Anda di halaman 1dari 13

PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI KALIMANTAN

TENGAH
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keberadaan lahan gambut dunia semakin dirasakan peran pentingnya terutama
dalam menyimpan lebih dari 30% karbon terrestrial, memainkan peran penting dalam
siklus hidrologi, serta memelihara keanekaragaman hayati. Luas lahan gambut dunia
yang berkisar 38 juta ha terdapat lebih 50% berada di Indonesia. Lahan gambut di
Indonesia diperkirakan seluas 25.6 juta ha, tersebar di Pulau Sumatera 8.9 juta ha
(34.8%), Pulau Kalimantan 5.8 juta ha (22.7%) dan Pulau Irian 10.9 juta ha (42.6%). Di
wilayah Sumatera, sebagian besar gambut berada di pantai Timur, sedangkan di
Kalimantan ada di Provinsi Kalimantan Barat, Tengah dan Selatan (Driessen et al,
1974, dalam Setiadi, 1995).
Hasil studi Puslitanak (2005), bahwa luas lahan gambut di Kalimantan Tengah
mencapai 3.01 juta ha atau 52.2% dari seluruh luasan gambut di Kalimantan. Gambut di
Kalimantan Tengah tersebut 1/3 nya merupakan gambut tebal (ketebalan 3 meter).
Berdasarkan tipe kedalaman, estimasi distribusi lahan gambut di Kalimantan Tengah
meliputi: sangat dangkal/sangat tipis mencapai 75,990 ha (3%); sedangkal/tipis
mencapai 958,486 ha (32%); sedang mencapai 462,399 ha (15%); dalam/tebal
mencapai 574,978 ha (19%); sangat dalam/sangat tebal mencapai 661,093 ha (22%) dan
dalam sekali/tebal sekali mencapai 277,694 ha (9%).
Deposit karbon (C) yang terkandung dalam lahan gambut di Kalimantan Tengah
diperkirakan sebesar 6.35 giga ton (GT) atau setara karbon hasil pembakaran bahan
bakar minyak di Amerika Serikat selama satu tahun. Jumlah ini merupakan deposit
terbesar di Pulau Kalimantan, yaitu sekitar 56.34% dari deposit karbon di lahan gambut
Kalimantan. Dari deposit karbon tersebut, diperkirakan defosit terbesarterdapat di
Kabupaten Pulang Pisau (2.7 giga ton), Kabupaten Katingan (1.5 giga ton), Kabupaten
Kapuas (1.1 giga ton), dan selebihnya di kabupaten-kabupaten lainnya.
Mengingat pentingnya lahan gambut di Kalimantan Tengah secara ekonomis
maupun secara ekologis, maka pengelolaan dan pemnafaatannya harus dilakukan secara
hati-hati dengan berupaya mendapatkan manfaat secara optimal namun dengan tetap
mempertahankan fungsi ekologisnya. Hal ini karena pengelolaan lahan gambut
berkelanjutan akan menentukan banyak hal yang berkaitan dengan kesejahteraan
masyarakat di Kalimantan Tengah dan kepentingan nasional maupun dunia
internasional akan pembangunan berkelanjutan.
1.2. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan dan pengelolaan
lahan gambut di Kalimantan Tengah, serta melihat aspek-aspek yang terkait dengan hal
tersebut.
1.3. Metode Penulisan

Penulisan kertas kerja/makalah ini secara diskriptif dengan sumber dari pustaka
dan sumber-sumber lain yang berkaitan dengan topik yang ditulis.
II. MASALAH PENGELOLAAN GAMBUT DI KALIMANTAN TENGAH
2.1. Gambaran Umum Kawasan Bergambut di Kalimantan Tengah
Kawasan bergambut di Kalimantan Tengah melingkupi hamparan areal yang
cukup luas, yakni diperkirakan mencakup areal seluas 3,472 Juta Ha, atau sekitar 21,98
% dari total luas wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang mencapai 15,798 Juta Ha.
Ditinjau dari letak geografis wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, kawasan
bergambut tersebut terletak di bagian selatan dari Garis Equator (0o Garis Lintang),
atau dengan kata lain terletak pada Garis Lintang Selatan hingga ke gugusan pantai di
tepi laut Jawa di bagian selatan Pulau Kalimantan, yang merupakan Batas Selatan dari
Propinsi Kalimantan Tengah. Sebagaimana diketahui bahwa Propinsi Kalimantan
Tengah dibagi dua oleh Garis Lintang atau Garis Equator menjadi 2 (dua) bagian, yakni
Lintang Utara dan Lintang Selatan.
Disamping kekhususan tersebut, Kalimantan Tengah secara geografis juga
memiliki ciri tersendiri lainnya yang khas, yakni perubahan ketinggian (dpl) secara
simultan dari arah selatan, yang berbatasan dengan Laut Jawa, hingga ke bagian utara
di Gugusan Bukit Raya/Bukit Baka yang merupakan Kawasan Lindung. Kondisi
alamiah-geografis tersebut merupakan faktor penentu yang mempengaruhi letak dan
sebaran kawasan bergambut di Kalimantan Tengah, yang juga memiliki pola perubahan
yang sama, yakni dari selatan ke utara.
Gambut hanya mungkin terbentuk apabila terdapat limpahan biomass atau
vegetasi pada suatu kawasan yang mengalami hambatan dalam proses
dekomposisinya. Faktor penghambat utama tersebut adalah genangan air sepanjang
tahun atau kondisi rawa. Dalam konteks yang demikian, hutan sebagai penghasil
limpahan biomass, yang mendominasi wilayah Kalimantan Tengah (sekitar 65,05 %
dari total luas wilayah), khususnya pada areal-areal yang selalu tergenang air adalah
merupakan kawasan potensial terbentuknya gambut. Tetapi sebaliknya, tidak semua
areal hutan dapat membentuk lahan-lahan bergambut.
Berdasarkan kondisi obyektif sampai saat ini, kawasan bergambut di Kalimantan
Tengah dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) kelompok utama, yakni :
a. Kawasan Bergambut yang Belum Digarap
Kawasan bergambut pada kelompok ini umumnya masih berhutan atau merupakan
Kawasan Hutan, terdiri dari Kawasan Hutan Produksi, Kawasan Lindung dan
Kawasan Konservasi lainnya. Mengingat arealnya masih berhutan, maka cukup
mudah membedakan ciri-ciri penyusun vegetasi di kawasan ini, yang umumnya
didominasi oleh jenis-jenis Meranti Rawa, Ramin, Jelutung, Agathis, Nibung dan
Rengas. Sebagian besar dari kawasan bergambut yang termasuk pada kelompok ini
dibebani Hak Pengusahaan Hutan (HPH) mengingat vegetasi penyusun arealnya
yang masih potensial untuk dimanfaatkan.
Kawasan bergambut pada kelompok ini terletak pada tiga kawasan utama yakni :

- Kawasan hutan yang terletak diantara Areal Eks PLG di sebelah Timur (dibatasi
oleh sungai Sebangau) hingga areal Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) di
sebelah Barat, dengan batas Utara adalah Jalan Trans Kalimantan dan di sebelah
Selatan berbatasan dengan Laut Jawa.
- Kawasan hutan yang terletak pada Blok E di sebelah Utara areal Eks PLG.
- Kawasan hutan yang terletak diantara kawasan TNTP hingga ke batas propinsi
dengan Propinsi Kalimantan Barat.
b. Kawasan Bergambut Areal Eks PLG
Sebagaimana diketahui bahwa Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu
Juta Hektar adalah merupakan mega proyek nasional yang bermasalah karena tanpa
didahului oleh kajian-kajian secara matang dan mendalam serta perencanaan yang
tepat, mantap dan tidak terintegrasi secara lintas sektoral. Terlebih lagi areal PLG
yang sedemikian luas tersebut merupakan kawasan hutan bergambut dengan
berbagai karakteristik khusus dan khas, yang tentu saja semestinya memerlukan
penanganan secara khusus pula.
Total luasan areal Eks PLG adalah seluas 1.119.493 Ha, yang terdiri atas 4 (empat)
Blok, masing-masing Blok A seluas 227.100 Ha, Blok B seluas 161.480 Ha, Blok C
seluas 568.635 Ha dan Blok D seluas 162.278 Ha.
c. Kawasan Bergambut TNTP
Kelompok ketiga kawasan bergambut di Kalimantan Tengah adalah pada Kawasan
Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) dengan luas areal mencapai 415.040 Ha,
yang secara khusus diperuntukkan sebagai habitat bagi satwa langka yang
dilindungi yakni orangutan (Pongo pygmaeus).
d. Kawasan Bergambut Terlantar
Kawasan bergambut yang diklasifikasikan sebagai kawasan yang terlantar
umumnya merupakan salah satu dampak dari kegiatan pembangunan akses
jalan yang menghubungkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah. Oleh karena itu,
sebaran dari kawasan bergambut pada kelompok ini terletak di sepanjang kiri kanan
Jalan Negara, seperti Jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan Palangka Raya
Kuala Kapuas Banjarmasin, Jalan Negara yang menghubungkan Sampit Ujung
Pandaran, Sampit Kuala Pembuang, Palangka Raya Tumbang Talaken
Tumbang Jutuh, Kotawaringin Sukamara, dan lain-lain.
Menjadi terlantar karena pada umumnya kawasan bergambut pada kelompok ini
berdasarkan sistem Tata Ruang Propinsi Kalimantan Tengah (RTRWP) sudah tidak
lagi merupakan Kawasan Hutan Tetap di satu sisi, sedangkan di sisi lain di claim
oleh masyarakat sebagai areal tanah milik mereka, tetapi tidak digarap atau diolah
sebagaimana mestinya.
Kelompok ini lebih tepat disebut sebagai lahan gambut terlantar atau lahan tidur
yang bergambut.

e. Kawasan Bergambut Yang Diolah Masyarakat


Kelompok terakhir dari kawasan bergambut yang terdapat di wilayah Propinsi
Kalimantan Tengah adalah kawasan bergambut yang telah diolah oleh masyarakat,
atau dengan kata lain dapat disebut sebagai lahan gambut produktif. Kawasan
bergambut pada kelompok ini (lahan gambut produktif) umumnya terdiri dari :
- Kawasan bergambut yang dijadikan sebagai kawasan pemukiman melalui program
transmigrasi, dan
- Kawasan bergambut yang dikelola menjadi lahan-lahan perkebunan besar swasta
(kelapa sawit), serta
- Kawasan bergambut yang dikelola masyarakat setempat baik sebagai lahan
perkebunan maupun hasil hutan ikutan lainnya (seperti kebun kelapa, kebun
karet, budidaya jelutung, kebun rotan, dan lain-lain).
Dari ke-5 kelompok tersebut di atas, ditinjau dari perspektif pengelolaan
berkelanjutan lahan gambut, maka 4 (empat) kelompok yang pertama adalah
merupakan kawasan bergambut yang perlu mendapat prioritas penanganannya, yang
tentu saja dengan memperhatikan berbagai kondisi obyektifnya masing-masing.
2.2. Degradasi Lahan Gambut dan PLG Sejuta Hektar
Potensi lahan gambut di Kalimantan Tengah sudah mengalami degradasi yang
cukup parah. CIMTROP (2002) dalam WWF (2003) mengindentifikasi setidaknya
terdapat 3 (tiga) hal mendasar yang merupakan ancaman bagi keberadaan hutan rawa
gambut di Kalimantan Tengah, yaitu: (1) konversi lahan gambut secara besar-besaran
untuk dijadikan areal pertanian ketika ilaksanakannya Proyek PLG 1 juta ha tahun
1995; (2) meluasnya eksploitasi sumberdaya hutan rawa gambut melalui perizinan
HPH/HTI dan illegal logging; dan (3) kebakaran hutan dan lahan oleh perubahan
ekosistem dalam hutan rawa gambut.
PLG (Pengembangan Lahan Gambut) satu juta hektar di Kalimantan Tengah
merupakan suatu bentuk eksploitasi terbesar terhadap hutan dan lahan gambut. Proyek
PLG yang dilaksanakan berdasarkan KEPPRES RI Nomor 82 Tahun 1995, bertujuan
untuk mengkonversi hutan rawa gambut (weatland) yang terletak di Provinsi
Kalimantan Tengah menjadi sawah guna mempertahankan swasembada beras yang
telah dicapai Indonesia pada tahun 1984. PLG tersebut telah mengeksploitasi sekitar
luas lahan gambut di Kalimantan Tengah. Lahan dan hutan yang terdapat pada lapisan
bagian atas lahan gambut di sekitar lokasi proyek terdegradasi dan ekosistemnya
dikonversikan menjadi lahan pertanian.
Eksploitasi lahan gambut sekitar 1.7 juta hektar dan pembangunan jaringan tata air
(Saluran Primer Induk sepanjang 187 km yang menghubungkan Sungai Kahayan dan
Sungai Barito, Saluran Primer Utama sepanjang 958.18 km, ribuan kilometer saluran
sekunder dan tersier) yang memotong kubah gambut, telah menimbulkan masalah
lingkungan yang sangat serius, yaitu: banjir besar pada musim penghujan, kekeringan
pada musim kemarau yang diikuti dengan kebakaran hutan lahan, maraknya illegal
logging, kemerosotan keanakaragaman hayati. Di sisi lain, puluh ribu transmigran yang
telah didatangkan (hingga dihentikan pada tahun 1999/2000 sebanyak 15,600 KK) juga
memunculkan persoalan sosial dan ekonomi dari proyek PLG tersebut.

Secara ekologi, pembakaran lahan gambut mempercepat rusaknya lingkungan


yang unik dan jasa-jasa ekologi yang dihasilkannya (misalnya pengaturan air dan
pencegahan banjir). Pemadaman kebakaran di areal gambut sangat sulit, mahal dan
dapat menyebabkan kerusakan ekologi dalam jangka-panjang. Meski pemerintah
melalui Keppres No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
memberikan perlindungan terhadap lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter,
namun hal ini tak otomatis menyelesaikan persoalan gambut. Kian menyempitnya
ketersediaan lahan mineral rupanya telah mendorong berbagai praktik pemanfaatan
lahan gambut dengan ketebalan di bawah 3 meter oleh para pengusaha (tentu dengan
izin pemda).
Jarang para pengusaha itu memikirkan pengaruh praktik-praktik tersebut terhadap
lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter yang nota bene dilindungi. Padahal
keduanya tak bisa berdiri sendiri-sendiri. Pada kenyataannya lahan gambut dengan
perbedaan kedalaman tersebut bisa jadi merupakan satu ekosistem atau dalam satu
landscape. Kebijakan pemerintah dalam membolehkan pemanfaatan lahan gambut
kurang dari 3 meter akan mempengaruhi lahan gambut yang dilindungi (3 meter lebih
itu). Cara terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan-lahan gambut adalah dengan
mengkonservasi mereka dalam keadaan alaminya. Yakni dengan memberikan perhatian
khusus terhadap aspek-aspek pengelolaan air yang baik, pemanfaatan lahan yang sesuai,
dan pengelolaan hutan yang lestari. Artinya, drainase/pengeringan dan konversi
kawasan lahan gambut harus dicegah.
Perlindungan terhadap kawasan gambut dengan sendirinya akan mengendalikan
hidrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir. Dalam
kondisi alami yang tidak terganggu, lahan-lahan gambut mempunyai fungsi-fungsi
ekologi yang penting: mengatur air di dalam dan di permukaan tanah.
Dengan sifatnya yang seperti spon, gambut dapat menyerap air yang berlebihan,
yang kemudian secara kontinye dilepas perlahan-lahan. Hal ini menyebabkan air akan
tetap mengalir secara konsisten dan karena itu menghindari terjadinya banjir juga
kekeringan. Tak hanya itu, perlindungan kawasan gambut akan menjaga
keanekaragaman hayati dengan banyak jenis yang unik dan hanya dijumpai di daerah
lahan gambut (Darajat Salman, 2006).
Munculnya permasalahan terhadap lingkungan, ekonomi, dan kehidupan sosial
tersebut, akibat tidak memperhatikan aspek ekologis dan karakteristik ekosistem lahan
gambut di Kalimantan Tengah, menyebabkan proyek PLG dinilai tidak berhasil dan
dihentikan. Untuk menangani kawasan eks PLG tersebut, maka dikeluarkan KEPPRES
RI Nomor 80 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Perencanaan dan Pengelolaan
Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.
Point penting dalam KEPPRES RI Nomor 80 Tahun 1999 disebutkan bahwa lahan
bergambut tipis dengan ketebalan gambut kurang dari 3 meter dapat dimanfaatkan
untuk budidaya kehutanan, pertanian, perikanan dan perkebunan. Sedangkan pada lahan
bergambut dengan ketebalan lebih dari 3 meter dan kawasan yang berfungsi lindung
dimanfaatkan untuk konservasi. KEPPRES RI Nomor 80 Tahun 1999 tersebut tidak
dapat berfungsi, karena tidak adanya petunjuk pelaksanaan lebih lanjut.

Sejak dihentikannya PLG pada tahun 1999 hingga 2006, kegiatan penangan an
kawasan hanya dilakukan secara sporadis, berdasarkan kasus yang dihadapi oleh
masyarakat di daerah tersebut. Sementara itu, permasalahan lingkungan, ekonomi, dan
kehidupan sosial masih saja terus terjadi. Kini di tahun 2007, kawasan eks PLG kembali
dikelola secara khusus dengan keluarnya INPRES RI Nomor 2 Tahun 2007 tentang
Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan PLG di Kalimantan Tengah. Ada 3
(tiga) program utama yang akan dilaksanakan dalam INPRES Percepatan Rehabilitasi
dan Revitalisasi Kawasan PLG di Kalimantan Tengah selama tahun 2007-2011, yaitu:
(1) konservasi; (2) budidaya; dan (3) pemberdayaan masyarakat lokal dan transmigran.
Rencana pemerintah untuk melakukan percepatan rehabilitasi dan revitalisasi
kawasan PLG di Kalimantan Tengah mencakup luasan lahan 1,457,300 ha, meliputi: (1)
blok A seluas 310,000 ha; (2) blok B seluas 158,600 ha; (3) blok C seluas 440,000 ha;
(4) blok D seluas 139,000 ha; dan (5) blok E seluas 409,700 ha. Pada tahun 2007/2008,
berbagai upaya persiapan pelaksanaan Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi
Kawasan PLG di Kalimantan Tengah sudah mulai dilakukan baik oleh Pemerintah
Daerah sendiri,Perguruan Tinggi, Swasta, LSM, dan lainnya. Universitas Palangka Raya
melalui CKPP (Central Kalimantan Peatlands Project), bekerjasama dengan Institute for
Environmental Studies (IVM), Vrije Universiteit, De Boelelaan 1087, 1081 HV
Amsterdam, The Netherlands pada tahun 2007/2008 melakukan kajian untuk
menemukan persepsi atau pengertian masyarakat yang tinggal di daerah lahan gambut
berkaitan dengan rencana pemerintah tersebut.
III. PERTANIAN BERKELANJUTAN DALAM PENGELOLAAN LAHAN
GAMBUT
3.1. Pertanian Berkelanjutan
Definisi komprehensif bagi pertanian berkelanjutan meliputi komponenkomponen fisik, biologi dan sosioekonomi, yang direpresentasikan dengan sistem
pertanian yang melaksanakan pengurangan input bahan-bahan kimia dibandingkan pada
sistem pertanian tradisional, erosi tanah terkendali, dan pengendalian gulma, memiliki
efisiensi kegiatan pertanian (on-farm) dan bahan-bahan input maksimum, pemeliharaan
kesuburan tanah dengan menambahkan nutrisi tanaman, dan penggunaan dasar-dasar
biologi pada pelaksanaan pertanian.
Salah satu pendekatan pertanian berkelanjutan adalah input minimal (low input)
secara khusus ditulis oleh Franklin H. King dalam bukunya Farmers of Forty Centuries.
King membandingkan penggunaan input minimal dan pendekatan berkelanjutan pada
pertanian daratan Timur (oriental) dengan apa yang dia lihat sebagai kesalahan metoda
yang digunakan petani Amerika. Gagasan King adalah bahwa sistem pertanian memiliki
kapasitas internal yang besar untuk melakukan regenerasi dengan menggunakan
sumberdaya-sumberdaya internal.
Baru-baru ini, Undang-undang Produktivitas Pertanian Amerika, yang
merupakan bagian dari Undang-undang Keamanan Pangan 1985, menyediakan
kewenangan untuk melaksanakan program riset dan pendidikan pada sistem pertanian
alternatif -yang kemudian dikenal sebagai pertanian berkelanjutan dengan input
minimal (Low Input Sustainable Agriculture (LISA)). Pada bulan Desember 1987,
Kongres Amerika menyetujui US $ 3,9 juta untuk memulai pekerjaan tersebut atas dasar

undang-undang Keamanan Pangan. Undang-undang tersebut memberikan mandat untuk


melakukan investigasi ilmiah pada a) peningkatan produktivitas pertanian, b)
produktivitas lahan sentra produksi, c) mengurangi erosi tanah, kehilangan air dan
nutrisi, dan d) melakukan konservasi sumberdaya natural dan energi.
Petani Amerika saat ini sedang mencari sumberdaya yang efisien, biaya lebih
rendah, dan sistem-sistem produksi yang lebih menguntungkan. Siapapun yang
bergerak di bidang pertanian seharusnya berbagi kepedulian yang lebih luas pada
masyarakat dalam mendukung lingkungan yang bersih dan nyaman. Selama sepuluh
tahun terakhir, telah terjadi paradigma yang mengangkat masyarakat pertanian dari
kondisi yang mengharuskan produktivitas lebih tinggi menuju suatu kondisi masyarakat
yang peduli pada keberlanjutan. Hal ini dirasakan sebagai suatu kesalahan bahwa
produktivitas yang tinggi dari kegiatan pertanian konvensional telah menimbulkan
biaya kerusakan yang cukup siginifikan terhadap lingkungan alam dan disrupsi masalah
sosial.
Dalam usaha mengalihkan konsekuensi-konsekuensi negatif pertanian
konvensional, beberapa format sistem pertanian berkelanjutan yang berbeda telah
direkomendasikan sebagai alternatif-alternatif untuk mencapai tujuan sistem produksi
pertanian yang dapat menguntungkan secara ekonomi dan aman secara lingkungan.
Kepentingan dalam sistem pertanian alternatif ini sering dimotivasi dengan suatu
keinginan untuk menurunkan tingkat kesehatan lingkungan dan kerusakan lingkungan
dan sebuah komitmen terhadap manajemen sumberdaya alam yang berkeadilan. Tetapi
kriteria yang paling penting untuk kebanyakan petani dalam mempertimbangkan suatu
perubahan usaha tani adalah keingingan memperoleh hasil yang layak secara ekonomi.
Adopsi terhadap metode pertanian alternatif yang lebih lebar ini membutuhkan bahwa
metode tersebut sedikitnya sama kualitasnya dalam memperoleh keuntungan dengan
metode konvensional atau memiliki keuntungan-keuntungan non-keuangan yang
signifikan, seperti sebagai usaha menjaga penurunan kualitas sumberdaya air dan tanah
secara cepat.
Riset dan pendidikan bergerak terbatas diantara para peneliti atau mahasiswa.
Sebagaimana seorang mahasiswa menjadi lebih baik diberikan pendidikan mengenai
pengetahuan praktis pertanian berkelanjutan, lebih memiliki minat dan dana akan
ditingkatkan untuk mendukung riset selanjutnya. Jaminan peneliti dan ketersediaan
dana penelitian ini akan lebih memberikan harapan untuk meningkatkan minat pada
pendidikan yang memandu riset selanjutnya secara umum. Pooling pendapat yang
dilakukan mahasiswa di sejumlah fakultas seluruh Amerika menunjukkan ketertarikan
pada pertanian berkelanjutan. Kebanyakan mereka mempertanyakan masalah-masalah
pertanian berkelanjutan sebagai sebuah pemikiran yang tidak dapat diadopsi dalam
program agroekologi.
Mereka memberikan komentar bahwa penurunan dampak lingkungan akibat
usaha pertanian berkelanjutan sebagai sebuah keuntungan yang besar dari
meninggalkan usaha pertanian konvensional. Lebih banyak riset yang dilakukan pada
pertanian berkelanjutan ini, program-program pendidikan yang lebih baik akan dapat
dilaksanakan di wilayah ini.
Ketika perubahan dari kegiatan pertanian konvensional ke pertanian
berkelanjutan dilaksanakan, perubahan sosial dan struktur ekonomi juga akan terjadi.

Pada saat input menurun, terdapat hubungan yang menurun pula pada hubungan kerja
terhadap mereka yang selama ini terlibat dan mendapatkan manfaat dari pertanian
konvensional. Hasilnya adalah terdapat banyak kemungkinan yang dapat ditemukan
yaitu meningkatnya kualitas hidup, dan peningkatan kegiatan pertanian mereka. Dalam
mengadopsi input minimal (low input) sistem-sistem berkelanjutan dapat menunjukkan
penurunan potensial fungsi-fungsi eksternal atau konsekuensi-konsekuensi negatif dari
jebakan sosial pada masyarakat. Petani sering terperangkap dalam perangkap sosial
tersebut sebab insentif-insentif yang mereka terima dari kegiatan produksi saat ini.
3.2. Pengelolaan Kawasan Bergambut di Kalimantan Tengah
Perkembangan pengelolaan kawasan bergambut di Kalimantan Tengah dapat
dibedakan sebagai berikut:
1. Pengelolaan Kawasan Bergambut melalui Program Pemerintah.
Penetapan kawasan-kawasan bergambut tertentu untuk tujuan-tujuan konservasi
berupa penetapan Kawasan Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa,
Cagar Budaya, Taman Wisata, Hutan Lindung, termasuk Kawasan Konservasi
Air Hitam. Masing-masing fungsi kawasan tersebut telah secara jelas diatur dan
ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah
(RTRWP) hasil Paduserasi Tahun 1999 yang kemudian dirubah dalam dengan
Peraturan Daerah Kalimantan Tengah Nomor 08 Tahun 2003 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah.RTRWP ini
kemudian sejak tahun 2006 direvisi kembali dan sampai saat ini belum
disyahkan karena belum mendapat persetujuan dari Pemerintah dan DPR RI.
Untuk tujuan pembangunan wilayah, pengelolaan kawasan bergambut yang
berskala besar dan sensasional adalah Proyek Pengembangan Lahan Gambut
Satu Juta Hektar (PLG), mencakup areal seluruhnya seluas 1.119.493 Ha.
Namun karena mega proyek tersebut pelaksanaannya tidak didahului dengan
kajian-kajian teknis, ilmiah dan socio-ekonomis secara holistik dan tidak
didukung dengan perencanaan yang tepat, mantap dan terintegrasi secara lintas
sektoral, dimana pelaksanaannya terhadap suatu hamparan kawasan hutan
bergambut yang sangat luas dengan berbagai karakterisitiknya yang khas, maka
yang terjadi justru adalah mega masalah yang hingga sekarang belum kunjung
selesai dan dapat teratasi secara paripurna.
Pengelolaan kawasan gambut untuk kepentingan pembangunan wilayah (selain
Proyek PLG) pada umumnya dalam bentuk-bentuk pembukaan lahan baru
untuk dijadikan sebagai lokasi pemukiman penduduk melalui program
transmigrasi atau re-settlement. Disamping itu adalah berupa pembangunan
jaringan atau akses jalan yang menghubungkan daerah-daerah di Kalimantan
Tengah.
Penetapan kawasan bergambut seluas lebih kurang 40 Ha di Nyaru Menteng (28
Km dari Kota Palangka Raya) yang dikelola sebagai Areal Arboretum
sekaligus sebagai tempat rekreasi masyarakat kota Palangka Raya dan
sekitarnya. Disamping itu, di dalam Areal Arboretum Nyaru Menteng ini juga

terdapat Pusat Reintroduksi Orangutan yang dikelola oleh The Balikpapan


Orangutan Survival Foundation.
2. Pengelolaan Kawasan Bergambut oleh Pihak Swasta
Pengelolaan kawasan bergambut yang masih berupa hutan (Kawasan Hutan)
yang dilakukan oleh para pemegang HPH dalam rangka memanfaatkan tegakan
hutan yang bernilai ekonomis melalui kegiatan-kegiatan eksploitasi dan
silvikultur.
Pengelolaan kawasan bergambut yang sudah tidak berupa hutan (bukan
merupakan Kawasan Hutan) oleh perusahaan perkebunan swasta besar (PSB)
yang dikonversi menjadi kebun-kebun kelapa sawit sekaligus sebagai sentrasentra produksi crude palm oil (CPO) di Kalimantan Tengah.
3. Pengelolaan Kawasan Bergambut oleh Lembaga Perguruan Tinggi
a. Mengacu RTRWP Hasil Paduserasi Tahun 1999 yang berlaku saat ini, di
Kalimantan Tengah telah dialokasikan kawasan hutan bergambut seluas
lebih kurang 5.000 Ha yang diperuntukkan sebagai Hutan Pendidikan dan
Penelitian yang terletak di Hampangen, Kabupaten Katingan.. Kawasan
tersebut dikelola sepenuhnya oleh pihak Universitas Palangka Raya, dan
selama ini menjadi tempat kegiatan praktek lapangan maupun research
mahasiswa.
b. Laborarium Gambut di sungai Sebangau yang dikelola oleh pihak Universitas
Palangka Raya bekerja sama dengan pihak Nottingham University, UK.
4. Pengelolaan Kawasan Bergambut oleh Masyarakat
Kegiatan pengelolaan kawasan bergambut yang dilakukan oleh masyarakat
lebih merupakan pemanfaatan lahan gambut untuk kepentingan pembangunan
kebun-kebun rakyat dan pengolahan lahan gambut sebagai lahan pertanian
tanaman pangan, dengan pola sebaran mengikuti konsentrasi pemukiman
penduduk di sepanjang kiri kanan Jalan Negara.
3.3. Prospek Pengembangan Pertanian di Lahan Gambut
Potensi pengembangan pertanian pada lahan gambut, disamping faktor
kesuburan alami gambut juga sangat ditentukan oleh manajemen usaha tani yang akan
diterapkan. Pengelolaan lahan gambut pada tingkat petani, dengan pengelolaan usaha
tani termasuk tingkat rendah (low inputs) sampai sedang (medium inputs), akan berbeda
dengan produktivitas lahan dengan manajemen tinggi yang dikerjakan oleh swasta atau
perusahaan besar (Subagyo et,al. dalam Chotimah, 2009).
Dengan manajemen tingkat sedang yaitu perbaikan tanah dengan penggunaan
input yang terjangkau oleh pertani seperti pengolahan tanah, tata air mikro, pemupukan,
pengapuran, serta pemberantasan hama dan penyakit, maka potensi pengembangan
lahan dititikberatkan pada pemilihan jenis tanaman dan teknis bertanam (Abdurachman
dan Suriadikarta, 2000).

a. Padi Sawah
Budidaya padi sawah dibudidayakan oleh petani transmigrasi untuk memenuhi
kebutuhan pangannya. Akan tetapi budidaya padi sawah di lahan gambut
dihadapkan pada berbagai masalah terutama menyangkut kendala fisika, kesuburan
tanah, serta pengelolaan tanah dan air. Khusus gambut tebal (>1 meter) belum
berhasil dimanfaatkan untuk budidaya padi sawah karena mengandung sejumlah
kendala yang belum dapat diatasi. Kunci keberhasilan budidaya padi sawah pada
lahan gambut terletak pada keberhasilan dalam pengelolaan dan pengendalian air,
penanganan sejumlah kendala fisik yang merupakan faktor pembatas, penanganan
substansi toksik, dan pemupukan unsir makro dan mikro.
Lahan gambut yang sesuai untuk padi sawah adalah gambut tipis (20-50 cm) dan
gambut dangkal (50-100 cm). Padi kurang sesuai pada gambut sedang (1-2 meter)
dan tidak sesuai pada gambut tebal (2-3 meter) dan sangat tebal (lebih dari 3 meter).
Pada gambut tebal dan sangat tebal, tanaman padi tidak bisa membentuk gabah
karena kahat unsur hara mikro.
Pada tanah sawah dengan kandungan organik tinggi, asam-asam organik
menghambat pertumbuhan terutama akar, mengakibatkan rendahnya produktivitas
bahkan kegagalan panen. Tingkat keasaman dan suplai Ca yang rendah serta
kandungan abu yang rendah merupakan faktor pembatas utama pertumbuhan padi
sawah pada gambut tebal.
b. Tanaman Perkebunan dan Industri
Budidaya tanaman perkebunan berskala besar banyak dikembangkan di lahan
gambut oleh perusahaan-perusahaan swasta. Pengusahaan tanaman-tanaman ini
kebanyakan dengan pemanfaatan gambut tebal (1-2 meter). Sebelum penanaman
dilakukan pemadatan tanah dengan menggunakan peralatan berat. Sistem draenase
yang tepat sangat menentukan keberhasilan budidaya tanaman perkebunan di lahan
tersebut. Pengelolaan kesuburan tanah yang utama adalah pemberian pupuk makro
dan mikro.
Diantara tanaman perkebunan yang lain seperti sawit, karet, dan kelapa, nanas
(Ananas cumosus) merupakan tanaman yang menunjukkan adaptasi yang tinggi
pada gambut berdraenase. Nanas bisa beradaptasi dengan baik pada keadaan asam
yang tinggi dan tingkat kesuburan yang rendah. Tanaman nenas tumbuh dengan baik
dan mulai berbuah 14 bulan setelah tanam. Tumpang sari nenas dengan kelapa
memberikan prospek yang cerah untuk dikembangkan. Kelapa sawit merupakan
tanaman tahunan yang cukup sesuai pada lahan gambut dengan ketebalan sedang
sampai tipis dengan hasil sekitar 13 ton per ha pada tahun ketiga penanaman.
Untuk jenis buah seperti jambu air (Eugenia), Mangga (Mangosteen), dan
Rambutan, banyak ditanam di lahan gambut di Kalimantan Tengah. Sedangkan di
daerah pantai ivory dengan lahan gambut termasuk oligotropik, pisang dapat
tumbuh dengan drainase 80-100 cm dan menghasilkan 25-40 ton per ha walaupun
dengan pengelolaan yang agak sulit. Tanaman lain yang potensial adalah tanaman
keras seperti kelapa, kopi, dan tanaman obat.

c. Palawija dan Tanaman Semusim Lainnya.


Tanah gambut yang sesuai untuk tanaman semusim adalah gambut dangkal dan
gambut sedang. Pengelolaan air pelu diperhatikan agar air tanah tidak turun terlalu
dalam atau drastis untuk mencegah terjadinya gejala jering tidak balik.
Tanaman pangan memerlukan kondisi draenase yang baik untuk mencegah penyakit
busuk pada bagian bawah tanaman dan meminimalkan pemakaian pupuk. Ubikayu
(Manihot esculenta) merupakan tanaman yang cukup produktif di lahan gambut
oligotropik dengan drenase yang baik. Sementara untuk tanaman sayuran beberapa
jenis sayuran seperti cabe, semangka, dan nenas mempunyai potensi ekonomi untuk
dikembangkan.
Di daerah Kalampangan yang merupakan penghasil sayuran untuk Kota
Palangkaraya, petani mengembangkan sayuran sawi, kangkung, mentimun dan lainlain dalam skala kecil (sekitar 0,25 ha) secara monokultur.
Untuk menghindari penurunan permukaan tanah (subsidence) tanah gambut
melalui oksidasi biokimia, permukaan tanah harus dipertahankan agar tidak gundul.
Beberapa vegetasi seperti rumput-rumputan ataupun leguminose dapat dibiarkan untuk
tumbuh di sekeliling tanaman, kecuali pada lubang tanam pokok seperti halnya pada
perkebunan kelapa sawit dan kopi. Beberapa jenis leguminose menjalar seperti
Canavalia maritima dapat tumbuh dengan unsur hara minimum dan menunjukkan
toleransi yang tinggi terhadap keasaman.
Pembakaran seperti yang dilakukan pada perkebunan nenas harus
mempertimbangkan pengaruhnya terhadap kebakaran lingkungan sekitarnya. Akan
lebih baik jika penyiangan terhadap gulma dikembalikan lagi ke dalam tanah
(dibenamkan) yang akan berfungsi sebagai kompos, sehingga selain memberikan
tambahan hara, juga dapat membantu mengatasi penurunan permukaan tanah melalui
subsidence.
Untuk tanaman hortikultura, pemabakaran seresah bisa dilakukan pada tempat
yang khusus dengan ukuran 3 x 4 m. Dasar tempat pembakaran diberi lapisan tanah
mineral/tanah liat setebal 20 cm dan disekelilingnya dibuat saluran selebar 30 cm.
Kedalaman saluran disesuaikan dengan kedalaman air tanah dan ketinggian air
dipertahankan 20 cm dari permukaan tanah agar gambut tetap cukup basah. Ini
dimaksudkan agar pada waktu pembakaran api tidak menyebar (Chotimah, 2009).
3.4. Kearifan Lokal dan Pemberdayaan Masyarakat
Keterlibatan masyarakat untuk mengurangi tingkat ancaman dan kerusakan pada
lahan gambut menjadi sangat besar mengingat bahwa adanya interaksi dengan pola
pemanfaatan dan laju kerusakan. Hal yang sangat penting dan dapat dilakukan oleh
masyarakat adalah bagaimana mengarahkan masyarakat dalam mengelola lahan gambut
untuk kepentingan pemanfaatan dengan pola budaya tradisionil (kearifan lokal) yang
memadukan antara pengembangan teknologi budidaya dan nilai budaya bertani.
Pemanfaatan lahan gambut secara bijaksana dan berkelanjutan merupakan upaya
untuk tetap mempertahankan potensi kekayaan alami ekosistem, serta memanfaatkanya

secara berkelanjutan agar dapat diperoleh manfaat tidak hanya untuk masa kini namun
juga pada masa mendatang. Selama ini dan pasti akan terus berlangsung bahwa lahan
gambut akan dimanfaatkan secara beragam oleh pemangku kepentingan, sehingga
berakibat pada beberapa tempat memicu rusaknya sumber daya ekosistem hayati.
Pengalaman menunjukkan bahwa pengelolaan lahan gambut yang melibatkan
berbagai pemangku kepentingan, khususnya masyarakat lokal akan lebih memberikan
kepastian keberlanjutan pengelolaan dibandingkan dengan kegiatan serupa yang
dilakukan tanpa peran masyarakat lokal. Melibatkan masyarakat melalui pola program
pemberdayaan harus juga disesuaikan dengan dengan kondisi masyarakat setempat dan
menghargai pemanfaatan secara tradisional.
Dalam kasus terjadi kerusakan yang sangat drastis pada lahan gambut maka
pemberdayaan masyarakat yang memungkinkan dan memiliki peluang untuk
dikembangkan adalah mengajak masyarakat kembali kepada pola tradisionil yaitu
melakukan usaha penanaman kembali jenis-jenis tanaman yang sudah sangat familiar
bagi masyarakat Kalimantan Tengah dan disesuaikan dengan kondisi setempat serta
arah kebijakan pembangunan khususnya pada bidang perkebunan dan atau pertanian.
Untuk saat ini sektor perkebunan menjadi salah satu program yang mendapat perhatian
utama, ini dapat dilihat dengan begitu banyak dan luasnya pencadangan kawasan untuk
kepentingan perkebunan dan komoditi andalan yang menjadi prioritas adalah pada jenis
sawit dan karet dan jelutung.
Pemberdayaan masyarakat dalam mengelola lahan gambut untuk pengembangan
sektor perkebunan terutama untuk jenis tanaman karet dan jelutung pada lahan gambut
sangat perlu untuk dicermati, karena disamping untuk melakukan upaya rehabilitasi
kembali kawasan-kawasan yang telah rusak juga diharapkan akan berdampak pada
penurunan terhadap ancaman bahaya kebakaran hutan dan lahan.
Upaya-upaya pemberdayaan yang akan dilakukan tidak hanya berhenti pada
upaya memfasilitasi petani atau masyarakat dengan pemberian bibit, namun juga harus
diiringi dengan peningkatan pemahaman dan kapasitas serta tanggung jawab bersama
terutama masyarakat yang menjadi penerima manfaat dari sebuah program ( Metarius,
2005).
IV. KESIMPULAN
1. Kalimantan Tengah merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi lahan gambut
yang harus dijaga keberadaanya. Hal ini dikarenakan Kalimantan Tengah memiliki luas
lahan gambut 3,01 juta hektar atau 52,5% dari luasan gambut di Pulau Kalimantan.
2. Potensi lahan gambut di Kalimantan Tengah tersebut sudah mengalami degradasi yang
cukup parah. Setidaknya terdapat 3 (tiga) hal mendasar yang merupakan ancaman bagi
keberadaan hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah, yaitu: (1) konversi lahan gambut
secara besar-besaran untuk dijadikan areal pertanian ketika dilaksanakannya Proyek PLG
satu juta hektar tahun 1995; (2) meluasnya eksploitasi sumberdaya hutan rawa gambut
melalui perizinan HPH/HTI dan illegal logging; dan (3) kebakaran hutan dan lahan oleh
perubahan ekosistem dalam hutan rawa gambut. PLG (Pengembangan Lahan Gambut)
satu juta hektar di Kalimantan Tengah merupakan suatu bentuk eksploitasi terbesar

terhadap hutan dan lahan gambut. PLG tersebut telah menimbulkan masalah lingkungan
yang sangat serius.
3. Sebagian lahan gambut telah dimanfaatkan untuk perluasan areal pertanian. Pengembangan
lahan tersebut didasarkan atas kebutuhan bahwa penyediaan tanah dengan kesuburan
tinggi semakin langka. Dalam pengelolaan lahan gambut masih dijumpai sejumlah
kendala yang menghambat pencapaian produktivitas yang diharapkan, kendala tersebut
meliputi kendala fisik, kimia, serta kendala yang berkaitan dengan penyediaan dan tata
kelola air. Meskipun demikian beberapa jenis tanaman pangan/hortikulturan dan tanaman
perkebunan menunjukkan adaptasi yang baik di lahan gambut.
4. Perencanaan pengelolaan kawasan sebaiknya dilakukan studi secara mendalam terhadap
semua aspek yang ada. Hal ini dimaksudkan agar ada sinkronisasi program yang berbasis
perencanaan dari bawah, sehingga kebutuhan mendasar pada masyarakat sebagai pelaku
utama dapat terpenuhi secara baik. Pentingnya peningkatan peran serta masyarakat dalam
berbagai program untuk menjaga dan melakukan pemulihan lahan gambut. Untuk itu
perlu mengintensifkan sosialisasi dari semua program secara baik dan penglibatan
masyarakat dalam setiap implementasi program.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman dan Suriadikarta, 2000. Pemanfaatan Lahan Rawa eks PLG Kalimantan
Tengah untuk Pengembangan Pertanian Berwawasan Lingkungan. Jurnal Litbang
Departemen Pertanian 19 (3).
Chotimah Hastin Ernawati Nur Chusnul, 2009. Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Tanaman
Pertanian. http://Formala.mulltiply.com/journal/item/45. Download tanggal 07 Mei
2009.
Darajat Salman, 2006. Konversi Lahan Gambut dan Perubahan Iklim. Harian Republika,
Sabtu, 12 Agustus 2006.
Metarius, 2005. Pengelolaan Lahan Gambut Kritis dengan Penanaman Karet dan Jelutung.
Comunity Enpowernment and Participatory Institute, CEPI.
Pieter van Beukering; Marije Schaafsma; Olwen Joung Marion Davies dan Ieva Oskolokaite,
2007. Nilai Ekonomi Lahan Gambut di Kalimantan Tengah:Persepsi Masyarakat
Terhadap Kegiatan Rehabilitasi dan Revitalisasi eks PLG kalimantan Tengah. Institute
for Environmental Studies (IVM) Vrije Universiteit-The Netherlands

Anda mungkin juga menyukai