Anda di halaman 1dari 11

Nama Mahasiswa : Feisel Kristopel Rompas

NIM : 18605071
Kelas/Semester : A/V
Jurusan : Pendidikan Geografi

Tugas II
PENDEKATAN GEOGRAFI PERTANIAN
(Jasbir Singh & S.S. Dhillon)

Kegiatan dan hasil pertanian tidak dapat kita pisahkan dalam kehidupan. Hal ini karena
manusia membutuhkan hasil dari kegiatan pertanian untuk kehidupan sehari-hari. Selain itu, luas
lahan pertanian di Indonesia yang mencapai 7,1 juta hektar pada tahun 2018 (BPS) sehingga
menjadikan pertanian sebagai salah satu sumber utama mata pencaharian. Maka dari itu
pembelajaran dan pencerdasan tentang pertanian tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan pelajar
maupun masyarakat.
Dalam ilmu geografi terdapat konsentrasi mengenai kegiatan pertanian yaitu geografi
pertanian. Geografi Pertanian atau Agriculture Geography berasal dari bahasa latin, kata
Geographia yaitu geo yang berarti bumi, Graphia yang berarti deskripsi dan kata Agercultura
yaitu Ager berarti Lahan, Cultura yang berarti Budaya atau mengolah. Menurut J. Singh dan S S
Dhillon (1984:3) dalam buku Agriculture Geography, Geografi Pertanian merupakan ilmu yang
mempelajari pola distribusi dan hubungan spasial atau keruangan dari kegiatan pertanian. Jadi
Geografi Pertanian difokuskan pada pemanfaatan lahan oleh manusia untuk memenuhi
kehidupannya dengan memperhatikan prinsip geografi.
Indonesia memiliki sumberdaya yang beragam dengan sumberdaya alam dan sumberdaya
manusia, namun persebarannya tidak merata pada Kawasan barat dan timur Indonesia (de Blij,
1988:17). Salah satu masalahnya adalah wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi
ternyata adalah wilayah yang mempunyai potensi untuk pengembangan pertanian pangan. Dapat
dilihat pada saat ini salah satu masalah pengembangan pertanian pangan adalah dengan
terbatasnya lahan pertanian dan kurang maksimalnya pengembangan teknologi pertanian
sehingga potensi pertanian tidak berjalan maksimal. Walaupun teori malthus yang menyatakan
bahwa perkembangan populasi tak terbatas atau mengikuti deret geometri dan perkembangan
pangan terbatas atau mengikuti deret ukur dapat dibantah oleh banyak ahli seiring dengan
berkembang pesatnya teknologi produksi pangan. Namun, ketidaksiapan dalam ketahanan
pangan bisa dapat menjadi bukti kebenaran teori ini.
Sudut pandang geografi dalam bidang pertanian meliputi pendekatan keruangan yaitu
dengan menganalisis pola distribusi, lokasi dan morfologi. Mencari alasan mengapa pola
distribusi berbeda dan bagaimana agar distribusi menjadi lebih efektif. Pendekatan kewilayahan
dengan prinsip bahwa setiap daerah mempunyai potensi yang berbeda dengan sumberdaya
manusianya maupun alamnya, dengan pendekatan ini menyatakan bahwa suatu daerah akan
saling membutuhkan. Pendekatan kelingkungan tentang hubungan manusia serta aktivitasnya
dengan ekosistem dan alam sekitar pendekatan ini penting agar seluruh interaksi ini dapat
berkelanjutan.
Pendekatan kelingkungan merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan dalam usaha
keberlanjutan kegiatan pertanian. Selain banyaknya dampak positif untuk pemenuhan kebutuhan
pangan, kegiatan pertanian ternyata juga bisa menjadi ancaman untuk lingkungan karena kurang
baiknya pengelolaan penggunaan lahan. Tech-Cooperation Aspac FAO pada tahun 2018
menyebutkan data bahwa 69 persen tanah pertanian Indonesia dikelompokan tandus atau rusak
parah karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida berlebihan. Walapun kerusakan ini tidak
menjadi perhatian publik, namun kerusakan ini akan menjadi masalah besar ketahanan pangan
yang akan dirasakan dalam jangka panjang. Ketahanan Pangan Indonesia juga meramalkan jika
kondisi ini dibiarkan maka ketahanan pangan akan sangat rentan dengan perubahan iklim.
Perkembangan teknologi dan pengawasan pemerintah juga harus menjadi prioritas utama
agar menjaga keberlanjutan pertanian. Kegiatan diforestasi, penggunaan irigasi yang berlebihan,
dan sisa kegiatan pertanian bisa menjadi masalah untuk daerah lain. Sampah pertanian yang
mengandung metana akan menjadi masalah besar jika tidak dikelola dengan baik dan juga
menjadi andil atas terjadinya pemanasan global. Maka dari itu teknologi dan kebijakan pertanian
juga harus selaras agar Indonesia bisa memaksimalkan agroindustri.
Pada aktivitas pertanian, manusia merupakan faktor penting dalam keberlangsungan
aktivitas itu. Meliputi persiapaan lahan, pengelolaan, dan distribusi hasil tani. Maka dari itu
pencerdasan adalah akar utama agar tujuan dan keberlanjutan pertanian dapat maksimal. Faktor
budaya meliputi adat istiadat, kepercayaan, dan pendidikan juga merupakan faktor menentukan
untuk usaha tani.
Geografi pertanian bermanfaat dengan Pendekatan Keruanganya agar seluruh kegiatan
pertanian dapat berjalan lebih baik, karena pola distribusi yang efektif. Pendekatan Kewilayahan
untuk menganalisis wilayah sesuai dengan potensi yang dimilikinya agar segala usaha lebih
maksumal. Pendekatan Kelingkungannya agar prinsip pembangunan berkelanjutan dan pola fikir
jangka panjang dapat terealisasi. Studi geografi mengkaji aktivitas pertanian agar perkembangan
produksi pangan maksimal sesuai potensi alam dengan selaras terjaganya alam.

URAIAN & ANALISIS PENDEKATAN GEOGRAFI PERTANIAN (JASBIR SINGH &


S.S. DHILLON)
Berikut adalah uraian sekaligus dengan analisis tentang pendekatan geografi pertanian:
a. Pendekatan Komoditas
Pendekatan komoditas dalam geografi pertanian didasarkan pada aksioma bahwa
“keseluruhan lebih dari gabungan bagian-bagiannya”. Fokusnya adalah bahwa setiap
fenomena pertanian harus dikaji dan dijelaskan secara keseluruhan dan bukan sebagian untuk
memastikan realitas lapangan tentang proses pengambilan keputusan para petani. Tujuan
utama dari pendekatan komoditas adalah untuk membuat analisis mendalam tentang
fenomena tertentu, misalnya tanaman.
Pendekatan tersebut dapat dijelaskan dengan bantuan sebuah contoh. Misalkan
geografi, teh dibahas dengan pendekatan komoditas. Dalam studi tersebut akan dilakukan
upaya untuk memeriksa kondisi lingkungan (suhu, kelembaban, tanah, pengolahan tanah,
dll.) Yang diperlukan untuk budidaya. Selanjutnya distribusi areal, konsentrasi, produksi,
produktivitas, pemasaran, pengolahan, distribusi dan konsumsi harus dibahas dan dijelaskan.
b. Pendekatan Regional/Kewilayahan
Konsep 'wilayah' yang berkembang pada abad kedelapan belas masih menjadi
pengertian dasar geografi. Secara klasikal, wilayah adalah suatu segmen permukaan bumi
yang dibedakan atau suatu wilayah yang memiliki sifat fisik dan budaya yang homogen.
Seperti yang ditunjukkan oleh ungkapan ini, studi tentang wilayah telah lama diidentikkan
dengan definisi geografi sebagai studi tentang diferensiasi wilayah. Konsep wilayah cukup
penting dalam semua cabang disiplin ilmu termasuk geografi pertanian.
Baker (1926) sangat mendukung pendekatan regional untuk studi geografi pertanian.
Selanjutnya, Valkenberg (1931), Whittlesey (1936), Weaver (1954), Coppock (1964) dan
Kostrowicki (1964) menekankan pentingnya pendekatan regional untuk mempelajari
geografi pertanian.
Dalam pendekatan regional, suatu negara atau wilayah digambarkan menjadi wilayah
kegiatan pertanian dengan bantuan indikator pertanian tertentu yang relevan. Kemudian
atribut pertanian dari wilayah yang digambarkan diperiksa dan dijelaskan. Dalam pendekatan
wilayah, wilayah mikro merupakan wilayah mikro yang selanjutnya menjadi komponen
wilayah makro. Latihan ini berlanjut hingga seluruh permukaan bumi tertutupi.
Keuntungan utama dari pendekatan regional terletak pada kenyataan bahwa
pendekatan tersebut memberikan penjelasan yang terorganisir, sistematis dan dapat
diandalkan tentang fenomena pertanian yang diatur secara spasial di atas permukaan bumi.
Misalnya, penggambaran wilayah konsentrasi tanaman, kombinasi tanaman, dan
produktivitas pertanian membantu dalam memahami atribut pertanian di wilayah tertentu dan
menjelaskan proses pengambilan keputusan para petani.
Pemahaman mendalam tentang daerah-daerah tersebut juga membantu dalam
generalisasi dan perumusan strategi yang tepat untuk perencanaan dan pembangunan
pertanian. Pendekatan ini sangat membantu dalam menghilangkan ketidaksetaraan regional
dalam tingkat produksi berbagai tanaman.
c. Pendekatan Deterministik atau Kelingkungan
Pandangan bahwa lingkungan mengontrol jalannya tindakan manusia dikenal sebagai
pendekatan deterministik. Protagonis dari pendekatan ini berasumsi bahwa elemen
lingkungan fisik (medan, lereng, suhu, curah hujan, drainase, tanah, fauna dan flora)
bertindak secara deterministik dan mengontrol budidaya tanaman dan semua proses
pengambilan keputusan petani tentang pertanian. kegiatan.
Ada keyakinan bahwa variasi dalam pengambilan keputusan pertanian di seluruh
dunia dapat dijelaskan oleh perbedaan lingkungan fisik. Inti dari determinisme adalah bahwa
sejarah, masyarakat, budaya, ekonomi, pertanian dan geopolitik secara eksklusif
dikendalikan oleh lingkungan fisik.
Para penentu lingkungan telah menganjurkan bahwa karakter dari semua tumbuhan,
tumbuhan dan hewan termasuk manusia adalah produk dari suhu, kelembaban dan cuaca
yang berlaku dan kondisi geo-iklim. Telah dibuktikan oleh ahli ekologi dan ilmuwan
pertanian bahwa setiap tanaman memiliki nol spesifik di bawahnya yang tidak dapat bertahan
hidup.
Ada juga suhu optimal di mana tanaman berada pada kekuatan terbesar. Untuk
masing-masing fungsi vegetasi seperti perkecambahan, foliasi, mekar atau fruktifikasi, suhu
nol dan optimum dapat diamati. Oleh karena itu, para penentu lingkungan berpendapat
(Klages, 1942) bahwa untuk setiap tanaman ada persyaratan minimum kelembaban dan suhu
yang tanpanya tanaman tidak akan tumbuh.
Dari faktor-faktor penentu fisik, dampak tanah juga cukup signifikan. Performa dan
hasil setiap tanaman bervariasi dengan variasi sifat fisik dan kimia tanah. Sebagai contoh,
padi bekerja lebih baik di tanah liat sementara gandum dan tebu membutuhkan tanah aluvial
yang dikeringkan dengan baik. Saffron, bumbu utama, tidak dapat ditanam dari karewas
Kashmir dan Bhadarwah velleys (J&K).
Pendekatan deterministik lingkungan telah dikritik dengan beberapa alasan.
Kelemahan utama dari pendekatan ini adalah terlalu sederhana karena mengabaikan faktor
budaya dan pengaruhnya terhadap kegiatan pertanian. Selain itu, lokasi geografis yang
serupa belum tentu menghasilkan pola tanam yang serupa. Misalnya, provinsi Manchuria di
Cina dan wilayah New England di Amerika Serikat memiliki lokasi yang hampir serupa dan
kondisi iklim yang hampir identik, namun tipologi pertaniannya berbeda satu sama lain.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa elemen lingkungan membatasi pola tanam dan
praktek penggunaan lahan tetapi para petani yang dilengkapi dengan teknologi modern
hampir bebas dalam pengambilan keputusan tentang tanaman yang akan ditanam. Pengaruh
lingkungan mungkin sangat besar di daerah beriklim ekstrim (khatulistiwa, gurun panas),
namun dampaknya pada pertanian masyarakat maju tidak terlalu signifikan.
d. Pendekatan Sistematis
Pendekatan sistematis juga dikenal sebagai pendekatan 'umum' atau 'universal'.
Varenius-lah yang membagi disiplin geografi menjadi geografi umum (sistematis) dan
khusus (regional). Pendekatan sistematis berkaitan dengan perumusan hukum umum, teori
dan konsep generik. Ini berbeda dengan geografi regional di mana model dirancang dengan
bantuan asumsi tertentu.
Dalam pendekatan ini fenomena pertanian (tanaman dll) diperiksa dan dijelaskan di
tingkat dunia dan kemudian beberapa generalisasi dibuat. Distribusi spasial gandum atau
beras di berbagai benua dan penjelasan konsentrasinya di wilayah tertentu di dunia adalah
contoh pendekatan sistematis. Pendekatan sistematis dan regional untuk geografi pertanian
bagaimanapun tidak bertentangan tetapi saling melengkapi satu sama lain.
e. Pendekatan Terbaru
1) Pendekatan Analisis Sistem
Pendekatan analisis sistyem diadopsi oleh Ludwig (1920) dalam ilmu biologi.
Menurut James, sistem dapat diartikan sebagai satu kesatuan (orang, pertanian, industri,
bisnis, negara, dll.) Yang berfungsi secara keseluruhan karena saling ketergantungan
bagian-bagiannya. Suatu sistem terdiri dari sekumpulan entitas dengan spesifikasi
hubungan antara mereka dan lingkungannya.
Geografi pertanian berkaitan dengan hubungan kompleks lingkungan fisik,
lingkungan budaya, dan fenomena pertanian. Pendekatan analisis sistem memberikan
kerangka kerja untuk mengkaji dan menjelaskan kegiatan pertanian di tingkat lapangan,
desa, lokal, regional, nasional dan global. Entitas kompleks dan mosaik kegiatan
pertanian dapat dipahami dengan bantuan pendekatan ini. Karena keunggulan inilah
Berry dan Chorley menyarankan analisis sistem sebagai alat vital untuk pemahaman
geografis.
Setiap sistem pertanian memiliki beberapa elemen (penguasaan, pengolahan
tanah, dan irigasi, biokimia, infrastruktur dan pemasaran). Elemen-elemen ini memiliki
efek timbal balik satu sama lain. Perilaku suatu sistem, oleh karena itu, berkaitan dengan
aliran, rangsangan, dan tanggapan, masukan dan keluaran dan sejenisnya. Perilaku
internal sistem dan transaksinya dengan lingkungan dapat diperiksa.
Sebuah studi tentang jumlah sebelumnya untuk studi hukum fungsional yang
menghubungkan perilaku di berbagai bagian sistem. Pertimbangkan sistem yang
memiliki satu atau lebih elemennya yang terkait dengan beberapa aspek lingkungan.
Misalkan lingkungan mengalami perubahan (misalnya, penggundulan hutan di Himalaya,
irigasi kanal di Jaisalmer, Bikaner, formasi garam dan basa di Punjab, reklamasi lahan
rawa di Delta Sunderban, perambahan pertanian di padang rumput, dll.), Maka
setidaknya satu elemen dalam sistem terpengaruh dan efek ditransmisikan ke seluruh
sistem sampai semua elemen yang terhubung dalam sistem terpengaruh.
Misalnya, jika irigasi dikembangkan di daerah kering, maka masyarakat akan
beralih dari beternak ke bercocok tanam yang pada gilirannya akan mempengaruhi
ekologi, dan produksi pertanian yang baik akan memberikan dorongan lebih kepada
petani untuk lebih banyak menggunakan sumber daya yang mereka tanam. secara
intensif. Ini akan mengarah pada reaksi berantai dalam sistem dan baik ekologi maupun
masyarakat akan berubah. Ini merupakan respons stimulus sederhana atau sistem input-
output.
Suatu sistem, di mana satu atau lebih variabel yang secara fungsional penting
bersifat spasial, dapat digambarkan sebagai sistem geografis. Ahli geografi terutama
tertarik untuk mempelajari sistem yang variabel fungsional terpentingnya adalah keadaan
spasial, seperti lokasi, jarak, luas, luas;, luas, kepadatan per satuan luas, dll.
Meskipun sistem mungkin tertutup atau terbuka, dalam geografi, pada umumnya
sistem tersebut adalah sistem terbuka. Dalam sistem terbuka, unsur-unsur sistem lain
turut mempengaruhi proses pengambilan keputusan para petani. Studi mendalam dan
analisis sistematis dari sistem terbuka menjadi tugas yang cukup sulit. Poin ini dapat
dijelaskan dengan bantuan sebuah contoh.
Lembah Kashmir yang terletak di Himalaya dan di semua sisinya dikelilingi
pegunungan tinggi, rupanya memberi kesan sistem tertutup. Secara fungsional,
kenyataannya berbeda. Melalui Terowongan Banihal, lembah tersebut terhubung dengan
baik dengan seluruh negeri dan hubungan udara dan telekomunikasi juga menyediakan
interaksi sosial yang sangat besar antara lembah Kashmir dan bagian dunia lainnya.
Karena keterkaitan inilah para penanam safron, pedagang buah-buahan kering
(almond, aprikot, kenari), pemilik kebun apel dan produsen karpet sangat terhubung
dengan baik dengan ekosistem agro urban tetangga dan jauh di negara dan dunia tersebut.
Proses pengambilan keputusan para petani Kashmir dengan demikian sebagian besar
dipengaruhi oleh elemen-elemen sistem lain juga.
Karena kegunaannya, pendekatan sistem telah menarik perhatian para ahli
geografi. Misalnya, Chorely berusaha merumuskan pemikiran dalam geomorfologi dalam
kerangka sistem terbuka; Leopold dan Langbein menggunakan entropi dan kondisi
mapan dalam studi sistem fluvial, dan Berry berusaha memberikan dasar untuk studi 'kota
sebagai sistem dalam sistem kota' dengan menggunakan dua konsep organisasi dan
informasi dalam bentuk spasial.
Baru-baru ini, Wolderberg dan Berry telah menggunakan konsep sistem untuk
menganalisis tempat sentral dan pola sungai sementara Curry juga mencoba menganalisis
lokasi pemukiman dalam kerangka sistem. Jadi, ahli geografi yang memusatkan perhatian
pada organisasi spasial selalu menggunakan sistem seperti yang diperlihatkan oleh
laporan Haggett tentang analisis lokasi dalam geografi manusia.
Dalam geografi, sistem statis atau adaptif dapat dibangun dengan mudah. Akan
tetapi, sulit untuk membuat sistem geografis yang dinamis di mana kita harus
menggabungkan ruang dan waktu dalam model yang sama. Spasi dapat diekspresikan
dalam dua dimensi dengan abstraksi kartografi. Kami mungkin dapat menyajikan
penjelasan yang memuaskan untuk sistem seperti itu tetapi sangat sulit untuk menangani
dimensi waktu atau ketiga dalam model yang sama.
Dalam situasi pertanian dunia yang kompleks saat ini, rasio input-output harus
ditentukan dengan mempertimbangkan indikator yang relevan dari dalam dan luar sistem.
Misalnya, produktivitas pertanian suatu daerah merupakan fungsi dari faktor geokratis,
sosial budaya dan ekonomi.
Keterkaitan antara determinan-determinan ini dan pengaruhnya terhadap
produktivitas pertanian dapat dipahami dengan analisis sistem dengan bantuan korelasi
dan regresi multivariat. Misalnya, hanya dengan menganalisis sistem irigasi, sistem
pupuk biokimia, dan sistem pemasaran dan penyimpanan, dll., Seseorang dapat
menentukan penyebab baik atau buruknya kinerja suatu tanaman di suatu wilayah.
Analisis sistem telah dikritik karena secara intrinsik terkait dengan empirisme dan
positivisme (Husain, 1995). Pertanyaan normatif seperti nilai, keyakinan, sikap,
keinginan, harapan, ketakutan, estetika, dll., Tidak diperhitungkan oleh analis sistem.
Akibatnya, ini hanya memberikan gambaran yang parsial dan kurang dapat diandalkan
tentang realitas geografis.
2) Pendekatan Perilaku
Sebagai reaksi terhadap kuantifikasi, pendekatan perilaku telah diadopsi oleh
beberapa ahli geografi untuk menjelaskan kegiatan pertanian dan proses pengambilan
keputusan para petani di berbagai tingkatan. Ini menjadi lebih populer setelah 1960
dalam geografi. Inti dari pendekatan perilaku adalah bahwa cara petani berperilaku
dimediasi oleh pemahaman mereka tentang lingkungan tempat mereka tinggal atau
tempat mereka dihadapkan. Ahli geografi menyadari bahwa perilaku manusia
membentuk serta menanggapi lingkungannya dan bahwa manusia dan lingkungan saling
terkait secara dinamis.
Perbedaan antara persepsi dan lingkungan nyata dijelaskan dengan jelas oleh
Koffka (1935) dalam ilusi kisah Swiss abad pertengahan tentang perjalanan musim
dingin: “Pada malam musim dingin di tengah badai salju yang melaju, seorang pria
dengan punggung kuda tiba di sebuah penginapan , senang telah dicapai setelah berjam-
jam berkuda selama musim dingin menyapu dataran di mana selimut salju telah menutupi
semua jalan dan tengara. Pemilik rumah yang datang ke pintu memandang orang asing itu
dengan heran dan bertanya dari mana dia datang? Pria itu menunjuk ke arah yang jauh
dari penginapan, di mana sang pemilik dengan nada kagum dan heran berkata: Tahukah
Anda bahwa Anda telah berkendara melintasi Danau Besar Constance? Saat pengendara
itu menjatuhkan batu hingga mati di kakinya. "
Selain membedakan antara lingkungan tujuan (nyata) dan yang dipersepsikan
(peta mental), para behavioris tidak mengakui manusia sebagai 'orang yang rasional atau
ekonomis' yang selalu berusaha untuk mengoptimalkan keuntungannya. Menurut mereka,
keputusan pertanian, sebagian besar, didasarkan pada perilaku (nilai dan sikap) daripada
manfaat ekonomi.
Dalam masyarakat yang terikat tradisi di negara-negara berkembang seperti di
India, 'pertanian adalah cara hidup' dan bukan 'agribisnis'. Karena nilai-nilai sosio-
religius, penanaman tembakau tidak dilakukan oleh orang Sikh, peternakan babi dilarang
di kalangan umat Islam dan pengasuhan anak adalah hal yang tabu di kalangan Khasis
Meghalaya dan Lushais dari Mizoram.
Hal ini juga ditekankan oleh protagonis dari behavioral ism bahwa lingkungan
(sumber daya) yang sama memiliki arti yang berbeda bagi orang-orang dari latar
belakang sosial ekonomi dan teknologi yang berbeda. Misalnya, sebidang tanah subur di
Dataran Sutlej-Ganga memiliki arti yang berbeda bagi para pembudidaya dari berbagai
komunitas dan petani yang memiliki ukuran kepemilikan yang berbeda.
Tinggal di desa yang sama, seorang petani Jat lebih suka menanam padi dan
gandum, seorang Saini pergi untuk bertanam sayuran dan seorang Gujjar dan Gada
berkonsentrasi untuk menanam sereal, tebu, dan tanaman pakan ternak. Bidang tanah
yang sama memiliki arti yang berbeda untuk petani kecil dengan bajak dan petani induk
skala besar yang beroperasi dengan traktor dan teknologi modern.
Pendekatan perilaku berguna karena membantu dalam memahami proses
pengambilan keputusan para petani yang sebagian besar dipandu oleh nilai-nilai sosial
mereka dalam proses pengambilan keputusan. Ada beberapa kelemahan dalam
pendekatan ini juga.
Ilustrasi ini menunjukkan perbedaan antara 'lingkungan objektif' dari danau yang
tertutup es dan 'lingkungan perilaku' pengendara di dataran yang berangin. Sang
pengelana menganggap danau itu sebagai dataran dan mengambil keputusan untuk
menyeberangi danau seolah-olah danau itu adalah tanah kering. Dia akan bertindak
sebaliknya jika dia tahu.
Kelemahan utama dari pendekatan perilaku adalah kurangnya sintesis dari temuan
empiris, komunikasi yang buruk, duplikasi yang tidak disengaja, dan terminologi yang
saling bertentangan. Terminologi dan konsepnya tetap didefinisikan secara longgar dan
terintegrasi dengan buruk karena basis teoretis yang tidak terorganisir secara sistematis.
Kelemahan lain dari pendekatan ini adalah sebagian besar data dalam geografi
perilaku dihasilkan di laboratorium dengan melakukan eksperimen pada hewan dan hasil
yang diperoleh diterapkan langsung pada perilaku manusia. Koestler (1975)
menunjukkan bahaya dari strategi ini, karena behaviouralisme telah menggantikan
kekeliruan antropomorfik — yang merujuk pada fakultas dan sentimen manusia hewan
— dengan kekeliruan yang berlawanan, menyangkal kemampuan manusia yang tidak
ditemukan pada hewan tingkat rendah; itu telah menggantikan pandangan antropomorfik
tikus sebelumnya, pandangan ratomorfik manusia.
Selain itu, dengan tidak adanya teori dan model umum, pendekatan perilaku
dianggap hanya bersifat deskriptif dan tidak bersifat menjelaskan. Akibatnya geografi
pertanian menjadi seperti inventarisasi dan deskripsi yang sistematis. Singkatnya, kritik
umum terhadap pendekatan perilaku adalah bahwa seseorang tidak pernah dapat
mengetahui dengan pasti apakah seseorang benar-benar telah berhasil memberikan
penjelasan yang benar karena nilai-nilai individu petani dan komunitas petani berbeda
dalam ruang dan waktu.

Daftar Pustaka

Hastuti. 2008.”Peran Geografi dalam Kajian Pertanian” dalam Geomedia: Volume 6 Nomor 2.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Priyadarshni. 2014. “Study Notes On Agricultural Processes”. Diakses tanggal 3 Oktober 2020.
https://www.yourarticlelibrary.com/agriculture/study-notes-on-agricultural-
processes/44302

Singh, Jasbir dan Dhillon S.S.,. 2004. Agriculture Geography. New Delhi:McGraw-Hill.

Anda mungkin juga menyukai