Anda di halaman 1dari 10

TUGAS PENGGANTI PRAKTIKUM

BUDIDAYA TANAMAN PADA LAHAN MARGINAL

LAHAN GAMBUT

Oleh:

Muhammad Ihsan Abdi A1D018042


Dandi Kurniawan A1D018062
Adil Kusuma Nugroho A1D018167

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2020
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara keempat yang mempunyai lahan gambut terluas di


dunia, tetapi pemanfaatan dan pengembangannya masih sangat terbatas. Di
beberapa kawasan Asia (termasuk Indonesia) lahan gambut umumnya
dimanfaatkan sebagai lahan pertanian (Noor 2001), contohnya penggunaan
gambut dangkal sebagai lahan persawahan di daerah Kalimantan Tengah.
Berdasarkan data Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan
Pertanian (2008) luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 18 juta ha
yang tersebar di beberapa kepulauan dan 33% diantaranya berpotensi untuk
digunakan sebagai lahan pertanian. Kalimantan Tengah memiliki luas lahan
gambut yang layak untuk pertanian seluas 672.723 ha (BBSDLP 2008).
Keterbatasan lahan produktif menyebabkan ekstensifikasi pertanian
mengarah pada lahan-lahan marjinal. Lahan gambut adalah salah satu jenis lahan
marjinal yang dipilih, terutama oleh perkebunan besar, karena relatif lebih jarang
penduduknya sehingga kemungkinan konflik tata guna lahan relatif kecil.
Lahan gambut merupakan lahan marginal untuk pertanian karena
kesuburannya yang rendah, pH sangat masam, dan keadaan drainasenya yang
jelek. Akan tetapi karena keterbatasan lahan bertanah mineral, ekstensifikasi
pertanian ke lahan gambut tidak dapat dihindari. Dewasa ini lahan gambut
digunakan untuk berbagai komoditas pertanian, termasuk kelapa sawit, karet,
buah-buahan dan sayur-sayuran (Nurida dkk., 2011).
Penggunaan lahan gambut telah dimulai pada tahun 1900-an. Sejalan dengan
pertambahan penduduk dan keterbatasan lahan pertanian menyebabkan pilihan
diarahkan pada lahan gambut baik untuk kepentingan pertanian maupun untuk
pemukiman penduduk. Lahan gambut merupakan suatu ekosistem khas dari segi
struktur, fungsi, dan kerentanan. Pemanfaatan lahan gambut yang tidak
bertanggung jawab akan menyebabkan kehilangan salah satu sumber daya yang
berharga karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable). Seperti
yang dilaporkan, di Kalimantan Tengah banyak dijumpai lahan bongkor yaitu
lahan gambut yang terdegradasi (rusak) karena mengalami subsidensi dan
dibiarkan atau ditinggalkan oleh pengelolanya. Lahan gambut memerlukan
pengelolaan yang berbeda dengan lahan lain (Notohadiprawiro, 2006).
Gambut memiliki lapisan tanah yang kaya akan bahan organik (C-organik
>18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut
terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi
lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak
dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang
drainasenya buruk (Agus dan Subiksa, 2008).
Berdasarkan sistem taksonomi tanah, tanah gambut disebut Histosols (histos
= tissue = jaringan), sedangkan dalam sistem klasifikasi tanah nasional tanah
gambut disebut Organosol (tanah yang tersusun dari bahan organik) (Dudal dan
Soepraptohardjo, 1987). Sedangkan menurut Nurida dkk., (2011) gambut
terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk
maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat
oleh kondisi anaerob atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan
rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut
merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh
proses deposisi dan tranportasi.

B. Tujuan

Tujuan pembuatan makalah ini yang berjudul tentang lahan gambut yaitu:
1. Mengetahui arti lahan gambut
2. Mengetahui karakter pada lahan gambut
3. Mengetahui klasifikasi lahan gambut
4. Mengetahui tanaman yang dapat hidup pada lahan gambut
II. PEMBAHASAN

Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik
(C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun
tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna
karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan
gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah
cekungan yang drainasenya buruk.
Lahan gambut yang mengalami kerusakan masih memiliki potensi untuk
dikembalikan kembali ke kondisi semula (basah dan tertutup oleh vegetasi) (Page
et al. 2011). Perbaikan terhadap kondisi hutan rawa gambut yang terdegradasi
terutama akibat kebakaran dapat dilakukan dengan upaya restorasi, yaitu
memulihkan ekosistem kembali ke struktur dan fungsi alaminya seperti semula
(Page et al. 2011). Upaya pembasahan kembali lahan gambut (rewetting) dengan
pembangunan sekat kanal telah dilakukan pada beberapa lokasi yang mengalami
degradasi. Rewetting akan mempertahankan tinggi muka air tanah tetap pada
kondisi yang diinginkan sehingga gambut akan selalu dalam keadaan basah. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Syaufina (2008) menjelaskan bahwa, tingkat
kebasahan yang tinggi akan menekan laju kebakaran, namun sebaliknya dengan
menurunya gambut menjadikan sangat rapuh setelah mengering (fragile) dan
mudah terbakar.
Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk
pertanian meliputi kadar air, berat isi bulk density (BD), daya menahan beban
(bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik
(irriversible drying) (Agus dan Subiksa, 2008). Beberapa sifat fisik yang perlu
diperhatikan kaitannya dengan konservasi tanah gambut adalah kadar air serta
kapasitas memegang air. Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300 %
dari berat keringnya (13 kali bobotnya) menyebabkan Bulk Density (BD) menjadi
rendah. Bulk density terkait dengan tingkat kematangan dan kandungan bahan
mineral, dimana semakin matang dan semakin tinggi kandungan bahan mineral
maka BD akan semakin besar dan tanah gambut semakin stabil (tidak mudah
mengalami kerusakan) (Ratmini, 2012). Volume gambut akan menyusut bila
lahan gambut didrainase, sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden).
Selain karena penyusutan volume, subsiden juga terjadi karena adanya proses
dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama setelah lahan gambut didrainase,
laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2-
6 cm/tahun, tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase.
Adanya subsiden bisa dilihat dari akar tanaman yang menggantung. Rendahnya
BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga beban (bearing
capacity) menjadi sangat rendah (Agus dan Subiksa, 2008).
Karakteristik kimia lahan gambut sangat ditentukan oleh kandungan,
ketebalan,dan jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), serta tingkat
dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang
dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-
senyawa humat sekitar 10 – 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa
lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa
lainnya. Komposisi kimia gambut sangat dipengaruhi oleh bahan induk
tanamannya, tingkat dekomposisi dan sifat kimia lingkungan aslinya. Berbeda
dengan tanah mineral, bagian yang aktif dari tanah gambut adalah fase cairnya,
bukan padatan yang terdiri dari sisa tanaman. Fase cair dari gambut terdiri dari
asam-asam organik alifatik maupun aromatik yang memiliki gugus fungsional
yang aktif seperti karboksil, hidroksil dan amine (Ratmini, 2012).
Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia dari
gambut. Sebagai akibat dari tingginya asam organik, maka reaksi tanah pada
umumnya masam. Namun karena asam organik adalah asam lemah, maka pH
tanah biasanya berkisar antara 4 - 5. pH tanah bisa lebih rendah bila ada lapisan
sulfidik yang teroksidasi atau gambut yang terbentuk di atas lapisan tanah yang
sangat miskin seperti pasir kuarsa (Ratmini, 2012). Tanah gambut juga
mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan diikat cukup kuat (khelat) oleh
bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu adanya kondisi
reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi ke bentuk yang tidak dapat
diserap tanaman. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut dapat ditingkatkan
dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan pupuk mikro (Agus dan
Subiksa, 2008).
Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai
Organosol atau Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan
berat jenis (BD) dalam keadaan lembab < 0.1 g/cm3 dengan tebal > 60 cm atau
lapisan organik dengan BD > 0.1 g/cm3 dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff
cit Agus dan Subiksa, 2008). Menurut Agus dan Subiksa (2008) gambut
diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda : dari
tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya.
Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi :
1. Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan
asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam dan seratnya < 15%.
2. Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian
bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat dan seratnya 15–75%.
3. Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya
masih bisa dikenali, berwarna coklat dan seratnya >75% masih tersisa.
Menurut Nurida dkk. (2011) gambut berdasarkan kedalamannya dibedakan
menjadi : gambut dangkal (50 - 100 cm), gambut sedang (100 - 200 cm), gambut
dalam (200 - 300 cm), dan gambut sangat dalam (> 300 cm). Berdasarkan tingkat
kesuburannya Agus dan Subiksa (2008) mengklasifikasikan tanah gambut
menjadi tiga golongan yang terdiri dari gambut eutrofik, gambut mesotrofik dan
gambut oligotrofik. Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan
bahan mineral dan basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur
biasanya adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
Gambut mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan
mineral dan basa-basa sedang. Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak
subur karena miskin mineral dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut
tebal yang jauh dari pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut
oligotrofik. Najiyati dkk. (2005) menyatakan bahwa tingkat kesuburan tanah
gambut dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu ketebalan gambut, bahan asal, kualitas
air, kematangan gambut dan kondisi tanah di bawah gambut.
Pengelolaan lahan gambut dalam sector pertanian yaitu dapat dilakukannya
budidaya sawit. Tanaman kelapa sawit adalah salah satu tanaman tahunan yang
toleran terhadap lahan gambut. Itulah alasan mengapa kelapa sawit dipilih untuk
budidaya pertanian di lahan gambut. Tanaman kelapa sawit dapat bertahan hidup
pada lahan gambut dikarenakan tanaman ini membutuhkan air yang cukup untuk
pertumbuhannya.
Keterbatasan ketersediaan lahan, pengusahaan budidaya kelapa sawit selain
di tanah mineral dapat dilakukan di lahan gambut dengan memenuhi kriteria yang
dapat menjamin kelestarian fungsi lahan gambut, yaitu : (a) diusahakan hanya
pada lahan masyarakat dan kawasan budidaya, (b) ketebalan lapisan gambut
kurang dari 3 (tiga) meter, (c) substratum tanah mineral di bawah gambut bukan
pasir kuarsa dan bukan tanah sulfat masam; (d) tingkat kematangan gambut saprik
(matang) atau hemik (setengah matang); dan (e) tingkat kesuburan tanah gambut
eutropik
III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari pemaparan diatas yaitu :


1. Lahan gambut adalah adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya
bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih.
Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman
yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan
miskin hara.
2. Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk
pertanian meliputi kadar air, berat isi bulk density (BD), daya menahan
beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan
mengering tidak balik. Karakteristik kimia lahan gambut sangat ditentukan
oleh kandungan, ketebalan,dan jenis mineral pada substratum (di dasar
gambut), serta tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di
Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik.
3. klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol atau Histosols
yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat jenis (BD)
dalam keadaan lembab < 0.1 g/cm3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan
organik dengan BD > 0.1 g/cm3 dengan tebal > 40 cm
4. budidaya tanaman kelapa sawit dipilih pada lahan gambut, karena kelapa
sawit adalah tanaman tahunan yang toleran terhadap lahan gambut.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. dan I. G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian Dan
Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah Dan World Agroforestry Centre
(ICRAF). Bogor. Indonesia. 36 hal.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2008.
Laporan Tahunan, Konsorsium Penelitian dan Pengmbangan Perubahan
Iklim pada Sektor Pertanian. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Najiyati, et all, Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut, Bogor: Wetlands
International, 2005.
Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Jakarta (ID):
Penerbit Kanisius.
Notohadiprawiro, T., 2006. Etika Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian
Tanaman Pangan. Lokakarya Pengelolaan Lingkungan dalam
Pengembangan Lahan Gambut. Palangkaraya: Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan (BAPEDAL).
Nurida N.L., A. Mulyani, dan F. Agus. 2011. Pengelolaan Lahan Gambut
Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 102 hal.
Page SE, Rieley JO, Banks CJ. 2011. Global and regional importance of the
tropical peatland carbon pool. Global Change Biology 17:798-818.
Ratmini, S. 2012. Karakteristik dan pengelolaan lahan gambut untuk
pengembangan pertanian. Jurnal lahan suboptima, 1(2):197-206.

Anda mungkin juga menyukai