Anda di halaman 1dari 17

Menurut Richard (2005), mikroorganisme yang bekerja pada proses

pengomposan adalah jamur, bakteri, dan actinomycetes. Pada kondisi optimal


tumpukan kompos akan mencapai temperatur sekitar 50 sampai 65C (120 sampai
150F), yang disebabkan oleh proses panas metabolisme mikroorganisme dan
panas ini dapat menjadi indikator bahwa proses pembuatan kompos berjalan
sempurna. Dalam proses ini terjadi proses kimiawi dimana pertumbuhan
mikroorganisme memerlukan campuran nutrien yang benar terutama campuran
karbon dan nitrogen.
Proses Pengomposan
Proses pengomposan berdasarkan suhu lingkungan dapat dibagi menjadi
empat tahap I atau tahap mesofil, tahap ke II atau tahap termofil, tahap ke III atau
tahap pendinginan, dan tahap ke IV atau tahap pemasakan (Palmisano dan Barlaz,
1996).
Menurut Triatmojo (2002) pada tahap I (tahap mesofil) yaitu masa kompos
mendekati suhu lingkungan yaitu 20 sampai 40C. Pada tahap ini terbentuk asamasam organik yang diikuti penurunan pH sekitar 5 sampai 6. Perkembangan
mikroorganisme menyebabkan suhu meningkat dengan cepat lebih dari 40C dan
mulailah tahap termofil. Populasi pergantian mikroorganisme selama proses
pengomposan dapat dilihat pada tabel 1.
Tahap II (tahap termofil) terjadi peningkatan suhu kompos lebih dari 40C
yaitu suhu antara 50 sampai 70C. Terjadi penurunan populasi mikroorganisme
mesofil yang akan digantikan mikroorganisme termofil. Pada tahap ini terjadi
degradasi bahan organik menjadi lebih intensif hingga menyebabkan peningkatan
pH sekitar 7 sampai 9 (Triatmojo, 2002). Peningkatan suhu termofil dapat dicapai
bila pasokan udara dalam timbunan kompos cukup.
Tahap III atau tahap pendinginan merupakan tahap stabilisasi limbah dan
mineralisasi. Suhu mengalami penurunan dibawah 40C yang menyebabkan
aktivitas mikroorganisme termofil digantikan oleh mikroorganisme mesofil. Suhu
akan terus menurun hingga mendekati suhu lingkungan 30C dan pH akan sedikit
turun.

Tahap IV atau tahap pemasakan merupakan tahap akhir pemanasan,


sehingga laju rekasi perubahan senyawa kimia dan fisika terjadi secara lambat.
Mikroorganisme yang berperan dalam tahap pemasakan masih bersifat anaerobik
yang berpengaruh pada hasil fermentasi, seperti reduksi senyawa nitrogen dan
sulfur yang menghasilkan gas amoniak, asam lemak, dan hidrogen sulfida
(memproduksi bau tidak sedap pada kompos tahap pemasakan). Senyawa antara
pada tahap pemasakan juga dapat mengganggu aktivitas perkecambahan benih
dan tanaman, seperti asam asetat dan senyawa fenolik (Sylvia et al., 2005).
Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan
Ukuran Partikel
Menurut Sylvia et al. (2005), ukuran partikel berperan dalam pergerakan
oksigen ke dalam tumpukan kompos (melalui pengaruh porositas), akses
mikroorganisme dan enzim untuk substrat. Partikel ukuran besar mendifusikan
oksigen akibat rata-rata pori besar. Namun, partikel yang lebih besar juga
meminimalkan permukaan spesifik dari substrat, yang merupakan rasio luas
permukaan dengan volume, sehingga sebagian besar substrat tidak terakses pada
mikroorganisme atau enzim mereka. Pengomposan yang efisien membutuhkan
akses terhadap oksigen dan nutrien di partikel.
Aerasi
Sistem pengomposan bertujuan untuk mempertahankan kondisi aerob
selama proses. Pengomposan pada kondisi aerob meningkatkan laju dekomposisi,
sehingga terjadi peningkatan temperatur. Apabila aerasi tidak terhambat, maka
tidak dihasilkan bau tidak sedap (Holmes, 1983).
Menurut Outerbridge (1991), tidak adanya udara (kondisi anaerobik) akan
menimbulkan

perkembangbiakan

menyebabkan

pengawetan

berbagai

keasaman

dan

macam

mikroorganisme

pembusukan

tumpukan

yang
yang

menimbulkan bau busuk. Aerasi diperoleh melalui gerakan alami dari udara ke
dalam tumpukan kompos, dengan membolak-balik.

Kelembaban (moisture content)


Kelembaban merupakan faktor utama dalam pengomposan aerob.
Kelembaban dibawah 20 % menyebabkan pengomposan terhenti. Jika
kelembaban diatas 55 %, air akan mulai mengisi ruang antara bahan,
menyebabkan pengurangan jumlah oksigen dan terbentuk kondisi anaerob,
sehingga temperatur menurun dan menimbulkan bau tidak sedap (Holmes, 1981).
Temperatur/suhu
Ketika

bahan

organik

yang

dikumpulkan

menjadi

satu

untuk

pengomposan, sebagian energi yang dilepaskan oleh penguraian bahan dibebaskan


sebagai panas, dan menyebabkan kenaikan suhu. Semakin tinggi temperatur akan
semakin banyak oksigen (kondisi aerasi dan air) dan meningkatkan proses
dekomposisi. Suhu 55 sampai 60 C dapat membunuh hampir semua gulma dan
patogen (Outerbridge, 1991).
pH
pH digunakan untuk mengevaluasi hasil metabolisme mikroorganisme di
lingkungan. pH kompos bervariasi dengan waktu selama proses pengomposan dan
digunakan sebagai indikator dekomposisi dalam massa kompos. pH awal bahan
pengomposan sekitar 5,0 sampai 7,0. Setelah tiga hari pengomposan, pH menurun
menjadi 5,0 atau kurang karena hasil penguraiannya adalah asam organik
sederhana dan kemudian meningkat sekitar 8,5 sebagai akibat sisa dari proses
aerob (protein diuraikan dan amonia dilepaskan). Pengomposan pada kondisi
anaerob menyebabkan pH turun sekitar 4,5 (Holmes, 1981; Outerbridge, 1991).

Lama pengomposan
Menurut Outerbridge (1991), kecepatan kemajuan pengomposan ke arah
produk akhir yang matang tergantung pada beberapa faktor proses, seperti
pasokan unsur hara (rasio C/N bahan), ukuran partikel, kelembaban, aerasi, pH,
suhu, dan aditif (penambahan aktivator biologi/inokulan). Kompos matang dapat
selesai dalam waktu 8 sampai 16 minggu.

Mikroorganisme
Menurut Outerbridge (1991), pengomposan timbul dari kegiatan
mikroorganisme, sehingga diharapkan bahwa proses pengomposan akan lebih
baik dengan penambahan inokulan dari kultur mikroorganisme. Mikroorganisme
berkembangbiak dengan sangat cepat, dan dalam beberapa hari jumlah mereka
dapat mencapai titik maksimum yang dimungkinkan oleh kondisi lingkungan
dalam tumpukan kompos. Mikroorganisme yang umum terdapat pada kompos
dapat dilihat pada Tabel 2. Mikroorganisme yang berperan dalam proses
pengomposan, seperti bakteri mendominasi semua tahap proses; jamur sering
muncul setelah satu minggu; dan aktinomisetes membantu selama masa akhir
(pemasakan).

Bahan Penyusun Kompos


Mikroorganisme
Pusat dari proses pengomposan adalah mikroorganisme dan kemampuan
mikroorganisme dalam mendekomposisi. Populasi mikroorganisme selama
berlangsungnya perombakan senyawa organik akan terus berubah. Penambahan
kultur mikroorganisme khusus diharapkan dapat meningkatkan laju dekomposisi
senyawa organik (Sylvia et al., 2005; Outerbridge, 1991).
Effective

Microorganism

(EM)

adalah

kultur

campuran

dari

mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Sebagian


besar mengandung mikroorganisme Lactobacillus sp. bakteri penghasil asam
laktat, serta dalam jumlah sedikit bakteri fotosintetik Streptomyces sp. dan ragi.
EM mampu meningkatkan dekomposisi limbah dan sampah organik sehingga
sangat bagus digunakan untuk mempercepat pengomposan sampah organik atau
kotoran hewan, meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman serta menekan
aktivitas serangga hama dan mikroorganisme patogen (Anonimus, 2007).
Kapur

Kapur

dapat

ditambahkan

untuk

meningkatkan

metabolisme

mikroorganisme. Kapur dapat melapisi permukaan substrat organik dengan suatu


film partikel koloid yang membantu menahan air pada permukaan, sehingga
membantu

cara

kerja

mikroorganisme

dalam

mendekomposisi

substrat

(Outerbridge, 1991).
Ciri-ciri Kompos Matang
Kompos yang sudah masak memiliki warna coklat kehitaman, tekstur
remah, dan kadar air 50% (Derikx et al., 1990; Rosmarkam & Yuwono, 2002;
McKinley & Vestal, 1985). Standar rasio C/N kompos yaitu antara 10 sampai 20
(SNI, 2004). Menurut Sylvia et al. (2005), kompos matang yang berasal dari
ekskreta ayam memiliki kandungan nitrogen 4,5 %; fosfor 0,8 %; kalium 0,7 %;
kalsium 1,8 %; magnesium 0,4 %, dan rasio C/N 7.
Kualitas Kimia Kompos
Menurut SNI (2004) standar kualitas kompos yang baik untuk kadar air
maksimal sebesar 50%, bahan organik minimal 27%, C organik minimal 9,8%, N
total minimal 0,04%, K total minimal 0,2% dan rasio C/N minimal sebesar 10 dan
maksimal 20. Haga (1998) cit Triatmojo (2002) menyatakan bahwa diharapkan
kompos memiliki kandungan N lebih dari 1,2%, P 2O5 lebih dari 0,5% dan K2O
lebih dari 0,3%. Menurut Sarwono dan Arianto (2006), kompos yang baik
mengandung 0,79% N; 1,28% P2O5; 0,88% K2O; 1,74% CaO; 0,45% MgO; dan
22,53% C-organik

Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran


bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi
berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan
aerobik atau anaerobik.
Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami
tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi

membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup,


pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan.

Bahan-bahan yang dapat dijadikan kompos ada dua macam,yaitu :


1. Organik
Misalnya daun tanaman, rumput-rumputan, potongan sayur, dan sebagainya.
2.

Organik Olahan

Bahan-bahan yang berasal dari sisa makanan seperti nasi, bekas sayuran, sisa
roti, sisa masakan, dan semacamnya.
Asal

Bahan

1. Pertanian
Limbah

dan Jerami dan sekam padi, gulma, batang dan tongkol jagung,

residu

semua bagian vegetatif tanaman, batang pisang dan sabut

tanaman

kelapa

Limbah & residu Kotoran padat, limbah ternak cair, limbah pakan ternak, cairan
ternak
Tanaman air

biogas
Azola, ganggang biru, enceng gondok, gulma air

2. Industri
Limbah padat

Serbuk gergaji kayu, blotong, kertas, ampas tebu, limbah


kelapa

sawit,

limbah

pengalengan

makanan

dan

pemotongan hewan
Limbah cair

Alkohol, limbah pengolahan kertas, ajinomoto, limbah


pengolahan minyak kelapa sawit

3. Limbah rumah tangga


Sampah

Tinja, urin, sampah rumah tangga dan sampah kota

Proses pengomposan adalah proses


penguraian

secara

biologis,

khususnya

bahan organik mengalami


oleh

mikroba-mikroba

yang

memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Kompos dari sampah


organik pasar atau domestik dapat diolah menjadi kompos dengan beberapa
metode, diantaranya :
A. Metode Konvensional
Metode ini tidak menggunakan komposter. Biasanya adonan kompos
ditimbun dan ditutup dengan kain terpal.Selain kain terpal dapat digunakan
pula karung goni atau sabut kelapa yang dimasukkan dalam kantung dari
jaring plastik.

B. Metode komposter
Metode komposter dengan penambahan bakteri (aktivator) Sampah
merupakan material sisa yang tidak diinginkan.60%- 70% sampah yang
dihasilkan adalah sampah organik/sampah basah (sampah rumah tangga,
sampah dapur, sampah kebun, sampah restoran/sisa makanan, sampah pasar
dll). Pengomposan dengan teknologi komposter adalah proses penguraian
sampah organik secara aerob dengan mengunakan Sy-Dec mikroba pengurai
dan Organik Agent (bahan mineral organik).
Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan
mentah dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi
dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal
proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera
dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan
meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH

kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas (50-70)oC. Suhu akan tetap
tinggi selama waktu tertentu.
Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu
mikroba

yang

aktif

pada

suhu

tinggi.Pada

saat

ini

terjadi

dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di


dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan
organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah
terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini
terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat
humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun
biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 40% dari
volume/bobot awal bahan.
Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik(menggunakan
oksigen) atau anaerobik(tidak ada oksigen). Proses yang dijelaskan
sebelumnya adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen
dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga
terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun,
proses ini tidak diinginkan selama proses pengomposan karena akan
dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses aerobik akan menghasilkan senyawasenyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam-asam organik (asam asetat,
asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S
Proses pengomposan tergantung pada kondisi sebagai berikut:
1. Karakteristik bahan yang dikomposkan
2. Aktivator pengomposan yang dipergunakan
Memanfaatkan

organisme

yang

dapat

mempercepat

proses

pengomposan. Organisme yang sudah banyak dimanfaatkan misalnya cacing


tanah. Proses pengomposannya disebut vermikompos dan kompos yang
dihasilkan dikenal dengan sebutan kascing. Organisme lain yang banyak
dipergunakan

adalah

mikroba,

baik

bakteri,

actinomicetes,

maupun

kapang/cendawan. Saat ini di pasaran banyak sekali beredar aktivatoraktivator pengomposan, misalnya : Promi, OrgaDec, SuperDec, ActiComp,
EM4, Stardec, Starbio, dll.
Promi, OrgaDec, SuperDec, dan ActiComp adalah activator yang
banyak dimanfaatkan untuk membuat kompos. Aktivator pengomposan ini
menggunakan mikroba-mikroba terpilih yang memiliki kemampuan tinggi
dalam mendegradasi limbah-limbah padat organik, yaitu: Trichoderma
pseudokoningii, Cytopaga sp, Trichoderma harzianum, Pholyota sp, Agraily sp
dan FPP (fungi pelapuk putih).
Mikroba ini bekerja aktif pada suhu tinggi (termofilik).Aktivator ini
tidak memerlukan tambahan bahan-bahan lain dan tanpa pengadukan secara
berkala. Namun, kompos perlu ditutup/sungkup untuk mempertahankan suhu
dan kelembaban agar proses
pengomposan berjalan optimal dan cepat. Pengomposan dapat
dipercepat hingga 2 minggu untuk bahan-bahan lunak/mudah dikomposkan
hingga 2 bulan untuk bahan-bahan keras/sulit dikomposkan.
Teknologi Pengomposan
Metode atau teknologi pengomposan dapat dikelompokkan menjadi
tiga kelompok berdasarkan tingkat teknologi yang dibutuhkan, yaitu :
1. Pengomposan dengan teknologi rendah (Low Technology)
2. Pengomposan dengan teknologi sedang (Mid Technology)
3. Pengomposan dengan teknologi tinggi (High Technology)
Berikut ini merupakan penjelasan mengenai teknik-teknik teknologi dalam
pembuatan kompos:
1.

Pengomposan dengan Teknologi Rendah

Teknik pengomposan yang termasuk kelompok ini adalah Windrow


Composting.Kompos ditumpuk dalam barisan tumpukan yang disusun
sejajar.Tumpukan secara berkala dibolak-balik untuk meningkatkan aerasi,
menurunkan suhu apabila suhu terlalu tinggi, dan menurunkan kelembaban
kompos.Teknik ini sesuai untuk pengomposan skala yang besar. Lama
pengomposan berkisar antara 3 hingga 6 bulan, yang tergantung pada
karakteristik bahan yang dikomposkan.
2.

Pengomposan dengan Teknologi Sedang


Pengomposan dengan teknologi sedang antara lain adalah :

Aerated static pile : gundukan kompos diaerasi statis

Tumpukan/gundukan kompos (seperti windrow system) diberi aerasi


dengan menggunakan blower mekanik.Tumpukan kompos ditutup
dengan terpal plastik.Teknik ini dapat mempersingkat waktu
pengomposan hingga 3 5 minggu.

Aerated compost bins : bak/kotak kompos dengan aerasi

Pengomposan dilakukan di dalam bak-bak yang di bawahnya diberi


aerasi.Aerasi juga dilakukan dengan menggunakan blower/pompa
udara.Seringkali ditambahkan pula cacing (vermikompos). Lama
pengomposan kurang lebih 2 3 minggu dan kompos akan matang
dalam waktu 2 bulan.
3. Pengomposan dengan Teknologi Tinggi
Pengomposan dengan menggunakan peralatan yang dibuat khusus
untuk mempercepat proses pengomposan. Terdapat panel-panel untuk
mengatur kondisi pengomposan dan lebih banyak dilakukan secara mekanis.
Contoh-contoh pengomposan dengan teknologi tinggi antara lain :

Rotary Drum Composter

10

Pengomposan dilakukan di dalam drum berputar yang dirancang khusus


untuk proses pengomposan. Bahan-bahan mentah dihaluskan dan
dicampur pada saat dimasukkan ke dalam drum. Drum akan berputar
untuk mengaduk dan memberi aearasi pada kompos.

Box/Tunnel Composting System

Pengomposan dilakukan dalam kotak-kotak/bak skala besar. Bahan-bahan


mentah akan dihaluskan dan dicampur secara mekanik. Tahap-tahap
pengomposan berjalan di dalam beberapa bak/kotak sebelum akhirnya
menjadi produk kompos yang telah matang.
Sebagian dikontrol dengan menggunakan komputer.Bak pengomposan
dibagi menjadi dua zona, zona pertama untuk bahan yang masih mentah dan
selanjutnya diaduk secara mekanik dan diberi aerasi. Kompos akan masuk ke
bak zona ke dua dan proses pematangan kompos dilanjutkan.

Mechanical Compost Bins

Sebuah drum khusus dibuat untuk pengomposan limbah rumah tangga.

Pengecekan Kompos
Pengecekan kondisi kompos perlu dilakukan untuk mengetahui
keefisienan dan keberhasilan pembuatan kompos ini. Pengecekan
kompos ini dilakukan setiap seminggu sekali.
a pH
Pengecekan pH dilakukan untuk mengetahui kondisi kompos karena
mikroba pada pengomposan bekerja pada pH 5,5 8. pH kompos
diukur dengan cara:
1 Terpal dibuka sedikit lalu diambil sejumlah contoh dari 3 titik
2
3

dan dimasukkan ke kantung plastik


Contoh ditimbang 5 gram dengan neraca analitik
Contoh tersebut dimasukkan erlenmeyer dan ditambahkan

4
5

100 mL aquadest
Erlenmeyer tersebut ditutup rapat dengan aluminium foil
Contoh di-shaker selama 5 menit pada kecepatan 120 rpm

11

Ekstrak tersebut disaring dengan kertas saring dan ditampung

7
8
9

pada gelas piala


Filtrat diukur pH-nya dengan pH meter
Hasil dicatat
Terpal ditutup rapat kembali

Temperatur
Pengomposan terjadi pada temperatur mesophilic (10 C
40 C) dan thermophilic (diatas 42 C) biasanya dilakukan pada
temperature 43 C 65 C sebagai temperatur yang optimal
dalam proses pengomposan. Temperatur thermophilic lebih
disukai dalam pengomposan karena membunuh lebih banyak
patogen, kecambah dan larva lalat. Dalam beberapa proses
pengomposan, temperatur dapat saja melebihi 70 C, karena
dampak dari dinding yang tidak dapat menghantar panas
(insulation) ketika sedang berjalannya kegiatan mikrobiologi.
Pada

temperatur ini

banyak mikroba mati

dan proses

pengomposan dapat berhenti, kemudian temperatur turun hingga


mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang kembali.
Cara pengukuran temperatur kompos sebagai berikut:
1 Terpal dibuka sedikit lalu masukkan termometer kedalam

kompos
Didiamkan

3
4

kenaikan/penurunan pembacaan pada termometer)


Hasil dicatat
Terpal ditutup rapat kembali

beberapa

saat

sampai

stabil(tidak

ada

Ketinggian
Kompos dinyatakan berhasil/efisien jika terjadi penurunan
ketinggian. untuk mengetahui penurunan ketinggian kompos
dilakukan dengan mengukur dengan meteran dari bagian dalam
peralon besar.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada saat pengecekan kompos secara


berkala:
Tidak ada panas yang timbul

12

Hal ini disebabkan Oksigen, bahan nitrogen dan kelembaban


yang tidak cukup, oleh karena itu yang harus dilakukan
adalah menambahkan sumber kaya nitrogen seperti kotoran
hewan dan potongan rumput, aduk komposnya dan siram
dengan air sehingga lembab
Daun daun lengket, rumput tidak terurai
Hal ini disebabkan aliran udara yang tidak cukup dan atau kurang
lembab, yang perlu dilakukan adalah menghindari lapisan
tebal yang hanya terdiri dari satu jenis material, campurkan
dengan jenis material yang lain dan aduk hingga rata.
Material yang tidak terurai di hancurkan atau dicacah kecil
kecil
Komposnya berbau seperti mentega asam tahu telur busuk
Hal ini disebabkan kekurangan oksigen atau tumpukan kompos
terlalu basah atau terlalu padat, yang perlu dilakukan adalah
Aduk tumpukan komposnya sehingga dapat dialiri udara dan
bernafas lega, lalu dpat juga ditambahkan bahan-bahan
kering yang kasar, seperti daun-daun kering untuk menyerap
air. Jika sangat bau, bahan kering ditambahkan diatasnya dan
tunggu sampai agak kering sedikit, baru diaduk.
Komposnya berbau seperti ammonia
Hal ini disebabkan tidak cukupnya bahan karbon dalam kompos.
Yang perlu dilakukan adalah menambahkan bahan carbon
seperti serbuk gergaji, sekam padi, daun-daunan dsb

Pembahasan
Kompos merupakan hasil fermentasi atau dekomposisi dari bahan-bahan
organik seperti tanaman , hewan ,atau limbah organik lainnya. Pembuatan
kompos dilakukan pada suatu tempat yang terlindung dari panas dan hujan.
Untuk mempercepat perombakan dan pematangan serta menambah unsur
hara, maka ditambahkan campuran kapur dan kotoran ternak. Bahan yang
digunakan sebagai sumber kompos berupa limbah seperti sampah coklat sisa-

13

sisa tanaman yang telah berguguran dan mengering dan sampah hijau sisa
tanaman dan sampah pasar. Pupuk kompos berfungsi untuk memperbaiki
kesuburan tanah dan sekaligus meningkatkan produktivitas lahan dan
tanaman.
Pada saat praktikum, digunakan bahan baku pembuatan kompos berupa
sampah hijau dan sampah coklat dengan komposisi sampah hijau 1 kg dan
sampah

coklat 4 kg yang telah dipotong

ukurannya. Kemudian dicampur

kecil-kecil atau diperkecil

menjadi satu antara sampah hijau dan

sampah coklat diatas terpal untuk dihomogenkan dengan bantuan alat seperti
sapu lidi atau tongkat. Setelah itu, dilakukan penambahan serbuk gergaji
dengan cara ditaburkan secara merata pada tumpukan sampah yang telah
dihomogenkan diatas terpal tersebut dan ditambahkan bakteri ecogate untuk
membantu

proses dekomposisi senyawa organik. Lalu ditambahkan air

sampai sampai lembab. Kemudian terpal ditutup rapi dengan diberi lubang
pada bagian tiga sudut terpal ,dan pralon ditempatkan di tiga lubang tersebut
agar air hasil dekomposisi senyawa organik dapat mengalir keluar dari terpal.
Sampah dipotong kecil-kecil bertujuan untuk memperkecil ukuran sampah
tersebut yang dapat mempercepat proses pembusukan baik secara alami
maupun dengan mikroba. Kemudian dilakukan homogenisasi antara sampah
hijau dengan coklat bertujuan agar proses pembusukannya merata, tidak hanya
sampah hijau atau coklat saja. Dalam homogenisasi dapat digunakan bantuan
alat apapun asalkan dapat membantu dalam homogenisasi sampah.
Penambahan serbuk gergaji dan mikroba memiliki peranan yang penting yaitu
untuk menurunkan pH dan mempercepat proses penguraian atau dekomposisi
dedaunan agar menjadi busuk, tentunya untuk menjaga kehidupan mikroba
maka perlu disesuaikan kondisinya yaitu suasana lembab dengan cara
menambahkan air pada bahan sampah.
Berdasarkan data hasil pengamatan pada minggu pertama tanggal 1
April 2013, kompos mengalami proses dekomposisi awal(proses permulaan)
ditandai dengan penurunan tinggi kompos dari tinggi awal kompos 36 cm
menjadi 28 cm. Namun pH dan temperatur masih sesuai dengan bahan dan
14

lingkungan yang ada yaitu pH 8,02 dan suhu kompos 31 oC sehingga untuk
menurunkan pH ditambahkan serbuk gergaji.
Pada minggu kedua, tanggal 8 April 2013 terjadi penurunan pH dari
8,02 menjadi 7,83, mengindikasikan bahwa suasana kompos dalam terpal
tersebu menjadi sedikit asam dan temperatur turun dari 31oC menjadi 28,5oC
hal ini menunjukkan sejalan dengan adanya aktivitas mikroba (khususnya
bakteri yang indigenous/ asli) didalam bahan , seharusnya temperatur
mengalami kenaikan untuk menghasilkan asam organik, tetapi kenyataannya
temperatur menjadi turun.
Pada minggu ketiga, terjadi sedikit kenaikan temperatur dari 28,5oC
menjadi 28,7oC , aktifitas bakteri mesofilik akan terhenti , kemudian diganti
oleh kelompok termofilik. Bersamaan dengan pergantian ini maka amoniak
dan gas nitrogen akan dihasilkan, sehingga nilai pH akan berubah menjadi
basa. Jika temperatur turun kembali hingga akhirnya berkisar seperti
temperatur asal . Maka fasa ini disebut fasa pendinginan dan akhirnya hasil
kompos siap untuk digunakan.
Pada saat dilakukan

panen kompos , sampah yang telah

terdekomposisi dipisahkan dengan sampah yang masih dalam bentuk kasar


dengan cara disaring/diayak. Kompos yang terpisah ditimbang bobotnya dan
didapatkan kompos murninya sebanyak 3 kg. Kompos telah siap untuk
digunakan sebagai pupuk organik yang dapat meningkatkan kualitas tanah
menjadi tanah yang subur.
Kompos yang dihasilkan hanya 3 kg, jumlah ini hanya 60% dari
bobot bahan baku yang digunakan, artinya dalam pembuatan kompos dengan
metode ini tidak cukup efisien. Hal ini dapat dikarenakan oleh metode yang
digunakan tidak cocok, terdapat kesalahan dari praktika, ataupun dari faktor
lingkungan

yang

tidak

dapat

dikendalikan.

Beberapa

faktor

yang

memungkinkandapat mempengaruhi dalam proses pengomposan adalah:

15

a) Pemisahan Bahan : Bahan-bahan yang sekiranya lambat atau sukar untuk


didegradasi/diurai, harus dipisahkan/dikeluarkan. Bahkan bahan-bahan
tertentu yang bersifat toksikserta dapat menghambat pertumbuhan
mikroba, harus benar-benar dibebaskan dari dalam timbunan bahan,
antara lain missal residu pestisida.
b) Bentuk Bahan : Lebih kecil dan homogen bentuk bahan proses
pengomposan akan lebih cepat dan baik. Karena dengan lebih kecil dan
homogen, lebih luas permukaan bahan yang dijadikan substrat bagi
aktivitas mikroba. Juga pengaruhnya terhadap kelancaran diffus oksigen
yang diperlukan untuk pengeluaran CO2 yang dihasilkan.

c) Nutrien: seperti pula jasad hidup lainnya, untuk aktivitas mikroba


didalam tumpukan sampah memerlukan sumber nutrient karbohidrat
misalnya antara 20-40% yang digunakan akan diassimilasikan menjadi
komponen sel dan CO2, kalau bandingan sumber karbohidrat yang
terdapat didalamnya (C/N-rasio) = 10 : 1.
d) Kadar air bahan : Tergantung kepada bentuk dan jenis bahan, missal
kadar air optimum didalam proses pengomposan mempunyai nilai antara
50 70, terutama selama proses fase pertama . Kadang-kadang dalam
keadaan tertentu, kadar air bahan bisa bernilai sampai 85% missal pada
jerami.

DAFTAR PUSTAKA
16

Djadjaningrat,

Surna

dan

Harry

Harsono

Amir.1993.Penilaian secara Cepat Sumber-sumber Pencemar


Air, tanah dan udara. Yogyakarta : UGM press
Prof. Drs. Unus Suriawiria.2008.Mikrobiologi Air.Bandung :
Penerbit PT ALUMNI ( Hal : 233- 259)
Pulford, Ian dan Hugh flowers.2006. Enviromental Chemistry
at A glance.New Delhi : Blackwell publishing
http://sutomodiriku.wordpress.com/pengertian-kompos-dancara-pembuatannya/

17

Anda mungkin juga menyukai