Anda di halaman 1dari 17

Laporan Praktikum Hari, tanggal : Rabu, 29 September 2021

Agro-Eko Biologi Tanah Dosen : Indri Hapsari Fitriyani, S.P, M.Si


Asisten Praktikum :
1. Angelin Septitania Sirait (A14170005)
2. Dede Risna Ayu Ajhari (A14180013)
3. Anra Talpa (A14190065)

PENGUKURAN RESPIRASI TANAH MENGGUNAKAN


METODE VERSTRAETE

Nama : SHAFA SALSABILA LESMANA


NIM : A1401201024
Kelompok :1
Hari Praktikum : Rabu

DIVISI BIOTEKNOLOGI TANAH


DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
IPB UNIVERSITY
2021
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tanah menyimpan energi yang dapat digunakan untuk menunjang kehidupan di
atasnya. Energi tersebut dapat diperoleh melalui berbagai sumber, salah satunya
melalui hasil fotosintesis dari aktivitas mikroorganisme. Aktivitas yang dilakukan
mikroorganisme tanah tergantung dari jenis mikroorganisme tersebut. Terdapat dua
aktivitas yang dapat dilakukan mikroorganisme seperti fotosintesis dan respirasi.
Fotosintesis hanya dapat dilakukan oleh mikroorganisme fotoautotrof serta
memiliki klorofil, sementara respirasi dapat dilakukan hampir seluruh
mikroorganisme tanah. Aktivitas dalam tanah terjadi karena adanya keberadaan
dari suatu mikroorganisme tanah, dimana mikroorganisme tanah melakukan suatu
aktivitas berupa interaksi dengan faktor biotik maupun abiotik. Peranan
mikroorganisme dalam tanah sangat besar terutama dalam proses dekomposisi
bahan organik menjadi unsur hara dan dalam bentuk gas seperti karbondioksida
(CO₂). Aktivitas mikroorganisme dalam tanah ditentukan oleh jumlah respirasi
suatu mikroorganisme dengan perhitungan metode verstraete. Metode tersebut
dihasilkan setelah dilakukan titrasi sesuai dengan prosedur percobaan praktikum.
Respirasi tanah termasuk ke dalam proses biokimia dengan memanfaatkan
bahan baku yang kompleks serta memecahnya menjadi molekul yang lebih
sederhana sekaligus menghasilkan energi dalam prosesnya. Respirasi tanah
dilakukan oleh mikroorganisme tanah selama menguraikan atau menjalankan
proses dekomposisi bahan organik dalam tanah. Respirasi tanah menggambarkan
aktivitas mikrob dalam tanah. Pengukuran respirasi ini sebagai salah satu cara yang
pertama kali dilakukan untuk menentukan tingkat aktivitas mikroba tanah.
Penetapan respirasi tanah didasarkan pada penetapan jumlah CO2 yang dihasilkan
oleh mikroorganisme tanah dan jumlah O2 yang digunakan oleh mikroorganisme
tanah dalam proses metabolisme aerob. Respirasi tanah menjadi aliran karbon
terbesar kedua setelah fotosintesis. Respirasi dapat berkaitan dengan kesuburan
tanah. Laju respirasi tanah dapat diukur melalui sistem statis maupun sistem
dinamis. Teknik pengukuran yang canggih biasanya menggunakan IRGA (Infra
Red Gas Analyzer). Produksi dan emisi CO2 dari tanah akan bergantung pada faktor
eksternal seperti, kandungan bahan organik pada tanah, ketersediaan O2 dalam
tanah, suhu tanah dan nutrien sedangkan faktor internal yang dapat berpengaruh
adalah populasi mikroorganisme tanah serta biomassa akar. Jumlah biomassa akar
dan mikroorganisme tanah akan berpengaruh terhadap proses percepatan
dekomposisi bahan organik yang melepaskan CO2, sehingga kelembaban tanah dan
suhu tanah menjadi faktor terpenting dalam proses respirasi tanah. Dengan
demikian, dalam menghitung dan pengukuran respirasi tanah menggunakan metode
verstraete yang dapat dilakukan untuk mendukung data pada suatu tanah dalam
tujuan pengelolaan. Faktor yang dapat mempengaruhi respirasi tanah yaitu, suhu
tanah, penggunaan lahan, kadar air tanah, kualias vegetasi, interaksi antara suhu tanah
dan kadar air tanah, produktivitas ekosistem, dinamika populasi serta komunitas tanah.

1.2 Tujuan:
Praktikum ini bertujuan mrngukur respirasi tanah dengan menggunakan metode
Verstraete.
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Respirasi tanah


Respirasi tanah merupakan suatu proses yang terjadi karena adanya kehidupan
mikroba yang melakukan aktivitas hidup dan berkembang biak dalam suatu masa
tanah. Setiap aktivitasnya, mikrob membutuhkan O2 atau mengeluarkan CO2 yang
dijadikan dasar untuk pengukuran respirasi tanah. Penelitian Anas (2011)
menyatakan bahwa, respirasi tanah merupakan suatu pencerminan dari populasi dan
aktivitas mikroba tanah. Pengukuran respirasi merupakan cara yang pertama kali
digunakan untuk menentukan tingkat aktivitas mikrob dalam tanah. Penetapan
respirasi tanah didasarkan pada :
1. Penetapan jumlah CO2 yang dihasilkan oleh mikrob tanah
2. Penetapan jumlah O2 yang digunakan oleh mikrob tanah
Menurut Anas (2011), respirasi tanah sangat kompleks karena sudah banyak
metode yang telah diusulkan oleh peneliti terdahulu untuk menangkap gas CO2
yang dihasilkan dan menganalisis sesuai dengan tujuan dan lingkungan peneliti,
dapat dikatakan bahwa, tidak ada metode yang sepenuhnya memuaskan. Oleh
karena itu, para peneliti diharapkan dapat memilih metode yang paling tepat. Pada
keadaan yang stabil, kadar air, temperatur, kecepatan, aerasi, dan pengaturan
ruangan harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Peningkatan respirasi terjadi bila
ada proses pembasahan dan pengeringan, fluktuasi aerasi tanah selama
inkubasi. Oleh karena itu, peningkatan respirasi dapat disebabkan oleh perubahan
lingkungan yang luar biasa. Hal ini bisa tidak mencerminkan keadaan aktivitas
mikroba dalam keadaan lapang.

2.2 Metode Verstraete


Penelitian Damayanti et al. (2020) menyatakan bahwa, metode yang
digunakan dalam respirasi tanah adalah metode verstraete. Metode ini dilakukan
dengan menginkubasi tanah selama 7 hari pada suhu ruang (24 - 25˚C) di tempat
gelap. Hal yang sama dilakukan untuk perlakuan kontrol, yaitu toples tanpa tanah.
Prinsip dari metode ini adalah CO2 yang dihasilkan dari tanah ditangkap oleh KOH
dan jumlahnya dititrasi dengan HCl. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari
Susilawati et al. (2013) yang menyatakan bahwa, metode verstraete dapat dilakukan
pada penetapan respirasi tanah. Metode ini mengandalkan tanah dengan massa
tertentu yang ditempatkan dalam suatu tabung dan ditempatkan tabung lain berisi
KOH 0,2 N dan 10 ml H2O kemudian diinkubasi dalam keadaan (tempat) gelap
dalam suhu kamar. Pada akhir proses inkubasi, ditambahkan dua tetes fenolftalein
(PP) dalam botol yang berisi KOH kemudian dititrasi menggunkan HCl, kemudian
diberi metil orange dan di titrasi kembali dengan HCl. Jumlah HCl yang digunakan
pada titrasi berhubungan dengan jumlah CO2 yang difiksasi. Menurut Hendri
(2014), metode verstraete merupakan metode respirasi tanah masih sering
digunakan karena cukup peka, konsisten, sederhana, dan tidak memerlukan alat
yang canggih dan mahal

2.3 Aktivitas mikrob tanah


Penelitian Lukmansyah et al. (2020) menyatakan bahwa, respirasi tanah
menjadi salah satu indikator dari aktivitas biologi tanah seperti akar tanaman,
mikroba atau kehidupan lain yang ada di dalam tanah. Respirasi tanah adalah proses
evolusi CO2 dari tanah ke atmosfer, terutama yang dihasilkan oleh aktivitas
mikroorganisme tanah dan akar tanaman. Mikroorganisme tanah merupakan tenaga
penggerak berlangsungnya proses dekomposisi bahan organik yang mempengaruhi
laju respirasi tanah. Kandungan C-organik tanah yang rendah akan mempengaruhi
aktivitas mikroorganisme tanah karena kandungan C-organik tanah merupakan
sumber energi bagi keberlangsungan hidup mikroorganisme tanah dalam
melakukan aktivitas hidupnya (Setyawan 2014).

2.4 Indikator fenolftalein (PP)


Senyawa-senyawa organik yang dapat digunakan sebagai indikator dalam titrasi
mempunyai karakteristik yaitu senyawa memberikan perubahan warna terhadap
perubahan suasana pH larutan. Perubahan warna dapat terjadi melalui proses
keseimbangan bentuk molekul dan ion dari senyawa indikator tersebut, sebagai
contoh senyawa fenolftalein. Pada abad ke-20, fenolftalein merupakan obat yang
populer digunakan sebagai pencahar. Senyawa fenolftalein merupakan indikator
asam lemah-basa kuat. Fenolftalein adalah satu indikator asam-basa sintetik yang
memiliki rentang dengan trayek pH pada pH 8,0-9,6 (dari mula-mula timbulnya
warna sampai tidak terjadi perubahan warna. Fenolftalein atau 3,3-Bis (4
hidroksifenil) 1-(3H)-isobenzofuranon merupakan senyawa kimia yang sering
digunakan sebagai indikator dalam titrasi alkalimetri (Anugrah et al. 2016).

2.5 Indikator metil jingga (orange)


Penelitian Mehra dan Sharma (2012) menyatakan bahwa, methyl orange
merupakan salah satu zat warna sintetik yang termasuk ke dalam golongan azo. Zat
warna ini banyak digunakan pada industri makanan, tekstil, kulit dan kertas.
Senyawa ini juga digunakan sebagai indikator asam basa pada proses titrasi
perubahan warna merah menjadi kuning pada kisaran pH 3,1-4,4. Methyl orange
adalah salah satu zat warna anionik yang mengandung gugus azo yang banyak
digunakan dalam proses pewarnaan. Indikator metil oranye banyak digunakan
dalam titrasi asam kuat-basa lemah, merupakan suatu basa yang berwarna kuning,
dengan penambahan ion H+ dengan menghasilkan kation berwarna merah muda.

2.6 KOH
Kalium hidroksida dengan rumus kimia (KOH) adalah senyawa kimia yang
merupakan basa logam yang sangat basa (basa kuat) yang umumnya disebut
sebagai potash kaustik. Kalium hidroksida (KOH) merupakan senyawa anorganik
yang dapat ditemukan dalam bentuk murni dengan mereaksikan natrium hidroksida
dengan kalium murni. Senyawa ini mengandung sejumlah air sehingga memiliki
sifat higroskopik. KOH memiliki banyak kegunaan, salah satunya sebagai elektrolit
untuk bakteri alkali (Harjanti 2018). Bersama dengan natrium hidroksida (NaOH),
padatan tak berwarna ini adalah suatu basa kuat. Senyawa ini memiliki banyak
aplikasi industri, sebagian besar yang memanfaatkan sifat korosif dan
reaktivitasnya terhadap asam (Anwar et al. 2013).
III METODE

3.1 Alat dan Bahan :

1. Botol + tutup 2. Buret

3. Statif 4. Breaker

5. 100 g tanah 6. 0,2 N KOH

7. Aquades 8. Indikator Fenolftalein (PP)


9. Metil jingga 10. HCl
(orange)
3.2 Prosedur

Pertama-tama, masukkan ke
dalam 1 liter botol/toples Kemudian, tutuplah botol
sampai kedap udara Selanjutnya, diinkubasi pada
yang memakai tutup kedap
temperatur (28℃ - 30℃)
udara sebanyak 100 gram
ditempat gelap selama
tanah lembab dan 2 buah
3,7,14 hari. Pada akhir masa
breaker/ botol film yang
inkubasi tentukan jumlah
berisi 5 ml 0,2 N KOH dan
CO2 yang dihasilkan dengan
10 ml air
cara titrasi

Lalu, tambahkan sebanyak 2


tetes metil jingga (orange), Catatlah volume HCl Pada akhir inkubasi,
kemudian dititrasi lagi dengan yang digunakan tambahkan sebanyak 2 tetes
HCL sampai warna kuning fenolftalein (PP) ke dalam
berubah menjadi pink botol film/breaker yang
berisi KOH

Perubahan warnanya tidak terlalu ketara, oleh karenanya


dalam menentukan titik akhir titrasi dilakukan dengan
hati-hati. Jumlah HCl yang digunakan pada tahap kedua
titrasi berhubungan dengan jumlah CO2 yang difiksasi
IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengukuran respirasi tanah dengan metode verstraete


Penelitian Fahmi (2016) menyatakan bahwa, proses pengukuran respirasi di
lapangan dilakukan dengan cara memompa udara tanah atau dengan cara menutup
permukaan tanah dengan bejana yang volumenya telah diketahui. Selain itu, dapat
dilakukan dengan membenamkan tabung untuk mengambil contoh udara di dalam
tanah. Pada laboratorium, pengukuran respirasi tanah meliputi penetapan CO2 yang
dihasilkan dari sejumlah contoh tanah yang kemudian diinkubasi dalam jangka
waktu tertentu. Tingkat respirasi tanah ditetapkan dari tingkat evolusi dari gas CO2.
Evolusi CO2 tanah dihasilkan dari hasil dekomposisi bahan-bahan organik. Dengan
demikian, tingkat respirasi tanah merupakan indikator tingkat dekomposisi bahan
organik yang terjadi pada selang waktu tertentu. Penetapan CO2 yang berlangsung
dengan KOH sebagai penangkap CO2 berlangsung sebagai berikut :
KOH + CO2 K2CO3 + H2O
K2CO3 + HCl KCl + KHCO3
KHCO3 + HCl KCl + H2O + CO2
Penelitian Niken et al. (2017) menyatakan bahwa, metode pengukuran CO2
yang dihasilkan oleh mikroorganisme tanah dapat digunakan untuk contoh tanah
tidak terganggu maupun untuk contoh tanah terganggu. Pengukuran respirasi di
lapangan dilakukan dengan memompa udara tanah atau dengan menutup
permukaan tanah dengan tabung yang volumenya diketahui. Selain itu, dapat
dilakukan dengan membenamkan tabung untuk mengambil contoh udara di dalam
tanah. Pengukuran di laboratorium meliputi penetapan CO2 yang dihasilkan dari
sejumlah contoh tanah yang kemudian diinkubasi dalam jangka waktu tertentu.
Tingkat respirasi tanah ditetapkan dari tingkat evolusi CO2. Evolusi CO2 tanah
dihasilkan dari dekomposisi bahan organik, dengan demikian, tingkat respirasi
adalah indikator tingkat dekomposisi bahan organik yang terjadi pada selang waktu
tertentu. Metode pada pengukuran CO2 di dalam tanah berlangsung pada periode
waktu tertentu. Larutan KOH berfungsi sebagai penangkap CO2 dan kemudian
dititrasi dengan HCl. Jumlah HCl yang diperlukan untuk titrasi setara dengan
jumlah CO2 yang akan dihasilkan. Pelepasan CO2 sangat tergantung pada sifat.
Menurut Rustad et al. (2011), respirasi tanah dapat dipegaruhi oleh faktor biologis
yaitu, vegetasi dan mikroorganisme, faktor lingkungan berupa suhu, pH dan
kelembaban serta faktor akibat ulah manusia.
Pengukuran respirasi tanah ditentukan berdasarkan hilangnya CO2 atau jumlah
O2 yang dibutuhkan oleh mikroorganisme. Laju respirasi maksimum biasanya
terjadi setelah beberapa hari atau beberapa minggu. Oleh karena itu, dalam
pengukuran respirasi tanah lebih mencerminkan aktivitas metabolik mikrob tanah
dibandingkan jumlah, perkembangan atau tipe mikrob tanah. Respirasi
mikroorganisme tanah mencerminkan tingkat aktivitas mikroorganisme tanah.
Pengukuran respirasi tanah merupakan cara yang pertama kali digunakan dalam
menentukan tingkat aktivitas mikroorganisme tanah. Pengukuran respirasi
mempunyai hubungan yang baik dengan parameter lain. Parameter tersebut
berkaitan dengan aktivitas mikroorganisme tanah seperti bahan organik tanah,
transformasi N, rata-rata jumlah mikroorganisme dan pH (Anas 1995 dalam Fahmi
2016).
4.2 Analisis laboratorium
Menurut Fahmi et al. (2016), dalam menganalisis di laboratorium digunakan
metode verstraete, sampel KOH yang telah mengikat CO2 dari lapangan kemudian
di analisis di laboratorium dengan cara dititrasi. Botol film atau sampel yang berisi
larutan KOH, selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer, lalu
ditambahkan 2 tetes fenolftalein (PP), kemudian dititrasi dengan 0,1 N HCl hingga
warna merah hilang. Volume HCl yang digunakan untuk titrasi tersebut dicatat.
Selanjutnya, pada larutan tadi ditambahkan sebanyak 2 tetes metyl orange, dan di
titrasi kembali dengan HCl sampai warna kuning berubah menjadi merah muda
(pink). Jumlah HCl yang digunakan pada tahap kedua ini berhubungan langsung
dengan jumlah CO2 yang difiksasi. Hal yang sama dilakukan pada larutan KOH
dari sampel blanko dengan dilakukan prosedur yang sama seperti pada KOH
sampel. Pengamatan respirasi sebaiknya dilakukan pada pagi dan sore hari. Reaksi
kimia yang terjadi selama proses titrasi adalah sebagai berikut :
1. Reaksi pengikatan CO2
CO2 + 2KOH K2CO3 + H2O
2. Perubahan warna menjadi tidak berwarna (fenolftalein (PP))
K2CO3 + HCl KCl + KHCO3
3. Perubahan warna kuning menjadi merah muda (pink) (metyl orange)
KHCO3 +HCl KCl +H2O + CO2
(Fahmi et al. 2016).

Jenis Indikator Titrasi Volume Volume Jumlah Respirasi R Massa Massa


Tanah awal akhir HCl Tanah CO2 C/CO2
(mg
CO2-
C/hari)
Blanko PP 1 0,5 6,3 5,8 0 0 0 0

MO 2 6,3 9,4 3,1

Kebun PP 1 9,4 11,8 2,4 637,71 53,143 2338,29 637,71

MO 2 11,8 18 6,2

Rumput PP 1 0 0,2 0,2 -493,71 -41,143 -1810,29 -493,71

MO 2 0,2 0,9 0,7

Sampah PP 1 0,9 2,5 1,6 781,71 65,143 2866,29 781,71

MO 2 2,5 9,4 6,9

Tabel 1. Hasil pengukuran respirasi tanah

Respirasi tanah merupakan suatu indikator yang baik terhadap nilai mutu
tanah. Ciri khas parameter aktivitas metabolik dari populasi mikrob tanah yang
berkorelasi positif dengan material organik tanah. Prinsip dari respirasi tanah
adalah pengukuran jumlah CO2 di dalam tanah pada waktu tertentu. Dengan
meningkatnya laju respirasi maka akan meningkat pula laju dekomposisi bahan
organik yang terakumulasi di dasar tanah (Jauhiainen 2012). Praktikum kali ini
membahas mengenai pengukuran respirasi tanah dengan menggunakan metode
verstraete. Terdapat 3 jenis tanah yang digunakan yaitu tanah kebun, tanah rumput,
dan tanah sampah. Selain itu, ada pula data blanko yang digunakan sebagai
standar, pembanding atau faktor koreksi. Berdasarkan hasil praktikum, diperoleh
data pada tabel 1 yang berupa hasil perhitungan respirasi tanah dalam satuan ml,
massa CO2 dalam satuan mg, dan massa C/CO2 dalam satuan mg CO2-C. Pada
jenis tanah sampah memiliki nilai respirasi tertinggi yaitu, sebesar 781,71 mg
CO2-C/hari, sedangkan nilai respirasi terendah terdapat pada jenis tanah rumput
dengan nilai respirasi tanah sebesar -493,71 mg CO2-C/hari.
Pada jenis tanah kebun memiliki nilai respirasi tanah sebesar 637,71 mg CO2-
C/hari. Angka ini menunjukkan tanah tanpa pengolahan dan tanah dengan
pengolahan intensif nilainya lebih rendah (Niken et al. 2017). Salah satu faktor
yang mempengaruhi respirasi tanah yaitu kelembaban tanah. Hal ini disebabkan
karena kelembaban tanah yang kering, walaupun pada jenis tanah tidak dilakukan
proses pengolahan tanah sama sekali, maka jenis tanah tersebut memiliki
mikroorganisme tanah yang banyak, akan tetapi kelembaban tanahnya kering, dapat
menyebabkan mikroorganisme didalam tanah menjadi dorman dan sedikit yang
beraktivitas. Kelembaban tanah pada kondisi kering dapat menyebabkan mikrob
tanah menjadi dorman atau mikrob membentuk spora sehingga respirasi tanah
menurun tajam (Utomo 2012).
Tanah rumput memiliki nilai respirasi sebanyak -493,71 CO2-C/hari. Jika
dikaitkan dengan literatur, angka yang diperoleh kurang tepat. Salah satu literatur
yang meneliti respirasi tanah di salah satu lokasi di daerah Pemeringan tepatnya di
bukit barisan tidak menunjukan hasil yang negative (Nasution et al. 2015).
Tentunya data hasil praktikum ini tidak dapat dijadikan sebuah acuan yang mutlak
karena masih terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi laju respirasi. Akan
tetapi, dengan adanya nilai negatif maka, kemungkian terjadinya kesalahan saat
praktikum. Kesalahan yang mungkin terjadi seperti kurang rapat dalam menutup
toples, penentuan titik ekuivalen, kesalahan dalam melakukan titrasi HCL,
kesalahan dalam perhitungan, ataupun pemberian indikator fenolftalein (PP) atau
metil orange. Penelitian Sitorus dan Sembiring (2012) menyatakan bahwa, nilai
negatif yang terdapat pada data hasil perhitungan menunjukkan bahwa terdapat zat
kontaminan dalam tanah yang diteliti.
Pada jenis tanah sampah, diperoleh nilai respirasi tanah sebesar 781,71 CO2-
C/hari. Tanah sampah merupakan salah satu jenis tanah dengan jumah organisme
yang cukup banyak dibandingkan dengan dua jenis tanah lainnya yaitu, tanah
kebun dan tanah rumput. Berdasarkan literatur Niken et al. (2017), semakin tinggi
tingkat aktivitas mikroorganisme maka laju respirasi tanahnya semakin
meningkat. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Maysaroh (2011), yang
menyatakan bahwa, pada jenis tanah sampah memiliki nilai pH yang relatif tinggi.
Tingginya kadar pH ini disebabkan oleh ketersediaan kompos yang dapat
meningkatkan nilai pH pada tanah. Selain pH, tingginya nilai respirasi tanah pada
jenis tanah sampah disebabkan oleh kandungan bahan organik pada tanah. Tanah
sampah memiliki bahan organik lebih tinggi disbanding dengan tanah rumput dan
tanah kebun (Utomo 2012).
Penelitian Wicaksono et al. (2015) menyatakan bahwa, pada penetapan
respirasi tanah memiliki keterkaitan yang erat dengan mikroorganisme tanah.
Mikroorganisme tanah akan berbanding lurus dengan jumlah produksi CO2 yang
dihasilkan. Perbandingan ini menunjukkan adanya interaksi antara mikroorganisme
tanah dengan kebutuhan organik. Bahan organik menyediakan karbon yang
berperan sebagai sumber energi untuk keberlangsungan hidup mikroorganisme.
Produksi CO2 hasil respirasi dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yaitu, kelerengan
tanah, kedalaman tanah, serta interaksi antar kedalaman tanah dengan kelerengan
tanah. Berdasarkan faktor kedalaman, jumlah produksi hasil gas CO2 pada tanah
akan semakin menurun sesuai dengan tingkat kedalaman tanahnya. Semakin dalam
tanah maka, produksi CO2 hasil respirasi akan semakin menurun. Rendahnya laju
respirasi tanah pada jenis tanah rumput menunjukkan bahwa laju dekomposisi
bahan organik berjalan secara lambat sehingga proses mineralisasi bahan organic
akan berlangsung lambat bila dibandingkan dengan jenis tanah kebun dan tanah
sampah. Ketersediaan bahan organik pada kedua jenis tanah ini sangat banyak, hal
ini berkaitan dengan rendahnya total populasi mikroorganisme pada jenis tanah
sehingga dalam kondisi seperti pelepasan CO2 ke atmosfer rendah yang
mengakibatkan aktivitas mikrob menjadi rendah (Najiyati et al. 2005 dalam Ria et
al. 2011).
V PENUTUP

5.1 Simpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa, proses
pelepasan CO2 sangat tergantung pada sifat fisik dan kimia tanah yang diteliti.
Setiap tanah memiliki kadar respirasi tanah yang berbeda. Suhu dan kadar air tanah
dapat mempengaruhi kecepatan produksi CO2. Kadar CO2 yang diukur merupakan
hasil dari respirasi mikroorganisme tanah dan produksi CO2 abiotik. Nilai respirasi
tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti vegetasi, populasi mikroorganisme,
suhu, kelembaban, serta pH. Nilai respirasi tanah menunjukan banyaknya gas CO2
yang dikeluarkan dari aktivitas organisme tanah. Berdasarkan data yang telah
diperoleh dari hasil praktikum, tanah sampah memiliki nilai respirasi tanah tertinggi
sedangkan repirasi terendah terdapat jenis tanah rumput karena data yang diperoleh
menunjukan angka negatif.

5.2 Saran
Saran untuk praktikum ini semoga kita dapat memahami atau mengerti
mengenai pengetahuan mendalam mengenai biologi tanah. Sehingga kita
mendapatkan pengetahuan yang luas. Harapan saya dapat terjun langsung untuk
melakukan praktikum di laboratorium. Namun, jika tidak memungkinkan dapat
melaksanakannya secara offline melalui video tutorial yang disampaikan oleh
kakak asisten praktikum untuk menunjang perkuliahan serta mewakili informasi
yang seharusnya didapatkan saat praktikum langsung. Jika melakukan praktikum
secara langsung yaitu dalam melakukan prosedur praktikum alangkah baiknya
untuk mempertimbangkan hal-hal kecil yang mungkin akan menimbulkan
ketidakpastian dan ketidakakuratan seperti dalam memperhatikan perubahan warna
dalam melakukan titrasi agar tidak salah dalam menentukan titik akhir titrasi.
Penyimpanan dalam toples selama masa inkubasi juga harus benar dan ditutup
dengan rapat. Supaya mendapatkan hasil dan data yang akurat, maka diperlukan
ketelitian dalam praktikum dan harus steril sehingga tidak terkontaminasi alat dan
bahan yang akan digunakan. Jika dilakukan kuliah online seperti ini, maka
dibutuhkan fokus dalam praktikum yang disampaikan oleh kaka asisten praktikum,
sehingga dapat dengan mudah untuk dipahami dan mempermudah dalam
pembuatan laporan praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Anas I. 2011. Biologi Tanah dalam Praktek. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Anugrah R, Dewi MA, Subekti A. 2016. Analisis kandungan fenolftalein pada
jamu pelangsing. KARTIKA : Jurnal Ilmiah Farmasi [diunduh 2021.09.29];
4(1): 5-9. DOI: http://dx.doi.org/10.26874/kjif.v4i1.50
Anwar F, Djunaedi A, Santosa GW. 2013. Pengaruh konsentrasi KOH yang
berbeda terhadap kualitas alginate rumput laut coklat Sargassum
duplicatum J. G. Argardh. Journal of Marine Research [diunduh
2021.10.10]; 2(1): 7-14. DOI: https://doi.org/10.14710/jmr.v2i1.2049
Damayani E, Utomo M, Niswati A dan Buchari H. 2020. Pengaruh system olah
tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang terhadap respirasi tanah di
lahan politeknik negeri Lampung. Jurnal Agrotek Tropika. 8(2): 247-261.
DOI: http://dx.doi.org/10.23960/jat.v8i2.3898
Fahmi KM. 2016. Pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi herbisida terhadap
respirasi tanah pada pertanaman ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.)
[skripsi]. Bandar Lampung (ID): Universitas Lampung.
Harjanti RS. 2018. Pemungutan kurkumin dari kunyit (Curcuma domestica val.)
dan pemakaiannya sebagai indikator analisis volumetri. Jurnal Rekayasa
Proses [diunduh 2021.09.29]; 2(2): 49-54. DOI:
https://doi.org/10.22146/jrekpros.557
Hendri J. 2014. Fluks CO2 dari penggunaan lahan hutan, dan hortikultura pada
Andisol Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Jauhiainen J, Hooijer A, Page SE. 2012. Carbon dioxide emissions from an
Acacia plantation on peatland Sumatra, Indonesia. Biogeosciences
[diunduh 2021.10.15]; 9: 617-630.
Lukmansyah A, Niswati A, Buchari H dan Salam AK. 2020. Pengaruh asam humat
dan pemupukan p terhadap respirasi tanah pada pertanaman jagung di tanah
ultisols. Jurnal Agrotek Tropika [diunduh 2021.10.01]; 8(3): 527-535. DOI:
http://dx.doi.org/10.23960/jat.v8i3.4529
Maysaroh. 2011. Hubungan kualitas bahan organik tanah dan laju respirasi tanah di
beberapa lahan budidaya [skripsi] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Mehra M, Sharma TR. 2012. Photocatalytic Degradation of Two Commercial Dyes
in Aqueous Phase Using Environmental Bioremediation and
Biodegradation 1(2): 54-59. DOI: 10.1007/s11671-009-9300-3
Nasution NAP, Yusnaini S, Niswati A, Dermiyanti. 2015. Respirasi tanah pada
sebagian lokasi di hutan taman nasional bukit barisan selatan (TNBBS).
Jurnal Agrotek Tropika [diunduh 2021.10.04]; 3(3): 427-433. DOI:
10.23960/jat.v3i3.1983
Niken A, Putri R, Niswati A, Yusnaini S, Buchari H. 2017. Pengaruh sistem olah
tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap respirasi tanah pada pertanaman
tebu (Saccharum officinarum L.) ratoon ke-1 periode 2 di PT Gunung Madu
Plantations. Jurnal Agrotek Tropika [diunduh 2021.09.30]; 5(2): 109-112.
DOI: http://dx.doi.org/10.23960/jat.v5i2.1835
Ria NA, Delita Z, Bernadeta LF. 2011. Laju respirasi tanah dan aktivitas
dehidrogenase di Kawasan lahan gambut cagar biosfer Giam Siak Kecil
Bukit Batu. Jurnal Universitas Riau [diunduh 2021.10.13]; 1-12.
Setyawan D, Glikes R, Tongway D. 2011. Nutrient cycling index in relation to
organic matter and soil respiration of rehabilitated mine sites in Kelian,
East Kalimantan. Jurnal Tropical Soil [diunduh 2021.10.09]; 11(3): 209
-214. DOI: http://dx.doi.org/10.5400/jts.2011.v16i3.219-223
Sitorus LE, Sembiring E. 2012. Pengaruh aplikasi kompos terhadap emisi CO2 dan
karbon organik tanah. Jurnal Teknik Lingkungan. 18(2): 124-134. DOI:
https://doi.org/10.5614/jtl.2012.8.2.3
Susilawati, Mustoyo, Budhisurya E, Anggono RCW, Simanjuntak BH. 2013.
Analisis kesubutan tanah dengan indikator mikroorganisme tanah pada
berbagai sistem penggunaan lahan di Plateu Dieng. Jurnal Ilmu Pertanian
(AGRIC) [diunduh 2021.10.11]; 25(2) :64-75.
Utomo M. 2012. Tanpa olah tanah. Teknologi pengelolaan pertanian lahan kering.
Lampung (ID): Lembaga Penelitian Universitas Lampung.
Wicaksono T, Sagiman S, Umran I. 2015. Kajian aktivitas mikroorganisme tanah
pada beberapa cara penggunaan lahan di Desa Pal IX Kecamatan Sungai
Kakap Kabupaten Kuburaya. Pontianak (ID): Universitas Tanjung Pura.
LAMPIRAN

Jenis Indikator Titrasi Volume Volume Jumlah Respirasi R Massa Massa


Tanah awal akhir HCl Tanah CO2 C/CO2
(mg CO2-C/hari)

Blanko PP 1 0,5 6,3 5,8 0 0 0 0

MO 2 6,3 9,4 3,1

Kebun PP 1 9,4 11,8 2,4 637,71 53,143 2338,29 637,71

MO 2 11,8 18 6,2

Rumput PP 1 0 0,2 0,2 -493,71 -41,143 -1810,29 -493,71

MO 2 0,2 0,9 0,7

Sampah PP 1 0,9 2,5 1,6 781,71 65,143 2866,29 781,71

MO 2 2,5 9,4 6,9


Contoh Perhitungan : Keterangan :
Tanah kebun a = ml HCl sampel (titrasi MO)
(𝑎−𝑏)×𝑁×120 b = ml HCl control (titrasi MO)
R = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑖𝑛𝑘𝑢𝑏𝑎𝑠𝑖
N = Normalitas HCl

(6,2−3,1)×1×120
R= 7 ℎ𝑎𝑟𝑖

3,1×1×120
R= 7 ℎ𝑎𝑟𝑖

R = 53,143 ml CO2

Massa CO2 = 53,143 × Mr CO2


= 53,143 × 44 mg
= 2338,29 mg

𝐶 12
Massa 𝐶𝑂 = 44 × Massa CO2
2

12
= 44 × 2338,29

= 637,71 CO2-C

Tanah rumput
(𝑎−𝑏)×𝑁×120
R = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑖𝑛𝑘𝑢𝑏𝑎𝑠𝑖

(0,7−3,1)×1×120
R=
7 ℎ𝑎𝑟𝑖

−2,4×1×120
R= 7 ℎ𝑎𝑟𝑖

R = -41,143 ml CO2

Massa CO2 = -41,143 × Mr CO2


= -41,143 × 44 mg
= -1810,29 mg
𝐶 12
Massa 𝐶𝑂 = 44 × Massa CO2
2

12
= 44 × -1810,29

= -493,71 mg CO2-C

Tanah sampah
(𝑎−𝑏)×𝑁×120
R = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑖𝑛𝑘𝑢𝑏𝑎𝑠𝑖

(6,9−3,1)×1×120
R= 7 ℎ𝑎𝑟𝑖

3,8×1×120
R= 7 ℎ𝑎𝑟𝑖

R = 65,143 ml CO2

Massa CO2 = 65,143 × Mr CO2


= 65,143 × 44 mg
= 2866,29 mg

𝐶 12
Massa 𝐶𝑂 = 44 × Massa CO2
2

12
= 44 × 2866,29

= 781,71 CO2-C

Anda mungkin juga menyukai