Anda di halaman 1dari 15

JEJAK EKOLOGIS DAN DAMPAKNYA TERHADAP POLA

KEHIDUPAN MASYARAKAT
Oleh: Wanjat Kastolani
(Profesor dalam Ilmu Geografi Lingkungan)
Abstrak
Pola kehidupan masyarakat yang ada di dunia terus mengalami perubahan
secara evolusi. Mulai dari jaman berpindah tempat, bertani dan beternak, industri,
sampai kepada jaman informasi dan teknologi. Perubahan tersebut mengakibatkan
terjadinya perubahan dalam cara hidup dan kehidupan manusia sebagai akibat dari
pertumbuhan penduduk dan peningkatan gaya hidup manusia. Dengan sendirinya
terjadinya perubahan dalam cara hidup mendorong pemanfaatan planet bumi ini secara
optimal diberdayakan untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia baik untuk sandang,
pangan, dan kebutuhan lainnya. Kebutuhan konsumsi manusia terhadap sumberdaya
alami dengan istilah jejak ekologis.
Jejak ekologis (ecological footprint) adalah konsumsi manusia terhadap
sumberdaya alam terhadap semua kebutuhan manusia baik dalam bentuk barang dan
jasa yang meliputi kebutuhan akan lahan terbangun, lahan karbon, perikanan, lahan
hutan, lahan penggembalaan dan lahan pertanian. Makin maju suatu negara atau
wilayah jejak ekologisnya makin tinggi. Oleh karena itu, makin tinggi jejak ekologis
makin boros terhadap kebutuhan hidupnya.
Kata kunci: Jejak ekologis, dampak, pola kehidupan masyarakat

A.Pendahuluan
Kegiatan manusia semakin hari semakin berkembang. Seiring dengan kegiatan
manusia tersebut pertumbuhan kebutuhan manusia juga tersebut meningkat. Padahal
dalam kehidupan manusia dalam kehidupannya harus serasi, selaras dan seimbang
dengan lingkungannya. Oleh karena itu sangat tepat seperti yang diamanatkan UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, bahwa penyelenggaraan
penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif dan berkelanjutan, antara lain melalui perwujudan keharmonisan
antara lingkungan alam dengan lingkungan buatan (Departemen Pekerjaan Umum,
2007:2).
Hal ini menunjukkan bahwa dalam melaksanakan pembangunan fisik tidak hanya
semata-mata hanya memperhatikan kebutuhan manusia, namun juga memperhatikan
keberlanjutan lingkungan alami. Bahkan kenyamanan, keamanan dan tingkat
produktivitas lahan yang ada di planet bumi menjadi cita-cita masyarakat.
1

Dalam mewujudkan cita-cita atau harapan masyarakat tersebut, pemanfaatan


ruang/ wilayah selayaknya memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung perikehidupan makhluk hidup manusia dan makhluk hidup lainnya.
Sedangkan daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk menyerap zat, energi, dan atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke
dalamnya (UU RI No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan hidup).
Berdasarkan di atas, manusia selayaknya ditopang dengan kebutuhan hidup
yang tersedia di alam atau melakukan budidaya tanaman dan ternak. Bahkan manusia
membutuhkan asesoris/ perhiasan dari emas, sehingga muncul kegiatan pertambangan.
Dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan manusia tersebut dapat menimbulkan berbagai
dampak yang menguntungkan dan dampak yang merugikan manusia beserta
ekosistemnya. Oleh karena itu, tulisan ini terutama membahas mengenai jejak ekologis
dan dampaknya terhadap pola kehidupan manusia.
B.Kajian Teoretis Jejak Ekologis
Jejak ekologis telah mengalami proses evolusi seiring dengan perkembangan
kemajuan suatu bangsa yang ada di dunia. Hal ini dapat dilihat dari pola konsumsi
terhadap sumber daya alam yang memiliki kecenderungan menyederhanakan
ekosistem. Sebagai contoh kita dapat mengamati suatu wilayah yang tadinya ditanami
dengan tanaman secara multikultur (beranekaragam), sekarang ini karena adanya
kecenderungan kepentingan bisnis menjadi tanaman monokultur (tanaman sejenis).
Apabila dilihat secara ekosistem hal ini dapat menimbulkan suatu masalah, terutama
dari segi ketahanan yang cenderung melemah, walaupun telah dilakukan berbagai
teknik pemuliaan tanaman yang makin maju.
Dalam perkembangannya kenyataan menunjukkan jumlah (populasi) manusia
yang terus meningkat menuntut adanya berbagai pembaharuan untuk menemukan
berbagai cara untuk meningkatkan daya dukung lingkungan. Terjadinya peningkatan
daya dukung lingkungan baik di kawasan perkotaan maupun pedesaan telah diupayakan
secara terprogram, yang hal ini pun menimbulkan adanya perubahan guna lahan.
Perubahan guna lahan akan terus berlangsung seiring dengan pola konsumsi masyarakat
yang terus menerus meningkat.
2

Dengan demikian, pada hakikatnya jejak ekologis menggambarkan konsumsi


masyarakat yang ada pada suatu wilayah terhadap kebutuhan lahan dan perairan yang
produktif. Selanjutnya, Wackernagel & Rees (1995: 5) menyatakan bahwa analisis jejak
ekologis adalah suatu alat menghitung yang dapat memungkinkan kita untuk
memperkirakan konsumsi sumber daya dan persyaratan asimilasi limbah dari populasi
manusia yang ditetapkan atau dalam istilah ekonomi yang sesuai luas lahan produktif.
Jejak ekologis memberi gambaran tentang kebutuhan manusia akan sumber daya alam.
Kebutuhan manusia terhadap sumberdaya alam di tiap region bervariasi. Hal ini
berkaitan dengan karakteristik region yang berbeda, terutama kebutuhan per kapita ini
berkaitan dengan tingkat kesejahteraan penduduknya. Makin tinggi pendapatan per
kapita, maka kebutuhan akan sumberdaya alam pun makin tinggi. Bahkan semakin
sejahtera suatu masyarakat maka semakin boros dalam mengkonsumsi sumberdaya
alam.
Gambaran tersebut di atas, dengan adanya perubahan pola konsumsi yang makin
meningkat sebagai dampak dari peningkatan pendapatan per kapita selayaknya
dicermati agar selaras dengan perencanaan tata ruang yang sudah ada. Jejak ekologis
sebagai alat untuk perencanaan yang berkelanjutan. Jejak ekologis adalah pola
konsumsi aktual saat ini yang ada pada suatu region, yang menggambarkan adanya
suatu perubahan lingkungan hidup terutama di region yang maju. Terdapatnya
perubahan lingkungan tersebut dapat menimbulkan suatu masalah tata ruang. Dampak
dari kondisi itu hasil penataan ruang di masa lalu sering meleset dengan harapan dari
masyarakat sekarang ini. Hal ini menunjukkan perencanaan tata ruang cenderung terlalu
berorientasi pada pencapaian tujuan ideal jangka panjang tanpa melibatkan masyarakat.
Oleh karena itu, selayaknya penataan ruang yang disusun harus menggambarkan
keinginan yang ada pada suatu masyarakat pada region tertentu. Dengan kata lain,
keterlibatan masyarakat dalam penataan ruang harus menjadi perhatian, sehingga ke
depan tidak terjadi lagi melesetnya antara harapan dan kenyataan. Dari perspektif tata
ruang, jejak ekologis perlu diantisipasi dengan suatu perencanaan tata ruang yang lebih
mewadahi keinginan semua stakeholder.
Lebih lanjut, dalam melakukan kajian perlu dikemukakan asumsi dasar. Asumsi
dasar yang dikemukakan oleh para pakar jejak ekologis yaitu Brad Ewing, Ander Reed,
Sarah M. Ritzk, Allessandro Galli, Mathis Wackernagel dan Justin Kitzes (2008: 2)
antara lain sebagai berikut:
3

Semua sumberdaya yang dikonsumsi dan limbah (termasuk emisi) yang


dihasilkan dapat ditelusuri asal muasalnya (tracked)

Sebagian besar aliran sumberdaya dan buangan dapat diukur dengan


menggunakan luas bioproduktif untuk menjaga pasokan sumberdaya dan
pengabsorpsian buangan. Sumberdaya dan limbah yang tidak dapat diukur, tidak
dimasukkan dalam perhitungan, hal ini kemungkinan akan terjadi underestimate
jejak ekologis.

Luas bioproduktif yang berbeda dapat dikonversikan menjadi satu ukuran


tunggal, yaitu hektar global (gha). Luas bioproduktif ditentukan dengan
menggunakan pembobotan.

Setiap hektar global pada satu tahun mencerminkan bioproduktif yang sama dan
semua dapat dijumlahkan.

Permintaan (demand) terhadap sumberdaya alam disebut jejak ekologis


(ecological

footprint),

dan

dapat

dibandingkan

dengan

biokapasitas

(biocapacity/ supply), bila keduanya menggunakan satuan yang sama, yaitu


hektar global (gha).

Luasan permintaan (area demanded) bisa lebih besar dari luasan pasokan (area
supplied), jika permintaan dari suatu ekosistem melebihi ekosistem tersebut bisa
menyediakan.

Asumsi tersebut tersebut di atas merupakan suatu cara atau pendekatan dalam
mengkaji jejak ekologis. Cara pandang tersebut telah disusun berdasarkan kenyataan
yang ada di lapangan. Namun demikian tidak menutup kemungkinan adanya berbagai
kelemahan, terutama produk-produk lokal yang ada pada suatu negara tidak dapat
dimasukkan dalam perhitungan.
Adapun metoda perhitungan jejak ekologis menurut

Justin Kitzes, Alessandro

Galli, Sarah Rizk, Anders Reed, and Mathis Wackernagel (2008: 11-13) sebagai berikut:

Jejak Ekologis merepresentasikan besaran biokapasitas yang diperlukan untuk


memenuhi kebutuhan (appropriated biocapacity) sedangkan biokapasitas
merepresentasikan area bioproduktif yang ada.

Nilai Jejak Ekologis (EF) untuk segala tipe guna lahan didapat dengan
persamaan:

EF

P
YF EQF
YN

Dengan P adalah jumlah produk dipanen/ diperoleh atau limbah yang dihasilkan; YN
adalah produktivitas nasional rata-rata untuk P; YF dan EQF adalah faktor panen
(Yield Factor) dan faktor kivalensi (Equivalence Factor) untuk guna lahan
dimaksud.

Nilai Biokapasitas (BC) didapat dengan persamaan:


BC A YF EQF

Di mana A adalah area yang tersedia untuk tipe guna lahan yang dimaksud
Normalisasi Area Bioproduktif Hektar (Ha) ke Hektar Global (gHa)

Bioproduktivitas rata-rata setiap bagi setiap tipe guna lahan berbeda-beda,


begitu pula dengan bioproduktivitas antar negara di setiap tipe guna lahannya

Agar dapat diperbandingkan, antar negara/ antar guna lahan, Jejak


Ekologis dan Biokapasitas diperlihatkan dalam unit satuan area
bioproduktif rata-rata dunia (gha)

Terdapat dua faktor yang digunakan untuk normalisasi area bioproduktif


yaitu Yield Factor (YF) dan Equivalence Factor (EQF)

Yield Factor (faktor panen)

Menunjukkan perbedaan tingkat produktivitas setiap guna lahan di setiap


negara di dunia

Equivalence Factor (faktor ekivalensi)

Mengubah besaran area pada setiap tipe guna lahan sesungguhnya


(dalam unit satuan hektar) ke dalam satuan hektar global (gha)

Equivalence Factor
No

Tipe Wilayah

Equivalence Factor (gha/ha)

1.

Lahan Pertanian primer (primary cropland)

2.64

2.

Hutan (forest)

1.33

3.

Lahan Penggembalaan (Grazing land)

0.50

4.

Laut (marine)

0.40

5.

Lahan perairan (inland water)

0.40

6.

Lahan Terbangun (built up land)

2.64
5

Sumber: Kitzes et al (2008)


Yield Factor

YFL

YN
YW

YFL= Yield Factor untuk guna lahan (L)


YN= Yield nasional/ wilayah kajian
YW= Yield dunia
Aspek Pertukaran Barang (Trade)`

Semua proses manufaktur bergantung pada penggunaan biokapasitas, sebagai


penyedia bahan baku dan menyerap limbah dalam setiap rantai proses produksi

Semua produk yang dihasilkan membawa sejumlah nilai Jejak Ekologis,


dan aliran perdagangan juga merepresentasikan aliran Jejak Ekologis

EFC adalah nilai Jejak Ekologis dari semua barang dan jasa yang
diproduksi di suatu wilayah, ditambah nilai Jejak Ekologis dari barang
dan jasa yang diimpor, dikurangi nilai Jejak Ekologis yang diekspor.

C. Jejak Ekologis dan Dampaknya Terhadap Pola Kehidupan Masyarakat


Pembahasan tentang jejak ekologis dan dampaknya terhadap pola kehidupan
masyarakat dengan mengambil sampel Provinsi yang ada di Pulau Sumatera dan Pulau
Sulawesi. Data di kedua pulau tersebut bersumber dari Kementrian Pekerjaan Umum
Tahun 2009. Mengapa mengambil sampel kedua pulau tersebut. Hal ini didasarkan pada
fakta di lapangan secara selintas menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Ada
provinsi yang memiliki karakter dengan dominasi lahan pertanian. Namun ada pula
dominasi dengan perikanan.
Karakter Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi memiliki perbedaan yang cukup
berarti. Berdasarkan aspek sumber daya alam, terutama dalam sebaran flora dan
faunanya menunjukkan perbedaan yang mencolok. Baik Sulawesi maupun Sumatera
6

memiliki keunikan sama-sama memiliki flora dan fauna endemik. Secara geologis,
Sulawesi termasuk zona laut dalam, tempat pertemuan rangkaian Pegunungan Sirkum
Pasifik dan Sirkum Mediteranian, khususnya di Kepulauan Banggai.
Berdasarkan teori Pulau Biogeografi, kedua pulau tersebut membentuk suatu
ekosistem yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Apalagi kondisi
ekosistem yang relatif memiliki perbedaan.
Estimasi Nilai Jejak Ekologis Perkapita Perkomponen
Pengunaan Lahan Pulau Sumatera

Sumber: Direktorat Penataan Ruang Kementrian PU, 2009.

Estimasi Nilai Jejak Ekologis dan Bio-kapasitas Provinsi di Pulau Sumatera

EF
BC
ED=EF-BC
(gha per kapita) (gha per kapita)

No.

Provinsi

Nangroe Aceh
Darussalam

1,68

1,65

Sumatera Utara

1,14

Sumatera Barat

Kategori
Wilayah

0,03

Balanced
Regions

1,65

-0,51

Reserve Regions

0,93

1,20

-0,27

Reserve Regions

Riau

2,56

2,15

0,41

Minor Deficit

Jambi

4,29

2,29

Severe Deficit

Sumatera Selatan

3,19

3,98

-0,79

Reserve Regions

Bengkulu

2,34

1,29

1,05

Severe Deficit

Lampung

1,23

0,73

0,5

Minor Deficit

Bangka Belitung

2,02

2,51

-0,49

Reserve Regions

10

Kepulauan Riau

2,03

3,34

-1,31

Reserve Regions

Keseluruhan Pulau dan


Kepulauan di Sumatera

1,46

2,54

-1,08

Reserve Regions

Sumber: Direktorat Penataan Ruang Kementrian PU, 2009.

Perbandingan Jejak Ekologis dan Bio-kapasitas Provinsi di Pulau Sumatera

Sumber: Direktorat Penataan Ruang Kementrian PU, 2009.

Estimasi Nilai Jejak Ekologis Perkapita Perkomponen Pengunaan Lahan Pulau Sulawesi

Sumber: Direktorat Penataan Ruang Kementrian PU, 2009.

Perbandingan Nilai Jejak Ekologis dan Bio-kapasitas Provinsi di Pulau Sulawesi

No Provinsi

EF
BC
ED=EF-BC Kategori Wilayah
(gha per kapita) (gha per kapita)

Sulawesi Utara

1,6

1,25

0,35

Minor deficit

Sulawesi Tengah

1,08

1,36

-0,28

Reserve Region

Sulawesi Selatan

1,04

1,66

-0,62

Reserve Region

Sulawesi Tenggara

1,54

1,3

0,24

Minor deficit

Gorontalo

1,19

1,94

-0,75

Reserve Region

Sulawesi Barat

1,88

1,83

0,05

Balanced Regions

Keseluruhan P. Sulawesi

2,82

1,91

0,91

Moderate deficit

Sumber: Direktorat Penataan Ruang Kementrian PU, 2009.

Prov. Di Sumatera didominasi oleh Cropland

Prov. di Sulawesi didominasi oleh Fishing Ground

10

Sumber: Direktorat Penataan Ruang Kementrian PU, 2009.

Temuan
Sumatera

Jejak Ekologis Pulau dan Kepulauan Sumatera adalah 1,46 gha/kapita dengan
nilai biokapasitas 2,54 gha/kapita, dikategorikan sebagai ecologically reserve
region;

Jejak Ekologis Wilayah / Provinsi tertinggi di Pulau dan Kepulauan Sumatera


adalah Jambi (4,29 gha/kapita), sedang jejak ekologis wilayah terendah adalah
Sumatera Barat (0,93 gha/kapita);

Bio-kapasitas wilayah terbesar di Pulau dan Kepulauan Sumatera terdapat di


Provinsi Sumatera Selatan (3,98 gha/kapita), dan bio-kapasitas terkecil ada di
Provinsi Lampung (0,73 gha/kapita);

Perbandingan antara nilai jejak ekologis dan biokapasitas di Pulau dan


Kepulauan

Sumatera menghasilkan lima provinsi berkategori ecological

reserve region, satu provinsi dengan kategori ecological balance region, dan
empat provinsi dengan kategori ecological deficit;

Nilai jejak ekologis provinsi di Sumatera didominasi oleh komponen pertanian


(cropland)

Perbandingan Nilai Jejak Ekologis dan Biokapasitas Pulau Sumatera

11

Sumber: Direktorat Penataan Ruang Kementrian PU, 2009.

Jejak Ekologis Sulawesi

Nilai jejak ekologis terbesar di antara enam provinsi yang ada di Pulau Sulawesi
adalah Provinsi Sulawesi Barat (1,88 gha/kapita), sedangkan provinsi dengan
nilai jejak ekologis terkecil adalah Provinsi Sulawesi Selatan (1,06 gha/kapita);

Biokapasitas terbesar di Pulau Sulawesi terdapat pada Provinsi Gorontalo (1,94


gha/kapita), sementara biokapasitas terkecil terdapat di Provinsi Sulawesi
Utara(1,25 gha/kapita);

Perbandingan antara nilai jejak ekologis dan biokapasitas di Pulau Sulawesi


menghasilkan tiga provinsi berkategori ecological reserve region, satu provinsi
dengan kategori ecological balance region, dan dua provinsi dengan kategori
ecological deficit;

Nilai jejak ekologis provinsi di Sulawesi didominasi oleh komponen perikanan


(fishing ground) dan pertanian (cropland);

Nilai jejak ekologis keseluruhan Pulau Sulawesi adalah 2,82 gha/kapita dengan
nilai biokapasitas 1,91 gha/kapita, sehingga dapat dikategorikan sebagai
ecologically deficit region;

12

Sumber: Direktorat Penataan Ruang Kementrian PU, 2009.

Kendala:

Analisis jejak ekologis sangat tergantung pada ketersediaan dan kualitas data.
Data yang digunakan dalam analisis ini berasal dari berbagai sumber yang andal
(reliable), namun perihal akurasi dan standardisasi data dari setiap sumber
berbeda-beda;

Inkonsistensi data menyebabkan hasil perhitungan jejak ekologis yang


terkadang mengalami bias, seperti pada kondisi provinsi Jambi dan Bengkulu,
jika dibandingkan dengan provinsi lainnya yang lebih maju;

Analisis jejak ekologis hanya mampu menggambarkan daya dukung wilayah


berdasarkan kamampuannya dalam memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk.
Sedangkan untuk mengetahui berbagai persoalan yang menjadi faktor penyebab
nilai jejak ekologis yang dihasilkan, perlu dilakukan analisis lain untuk
mempertajam perumusan strategi dan kebijakan bagi pembangunan wilayah
yang berkelanjutan

Data dengan struktur yang sudah terstandardisasi dan konsisten antara satu
sumber data dengan sumber data lainnya.

D. Kesimpulan dan Rekomendasi


13

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa nilai jejak ekologis provinsi di
Sulawesi didominasi oleh komponen perikanan (fishing ground) dan pertanian
(cropland). Nilai jejak ekologis keseluruhan Pulau Sulawesi adalah 2,82 gha/kapita
dengan nilai biokapasitas 1,91 gha/kapita, sehingga dapat dikategorikan sebagai
ecologically deficit region.
Untuk Pulau Sumatera Nilai jejak ekologis provinsi di Sumatera didominasi
oleh komponen pertanian (cropland). Jejak Ekologis Pulau dan Kepulauan Sumatera
adalah 1,46 gha/kapita dengan nilai biokapasitas 2,54 gha/kapita, dikategorikan sebagai
ecologically reserve region. Jejak Ekologis Wilayah / Provinsi tertinggi di Pulau dan
Kepulauan Sumatera adalah Jambi (4,29 gha/kapita), sedang jejak ekologis wilayah
terendah adalah Sumatera Barat (0,93 gha/kapita);
Rekomendasi

Evaluasi perhitungan jejak ekologis untuk memastikan kembali bahwa data


yang digunakan dalam perhitungan sesuai dengan yang diperoleh dari sumber,
rumus yang digunakan benar, dan asumsi yang dibuat dapat diterima;

Menambahkan analisis lainnya, untuk memperoleh hasil kajian yang lebih


komprehensif, sehingga dapat dibuat kesimpulan, rekomendasi, serta strategi
dan kebijakan yang bagi pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Bagi instansi penyedia data, rekomendasi yang diberikan adalah koordinasi


antar sektor yang melakukan pencatatan data dan informasi sehingga terbentuk
kompilasi

Penutup
Berdasarkan temuan hasil, perlu diupayakan agar dapat menyusun strategi
kebijakan ruang pulau berbasis jejak ekologis, melalui skenario perbandingan Jejak
Ekologis dan Biokapasitas. Diharapkan dengan penyusunan strategi yang tepat akan
dapat melaksanakan pembangunan yang sesuai dengan daya dukung lingkungan.

Daftar Pustaka

14

Anonimous (2007). Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan


Ruang. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.
Anonimous. (2009). Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup.
Anonimous. (2009). Jejak Ekologis Pulau Sumatera dan Sulawesi. Jakarta: Depatemen
Pekerjaan Umum.
Capra, F. (2001). Jaring-Jaring Kehidupan: Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan.
Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Ewing, Brad, Ander Reed, Sarah M. Ritzk, Allessandro Galli, Mathis Wackernagel dan
Justin Kitzes (2008). TheEcological Footprint Atlas 2008. Oakland:
Global
Footprint Network. www.footprintnetwork.org/atlas.
Kitzes, Justin, Alessandro Galli, Sarah Rizk, Anders Reed, and Mathis Wackernagel.
(2008). Guidebook to the National Footprint Accounts: 2008 Edition. Oakland:
Global Footprint Network.
Kastolani, W. (2010). Jejak Ekologis Kawasan Wisata: Kajian Dampak dan Pengendaliannya. Bandung: FPIPS. Makalah yang disajikan dalam Diskusi Bulanan
FPIPS 5 Oktober 2010.
Wackernagel, M and Rees, W.E. (1996). Our Ecological Footprint: Reducing Human
Impact on The Earth. Philadelphia: New Societiety Publishers.

15

Anda mungkin juga menyukai