Anda di halaman 1dari 9

Tugas Praktikum Best Hari, tanggal : Jumat, 17 Februari 2023

Management Practice of Dosen :


Tropical Land (MSL1406) 1. Dr.Ir. Heru Bagus Pulunggono M.Agr.Sc.
2. Prof. Dr. Ir. Widiatmaka M.Sc.
3. Dr. Ir. Enni Dwi Wahjunie M.Si.
4. Dr. Ir. Iskandar
5. Ir. Fahrizal Hazra M.Sc

RESUME VIDEO

SHAFA SALSABILA LESMANA


A1401201024

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2023
RESUME VIDEO 1 : ORASI ILMIAH GURU BESAR IPB

“Evaluasi Lahan untuk Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan di


Indonesia”

Prof. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA


Guru Besar Tetap Fakultas Pertanian

Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 1960-2016 masih


tergolong tinggi berdasarkan data dari World Bank rata-rata pertumbuhan penduduk
yaitu sebesar 1,97 % per tahun dengan rata-rata pertumbuhan dunia selama 15 tahun
sebesar 1,34 % per tahun. Peningkatan jumlah penduduk ini akan berimplikasi
terhadap peningkatan kebutuhan lahan di berbagai sektor seperti pertanian,
permukiman dan industri. Dengan demikian, diperlukan evaluasi lahan sebagai
penilaian sumberdaya lahan untuk tujuan tertentu menggunakan pendekatan dan cara
teruji (FAO 1976).
Secara spasial, lahan merujuk pada tanah dan aspek lingkungan. Tanah
berbentuk lapisan-lapisan diatas batuan terkonsolidasi sebagai akibat interaksi dari
bahan induk, iklim, umur, organisme dan topografi pada periode waktu tertentu.
Tanah terbentuk karena adanya 5 faktor pembentuk tanah yang bekerja secara
stimulan. Pembentukan dan perkembangan tanah membutuhkan waktu sehingga
menghasilkan jenis-jenis tanah dengan karakteristik yang berbeda sesuai dengan
kondisi faktor-faktor pembentuknya. Perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan
akan membuat keberimbangan baik dari sisi fisik, sosial maupun ekonomi.
Terdapat 14 konsep metodologi evaluasi lahan dan yang terbanyak digunakan
di Indonesia adalah limiting factor berbasis framework dan kemampuan lahan.
Tahapan perkembangan survei tanah dan evaluasi lahan yang dimulai pada 1905
dengan menerapkan sistem PPT. Pada tahun 1950 sistem yang dikembangkan adalah
land capability (Hockensmith), perkembangan evaluasi lahan semi kuantitatif pada
tahun 1964, land capability appraisal system pada 1973, dilanjutkan dengan kriteria
kesesuaian lahan daerah pasang surut pada 1975-1979. Sistem perkembangan
evaluasi lahan atlas format procedures diterapkan pada 1983, survei dan pemetaan
tanah semi-detil P3Mt pada tahun 1979-1984 dan RepPProT pada 1984-1989. Pada
tahun 1993-1997 sistem perkembangan survei tanah yang berkembang adalah LREP
& LREP II dan BBSDLP yang diterapkan pada 2016 hingga saat ini.
Tak dapat dipungkiri bahwa persoalan penggunaan lahan di Indonesia masih
sering terjadi. Neraca perdagangan pertanian Indonesia cenderung menurun sejak
2014. Hal ini dikarenakan impor yang naik, sementara nilai ekspor turun.
Peningkatan impor produk pertanian mengalami defisit (neraca defisit) kecuali
perkebunan. Secara umum, produktifitas sawah di pulau Jawa masih lebih tinggi
dibanding luar jawa. Menurut Badan Pusat Statistik (2016), hasil produksi padi di
tahun 2015 di luar Pulau Jawa mencapai 48,3% dan di Pulau Jawa sebesar 51,7%.
Produksi jagung di tahun 2015 luar Pulau Jawa mencapai 45,9% dan di Pulau Jawa
sebesar 54,1% serta produksi kedelai di tahun 2015 luar Pulau Jawa sebesar 37,7%
dan di Pulau Jawa 62,3%. Selain itu, persoalan penggunaan lahan yang banyak
dijumpai adalah konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian. Adanya
kecenderungan meluasnya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian saat ini, telah
menyebabkan susutnya lahan pertanian secara progresif.
Evaluasi lahan untuk perencanaan penggunaan lahan dilakukan dengan
pemilihan lahan yang paling sesuai sehingga dapat memprioritaskan komoditas yang
digunakan sehingga dapat merencanakan penggunaan lahan yang sesuai dengan
rencana tata ruang. Kriteria kesesuaian lahan dibagi menjadi 8 kriteria dengan
mempertimbangkan bagian-bagian penting didalamnya. Kriteria kesesuaian lahan
penting karena paling relevan dengan produksi. Perencanaan penggunaan lahan
permanen mempertimbangkan beberapa karakteristik lahan yaitu drainase, tekstur,
kedalaman tanah, konsistensi, curah hujan dan suhu rata-rata tahunan. Evaluasi lahan
berbasis pengambilan keputusan kriteria jamak (multicriteria decision making) pada
kemampuan lahan, topografi, iklim, dan sosial ekonomi akan memprioritaskan AHP,
ANP dan statistik sehingga menghasilkan output berupa kesesuaian lahan. Kelebihan
dari metode ini adalah terintegrasi parameter biofisik, sosial dan ekonomi, tidak
dibatasi oleh adanya kriteria serta penggunaannya yang lebih luas untuk berbagai
sektor.
Daya dukung lingkungan menggambarkan kemampuan lingkungan hidup
untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain dan keseimbangan
antar keduanya. Evaluasi lahan untuk analisis daya dukung lingkungan (DDL)
menjadi pendekatan sisi kemampuan lahan, dengan penggunaan lahan saat ini dan
alokasi dalam pola ruang yang menggambarkan kemampuan lahan sehingga daya
dukung lahan terlampaui. Kesesuaian lahan di Kabupaten Bogor tanpa pertimbangan
ketersediaan lahan, didominasi oleh lahan S2 (moderately suitable) dan S3
(marginally suitable). Sedangkan dengan mempertimbangan status kawasan hutan,
pola ruang dan penggunaan lahan hampir semua lahannnya adalah N (not suitable
and not available) hanya sebagian kecil lahan yang merupakan S3 (marginally
suitable).
Evaluasi lahan untuk analisis daya dukung lingkungan (DDL) dinilai juga dari
keselarasannya. Keselarasan antara kemampuan lahan dengan penggunaan lahan
aktual dibagi menjadi 4 bagian yaitu, selaras, selaras bersyarat, tidak selaras dan tidak
dinilai, dengan didominasi dengan selaras bersyarat, serta keselarasan antara
kemampuan lahan dengan alokasi lahan dalam pola ruang pada RTRWK didominasi
dengan selaras. Kesesuaian lahan menjadi arahan dalam model spasial perubahan
penggunaan lahan di masa depan. Integrasi evaluasi lahan dalam dinamika sistem
seperti causal loop pada sistem produksi padi yang mengintegrasikan kesesuaian
lahan. Prediksi produksi padi dengan beberapa skenario mempertahankan sawah yang
sangat sesuai di Kabupaten Subang, dimana terdapat 3 bagian utama yaitu business
as usual, 50% lahan sangat sesuai dipertahankan dan 75% lahan sangat sesuai
dipertahankan.
Kesesuaian lahan sebagai parameter keberlanjutan penggunaan lahan untuk
prmbangunan berkelanjutan. Pembangunan ini dapat memenuhi kebutuhan tanpa
mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Perspektif dan implikasi kebijakan yang memuat sistem evaluasi lahan masih berbasis
kriteria perlu dilakukan validasi sehingga tepat sasaran yang mampu berkorelasi
tinggi antara kualitas lahan dengan produksi yang dihasilkan nantinya. Pembangunan
kriteria ini memerlukan dana dan sumberdaya yang besar karena bersifat multi-lokasi
dalam rentang kesesuaian yang luas.
Aspek kepemilikan dan penguasaan lahan di Indonesia yang masih berstatus
legal mengalami tumpang tindih. Hal ini dapat mengakibatkan, sukarnya pelaksanaan
kebijakan program teknis terkait pemanfaatan lahan sulit diterapkan, sebagian lahan
menjadi idle atau abandon land, munculnya konflik dan penyerobotan lahan serta
sulitnya implementasi hasil-hasil eveluasi lahan. Perspektif dan implikasi kebijakan
ini diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang LP2B yang belum optimal.
RESUME VIDEO 2 : KAMPUNG HORTIKULTURA

“Horticulture Development in Dryland Areas Project”


Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian

Kampung Hortikultura merupakan sebuah program prioritas yang diharapkan


dapat menjadi solusi dalam meningkatkan produksi dan pemenuhan pangan,
sekaligus menjadi legacy Direktorat Jenderal Hortikultura untuk pertanian Indonesia.
Tujuan dikembangkannya kawasan Kampung Hortikultura adalah agar Indonesia
memiliki daerah terkonsentrasi yang menjadi sumber budidaya hortikultura, sehingga
mampu menghasilkan produk segar dan olahan berdaya saing serta memudahkan
akses pemasarannya. Hasil kerjasama antara LPPM yang dikepalai oleh Prof.
Andreas dengan Direktorat Jenderal Hortikultura dengan ketua tim Prof. Widiatmaka
menghasilkan project yang dilatarbelakangi oleh pelaksanaan survei investigasi
desain (SID) yang mengutamakan aspek tanah yang disesuaikan dengan kemampuan
dan kesesuaian lahannya serta perlu dilakukan analisis dengan kecocokan dengan
masyarakat sekitar. Project ini dilaksanakan sekitar 3-4 bulan untuk mengembangkan
sentra hortikultura di Indonesia.
Project ini didesain utamanya untuk tanaman hortikultura seperti tanaman
penghasil buah, tanaman sayur, dan tanaman obat-obatan yang telah dikembangkan di
13 Kabupaten dengan 7 provinsi yang terdiri atas Karo, Dairi, Pakpak Bharat,
Sumedang, Batang, Wonosobo, Gresik, Lumajang, Sumenep, Buleleng, Ende,
Enrekang dan Gowa. Project ini juga mementingkan upaya dalam menciptakan suatu
Kawasan hortikultura yang dapat menjadi sentra pertanian hortikultura dalam
memasuk kebutuhan di Indonesia. Kementrian Pertanian Tanaman Hortikultura
mendukung berjalannya project ini karena akan mendorong produksi kebutuhan
bangan nasional serta pemenuhan rekomendasi konsumsi penduduk. Konsumsi akan
sayur dan buah yang disampaikan WHO bahwa manusia minimal mengonsumsi
minimum sebanyak 400 gram/hari.
Project ini bertujuan mengidentifikasi potensi dari ketersediaan air di 13
lokasi, mengidentifikasi dan karakterisasi lahan berdasarkan sifat fisik, kimia, dan
biologinya, merancang infrastruktur serta menyusun teknik pengelolaan. Output dari
project ini adalah data informasi mengenai 13 lokasi ketersediaan air, topografi,
sumbedaya lahan, infrastruktur, jenis tanah, dan lain-lain. Pelaksanaan project ini
dimulai dengan memverifikasi calon petani dan calon lokasi dalam serangkaian acara
pada Focus Group Disccussion (FGD). Tahapan selanjutnya adalah dilakukannya
persiapan data-data spasial yang berguna dalam menunjang pelaksaan project.
Kemudian dilanjutkan dengan tahapan survei yang meliputi :
1) plotting CPCL dengan mendeliniasi daerah hortikultur,
2) identifikasi potensi air permukaan untuk rencana irigasi
3) identifikasi dan karakteristik lahan dengan cara bor atau pembuatan profil
kemudian analisis ke laboraturium
4) survei foto udara
5) survei topografi untuk merancang hidrologi dan lainnya
6) analisis dan desain untuk menentukan desain sumberdaya air permukaan,
air tanah, dan lainnya.
Hasil akhir dari projek ini berupa desain kampung berbasis smart farming
yang memiliki kesesuaian lahan berdasarkan data-data pendukung.
RESUME VIDEO 3 : EKSPEDISI KPM PULAU RUPAT

Pulau Rupat merupakan salah satu pulau terluar yang terdapat di Kabupaten
Bengkalis Provinsi Riau yang berbatasan langsung dengan Negara Malaysia. Secara
administratif, Pulau Rupat berbatasan di sebelah utara dengan Selat Malaka, sebelah
selatan berbatasan dengan Kota Dumai, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Rokan Hilir dan Kota Dumai serta sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan
Bengkalis. Pulau Rupat berada di sebelah timur Pulau Sumatera dengan luasnya
mencapai sekitar 1.500 km2. Pulau Rupat terdiri dari 2 kecamatan yaitu Kecamatan
Rupat dan Kecamatan Rupat Utara. Kecamatan Rupat meliputi 10 desa/kelurahan dan
Kecamatan Rupat Utara meliputi 5 desa/kelurahan. Kabupaten Bengkalis mempunyai
letak yang sangat strategis, karena dilalui oleh jalur perkapalan internasional menuju
ke Selat Malaka. Bengkalis juga termasuk dalam salah satu program Indonesia
Malaysia Singapore Growth Triangle (IMS-GT) dan Indonesia Malaysia Thailand
Growth Triangle (IMT-GT).
Secara kajian, kawasan Pulau Rupat dibagi menjadi dua kawasan utama yaitu
kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kecamatan Rupat Selatan sebagian besar
direncanakan untuk menjadi kawasan lindung (forest protected area), sedangkan
Kecamatan Rupat Utara dialokasikan untuk kawasan pengembangan pariwisata,
karena sumberdaya alam yang dimiliki dan kedekatan dengan negara-negara
tetangga. Objek wisata andalan di Pulau ini yaitu pantai, selain menawarkan
keindahan yang sangat menakjubkan, pantai ini juga tidak kalah indah dari pantai-
pantai yang ada di Indonesia pada umumnya. Visi eksplorasi pulau ini adalah menjadi
pusat produksi perkebunan dan perikanan yang terpadu dengan pengembangan
wisata, menjadi pusat dan penghubung jaringan jalur ekonomi Dumai-Rupat-
Bengkalis dan jalur Dumai- Rupat-Malaka, menjadi salah satu mata rantai uatama
dalur “Kerabat Melayu” Padang-Pekan Baru- Dumai-Rupat-Malaka disilang jalur
pelayaran Selat Malaka.
Tujuan dari ekspedisi di Pulau Rupat adalah untuk mempelajari dan mencari
kemungkinan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang terdapat pada
pulau tersebut. Pulau Rupat berlokasi di Selat Malaka dan merupakan pantai
kebangaan dari 3 daerah di Pulau Rupat, yaitu Tanjung Medang, Tanjung Rhu,dan
Tanjung Punak. Tempat ini dapat dicapai dengan boat kecil yang dikenal dengan
nama ‘pompong’ dari Dumai. Perjalanan akan memakan waktu selama 15 menit
dengan boat dan 45 menit dengan kendaraan beroda dua. Jalur yang dilalui oleh boat
nasional dan pengunjung internasional karena keindahan pantai Rupat dan
pemandangan laut yang nyaman. Di pulau Rupat juga dapat ditemukan komunitas
suku terbelakang yang disebut dengan suku Akit yang melakukan berbagai atraksi
untuk menghibur pengunjung.
Total jumlah penduduk Pulau Rupat ± sebanyak 42.077 jiwa. Jumlah
penduduk pria dan wanita yang relatif seimbang di seluruh Pulau Rupat. Wilayah
KTM Pulau Rupat berbentuk dataran rendah dengan ketinggian maksimum sebesar
25 meter di atas permukaan laut. Pulau Rupat memiliki topografi yang datar dengan
kelas kemiringan lereng yang dominan adalah kelas 0-3%. Kondisi iklim di pulau ini
dipengaruhi oleh angin muson dengan sumberdaya fisik dari pulau ini yaitu marginal.
Pulau ini sangatlah menjaga kelestariannya yang dibuktikan dengan keragaman dari
ekosistem yang masih terjaga. Pulau Rupat mempunyai beberapa tipologi ekosistem,
di antaranya semak belukar, habitat hutan mangrove, dan habitat hutan sekunder.
Ekosistem semak belukar dan habitat hutan sekunder hampir dapat dijumpai di
seluruh wilayah pulau, sedangkan habitat hutan mangrove dijumpai di sepanjang
pesisir pulau. Ekosistem ini memiliki keterkaitan yang erat dengan vegetasi yang
tumbuh dan satwa yang dapat hidup di habitat tersebut. Sehingga pulau ini sangat
berpotensi dalam berbagai bidang, kekayaan, dan letaknya yang sangat strategis
sehingga diperlukan rancangan wilayah.
Pada umumnya, struktur komunitas masyarakat di Pulau Rupat masih
mempertimbangkan status sosial. Adat istiadat yang dianut penduduk setempat pada
umumnya adalah budaya Melayu dengan mata pencaharian sebagian besar penduduk
(70%) bekerja di bidang perikanan laut baik sebagai nelayan maupun buruh nelayan.
Selain itu, beberapa penduduk bermata pencaharian sebagai petani (kebun karet),
buruh tani, wirausaha dan sebagainya. Secara umum, perekonomian Pulau Rupat
mengalami defisit dalam hubungan perdagangan dengan luar daerah. Kebutuhan
rumah tangga, barang-barang hasil olahan pabrik dan produksi industri sepenuhnya
datang dari luar seperti Bengkalis atau Dumai maupun Malaka.
Di Pulau Rupat terdapat sarana pendidikan sampai jenjang SLTA. Jenjang
pendidikan Sekolah Dasar (SD) dikelola, baik oleh pemerintah maupun swasta.
Sementara itu, jenjang pendidikan yang lebih tinggi hanya disediakan oleh
pemerintah. Keadaan ini menggambarkan rendahnya tingkat partisipasi penduduk di
kedua kecamatan yang ada di Pulau Rupat akan pendidikan. Jenis sarana ibadah yang
terdapat di Pulau Rupat cukup beragam, yang menggambarkan keragaman agama
yang dianut oleh penduduk. Pada umumnya sumber air bersih yang digunakan oleh
masyarakat di Pulau Rupat adalah air hujan dan air tanah. Infrastruktur penampungan
air hujan biasanya dimiliki langsung oleh penduduk, sedangkan sarana yang
disediakan oleh pemerintah baru beberapa unit dan belum dapat memenuhi semua
kebutuhan masyarakat Pulau Rupat.
Master plan dalam upaya pembangunan kota terpadu mandiri disusun dengan
berkolaborasi oleh lembaga penelitian dan pemberdayaan masyarakat. Penyusunan ini
dilakukan oleh tim yang bekerja dilapang, Focus Group Disccussion (FGD),
presentasi dan kegiatan lainnya dengan stakeholder yang terkait dengan penggunaan
Pulau Rupat. Pada tahap pertama dilakukan peninjauan dari berbagai aspek
sumberdaya dan selanjutnya dilakukan analisis perencanaan dan pengembangan
wilayah. Rancangan wilayah dilakukan untuk menunjang pengembangan dan
pembangunan pulau yang akan dilaksanakan selama 3 periode. Ketiga periode ini
akan dilaksanakan dalam jangka waktu selama 5 tahun. Periode pertama
memfokuskan rencana konsolidasi dan investasi. Pada periode kedua, akan
dilaksanakan pembentukkan keseimbangan pusat-pusat produksi serta pada periode
ketiga, yaitu 5 tahun berikutnya merupakan tahapan didapatkannya keseimbangan
yang mencapai keefektifan dan keefisienan.
Rancangan wilayah yang direncanakan merupakan pengembangan pariwisata
yang dikembangkan pada daerah utara, pengembangan pertanian dan perikanan di
timur dan pengembangan transportasi pada daerah selatan. Namun lain halnya dengan
daerah tengah yang tetap dibiarkan sebagai cara untuk mempertahankan
keseimbangan ekosistem yaitu lahan gambut. Pembangunan KTM Pulau Rupat
merupakan program pembangunan multi sektor yang harus didukung oleh sektor-
sektor terkait lainnya, seperti masyarakat dan investor. Pembangunan KTM Pulau
Rupat harus terintegrasi dengan pembangunan daerah secara keseluruhan.
Pelaksanaannya perlu dilakukan pembagian peran antar sektor dan antar pemangku
kepentingan (stakeholder).

Anda mungkin juga menyukai