Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Pertama-tama kita panjatkan puji syukur kita kepada Allah SWT karena
atas Kuasa dan Limpahan Rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan
dan kami sajikan guna memenuhi tugas mata kuliah Karakteristik Dan Dinamika
Lahan Basah dan Gambut. Juga kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang baik secara langsung ataupun tidak langsung telah membantu terselesaikan
nya makalah ini. Serta tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada ibu dosen
pengampu Dr. Rossie Wiedya Nusantara, SP, M.Si yang telah membantu dan
mengarahkan dalam penyusunan makalah ini.

Makalah ini berjudul Pengertian Dan Proses Pembentukan Lahan


Gambut yang kami buat berdasarkan referensi yang telah diperoleh. Dengan
terselesaikannya makalah ini kami berharap dapat bermanfaat untuk kita semua.
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kami mengenai
lahan gambut serta proses terbentuknya lahan gambut tersebut. Besar harapan
kami selaku penyusun atas sumbangan semua pihak atas saran dan kritiknya
sehingga dapat menyempurnakan makalah ini. Terima kasih.

Pontianak, 27 Februari 2017

Kelompok I

1
BAB I

PENDAHULUAN

1. 2 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kedua setelah Brazil yang memiliki


keanekaragaman hayati terbesar. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara
kepulauan yang dilalui oleh garis khatulistiwa, sehingga memiliki iklim tropis.
Beragam ekosistem ada di Indonesia, salah satunya ekosistem gambut atau
dikenal dengan Black water ecosystem.

Lahan gambut merupakan salah satu tipe lahan basah yang unik.
Sayangnya walaupun memiliki potensi besar dalam mendukung kehidupan
manusia dan kestabilan iklim global, lahan gambut seringkali dianggap dan
diposisikan sebagai lahan marjinal dan kurang berguna, karena miskin akan unsur
hara. Penilaian tersebut tidak sepenuhnya benar, karena para ahli dapat
menunjukkan bahwa gambut juga ternyata memiliki fungsi dan manfaat lain yang
nilainya dalam jangka panjang memiliki keuntungan yang diperoleh dari kegiatan
pertanian. Bahkan, gambut juga sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
pertanian jika saja dilaksanakan dengan prinsip-prinsip ekologi yang benar serta
sejalan dengan karakteristik gambut itu sendiri.

Lahan gambut juga lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik
(C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun
tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna
karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan
gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah
cekungan yang drainasenya buruk.

Lahan gambut tropika mencakup 27,1 juta ha di Asia Tenggara, yang


terdistribusi di dataran rendah Indonesia (56,2%) khususnya di Kalimantan dan
Sumatera, Malaysia (6,4%), Papua Nugini, Thailand, Filipina,Vietnam dan Brunei
(37,4%) atau 69 % dari lahan gambut tropis di Dunia (Asean and Global
Environment Centre). Secara Nasional, luas lahan gambut lebih dari 20,6 juta ha.

2
Indonesia merupakan negara yang memiliki lahan gambut tropika terbesar di
dunia. Walaupun tidak seluruh lahan ini bisa dikembangkan, tetapi diperkirakan
masih mungkin untuk dimanfaatkan seluas 5,6 juta ha. Hutan rawa gambut tropika
merupakan salah satu tipe lahan basah yang paling terancam keberadaannya di
Indonesia karena mendapat tekanan dari berbagai aktivitas manusia.

Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat


(sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di
atmosfer, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0-3 mm
gambut per tahun (Parish et al., 2007) atau setara dengan penambatan 0-5,4 t CO 2
ha-1 tahun-1 (Agus, 2009). Apabila hutan gambut ditebang dan didrainase, maka
karbon tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah satu gas
rumah kaca terpenting). Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami
penurunan permukaan (subsiden) apabila hutan gambut dibuka. Oleh karena itu
diperlukan kehati-hatian dan perencanaan yang matang apabila akan
mengkonversi hutan gambut. Perencanaan harus mengacu pada hasil studi yang
mendalam mengenai karakteristik gambut setempat dan dampaknya bila hutan
gambut dikonversi.

1. 2 Perumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas pada makalah ini yaitu :
1. Pengertian lahan gambut
2. Proses pembentukan lahan gambut

1. 2 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian lahan gambut, terutama di Indonesia.
2. Mengetahui serta memahami proses secara detail pembentukan lahan
gambut.

BAB II

3
PEMBAHASAN

2. 3 Pengertian Lahan Gambut

Gambut menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tanah yang lunak
dan basah terdiri atas lumut dan bahan tanaman lain yang membusuk (biasanya
terbentuk di daerah rawa atau danau yang dangkal). Tanah ini merupakan tanah
yang mudah terbakar, menghasilkan lebih banyak asap dan emisi karbon
dibandingkan dengan jenis tanah yang lain. Lahan gambut yang telah mengering
akan mengalami pelepasan senyawa oksidasi FeS (pirit) yang bersifat racun.

Menurut Polak (1952), tanah gambut merupakan tanah yang memiliki


kandungan bahan organik lebih dari 65% hingga kedalaman satu meter atau lebih.
Sedangkan berdasarkan klasifikasi taksonomi komprehensif (USDA 1975), tanah
gambut merupakan tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari 30%
dengan ketebalan kumulatif 40 cm atau lebih. Bahan organik ini terdiri atas
akumulasi sisa-sisa vegetasi yang telah mengalami humifikasi namun belum
mengalami mineralisasi. Gambut akan terbentuk jika humifikasi lebih besar
daripada mineralisasi (Darmawijaya 1997).

Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah (wetland) yang


dibentuk oleh adanya penimbunan atau akumulasi bahan organik di lantai hutan
yang berasal dari reruntuhan vegetasi di atasnya dalam kurun waktu yang lama
(ribuan tahun) (Parish et al.,2008). Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju
dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik di lantai hutan
yang tergenang (Sabiham, 2007; Radjagukguk, 2000).

4
Lahan Gambut termasuk kawasan yang unsur pembentuk tanahnya
sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu lama
(sumber: Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang : Pengelolaan Kawasan
Lindung). Sebagai catatan tambahan, lahan gambut memiliki kemampuan
menyimpan karbon (carbon stock) yang lebih tinggi daripada lahan mineral
karena karakteristik morfologi tanahnya. Kandungan karbon di bawah permukaan
lahan gambut dapat mencapai sebesar antara 300-6.000 ton C per hektar. Semakin
dalam gambut, semakin tinggi juga jumlah karbon yang dapat disimpan. Lahan
gambut di Sumatera dan Kalimantan cenderung lebih dalam dibandingkan dengan
di Papua, (BAPPENAS, 2010).

Secara keseluruhan, lahan gambut dikelompokkan menjadi dua kelompok


besar, lahan gambut tropika, dan lahan gambut temperate. Bahan pembentuk
gambut tropika umumnya berasal dari pohon-pohon berkayu yang memiliki kadar
lignin yang tinggi, sementara gambut di negara-negara temperate terbentuk dari
bahan yang lebih halus berupa rumput dan lumut yang memiliki kadar kandungan
selulosa dan hemiselulosa yang lebih tinggi. Adanya perbedaan bahan pembentuk
menyebabkan adanya perbedaan tingkat kandungan unsur hara, yang kemudian
berpengaruh terhadap tingkat kesuburannya. Gambut tropika cenderung kurang
subur dibandingkan gambut temperate karena kandungan lignin yang lebih tinggi.

Berdasarkan taksonomi tanah komprehensif USDA tahun 1975, tanah


gambut termasuk dalam ordo tanah histosol (berasal dari bahasa Yunani histos =
jaringan, tanah yang kaya akan bahan organik yang terdekomposisi sebagian).
Ordo histosol memiliki empat subordo, yaitu fibrist, folist, hemist, dan saprist
(FitzPatrick 1980).

Tanah gambut memiliki kemampuan menyimpan air hingga 13 kali dari


bobotnya. Oleh karena itu perannya sangat penting dalam hidrologi, seperti
mengendalikan banjir saat musim penghujan dan mengeluarkan cadangan air saat
kemarau panjang. Kerusakan yang terjadi pada lahan gambut bisa menyebabkan
bencana bagi daerah sekitarnya.

2. 3 Proses Pembentukan Lahan Gambut

5
Pembentukan gambut tropika, dapat dipahami sebagai hasil proses
transformasi dan translokasi. Proses transformasi yaitu proses pembentukan
biomassa dengan dukungan nutrisi terlarut, air, udara, dan radiasi matahari. Proses
translokasi yaitu pemindahan bahan oleh gerakan air dari tempat yang lebih tinggi
ke tempat yang lebih rendah dan gerakan angin (udara) yang disebabkan oleh
adanya perbedaan tekanan. Akibat proses pembentukan biomassa dari sisa
tumbuhan setempat lebih cepat dibandingkan dengan proses penguraian, maka
terbentuklah lapisan bahan organik yang semakin tebal yang disebut tanah
gambut. Pembentukan gambut pada dasarnya akibat terjadinya kondisi tumpat
(jenuh) air yang disebut paludifikasi. Laju pembentukan tanah gambut sangat
lambat dan berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya yang dipengaruhi
oleh banyak faktor utamanya lingkungan setempat meliputi, yaitu :

1. sumber dan neraca air


2. kandungan mineral yang ada dalam air
3. iklim (curah hujan, suhu, kelembaban)
4. tutupan vegetasi, dan
5. pengelolaan setelah drainase.

Tanah gambut tropika terbentuk secara bertahap dengan memakan waktu


yang sangat panjang. Selanjutnya proses pembentukan diikuti oleh proses
penyederhanaan atau penguraian menjadi ion (larut) dan gas (emisi) yang
melibatkan mikroorganisme yang aktivitasnya juga memerlukan air, dan udara.

Proses translokasi berperan dalam pembentukan gambut berupa pengisian


landaian/cekungan oleh bahan mineral yang terbawa aliran air dan bahan organik
yang berasal dari sisa tumbuhan mati insitu. Akibat kondisi lingkungan rawa yang
reduktif, maka proses penimbunan sisa tumbuhan setempat berlangsung lebih
cepat dibandingkan proses penguraian, sehingga membentuk lapisan bahan
organik yang disebut gambut (Maas, 2012).

Proses pembentukan di atas boleh jadi tidak jauh berbeda antara daerah
tropika dengan beriklim sedang (temperate). Namun dari sisi bahan atau
tumbuhan penyusun gambutnya sangat berbeda. Penyusun gambut tropika terdiri
atas tumbuhan berkayu atau pohon yang kaya kandungan selulosa dan lignin,
sedangkan gambut beriklim sedang terdiri atas tanaman air (sphagnum) yang

6
kandungan selulosa dan ligninnya rendah. Kedua, regenerasi gambut tropika lebih
lambat dibandingkan pertumbuhan gambut beriklim sedang. Oleh karena itu,
gambut beriklim sedang cocok dipanen dan digunakan untuk bahan bakar
(energi), sebaliknya gambut tropika karena kadar kayunya tinggi menjadi kendala
dalam proses pengekstrakan untuk menjadi bahan bakar (biofuel). Pemanenan
gambut untuk penyediaan bahan bakar non minyak pernah direncanakan dalam
rangka mengatasi dan memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Jawa pada tahun
1980-an dan kelangkaan bahan bakar minyak dan gas alam pada tahun 1990-an
(Euroconsult, 1984; Noor, 2010).

Terlepas dari pengaruh penambangan (mining) terhadap gambut, gambut


dapat dijadikan lahan produktif penghasil pangan dan pengganti bahan bakar
minyak (biofuel) sehingga kurang bijak kalau gambut dieksplorasi untuk
memenuhi kebutuhan yang sifatnya jangka pendek seperti ditambang untuk bahan
bakar (peat mining). Keadaan hidrologi dan proses pengisian rawa gambut dapat
diterangkan dalam uraian berikut ini.

1. Dinamika Perubahan Muka Air Laut

Proses pengisian bahan mineral atau gambut pada ekosistem rawa sebagai
tahap awal dalam pembentukan tanah gambut dimulai sejak ribuan tahun silam.
Pengisian rawa ini tidak lepas dari pengaruh perubahan iklim global yang terjadi
pada era Pleistosen. Peningkatan suhu akibat perubahan iklim global ini
mengakibatkan sebagian lapisan es di daerah kutub mencair sehingga secara
perlahan menaikkan muka air laut. Selama masa glasial Wurm pada akhir periode
Pleistosen terjadi peningkatan muka air laut antara 3-4 m per seribu tahun
(Blackwelder et al., 1979). Penelitian carbon dating di selat Malaka menunjukkan
bahwa pada periode Holosen sekitar 7.000 tahun lalu, muka air laut meningkat
sampai 20 m selama kurun waktu 4.000 tahun, dan menurun pada 3.000 tahun
yang lalu hingga mencapai kondisi saat ini. Menurut Karama dan Suriadikarta
(1998) tinggi muka air laut pada periode Pleistosen ditaksir berada sekitar 60 m di
bawah muka air laut sekarang. Puncak terjadinya peningkatan muka air laut,
khususnya di lingkungan dataran Asia (sundaland) ditaksir pada 5.500 tahun
silam dengan membentuk garis pantai. Seiring dengan penurunan kembali muka

7
air laut, terjadi pembentukan gambut yang diperkirakan sekitar 6.000 tahun silam.
Gambut Indonesia terbentuk antara 6.800-4.200 tahun silam (Andriesse, 1974).
Gambar 1. menunjukkan proses pembentukan dataran pantai pada sekitar 5.500
tahun silam dan pergeseran (transgesi) garis pantai dan pengisian rawa pada
situasi sekarang.

2. Dinamika Pengisian Rawa dan Pembentukan Lahan Gambut

Penurunan muka air laut atau pergeseran garis pantai yang mengarah lebih
ke laut mendorong terbentuknya daerah-daerah rawa yang mempunyai cekungan
atau danau dan secara berkala mengalami pengisian. Menurut Andriesse (1988)
berdasarkan lingkungan fisik rawa, tanah gambut tropika dibedakan antara :

1) Gambut delta
2) Gambut dataran
3) Gambut lagun-dekat pantai
4) Gambut lebak (small inland valey)
5) Gambut yang terisolasi antara dua bukit, dan
6) Gambut pantai (salin).

Pembentukan gambut pada dasarnya akibat terjadinya kondisi tumpat air


(water logging) yang disebut paludifikasi.

Gambar 1. Sketsa terbentuknya dataran pantai pada masa 5.500 silam (atas) dan
pergeseran garis pantai serta pengisian rawa/gambut (bawah)

8
Sumber: van de Meene (1982)

Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang


secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman
yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian
menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di
bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang
lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara membentuk lapisan-lapisan gambut
sehingga danau tersebut menjadi penuh (Gambar 2a dan 2b).

Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut


dengan gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi
daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya

9
pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir
besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut.
Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Hasil
pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan memberntuk
kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung (Gambar 2c). Gambut yang
tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang
pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah
kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada
pengkayaan mineral.

Laju pembentukan lapisan gambut ini sangat lambat dan berbeda antara
satu tempat dengan tempat lainnya yang dipengaruhi oleh banyak faktor,
utamanya lingkungan setempat. Perubahan lingkungan setempat umumnya yang
sudah berbeda dari sebelumnya misalnya kerapatan hutan dan jenis vegetasi hutan
yang tumbuh di atasnya mengakibatkan pertumbuhan/pembentukan gambut
terhenti. Menurut Lucas (1982) dan Andriesse (1988) laju pembentukan gambut
tidak lebih dari 3 mm per tahun pada kondisi hutan primer. Laju pembentukan
gambut Barambai, di Kalimantan Selatan hanya 0,05 mm per tahun, sedangkan di
Pontianak, Kalimantan Barat berkisar 0,13 mm per tahun (Neuzil, 1997).

Menurut Sieffermann et al. (1988) laju pembentukan gambut pada periode


awal (9.600-8.450 Sebelum Masehi) dapat mencapai 0,5 m (500 mm) per 100
tahun, kemudian pada periode 8.000-5.000 SM menurun menjadi 0,20-0,25 m per
100 tahun, pada periode akhir ditaksir hanya sekitar 0,14 m per 100 tahun.
Terbukti juga bahwa ketebalan (depth) gambut berkorelasi dengan umur (waktu)
pembentukan gambut. Semakin dalam gambut semakin tua umur pembentukan.

Gambar 2. Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah,


pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah (a); pembentukan gambut

10
topogen (b); pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen (c)
(Driessen dan Dudal, 1989).

Pengambilan kayu sebagai penyusun utama gambut berpengaruh pada


lambatnya pembentukan gambut. Konversi lahan dengan menghilangkan
tumbuhan alami, berakibat pada hilangnya sumber pembentukan gambut, gambut
akan menipis dengan sendirinya, terlebih apabila suasana reduktif menjadi
oksidatif akibat pembuatan saluran drainase mempercepat perombakan gambut
dan pengeringan gambut (irreversibel drying) sehingga rawan terbakar.

BAB III

11
KESIMPULAN

Adapun yang dapat disimpulkan dari sub bab-bab di atas adalah sebagai berikut :

1. Tanah yang mengandung bahan organik tinggi disebut tanah gambut.


Gambut menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tanah yang lunak
dan basah terdiri atas lumut dan bahan tanaman lain yang membusuk
(biasanya terbentuk di daerah rawa atau danau yang dangkal).
2. Lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon sehingga
berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer.
3. Pembentukan gambut tropika, dapat dipahami sebagai hasil proses
transformasi dan translokasi serta gambut terbentuk dari akumulasi bahan
organik yang berasal dari sisa-sisa jaringan vegetasi alami pada masa
lampau.

12
DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre
(ICRAF), Bogor, Indonesia

Agus, F., K. Hairiah, and A. Mulyani. 2011. Measuring Carbon Stock in Peat Soil:
Practical Guidelines. World Agroforestry Centre-ICRAF SEA Regional
Office and Indonesian Cent.for Agric. Land Resourc. Res. and Dev., Bogor,
Indonesia. 60 P.

Rancangan Strategi Nasional REDD+ Revisi tanggal 18 November 2010


BAPPENAS

Agus, F., Wahyunto, A. Dariah, E. Runtunuwu, E. Susanti and W. Supriatna. 2012.


Emission Reduction Options for Peatland in Kubu Raya and Pontianak
Districts, West Kalimantan, Indonesia. Jour. of Oil Palm Res. 24:1378-1387.

Agus, F, I.E. Henson, B.H. Sahardjo, N. Harris, M. van Noordwijk, and T.J.
Killeen. 2013a. Review of emission factors for assessment of CO2 emission
from land use change to oil palm in Southeast Asia. Roundtable on
Sustainable Palm Oil, Kuala Lumpur, Malaysia.

Agus, F., P. Gunarso, B.H. Sahardjo, N. Harris, M. van Noordwijk, and T.J.
Killeen. 2013b. Historical CO2 emissions from land use and land cover
change from the oil palm industry in Indonesia, Malaysia and Papua New
Guinea. Roundtable on Sustainable Palm Oil, Kuala Lumpur, Malaysia.

______ 2010. Lahan Gambut : Pengembangan, Konservasi dan Perubahan Iklim.


GMU. Press. Yogyakarta. 212 hal.

Najiyati, S., L. Muslihat, dan I.N.N. Suryadiputra. 2008. Panduan Pengelolaan


Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change,
Forest, and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia
Programe dan Wildlife Habitat Canada. Bogor, Indonesia.

13
Agus, F. 2009. Cadangan karbon, emisi gas rumah kaca dan konservasi lahan
gambut. Prosiding Seminar Dies Natalis Universitas Brawidjaya ke 46, 31
Januari 2009, Malang.

https://jurnalbumi.com/lahan-gambut/

[http://www.worldagroforestry.org/downloads/publications/PDFs/B16019.PDF]

14

Anda mungkin juga menyukai