Anda di halaman 1dari 105

STUDI PENGARUH DEKOMPOSISI SELULOSA DAN

LIGNIN TERHADAP NILAI KALOR PRODUK


TOREFAKSI SAMPAH KOTA

TUGAS SARJANA

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik

Oleh:

Rafiandy Dwi Putra

13111023

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK MESIN DAN DIRGANTARA

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2016
Lembar Pengesahan

Tugas Sarjana

Studi Pengaruh Dekomposisi Selulosa dan Lignin Terhadap


Nilai Kalor Produk Torefaksi Sampah Kota

Oleh

Rafiandy Dwi Putra


13111023

Program Studi Teknik Mesin


Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara
Institut Teknologi Bandung

Disetujui pada Tanggal: 11 Maret 2016

Pembimbing

Dr. Ir. Toto Hardianto


NIP 19600607 198601 1001
Tugas Sarjana
Studi Pengaruh Dekomposisi Selulosa dan
Rafiandy Dwi
Judul Lignin Terhadap Nilai Kalor Produk
Putra
Torefaksi Sampah Kota
Program Studi Teknik Mesin 13111023
Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara
Institut Teknologi Bandung
Abstrak

Torefaksi sampah kota pada rentang temperatur 200C sampai 300C sudah
pernah dilakukan. Torefaksi tersebut hanya mendekomposisi hemiselulosa secara
sempurna, sedangkan terdapat dua komponen dominan yang lain pada sampah
kota, yaitu selulosa dan lignin. Oleh karena itu, penelitian tentang pengaruh
dekomposisi selulosa dan lignin pada proses torefaksi perlu dilakukan.
Penelitian ini menggunakan. daun, ranting, kulit pisang, kulit jeruk, dan
nasi sebagai sampel penelitian. Pengujian penurunan massa dengan
thermogravimetry dilakukan untuk melihat karakteristik tiap komponen sampah
saat proses torefaksi. Eksperimen torefaksi dan pengujian nilai kalor dilakukan
untuk melihat secara langsung pengaruh dekomposisi selulosa dan lignin terhadap
nilai kalor.
Hasil pengujian nilai kalor tiap komponen penyusun sampah kota
menunjukkan nilai kalor kulit pisang, ranting, dan nasi akan cenderung meningkat
seiring meningkatnya temperatur torefaksi, nilai kalor jeruk cenderung stagnan,
dan nilai kalor daun akan mengalami penurunan. Penurunan pada nilai kalor daun
disebabkan adanya reaksi pembakaran terbatas saat proses torefaksi daun. Pada
penurunan nilai kalor daun disinyalir terdapat 5.9 %db fixed carbon yang terbakar.
Hasil pengujian nilai kalor tiap komponen penyusun sampah kota dijadikan
acuan dalam perumusan torefaksi campuran sampah kota. Temperatur optimum
torefaksi pada penelitian ini adalah 360C. Nilai kalor yang dihasilkan adalah
sebesar 5545 kkal/kg yang mana setara dengan batubara subbituminus B. Terjadi
penurunan nilai kalor apabila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.
Kata kunci: selulosa, lignin, torefaksi, sampah kota, nilai kalor
Final Project

Study of The Influence of Cellulose and


Title Lignin Decomposition upon Municipal Solid Rafiandy Dwi Putra
Waste Torrefaction Product Calorific Value
Major Mechanical Engineering 13111023
Faculty of Mechanical and Aerospace Engineering
Institut Teknologi Bandung

Abstract

Municipal solid waste (MSW) torrefaction between 200C till 300C has been
perfomed before. That torrefaction only decomposes hemicellulose perfectly,
meanwhile there are two more dominant components, like cellulose and lignin.
Therefore, research about the influence of cellulose and lignin in torrefaction process
must be performed.
This research uses leaf, branch, banana peel, orange peel, and rice as the
researchs objects. Mass degradation characteristic test is perfomed with
thermogravimetry to observe those MSW components characteristic while
torrefaction process. The torrefaction experiment and calorific value test are
performed to explain about the inluence of cellulose and lignin to calorific value.
MSW components calorific test results shows that banana peel, branch, and
rice tend to be increasing while the temperature increase, orange peel tend to be
stagnan and leave is decreasing. The decrease in leaf calorific value caused by limited
combustion reaction while torrefaction is happening. Because of this phenomena,
5.9%db fixed carbon is allegedly burned.
MSW components experiment results are used as reference in MSW
simultaneous toreffaction. The optimum torrefaction temperature in this research is
360C. The maximum calorific value is 5545 kkal/kg, which is equal with
subbituminous B coal. The calorific value of this research torrefaction product is
lower that the previous research product..
Keyword: cellulose, lignin, torrefaction, municipal solid waste, calorific value
Das Abschlussarbeit

Die Untersuchung des Einflusses von


Title Cellulose- und Lignin-Zersetzung auf das Rafiandy Dwi Putra
Heizwert des Torrefizierenden Stadtmll
Major Maschinenbau 13111023
Die Fakultt fr Maschinenbau und Raumfahrttechnik
Institut Teknologi Bandung

Abstrakt
Die Torrefizierung des Stadtmll zwischen 200C bis 300C hat bereits frher
ausgefhrt. Diese Torrefizierung zersetzt nur perfekt Hemicellulose. Mitterweile gibt
es zwei mehr Komponenten in dem Stadtmll, sowie Cellulose und Lignin. Deshalb
musst diese Forschung ausgefhrt werden, um das Einfluss der Cellulose- und
Lignin-Zersetzung zu untersuchen.
Diese Forschung benutzt Blatt, Zweig, Bananenschale, Orangenschale, und
Reis als das Objekt diese Forschung. Der Massdegradationeigenschaft-Test mit der
thermogravimetrischen Analyse (TGA) werde ausgefhrt, um die Eigenschaft der
Stadtmllskomponenten zu beobachten. Das Torrefizierungsexperiment und der
Heizwert-Test werden auch ausgefhrt, um whrend der Torrefizierung das Einfluss
der Stadtmllkomponenten auf das Heizwert zu untersuchen.
Das Heizwert-Test von die Stadtmllskomponenten zeigt, dass das Heizwert
von der Bananenschlange, dem Zweig, und dem Reis steigen whrend der steigenden
Temperature der Torrefizierung. Die Orangenschale stagniert und das Blatt sinkt. Das
Blatt-Heizwert sinkt, weil whrend der Torrefizierung die begrenzte Vebrennung
auftretten. Wegen dieser Phnomen,werden angeblich 5.9%db fester Kohlenstoffe
verbrannt.
Die Ergebnisse des Stadtmllkomponentenexperiments werden in der
gleichzeitigen Torrefizierung als die Referenz benutzt. Die optimale Temperature der
gleichzeitigen Torrefizierung in diese Forschung ist 360C. Das maximale Heizwert
dieses Forschungprodukts ist 5545 kkal-kg. Das Heizwert dieses Forschungsprodukts
ist gleich mit die Subbituminous Khle und niedriger als frhere Forschung .
Stichtwort: Cellulose, Lignin, Torrefizierung, Stadtmll, Heizwert
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjat atas nikmat dan karunia Allah SWT sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Studi Pengaruh
Dekomposisi Selulosa dan Lignin Terhadap Nilai Kalor Produk Torefaksi Sampah
kota ini dengan baik.

Dalam pengerjaan tugas akhir ini, penulis melalui jalan yang terjal. Tidak
sedikit masalah dan kendala yang datang menghampiri selama penggerjaan tugas
akhir ini. Kehadiran orang orang terdekat menjadi bantuan bagi penulis untuk
dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Oleh karena itu, pada
kesempatan kali ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesa besarnya
kepada orang orang yang telah membantu penulis menyelesaikan tugas akhir ini,
yakni:

1. Keluarga terdekat penulis, Bapak Deddy Ria Saputra, Ibu Rika


Nursanti, dan Kakak Rinaldy Andhika Putra yang selalu ada dari
penulis lahir hingga saat ini. Keluarga yang sangat sedia untuk
membantu dikala penulis mengalami kesulitan dalam tugas akhir ini
maupun dalam kehidupan.
2. Dr. Ir. Toto Hardianto selaku pembimbing penulis yang selalu
mendidik penulis untuk mencari tahu lebih tentang rahasia alam
yang belum teruak.
3. Dr. Eng. Pandji Prawisudha selaku dosen yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan masukan terhadap Tugas Sarjana ini.
4. Dr. Ir. Arief Haryanto selaku Ketua Program Studi Teknik Mesin
FTMD ITB dan seluruh staf pengajar di jurusan Teknik Mesin yang
selalu membantu penulis selama menjalani perkuliahan di jurusan
Teknik Mesin
5. Ir. Dwiwahju Sasongko, M.Sc, Ph.D dan teman teman Lab.
Metodologi Perancangan dan Pengendalian Proses Teknik Kimia

i
ITB yang sudah berbaik hati memberikan izin penulis untuk
melakukan eksperimen di laboratorium tersebut.
6. Pihak tekMIRA yang sudah membantu penulis menguji nilai kalor
dari produk torefaksi komponen sampah kota.
7. Teman teman jurusan Teknik Mesin 2011 dan seluruh anggota
HMM ITB yang menjadi keluarga penulis di Kota Bandung dan
mengisi hari hari penulis dengan canda, tawa dan pengalaman
berharga baru penulis temukan.
8. Teman teman Lab. Termodinamika, khususnya Jeki, Iqbal, dan
Adrian yang selalu ada dalam pengerjaan tugas akhir ini dan selalu
siap memberikan masukan kepada penulis dalam pengerjaan tugas
akhir ini.
9. Teman - teman Dago 508 yang bersedia kontrakannya penulis
singgahi di waktu luang selama penulis tinggal di Kota Bandung.
10. Bu Tuti, Pak Adong, dan Pak aman selaku staff Lab. Termodinamika
yang membantu penulis mengurus anggaran dan membongkar alat
eksperimen selama pengerjaan tugas akhir ini.
11. Pak Jupri, Pak Suryana, dan seluruh staff Fakultas Teknik mesin dan
Dirgantara ITB yang membantu penulis dalam hal administrasi dari
sejak penulis kuliah di ITB.
12. Pihak pihak yang telah membantu penulis dalam pengerjaan tugas
akhir ini yang tidak bisa diucapkan satu per satu.

Bandung, Februari 2016

Rafiandy Dwi putra

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi

DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii

Bab 1 Pendahuluan .................................................................................................1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................1

1.2 Identifikasi Masalah ............................................................................3

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................4

1.4 Manfaat Penelitian ..............................................................................4

1.5 Batasan Masalah .................................................................................4

1.6 Metodologi ..........................................................................................5

1.7 Sistematika Penulisan .........................................................................6

Bab 2 Studi Pustaka ................................................................................................8

2.1 Bahan Bakar Padat ..............................................................................8

2.2 Sampah Kota .....................................................................................12

2.2.1 Definisi dan Penggolongan Sampah Kota ...............................13

2.2.2 Permasalahan Sampah Kota di Indonesia ...............................15

2.2.3 Komposisi dan Karakteristik Sampah Kota Bandung .............16

2.3 Biomassa Lignoselulosa dan Amilum ..............................................22

2.3.1 Lignoselulosa...........................................................................23

2.3.2 Amilum ....................................................................................25

2.4 Dasar Proses Torefaksi ....................................................................26

2.4.1 Definisi Proses Torefaksi ........................................................26

iii
2.4.2 Mekanisme Proses Torefaksi...................................................28

2.5 Proses Torefaksi Temperatur Tinggi ................................................31

2.5.1 Mekanisme Dekomposisi Komponen Lignoselulosa ..............31

2.5.2 Penelitian Terkait Torefaksi Temperatur Tinggi .....................38

Bab 3 Kajian Proses Torefaksi Sampah Kota pada Daerah Dekomposisi


Selulosa dan Lignin ....................................................................................40

3.1 Gambaran besar Penelitian ...............................................................40

3.2 Kajian Penentuan Komponen Sampah Kota .....................................43

3.3 Kajian Kandungan Lignoselulosa dan Amilum Pada Sampel


Pengujian ..........................................................................................46

3.4 Kajian Penentuan Parameter Torefaksi.............................................47

3.5 Peralatan Peralatan Pengujian ........................................................49

3.5.1 Thermogravimetry ...................................................................49

3.5.2 Reaktor Torefaksi ....................................................................52

3.5.3 Kalorimeter Bom .....................................................................54

Bab 4 Pengujian dan Analisis Torefaksi Komponen Penyusun Sampah


Kota Pada Daerah Dekomposisi Selulosa dan Lignin ................................55

4.1 Persiapan Sampel Pengujian .............................................................55

4.2 Pengujian Karakteristik Penurunan Massa Komponen


Penyusun Sampah Kota ....................................................................58

4.3 Pengujian Nilai Kalor Produk Torefaksi Komponen Penyusun


Sampah Kota .....................................................................................63

4.4 Analisis Hasil Pengujian Komponen Penyusun Sampah Kota .........69

4.4.1 Analisis Hasil Pengujian Karakteristik Penurunan Massa ......69

4.4.2 Analisis Hasil Pengujian Nilai Kalor ......................................70

Bab 5 Pemodelan Torefaksi Campuran Sampah Kota Pada Daerah


Dekomposisi Selulosa dan Lignin ..............................................................73

iv
5.1 Pembuatan Model Campuran Sampah Kota .....................................73

5.2 Prediksi Temperatur Operasi Optimum dan Nilai Kalor


Maksimal Produk Torefaksi Campuran Sampah Kota .....................78

5.3 Perbandingan Produk Torefaksi Sampah Kota .................................83

5.3.1 Perbandingan dengan Batubara ...............................................83

5.3.2 Perbandingan dengan Produk Torefaksi pada Penelitian


Sebelumnya .............................................................................84

Bab 6 Kesimpulan dan Saran ................................................................................86

6.1 Kesimpulan .......................................................................................86

6.2 Saran .................................................................................................87

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 88

LAMPIRAN .......................................................................................................... 91

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kategori untuk menggambarkan kondisi batubara [9] .......................11


Gambar 2.2 Skema ANGKUT KUMPUL dan BUANG [10] ............................16
Gambar 2.3 Komposisi rerata timbulan sampah (%volume) (diadaptasi dari
[1]) ..........................................................................................................................17
Gambar 2.4 Komposisi rerata timbulan sampah (%massa) (diadaptasi dari [1]) .17
Gambar 2.5 Komposisi sampah yang tidak diambil pemulung (%massa)
(diadaptasi dari [1]) ...............................................................................................18
Gambar 2.6 Komposisi fisik sampah kota Bandung berdasarkan uji proksimat
[1] ...........................................................................................................................20
Gambar 2.7 Komposisi kimia sampah kota Bandung berdasarkan uji ultimat
[1] ...........................................................................................................................21
Gambar 2.8 Potensi nilai kalor komponen sampah kota Bandung (adb) [1] ........22
Gambar 2.9 Struktur hemiselulosa [12] ................................................................23
Gambar 2.10 Struktur molekul tunggal dari selulosa [12] .....................................24
Gambar 2.11 Contoh struktur molekul lignin [12] ................................................25
Gambar 2.12 Sturktur amilosa dan amilopektin [13] ............................................26
Gambar 2.13 Contoh skema proses torefaksi .........................................................28
Gambar 2.14 Proses dekomposisi termal komponen komponen lignoselulosa
pada proses torefaksi [14] ......................................................................................29
Gambar 2.15 Contoh grafik thermogravimetry kayu [16] .....................................30
Gambar 2.16 Contoh grafik DTG [17] ...................................................................31
Gambar 2.17 Pirolisis komponen xylan (atas: analisis thermogravimetry
,bawah: reaksi utama selama perubahan struktur ikatan) [18] ..............................33
Gambar 2.18 Pirolisis selulosa (atas: analisis thermogravimetry, bawah: reaksi
utama selama perubahan struktur ikatan) [18] .......................................................35
Gambar 2.19 Pirolisis lignin (atas:analisis thermogravimetry, bawah: reaksi
utama selama perubahan struktur ikatan) [18] .......................................................37
Gambar 2.20 Grafik pengaruh temperatur terhadap nilai kalor [19] .....................39
Gambar 3.1 Alur penelitian ....................................................................................41

vi
Gambar 3.2 Rangkaian instrumen thermogravimetry processor ...........................51
Gambar 3.3 Reaktor torefaksi ................................................................................53
Gambar 3.4 Skema umum kalorimeter bom ..........................................................54
Gambar 4.1 Sampel pengujian karakteristik penurunan massa (kiri ke kanan:
daun, ranting, kulit pisang, kulit jeruk, nasi)..........................................................56
Gambar 4.2 Sampel eksperimen torefaksi (kiri ke kanan: daun, ranting, kulit
pisang, kulit jeruk, nasi) .........................................................................................57
Gambar 4.3 Grafik penurunan massa komponen daun ..........................................59
Gambar 4.4 Grafik penurunan massa komponen ranting ......................................60
Gambar 4.5 Grafik penurunan massa komponen kulit pisang ...............................61
Gambar 4.6 Grafik penurunan massa komponen kulit jeruk .................................62
Gambar 4.7 Grafik penurunan massa komponen nasi ...........................................63
Gambar 4.8 Produk torefaksi komponen penyusun sampah kota (dari kiri ke
kanan: daun, ranting, kulit pisang, kulit jeruk, nasi) ..............................................64
Gambar 4.9 Nilai kalor produk torefaksi daun ......................................................65
Gambar 4.10 Nilai kalor produk torefaksi ranting .................................................66
Gambar 4.11 Nilai kalor produk torefaksi kulit pisang..........................................66
Gambar 4.12 Nilai kalor produk torefaksi kulit jeruk ............................................67
Gambar 4.13 Nilai kalor produk torefaksi nasi ......................................................68
Gambar 4.14 Fraksi Massa sisa komponen a)kulit pisang dan b)daun ..................70
Gambar 5.1 Alur pengerjaan pembuatan model sampah kota Bandung ................74
Gambar 5.2 Nilai kalor produk torefaksi model campuran sampah kota ..............82
Gambar 5.3 Tren nilai kalor produk model campuran sampah kota ......................82
Gambar 5.4 Perbandingan nilai kalor produk torefaksi sampah kota dengan
batubara ..................................................................................................................84

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Data ekivalen sampah kota di beberapa kota besar di Indonesia .............2
Tabel 2.1 Klasifikasi batubara berdasarkan peringkat menurut ASTM D388
[9] ...........................................................................................................................12
Tabel 2.2 Proporsi pelayanan sampah di Indonesia [10] ......................................15
Tabel 2.3 Komponen sampah yang dapat dimanfaatkan [1] ..................................18
Tabel 2.4 Fraksi massa produk kayu (dry wood basis) yang dihasilkan dari
berbagai metode torefaksi kayu [14] ......................................................................27
Tabel 3.1 Rata rata konsumsi buah buahan perkapita tahun 20102014 [20]. 44
Tabel 3.2 Fraksi massa sampah lima buah yang paling banyak dikonsumsi .........45
Tabel 3.3 Massa total sampah lima buah yang paling banyak dikonsumsi ..........45
Tabel 3.4 Hasil Pengujian Kandungan Lignoselulosa [7] ......................................47
Tabel 3.5 Spesifikasi thermogravimetry processor ...............................................50
Tabel 3.6 Spesifikasi reaktor torefaksi tube furnace 2100 Thermolyne ................52
Tabel 4.1 Sumber sampel pengujian ......................................................................55
Tabel 4.2 Kadar air sampel pengujian penurunan massa .......................................57
Tabel 4.3 Kadar air sampel eksperimen proses torefaksi komponen penyusun
sampah kota............................................................................................................58
Tabel 4.4 Karakteristik torefaksi tiap komponen sampah kota pada daerah
dekomposisi selulosa dan lignin.............................................................................68
Tabel 5.1 Sumber timbulan sampah Kota Bandung [15] .......................................74
Tabel 5.2 Persentase Massa Komponen Organik ...................................................75
Tabel 5.3 Persentase massa sampah makanan dan pepohonan pada tiap sumber
sampah....................................................................................................................76
Tabel 5.4 Persentase massa jenis sampah makanan dan sampah pepohonan
pada model campuran sampah kota .......................................................................76
Tabel 5.5 Potensi produksi sampah makanan ........................................................77
Tabel 5.6 Komposisi sampah pepohonan pada tiap sumber sampah .....................77
Tabel 5.7 Komposisi komponen penyusun model campuran sampah kota ...........78
Tabel 5.8 Nilai kalor maksimal tiap komponen penyusun sampah kota................79

viii
Tabel 5.9 Nilai kalor komponen penyusun sampah kota pada temperatur 392C .80
Tabel 5.10 Nilai kalor produk torefaksi campuran sampah kota pada penelitian
sebelumnya [2] .......................................................................................................85

ix
Bab 1
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Sampah kota merupakan masalah yang saat ini sering dihadapi oleh kota
kota besar di Indonesia, contohnya Kota Bandung. Peningkatan produksi sampah
yang tidak diimbangi metode pengolahan sampah yang tepat merupakan sumber
permasalahan sampah di Kota Bandung. Sampai saat ini Penimbunan sampah di
TPA merupakan metode pengolahan sampah yang sering digunakan.

Penimbunan sampah di TPA bukanlah metode yang tepat untuk mengelola


sampah di Kota Bandung. Penimbunan sampah di TPA dapat menimbulkan bau
dan juga dapat berpotensi menjadi sarang penyakit.. Pada tahun 2005,
penimbunan sampah di TPA Leuwigajah bahkan menyebabkan longsor yang
mengubur perumahan warga dibawah TPA Leuwigajah. Kuantitas sampah dan
lokasi TPA Leuwigajah yang berada di tebing ditengarai sebagai penyebab
longsor tersebut..

Pengolahan sampah dengan cara penimbunan ternyata sudah tidak lagi


menjadi andalan pengolahan sampah di negara negara maju, seperti Jepang dan
Singapura. Negara negara tersebut menjadikan sampah sebagai bahan bakar
alternatif pembangkit listrik. Pengolahan sampah dengan menjadikan sampah
sebagai bahan bakar pembangkit listrik dinilai lebih menguntungkan
dibandingkan dengan menimbun sampah di TPA.

Sampah yang sudah tidak berguna ternyata dapat menghasilkan listrik yang
cukup besar melalui proses pembakaran. Berdasarkan penelitian mengenai
sampah kota Bandung yang telah dilakukan sebelumnya, sampah kota berpotensi
menjadi bahan bakar alternatif pengganti batubara [1]. Tabel 1.1 menunjukkan

1
daya listrik yang dapat dihasilkan dari sampah di Kota Bandung dan beberapa
kota besar di Indonesia

Tabel 1.1 Data ekivalen sampah kota di beberapa kota besar di Indonesia

Produksi Sampah Daya


Daya Panas
Listrik
Kota Ekivalen
(m3/hari) (ton/hari) Ekivalen
(MW)
(MWe**)
Jakarta [2] 29.212 6.513 788 236,5
Surabaya [3] 8.700 1.940 235 70,5
Bandung [4] 7.172 1.600 193 58.1
Bogor [5] 6230 1565 189 56.7
Semarang
1.207 302 36 11
[6]
*anggapan nilai kalor terendah (sekitara 2500 kkal/kg) ** anggapan
efisiensi pembangkit 30%

Dibalik potensi sampah kota sebagai bahan bakar alternatif pembangkit


listrik, ditemui pula permasalahan sampah kota sebagai bahan bakar. .
Kandungan air yang melimpah dan nilai kalor yang rendah, merupakan kendala
kendala yang dapat membuat sampah kota tidak layak untuk dijadikan bahan
bakar pembangkit listrik. Untuk menanggulangi kendala tersebut, sampah kota
perlu diproses terlebih dahulu supaya kendala tersebut dapat diminimalisasi.
Torefaksi merupakan salah satu proses yang dapat digunakan untuk
meminimalisasi kendala kendala tersebut.

Torefaksi merupakan suatu proses perlakuan panas yang dapat menguragi


kadar air dan menyederhanakan senyawa kompleks, seperti lignoselulosa, yang
banyak ditemukan pada sampah kota. Penelitian tentang torefaksi sudah banyak
dilakukan pada biomassa, seperti kayu, jerami, gambut, sekam padi, dan biomassa
lainnya. Penelitian penelitian tersebut membuktikan bahwa torefaksi dapat
menurunkan kadar air dan menaikan nilai kalor biomassa. Dengan kemiripan
karakteritik biomassa dan sampah kota, diharapkan torefaksi sampah kota dapat
menanggulangi permasalahan sampah kota sebagai bahan bakar

2
Penelitian tentang torefaksi sudah pernah dilakukan oleh Tim Peneliti
Laboratorium Termodinamika ITB. Tim tersebut meneliti tentang pengaruh
torefaksi terhadap sampah kota di Kota Bandung dalam rangka penggunaan
sampah kota sebagai bahan bakar. Dari penelitian yang sudah dilakukan, tim
peneliti Laboratorium Termodinamika ITB berhasil menghasilkan sampah kota
yang nilai kalornya setara batubara subbituminus B, yaitu sekitar 5400 kkal/kg
[7].

Pada penelitian tersebut temperatur torefaksi diatur agar berkisar antara 200
300 C. Pada temperatur ini hanya komponen hemiselulosa pada sampah kota
yang terdekomposisi sempurna, sedangkan komponen selulosa maupun lignin
belum terdekomposisi sempurna. Temperatur operasi yang lebih tinggi dari 300
C dapat membuat selulosa dan lignin terdekomposisi lebih sempurna.
Dekomposisi selulosa dan lignin yang lebih sempurna diharapkan dapat
menghasilkan produk torefaksi sampah kota dengan nilai kalor yang lebih tinggi
dari sebelumnya.

Berdasarkan data kandungan lignoselulosa pada sampah kota, kompnen


selulosa merupakan komponen yang paling dominan. Atas dasar itu, penelitian
tentang penggunaan temperatur torefaksi untuk mendekomposisi selulosa dan
lignin patut untuk dilkukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
pengaruh dekomposisi selulosa dan lignin terhadap nilai kalor produk torefaksi
sampah kota

1.2 Identifikasi Masalah


Dari penjelasan pada subbab 1.1, dapat diperoleh beberapa masalah yang
harus dihadapi utuk mencapai harapan yang ada, yaitu :

1. Bagaimana menentukan sampel penelitian untuk mewakili sampah


kota Bandung?
2. Bagaimana mencari model sampah kota yang dapat mewakilkan
sampah kota Bandung?

3
3. Bagaimana pengaruh torefaksi pada daerah dekomposisi selulosa
dan lignin terhadap nilai kalor sampah kota?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi pengaruh dekomposisi
selulosa dan lignin terhadap nilai kalor produk torefaksi sampah kota. Dalam
rangka memenuhi tujuan tersebut, ditentukan dua tujuan khusus, yaitu:

1. Menentukan proses optimum torefaksi sampah kota dan nilai kalor


maksimal yang dapat dicapai pada torefaksi sampah kota pada
daerah dekomposisi selulosa dan lignin
2. Membandingkan nilai kalor produk torefaksi sampah kota pada
daerah dekomposisi selulosa dan lignin dengan produk torefaksi
sampah kota pada daerah dekomposisi hemiselulosa

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian tugas sarjana ini adalah:

1. Membantu menyelesaikan masalah sampah kota di Kota Bandung


2. Meningkatkan nilai ekonomi dari sampah kota
3. Memberi wawasan tentang potensi maksimal sampah kota sebagai
sumber energi alternatif dalam aspek nilai kalor

1.5 Batasan Masalah


Dalam mengerjakan penelitian ini, ada beberapa masalah yang dibatasi,
yaitu:

1. Sampah kota yang menjadi objek penelitian hanya sampah organik


di TPA Kota Bandung
2. Perumusan torefaksi campuran sampah kota dilakukan dengan
metode analitik terbatas

4
1.6 Metodologi
Dalam pengerjaan penelitian ini, dilakukan beberapa metode untuk mecapai
tujuan penelitian ini, metode metode yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Studi literatur
Pada tahap ini penulis menambah wawasan tentang perkembangan
bahan bakar padat di Indonesia, penanganan sampah kota, dan potensi
sampah kota sebagai calon bahan bakar padat alternatif pengganti
batubara. Penulis membaca buku buku yang berkaitan dan juga
penelitian penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan hal tersebut.
Keluaran akhir dari metode ini adalah munculnya topik penelitian
beserta rencana penelitian
2. Kajian
Penulis melakukan kajian kajian terkait untuk memantapkan topik
penelitian. Kajian yang dilakukan meliputi kajian penentuan komponen
sampah kota yang digunakan pada penelitian ini dan juga kajian dalam
menentukan metode eksperimen dan pengujian, serta penentuan
parameter parameter terkait dalam eksperimen.
3. Pengujian
Pengujian pengujian dilakukan untuk membuktikan hipotesis awal
pada penelitian kali ini. Pengujian dimulai dari pemilihan sampel,
pengumpulan sampel, persiapan alat alat pengujian. Hasil dari
pengujian ini akan digunakan untuk perumusan.
4. Perumusan temperatur optimum dan nilai kalor maksimal
Hasil pengujian tiap komponen penyusun sampah kota dijadikan dasar
penerapan pada perumusan ini. Temperatur optimum yang dapat
menghasilkan nilai kalor maksimal produk torefaksi campuran sampah
kota akan dirumuskan dengan metode ini. Hasil perumusan akan
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.
5. Analisis dan penarikan kesimpulan

5
Penulis bersama pembimbing melakukan analisis dan kajian lanjutan
dari hasil pengujian yang telah diperolah. Diskusi mengenai hal hal
untuk menlengkapi penelitian ini juga dilakukan. Penarikan kesimpulan
dan pemberian saran untuk penelitian selanjutnya merupakan keluaran
akhir dari metode ini.

1.7 Sistematika Penulisan


1. Bab 1 Pendahuluan
Bab ini berisikan apa yang mendasari pembuatan tugas akhir ini. Selain
itu, bab ini berisikan gambaran umum tentang tugas akhir ini sehingga
diharapkan pada akhir bab ini, pembaca dapat memahami tentang
urgensi dari tugas akhir ini
2. Bab 2 Studi Pustaka
Bab ini berisikan teori teori yang membantu dalam penelitian pada
tugas akhir ini. Dengan adanya bab ini, diharapkan pembaca
mendapatkan pemahaman tentang bahan bakar padat, sampah kota dan
bagaimana mengubahnya menjadi bahan bakar alternatif yang baik.
Selain itu, pembaca diharapkan dapat mengerti istilah istilah yang
digunakan pada bab bab selanjutnya.
3. Bab 3 Kajian Pengaruh Dekomposisi Selulosa dan Lignin pada Proses
Torefaksi Sampah Kota
Bab ini berisikan kajian kajian tentang pengaruh dekomposisi selulosa
dan lignin pada proses sampah kota. Dengan penulisan bab ini,
diharapkan pembaca dapat mengertahui keseluruhan dari rencana
penelitian dengan lebih mendalam.
4. Bab 4 Pengujian dan Analisis Torefaksi Komponen Penyusun Sampah
Kota Pada Daerah Dekomposisi Selulosa dan Lignin
Bab ini berisikan perencanaan proses pengujian komponen sampah kota
yang dilakukan pada penelitian ini, serta Hasil dari pengujian
pengujian komponen sampah kota. Setelah mendapatkan hasil dari
pengujian pengujian komponen sampah kota, hasil tersebut dianalisis

6
dari berbagai macam aspek. Hasil pengujian yang didapat akan menjadi
dasar perumusan pada bab 5.
5. Bab 5 Pemodelan Torefaksi Campuran Sampah Kota Pada Daerah
Dekomposisi Selulosa dan Lignin
Bab ini diawali oleh pemodelan campuran sampah kota, setelah itu
dilakukan perumusan temperatur optimum dan nilai kalor maksimal
pada tiap model campuran sampah kota berdasarkan hasil dari bab 4.
Pada akhir bab ini, produk dari torefaksi campuran sampah kota akan
dibandingkan dengan batubara dan hasil penelitian torefaksi sampah
kota sebelumnya.

6. Bab 6 Kesimpulan dan Saran


Bab ini berisikan penarikan kesimpulan yang diharapkan dapat
menjawab tujuan dari penilitian ini serta saran saran agar penelitian
yang dilakukan selanjutnya dapat lebih baik.

7
Bab 2
Studi Pustaka

2.1 Bahan Bakar Padat


Berdasarkan wujudnya, bahan bakar dibagi menjadi tiga, yaitu bahan bakar
padat, cair, dan gas [8]. Sampai saat ini, penggunaan bahan bakar padat untuk
kebutuhan energi di industri industri di Indonesia. Batubara merupakan bahan
bakar padat yang saat ini masih paling banyak digunakan di industri industri
Indonesia. Hal ini disebabkan karena nilai kalor batubara lebih tinggi
dibandingkan dengan bahan bakar padat lainnya. Dikarenakan frekuensi
pemakaian batubara yang masih tinggi, standar kualitas dari bahan bakar pada
disetarakan dengan standar kualitas batubara.

Batubara terdiri dari beberapa zat penyusun. Untuk mengetahui penyusun


batubara, dilakukan analisis ultimat dan analisis proksimat. Analisis ultimat
merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui kandungan karbon,
oksigen, nitrogen, sulfur, dan unsur unsur penyusun lainnya. Analisis proksimat
bertujuan untuk mengetahui karakteristik pembakaran dari batubara. Analisis
prokismat dapat membantu untuk mengetahui kandungan fixed carbon, volatile
matter, moisture content, dan ash. Adapun pengertian dari unsur tersebut adalah
sebagai berikut [9] :

Fixed carbon
Komponen fixed carbon merupakan ikatan rantai karbon yang
berkontribusi paling besar pada pembakaran dibandingkan unsur
unsur lainnya.
Volatile matter
Komponen ini berupa hidrokarbon yang dapat terlepas dari padatan
batubara baik berupa gas maupu berupa cair. Volatile matter juga

8
merupakan komponen yang ikut berkontribusi dalam pembakaran
walaupun panas yang dihasilkan tidak sebesar fixed carbon.
Volatile matter akan terbakar terlebih dahulu dibandingkan fixed
carbon.
Kadar air
Komponen ini merupakan kandungan air yang terdapat pada bahan
bakar padat. Kandungan air ini tidak berkontribusi pada
pembakaran, bahkan dapat menyerap panas yang dihasilkan oleh
bahan bakar tersebut. Pada bahan bakar padat terdapat dua jenis
kadar air, yaitu surface moisture dan inherent mositure. Surface
moisture merupakan kandungan air yang terdapat pada permukaan
bahan bakar padat. Inherent moisture merupakan kandungan air
yang terikat di dalam bahan bakar padat.
Ash
Ash atau abu adalah sisa inorganik dari proses pembakaran bahan
bakar padat setelah bahan bakar padat tersebut sudah terbakar
sempurna [8]. Banyaknya kandungan abu pada bahan bakar padat
dapat memicu beberapa masalah, seperti fouling, slagging, dan
akan memperburuk emisi gas buang dari proses pembakaran bahan
bakar padat karena dapat membentuk partikulat yang berbahaya
bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Salah satu parameter penting untuk menentukan kualitas batubara adalah


nilai kalor. Dalam mendefinisikan nilai kalor dari batubara, terdapat istilah -
istilah yang biasa digunakan. Low heating value (LHV) merupakan nilai kalor
pembakaran batubara apabila kondisi air hasil pembakaran batubara berfasa gas,
High heating value (HHV) merupakan nilai kalor pembakaran batubara apabila
kondisi air hasil pembakaran batubara berfasa cair [9]. Fasa cair ini yang
memberikan kalor laten dari pengembunan air hasil pembakaran sehingga HHV
merupakan ukuran tertinggi dari nilai kalor suatu batubara. Pada penelitian ini
nilai kalor yang dimaksud merupakan HHV.

9
Selain nilai kalor batubara, karakteristik batubara digambarkan oleh
beberapa kategori - kategori untuk menstandarkan pengertian tentang karakteristik
batubara dimanapun. Kategori ini dibuat berdasarkan kondisi dari batubara.
Kategori - kategori tersebut adalah sebagai berikut [9] :

As received (ar)
Kategori ini menggambarkan kandungan batubara lengkap dengan
seluruh kandungan air. Kategori ini terkadang dikenal dengan as-
fired dan banyak digunakan untuk melakukan perhitungan karena
kategori ini menggambarkan keseluruhan kandungan batubara;

Air dried basis (adb)


Kategori ini menggambarkan karakteristik batubara saat batubara
telah dikeringkan dan keseluruhan kandungan air di permukaan
padatan batubara telah hilang;

Dry (d)
Kategori ini menggambarkan karakteristik batubara saat keseluruhan
kandungan air, baik di permukaan maupun yang terikat, telah
terpisah dari padatan batubara;

Dry, ash free (daf)


Kategori ini menggambarkan karakteristik batubara saat seluruh
kandungan airnya dan juga abu yang terdapat pada batubara telah
dipisahkan dari padatan batubara;

Dry, mineral matter free (dmmf)


Kategori ini menggambarkan karakteristik batubara saat batubara
diasumsikan sudah terbebas dari seluruh kandungan air dan mineral.
Hanya bagian organik dari batubara yang diukur pada kategori ini;

10
Gambar 2.1 Kategori untuk menggambarkan kondisi batubara [9]

Kualitas dan karakteristik batubara ditentukan oleh keadaan lingkungan


serta lamanya pembentukan batubara. Batubara tua atau yang sudah lama
terbentuk memiliki nilai kalor yang lebih besar dibanding batubara yang lebih
muda. Keberagaman batubara inilah yang memicu dibuatnya peringkat batubara.
Acuan peringkat batubara yang sering dijadikan acuan adalah peringkat batubara
menurut ASTM. Peringkat batubara secara garis besar terbagi atas 4 peringkat,
yaitu antrachite, bituminous, subbituminous, dan lignite. Batubara antrachite
merupakan gambaran peringkat batubara dengan kualitas yang paling baik,
sedangkan lignite merupakan batubara dengan kualitas yang paling buruk.
Peringkat batubara yang lebih detail di jelaskan pada tabel 2.1.

11
Tabel 2.1 Klasifikasi batubara berdasarkan peringkat menurut ASTM D388 [9]

Fixed Carbon Volatile Matter Nilai Kalor


Kelas Batubara
(%) (%) (kkal/kg)
Antrachitic
Meta-antrachite > 98 <2
Antrachite 92 98 28
Semi antrachite 86 92 8 14
Bituminous
Low Volatile 78 86 14 22
Medium Volatile 69 78 22 31
High Volatile A < 69 > 31 > 7.786,38
High Volatile B 7.213,15 7.786,38
High Volatile C 6.377,19 7.213,15
Subbituminous
Subbituminous A 5.827,84 6377,19
Subbituminous B 5.278,49 5.827,84
Subbituminous C 4.609,73 5.278,49
Lignitic
Lignite A 3.511,04 4.609,73
Lignite B < 3511,04

Pada tabel 2.1 dapat dilihat bahwa batubara dengan kualitas yang lebih baik
dari Hiigh Volatile A Bituminous tidak dituliskan besar nilai kalor dari batubara
tersebut. Hal ini disebabkan karena batubara tingkat tinggi tidak digunakan
sebagai bahan bakar, sedangkan batubara lainnya biasanya digunakan pada proses
pembakaran sehingga nilai kalor menjadi parameter yang yang paling penting.

Pada subbab ini telah dibahas karakteristik dari bahan bakar padat yang
lebih dikhususkan pada batubara. Walaupun batubara merupakan bahan bakar
padat yang paling sering digunakan di dunia saat ini, tidak menutup kemungkinan
munculnya jenis bahan bakar padat lainnya. Bahan bakar padat yang sekarang
cukup berpotensi adalah sampah kota.

2.2 Sampah Kota


Pada subbab ini akan dijelaskan mengenai sampah kota. Penjelasan ini akan
meliputi definisi sampah kota, permasalahan sampah kota, komposisi sampah kota
Bandung dan karakteristik sampah kota Bandung sebagai bahan bakar.

12
Pembahasan sampah kota akan lebih dikhusukan pada sampah kota Bandung
karena penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan sampah di
Kota Bandung dan penelitian ini sebagai tindak lanjut dari penelitian sampah kota
Bandung sebelumnya. .

2.2.1 Definisi dan Penggolongan Sampah Kota


Berdasarkan UU 18 tahun 2008, sampah dapat diartikan sebagai sisa
kegiatan sehari hari manusia dan / atau proses alam yang berbentuk padat.
Sampah kota dapat diartikan sampah yang berasal dari daerah perkotaan. Sampah
merupaka suatu zat yang heterogen, yang artinya sampah terdiri dari beberapa
komponen penyusunnya. Hal ini yang membuat keberagaman jenis sampah di
dunia. Komponen sampah kota sangat tergantung dari lingkungan, iklim, dan
perilaku dari masyarakat pada kota tersebut.

Sampah kota biasanya digolongkan berdasarkan sumber sampah tersebut.


Penggolongan sampah menurut sumbernya adalah sebagai berikut [10]:

Pemukiman : Sampah golongan ini berasal dari tempat tempat


pemukiman masyarakat, seperti perumahan ataupun apartemen.
Sampah pemukiman ini biasanya terdiri dari sisa makanan, kardus,
kertas, plastik, kulit, tekstil sampah kebun, kayu, kaca, logam,
barang bekas, dan limbah berbahaya
Daerah komersial : Sampah golongan ini berasal dari pertokoan,
rumah makan, pasar, perkantoran, dan semua tempat usaha lainnya.
Sampah daerah komersial ini terdiri dari kertas, kardus, pastik, kayu,
sisa makanan, kaca, logam, limbah berbahaya.
Institusi : Sampah golongan ini berasal dari institusi institusi
seperti sekolah, rumah sakit, penjara, pusat pemerintahan, dan lain
lain. Jenis sampah institusi kurang lebih sama dengan sampah
komersial.
Konstruksi dan pembongkaran bangunan: Sampah golongan ini
berasal dari pembuatan konstruksi, gedung, perbaikan jalan, dan lain

13
lain. Sampah ini terdiri dari kayu, baja, beton, pasir, debu dan
sebagainya.
Fasilitas umum : Sampah golongan ini berasal dari taman taman,
jalanan, tempat rekreasi dan fasilitas fasilitas umum lainnya.
Sampah ini terdiri dari sampah kebun, daun, rumput, dan lain lain.
Kawasan industri : Sampah golongan ini berasal dari sektor bisnis
seperti pabrik pabrik. Sampah ini terdiri dari lumpur, debu ,dan
hasil pengolahan
Pertanian : Sampah golongan ini berasal dari sisa sisa hasil
pertanian, seperti sisa panen dan sampah makanan.

Penggolongan sampah berdasarkan sumber sampah tersebut merupakan


salah satu cara penggolongan sampah. Selain digolongokan berdasarkan sumber
sampah tersebut, sampah juga dapat digolongkan berdasarkan cara penanganan
dan pengolahannya. Penggolongan sampah berdasarkan cara penanganan dan
pengolahannya adalah sebagai berikut [10]:

Komponen mudah membusuk : sampah rumah tangga, sayuran, buah


buahan, kotoran binatang, dan lain lain
Komponen bervolume besar dan mudah terbakar : kayu, kertas, kain,
palstik, karet, kulit, dan lain lain
Komponen bervolume besar dan sulit terbakar : logam, mineral, dan
lain lain
Komponen bervolume kecil dan mudah terbakar
Komponen bervolume kecil dan sulit terbakar
Wadah bekas : botol, drum, dan lain lain
Tabung bertekanan / gas
Serbuk dan abu : organik, logam metalik, non metalik, bahan
amunisi
Lumpur
Puing bangunan
Kendaraan tak terpakai
Sampah radioaktif.

14
2.2.2 Permasalahan Sampah Kota di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak
di dunia. Terpusatnya jumlah pendudut di kota kota besar di Pulau Jawa, seperti
Jakarta, Surabaya, dan Bandung menyebabkan permasalahan bagi pemerintah
setempat. Sampah merupakan salah satu permasalahan dari kota kota tersebut
karena jumlah sampah yang dihasilkan umumnya sebanding dengan banyaknya
orang pada kota tersebut.

Banyaknya jumlah sampah yang dihasilkan tidak diimbangi oleh fasilitas


pelayanannya. Diperkirakan hanya sekitar 60% sampah di kota kota besar yang
terangkut ke TPA [10]. Tabel 2.2 memperlihatkan proporsi penduduk yang
difasilitasi oleh Dinas Kebersihan setempat.

Tabel 2.2 Proporsi pelayanan sampah di Indonesia [10]

Penduduk Penduduk
Penduduk
Pulau dilayani dilayani
(juta-jiwa)
(juta-jiwa) (%)
Sumatera 49,3 23,5 48
Jawa 137,2 80,8 59
Bali dan Nusa Tenggara 12,6 6,0 47
Kalimantan 12,9 6,0 46
Sulawesi, Maluku, dan
20,8 14,2 68
Papua
Total 232,7 130,3 56

Buruknya pelayanan sampah bagi penduduk Indonesia diperparah dengan


masih berkembangnya paradigma pengolahan sampah: KUMPUL ANGKUT
dan BUANG. Paradigma ini membuat metode pengolahan sampah dengan
landfilling di TPA menjadi cara pengolahan yang paling sering dipakai. Cara
tersebut tidak diimbangi dengan perhatian yang serius dari pemerintah setempat
dan bukan tidak jarang penimbunan sampah di TPA ini dapat mengganggu
kelangsungan hidup dari penduduk sekitar.

15
Gambar 2.2 Skema ANGKUT KUMPUL dan BUANG [10]

2.2.3 Komposisi dan Karakteristik Sampah Kota Bandung


Sampah yang akan digunakan pada penelitian kali ini merupakan sampah
yang berasal dari Kota Bandung. Sampah merupakan komponen heterogen yang
terdiri dari beberapa komponen komponen. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian untuk menentukan komposisi samapah kota di Kota Bandung.
Penelitian untuk mengetahui komposisi sampah kota di Kota Bandung pernah
dilakukan pada tahun 2007. Pada penelitian tersebut, para peneliti melakukan
suvei pada 23 TPS yang tersebar di Kota Bandung [1]. Data dari survei tersebut
diharapkan dapat mewakili komposisi sampah di Kota Bandung. Berikut data
fraksi volume dan fraksi massa komponen komponen penyusun sampah kota di
Kota Bandung.

16
1.71
1.13 1.28
1.83 5.31
2.34

Organik
Sisa Makanan
12.94 44.36 Kertas
Gelas/Botol kaca/Kaca
Plastik daur ulang
13.06 Plastik bukan daur ulang
Logam/Kaleng
Tekstil
Karet
3.24 11.58 11.32 Styrofoam
Sisa elektronik
Lain - lain

Gambar 2.3 Komposisi rerata timbulan sampah (%volume) (diadaptasi dari [1])

2.23 Organik
0.65 13.95 Sisa makanan
2.69
4.74 Kertas
43.91 Gelas/Botol kaca/Kaca
5.95 Plastik daur ulang

9.01 Plastik bukan daur ulang


Logam/Kaleng
7.47 Tekstil
Karet
4.97 13.76 26.96
Styrofoam
Sisa elektronik
Lain-lain
Gambar 2.4 Komposisi rerata timbulan sampah (%massa) (diadaptasi dari [1])

Komponen komponen sampah yang terlihat pada gambar 2.3 dan 2.4
ternyata tidak semuanya dapat dimanfaatkan untuk menjadi bahan bakar alternatif.
Sampah sampah tersebut merupakan sampah yang diambil oleh pemulung
sehingga tidak tersedia lagi di TPA sehingga sampah yang tersisa di TPA sebesar

17
75% dari tota sampah kota yang dihasilkan. Komponen sampah kota yang diambil
oleh pemulung, antara lain gelas, logam, dan plastik daur ulang. Komponen
sampah yang dapat dimanfaatkan dapat dilihat pada tabel 2.3 dan fraksi massa
dari komponen komponen tersebut dapat dilihat pada gambar 2.5.

Tabel 2.3 Komponen sampah yang dapat dimanfaatkan [1]

No Komponen
Daun
1 Organik Ranting
Sisa Makanan
2 Plastik bukan daur ulang Plastik kemasan
3 Tekstil Tekstil
Styrofoam
4 Karet
Karet sandal
5 Lain - lain Lain - lain

14

3
Organik
5
Plastik bukan daur ulang
Tekstil
9
Karet
Lain - lain
69

Gambar 2.5 Komposisi sampah yang tidak diambil pemulung (%massa)


(diadaptasi dari [1])

Komponen organik yang terdiri atas daun, ranting, dan sisa makanan ini
mendominasi berat dari sampah di Kota Bandung. Komponen organik inilah yang
nantinya akan dijadikan bahan bakar alternatif pada penelitian ini. Setelah kita
mengetahui komposisi dari sampah kota di Kota Bandung, kita juga harus

18
mengetahui karakteristik dari sampah di Kota Bandung sebagai bahan bakar,
seperti komposisi fisik, komposisi kimia.

Karakteristik sampah ditentukan dari komponen komponen penyusunnya.


Oleh karena itu, karakteristik dari sampah di tiap kota berbeda beda.
Karakteristik. Karakteristik sampah dapat dikelompokan menjadi komposisi fisik,
komposisi kimia, dan nilai kalor. [1].

Karakteristik fisik meliputi kandungan 4 unsur penyusun, yaitu kandungan


fixed carbon, kandungan air, kandungan volatile matter, dan kandungan abu pada
sampah. Selain itu, nilai kalor juga termasuk dalam komposisi fisik dari sampah
karena sampah yang dimaksud akan digunakan sebagai bahan bakar. Unsur
unsur penyusun tersebut kurang lebih sama dengan batubara, namun kandungan
unsur unsur penyusun tersebut yang menyebaban adanya perbedaan antara
batubara dan sampah. Unsur unsur penyusun sampah dapat diketahui dengan
melakukan uji proksimat, sedangkan nilai kalor dapat diketahui dengan pengujian
nilai kalor dengan kalorimeter bom.

Komposisi kimia terdiri dari beberapa unsur, seperti karbon, hidrogen,


nitrogen, oksigen, klorin, sulfur. Komposisi kimia ini yang sebenarnya
menggambarkan unsur yang menyusun sampah. Komposisi kimia dari suatu
sampah dapat diketahui dari uji ultimat.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, para peneliti telah


melakukan uji proksimat, uji ultimat, dan juga pengujian nilai kalor dari sampah
di Kota Bandung yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif. Gambar 2.6
meggambarkan komposisi fisik dari sampah.

19
Gambar 2.6 Komposisi fisik sampah kota Bandung berdasarkan uji proksimat [1]

Berdasarkan hasil uji proksimat komponen sampah yang dapat dijadikan


bahan bakar, kandungan volatile matter pada sampah tersebut merupakan yang
paling dominan. Volatile matter merupakan zat zat yang mudah menguap dan
bekontribusi dalam pembakaran. Kandungan air pada sampah kota ini terbilang
kecil, maksimal hanya sekitar 10%. Kandungan air ini hanya kandungan inherent
mositure karena komponen sampah pada pengujian ini dalam kondisi adb
sehingga kandungan surface moisture sudah hilang dari sampah. Kandungan air
tidak berkontribusi dalam pembakaran. Kandungan air bahkan menyerap kalor
yang dihasilkan bahan bakar. Kandungan fixed carbon kurang dari 20%. Fixed
carbon merupakan unsur yang paling berkontribusi dalam pembakaran sehingga
fixed carbon sangat diinginkan di dalam bahan bakar. Kandungan abu pada
sampah rata rata kurang dari 10%. Namun, komponen karet memiliki
kandungan abu yang cukup tinggi, yaitu lebih dari 20%. Kandungan abu yang
besar menyebabkan buruknya emisi yang dihasilkan sampah tersebut.

Hasil uji ultimat, yang menggambarkan komposisi kimia dari sampah kota
Bandung, tersaji pada gambar 2.7

20
Gambar 2.7 Komposisi kimia sampah kota Bandung berdasarkan uji ultimat [1]

Karbon dan oksigen merupakan dua unsur yang paling dominan pada
sampah kota Bandung. Karbon merupakan unsur penyusun fixed carbon dan
volatile matter. Oksigen dan hidrogen merupakan penyusun volatile matter dan
juga kandungan air. Sulfur merupakan unsur yang paling sedikit pada sampah
kota Bandung. Sulfur berperan dalam pembentukan emisi SOX. SOX berperan
dalam pembentukan hujan asam apabila terlepas ke udara. Oleh karena itu,
kandungan sulfur yang sedikit pada sampah kota menambah keunggulan sampah
kota sebagai bahan bakar. Selain mempunyai keunggulan dalam masalah emisi,
ternyata sampah kota juga memiliki kekurangan. Kandungan klorin pada sampah
kota terbilang cukup besar apabila dibandingkan dengan batubara. Kandungan
klorin terbesar terkandung pada komponen sisa makanan. Klorin ini dapat memicu
terbentuknya zat beracun, dioksin, apabila pembakaran sampah terjadi pada
temperatur rendah (<600 C). Kandungan nitrogen pada sampah kota berkisar
sekitar 5%.

Setelah mengetahui komposisi fisik dan komposisi kimia dari sampah kota
Bandung, kita perlu mengetahui potensi nilai kalor dari sampah kota Bandung
agar melengkapi karakteristik sampah kota sebagai bahan bakar alternatif.

21
Gambar 2.9 menunjukkan potensi nilai kalor yang dimiliki komponen
komponen sampah kota Bandung.

9000
8000
7000
Nilai kalor adb (kkal/kg)

6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
Sampah Sampah Plastik Karet Tekstil Lain-Lain
Pepohonan Makanan Bukan Daur
Ulang

Gambar 2.8 Potensi nilai kalor komponen sampah kota Bandung (adb) [1]

Nilai kalor dari komponen komponen sampah ini cukup beragam. Plastik
bukan daur ulang merupakan komponen sampah dengan nilai kalor yang paling
tinggi diantara komponen komponen sampah lainnya. Sampah yag diuji dalam
kondisi adb sehingga nilai kalor yang dimiliki pada pengujian ini terbilang besar.
Bila sampah pada kondisi yang sebenarnya atau as recieved, nilai kalor yang
dihasilkan oleh sampah pasti lebih kecil dibandingkan pada pengujian tersebut.

2.3 Biomassa Lignoselulosa dan Amilum


Pada subbab ini akan dibahas mengenai lignoselulosa dan amilum.
Lignoselulosa merupakan zat yang paling banyak ditemui pada biomassa.
Lignoselulosa juga diharapkan merupakan zat yang paling banyak ditemui di
sampah kota karena komponen organik, yang merupakan biomassa, merupakan
komponen terbanyak pada sampah kota. Selain lignoselulosa, amilum juga banyak
ditemui di komponen sisa makanan, lebih tepatnya pada nasi. Oleh karena itu,

22
diperlukan pemahamam lebih mendalam tentang peran dan juga karakteristik dari
lignoselulosa dan amilum.

2.3.1 Lignoselulosa
Lignoselulosa merupakan komponen yang paling banyak ditemukan pada
tanaman hijau. Biomassa Lignoselulosa merupakan biomassa terbarukan yang
paling banyak di dunia dengan produksi sebesar 1 X 1010 di seluruh dunia [12].
Lignoselulosa adalah komponen berserat yang menyusur dinding sel tumbuhan.
Lignoselulosa terdiri atas tiga komponen utama, yaitu hemiselulosa, selulosa, dan
lignin. Hemiselulosa dan selulosa merupakan gula polimer sehingga kedua
komponen ini sangan potensial untuk dijadikan gula fermentasi. Berikut akan
dijelaskan lebih lanjut mengenai ketiga komponen utama dari lignoselulosa.

1) Hemiselulosa
Hemiselulosa merupakan komponen penyusun dinding sel tanaman.
Hemiselulosa mempunyai struktur yang acak, dan amorf dengan
ikatan yang lemah. Hemiselulosa adalah kelompok karbohidrat
dengan struktur rantai yang bercabang dan derajat polimerisasi yang
rendah (DP<100-200) [11]. Molekul yang paling dominan pada
hemiselulosa adalah xylan. Gambar 2.9 Menggambarkan struktur
xylan

Gambar 2.9 Struktur hemiselulosa [12]

23
2) Selulosa
Selulosa merupakan komponen lainnya yang menyusun dinding sel
tanaman. Tidak seperti hemiselulosa, selulosa mempunyai struktur
kristalin yang kokoh. Struktur ini terbentuk dari banyak molekul
glukosa. Selulosa adalah rantai polimer panjang [6]. Selulosa
merupakan komponen yang dominan dari biomassa kayu.
Kandungan selulosa pada biomassa kayu berkisar antara 40 44 %
berat kering dari kayu. Gambar 2.10 menunjukkan struktur dari
selulosa

Gambar 2.10 Struktur molekul tunggal dari selulosa [12]

3) Lignin
Lignin merupakan komponen yang palig kompleks pada komponen
penyusun lignoselulosa. Mengisi tempat diantara hemiselulosa dan
selulosa pada struktur lignoselulosa. Pada kayu lignin berfungsi
meningkatkan ketahanan dan perkembangan sel. Kandungan lignin
mempengaruhi transportasi air, nutrisi dan mempunyai ketahanan
terhadap impak [11]. Pada penelitian sebelumnya, lignin telah
terbukti dapat berfungsi sebagai pengikat pada biomassa. Gambar
2.11 menunjukkan struktur lignin.

24
Gambar 2.11 Contoh struktur molekul lignin [12]

2.3.2 Amilum
Amilum merupakan komponen yang paling banyak ditemukan pada nasi.
Amilum merupakan polimer senyawa glukosa yang terdiri dari dua komponen
tama, yaitu amilosa dan amilopektin [13]. Amilosa merupakan polimer berlantai
lurus yang memberikan sifat keras pada nasi. Amilopektin merupakan polimer
bercabang yang memberikan sifat lengket nasi. Gambar 2.12 menggambarkan
sturktur amilosa dan amilopektin

25
Gambar 2.12 Sturktur amilosa dan amilopektin [13]

2.4 Dasar Proses Torefaksi


Pada subbab sebelumnya dijelaskan sampah kota yang tersedia untuk
dijadikan bahan bakar alternatif ternyata masih membutuhkan penanganan lebih
sebelum dapat menjadi bahan bakar padat yang dapat setara dengan batubara.
Tingginya kandungan air dan kandungan senyawa organik yang kompleks
merupakan masalah yang harus ditanggulangi agar kelak sampah kota dapat
menggantikan batubara sebagai sumber energi.

2.4.1 Definisi Proses Torefaksi


Peningkatan densitas energi menjadi cara untuk meningkatkan kualitas
sampah kota agar setara dengan batubara. Menghilangkan kandungan air dan
menyederhanakan senyawa organik kompleks pada sampah kota dapat
meningkatkan densitas energi sampah kota agar dapat setara dengan batubara.
Pirolisis merupakan suatu metode untuk meningkatkan densitas energi dari bahan
bakar.

Pirolisis adalah proses peningkatan densitas energi material lignoselulosa


melalui perlakuan panas pada kondisi inert dan pada tekanan atmosfer [14].
Pirolisis akan menghasilkan 3 macam produk berupa padatan, cairan, dan gas.
Kuantitas dari ketiga produk ini akan berbeda beda tergantung dari jenis

26
pirolisis yang dilakukan. Pada tabel 2.4 dapat dilihat jenis jenis pirolisis
berdasarkan temperatur operasi, waktu tinggal, dan laju kenaikan temperatur.

Tabel 2.4 Fraksi massa produk kayu (dry wood basis) yang dihasilkan dari
berbagai metode torefaksi kayu [14]

Padat Cair Gas


Metode Kondisi
(%) (%) (%)
500C, short hot vapor residence
Fast 12 75 13
time 1 second
500C, short vapor residence time,
Intermediate 25 50 25
10-30 seconds
Slow- 290C, solid residence time 30
82 - 18
torrefaction minutes
Slow- 400C, long vapor residence time
35 30 35
carbonization hours-days
Gasification 800C 10 5 85

Dari tabel diatas dapat dilihat beragam jenis pirolisis. Pada penelitian kali
ini hanya torefaksi yang akan dibahas lebih lanjut karena torefaksi merupakan
metode yang digunakan pada penelitian kali ini. Torefaksi merupakan jenis dari
proses pirolisis dengan temperatur operasi berkisar sekitar 200C-300C. Torefaksi
menghasilkan padatan sebagai produk utama. Laju pemanasan yang lambat membuat
padatan menjadi produk yang paling dominan. Gambar 2.13 menunjukkan contoh skema
proses torefaksi.

27
Gambar 2.13 Contoh skema proses torefaksi

2.4.2 Mekanisme Proses Torefaksi


Pada proses torefaksi, biomassa atau sampah kota dipapari aliran gas inert
panas. Oleh karena itu, biomassa akan mengalami 2 tahap penurunan massa, yaitu
tahap pengeringan dan tahap devolatilisasi selama proses torefaksi [15]. Berikut
adalah penjelasan dari kedua tahapan penurunan massa sampah kota pada saat
proses torefaksi.

Tahap Pengeringan

Pada tahap ini, penurunan massa pada biomassa akan terjadi karena lepas
kandungan air pada padatan. Kandungan air yang hilang berupa surface moisture
maupun inherent moisture. Lepasnya kandungan air pada padatan disebabkan
perubahan fasa kandungan air dari fasa cair ke gas karena paparan panas dari
aliran gas pada proses torefaksi.

Tahap Dekomposisi

. Pada tahap ini terjadi pelepasan volatile matter dari padatan. Tahap
devolatisasi ini terjadi setelah tahap pengeringan berakhir pada biomassa yang
terpulverisasi. Pada biomassa dengan ukuran yang lebih besar, tahap dekomposisi
akan terjadi ketika tahap pengeringan telah selesai pada sebagian biomassa yang
ditorefaksi.

28
Tahap dekomposisi dapat meningkatkan densitas energi pada biomassa.
Dekomposisi komponen lignoselulosa pada biomassa menyebabkan penurunan
massa pada biomassa yang akhirnya dapat meningkatkan densitas energi dari
produk torefaksi biomassa.. Proses dekomposisi dari ketiga jenis komponen
lignoselulosa terjadi secara berbeda. Perbedaan proses dekomposisi tersebut
dipengaruhi oleh temperatur proses torefaksi. Gambar 2.14 menunjukkan proses
dekomposisi dari tiap komponen lignoselulosa.

Gambar 2.14 Proses dekomposisi termal komponen komponen lignoselulosa


pada proses torefaksi [14]

Pada proses dekomposisi diatas terlihat bahwa proses dekomposisi termal


komponen lignoselulosa yang terjadi pada proses torefaksi. Hemiselulosa
merupakan komponen lignoselulosa yang terdekomposisi paling maksimal pada
temperatur operasi torefaksi, yang ditunjukan dengan daerah bewarna pekat pada
rentang temperatur torefaksi. Hal ini menunjukkan bahwa temperatur dekomposisi
termal hemiselulosa berkisar antara 200 300 C. Selulosa tidak terdekomposisi
secara maksimal pada proses torefaksi karena temperatur dekomposisi selulosa

29
berkisar antara 300 400 C, sedangkan lignin terdekomposisi secara perlahan
karena temperatur dekomposisi lignin berkisar antara 200 500 C.

Proses dekomposisi termal dari komponen komponen lignoselulosa juga


dapat diamati dengan analisis thermogravimetry. Analisis termografimetri
menunjukkan penurunan massa dari komponen komponen lignoselulosa pada
selang temperatur operasi tertentu. Berikut ini contoh grafik termografimetri dari
proses dekomposisi kayu

Gambar 2.15 Contoh grafik thermogravimetry kayu [16]

Selain dengan grafik thermogravimetry proses dekomposisi juga dapat


diamati dengan melihat grafik penurunan grafik thermogravimetry. Grafik
tersebut dinamakanan derivative thermogravimetry (DTG). DTG ditunjukan oleh

30
gambar dibawah ini.

Gambar 2.16 Contoh grafik DTG [17]

Pada grafik DTG diatas dapat dilihat bahwa dekomposisi termal


hemiselulosa terjadi pada temperatur dibawah 300 C. Dekomposisi selulosa
terjadi secara maksimal pada temperatur 323 C, sedangkan proses dekomposisi
lignin mencapai puncak pada temperatur sekitar 500 C walaupun tidak sebesar
dekomposisi hemiselulosa dan selulosa. Hal ini mengindikasikan bahwa
komponen lignin merupakan komponen lignoselulosa yang paling sulit untuk
terdekomposisi.

2.5 Proses Torefaksi Temperatur Tinggi


Pada subbab ini akan dibahas mengenai proses torefaksi pada temperatur
tunggi (>300C). Pembahasan diawali dengan membahas mekanisme dekomposisi
komponen lignoselulosa dan akan diakhiri dengan pembahasan penelitian terkait
torefaksi biomassa pada temperatur tinggi yang sudah pernah dilakukan
sebelumnya.

2.5.1 Mekanisme Dekomposisi Komponen Lignoselulosa


Dekomposisi komponen komponen lignoselulosa merupakan bahasan
yang penting untuk dibahas, apabila kita ingin merancang suatu proses torefaksi

31
yang baik pada suatu biomassa. Hemiselulosa, selulosa, dan lignin akan
mengalami mekanisme dekomposisi yang berbeda-beda pada suatu rentang
temperatur tertentu. Pada uraian dibawah ini akan dibahas mengenai mekanisme
dekomposisi hemiselulosa, selulosa, dan lignin.

Mekanisme Dekomposisi Hemiselulosa

Hemiselulosa merupakan heteropolisakarida, yang komposisinya


bergantung pada jenis tumbuhan. Xylan merupakan komponen hemiselulosa yang
paling banyak pada tumbuhan angiospermae, sementara glucomannan merupakan
komponen lignoselulosa yang paling banyak ditemukan pada tumbuhan
gymnospermae [18].

Walaupun merupakan komponen yang heterogen, dekomposisi hemiselulosa


terjadi secara dominan pada rentang temperatur 200C-350C. Dekomposisi
puncak terjadi pada temperatur sedikit di bawah 300C. Gambar 2.17
menggambarkan secara lebih detil mekanisme dekomposisi hemiselulosa pada
proses pirolisis melalui peninjauan dekomposisi komponen xylan.

32
Gambar 2.17 Pirolisis komponen xylan (atas: analisis thermogravimetry ,bawah:
reaksi utama selama perubahan struktur ikatan) [18]

Pada gambar 2.17 atas terlihat bahwa pada dekomposisi xylan selama proses
pirolisis terjadi dua puncak yang menunjukkan dekomposisi maksimal. Puncak
kecil terjadi pada sekitar temperatur 240C dan puncak besar terjadi pada
temperatur sekitar 300C. maksimal hemiselulsa tidak terjadi lagi setelah
temperatur 300C. Pada temperatur diatas 300C, sisa padatan menjadi lebih
aromatik dibanding sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa dekomposisi
hemiselulosa terjadi secara maksimal pada temperatur torefaksi (200C-300C).

Gambar 2.17 bawah menyajikan mekanisme dekomposisi xylan secara lebih


detil. Dekomposisi xylan dimulai dari proses dehidrasi dan pelepasan ikatan
ikatan yang tidak stabil yang terjadi pada sekitar temperatur 200C. Selama proses
ini methanol terbentuk akibat pemecahan gugus metoksi pada padatan. Selain itu,
asam format ikut terbentuk akibat pemecahan asam karboksilat pada padatan.

33
Proses dekomposisi selanjutnya adalah depolimerasisasi, yang terjadi pada
rentang temperatur 240C-320C. Pada rentang temperatur tersebut ikaatan
glikosidik yang mengikat unit unit monosakarida menjadi tidak stabil sehingga
depolmerisasi cepat terjadi. Proses depolimerisasi ini mengakibatkan
pembentukan gula anhidro yang baru. Pada temperatur diatas 320C, reaksi yang
terjadi hanya proses charring pada sisa padatan. Proses tersebut tidak
menimbulkan dekomposisi yang besar pada xylan.

Mekanisme Dekomposisi Selulosa

Selulosa merupakan komponen linear homopolisakarida. Selulosa berbeda


dengan hemiselulosa yang mana merupakan komponen heteropolisakarida [18].
Dekomposisi selulosa pada proses pirolisis terjadi utamanya pada rentang
temperatur 300C-390C. Gambar 2.18 menggambarkan secara lebih detil tentang
mekanisme dekomposisi selulosa pada proses pirolisis.

34
Gambar 2.18 Pirolisis selulosa (atas: analisis thermogravimetry, bawah: reaksi
utama selama perubahan struktur ikatan) [18]

Gambar 2.18 atas menunjukkan hasil analisis thermogravimetry pada


komponen selulosa. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa dekompoisis
maksimal selulosa terjadi sekitar temperatur 340C. Proses dekomposisi setelah
temperatur 400C terlihat sangat kecil dan bisa disimpulkan telah selesai. Setelah
temperatur 400C, sisa padatan menjadi lebih aromatik dibandingkan sebelumnya.

Gambar 2.18 bawah menunjukkan reaksi reaksi utama dekomposisi


selulosa pada proses pirolisis. Berbeda dengan hemiselulosa, pada temperatur
200C hanya terjadi proses dehidrasi. Proses pelepasan ikatan baru dimulai pada

35
sekitar temperatur 300C. Pada temperatur tersebut dimulai pula proses
depolimerisasi.

Proses depolimerisasi terjadi pada rentang temperatur 300C-390C. Pada


proses ini ikatan glikosidik menjadi sangat reaktif dan reaksi lain yang terjadi
secara simultan. Depolimerisasi selulosa terjadi sangat cepat yang dapat
menghasilkan sampai dengan 80% senyawa volatil yang mayoritas merupakan
senyawa organik yang dapat terkondonsasi. Depolimerisas juga memacu
pembentukan anhidro-oligosakarida dan anhidro-sakarida. Pada temperatur diatas
400C, reaksi yang terjadi hanya proses charring. Proses tersebut tidak
mengakibatkan dekomposisi yang maksimal pada selulosa.

Mekanisme Dekomposisi Lignin

Lignin merupakan polir amorfus tiga dimensi kompleks yang terdiri dari
tiga unit fenilpropana [18]. Proporsi dari unit unit monomer sangat bervariasi
dan utamanya tergantung dari jenis biomassa lignoselulosanya. Dekomposisi
lignin pada proses pirolisis terjadi pada rentang temperatur yang besar, yaitu dari
200C sampai 500C. Gambar 2.19 menunjukkan mekanisme dekomposisi lignin
secara lebih detil.

36
Gambar 2.19 Pirolisis lignin (atas:analisis thermogravimetry, bawah: reaksi utama
selama perubahan struktur ikatan) [18]

Gambar 2.19 atas menunjukkan analisis thermogravimetry pada lignin.


Dekomposisi lignin utamanya terjadi pada rentang temperatur 200C-500C,
dengan dekomposisi maksimal terjadi pada rentang temperatur 360C-400C.
Lignin merupakan komponen yang sulit terdekomposisi. Hal ini terlihat pada
dekomposisi maksimal lignin yang masih lebih rendah dibanding dekomposisi
maksimal hemiselulosa dan selulosa.

Reaksi dekomposisi lignin terbagi atas dua reaksi utama. Reaksi pertama
adalah ketidakstabilan rantai propil yang mengikat unit unit monomer dengan

37
metoksi pada cincin aromatik. Reaksi kedua adalah proses charring. Reaksi
pertama terjadi pada rentang temperatur. Reaksi pertama terjadi pada rentang
temperatur 150C-420C, sedangkan reaksi kedua terjadi pada rentang temperatur
380C-800C Kedua proses ini menghasilkan senyawa volatil yang didominasi
oleh gas gas bermassa rendah yang tidak dapat terkondensasi.

2.5.2 Penelitian Terkait Torefaksi Temperatur Tinggi


Proses torefaksi biomassa bukan lagi menjadi hal yang asing bagi para
peneliti energi terbarukan di dunia. Kesadaran akan pentingnya pengembangan
teknologi konversi energi terbarukan membuat penelitian tentang proses torefaksi
biomassa mulai dilakukan. Banyaknya parameter terkait pada proses torefaksi
membuat penelitian tentang proses torefaksi terus dilakukan sampai saat ini.

Salah satu parameter paling penting pada proses torefaksi biomassa adalah
temperatur operasi. Temperatur operasi proses torefaksi yang paling sering
digunakan pada penelitian penelitian saat ini berada pada rentang 200C sampai
300C. Hal ini dikarenakan proses torefaki yang dipahami berada pada rentang
temperatur tersebut. Namun, bukan berarti proses torefaksi dengan temperatur
operasi yang berada di luar temperatur tersebut tidak patut untuk diteliti.

Meskipun penelitian torefaksi biomassa dengan temperatur diluar rentang


temperatur torefaksi pada umumnya belum banyak dilakukan, sudah ada beberapa
peneliti yang melakukan penelitian tentang perilaku biomassa saat proses torefaksi
pada temperatur diluar temperatur torefaksi pada umumnya, contohnya penelitian
dari Jeeban Poudel, Tae-In Ohm, dan Sea Cheon Oh [19].

Jeeban Poudel dkk meneliti proses torefaksi sampah makanan yang


dikumpulkan dari beberapa restoran di Korea Selatan. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh temperatur operasi dan waktu tinggal terhadap
sifat sifat sampah makanan sebagai bahan bakar. Keunikan dari penelitian
tersebut adalah penggunaan rentang temperatur operasi yang besar, yaitu dari
temperatur 150C sampai 600C.

38
Pada penelitian ini beberapa karakteristik produk hasil torefaksi dianalisis,
seperti nilai kalor, kandungan abu, dan komposisi gas yang dihasilkan. Gambar
2.17 menyajikan pengaruh nilai kalor produk hasil torefaksi terhadap temperatur
operasi torefaksi.

Gambar 2.20 Grafik pengaruh temperatur terhadap nilai kalor [19]

Gambar 2.20 menampilkan grafik yang menujukan pengaruh temperatur


terhadap nilai kalor dari produk proses torefaksi. Nilai kalor akan meningkat
sampai pada temperatur 400C, kemudian menurun sampai pada temperatur
500C. Meningkatnya nilai kalor setelah temperatur 300C, walaupun tidak
signifikan, cukup memberikan informasi bahwa terdapat potensi untuk
meningkatkan nilai kalor pada temperatur torefaksi yang lebih tinggi. Turunnya
nilai kalor sampai pada temperatur 500C menunjukkan ada fenomena lain yang
terjadi sehingga nilai kalor turun. Hasil dari penelitian tersebut lah yang dijadikan
salah satu alasan bahwa penelitian ini harus dilakukan.

39
Bab 3
Kajian Proses Torefaksi Sampah Kota pada Daerah
Dekomposisi Selulosa dan Lignin

Pada bab ini akan dibahas beberapa hal menyangkut penelitian proses
torefaksi sampah kota pada daerah dekomposisi selulosa dan lignin. Pembahasan
bermula dari alur penelitian sampai pada peralatan peralatan pengujian pada
penelitian ini. Bab ini diharapkan dapat memberikan gambaran lebih detil kepada
pembaca tentang penelitian pengaruh proses torefaksi sampah kota pada daerah
dekomposisi selulosa dan lignin.

3.1 Gambaran besar Penelitian


Penelitian torefaksi sampah oleh Tim Peneliti Lab. Termodiamika Teknik
Mesin FTMD ITB dilakukan untuk melihat pengaruh torefaksi terhadap nilai
kalor sampah kota. Jenis sampah yang digunakan pada penelitian tersebut adalah
daun, ranting, kulit pisang, kulit jeruk, dan nasi. Proses torefaksi pada penelitian
tersebut dioperasikan pada rentang temperatur 200C sampai 300C. Pada
penelitian tersebut dihasilkan produk torefaksi dengan nilai kalor (HHV) setara
dengan batubara subbituminus B, yaitu 5279-5828 kkal/kg.

Pada temperatur operasi torefaksi tersebut, komponen lignoselulosa yang


terdekomposisi secara sempurna hanyalah komponen hemiselulosa, sedangkan
komponen masih tersisa komponen selulosa dan lignin yang belum
terdekomposisi secara sempurna. Dekomposisi kedua senyawa tersebut berpotensi
menghasilkan produk torefaksi dengan massa sisa yang lebih sedikit dan nilai
kalor yang lebih besar daripada penelitian sebelumnya.

40
Penelitian kali ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh
dekomposisi selulosa dan lignin terhadap nilai kalor dari produk torefaksi sampah
kota. Beberapa rangkaian pengujian akan dilakukan guna memberi gambaran
yang jelas tentang pengaruh dekomposisi selulosa dan lignin. Untuk mengetahui
lebih jelas tentang penelitian ini, gambar 3.1 menunjukkan alur penelitian ini.

Gambar 3.1 Alur penelitian

Penelitian kali ini diawali dengan pengumpulan informasi melalui studi


pustaka. Studi pustaka ini meliputi pengetahuan tentang kondisi bahan bakar
padat di Indonesia saat ini, pengolahan sampah di Indonesia, dan juga prediksi
penggunaan dan ketersediaan bahan bakar padat di masa depan. Hal ini
diharapkan dapat membantu penulis untuk merumuskan topik penelitian yang
dapat menjadi solusi untuk menjawab tantangan krisis energi di masa depan.
Setelah merumuskan dan merencanakan topik penelitian, berbagai rangkaian

41
pengujian dilakukan untuk menjawab hipotesa. Berikut adalah gambaran
pengujian yang dilakukan:

1. Pengujian karakteristik penurunan massa komponen sampah kota


Pengujian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
karakteristik komponen sampah kota yang ditorefaksi. Karakteristik
yang dimaksud adalah penurunan massa tiap komponen sampah kota
saat proses torefaksi Keluaran dari pengujian ini berbentuk grafik
penurunan massa yang dapat menggambarkan karakteristik tiap
komponen saat proses torefaksi

Pengujian ini menggunakan alat thermogravimetry. Alat


thermogravimetry membutuhkan sampel yang berukuran sangat kecil.
Oleh karena itu, aspek homogenisasi harus diperhatikan agar sampel
yang berukuran kecil tersebut dapat mewakili sampel komponen
sampah kota yang akan dipakai pada pengujian proses torefaksi.

2. Pengujian nilai kalor produk torefaksi sampa kota

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui nilai kalor dari produk


komponen sampah kota. Hasil pengujian ini berupa data nilai kalor tiap
komponen sampah kota pada setiap temperatur uji proses torefaksi.
Data tersebut akan digunakan untuk mengidentifikasi pengaruh
dekomposisi selulosa dan lignin pada proses torefaksi dan menjadi
acuan pemodelan campuran sampah kota. Pengujian nilai kalor produk
torefaksi dilakukan oleh tekMIRA dengan alat kalorimeter bom.

Pengujian nilai kalor membutuhkan sampel berupa produk torefaksi


dengan massa minimal 1 gram setiap pengujianya. Produk torefaksi
sebenarnya bisa diperoleh dari pengujian karakteristik penurunan
massa. Namun, produk dari pengujian tersebut sangat sedikit, sekitar 5
mg. Oleh karena itu, dibutuhkan ekseperimen torefaksi yang dapat
menghasilkan produk yang cukup untuk dijadikan sampel pengujian
nilai kalor.

42
Eksperimen torefaksi bertujuan untuk menghasilkan produk torefaksi
sampah kota yang kemudian akan diuji nilai kalornya.. Eksperimen
torefaksi akan menggunakan reaktor torefaksi berjenis tube furnace di
Laboratorium Metodologi Perancangan & Pengendalian Proses Teknik
Kimia FTI ITB.

Hasil hasil pengujian yang sudah didapatkan akan analisis dan diharapkan
dapat memberikan kesimpulan yang tepat dari penelitian ini secara keseluruhan.

3.2 Kajian Penentuan Komponen Sampah Kota


Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa sampah kota merupakan suatu
bahan bakar yang heterogen. Keterbatasan waktu dan tenaga membuat penelitian
ini tidak mungkin menggunakan seluruh komponen penyusun sampah sebagai
sampel pengujian. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemilihan komponen sampah
kota yang diharapkan dapat mewakilkan sampah kota Bandung.

Bila kita melihat lagi gambar 2.5, terlihat bahwa fraksi massa komponen
organik mencapai 69 % dari massa total sampah kota yang tersisa di TPA.
Komponen organik berisikan sampah pepohonan dan sampah sisa makanan. Hal
ini membuat komponen organik seperti sampah pepohonan dan sampah sisa
makanan menjadi sampel percobaan pada penelitian ini.

Pemilihan sampah pepohonan dan sisa makanan ternyata tidak cukup untuk
memudahkan dalam memilih sampel percobaan karena varian sampah sisa
makanan masih cenederung banyak. Kajian lebih lanjut dibutuhkan untuk memilih
komponen sampah kota untuk mewakili varian sampah sisa makanan.

Pada penelitian sebelumnya tentang pemanfaatan sampah kota sebagai


bahan bakar alternatif, sudah dipilih beberapa jenis sampah yang dapat
mewakilkan jenis sampah pepohonan dan sampah sisa makanan. Daun dan ranting
pohon dipilih untuk mewakilkan komponen sampah pepohonan karena daun dan

43
ranting merupakan bagian pepohonan yang paling sering ditemukan berserakan
dijalanan. Nasi, kulit pisang, dan kulit jeruk dipilih untuk mewakilkan komponen
sampah sisa makanan karena nasi merupakan makanan pokok yang sering
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, sedangkan kulit pisang dan jeruk se
merupakan buah buahan yang paling banyak diproduksi saat itu.

Pada penelitian kali ini, sampel penelitian untuk mewakili sampah makanan
akan divalidasi. Validasi dilakukan dengan menggunakan data konsumsi bahan
makanan per kapita per tahun di Indonesia dari tahun 2010 2014. Penggunaan
data konsumsi makanan diharapkan dapat lebih menggambarkan komposisi
sampah sisa makanan dibandingkan apabila menggunakan data produksi
makanan.

Nasi tetap dipilih menjadi sampel penelitian sebagai salah satu sampel yang
mewakili komponen sampah sisa makanan. Berdasarkan data konsumsi
makananan pokok perkapita yang dikeluarkan oleh Kementrian Pertanian,
konsumsi rata rata beras dari tahun 2010 sampai 2014 adalah sebesar 88
kg/kapita [20]. Angka tersebut jauh diatas makanan makanan pokok lain yang
juga dikonsumsi oleh masyrakat Indonesia, seperti jagung, kentang, dan lain
lain. Untuk memvalidasi sampel penelitian yang berasal dari kulit buah buahan,
dilakukan peninjauan dari data konsumsi buah buahan oleh masyarakat
Indonesia. Tabel 3.1 menyajikan rata rata konsumsi buah buahan perkapita
tahun 2010-2014 di Indonesia

Tabel 3.1 Rata rata konsumsi buah buahan perkapita tahun 20102014 [20].

Rata Rata Konsumsi per Kapita Tahun


Jenis Buah 2010 2014
(Kg)
Pisang 6,653
Rambutan 3,598
Jeruk 3,076
Duku 2,263
Pepaya 2,013

44
. Buah buahan yang terdapat pada tabel 3.1 merupakan lima macam buah
buahan yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia dari tahun 2010
sampai 2014. Pisang merupakan buah buahan yang paling banyak dikonsumsi
pada rentang tahun tersebut, diikuti rambutan jeruk duku, dan pepaya.

Untuk menentukan sampel pengujian yang diharapkan dapat mewakili


sampah buah buahan di Kota Bandung, data konsumsi tidaklah cukup sebagai
panduan. Buah yang paling banyak dikonsumsi belum tentu merupakan buah yang
menghasilkan sampah yang paling banyak. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian
mengenai potensi sampah yang dihasilkan dari kelima buah buahan tersebut.
Potensi sampah yang dimaksud adalah fraksi massa kulit buah. Tabel 3.2
menyajikan potensi produksi sampah dari kelima buah buahan tersebut,
sedangkan Tabel 3.3 menyajikan perhitungan produksi sampah total per kapita
pada tahun 2010 sampai 2014 dari kelima buah buahan tersebut.

Tabel 3.2 Fraksi massa sampah lima buah yang paling banyak dikonsumsi

Jenis Buah Fraksi Massa Sampah


Pisang 0.3
Rambutan -
Jeruk 0.54
Duku -
Pepaya 0.12

Tabel 3.3 Massa total sampah lima buah yang paling banyak dikonsumsi

Konsumsi per Massa Sampah


Fraksi Massa
Jenis Buah Kapita Total
Sampah
(Kg) (Kg)
Pisang 0,3 6,653 1,996
Rambutan - 3,598 -
Jeruk 0,54 3,076 1,65
Duku - 2,263 -
Pepaya 0,12 2,013 0,242

Pada Tabel 3.2 terlihat bahwa rambutan dan duku tidak ditampilkan fraksi
massa sampahnya. Hal ini dikarenakan pada saat pengujian fraksi massa sampah,
buah rambutan dan duku sedang tidak musim sehingga buahnya tidak bisa diuji.

45
Hal ini mengindikasikan bahwa sampah rambutan dan duku tidak ada sepanjang
tahun. Berdasarkan perhitungan massa sampah total yang dapat dihasilkan, pisang
dan jeruk merupakan dua buah yang paling banyak menghasilkan sampah.
Sampah yang dihasilkanpun konsisten sepanjang tahun. Oleh karena itu, kulit
pisang dan kulit jeruk dipilih untuk mewakilkan sampah sisa buah buahan.

Untuk sampah pepohonan, penulis menetapkan daun dan ranting pohon


sebagai sampel pengujian. Hal ini disebabkan daun dan ranting pohon banyak
ditemukan di pinggir jalan raya sehingga diharapkan daun dan pohon dapat
mewakilkan jenis sampah pepohonan. Daun juga diharapkan dapat mewakili
sampah sisa sayuran karena daun disinyalir memliki kandungan lignoselulosa
yang mirip dengan sampah sisa sayuran.

Kesimpulan dari kajian pemilihan sampel peengujian pada penelitian kali ini
adalah telah ditetapkannya sampel pengujian, yaitu nasi, kulit pisang, kulit
jeruk, daun, dan ranting.

3.3 Kajian Kandungan Lignoselulosa dan Amilum Pada Sampel Pengujian


Seperti yang telah diungkapkan pada bab 2, kandungan lignoselulosa dan
amilum pada sampah kota merupakan sesuatu yang signifikan. Kandungan
lignoselulosa dan amilum dapat mempengaruhi temperatur dekomposisi optimum
pada sampah kota. Seperti yang telah diketahui, lignoselulosa terdiri atas tiga
komponen utama, yaitu hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Ketiga komponen
utama lignoselulosa dan juga amilum memiliki temperatur dekomposisi yang
berbeda beda. Dengan mengetahui kandungan lignoselulosa dan amilum pada
komponen sampah kota, temperatur optimum proses torefaksi dapat diperkirakan.

Amilum merupakan komponen yang sangat dominan pada nasi sehingga


tidak perlu lagi dilakukan pengujian untuk menentukan kadar amilum yang
sebenarnya. Berbeda dengan amilum, pengujian kandungan tiga komponen utama
lignoselulosa sangat diperlukan.

46
Pengujian kandungan lignoselulosa pada komponen sampah kota telah
dilakukan pada penelitian sebelumnya. Komponen sampah kota yang diuji saat itu
adalah daun, ranting, kulit pisang, dan kulit jeruk. Komponen sampah kota yang
diuji saat itu sama dengan yang akan digunakan pada penelitian kali ini sehingga
pengujian kandungan lignoselulosa komponen sampah kota tidak perlu dilakukan
pada penelitian kali ini.

Pengujian kandungan lignoselulosa komponen sampah kota yang dilakukan


pada penelitian sebelumnya dilakukan di Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK) di
Kota Bandung. Sampel yang diberikan kepada BBPK merupakan sampel yang
terlebih dahulu dikeringkan dengan udara selama 24 jam.

Pengujian kandungan ketiga komponen lignoselulosa pada sampah kota


menggunakan metode yang berbeda beda. Kandungan hemiselulosa diuji
berdasarkan SNI 14-1304-1989, sedangkan kandungan selulosa berdasarkan in
house method dan lignin berdasarkan SNI 0492-2008. Berdasarkan pengujian
yang telah dilakukan, kandungan ketiga komponen lignoselulosa pada sampel
sampah kota ditampilkan pada tabel 3.4

Tabel 3.4 Hasil Pengujian Kandungan Lignoselulosa [7]

Parameter (%)
Jenis Sampel
Hemiselulosa Selulosa Lignin
Daun 10,03 34,32 24,32
Ranting 19,53 45,32 14,16
Kulit Pisang 10,15 29,33 35,14
Kulit Jeruk 14,54 51,59 39,66

3.4 Kajian Penentuan Parameter Torefaksi.


Pada subbab subbab sebelumnya, telah dibahas secara mendalam tentang
objek penelitian ini, yaitu sampah kota organik di Kota Bandung. Pada subbab ini
akan dibahas mengenai parameter uji proses torefaksi yang digunakan pada
penelitian ini. Proses torefaksi merupakan dasar dari setiap pengujian yang
dilakukan pada penelitian ini.

Dalam proses torefaksi, terdapat beberapa parameter yang dapat


menentukan produk torefaksi, seperti temperatur, waktu tinggal, purge gas yang

47
digunakan, ukuran partikel, dan lain lain. Namun, dua parameter pertama yang
disebutkan merupakan parameter paling penting dalam proses torefaksi. Oleh
karena itu, pada subbab ini akan dibahas mengenai penentuan parameter
temperatur uji dan waktu tinggal yang akan digunakan pada penelitian kali ini.

Pada penelitian tentang torefaksi sampah kota sebelumnya, komponen


lignoselulosa yang ditinjau adalah hemiselulosa sehingga temperatur operasi yang
dipilih berkisar antara sekitar 200C sampai sekitar 300C. Pada rentang
temperatur torefaksi tersebut, hanya komponen hemiselulosa yang akan
terdekomposisi secara sempurna..

Pada penelitian kali ini, yang mana dekomposisi selulosa dan lignin yang
ingin ditinjau, temperatur operasi yang dipilih berkisar antara 300C sampai
500C. Pada temperatur 300C sampai 400C selulosa akan terdekomposisi secara
maksimum, sedangkan lignin masih akan terdekomposisi sampai pada temperatur
500C. Untuk menggambarkan pengaruh temperatur terhadap dekomposisi
komponen lignoselulosa dan amilum, dipilih 5 temperatur uji proses torefaksi
pada penelitian ini.

Dalam Pemilihan temperatur uji, prediksi tentang letak nilai kalor maksimal
harus dilakukan. Prediksi ini diharapkan dapat memberikan salah satu temperatur
uji yang menghasilkan nilai kalor maksimal produk torefaksi yang nilainya
mendekati nilai kalor maksimal sebenarnya dari produk torefaksi tersebut.

Pada bab 2 telah dibahas bahwa selulosa terdekomposisi pada temperatur


300C-400C, dan lignin pada temperatur 200C-500C. Berdasarkan informasi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada rentang 300C-400C selulosa dan lignin
akan terdekomposisi, sementara pada rentang 400C-500C hanya tinggal lignin
yang tersisa yang akan terdekomposisi.

Berdasarkan kajian kandungan lignoselulosa pada komponen sampah yang


digunakan, jumlah lignin tidak sebanyak jumlah selulosa. Hal ini dapat
mengindikasikan bahwa proses dekomposisi pada rentang temperatur operasi
400C-500C tidak akan sebesar pada rentang temperatur 300C-400C sehingga

48
temperatur uji torefaksi yang dipilih pada penelitian kali ini adalah 300C,
330C , 360C, 400C, dan 500C.

Parameter penting lain dalam proses torefaksi adalah waktu tinggal. Waktu
tinggal yang baik adalah waktu ketika proses dekomposisi pada sampah kota telah
berhenti. Hal ini dapat ditunjukan dengan tidak adanya lagi penurunan massa
sampah kota yang terjadi pada saat torefaksi. Dengan begitu, diharapkan
karakteristik penurunan massa sampah kota pada saat proses torefaksi dapat
diidentifikasi dengan lebih baik.

Dalam menentukan parameter waktu tinggal, dilakukanlah percobaan


dengan menggunakan alat thermogravimetry. Percobaan ini diharapkan dapat
menunjukkan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai dekomposisi yang
sempurna. Pengujian dilakukan pada tiap komponen sampah kota pada satu
temperatur torefaksi. Hasil dari pengujian awal tersebut memperlihatkan bahwa
sampai pada 120 menit, hanya komponen nasi yang telah terdekomposisi
sepenuhnya, sedangkan pada 4 komponen lainnya tidak.

Dikarenakan sampai 120 menit dekomposisi sampah kota belum selesai,


dipilihlah waktu tinggal yang sama dengan penelitian sebelumnya karena tidak
ditemukannya waktu tinggal yang lebih baik. Parameter waktu tinggal yang
akhirnya dipilih adalah 45 menit.

3.5 Peralatan Peralatan Pengujian

3.5.1 Thermogravimetry
Tthermogravimetry Processor merupakan instrumen yang berguna untuk
melakukan analisis termal pada suatu sampel tertentu. Dalam penelitian ini sampel
yang dimaksud adalah komponen penyusun sampah kota. Thermogravimetry
processor dapat menganalisa penurunan massa dari sampel pada kondisi tertentu.
Hasil analisis dari thermogravimetry processor inilah yang dipakai untuk

49
memprediksi karakteristik penurunan massa pada proses torefaksi yang
sebenarnya.

Pada penelitian ini, jenis thermogravimetry processor yang digunakan


adalah TA 4000 Mettler Toledo. TA 4000 Mettler Toledo ini merupakan
rangkaian instrumen instrumen yang terdiri dari TG 50 Thermobalance,
timbangan, dan TA 11 Processor. Adapun spesifikasi dari ketiga instrumen
tersebut dijelaskan pada Tabel 3.5 , sedangkan Gambar 3.2 menunjukkan alat
thermogravimetry yang digunakan pada penelitian kali ini.

Tabel 3.5 Spesifikasi thermogravimetry processor

Instrumen Spesifikasi
Temperatur : Temperatur ruangan
1000 C
Presisi : 2C
Laju Pemanasan dan Pendinginan :
0 100 C/min
TG 50 Thermobalance
Waktu pendinginan dari 1000
100 C : 18 menit
Metode pendinginan : Koveksi
dengan kipas

Range : 0 5100 mg
Resolusi : 1 g 99,999 mg, 10 g
999,999 mg, 100 g diatas 1 g
Timbangan Noise (50 C isotermal ) : 4 g
puncak/puncak selama 5 menit
Keluaran data : Bidirectional data
interface (RS-232C)
Program Temperatur : Linear
sekuensial dan isotermal
Determinasi Temperatur : Sensor
TA 11 Processor
Pt100
Akurasi Tampilan Temperatur : 0,1
C

50
Gambar 3.2 Rangkaian instrumen thermogravimetry processor

Berikut ini merupakan prosedur persiapan dan pemakaian thermogravimetry


processor yang digunakan pada penelitian ini.

1. Hubungkan selang penghubung antara tabung nitrogen dan tungku.


2. Buka katup primer pada tabung nitrogen dan katup sekunder. Katup
primer akan membuka apabila diputar berlawanan jarum jam, dan
katup sekunder akan membuka apabila dipitar berlawanan dengan
arah jarum jam. Buka katup sekunder sampai nitrogen dapat
dipastikan mengalir dengan baik ke tungku.
3. Atur debit aliran nitrogen dengan memutar katup flowmeter pada
tungku.
4. Timbang berat crucible (tempat sampel) dan tekan tombol Re-Zero
pada timbangan agar massa kosong crucible dijadikan acuan
sehingga masa sampel dapat diketahui.

51
5. Letakan sampel yang ingin diuji kedalam crucible dan timbang
massa sampel. Berat sampel harus 10 mg. Sampel terlebih dahulu
ditumbuk sampai berbentuk serbuk.
6. Letakkan kertas milimeterblok pada printer. Pastikan kertas tersebut
terpasang lurus sehingga kesalahan pembacaan grafik dapat
diminimalisasi.
7. Masukan jenis pengujian dan parameter parameter operasi yang
sesuai. Setelah itu, memulai pengujian.
8. Setelah pengujian selesai, analisis grafik penurunan massa pada
kertas milimeterblok.

3.5.2 Reaktor Torefaksi


Reaktor torefaksi merupakan alat digunakan pada eksperimen proses
torefaksi. Reaktor torefaksi yang akan digunakan pada penelitian ini merupakan
jenis tube furnace 2100 Thermolyne yang berada pada Laboratorium Metodologi
Perancangan & Pengendalian Proses Program Studi Teknik Kimia FTI ITB.

Reaktor ini merupakan sebuah tungku yang didalamnya terdapat pipa


vertikal tempat terjadinya proses. Pipa vertikal ini biasa disebut process tube.
Pada penelitian ini tungku ini dialiri gas nitrogen untuk menjamin tidak adanya
oksigen di dalam process tube sehingga tidak terjadi reaksi pembakaran .

Reaktor torefaksi ini biasa digunakan untuk melakukan proses torefaksi


pada biomassa, seperti bambu. Namun, pada penelitian ini reaktor ini digunakan
untuk melakukan proses torefaksi pada sampah kota. Tabel 3.6 berisikan
spesifikasi dari reaktor torefaksi, sedangkan Gambar 3.3 menunjukkan bentuk dari
reaktor torefaksi yang digunakan pada penelitian kali ini.

Tabel 3.6 Spesifikasi reaktor torefaksi tube furnace 2100 Thermolyne

Parameter Spesifikasi
Temperatur 100 1000 C
Purge gas Nitrogen
Berat sampel 50 70 g
Konsumsi Daya 1250 W

52
Gambar 3.3 Reaktor torefaksi

Adapun prosedur dalam pemakaian reaktor torefaksi ini adalah sebagai


berikut :

1. Buka katup primer dan sekunder pada tabung nitrogen, dan pastikan
nitrogen mengalir dengan baik pada tabung proses reaktor torefaksi.
2. Nyalakan reaktor torefaksi dan atur temperatur sesuai temperatur
operasi yang diinginkan dengan perlahan.
3. Selama menunggu reaktor torefaksi menyesuaikan temperaturnya,
masukkan sampel kedalam tempat sampel. Padatkan sampel agar
produk yang tersisa tidak terlalu sedikit
4. Setelah temperatur reaktor torefaksi sesuai dengan temperatur operasi
yang diinginkan, masukkan sampel yang telah disiapkan kedalam
tabung proses pada reaktor torefaksi
5. Sambungkan selang pembuangan dan kencangkan baut pada klem.
Pastikan tidak ada gas atau cairan yang bocor keluar dari saluran

53
pembuangan dan dapat menimbulkan bau yang tidak sedap di dalam
ruangan
6. Tunggu sampai waktu tinggal proses torefaksi yang diinginkan, setelah
itu keluarkan sampel dan segera dinginkan sampel dengan meletakkan
pada kotak yang direndam di dalam air.
7. Setelah sampel telah dingin, keluarkan sampel dari tempat sampel dan
simpan sampel pada plastik penyimpanan.

3.5.3 Kalorimeter Bom


Nilai kalor merupakan parameter penting yang diuji pada penelitian ini.
Oleh karena itu, diperlukan pengujian nilai kalor sampah kota setelah melalui
proses torefaksi. Untuk menguji nilai kalor dari bahan bakar, diperlukan suatu alat
yang bernama kalorimeter bom. Gambar 3.4 menggambarkan skema umum
kalorimeter bom.

Gambar 3.4 Skema umum kalorimeter bom

Kalorimeter bom merupakan alat yang sering sekali digunakan untuk


mengukur nilai kalor bahan bakar, baik cair maupun padat. Bahan bakar yang
ingin diukur nilai kalornya dimasukkan kedalam tabung, seperti terlihat pada
Gambar 3.4. Setelah itu, pemantik dinyalakan guna memantik pembakaran bahan
bakar. Nilai kalor bahan bakar dapat dikalkulasikan dengan mengukur kenaikan
temperatur air disekeliling tabung sampel.

54
Bab 4
Pengujian dan Analisis Torefaksi Komponen Penyusun Sampah
Kota Pada Daerah Dekomposisi Selulosa dan Lignin

Bab ini berisikan tentang pengujian pengujian yang dilakukan pada


penelitian ini. Pembahasan pada bab 3 menjadi dasar dalam rancangan pengujian
yang dibahas pada bab ini. Pengujian yang akan dibahas pada bab ini hanya
pengujian komponen komponen penyusun sampah kota. Hasil dari pengujian
padap bab ini akan menjadi dasar untuk perumusan pada Bab 5.

4.1 Persiapan Sampel Pengujian


Sampel pengujian secara garis besar dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
sampel pengujian penurunan massa komponen penyusun sampah kota yang
berukuran 250 mikron dan sampel eksperimen torefaksi yang berukuran sekitar 1
centimeter. Hal ini dikarenakan perbedaan dari kebutuhan alat yang digunakan.

Persiapan sampel dimulai dari pengumpulan komponen komponen


penyusun tersebut. Tabel 4.1 menjelaskan sumber sampel komponen penyusun
sampah kota yang digunakan pada penelitian ini.

Tabel 4.1 Sumber sampel pengujian

Sampel Komponen Penyusun


Sampah Kota Sumber

Daun Parkiran Sipil Institut Teknologi Bandung

Ranting Hutan Babakan Siliwang


Pedagang gorengan Pasar Simpang
Kulit Pisang Dago
Kulit jeruk Pedagang jus di jalan cisitu baru
Nasi Kantin PAU

55
Setelah dilakukan pengumpulan sampel pengujian, ukuran sampel direduksi
hingga mencapai ukuran yang seusai dengan kebutuhan alat uji, yaitu
thermogravimetry dan alat torefaksi. Dari setiap sampel yang akan digunakan
untuk pengujian dengan alat torefaksi, diambil sebagian kecil untuk digunakan
sebagai sampel pengujian dengan alat thermogravimetry. Hal ini perlu dilakukan
supaya sebagian kecil sampel yang digunakan pada alat thermogravimetry dapat
mewakilkan seluruh sampel yang digunakan dalam pengujian dengan apat
torefaksi.

Untuk pengujian yang dilakukan dengan thermogravimetry, sampel


direduksi sampai diperloeh ukuran sekitar 250 mikron. Namun, ternyata tidak
semua jenis sampel dapat direduksi sampai ukuran tersebut. Hal ini dikarenakan
kandungan air yang dimiliki oleh jenis sampah tersebut. Untuk mereduksi ukuran
sampel sampai 250 mikron, sampel dengan kandungan air yang besar dikeringkan
terlebih dahulu sebelum direduksi ukurannya. Gambar 4.1 memberi gambaran
terhadap sampel pengujian karakteristik penurunan massa.

Gambar 4.1 Sampel pengujian karakteristik penurunan massa (kiri ke kanan:


daun, ranting, kulit pisang, kulit jeruk, nasi)

Untuk pengujian torefaksi, alat torefaksi yang digunakan tidak memiliki


spesifikasi ukuran sampel khusus, namun reduksi ukuran dilakukan guna
menyeragamkan temperatur pada sampel sehingga sampel direduksi sampai

56
mencapai ukuran yang cukup kecil. Gambar 4.2 memberi gambaran terhadap
sampel eksperimen torefaksi.

Gambar 4.2 Sampel eksperimen torefaksi (kiri ke kanan: daun, ranting, kulit
pisang, kulit jeruk, nasi)

Setelah ukuran sampel pengujian direduksi, dilakukanlah perhitungan kadar


air pada setiap sampel, baik sampel pengujian penurunan masa maupun sampel
pengujian torefaksi. Perhitungan kadar air ini digunakan untuk mengetahui
perbedaan yang ada pada sampel pengujian penurunan massa dan pengujian
torefaksi. Tabel 4.2 dan tabel 4.3 menyajikan kadar air dari tiap jenis sampel
pengujian penurunan massa dan proses torefaksi komponen peyusun sampah kota
secara berturut turut.

Tabel 4.2 Kadar air sampel pengujian penurunan massa

Jenis Sampel Kadar Air


Daun 17%
Ranting 23%
Kulit Pisang 10%
Kulit Jeruk 18%
Nasi 14%

57
Tabel 4.3 Kadar air sampel eksperimen proses torefaksi komponen penyusun
sampah kota

Jenis Sampel Kadar Air


Daun 17%
Ranting 23%
Kulit Pisang 35%
Kulit Jeruk 58%
Nasi 25%

4.2 Pengujian Karakteristik Penurunan Massa Komponen Penyusun


Sampah Kota
Seperti yang telah dijelaskan pada Bab 3, pengujian karakteristik penurunan
massa komponen penyusun sampah kota ini menggunakan alat thermogravimetry.
Pada subbab ini akan dijelaskan mengenai hal hal yang menyangkut pengujian
tersebut. Berawal dari persiapan sampel pengujian sampai hasil dari pengujian ini.

Setelah melakukan pengujian dengan menggunakan alat thermogravimetry,


grafik penurunan massa dapat diperoleh dari processor. Grafik tersebut dicetak
pada kertas milimeterblok supaya memudahkan untuk mengubah grafik tersebut
menjadi data yang nantinya akan ditampilkan menjadi grafik. Hal ini diperlukan
karena thermogravimetry tidak memberikan keluaran berupa data penurunan
massa.

Grafik tiap komponen sampah kota dikumpulkan menjadi satu grafik setiap
komponen agar dapat dengan mudah melihat pengaruh temperatur torefaksi pada
karakteristik penurunan massa. Gambar gambar dibawah ini menunjukkan hasil
pengujian karakteristik penurunan massa tiap komponen sampah kota pada setiap
temperatur torefaksi sampah kota.

58
1
0.9
0.8
0.7
Massa Relatif

0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 45.0
Waktu Tinggal(menit)

500C 400C 360C 330C 300C

Gambar 4.3 Grafik penurunan massa komponen daun

Gambar 4.3 menunjukkan karakteristik penurunan massa dari komponen


daun. Pada grafik ini terlihat bahwa semakin tinggi temperatur torefaksi semakin
rendah pula massa akhir yang dihasilkan. Pada komponen daun massa akhir yang
dihasilkan pada temperatur tertinggi berjumlah sebanyak 30 % dari massa
sebelum dilakukan torefaksi

59
1
0.9
0.8
0.7
Massa Relatif

0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
Waktu Tinggal(menit)

500C 400C 360C 330C 300C

Gambar 4.4 Grafik penurunan massa komponen ranting

Gambar 4.4 menunjukkan karakteristik penurunan massa dari komponen


ranting. Pada grafik ini terlihat bahwa semakin tinggi temperatur torefaksi
semakin rendah pula massa akhir yang dihasilkan. Pada komponen daun massa
akhir yang dihasilkan pada temperatur tertinggi berjumlah kurang dari 30 % dari
massa sebelum dilakukan torefaksi

60
1
0.9
0.8
0.7
Massa Relatif

0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
Waktu Tinggal(menit)

500C 400C 360C 330C 300C

Gambar 4.5 Grafik penurunan massa komponen kulit pisang

Gambar 4.5 menunjukkan karakteristik penurunan massa dari komponen


kulit pisang. Pada grafik ini terlihat bahwa semakin tinggi temperatur torefaksi
semakin rendah pula massa akhir yang dihasilkan. Pada komponen daun massa
akhir yang dihasilkan pada temperatur tertinggi berjumlah sebanyak 24% dari
massa sebelum dilakukan torefaksi

61
1
0.9
0.8
0.7
Massa Relatif

0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
Waktu Tinggal(menit)

400C 360C 300C 330C 500C

Gambar 4.6 Grafik penurunan massa komponen kulit jeruk

Gambar 4.6 menunjukkan karakteristik penurunan massa dari komponen


kulit jeruk. Pada grafik ini terlihat bahwa semakin tinggi temperatur torefaksi
semakin rendah pula massa akhir yang dihasilkan. Pada komponen daun massa
akhir yang dihasilkan pada temperatur tertinggi berjumlah sebanyak 26 % dari
massa sebelum dilakukan torefaksi

62
1
0.9
0.8
0.7
Massa Relatif

0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
Waktu Tinggal(menit)

500C 400C 360C 330C 300C

Gambar 4.7 Grafik penurunan massa komponen nasi

Gambar 4.7 menunjukkan karakteristik penurunan massa dari komponen


nasi. Pada grafik ini terlihat bahwa semakin tinggi temperatur torefaksi semakin
rendah pula massa akhir yang dihasilkan. Pada komponen daun massa akhir yang
dihasilkan pada temperatur tertinggi berjumlah sebanyak 10 % dari massa
sebelum dilakukan torefaksi

4.3 Pengujian Nilai Kalor Produk Torefaksi Komponen Penyusun Sampah


Kota
Pengujian nilai kalor produk torefaksi komponen penyusun sampah kota
merupakan pengujian inti dari penelitian ini. Hasil dari pengujian ini akan
digunakan sebagai dasar perumusan proses torefaksi campuran sampah kota.
Namun, sebelum pengujian nilai kalor dilakukan, eksperimen torefaksi komponen
penyusun sampah kota perlu dilakukan untuk meghasilkan sampel pengujian nilai
kalor produk torefaksi komponen penyusun sampah kota

Eksperimen proses torefaksi komponen penyusun sampah kota dilakukan di


Laboratorium Metodologi Perancangan dan Pengendalian Proses, Program studi

63
Teknik Kimia ITB. Eksperimen ini menggunakan turbular furnace dengan
nitrogen sebagai purge gas yang membuat ruangan di dalam tabung proses inert.

Eksperimen ini menggunakan sampel yang sudah disiapkan sebelumnya.


Tiap komponen penyusun sampah kota akan diproses pada lima temperatur
operasi torefaksi, yaitu 300C, 330C, 360C, 400C, 500C. Produk dari
eksperimen ini akan berupa 25 produk torefaksi tiap komponen sampah kota pada
tiap temperatur uji.

Sebelum memulai eksperimen, aliran nitrogen harus dipastikan lancar agar


dapat membuang udara yang terdapat pada process tube sehingga kondisi inert
yang diharapkan dapat dicapai. Setelah memastikan aliran nitrogen pada process
tube tidak terhambat, reaktor torefaksi dipanaskan sampai temperatur operasi yang
diinginkan dan setelah itu sampel diletakkan pada tabung proses selama 45 menit.
Setelah 45 menit, sampel dikeluarkan dari process tube dan didinginkan.

Produk dari eksperimen proses torefaksi tiap komponen penyusun sampah


kota seluruhnya berwarna hitam. Selain itu, produk hasil torefaksi lebih rapuh jika
dibandingkan dengan yang belum melewati proses torefaksi. Gambar 4.8
menunjukkan produk hasil eksperimen proses torefaksi tiap komponen penyusun
sampah kota.

Gambar 4.8 Produk torefaksi komponen penyusun sampah kota (dari kiri ke
kanan: daun, ranting, kulit pisang, kulit jeruk, nasi)

Dalam eksperimen ini, terdapat beberapa masalah yang dihadapi.


Pembentukan abu pada produk hasil torefaksi menjadi masalah yang sering
muncul. Hal ini dapat terjadi karena ruangan di dalam tabung proses tidak

64
sepenuhnya inert pada saat proses torefaksi berlangsung. Selain itu, tar yang
terbentuk dari proses torefaksi menimbulkan bau yang tidak sedap sehingga
sempat dilakukan modifikasi pada selang pembuangan gas agar tar yang tercipta
dapat keluar ruangan dengan baik dan tidak menimbulkan bau yang tidak sedap.

Setelah proses torefaksi setiap komponen penyusun sampah kota telah


selesai dilakukan, produk hasil torefaksi tersebut diserahkan kepada tekMIRA
untuk kemudian diuji nilai kalor. Hasil yang didapat dari pengujian nilai kalor
oleh tekMIRA berupa data nilai kalor produk torefaksi dari tiap komponen
penyusun sampah kota pada tiap temperatur uji. Data tersebut diolah menjadi
grafik nilai kalor per komponen penyusun sampah kota. Pengolahan data nilai
kalor tersebut bertujuan untuk melihat pengaruh temperatur torefaksi terhadap
nilai kalor pada tiap komponen penyusun sampah kota.

5000

4000
Nilai Kalor (kkal/kg)

3000

2000

1000

0
Produk Torefaksi Daun

T300 T330 T360 T400 T500

Gambar 4.9 Nilai kalor produk torefaksi daun

Gambar 4.9 di atas menunjukkan diagram batang dari data nilai kalor
produk torefaksi komponen daun pada setiap temperatur operasi proses torefaksi.
Nilai kalor produk torefaksi komponen daun berkisar antara 4600 5000 kkal/kg.
Nilai kalor tertinggi dihasilkan pada temperatur 330C kemudian terus menurun
sampai pada temperatur 500C.

65
6000

5000
Nilai Kalor (kkal/kg)
4000

3000

2000

1000

0
Produk Torefaksi Ranting

T300 T330 T360 T400 T500

Gambar 4.10 Nilai kalor produk torefaksi ranting

Gambar 4.10 di atas menunjukkan diagram batang dari data nilai kalor
produk torefaksi komponen ranting pada setiap temperatur operasi proses
torefaksi. Nilai kalor produk torefaksi komponen ranting berkisar antara 5000
6100 kkal/kg. Nilai kalor produk torefaksi ranting akan cenderung naik seiring
kenaikan temperatur operasi torefaksi. Nilai kalor tertinggi tercapai pada
temperatur 500C kemudian diikuti temperatur 400C, 360C, 300C, dan 330C.

6000

5000
Nilai kalor (kkal/kg)

4000

3000

2000

1000

0
Produk Torefaksi Kulit Pisang

T300 T330 T360 T400 T500

Gambar 4.11 Nilai kalor produk torefaksi kulit pisang

Gambar 4.11 di atas menunjukkan diagram batang dari data nilai kalor
produk torefaksi komponen ranting pada setiap temperatur operasi proses

66
torefaksi. Nilai kalor produk torefaksi komponen kulit pisang berkisar antara 4000
5500 kkal/kg. Nilai kalor produk torefaksi ranting akan cenderung naik seiring
kenaikan temperatur operasi torefaksi, namun turun pada temperatur 500C. Nilai
kalor tertinggi tercapai pada temperatur 400C kemudian diikuti temperatur
360C, 330C, 500C, 300C.

7000

6000
Nilai Kalor (kkal/kg)

5000

4000

3000

2000

1000

0
Produk Torefaksi Kulit Jeruk

T300 T330 T360 T400 T500

Gambar 4.12 Nilai kalor produk torefaksi kulit jeruk

Gambar 4.12 di atas menunjukkan diagram batang dari data nilai kalor
produk torefaksi komponen kulit jeruk pada setiap temperatur operasi proses
torefaksi. Nilai kalor produk torefaksi komponen kulit jeruk berkisar antara 6000
6200 kkal/kg. Nilai kalor produk torefaksi kulit jeruk cenderung stagnan dari
temperatur 300C sampai 500C. Nilai kalor produk torefaksi jeruk mengalami
kenaikan sampai pada temperatur 360C, kemudian turun sampai temperatur
500C. Nilai kalor tertinggi dicapai pada temperatur 360C, kemudian 330C,
400C, 300C, dan 500C.

67
8000
7000

Nilai Kalor (kkal/kg)


6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
Produk Torefaksi Nasi

300 330 360 400 500

Gambar 4.13 Nilai kalor produk torefaksi nasi

Gambar 4.13 di atas menunjukkan diagram batang dari data nilai kalor
produk torefaksi komponen kulit jeruk pada setiap temperatur operasi proses
torefaksi. Nilai kalor produk torefaksi komponen nasi berkisar antara 4400 6500
kkal/kg. Nilai kalor produk torefaksi komponen nasi cenderung meningkat seiring
meningkatnya temperatur torefaksi. Nilai kalor produk torefaksi nasi hanya
menurun pada temperatur 330C. Nilai kalor produk torefkasi nasi mencapai nilai
maksimal pada temperatur 500C kemudian diikuti pada temperatur 400C,
300C, 360C, dan 330C.

Rangkuman karakteristik umum produk torefaksi komponen sampah kota


disajikan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Karakteristik torefaksi tiap komponen sampah kota pada daerah
dekomposisi selulosa dan lignin
Nilai Kalor Maksimal
Komponen Keterangan
Temperatur
Sampah Kota Nilai Kalor Khusus
Torefaksi
Nilai kalor
produk torefaksi
Daun 330C 4991 kkal/kg
daun cenderung
menurun
Ranting 500C 6122 kkal/kg -
Kulit Pisang 400C 5473 kkal/kg -
Kulit Jeruk 360C 6300 kkal/kg -
Nasi 500C 7173 kkal/kg -

68
4.4 Analisis Hasil Pengujian Komponen Penyusun Sampah Kota
Setelah mendapatkan data hasil pengujian pengujian yang telah dilakukan,
hasil pengujian tersebut harus dianalisis lebih lanjut. Pada subbab ini akan dibahas
mengenai analisis dari hasil pengujian karakteristik penurunan massa dan
pengujian nilai kalor tiap komponen penyusun sampah kota.

4.4.1 Analisis Hasil Pengujian Karakteristik Penurunan Massa


Secara umum hasil yang didapat dari pengujian karakteristik penurunan
massa tiap komponen sampah kota sudah sesuai dengan hipotesis awal, yaitu
massa yang tersisa akan semakin sedikit seiring naiknya temperatur torefaksi.
Semakin sedikitnya massa yang tersisa mengindikasikan bahwa semakin tinggi
temperatur torefaksi menyebabkan semakin banyaknya kandungan lignoselulosa
pada komponen penyusun sampah yang terdekomposisi.

Mayoritas kurva penurunan massa dari setiap komponen penyusun sampah


kota tidak menunjukkan garis asimtotik sampai pada 45 menit waktu tinggal
proses. Hal ini mengindikasikan bahwa proses dekomposisi kandungan organik
pada komponen penyusun sampah kota belum selesai. Hanya komponen nasi yang
sudah selesai berdekomposisi pada temperatur 500C. Hal ini ditunjukan oleh
kurva penurunan massa komponen nasi pada temperatur 500C yang mencapai
garis asimtotik pada 45 menit.

Semua kurva karakteristik penurunan massa yang diperoleh dari pengujian


penurunan massa menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur operasi, derajat
dekomposisi komponen lignoselulosa akan semakin besar. Hal ini ditunjukan oleh
belokan menuju garis asimtotik pada grafik karakteristik penurunan masa.
Semakin tinggi temperatur torefaksi maka komponen sampah kota akan semakin
reaktif untuk berdekomposisi.

Penurunan massa dari temperatur 400C ke 500C lebih kecil dibandingkan


penurunan massa dari temperatur 300C ke 400C. Hal ini disebabkan karena
pada temperatur 400C sampai 500C hanya lignin yang terdekomposisi pada
komponen yang mengandung lignoselulosa, sedangkan hemiselulosa dan selulosa

69
telah selesai terdekomposisi pada temperatur 400C. . Untuk lebih jelasnya tertera
pada gambar 4.14.

Gambar 4.14 Fraksi Massa sisa komponen a)kulit pisang dan b)daun

Gambar 4.14 menunjukkan fraksi massa sisa pada temperatur 300C,


400C , dan 500C dari dua komponen penyusun sampah kota, yaitu kulit pisang
dan daun. Kulit pisang merupakan komponen sampah kota yang penurunan
massanya pada temperatur 400C ke 500C paling banyak, sementara daun yang
penurunannya paling sedikit. Walaupun penurunan massa kulit pisang paling
banyak, penurunan massa dari temperatur 400C ke 500C masih lebih kecil
dibandingkan dari temperatur 300C ke 400C.

4.4.2 Analisis Hasil Pengujian Nilai Kalor


Hasil pengujian nilai kalor komponen penyusun sampah kota menunjukkan
hasil yang beragam. Meningkatnya temperatur proses torefaksi memperbanyak
komponen organik yang terdekomposisi dan juga meningkatkan kecepatan
dekomposisi pada sampah kota. Banyaknya komponen organik yang
terdekomposisi membuat ikatan kimia pada komponen organik sampah kota
menjadi ikatan sederhana dan dapat meningkatkan nilai kalor dari sampah kota.
Oleh karena itu, nilai kalor sampah kota seharusnya terus bertambah seiring
meningkatnya temperatur torefaksi. Namun, komponen daun tidak menunjukan
hal tersebut. Nilai kalor komponen daun menurun dari temperatur 330C sampai
500C.

70
Menurunnya nilai kalor daun seiring meningkatnya temperatur torefaksi
mengindikasikan terpisahnya komponen yang memiliki energi densitas tinggi dari
produk padatan torefaksi. Fenomena ini kemungkinan disebabkan oleh terjadinya
pembakaran terbatas pada sampel torefaksi. Pembakaran terbatas pada daun dapat
terjadi akibat adanya kandungan oksigen pada daun. Kehadiran oksigen
menyebabkan terbentuknya ruang ruang tidak inert sehingga reaksi pembakaran
terjadi pada ruang ruang tersebut. Potensi terjadinya pembakaran meningkat
seiring naiknya temperatur torefaksi sehingga nilai kalor daun akan terus turun
seiring naiknya temperatur torefaksi.

Seperti yang telah dibahas pada Bab 2, komponen bahan bakar padat yang
dapat terbakar adalah fixed carbon dan volatile matter. Dalam kasus penurunan
nilai kalor produk torefaksi daun, volatile matter akan terbakar lebih dahulu.
Terbakarnya volatile matter akan memicu peningkatan temperatur sampai
temperatur pembakaran fixed carbon sehingga reaksi pembakaran fixed carbon
terjadi. Terbakarnya fixed carbon inilah yang disinyalir menyebabkan penurunan
nilai kalor produk torefaksi daun karena fixed carbon merupakan komponen
dengan nilai kalor yang tinggi.

. Kandungan fixed carbon yang terbakar dapat diketahui dengan uji analisis
proksimat. Namun, karena keterbatasan pada penelitian ini uji analisis proksimat
tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu, prediksi jumlah fixed carbon yang terbakar
perlu dilakukan. Untuk memprediksi berapa jumlah fixed carbon yang terbakar,
digunakan persamaan empiris seperti di bawah ini [21].

(4.1)

Keterangan :

HHV (MJ/kg) :Nilai kalor

VM : %db volatile matter

FC ; %db fixed carbon

71
Persamaan 4.1 merupakan persamaan empiris yang bertujuan untuk
memprediksi nilai kalor biomassa. Persaman ini menggunakan metode korelasi
dan telah diuji pada 44 macam jenis biomassa dengan eror maksimal sekitar 5%.

Pada analisis penurunan nilai kalor produk torefaksi daun, persaman 4.1
digunakan untuk memprediksi banyaknya fixed carbon yang hilang sehingga
menurunkan nilai kalor daun dari temperatur 330C sampai 500C. Dengan
mengetahui penurunan nilai kalor dari produk torefaksi temperatur 330C sampai
500C, banyaknya fixed carbon yang hilang akan dapat diprediksi.

Penurunan nilai kalor daun dari temperatur 330C sampai 500C adalah
sebesar 356 kkal/kg. Berdasarkan persamaan 4.1, 1%db fixed carbon
menyumbang 60.25 kkal/kg. Setelah perhitungan, penurunan nilai kalor produk
torefaksi daun dari temperatur 330C sampai 500C dikarenakan hilangnya
5.9%db fixed carbon.

72
Bab 5
Pemodelan Torefaksi Campuran Sampah Kota Pada Daerah
Dekomposisi Selulosa dan Lignin

Bab ini berisikan tentang perumusan torefaksi campuran sampah kota. Hasil
pengujian pada bab 4 dijadikan dasar untuk memprediksi proses torefaksi
campuran sampah kota pada daerah dekomposisi selulosa dan lignin. Pembahasan
bab ini diawali degan pembuatan model campuran sampah kota Bandung,
penentuan temperatur optimum serta nilai kalor maksimal yang dapat dihasilkan
produk torefaksi campuran sampah kota. Bab ini akan ditutup dengan pembahasan
perbandingan produk torefaksi pada penelitian ini dengan batubara dan produk
torefaksi pada penelitian sebelumnya.

5.1 Pembuatan Model Campuran Sampah Kota


Seperti yang telah diungkapkan pada Bab 2, sampah kota merupakan
komponen yang heterogen. Sampah kota terdiri dari berbagai komponen penyusun.
Oleh karena itu, pembuatan model campuran sampah kota dibutuhkan supaya
hasil dari pengujian ini dapat digunakan untuk merepresentasikan sampah kota di
Kota Bandung.

Pembuatan model campuran sampah kota Bandung diawali dengan


pengumpulan data mengenai sumber sumber dari timbulan sampah yang ada di
Kota Bandung. Data ini kemudian diolah untuk kemudian didapatkan fraksi
komponen penyusun sampah kota pada model campuran sampah kota. Gambar
5.1 menjelaskan alur pengerjaan dari pembuatan model campuran sampah kota.

73
Gambar 5.1 Alur pengerjaan pembuatan model sampah kota Bandung

Pembuatan model campuran sampah kota Bandung diawali dengan


pengumpulan data mengenai sumber dari timbulan sampah kota bandung. Data
sumber timbulan sampah Kota Bandung didapat dari Badan Pusat Statistik Kota
Bandung. Tabel 5.1 menjelaskan sumber timbulan sampah di Kota Bandung pada
tahun 2015.

Tabel 5.1 Sumber timbulan sampah Kota Bandung [15]


Produksi Sampah Persentase Massa
Sumber Timbulan Sampah
(ton) (%)
Pemukiman 1.048,96 65.56
Pasar 300,32 18.77
Kawasan Industri 95,84 5.99
Jalan 88,32 5.52
Daerah Komersil 44,96 2.81
Institusi 21,6 1.35
Total 1600 100

Data timbulan sampah Kota Bandung 2015 menunjukkan bahwa daerah


pemukiman merupakan penyumbang sampah paling besar di Kota Bandung.
Sampah daerah pemukiman menyumbang sekitar 65% dari keseluruhan sampah
yang ada di Kota Bandung. Dalam menentukan sumber mana yang yang akan
dimodelkan untuk menjadi model campuran sampah kota Bandung, dipilih tiga
sumber yang menyumbang sampah paling banyak di Kota Bandung.

Daerah pemukiman, pasar, dan kawasan industri merupakan tiga sumber


yang menghasilkan sampah paling besar di Kota Bandung. Namun, seperti yang

74
telah dijelaskan pada Bab 3, sampah yang digunakan pada penelitian kali ini
hanya sampah organik. Hal ini membuat kawasan industri tidak menjadi pilihan
karena sampah yang dihasilkan dari kawasan industri mayoritas merupakan
sampah anorganik. Oleh karena itu, jalan dipilih menjadi pengganti kawasan
industri sebagai sumber sampah yang akan dimodelkan karena mayoritas sampah
jalan adalah sampah organik. Sumber sampah yang akan diolah lebih lanjut adalah
daerah pemukiman, pasar, dan jalan. Ketiga sumber sampah ini menyumbang
sekitar 80% dari total sampah di Kota Bandung sehingga pemodelan dari ketiga
sumber sampah ini disimpulkan dapat mewakili komposisi sampah di Kota
Bandung.

Jumlah sampah yang dihasilkan dari ketiga sumber yang dipilih masih
merupakan campuran antara sampah organik dan anorganik. Oleh karena itu,
perhitungan fraksi massa organik pada tiap sumber sampah perlu dilakukan untuk
memodelkan campuran sampah kota Bandung. Tabel 5.2 menjelaskan tentang
fraksi massa organik dari tiap sumber sampah yang sebelumnya telah dipilih.

Tabel 5.2 Persentase Massa Komponen Organik


Persentase Massa Komponen Persentase Massa Total
Sumber Timbulan Sampah Organik Komponen Organik
(%) (%)
Pemukiman 68,3 [22] 44,8
Pasar 89,1 [23] 16,7
Jalan 80 4.4

Data presentase massa sampah organik pada sampah daerah pemukiman dan
pasar diperoleh dari referensi, sedangkan persentase massa sampah organik pada
sampah jalan diperoleh dari pengamatan. Fraksi organik dari sampah kota ini akan
dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu sampah makanan dan sampah pepohonan
guna memudahkan pembagian fraksi massa komponen penyusun sampah kota
pada model sampah kota campuran. Sampah makanan yaitu nasi, kulit jeruk, dan
kulit pisang. Sampah pepohonan yaitu daun dan ranting. Tabel 5.3 merupakan
persentase massa dari sampah makanan dan sampah pepohonan pada komponen
organik sampah kota Bandung yang diperoleh dari hasil pengamatan, sedangkan

75
Tabel 5.4 meupakan persentase massa dari sampah makanan dan sampah
pepohonan pada model campuran sampah kota Bandung yang dibuat.

Tabel 5.3 Persentase massa sampah makanan dan pepohonan pada tiap sumber
sampah
Persentase Persentase Persentase Persentase
Sumber Massa Massa Total Massa Total Massa
Timbulan Sampah Sampah Sampah Sampah
Sampah Makanan Pepohonan Makanan Pepohonan
(%) (%) (%) (%)
Pemukiman 60 40 26.9 17.9
Pasar 40 60 6.7 10.0
Jalan 20 80 0.9 3.5
Total 34.5 31.5

Tabel 5.4 Persentase massa jenis sampah makanan dan sampah pepohonan pada
model campuran sampah kota

Persentase Massa pada Model


Jenis Sampah
(%)
Sampah Makanan 52
Sampah Pepohonan 48

Penentuan persentae massa sampah makanan dan sampah pepohonan


dilakukan dengan metode pengamatan dengan pengumpulan informasi. Penentuan
fraksi massa sampah makanan dan sampah pepohonan pada tiap sumber adalah
sebagai berikut:

Pemukiman : Sampah yang berasal dari daerah pemukiman


didominasi oleh sampah sisa makanan, seperti nasi, kulit buah, dan
juga sayuran. Pada penelitian ini daun mewakili sampah sayuran
sehingga perbedaan fraksi massa antara sampah makanan dan
sampah pepohonan tidak terlalu signifikan.
Pasar : Sampah yang berasal dari pasar didominasi oleh kulit buah
dan juga sayuran sehingga pada sampah yang berasal dari pasar,
jenis sampah pepohonan sedikit lebih dominan ketimbang sampah
makanan.

76
Jalan : Sampah yang berasal dari jalan sangat didominasi oleh
sampah pepohonan yang berjatuhan dijalanan sehingga sampah yang
bersumber dari jalan didominasi oleh sampah pepohonan.

Setelah menjumlahkan fraksi total dari tiap jenis sampah yang berasal dari
tiap sumber, didapatkan persentase massa dari tiap jenis pada model sampah kota
Bandung. Sampah makanan menyumbang 52% massa dari total massa model
campuran sampah kota, sedangkan sisanya disumbang oleh sampah pepohonan.
Persentase massa dari setiap jenis masih harus dibagi menjadi beberapa komponen
penyusun jenis sampah tersebut.

Penentuan persentase massa dari komponen penyusun sampah kota pada


model campuran sampah kota Bandung dilakukan dengan menghitung potensi
sampah dari tiap komponen penyusun sampah makanan, dan metode pengamatan
pada komponen penyusun sampah pepohonan. Tabel 5.5 dan 5.6 menjelaskan
tentang pembagian persentase massa dari komponen penyusun sampah makanan
dan sampah pepohonan secara berturut-turut.

Tabel 5.5 Potensi produksi sampah makanan


Persentase Massa pada
Potensi Sampah
Komponen Penyusun Sampah Makanan
(Kg/orang/tahun)
(%)
Nasi 1.03 [24] 22
Kulit Pisang 1.99 43
Kulit Jeruk 1.65 35

Tabel 5.6 Komposisi sampah pepohonan pada tiap sumber sampah


Persentase Massa Persentase Massa
Sumber Sampah Komponen Daun Komponen Ranting
(%) (%)
Pemukiman 70 30
Pasar 90 10
Jalan 50 50

Penentuan persentase massa dari komponen penyusun sampah makanan


pada model campuran sampah Kota Bandung ditentukan melalui data potensi

77
pembentukan sampah yang telah dibahas pada Bab 3. Nasi menyumbang 22%,
kulit pisang menyumbang 43%, dan kulit jeruk menyumbang 35% dalam jenis
sampah makanan model campuran sampah kota Bandung.

Penentuan persentase massa dari komponen penyusun sampah pepohonan


ditentukan melalui metode pengamatan. Komposisi komponen daun dan ranting
akan berbeda di setiap sumber sampah. Oleh karena itu, penentuan komposisi
sampah pepohonan dibedakan pada setiap sumber. Di daerah pemukiman dan
pasar didominasi oleh daun karena daun mewakili sampah sayuran, sedangkan
komposisi daun dan ranting pada sampah jalan diasumsikan seimbang.

Setelah menentukan persentase massa dari setiap komponen penyusun


sampah kota, didapatkanlah komposisi model campuran sampah Kota Bandung.
Tabel 5.7 menunjukkan komposisi model campuran sampah kota Bandung.

Tabel 5.7 Komposisi komponen penyusun model campuran sampah kota


Persentase Massa
Komponen
(%)
Daun 35
Ranting 12
Kulit Pisang 22
Kulit Jeruk 19
Nasi 12

5.2 Prediksi Temperatur Operasi Optimum dan Nilai Kalor Maksimal


Produk Torefaksi Campuran Sampah Kota
Setelah menentukan model campuran sampah kota Bandung, temperatur
optimum merupakan parameter penting yang harus ditentukan. Temperatur
optimum adalah temperatur yang dapat menghasilkan nilai kalor campuran yang
paling besar. Temperatur optimum harus terlebih dahulu ditentukan karena setiap
komponen penyusun sampah kota mempunyai temperatur yang dapat
menghasilkan nilai kalor maksimal yang berbeda-beda Tabel 5.8 menyajikan
temperatur yang dapat menghasilkan nilai kalor maksimal dari tiap komponen
sampah kota.

78
Tabel 5.8 Nilai kalor maksimal tiap komponen penyusun sampah kota
Temperatur Nilai Kalor Maksimal
Komponen
(C) adb(kkal/kg)
Daun 330 4991
Ranting 500 6122
Kulit Pisang 400 5437
Kulit Jeruk 360 6300
Nasi 500 7173

Nilai kalor merupakan parameter yang sangat penting pada suatu bahan
bakar. Oleh karena itu, penentuan temperatur torefaksi campuran sampah kota
sangat dibutuhkan untuk mendapatkan nilai kalor maksimal yang dapat dihasilkan
oleh campuran sampah kota Bandung. Perumusan temperatur torefaksi campuran
sampah kota dilakukan dengan dua cara, yaitu metode analitik terbatas dengan
fraksi massa sebagai variabel dependen dan perhitungan nilai kalor campuran
sampah kota pada tiap temperatur uji torefaksi.

Pendekatan analitik adalah pendefinisian suatu fenomena dengan


menggunakan perhitungan matematika, sedangkan terbatas berarti bila pada
perhitungan terdapat nilai yang tidak diketahui diantara nilai yang diketahui
melalui pengujian, nilai tersebut dapat dihitung dengan metode interpolasi linear.

Metode pendekatan analitik terbatas didasari oleh temperatur yang dapat


menghasilkan nilai kalor terbesar pada setiap komponen penyusun sampah kota.
Pada metode analitik terbatas ini fraksi massa tiap komponen penyusun sampah
kota dalam model campuran sampah kota Bandung dijadikan variabel untuk
menentukan temperatur optimum.

Persamaan 5.1 merupakan perumusan matematika untuk menentukan


temperatur optimum proses torefaksi campuran sampah kota dengan metode
analitik terbatas.

( 5.1)

Keterangan:
T(C) : Temperatur optimum torefaksi campuran sampah kota
X1 : Persentase massa komponen daun

79
X2 : Persentase massa komponen ranting
X3 : Persentase massa komponen kulit pisang
X4 : Persentase massa komponen kulit jeruk
X5 : Persentase massa komponen nasi
Setelah perhitungan dilakukan, dengan sebelumnya memasukkan seluruh
data yang dibutuhkan, didapat temperatur optimum proses torefaksi campuran
sampah kota dengan metode analitik terbatas adalah sebesar 392C.

Setelah mendapatkan temperatur optimum dengan metode analitik terbatas,


nilai kalor dari campuran sampah kota pada temperatur tersebut dapat dihitung.
Dikarenakan temperatur 392C bukan merupakan temperatur uji proses torefaksi
komponen penyusun sampah kota, nilai kalor setiap komponen penyusun sampah
kota harus dicari dengan menggunakan metode interpolasi linear. Tabel 5.9
menyajikan data nilai kalor tiap komponen sampah kota setelah perhitungan pada
temperatur 392C.

Tabel 5.9 Nilai kalor komponen penyusun sampah kota pada temperatur 392C
Nilai Kalor adb
Komponen
(kkal/kg)
Daun 4783
Ranting 5885
Kulit Pisang 5428
Kulit Jeruk 6172
Nasi 6896

Nilai kalor campuran sampah kota pada temperatur 392C dapat dihitun
dengan menggunakan Persamaan 5.2

(5.2)

Keterangan:
HHV (kkal/kg) : Nilai Kalor torefaksi campuran sampah kota pada
temperatur 392C
X1 : Persentase massa komponen daun
X2 : Persentase massa komponen ranting

80
X3 : Persentase massa komponen kulit pisang
X4 : Persentase massa komponen kulit jeruk
X5 : Persentase massa komponen nasi
Setelah dilakukan perhitungan, nilai kalor campuran sampah kota pada
temperatur 392C adalah sebesar 5575 kkal/kg

Cara kedua dalam menentukan temperatur optimum campuran sampah kota


adalah dengan menghitung nilai kalor dari campuran sampah kota pada setiap
temperatur uji proses torefaksi komponen penyusun sampah kota. Perhitungan
nilai kalor di setiap temperatur uji menggunakan Persamaan 5.4

Keterangan:
HHVT (kkal/kg) : Nilai Kalor torefaksi campuran sampah kota pada
temperatur tertentu
HHVT 1 : Nilai kalor komponen daun pada temperatur tertentu
HHVT 2 : Nilai kalor komponen ranting pada temperatur tertentu
HHVT 3 : Nilai kalor komponen kulit pisang pada temperatur tertentu
HHVT 4 : Nilai kalor komponen kulit jeruk pada temperatur tertentu
HHVT 5 : Nilai kalor komponen nasi pada temperatur tertentu

Setelah dilakukan perhitungan, didapatlah nilai kalor campuran sampah kota


pada setiap temperatur uji proses torefaksi. Gambar 5.2 menyajikan grafik nilai
kalor pada setiap temperatur uji, serta nilai kalor pada temperatur 392C,
sedangkan Gambar 5.3 menunjukkan tren nilai kalor produk torefaksi campuran
sampah kota.

81
Gambar 5.2 Nilai kalor produk torefaksi model campuran sampah kota

6000
5500
5000
Nilai Kalor adb(kkal/kg)

4500
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
250 300 350 400 450 500 550
Temperatur

Nilai Kalor Campuran

Gambar 5.3 Tren nilai kalor produk model campuran sampah kota

Pada gambar 5.2 terlihat nilai kalor produk torefaksi model campuran
sampah kota yang sudah dianalisis dengan dua cara yang telah disebutkan
sebelumnya. Nilai kalor produk campuran sampah kota terbesar dapat dicapai

82
pada temperatur 400C dengan nilai sebesar 5575 kkal/kg. Namun, temperatur
optimum torefaksi model campuran sampah kota bukanlah 400C. Pada gambar
5.3 terlihat kenaikan nilai kalor terbesar terjadi pada temperatur 360C, sedangkan
dari temperatur 360C sampai 400C terlihat konstan. Oleh karena itu,
temperatur 360C dipilih sebagai temperatur optimum torefaksi model
campuran sampah kota dengan nilai kalor produk torefaksi model
campuran sampah kota sebesar 5545 kkal/kg.

Temperatur optimum proses torefaksi dan nilai kalor campuran produk


torefaksi sampah kota telah berhasil ditentukan dengan perumusan. Untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik, dibutuhkan validasi dengan metode
eksperimen. Namun, mengingat kebutuhan untuk eksperimen yang cukup besar,
validasi dengan eksperimen tidak dapat dilakukan pada penelitian ini.

5.3 Perbandingan Produk Torefaksi Sampah Kota


Pada subbab subbab sebelumnya telah dibahas mengenai proses torefaksi
campuran sampah kota pada penelitian ini. Temperatur optimum proses torefaksi
serta nilai kalor maksimal dari produk torefaksi campuran sampah kota pada
temperatur dekomposisi selulosa dan lignin telah berhasil didapatkan. Pada
subbab ini akan dibahas mengenai kesetaraan produk torefaksi campuran sampah
kota dengan batubara, serta perbandingan produk torefaksi pada penelitian ini
dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.

5.3.1 Perbandingan dengan Batubara


Seperti yang telah dijelaskan pada Bab 2, batubara sampai saat ini masih
merupakan bahan bakar padat yang paling sering dimanfaatkan. Oleh karena itu,
produk torefaksi sampah kota pada penelitian ini harus dibandingkan dengan
batubara guna mendapatkan gambaran tentang potensi penggantian batubara
dengan produk torefaksi sampah kota. Nilai kalor merupakan aspek yang akan
dijadikan pembanding antara produk torefaksi sampah kota dengan batubara.
Perbandingan dilakukan dengan kelas batubara seperti yang telah diatur di ASTM.

83
Bila melihat lagi kelas batubara pada Tabel 2.1, terlihat bahwa produk
torefaksi model campuran sampah kota pada daerah dekomposisi selulosa dan
lignin setara dengan batubara subbituminous B karena nilai kalor produk torefaksi
model campuran sampah kota terletak diantara batas bawah dan atas batubara
kelas subbituminous B, seperti terlihat pada Gambar 5.4.

Gambar 5.4 Perbandingan nilai kalor produk torefaksi sampah kota dengan
batubara

5.3.2 Perbandingan dengan Produk Torefaksi pada Penelitian Sebelumnya


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk
mengidenitifikasi pengaruh dekomposisi selulosa dan lignin pada proses torefaksi
sampah kota. Untuk lebih melihat pengaruh dekomposisi selulosa dan lignin,
produk torefaksi pada penelitian kali ini dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya. Proses torefaksi pada penelitian sebelumnya berfokus pada daerah
dekomposisi hemiselulosa. Tabel 5.10 menunjukkan nilai kalor produk torefaksi
sampah kota pada penelitian sebelumnya.

84
Tabel 5.10 Nilai kalor produk torefaksi campuran sampah kota pada penelitian
sebelumnya [2]
Nilai Kalor
Model Campuran Sampah Kota
(kkal/kg)
Kawasan Umum 5831
Pasar 5741
Pemukiman 5674
Rata-rata 5743

Tabel 5.10 menyajikan nilai kalor produk torefaksi sampah kota pada tiap
model campuran sampah kota. Pada penelitian sebelumnya, digunakan tiga model
campuran sampah kota. Model tersebut berasal dari sumber sumber sampah,
seperti pemukiman, pasar, dan kawasan umum. Sumber kawasan umum
didominasi oleh sampah pepohonan.

Nilai kalor produk torefaksi yang akan dibandingkan adalah nilai kalor rata
rata dari ketiga jenis model campuran sampah kota dengan nilai kalor produk
sampah kota pada penelitian kali ini. Perbandingan tersebut dapat dilakukan
karena model campuran sampah yang digunakan pada penelitian kali ini
merupakan gabungan dari model model campuran sampah kota sebelumnya.

Nilai kalor rata rata pada produk torefaksi campuran sampah kota pada
produk sebelumnya adalah 5743 kkal/kg sedangkan nilai kalor produk torefaksi
campuran sampah kota pada penelitian ini adalah 5545 kkal/kg. Terjadi penurunan
nilai kalor pada penelitian ini dibandingkan yang sebelumnya, walaupun senyawa
organik yang terdekomposisi pada proses torefaksi pada daerah dekomposisi
selulosa dan lignin lebih banyak.

Penurunan nilai kalor yang terjadi disebabkan oleh turunnya nilai kalor
produk torefaksi komponen daun seiring naiknya temperatur torefaksi. Daun
merupakan komponen yang dominan pada model campuran sampah kota Bandung
sehingga turunnya nilai kalor produk torefaksi komponen daun berdampak cukup
besar pada nilai kalor produk torefaksi model campuran sampah kota Bandung.

85
Bab 6
Kesimpulan dan Saran

6.1 Kesimpulan
1. Dekomposisi selulosa dan lignin pada proses torefaksi sampah kota di
satu sisi dapat meningkatkan nilai kalor produk torefaksi sampah kota.
Namun, di sisi lainnya torefaksi pada daerah tersebut dapat
meningkatkan potensi terjadinya reaksi pembakaran terbatas. Reaksi
tersebut dapat menurunkan nilai kalor produk torefaksi sampah kota.

2. Temperatur optimum proses torefaksi sampah kota pada daerah


dekomposisi selulosa dan lignin adalah sebesar 360C, dengan nilai kalor
(HHV) sebesar 5545 kkal/kg. Produk torefaksi sampah kota pada daerah
dekomposisi selulosa dan lignin setara dengan batubara subbituminus B
dengan nilai kalor (HHV) setara 5279-5828 kkal/kg. Uraian ini telah
dibahas pada Bab 5.
3. Nilai kalor produk torefaksi sampah kota pada daerah dekomposisi
selulosa dan lignin lebih rendah bila dibandingkan dengan produk
torefaksi sampah kota pada daerah dekomposisi hemiselulosa, yang dapat
menghasilkan nilai kalor produk torefaksi sampah kota sebesar 5743
kkal/kg. Uraian ini telah dibahas pada Bab 5.
4. Penurunan nilai kalor produk torefaksi sampah kota disebabkan oleh
turunnya nilai kalor produk torefaksi komponen daun seiring
meningkatnya temperatur torefaksi. Penurunan nilai kalor produk
torefaksi komponen daun ini diduga disebabkan oleh fenomena
pembakaran terbatas selama proses torefaksi. Diprediksi 5.9%db fixed
carbon terbakar pada produk torefaksi daun pada temperatur 500C.
Uraian ini telah dibahas pada Bab 4.

86
6.2 Saran
1. Perlu dilakukan uji analisis proksimat pada produk torefaksi untuk dapat
meninjau fenomena pembakaran terbatas pada proses torefaksi
sebagaimana dijelaskan pada Bab 4 akhir.
2. Perlu dilakukan validasi terhadap perumusan torefaksi campuran dengan
metode eksperimen sebagaimana dijelaskan pada Bab 5 akhir.

87
DAFTAR PUSTAKA

[1] Ari Darmawan Pasek, Toto Hardianto, Willy Adriansyah, dkk., 2007,
Laporan Akhir Studi Kelayakan Pembangkit Listrik Dengan Bahan
Bakar Sampah Di Kota Bandung, LPPM ITB, Bandung.
[2] Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Jakarta Dalam Angka 2014,
Badan Pusat Statistik, Jakarta, 2014.
[3] Badan Pusat Statistik Kota Surabaya, Surabaya Dalam Angka 2015,
Badan Pusat Statistik, Surabaya, 2015.
[4] Badan Pusat Statistik Kota Bandung, Kota Bandung Dalam Angka 2015,
Badan Pusat Statistik, Bandung, 2015
[5] Andarini, Kajian Komposisi dan Karakteristik Sampah Kota Bogor,
Tugas Sarjana, Teknik Lingkungan FTSL ITB, Bandung, 2012.
[6] Badan Pusat Statistik Kota Semarang, Kota Semarang Dalam Angka
2014, Badan Pusat Statistik, Semarang, 2014
[7] Adrian Rizqi Irhamna, Pengembangan Metode Pembuatan Bahan Bakar
Padat Setara Batubara Dari Sampah Kota Melalui Proses Torefaksi
Batch Simultan, Tugas Sarjana, Teknik Mesin FTMD ITB, Bandung,
2013.
[8] Gary L Borman, Kenneth W. Ragland, 1998, Combustion Engineering,
Mc-Graw-Hill, Amerika Serikat.
[9] Bruce G Miller, 2005, Coal energy Systeem, Elsevier Academic Press,
Britania Raya.
[10] Enri Damanhuri, 2010, Diktat Kuliah TL-3104 Pengelolaan Sampah, ITB,
Bandung.
[11] Prabir Basu, 2013, Biomass Gasification, Pyrolisis, And, Torrefaction,
Elsevier, Amerika Serikat.

88
[12] P.F.H. Harmsen, W.J.J Huijgen, L.M. Bermudez Lopez, R.R.C. Bakker,
2010, Literature Review Of Physical And Chemical Pretreatment
Processes For Lignocellulosic Biomass, BioSynergy, Eropa.
[13] Dilya Izhharul Haq, Studi Karakteristik Perlakuan Panas Pada Nasi
(Amilum) Sebagai Komponen Sampah Kota Dalam Rangka Konversinya
Menjadi Bahan Bakar Padat Melalui Torefaksi, Tugas Sarjana, Teknik
Mesin FTMD ITB, Bandung, 2013
[14] J.S. Tumuluru, S. Sokhansanj, C.T. Wright, and R.D. Boardman,
Biomass Torrefaction Process Review and Moving Bed Torrefaction
System Model Development, Research report for the U.S. Department of
Energy at INL and ORNL, 2010.
[15] K.W Ragland, K.M Bryden, Combustion Engineering 2nd Edition, CRC
Press, New York, 2011.
[16] Haryadi, Aryadi Suwono, Toto Hardianto dan A. Pasek, Peningkatan
Nilai Kalor Gambut sebagai Bahan Bakar Padat Melalui Proses
Torefaksi, Prosiding Dies Emas ITB, Bandung, 2009.
[17] Wei-Hsin Chen, Po-Chih Kuo, A Study On Torrefaction of Various
Biomass Materials and Its Impact on Lignocellulosic Structure Simulated
by A Thermogravimetry, Energy 35 (2010) 2580-2586, 2010.
[18] Francois-Xavier Collard, Joel Blin, A Review on Pyrolisis of Biomass
Constituents: Mechanisms and Composition of the Products Obtained
From the Conversion of Cellulose, Hemicelluloces and Lignin,
Renewable and Sustainable Energy Reviews 38 (2014) 594-608, 2014.
[19] Jeeban Poudel, Tae-In Ohm, Sea Cheon Oh, A Study on Torrefaction of
Food Waste, Fuel 140 (2015) 275-281, 2015.
[20] Basis Data Konsumsi Pangan menurut Susenas, Kementerian Pertanian,
(Online),
(https://aplikasi2.pertanian.go.id/konsumsi/tampil_susenas_kom2_th.php
) diakses pada tanggal 18 Juli 2015.
[21] Chun-Yang Yin, Prediction of Higher Heating Values of Biomass from
Proximate and Ultimate Analyses, Fuel 90 (2011) 1128-1132, 2011.

89
[22] Aditya Kaunan Ribath Fathoni, Perencanaan Tipikal Rumah Kompos
Untuk Pengolahan Sampah Pasar Tradisional (Studi Kasus di Kota
Surabaya), Tugas Akhir, Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan ITS, Surabaya, 2011.
[23] T. A. Ramadhani, Analisis Timbulan dan Komposisi Sampah Rumah
Tangga di Kelurahan Mekarjaya (Depok) Dihubungkan dengan Tingkat
Pendapatan, Pendidikan, Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Masyarakat,
Universitas Indonesia, Depok, 2011.
[24] Dini Anriany, Drajat Martianto, Estimasi Sisa Nasi Konsumen di
Beberapa Jenis Rumah Makan di Kota Bogor, Bogor 16680 Jurnal Gizi
dan Pangan, 2013

90
LAMPIRAN
Data Hasil Pengujian Tiap Komponen Sampah Kota

Tabel A.1 Data Fraksi Massa Sisa Hasil Pengujian Penurunan Massa Tiap
Komponen Sampah Kota

Kulit Kulit
Daun Ranting Nasi
Pisang Jeruk
T300C 0.545 0,525 0,520 0,426 0,206
T330C 0,523 0,450 0,493 0,415 0,183
T360C 0,442 0,409 0,455 0,373 0,163
T400C 0,369 0,360 0,354 0,330 0,117
T500C 0,300 0,289 0,240 0,259 0,100
.

Tabel A.2 Data Nilai Kalor (HHV) Produk Torefaksi Tiap Komponen Sampah
Kota (kkal/kg)

Kulit Kulit
Daun Ranting Nasi
Pisang Jeruk
T300C 4979 5526 4023 6050 6670
T330C 4991 5342 4997 6232 4940
T360C 4898 5865 5247 6300 6466
T400C 4754 5890 5473 6140 7004
T500C 4635 6122 4536 6074 7173

91

Anda mungkin juga menyukai