BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah
membusuk oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi. Tanah yang terutama terbentuk di
lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat; dan lahan-lahan bergambut di
berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama seperti bog, moor, muskeg, pocosin, mire,
dan lain-lain. Istilah gambut sendiri diserap dari bahasa daerah Banjar.
Sebagai bahan organik, gambut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Volume gambut
di seluruh dunia diperkirakan sejumlah 4 trilyun m, yang menutupi wilayah sebesar kurang-
lebih 3 juta km atau sekitar 2% luas daratan di dunia, dan mengandung potensi energi kira-kira 8
miliar terajoule.
Gambut terbentuk tatkala bagian-bagian tumbuhan yang luruh terhambat pembusukannya,
biasanya di lahan-lahan berawa, karena kadar keasaman yang tinggi atau kondisi anaerob di
perairan setempat. Tidak mengherankan jika sebagian besar tanah gambut tersusun dari serpih
dan kepingan sisa tumbuhan, daun, ranting, pepagan, bahkan kayu-kayu besar, yang belum
sepenuhnya membusuk. Kadang-kadang ditemukan pula, karena ketiadaan oksigen bersifat
menghambat dekomposisi, sisa-sisa bangkai binatang dan serangga yang turut terawetkan di
dalam lapisan-lapisan gambut.
Tanah gambut disebut juga tanah Histosol (tanah organic) asal bahasa Yunani histories
artinya jaringan. Histosol sama halnya dengan tanah rawa, tanah organik dan gambut.Histosol
mempunyai kadar bahan organik sangat tinggi sampai kedalaman 80 cm (32 inches) kebanyakan
adalah gambut (peat) yang tersusun atas sisa tanaman yang sedikit banyak terdekomposisi dan
menyimpan air.
Jenis tanah Histosol merupakan tanah yang sangat kaya bahan organik keadaan
kedalaman lebih dari 40 cm dari permukaan tanah. Umumnya tanah ini tergenang air dalam
waktu lama sedangkan didaerah yang ada drainase atau dikeringkan ketebalan bahan organik
akan mengalami penurunan (subsidence).
Bahan organik didalam tanah dibagi 3 macam berdasarkan tingkat kematangan yaitu
fibrik, hemik dan saprik. Fibrik merupakan bahan organik yang tingkat kematangannya rendah
sampai paling rendah (mentah) dimana bahan aslinya berupa sisa-sisa tumbuhan masih nampak
jelas. Hemik mempunyai tingkat kematangan sedang sampai setengah matang, sedangkan sapri
tingkat kematangan lanjut.
Secara umum definisi tanah gambut adalah: Tanah yang jenuh air dan tersusun dari
bahan tanah organik, yaitu sisasisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dengan
ketebalan lebih dari 50 cm. Dalam sistem klasifikasi baru (Taksonomi tanah), tanah gambut
disebut sebagai Histosols (histos = jaringan ).
2. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana proses terbentuknya lahan gambut.
b. Bagaimana sifat fisik, kimia, dan morfologi tanah gambut
c. Apa kendala-kendala tanah Histosol untuk usaha pertanian
d. Bagaimana Klasifikasi dan Jenis Lahan Gambut
e. Bagaimana pola persebaran tanah gambut di Indonesia
3. TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan pengetahuan lebih tentang
lahan Gambut dan proses terbentuknya Bagaimana sifat fisik, kimia, dan morfologi tanah gambut
kendala-kendala tanah Histosol untuk usaha pertanian, serta pola persebaran tanah gambut di
Indonesia. Dan dengan makalah ini pembaca diharapkan dapat memanfaatkan lahan Gambut
sebagaimana mestinya.
BAB II
DASAR TEORI
Tanah gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang
setengah membusuk, oleh sebab itu kandungan bahan organiknya tinggi. Banyak terdap[at di
rawa Sumatra, rawa Kalimantan, dan rawa Papua. Tanah ini tidak cocok untuk pertanian maupun
perkebunan karena derajat keasamannya tinggi.
Menurut Andriesse, gambut adalah tanah organik (organik soils), tetapi tidak berarti bahwa
tanah organik adalah tanah gambut. Sebagian petani menyebut tanah gambut dengan istilah tanah
hitam, karena warnanya hitam dan berbeda dengan jenis tanah lainnya. Tanah gambut yang telah
mengalami perombakan secara sempurna sehingga bagian tumbuhan asilnya tidak dikenali lagi
dan kandungan mineralnya tinggi disebut tanah bergambut (muck, peaty muck, mucky).
Widjaya Adhi et al. (1992) dan Subagyo (1997) mendefinisikan lahan rawa sebagai lahan
yang menempati posisi peralihan di antara daratan dan sistem perairan. Lahan ini sepanjang
tahun atau selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air (waterlogged) atau
tergenang.
Menurut PP No. 27 tahun 1991, lahan rawa adalah lahan yang tergenang air secara alamiah
yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat dan
mempunyai cici-ciri khusus baik fisik, kimiawi, maupun biologis
Hardjowigeno dan Abdullah (1987) mendefinisikan gambut sebagai tanah yang terbentuk
dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum.
Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau
kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.
Subagyo (2002) menyatakan bahwa gambut yang terbentuk di wilayah rawa pantai Indonesia
diperkirakan dimulai sekitar 5.000-4.000 tahun yang lalu, dan diperkirakan hampir bersamaan
waktunya dengan dimulainya proses akreasi yang membentuk wilayah pulau-pulau delta di rawa
pasang surut yang ada sekarang ini.
Pada awalnya diakhir zaman Pleistosin sampai awal zaman Holosin dimana terjadi kenaikan
muka air laut sekitar 100-135 m (Davis et al., 1976; Holmes, 1978).
Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya pendangkalan danau yang secara perlahan
ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah (Noor, 2001).
BAB III
PEMBAHASAN
Jenuh air
Daya hantar hidraulik horisontal besar tapi daya hantar vertikal kecil
Menurut Polak (1914) dalam Wirjodihardjo (1953) tanah gambut di Indonesia dapat
dibedakan menjadi gambut ombrogin, gambut topogin dan gambut pegunungan.
Gambut Ombrogin adalah jenis gambut yang tersebar di dataran rendah rawa lebak dan
pantai yang tersebar luas di Indonesia yang meliputi 16,5 juta hektar dan Sumatera mempunyai
luasan sekitar 7,5 juta hektar. Ketebalan gambut berkisar antara 0,5 hingga 16 meter yang
terbentuk dari sisa-sisa vegetasi hutan rawa yang membusuk menjadi bahan yang berwarna
kecoklatan. Gambut ini mempunyai sifat jenuh air, bereaksi masam, miskin bahan mineral
terutama kapur, air berwarna hitam kecoklatan dan terdapat rhizopoda. Kadar hara N, P dan K
cukup tinggi.
Gambut Topogin adalah gambut yang terbentuk pada depresi topografi rawa terutama di
Pulau Jawa. Daerah penyebaran gambur topogin adalah tidak luas dan setempat-setempat,
misalnya di Rawa Pening, Rawa Lakbok, Rawa Jatiroto, Deli, Kalimantan Selatan dan
Pangandaran.
Gambut Pegunungan adalah gambut yang terbentuk di dataran tinggi pegunungan,
dengan kondisi iklim hampir sama dengan iklim daerah sedang dan dengan vegetasi dominan
adalah tanaman tingkat rendah. Di Indonesia gambut Pegunungan dapat dijumpai di dataran
tinggi Dieng, puncak Papandayan, dan Pangrango. Vegetasi utama di Gambut Pengunungan
tersebut adalah Hydrophyta dan Cyperaceae.
Klasifikasi gambut berdasarkan bahan induk dapat digolongkan menjadi Gambut
Endapan, Gambut Berserat dan Gambut Berkayu.
Gambut Endapan adalah akumulasi bahan organik diperairan dalam sehingga pada
umumnya dijumpai dibagian bawah dari suatu profil organik. Gambut endapan dibentuk dari
bahan tanaman yang mudah dihumifikasikan. Gambut endapan tidak disenangi sebagai tanah
karena sifat fisiknya yang tidak menguntungkan sehingga gambut ini tidak diusahakan. Gambut
endapan berasal dari campuran tanaman leli air, rumputan air, hornworth, plankton, dan lainnya.
Gambut Berserat adalah akumulasi bahan organik berbagai sedge, lumut-lumutan,
hepnum, reed dan rumpulan lainnya, latifolia dan angustifolia. Sejumlah gambut berserat sering
dijumpai pada rawa dimana gembut endapan berada. Gambut ini mempunyai sifat fisik yang baik
akibat sifat serat dan filamennya. Gambut berserat dapat juga dijumpai dipermukaan dari
akumulasi bahan organik.
Gambut Berkayu adalah gambut dengan bahan penyusun utamanya adalah pohon-
pohonan desidius, konifer dan tumbuhan dibawahnya. Pohon-pohonan banyak tumbuh di daerah
rawa, sehingga gambut ini banyak dijumpai di lahan rawa. Gambut berkayu berwarna coklat atau
hitam bila basah, dan warna ini sangat tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut berkayu
terbentuk dari sisa pohon, semak dan tumbuhan lainnya
Hasil kajian Sofyan Ritung dkk, Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian
(BBSDLP) th 2011, dengan mengupdate peta gambut Wahyunto (2004-2005) terbitan Wetland
International program dengan data survai lapang dan peta-peta hasil pemetaan tanah luas gambut
di 3 pulau besar (Sumatera, Kalimantan dan Papua), luas lahan gambut 14,9 juta ha.
Dinamika lahan gambut yang disajikan dalam peta lahan gambut oleh Wahyunto dkk tahun
2003-2006 (Wetland International) dengan peta lahan gambut oleh Sofyan Ritung dkk 2011
(BBSDLP, 2011), Di estimasi dari tahun 2004 s/d tahun 2011 (selama 7 tahun) lahan gambut di
Sumatera berkurang 10,7 %, di Kalimantan berkurang 17,2% dan di Papua berkurang 28,8%.
Lahan gambut dapat menyusut atau bahkan hilang. Untuk itu pemantauan lahan gambut
secara periodik sangat diperlukan. Penyebab umum penyusutan lahan gambut di Indonesia,
umumnya disebabkan oleh pemanfaatan lahan gambut dan dikelola secara intensif tanpa
mempertimbangan kaidah konservasi tanah dan air.
Sebagai contoh di kabupaten Pesisir Selatan, provinsi Sumatera Barat. Hasil pantauan
menggunakan citra satelit tahun 1990-an dan tahun tahun 2000-an, lahan rawa gambut sejak
adanya pembukaan lahan untuk permukiman transmigrasi Silaut lahan rawa gambut berkurang
lebih dari 50%.