Anda di halaman 1dari 17

Metode Penelitian Geografi I

Evaluasi Kesesuaian Lahan Perekebunan Kopi Arabica (Arabicca Coffee) di Kabupaten


Wonosobo

Dosen Pengampu : Prof. Dewi Liesnoor Setyowati M. Si

Di Susun Oleh :

Nama : Elsa Nur Aida

NIM : 3211421026

Prodi : Geografi

PROGRAM STUDI GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

SEMARANG

2023
Kata Pengantar

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang tiada pernah berhenti mencurahkan Rahmat dan
kasih sayang-Nya kepada semesta alam. Dengan kemudahan dan pertolongan Tuhan Yang Maha
Esa, akhirnya penulis dapat menyelesaikan Proposal yang berjudul “Evaluasi Kesesuaian Lahan
Perekebunan Kopi Arabica (Arabicca Coffee) di Kabupaten Wonosobo”.

Dalam pemyusunan proposal ini, penulis menyadari akan keterbatasan, kemampuan, dan
pengetahuan penulis dalam penyusunannya. Namun kesulitan tersebut dapat dibantu oleh
beberapa pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah memberikan bantuan berupa tenaga dan pikiran.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyusunan proposal ini masih banyak
terdapat kekurangan, walaupun penulis telah berusaha dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna penyempurnaan
penyusunan dan penulisan skripsi ini. Penulis berharap agar proposal ini bermanfaat dan dapat
memperluas serta menambah pengetahuan bagi kita semua.

Semarang, 18 Mei 2023

Penulis
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Kopi (Coffea) merupakan salah satu hasil komoditi perkebunan yang memiliki nilai
ekonomis yang cukup tinggi di antara tanaman perkebunan lainnya dan berperan penting
sebagai sumber devisa Negara. Secara hydrologis dan geologis Wonosobo memiliki potensi
sumber daya alam yang sangat besar dan beragam, salah satunya untuk pengembangan kopi
arabika. sehingga mendorong kami untuk melakukan penelitian tentang evaluasi lahan pada
tanaman kopi arabika.
Masyarakat Desa Bowonso, Wonosobo sudah membudidayakan tanaman kopi, namun
minimnya pengetahuan sehingga tanaman kopi tidak dirawat secara optimal. Dengan
minimnya pengetahuan maka kami ingin melakukan percontohan melalui budidaya tanaman
kopi yang baik dan benar serta dapat menghasilkan produksi yang bernilai ekonomis yang
tinggi. Sebelum melakukan budidaya di lahan tersebut maka harus dilakukan evaluasi lahan
untuk menilai apakah lahan tersebut cocok untuk dilakukan budidaya tanaman kopi arabika.
Kopi arabika (Coffea arabica) tumbuh baik di daerah dengan ketinggian 700 – 1.700 m diatas
permukaan laut, suhu 16 – 20o c, beriklim kering selama 3 bulan setiap tahun berturut-turut.
Sebelum melakukan pengembangan atau perluasan areal kopi arabika perlu terlebih
dahulu dilakukan survei untuk mengetahui tingkat kelayakan teknis dan kelayakan usaha atau
ekonomi. Kesesuaian lahan, mencakup kesesuaian iklim dan tanah. Kesesuaian iklim dapat
diidentifikasi dari ketinggian tempat diatas permukaan laut secara umum menentukan unsur
iklim terutama suhu. Sedangkan kesesuaian tanah dapat diidentifikasi dari kemiringan lereng,
karena lereng berkaitan dengan tindakan pengelolaan dan konservasi, kesuburan tanah dan
jarak tanam.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat kesesuaian lahan di Wonosobo untuk komoditas tanaman kopi
arabica?
2. Apa factor penghambat komoditas perkebunan kopi arabica di Kabupaten Wonosobo?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian evaluasi kesesuaian lahan tanaman kopi
memiliki tujuan:
a. Untuk menetapkan tingkat kesesuaian lahan terhadap tanaman kopi arabica
b. Untuk menganalisis factor penghambat komoditas perkebunan kopi arabica

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian evaluasi kesesuaian lahan tanaman kopi arabica yaitu :
a. Menambah kekhasan keilmuan kepada pembaca, sehingga dapat di jadikan refrensi bagi
peneliti sejenis.
b. Sebagai sumber informasi sebagai upaya pemikiran dan pertimbangan dalam
merencanakan penggunaan lahan yang sesuai untuk pertanian tanaman apel di daerah
penelitian
BAB II

Kajian Pustaka

2.1 Kesesuaian Lahan


Lahan merupakan bagian dari bentang darat (land scape) yang mencakup
lingkungan fisik seperti iklim, topografi, vegetasi alami yang semuanya secara potensial
akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (Puslittanak, 1993). Satu jenis penggunaan
lahan akan berkaitan dengan penggunaan lainnya. Pola kaitan antara satu dengan yang
lainnya bergantung dari keadaan fisik, sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat
(Sitorus, 1985).
Evaluasi kesesuaian lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tata guna
tanah. Inti evaluasi kesesuian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta
oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas lahan
yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini, maka akan diketahui
potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk jenis penggunaan lahan
tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001), sedangkan menurut Anifliddin et al
(2006), evaluasi lahan adalah proses dalam menduga potensi lahan untuk penggunaan
tertentu baik untuk pertanian maupun non pertanian. Kesesuaian lahan adalah kecocokan
suatu lahan untuk penggunaan tertentu, sebagai contoh lahan sesuai untuk irigasi, tambak,
pertanian tanaman tahunan atau pertanian tanaman semusim.
Klasifikasi kesesuaian lahan atau kemampuan lahan adalah pengelompokan lahan
berdasarkan kesesuaiannya atau kemampuannya untuk tujuan penggunaan tertentu.
Pengelompokan ini biasanya dilakukan oleh ilmuwan tanah dengan menggunakan satuan
peta tanah (SPT), atau sering juga disebut satuan peta lahan (SPL) dari hasil survei tanah
sebagai satuan evaluasi dan sebagai dasar untuk menentukan batas-batas penyebarannya
(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001).
Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensinya akan mengakibatkan
produktivitas menurun, degradasi kualitas lahan dan tidak berkelanjutan. Guna
menghindari hal tersebut, maka diperlukan adanya evaluasi lahan untuk mendukung
perencanaan pembangunan pertanian yang berkelanjutan (Rossiter, 1994).
Setiap cara penggunaan lahan mempunyai pengaruh terhadap kerusakan tanah dan
erosi. Demikian juga untuk lahan pertanian ditentukan oleh jenis tanaman, vegetasi, cara
bercocok tanam dan intensitas penggunaan lahan. Agar penggunaan lahan sesuai dengan
keadaan lingkungan dan wilayahnya diperlukan informasi tentang potensi lahan,
kesesuaian penggunaan lahan, tindakan pengelolaan bagi setiap areal lahan. Untuk
memperoleh perencanaan yang menyeluruh sifat dan potensi lahan dapat diperoleh antara
lain melalui kegiatan survei tanah yang diikuti dengan evaluasi kesesuaian lahan (Sitorus,
1985).
Pengevaluasian lahan tidak hanya mencakup kesesuaian lahan untuk tanaman
saja, tapi juga mencakup sistem manajemen pertanian yang meliputi potensi di lapangan,
ekonomi dan keadaan dari petani (Ishak, 2008). Hardjowigeno (1982) menyatakan bahwa
tujuan dari evaluasi lahan adalah untuk menentukan nilai dari suatu lahan untuk tujuan
tertentu.
Evaluasi lahan pada dasamya merupakan proses kerja untuk memprediksi potensi
sumber daya lahan untuk berbagai penggunaan. Adapun kerangka dasar dari evaluasi
sumber daya lahan adalah membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk suatu
penggunaan lahan tertentu dengan sifat sumber daya yang ada pada lahan tersebut.
Sebagai dasar pemikiran yang utama dalam prosedur evaluasi lahan adalah kenyataan
bahwa berbagai penggunaan lahan membutuhkan persyaratan yang berbeda-beda, oleh
karena itu dibutuhkan keterangan dan informasi tentang lahan tersebut menyangkut
berbagai aspek sesuai dengan penggunaan lahan yang diperuntukkan (Wahyuningrum et
al, 2003). Menurut Abdullah (1993), prinsip dasar yang digunakan dalam evaluasi lahan
adalah kesesuaian lahan dinilai dan diklasifikasikan sesuai jenis penggunaannya dimana
tiap penggunaan mempunyai kebutuhan yang berbeda.
Ishak (2008) menjelaskan bahwa kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan
untuk penggunaan tertentu ditinjau dari sifat lingkungan fisiknya, yang terdiri dari iklim,
topografi, hidrologi dan atau drainase yang sesuai untuk suatu usaha tani atau komoditas
tertentu yang produktif Hakim et al (1986) menyatakan bahwa klasifikasi kesesuaian
lahan merupakan proses penilaian dan pengelompokan unit-unit lahan menurut
kesesuaiarmya bagi penggunaan tertentu.
Saat ini di Indonesia telah mengenal dua macam sistem klasifikasi kesesuaian
lahan, yaitu klasifikasi kesesuaian lahan yang dikembangkan oleh USDA Amerika
Serikat dan klasifikasi kesesuaian lahan yang dikemukakan oleh FAO. Klasifikasi
kesesuaian lahan USDA Amerika Serikat mengenal 3 (tiga) kategori yaitu kelas, sub
kelas, dan unit. Penggolongan ini didasarkan atas kemampuan lahan tersebut untuk
memproduksi pertanian secara umum tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka
panjang.
Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat
dibedakan menurut tingkatannya, yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas dan Unit.
Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara global. Ordo ditujukan apakah suatu lahan
sesuai atau tidak sesuai untuk suatu jenis penggunaan lahan tertentu, ada dua ordo yaitu;
Ordo S (sesuai): Merupakan lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak
terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil
pengolahan itu akan memuaskan setelah dihitung dengan masukan yang diberikan tanpa
sedikit resiko kerusakan terhadap sumber daya lahannya. Ordo N (tidak sesuai) : Lahan
yang termasuk ordo ini merupakan lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa,
sehingga penggunaannya untuk suatu tujuan yang telah direncanakan. Digunakan bagi
suatu usaha pertanian karena berbagai penghambat baik secara fisik (lereng sangat curam
dan berbatu-batu) maupun secara ekonomi (keuntungan yang dapat lebih kecil dari pada
biaya yang dikeluarkan) FAO (1976)
Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Berdasarkan tingkat
detail data yang tersedia pada masing-masing skala pemetaan, kelas kesesuaian lahan
dibedakan menjadi: (1) Untuk pemetaan tingkat semi detail (skala 1:25.000-1:50.000)
pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas,
yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan
lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. (2)
Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala 1:100.000-1:250.000) pada tingkat kelas dibedakan
atas Kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N).
a. Kelas sangat sesuai (S1): Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau
nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor
dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata.
b. Kelas cukup sesuai (S2): lahan mempunyai faktor pembatas yang dapat
mempengaruhi produktivitas sehingga perlu penambahan input. Pembatas tersebut
pada umumnya masih dapat diatasi oleh petani.
c. Kelas sesuai marginal (S3): lahan mempunyai faktor pembatas yang berat yang dapat
menurunkan produktivitas, sehingga memerlukan penambahan input yang lebih
banyak dari S2. Untuk mengatasi faktor pembatas S3 perlu modal yang sangat tinggi.
d. Kelas tidak sesuai (N): lahan tidak sesuai (N) karena memiliki faktor pembatas yang
berat/sulit diatasi. b. Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala 1:100.000-1:250.000) Pada
tingkat kelas dibedakan atas kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan tidak sesuai
(N).
Subkelas adalah keadaan tingkat dalam kelas kesesuain lahan. Kelas kesesuain
lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang
menjadi faktor pembatas terberat, missal subkelas S3rc, sesuai marginal dengan pembatas
kondisi perakaran (rc=root condition).
Dalam sub-kelas kesesuaian lahan mencerminkan jenis pembatas atau macam
perbaikan yang diperlukan kelas tersebut. Tiap kelas dapat terdiri satu atau lebih
subkelas, tergantung dari jenis pembatas yang ditujukan dengan simbol huruf kecil yang
ditetapkan setelah simbol misalnya kelas S2 yang mempunyai pembatas efektif (S) dapat
menjadi S2s dalam satu sub-kelas dapat mempunyai satu, dua, atau paling banyak tiga
simbol pembatas, dimana pembatas yang paling dominan ditulis paling depan. Misalnya
dalam sub-kelas S2ts maka pembatas keadaan topografi (t) adalah pembatas paling
dominan dan pembatas kedalaman efektif (s) adalah pembatas kedua atau tambahan
(FAO, 1976).
Kesesuaian lahan pada tingkat unit merupakan pembagian lebih lanjut dari sub-
kelas berdasar atas besarnya faktor pembatas. Semua unit yang berada dalam satu sub-
kelas mempunyai tingkat kesesuaian yang sama dalam kelas dan mempunyai jenis
pembatas yang sama pada tingkat sub-kelas (FAO, 1976).
Untuk keperluan evaluasi lahan sifat-sifat lingkungan fisik suatu wilayah dirinci
ke dalam kualitas lahan (Land quality) dan setiap kualitas lahan dapat terdiri lebih dari
satu karakteristik lahan (Land characteristic) beberapa kualitas lahan umumnya
mempunyai hubungan satu sama lainnya didalam pengertian kualitas lahan. Kualitas
lahan adalah sifat-sifat atau atribut yang komplek dari suatu satuan lahan sedangkan
karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur seperti kedalaman efektif,
kemiringan dan Iain-lain (Sitorus, 1985).
Dalam menyusun kriteria kelas kesesuaian lahan yang dikaitkan dengan kualitas
dan karakteristik lahan maka persyaratan tumbuh tanaman dijadikan dasar untuk
menyusunnya. Kualitas lahan yang optimum bagi kebutuhan tanaman merupakan batasan
bagi kelas kesesuaian yang paling baik (Si). Sedangkan kualitas lahan yang di bawah
optimum merupakan batasan kelas kesesuaian lahan antara kelas yang cukup sesuai (S2)
dan sesuai marginal (S3). Di luar batasan tersebut di atas merupakan lahan-lahan yang
tergolong tidak sesuai (N) (Darmawidjaya, 1990).
Konsep lain dalam klasifikasi penilaian lahan ialah adanya kelas kesesuaian lahan
aktual dan potensial. Kelas kesesuaian lahan aktual ialah kelas kesesuaian lahan kondisi
sekarang (saat penelitian) sedangkan kelas kesesuaian potensial ialah kelas kesesuaian
lahan setelah diadakan tindakan-tindakan perbaikan untuk mengurangi faktor pembatas
yang ada (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001).
Penilaian kesesuaian lahan dilakukan dalam keadaan aktual dan potensial.
Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan yang dihasilkan berdasarkan data yang
ada, belum mempertimbangkan asumsi atau usaha perbaikan dan tingkat pengelolaan
yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala atau faktor pembatas yang terdapat di
lokasi penelitian. Kesesuaian lahan potensial menyatakan keadaan lahan yang akan
dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Usaha-usaha perbaikan tersebut
memperhatikan aspek ekonomisnya, artinya antara modal/investasi dan teknologi yang
diberikan dibandingkan dengan nilai produksi yang akan dihasilkan masih mampu
memberikan keuntungan (Nasrul et al, 2000).

2.2 Sistematika (Taksonomi) Tanaman Kopi Arabica


Tanaman kopi (Coffea arabica) merupakan kelompok tumbuhan berbentuk pohon
dalam marga Coffea. Genus ini memiliki sekitar 100 spesies tanaman tetapi hanya tiga
jenis yang memiliki nilai ekonomis bagi manusia sehingga dibudidayakan oleh
masyarakat, yaitu Robusta, Arabica, dan Liberica. Menurut John (1979) kopi Arabika
memiliki klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Superdivisi : Spermatopyhta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub Kelas : Asteridae

Ordo : Rubiales

Famili : Rubiaceae

Genus : Cofee

Spesies : Coffea arabica L.

Secara habitus, kopi arabika ada dua tipe yaitu kopi berperawakan tinggi dan
berperawakan katai. Kopi arabika berperawakan tinggi seperti Typica dan Abessinia
sedangkan kopi berperawakan katai seperti Kartika 1, Kartika 2 dan Andungsari.
Berdasarkan pupus daun nya kopi arabika terbagi atas dua yaitu yang berwarna hijau dan
berwarna coklat kemerahan. Kopi arabika yang pupus daunnnya berwarna hijau berasal
dari Aceh Tengah atau sering disebut kopi Ateng sedangkan kopi arabika pupus daunnya
berwarna coklat kemerahan disebut dengan kopi Sigarar utang (Tiodor S., 2013).
Buah kopi memiliki dua biji yang posisinya berhadapan satu sama lain disatukan
oleh kulit yang berwarna merah ketika masak, mengandung pulp yang rasanya manis.
Setiap biji tersebut endospermanya diselubungi oleh kulit tanduk (parchment) yang keras
(Rothfos, 1980). Ukuran biji tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi curah hujan saat
pembentukan biji. Pada daerah- daerah yang memiliki tipe curah hujan tinggi ukuran
bijinya lebih besar dibanding daerah- daerah kering.
2.3 Syarat Tumbuh Tanaman Kopi Arabica
a. Iklim
Kopi arabika tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran tinggi tropis.
Pertumbuhan, produktivitas, dan kualitas kopi arabika dipengaruhi oleh ketinggian
tempat, panjang periode gelap dan terang (fotoperiodisme), distribusi hujan, dan suhu
udara (Sihaloho 2009). Tempat yang sesuai bagi pertumbuhan kopi arabika berkisar
antara 1.0001.700 mdpl. Pada lokasi dengan ketinggian 1.700 mdpl produksinya
tidak optimal karena pertumbuhan vegetatif lebih cepat dari generatif.
b. Suhu
Suhu udara yang optimum untuk pertumbuhan kopi arabika berkisar antara
1823°C dengan curah hujan 1.600- 2.000 mm/tahun dengan bulan kering 3-4 bulan
(Sylvain 1955). Beberapa kultivar dengan pengelolaan yang intensif dapat
dikembangkan pada lahan marginal dengan suhu tahunan rata-rata 24 25°C seperti di
bagian utara dan timur laut Brazil. Pada wilayah dengan suhu rata-rata tahunan di
bawah 18°C tidak direkomendasikan pengembangan kopi karena kendala embun
beku yang menyebabkan rendahnya produksi (Damatta dan Ramalho 2006).
c. Tinggi Tempat
Ketinggian area tidak punya pengaruh segera pada perkembangan serta produksi
tanaman kopi, namun faktor temperatur yang punya pengaruh pada perkembangan
tanaman kopi. Biasanya, tinggi rendahnya temperatur ditentukan oleh ketinggian area
dari permukaan laut, temperatur serta elevasi saling terkait. Dengan berbagai macam
kopi yang ada tentu saja tidak sembarangan dalam penanamannya. Tiap-tiap kopi
membutuhkan ketinggian atau elevasi yang berbeda-beda. Seperti kopi arabika dan
robusta, tentu saja ketinggian mempengaruhi penanamannya. Sebab kopi arabika
dapat tumbuh pada ketinggian 800-1500 meter diatas permukaan laut, sedangkan kopi
robusta dapat tumbuh pada ketinggian 400-800 meter diatas permukaan laut.
d. Tanah
Tanaman kopi arabika dapat tumbuh dengan baik pada tanah dengan tekstur geluh
pasiran dan kaya bahan organik, terutama pada daerah dekat permukaan tanah.
e. Sifat Kimia Tanah
Sifat kimia tanah umumnya menghendaki pH agak masam yaitu 5,5-6,5.
Tabel 2.1 Parameter Kesesuaian Lahan Tanaman Kopi Arabica
BAB III

Metode Penelitian

3.1 Lokasi Penelitian


Kabupaten Wonosobo terletak pada 70.11'.20" sampai 70.36'.24" garis Lintang
Selatan (LS), serta 1090.44'.08" sampai 1100.04'.32" garis Bujur Timur (BT), dengan
luas wilayah 98.468 hektar (984,68 km2) atau 3,03% luas Provinsi Jawa Tengah.
Keadaan topografi wilayah Kabupaten Wonosobo secara umum merupakan perbukitan
dan pegunungan dengan sebagian besar, kemiringan lereng antara 15 - 40%. Ditinjau dari
ketinggiannya, Kabupaten Wonosobo terletak pada ketinggian 250 - 2.250 mdpal.
Sedangkan ditinjau dari struktur geologi termasuk dalam jenis pegunungan muda dan
terletak di bebatuan prakwater yang sering mengalami bencana alam terutama pada
musim penghujan seperti tanah longsor (land slide), gerakan tanah runtuh dan gerakan
tanah merayap.
Kondisi klimatologi Kabupaten Wonosobo secara umum di Kabupaten Wonosobo
yaitu beriklim tropis dengan dua musim (penghujan dan kemarau), memiliki curah hujan
pada tahun 2014 berada pada kisaran 1.660 - 4.049 mm/th, dan uhu udara rata-rata harian
14,3 - 26,50 C. Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Wonosobo terdiri dari jenis tanah
Andosol (25%), terdapat di Kecamatan Kejajar, sebagian Garung, Mojotengah,
Watumalang, Kertek dan Kalikajar; tanah Regosol (40%), tedapat di Kecamatan Kertek,
Sapuran, Kalikajar, Selomerto, watumalang dan Garung; dan tanah Podsolik (35%),
terdapat di Kecamatan Selomerto, Leksono dan Sapuran (Buku Promosi Potensi
Investasi, 1997). 

3.2 Sampel dan Populasi


Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan sistem purposive
random sampling yaitu teknik pengambilan sampel secara acak dari suatu wilayah yang
terdapat dalam populasi yang dianggap sama (Suharsimi, 2006 : 134). Subyek dalam
populasi mendapatkan kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel. Pengambilan
sampel memiliki tujuan tertentu, yakni untuk mengetahui tingkat kelas kesesuaian lahan
pada unit lahan yang berbeda yang dijadikan sampel.
Populasi dalam penelitian evaluasi kesesuaian lahan ini adalah di daerah sekitar
Gunung Sumbing dan Sindoro atau lebih tepatnya di dataran tinggi desa Bowongso,
Kecamatan Kalijajar, Kabupaten Wonosobo.

3.3 Variabel Penelitian


Variabel penelitian dalam penelitian ini yaitu variabel yang berhubungan dengan
evaluasi kesesuaian lahan sebagai berikut :
a. Parameter kesesuaian lahan untuk tanaman kopi arabica.
b. Faktor pembatas kesesuaian lahan tanaman kopi arabica.
c. Upaya perbaikan faktor pembatas.

3.4 Data dan Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini ada dua macam yaitu :

a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan baik melalui
pengukuran langsung di lapangan maupun analisis laboratorium. (Pabundu Tika,
1997 : 67 ). Data primer meliputi KTK, pH, salinitas, toksisitas, C Organik, H2O,
kalium tertukar, natrium tertukar, kalsium tertukar , tekstur tanah, magnesium
tertukar, kejenuhan basa dan sebagainya.
b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari data yang sudah dikumpulkan oleh orang lain atau
instansi kemudian dipakai sebagai data pendukung data. Data sekunder tersebut
antara lain data curah hujan, data suhu ratarata, data bulan kering, peta drainase tanah,
peta kemampuan lahan, peta kemiringan lereng, peta tata guna lahan, jenis tanah,
hidrologi, kerawanan banjir/longsor.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data :
a. Observasi
Observasi merupakan langkah pertama yang dilakukan dalam pengambilan data.
Kegiatan ini merupakan pengamatan terhadap daerah penelitian meliputi karakteristik
dan kualitas lahan yang dapat diamati langsung di lapangan dan yang perlu diuji
laboratorium sebagai data penelitian.
b. Dokumentasi
Kegiatan ini merupakan kegiatan pengambilan data yang penting mencakup
informasi tentang daerah penelitian meliputi data monografi, peta administrasi, peta
kondisi geografi, gambar lokasi, daftar tabel dan sebagainya. Dokumentasi ini dapat
diperoleh langsung dari instansi terkait.
c. Uji Laboratorium
Uji laboratorium dilakukan untuk menguji karakteristik dan kualitas lahan sampel
dari daerah penelitian yang nantinya dibandingkan dengan syarat tumbuh tanaman.
Karakteristik dan kualitas lahan meliputi KTK, pH, salinitas, toksisitas, C Organik,
H2O, kalium tertukar, natrium 76 76 tertukar, kalsium tertukar , tekstur tanah,
magnesium tertukar, kejenuhan basa.
d. Pengukuran di Lapangan
Pengukuran lapangan meliputi kegiatan pengukuran langsung di lapangan untuk
mendapatkan data yang bisa diperoleh langsung di lapangan tanpa harus uji
laboratorium. Pengukuran ini meliputi kemiringan lereng, bahaya erosi, bahaya
singkapan batuan, perakaran dan sebagainya.

3.6 Teknik Analisis Data


a. Data sampel tanah dari lapangan dianalisis/diuji di laboratorium. Uji laboratorium ini
untuk mengetahui karakteristik lahan, yaitu pH, H2O, C Organik, Bahan Organik,
Tekstur Tanah, KTK, Kalium Tertukar, Natrium Tertukar, Magnesium Tertukar, Kalsium
Tertukar, Kejenuhan Basa dan salinitas.
b. Data hasil pengujian di lapangan, (bahaya erosi, genangan, singkapan batuan, dan batuan
permukaan) dipadukan dengan data hasil uji laboratorium.
c. Data hasil uji laboratorium dan data dari lapangan disusun menjadi satu untuk
mengetahui kualitas lahan di daerah penelitian.
d. Data kualitas lahan dicocokan dengan kriteria syarat tumbuh tanaman kopi arabica
dengan metode matching (perbandingan), membandingkan data tentang karakteristik
lahan di daerah penelitian dengan kriteria syarat tumbuh tanaman kopi arabica
e. Berdasarkan matching antara kualitas lahan dan syarat tumbuh tanaman kopi arabica
akan diketahui kelas kesesuian lahan untuk budidaya tanaman pangan dan faktor
pendorong dan pembatas kesesuaian lahan.
f. Membuat peta kesesuaian lahan bagi tanaman kopi arabica dengan SIG.
Daftar Pustaka

Damatta, F.M., and J.D.C Ramalho. (2006). Impacts of drought and temperature stress on coffee
physiology and production: a review, 18(1): 5581.
Darmawijaya, M. Isa. (1990). Klasifikasi Tanah : Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah Dan
Pelaksana Pertanian Di Indonesia. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Hardjowigeno, S., Widiatmaka. (2001). Evaluasi Lahan Dan Perencanaan Tataguna Lahan.
Bogor: IPB Press.
FAO (Food and Agriculture Organization). (1976). A Framework for Land Evaluation. FAO Soil
Bulletin 52. Soil Resources Management and Conservation Service Land and Water
Development Division.
Iqbal Hasan, M. (2002). Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Nasrul, B.,A. Hamzah, dan E. Anom. (2000). Klasifikasi tanah dan evaluasi kesesuaian lahan
kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Riau. Jurnal Sagu, volume 1:16-26.
Pabundu Tika, Moh. (1997). Metode Penelitian Geografi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama.
Rossiter, D.G. (1994). Land evaluation. Cornell University College of Agr & Life Sciences
Department of Soil, Crop & Atmospheric Science, Australia.
Rothfos, B. (1980). Coffee Production. Niedersächsische buchdruckerei, Germany. 366 p
Sihaloho, T.M. (2009). Strategi Pengembangan agribisnis Kopi Di kabupaten Humbang
Hasundutan Sumatera Utara. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institus Pertanian Bogor.
Sitorus. (1985). Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung : Tarsito.
Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Sylvain, P.G. (1955). Some observations on Coffea arabica L. in Ethiopia. Turrialba 5: 37–53.
Tiodor S. (2013). Kopi, Prospek bagi Indonesia. Jakarta: Swara Media.
Wahyuningrum, N., Priyono, C. N. S., Wardojo, Harjadi, B., Savitri, E., Sudimin. (2003).
Pedoman Teknis Klasifikasi Kemampuan dan Penggunaan Lahan. Info DAS, 15, 1-103, Badan
Litbang Kehutanan, Puslit PHKA.

Anda mungkin juga menyukai