Anda di halaman 1dari 3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Lahan Gambut

Lahan gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang
setengah membusuk, oleh sebab itu kandungan bahan organiknya tinggi. Lahan gambut banyak
ditemukan di rawa Sumatra, rawa Kalimantan, dan rawa Papua. Lahan ini tidak cocok untuk
pertanian maupun perkebunan karena derajat keasamannya tinggi.

Menurut Andriesse, gambut adalah tanah organik (organic soils), tetapi tidak berarti
bahwa tanah organik adalah lahan gambut. Sebagian petani menyebut lahan gambut dengan
istilah tanah hitam, karena warnanya hitam dan berbeda dengan jenis tanah lainnya. Lahan
gambut yang telah mengalami perombakan secara sempurna sehingga bagian tumbuhan aslinya
tidak dikenali lagi dan kandungan mineralnya tinggi disebut lahan bergambut.

Lahan rawa sebagai lahan yang menempati posisi peralihan di antara daratan dan sistem
perairan. Lahan ini sepanjang tahun atau selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh
air (waterlogged) atau tergenang (Widjaya Adhi et al.,1992; Subagyo, 1997).

Menurut PP No. 27 tahun 1991, lahan rawa adalah lahan yang tergenang air secara
alamiah yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat dan
mempunyai cici-ciri khusus baik fisik, kimiawi, maupun biologis

Keputusan Menteri PU No. 64/PRT/1993 menerangkan, bahwa lahan rawa dibedakan


menjadi (a) rawa pasang surut/rawa pantai dan (b) rawa non-pasang surut/rawa pedalaman.
Lahan rawa tersebut terdiri ataslahan rawa tanah mineral,dan lahan rawa gambut.

Hardjowigeno dan Abdullah (1987) mendefinisikan gambut sebagai tanah yang terbentuk
dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum.
Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau
kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.

Sejarah pembentukan gambut di Indonesia dimulai ketika pada zaman es yaitu terjadi
proses penurunan permukaan air laut (regresi) yang menyebabkan erosi kuat di hulu-hulu
sungai.Akibatnya endapan batuan kasar seperti gravel dan kerikil yang disebut old alluvium,
yang diendapkan di atas sedimen tersier yang menjadi dasar cekungan gambut. Proses deposisi
bahan organik sebagai bahan pembentuk gambut dimulai setelah akhir periode Pleistosen sampai
awal periode Holosen (10.000 – 5.000 tahun yang lalu), sejalan dengan meningkatnya
permukaan air laut (transgresi) secara perlahan sampai sekarang (Tjahyono, 2006).

Gambut yang terbentuk di wilayah rawa pantai Indonesia diperkirakan dimulai sekitar
5.000-4.000 tahun yang lalu, dan diperkirakan hampir bersamaan waktunya dengan dimulainya
proses akreasi yang membentuk wilayah pulau-pulau delta di rawa pasang surut yang ada
sekarang ini (Subagyo, 2002).

Pada awalnya diakhir zaman Pleistosin sampai awal zaman Holosin dimana terjadi
kenaikan muka air laut sekitar 100-135 m (Davis et al., 1976; Holmes, 1978).

Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya pendangkalan danau yang secara
perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah (Noor, 2001).

2.2 Proses Pembentukan Lahan Gambut

Lahan gambut dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman yang berlapis-lapis hingga
mencapai ketebalan >30cm. Proses penimbunan bahan sisa tanaman ini merupakan proses
geogenik yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowegeno, 1986). Gambut
terbentuk dari lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan yang terjadi hampir
sepanjang tahun. Kondisi langka udara akibat genangan, ayunan pasang surut, atau keadaan yang
selalu basah telah mencegah aktivitas mikro-organisme yang diperlukan dalam perombakan.
Laju penimbunan gambut dipengaruhi oleh peduan antara keadaan topografi dan curah hujan
dengan curahan perolehan air yang lebih besar dari pada kehilangan air serta didukung oleh sifat
tanah dengan kandungan fraksi debu (silt) yang rendah.

Ketebalan gambut pada setiap bentang lahan adalah sangat tergantung pada:

1. Proses penimbunan yaitu jenis tanaman yang tumbuh, kerapatan tanaman dan lama
pertumbuhan tanaman sejak terjadinya cekungan tersebut,
2. Proses kecepatan perombakan gambut,
3. Proses kebakaran gambut, dan
4. Perilaku manusia terhadap lahan gambut.

Gambut dengan ketebalan 3 m atau lebih termasuk kategori kawasan lindung sebagai
kawasan yang tidak boleh diganggu. Kebijakan ini dituangkan melalui Keppres No. 32 tahun
1990 yang merupakan kebijakan umum dalam reklamasi dan pemanfaatan lahan gambut di
Indonesia.

Berdasarkan besarnya potensi sumberdaya, kendala biofisik dan peluang pengembangan,


maka rawa khususnya gambut pedalaman perlu mendapatkan perhatian serius. Gambut
dikategorikan sebagai lahan marjinal, karena kendala biofisiknya sukar diatasi. Prodiktifitas
gambut sangat beragam, ketebalan gambut juga menentukan kesuburannya (Barchia, 2006).
Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia

Subagjo, H., dan IPG Widjaya Adhi. 1998. Peluang dan kendala penggunaan lahan rawa
untuk pengembangan pertanian di Indonesia. Kasus Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah.
Hal. 13-50. Dalam U. Kurnia et al. (ed.) Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi
Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Makalah Utama. Bogor, 10-12 Februari 1998. Puslit.
Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Agus, F. dan I. G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia.

Andriesse J. P. 2003. Ekologi dan Pengelolaaan Tanah Gambut Tropika. Cahyo Wibowo dan
Istomo [penerjemah]. Bogor: Fakultas Kehutanan, InstitutPertanian Bogor.

Barchia, Muhammad Faiz. 2006. Gambut. Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.

Noor, Muhammad. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius :
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai