan nelayan dari bala bencana di
tengah lautan sebelum mereka turun melaut. Ada pula kepercayaan melakukan
berbagai ritual ketika hendak turun menangkap ikan agar hasil tangkannya
melimpah. Para nelayan percaya jika sesuatu yang telah ditetapkan tersebut
dilanggar atau tidak dilakukan, maka akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

3
Masyarakat Tonrangeng di Kota Parepare merupakan satu dari sekian
komunitas yang mengelola, memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hayati
laut. Hal itu berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang telah
melembaga dan dipatuhi serta dipertahankan melalui pengendalian sosial (social
control) oleh setiap komunitasnya berdasarkan sistem kepercayaan yang
bersumber dari idigenous knowledge yang diwarisi dari generasi ke generasi
(Arief, 2008: 88-94).
Masyarakat nelayan Tonrangeng yang bermukim di Kelurahan Sumpang
Minangae, Kecamatan Bacukiki Barat, Kota Parepare, tidak mengabaikan
pengetahuan yang berhubungan dengan lingkungan laut. Seperti pengetahuan
tentang gejala alam, termasuk waktu-waktu “ikan”. Pengetahuan inilah sangat
membantu pekerjaan mereka dalam menangkap ikan dan biota laut lainnya.
Mereka belajar dari lingkungan laut, bahkan dapat dikatakan alam lingkungan laut
itulah yang membentuk persepsi dan kearifan lokal mereka. Pengetahuan tersebut
ditunjang dengan kepercayaan untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam
menangkap ikan. Bahkan mungkin saja akan menimbulkan kegagalan atau
bencana bagi orang mereka, seperti tidak membawa hasil, tenggelam di laut,
tersesat, atau terbawa arus.
Dalam tulisan ini, akan mengulas sistem pengetahuan dan kepercayaan
nelayan di kampung Tonrangeng berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara
dengan responden bernama Muh Alwi Ahmad (52). Seorang tokoh masyarakat
pesisir yang kini berdomisili di Kampung Ceddie, Kelurahan Watang Bacukiki,
Kecamatan Bacukiki, Kota Parepare, yang bergelut dengan pekerjaan nelayan
sejak 1984 silam.

B. Pembahasan
1. Sistem Pengetahuan Nelayan Tonrangeng
Nelayan Tonrangeng telah dibekali sistem pengetahuan yang diwariskan
orangtua atau nenek moyang mereka secara turun-temurun, baik dalam pemilihan
waktu menangkap ikan, memilih lokasi, atau pembuatan alat tangkap.

4
Menurut Tadjuddin Maknun dalam bukunya Nelayan Makassar
Kepercayaan, Karakter (2012:31-32), pengetahuan tradisional atau dalam bahasa
Makassar disebut Pangngassengang dikelompokkan menjadi dua, yakni
pengetahuan lahiriah dan batiniah. Pengetahuan lahiriah yang dimaksud yaitu
pengetahuan tentang gejala-gejala alam (astronomi) dan pengetahuan yang
berbentuk skill atau keterampilan dalam berusaha. Sementara pengetahuan
batiniah merupakan pengetahuan yang bersifat sakral, isinya diyakini mengandung
kekuatan magis, meliputi baca dan pangasangang.
Demikian pula halnya dengan nelayan Tonrangeng juga memiliki
pengetahuan lahiriah dan batiniah yang disebut paddissengeng. Hanya saja dalam
tulisan ini tidak diklasifikasikan berdasarkan dua jenis pengetahuan itu, karena
paddissengeng juga melekat dalam sistem kepercayaan.

a. Memilih Waktu Menangkap Ikan (Esso Bale)


Menurut Muh Alwi Ahmad yang akrab disapa Lawi’e, oleh para rekan
nelayannya, jika penentuan waktu-waktu yang baik dalam menangkap ikan
haruslah memilih ‘esso bale’. Penentuan Esso bale atau hari ikan itu dilakukan
dengan membuka sepucuk kertas tua yang dinamai Lontara’ Kutika. Lontara’
Kutika merupakan sistem pengetahuan masyarakat Bugis yang berisi penentuan
hari-hari yang baik dalam melangsungkan kegiatan, termasuk dalam aktifitas
nelayan dalam menangkap ikan yang diperoleh dari orangtuanya.
Penentuan hari baik dan hari buruk berdasarkan pada Lontara Kutika,
tradisi juga berdasarkan pola kebiasaan yang sudah lama dipertahankan atau
berdasarkan pengalaman yang sudah berlangsung kali teruji kebenarannya,
seperti hari pemberangkatan sedapat mungkin hari Selasa, Rabu, Sabtu dan
Minggu. Selain hari itu merupakan pantangan untuk dijadikan sebagai hari
pemberangkatan.
Penentukan kondisi dan cuasa juga menjadi perhatian nelayan dengan
memerhatikan awan. Kondisi awan juga menjadi pedoman bagi nelayan
Tonrangen dalam melakukan aktifitasnya, seperti, bila awan tidak bergerak tetap
pada posisinya berarti teduh dan angin tidak bertiup kencang, bila awan bergerak

5
selalu berubah-ubah bentuk berarti akan ada angin kencang atau badai, bila arah
awan gelapnya dari barat akan menuju Timur berarti akan datang hujan atau
badai.
Selain Lontara’ Kutika, dan awan, para nelayan Tonrangeng juga memiliki
pengetahuan tentang perbintangan dan bulan (ompo’ uleng). Tanda lain yang
sering diperhatikan adalah dengan melihat bintang, seperti; bintang Porong-
porong akan terjadi musim barat, bintang tanra tellu akan terjadi hujan lebat,
bintang wettuing menjadi pedoman berlayar, bintang mano.
Adapun bentuk dan jenis-jenis bintang masyarakat nelayan Tonrangeng,
yaitu Sulo bawie artinya penerang bagi binatang Babi yakni bintang yang selalu
muncul di sebelah Timur dan terbit pada awal malam dan tenggelam sekitar pukul
03.00 wita dini hari. Dikatakan istilah Sulo bawie karena pada waktu bintang ini
masih bersinar, babi yang ada di hutan bersembunyi, sedangkan apabila bintang
ini sudah tenggelam, babi yang ada di dalam hutan keluar untuk mencari makan,
karena menganggap alam sudah gelap. Dengan adanya bintang ini dapat
dijadikan standar waktu bagi nelayan turun ke laut.
Letak atau kondisi bintang juga dapat digunakan untuk menentukan pasang
surutnya air laut. Ketika bintang sedang tegak (bintang pada pagi hari) pertanda
bahwa air tenang, dan apabila bintang condong ke bawah berarti air sedang surut.
Gejala alam seperti ini dipergunakan karena masyarakat nelayan jarang yang
menggunakan jam tangan (arloji) sebagai penunjuk waktu. Sedangkan, pada
malam hari tanda-tanda tersebut diganti dengan melihat bulan. Apabila bulan
sedang tegak menandakan air tenang dan jika bulan condong ke bawah
menandakan air mulai surut. Tanda lain yang sering pula digunakan, adalah
dengan melihat burung elang, ketika burung itu turun ke bumi menandakan air
pasang naik dan sebaliknya, berganti dengan air surut.
Pengetahuan tentang petir dan kilat merupakan hal yang penting pula
diperhatikan nelayan untuk keselamatan mereka. Petir dan kilat dimaknai suatu
kekuatan bertujuan untuk mengusir/mengejar setan di laut yang mengganggu
nelayan beraktivitas. Oleh karena itu, setiap ada petir maupun kilat nelayan-

6
nelayan Tonrangeng menghetikan aktifitas sejenak lalu membaca matra doa
keselamatan.
Selain pengetahuan di atas, nelayan juga memiliki pantangan (pammali)
yang tidak boleh dilakukan dalam aktifitasnya, seperti tidak boleh bersiul-siul
karena akan mengundang datangnya angin, dilarang mencelupkan alat-alat dapur
di laut karena dapat mendatangkan badai, dilarang menghalangi atau menegur
jalan seorang nelayan apabila hendak menuju ke perahu, dan dilarang memanggil
orang yang berada di daratan apabila sedang berada di atas perahu.

b. Memilih Lokasi Menangkap Ikan


Dalam penentuan lokasi penangkapan ikan atau memasang alat tangkap
atau waring, nelayan Tonrangeng tidak begitu saja memasang tanda (patto’) atau
sebuah perkakas yang digunakan sebagai penanda lokasi alat perangkap ikan,
tetapi mereka menggunakan pengetahuan dan pengalaman mereka untuk
mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal.
Bagi nelayan Tonrangeng, laut yang dapat dikelolahnya tak hanya berada di
daerah Parepare semata, namun mereka memanfaatkan kawasan laut di daerah
tetangga, seperti Ujung Lero yang terletak di Kabupaten Pinrang sebagai tempat
memasang alat perangkap ikan yang dinamai waring atau belle’. Menurut mereka,
laut merupakan kawasan terbuka dan bebas dikelola oleh semua orang. Di
samping itu, laut dipandang pula sebagai sumber dari segala aktivitas pencaharian
hidup. Pandangan seperti itu merupakan suatu bentuk umum yang dianut oleh
semua masyarakat nelayan Sulawesi Selatan (BPNB Sulsel, 2017). Oleh karena
itu, masyarakat nelayan Tonrangeng telah memiliki pengetahuan yang dapat
memprediksikan beberapa lokasi/wilayah yang diketahui terdapat banyak ikan dan
biota laut lainnya.
Dalam melakukan aktifitas penangkapan ikan dan biota laut lainnya, dapat
dilakukan setiap saat sepanjang air dalam keadaan pasang dan air tidak surut,
yaitu pada waktu pagi, sore, dan malam hari. Namun, untuk memasang
perangkap, mereka berangkat dari rumah pada pukul 03.00 subuh, dan kembali ke
rumah pada pagi hari.

7
Para nelayan Tonrangeng mengetahui keberadaan ikan pada suatu tempat
tertentu (gugusan karang) dengan cara melihat tanda-tanda yang ada, antara lain :
1) Adanya cahaya ikan seperti memutih yang kelihatan dari kejauhan terutama
pada malam hari. 2) Terlihat pula dari jauh adanya bayangan batu karang yang
merupakan tempat berlindungnya ikan dari ombak. 3) Keadaan air kelihatannya
tenang dan jernih dan keadaan pasir pada waktu itu berlumpur. 4) Terlihat dari
kejauhan terutama pada siang hari, dengan adanya burung pemangsa ikan yang
berbentuk paruh bebek yang berjumlah ratusan burung, baik yang berwarnah putih
maupun berwarna hitam (Dongi’ Belle’). 5) Adanya arus (abang) yang merupakan
tempat makan ikan atau bermain. Pada saat itu ikan-ikan bermunculan dan
berlompat-lompat ketika mendapatkan makanan terutama pada pagi hingga sore
hari. 6) Kedalaman perairan dalam antara bebatuan dan pasir berjarak sekitar 17-
30 depa di bawah permukaan air laut. 7) Adanya gelembung-gelembung yang
muncul kepermukaan dan terjadinya pula perubahan warna air laut (Hafid, 2014:
69-70). Dengan melihat adanya tanda-tanda seperti itu, nelayan segera
memasang alat tangkapnya yang disebut alat tangkap Belle, alat tangkap yang
menyerupai seekor ikan Pari raksasa.
Di samping itu, mereka juga mengenal adanya tanda-tanda akan
berkurangnya ikan, yaitu dengan melihat sebuah pohon radda yang banyak
tumbuh pada daerah pesisir, yang daun dan buahnya berubah menjadi merah.
Tanda lainnya, ketika air surut dan lokasinya berlumpur, nelayan kesulitan untuk
mendapatkan ikan. Dari berbagai pengetahuan yang dimiliki oleh nelayan tersebut
dapat diperoleh melalui pengalaman melaut dan cerita dari orang tua yang
merupakan pengetahuan mereka yang diperoleh secara turun-temurun.
Ketika telah mendapatkan lokasi untuk memasang kayu yang diberi daun
kelapa sebagai penanda lokasi bagi seorang nelayan (patto’) atau (oso’) sehingga
nelayan lain tahu jika lokasi itu sudah ditempati orang, mereka memastikan
terlebih dahulu agar lokasi tersebut tidak menghalangi lalu lintas perahu atau kapal
nelayan lain yang akan bersandar di sekitar itu. Untuk itu, mereka pun kerap
meminta izin terlebih dahulu kepada Kepala Desa.

8
Tak hanya meminta izin (mappasawe’) kepada Kepala Desa, mereka juga
meminta izin kepada penjaga laut sebagai bentuk kepercayaannya dengan
membaca mantra. Mantra yang dibaca ini juga diulas dalam pembahasan
kepercayaan pada bagian berikut dalam tulisan ini.
Setelah memasang tanda lokasi, para nelayan pulang ke rumah, dan akan
kembali keesokan harinya untuk memasang waring atau belle’ yang panjangnya
minimal 700 meter, dan maksimal 7.000 meter.

c. Teknologi Pembuatan Alat Tangkap (Belle’)


Masyarakat nelayan Tonrangeng juga memiliki pengetahuan berbasis
teknologi dalam membuat dan mendesain alat tangkap yang menyerupai Ikan Pari
raksasa. Mereka mendesain sedemikian rupa dengan handmade atau buatan
sendiri.
Dalam membuat alat tangkap Belle’ yang terdiri dari enam bagian
substansial ini, nelayan dibantu sang Istri dan anak-anak bertugas menjahit bahan
Waring atau masyarakat Tonrangeng menyebutnya, dari. Dari itu dijahit Istri
nelayan menggunakan mesin roda, dan ada pula yang dijahit dengan tangan
(iparippingi).
Agar dapat didesain seperti ikan Pari atau panah, istri nelayan memotong-
motong 5 meter perbagian. Hal itu untuk medesain sayap waring agar ikan dapat
terperangkap ke dalamnya. Model seperti ini dibuat bersusun tiga sehingga
membentuk tiga pintu. Pembuatan waring ini menghabiskan waktu paling lama 15
hari.
Pembagian tugas nelayan dan istrinya ini, juga merupakan sistem sosial
yang terus dijaga oleh mereka, termasuk pada penentuan keputusan hasil panen
yang lebih ditentukan oleh kaum perempuan (istri). Pekerjaan-pekerjaan di laut,
seperti melakukan kegiatan penangkapan, menjadi ranah laki-laki karena
karakteristik pekerjaan ini membutuhkan kemampuan fisik yang kuat, kecepatan
bertindak, dan berisiko tinggi.
Dengan kemampuan fisik yang berbeda, kaum perempuan menangani
pekerjaan-pekerjaan di darat, seperti mengurus tanggung jawab domestik,

9
serta aktivitas sosial-budaya dan ekonomi. Kaum perempuan memiliki cukup
banyak waktu untuk menyelesaikan tangung jawab pekerjaan tersebut. Sebagian
besar aktivitas perekonomian di kawasan pesisir melibatkan kaum perempuan dan
sistem pembagian kerja tersebut telah menempatkan kaum perempuan sebagai
“penguasa aktivitas ekonomi pesisir”. Dampak dari sistempembagian kerja ini adalah
kaum perempuan mendominasi dalam urusan ekonomi rumah tangga dan
pengambilan keputusan penting di rumah tangganya. Dengan demikian, kaum
perempuan tidak berposisi sebagai ”suplemen” tetapi bersifat ”komplemen” dalam
menjaga kelangsungan hidup rumah tangganya.
Adapun komposisi yang terdapat dalam pembuatan waring (belle’), yaitu:
1) Kelambu Ikan (Binuang), berbahan dari, model persegi sebagai tempat lalu
lintas ikan. Ikan yang sudah terperangkap ke dalam Binuang sudah tidak dapat
keluar lagi.
2) Pengait Ikan (Pakai’), model segitiga dengan ukuran 17 meter x 2. Pakai’
berfungsi sebagai tempat ikan terperangkap di pintu kedua sebelum masuk ke
kelambu.
3) Sayap Ikan (Aluara’), berbentuk tanda panah atau ikan Pari, segitiga dengan
panjang 35 meter x 2
4) Pagar Waring (Panajo) berfungsi sebagai penghalang atau penahan waring
dari berbagai gangguan.
5) Penanda (patto) atau (oso’) 150 batang, tingginya dibuat sesuai kedalaman air
yang telah diukur saat surut menggunakan batu yang diikat tali. Pada
umumnya, nelayan menggunakan panjang patto’ 5 meter. Ini juga untuk
menyisakan kedalaman ketika air sedang pasang.

2. Kepercayaan Nelayan Tonrangeng


Masyarakat Nelayan Tonrangeng mempercai jika laut yang terbentang luas
memiliki penunggu yang memiliki kekuatan, baik dalam melimpahkan hasil nelayan,
juga dapat membahayakan keselamatan mereka. Olehnya itu, ketika pertama kali
turun melaut, mereka meminta izin terlebih dulu (mappasawe) kepada Nabi Hellere’,
yang mereka yakini merupakan Nabi yang diutus Allah Taala sebagai penjaga lautan.

10
Selain itu, mereka juga meyakini adanya makhluk-makhluk gaib lainnya yang menjadi
penunggu lautan.
a. Ritual Turun Melaut
1) Meminta Izin (Mappasawe)
Ritual turun melaut bagi nelayan dilakukan saat pertama kali hendak
memasang alat perangkap atau alat tangkap ikan (belle’). Mappasawe dilakukan,
baik ketika naik perahu, di tengah laut, maupun saat tiba di lokasi dengan
mengucapkan:
Assalamu Alaikum, idi’ pammanana ri kampongnge aja tagangguka,
usappa’i dalle’ hallala’ku
‘Assalamu Alaikum, wahai sang penguasa lautan, mohon jangan ganggu
saya. Niat saya datang hanya untuk mencari rezeki halal dariNya’

2) Meletakkan Sesajen Benno’-benno’ dan Tello’ Manu’ Kampong


Setelah tiba di lokasi yang telah diprediksi menghasilkan ikan, nelayan
Tonrangeng lalu meletakkan sesajen, berupa benno’-benno atau hasil sangrai padi
kering dan tello’ manu kampong (telur ayam kampung) di daratan, dekat dari lokasi
waring yang akan dipasang.
Sesajen sebagai persembahan untuk penguasa laut itu diharap sebagai
bentuk pappasawe’ dalam bentuk prilaku diletakkan di atas piring yang telah
dilumuri minyak harum atau minya’ bau, khas Bugis.

3) Membaca Mantra Persahabatan dengan Penguasa Laut


Masyarakat nelayan Tonrangeng juga menguasai sejumlah mantra sebagai
bentuk pengetahuan dan kepercayaan kepada penguasa laut. Mantra dibaca agar
hasil ikan melimpah, dan dijauhkan dari marabahaya, serta alat tangkap mereka
terhindar dari gangguan-gangguan cuaca, maupun makhluk gaib. Berikut kutipan
mantra yang dibaca Nelayan Tonrangeng ketika hendak memasang tanda waring.
Ooo.. naga caddi, ooo.. naga lompo tonakka ri panasammu, temmeppi’
ikko, temmaccungkilang tanru’, yase’ yawa, iyya tekkorigaga, id’i
tekkorigaga

11
‘Oo naga kecil dan yang besar, ikutkan saya dalam cengkramanmu, namun
tidak mengeras ekormu, dan tidak pula memberontak tandukmu, baik di
atas maupun di bawah. Saya tidak apa, dan begitupula kamu’
Arti mantra sebagai paddissengeng nelayan Tonrangeng yang disebut di
atas melambangkan permohonan persahabatan dengan penghuni laut.

4) Memasang Tanda (Mappatto’)


Setelah membaca mantra, nelayan Tonrangeng kemudian memasang
tanda atau mappatto’ dengan menggunakan sebuah kayu yang diberi daun
kelapa. Hal ini sebagai pertanda bahwa lokasi itu tidak dapat ditempati oleh
nelayan lain untuk memasang alat tangkap.

5) Menyiram (Majjimpo-jimpo)
Usai memasang tanda, nelayan kemudian melakukan ritual majjimpo-jimpo
atau menyiramkan air sedikit demi sedikit ke atas waring atau alat tangkap ikan
yang telah terpasang. Hal itu dilakukan sebagai bentuk permohonan agar waring
tersebut selalu dijaga penguasa laut, dan mendapat hasil tangkapan ikan yang
melimpah.
Sembari melakukan ritual majjimpo-jimpo, nelayan kembali mappasawe’
atau meminta izin, dengan mengucapkan mantra berikut.
Nabi Helere’, laweyangengnga’ uma’mu tama ri belle’e, boccoangnga’
‘ Nabi Helere’ datangkanlah umatmu (ikan) masuk ke dalam waringku,
penuhkanlah’

Nabi Helere’ diyakini masyarakat sebagai Penguasa laut yang diutus oleh
Puangngallahu Taala.

6) Syukuran Pattona Belle’


Jika hasil melimpah, para nelayan Tonrangeng akan melakukan ritual
syukuran atau mabbaca-baca pattona belle’. Dalam ritual itu, keluarga nelayan
menyiapkan hidangan berupa nasi ketan atau sokko’ yang di tengahnya diberi
telur ayam kampung yang sudah dimasak. Selain itu, juga dihidangkan sesisir
pisang ambon atau loka ulereng. Nelayan meyakini, dengan loka ulereng dapat

12
menjadi berkah sehingga hasil tangkapan berikut dan seterusnya banyak diule’
atau dipikul pulang.

C. Penutup
Sistem pengetahuan dan kepercayaan masyarakat nelayan
Tonrangeng, Kelurahan Sumpang Minangae, Kecamatan Bacukiki Barat
merupakan rangsangan dari lingkungan mereka yang terletak di wilayah
pesisir pantai dan laut. Wilayah pesisir tempat mereka hidup dan laut sebagai
tempat menggantungkan hidupnya diperlukan sistem budaya yang tercermin
di dalam sistem pengetahuan nelayan baik dalam kehidupannya sehari-hari
maupun pada saat menangkap ikan.
Pengetahuan tradisional dan kepercayaan yang dimiliki nelayan
Tonrangeng merupakan refresentasi dari masyarakat Parepare yang sampai
saat ini masih digunakan sebagai pedoman dalam melakukan aktivitas
kenelayanan, meskipun perkembangan ilmu pengetahuan makin maju
namun, pengetahuan tradisional tentang gejala alam, wilayah tangkap,
pembuatan alat tangkap merupakan kearifan dalam mengelola sumber daya
laut, sehingga sistem pengetahuan tradisional yang masih menjadi acuan ini
perlu dipertahankan dari generasi ke generasi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Arief, Adri. 2008. Sistem Pengetahuan Lokal Masyarakat Nelayan dalam Eksploitasi
Sumberdaya Hayati Laut di Sulawesi Selatan. Jurnal Sains dan Teknologi
. Vol. 8 No. 2 : 88 – 94 Agustus 2008.

BPNB Sulsel. 2017. Sistem Pengetahuan Tradisional Nelayan Bajo: Telaah Budaya
Maritim. Makassar: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Kebudayaan.

Ginkel, Rob Van. 2007. Coastal Cultures: An Anthropology of Fishing and Whaling
Traditions. Apldoorn: Het Spinhuis Publisher.

Hafid, Abdul. 2014. Pengetahuan Lokal Nelayan Bajo. Makassar: Pustaka Refleksi.

Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Dian


Rakyat.

———————, 2009. Pengantar Ilmu Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

Maknun, Tadjuddin. 2012. Nelayan Makassar Kepercayaan, Karakter. Makassar:


Identitas Universitas Hasanuddin.

14
BIODATA RESPONDEN

Nama : Muh Alwi Ahmad


Umur : 52 Tahun
Tempat, Tgl Lahir : Parepare, 25 September 1963
Pekerjaan : Nelayan
Jabatan : Ketua RW 1 Ceddie
Alamat : Kampung Ceddie, Kelurahan Watang Bacukiki, Kota
Parepare
Istri : Jumaini
Anak :
- Anak I : Kalmasyari, S.S., S.Pd.
- Anak II : Nirmasyari, S.Pd.
- Anak III : Indriansyari, S.Pd.I
- Anak IV : Nur Alam Syari
- Anak V : Muhammad Adam

15

Anda mungkin juga menyukai