Anda di halaman 1dari 26

KONSEP PERTANIAN BERKELANJUTAN (PERTANIAN

TERPADU)

Paper

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Pertanian Berkelanjutan II

Disusun oleh :

Dimas Nur Anisa NPM. 150510150

Bill Divend Sihombing NPM. 150510150065

Wulan Sri D NPM. 150510150

Fachry NPM. 150510150

Sara Terensia NPM. 150510150

Mustovana NPM. 150510150

Universitas Padjadjaran

Fakultas Pertanian

Program Studi Agroteknologi

Jatinangor

2018
ABSTRAK

Konsep pertanian berkelanjutan mulai berkembang saat dampak dari


kegiatan ‘Revolusi Hijau’ mulai terlihat seperti menurunnya kualitas lingkungan,
terciptanya tanah-tanah kritis, dan lain-lain. Pada dasarnya sistem pertanian
berkelanjutan merupakan pengembangan dari sistem pertanian tradisional yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia yang semakin meningkat
serta tetap menjaga kelestarian sumber daya yang ada. Pada pertanian
berkelanjutan terdapat beberapa aspek yang bersifat fundamental seperti
pemahaman yang baik terhadap pasar, terjaganya kesuburan tanah, serta menjaga
kualitas tanaman dan lingkungan. Beberapa pendekatan yang terdapat dalam
pertanian berkelanjutan antara lain pengelolaan tanaman terpadu (PTT), LEISA,
dan lain-lain. Karena merupakan pengembangan dari sistem pertanian tradisional,
pertanian berkelanjutan memiliki berbagai tantangan yang harus diselesaikan
seperti pasar produk, lembaga bersangkutan, dan lain-lain.

Kata kunci : Input rendah, kelestarian, sistem pertanian berkelanjutan, sumber


daya

2
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsep pertanian berkelanjutan dimulai sekitar tahun 1980, di mana istilah


“Sustainable Agriculture” atau diterjemahkan menjadi ‘pertanian berkelanjutan’
digunakan untuk menggambarkan suatu sistem pertanian alternatif berdasarkan
pada konservasi sumberdaya dan kualitas kehidupan di pedesaan. Sistem
pertanian berkelanjutan bertujuan untuk mengurangi kerusakan lingkungan,
mempertahankan produktivitas pertanian, meningkatkan pendapatan petani dan
meningkatkan stabilitas dan kualitas kehidupan masyarakat di pedesaan. Terdapat
tiga indikator besar yang menjadi kunci sukses bagi pertanian berkelanjutan, yaitu
: 1) Kelestarian lingkungan, 2) Meningkatnya perekonomian masyarakat, 3) Dapat
diterima secara sosial oleh masyarakat petani.
Pada dasarnya sistem pertanian berkelanjutan merupakan sistem
perubahan dari pertanian tradisional dengan tujuan untuk dapat memenuhi tujuan
yang telah direncanakan, mengatasi permasalahan perekonomian dunia dan
memaksimalkan kebutuhan yang cepat dan siap saji. Hal tersebut juga didasarkan
pada pengelolaan sumberdaya yang ada dengan maksimal, memanfaatkan,
mempertahankan dan lebih meningkatkan kualitas lingkunagn serta konservasi
sumberdaya alam.
Dalam pengelolaannya, sistem pertanian berkelanjutan dilakukan melalui
pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal dan menguntungkan namun tetap
menjaga kelestarian, sehingga dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang
(berkelanjutan) untuk kepentingan generasi sekarang mendatang. Pemilihan
komoditas dan tempat usaha yang cocok merupakan kunci dalam pelaksanaan
pembangunan pertanian berkelanjutan. Pemilihan komoditas juga harus sesuai
agar dapat menguntungkan secara ekonomis.
Dari urian yang telah disampaikan sangat jelas bahwa sistem pertanian
berkelanjutan penting untuk dapat diterapkan oleh berbagai kalangan yang ada
semaksimal mungkin.

3
Ruang Lingkup

Ruang lingkup penulisan paper ini adalah tentang definisi pertanian


berkelanjutan (pertanian terpadu), ruang lingkup pertanian berkelanjutan, sifat dan
ciri pada pertanian berkelanjutan, dampak positif maupun negatifnya dan
indikator serta aplikasi pertanian berkelanjutan.

Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan dan manfaat dari penulisan paper ini antara lain sebagai
berikut.
 Mengetahui definisi dan sejarah dari sistem pertanian berkelanjutan
(pertanian terpadu)
 Mengetahui aspek fundamental dalam mencapai pertanian berkelanjutan
 Mengetahui berbagai pendekatan dalam mencapai pertanian berkelanjutan
 Mengetahui tantangan apa saja bagi pertanian berkelanjutan di Indonesia

Metodologi Penulisan

Paper ini ditulis berdasarkan studi literatur yang dilakukan melalui modul
sistem pertanian berkelanjutan serta internet.

4
LANDASAN TEORI

Sejarah Pertanian Berkelanjutan (Pertanian Terpadu)

Setelah Perang Dunia II, penggunaan bahan kimia dan rekayasa teknologi
meningkat hingga mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, dimana pada tahun
yang sama terjadi krisis energi. Semua negara berusaha memacu produktivitas
industri pertanian untuk memenuhi bahan baku agroindustri. Hal tersebut
melahirkan teknologi-teknologi baru di dunia pertanian seperti rekayasa genetika,
kultur jaringan, dan berbagai teknologi canggih pertanian.
Di negara-negara selatan seperti Indonesia, dicanangkan program
intensiifikasi usaha tani, khususnya padi sebagai makanan pokok, dengan
mendorong pemakaian benih varietas unggul (high variety vield), pupuk kimia
dan obat-obatan pemeberantas hama dan penyakit. Kebijakkan pemerintah saat itu
memang secara jelas merekomendasikan penggunaan energi luar yang dikenal
dengan paket Panca Usaha Tani, yang salah satunya menganjurkan penggunaan
pupuk kimia dan pestisida.
Terminologi pertanian berkelanjutan (susitainable agriculture) sebagai
padanan istilah agroekosistem pertama kali dipakai sekitar awal tahun 1980-an
oleh pakar pertanian FAO (Food Agriculture Organization). Argoekosistem
sendiri mengacu pada modifikasi ekosistem alamiah dengan bantuan manusia
untuk menghasilkan bahan pangan, serat, dan kayu, untuk memenuhi kebutuhan
dan kesejahteraan manusia. Conway (1984) juga menggunakan istilah pertanian
berkelanjutan dengan agroekosistem yang berupaya memadukan antara
produktivitas (productivity), stabilitas (stability), pemerataan (equlity). Semakin
jelas bahwa konsep agroekosistem atau pertanian berkelanjutan adalah jawaban
atas dampak yang ditimbulkan green revolution seperti semakin merosotnya
produktivitas pertanian (leaffing off).
Memasuki abad 21, kesadaran akan pertanian yang ramah lingkungan
semakin meningkat, sejalan dengan tuntuan era globalisasi dan perdagangan
bebas. Hal ini terutama sekali dirasakan di negara-negara maju seperti negara-
negara Amerika dan negara-negara Eropa. Smsentara itu negara-negara
berkembang misalnya Indonesia, tampaknya masih terpengaruh dampak

5
negatif green revolution. Lahan-lahan sawah di pulau Jawa sebagai sentra
produksi padi menunjukkan indikasi adanya penurunan produktifitas. Sawah-
sawah mengalami kejenuhan berat atau pelandaian produktivitas karena pemakain
pupuk kimia dan obat-obatan yang sudah melampaui ambang batas normal.
Konsep pertanian yang berkelanjutan terus berkembang serta dipertajam
dengan kajian pemikiran, model, metode, dan teori berbagai disiplin ilmu
sehingga menjadi suatu kajian ilmu terapan yang diabadikan bagi kemaslahatan
umat manusia untuk generasi sekarang dan mendatang.

Pertanian yang Berkelanjutan dengan Input Rendah (LEISA)

LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) adalah sistem bertani


dengan input luar yang rendah yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya
alam (tanah, air, tumbuhan, tanaman dan hewan) dan manusia (tenaga,
pengetahuan dan ketrampilan) yang tersedia di tempat; serta yang layak secara
ekonomis, mantap secara ekologis, adil secara sosial dan sesuai dengan budaya.
Menurut Reijntjes et al. (1999) dan Plucknert dan Winkelmann (1995),
LEISA tidak bertujuan untuk mencapai produksi maksimal dalam jangka pendek,
melainkan untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam
jangka panjang.
Sistem LEISA mengacu pada ciri-ciri :
1. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal dengan mengkombinasikan
berbagai komponen sistem usaha tani (tanaman, hewan, tanah, air, iklim dan
manusia) sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang besar.
2. Mencari cara pemanfaatan input luar hanya bila diperlukan untuk melengkapi
unsur-unsur yang kurang dalam ekosistem dan meningkatkan sumber daya
biologi, fisik dan manusia. Dalam memanfaatkan input luar ditekankan pada
maksimalisasi daur ulang dan minimalisasi kerusakan lingkungan.
Adapun Prinsip-prinsip dasar ekologi pada LEISA berdasarkan Reijntjes et
al. (1999) dikelompokkan sebagai berikut:
1. Menjamin kondisi tanah yang mendukung pertumbuhan tanaman, khususnya
dengan mengelola bahan organik dan meningkatkan kehidupan dalam tanah.

6
2. Mengoptimalkan ketersediaan dan menyeimbangkan arus unsur hara, khususnya
melalui pengikatan nitrogen, pemompaan unsur hara, dan pemanfaatan pupuk luar
sebagai pelengkap.
3. Meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi matahari, udara dan air dengan
pengelolaan iklim mikro, pengeloaan air dan pengendalian erosi.
4. Meminimalkan serangan hama dan penyakit terhadap tanaman dan hewan melalui
pencegahan dan perlakuan yang aman.
5. Saling melengkapi dan sinergis dalam penggunaan sumber daya genetik yang
mencakup penggabungan dalam sistem pertanian terpadu dengan tingkat
keanekaragaman fungsional yang tinggi.

Pertanian Berkelanjutan Melalui Pendekatan Pastisipatif

Pertanian berkelanjutan dilakukan dengan meningkatkan dan


mengefisiensikan penggunaan sumber daya yang ada pada lahan sehingga
meminimalisir penggunaan input eksternal seperti pupuk, pestisida, dan
sebagainya. Dalam praktiknya, pertanian berkelanjutan harus dapat diterima
secara social oleh masyarakat yang merupakan pelaku utama pada bidang
pertanian.
Agar gagasan mengenai pertanian berkelanjutan dapat diterima dengan
baik olrh masyarakat, maka diperlukan suatu sistem pendekatan kepada
masyarakat agar masyarakat mau menerima dan menerapkan tata cara pertanian
berkelanjutan. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah pendekatan
partisipatif.
Pendekatan partisipatif diperlukan guna mendorong percepatan kegiatan
pembangunan (dalam hal ini penerapan pertanian berkelanjutan) yang bermanfaat
bagi seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan harus benar – benar dijalankan
dari, oleh dan untuk masyarakat. Pendekatan partisipatif adalah suatu proses
kegiatan yang melibatkan berbagai pihak terkait sehingga meningkatkan
kemampuan (memberdayakan) pada segala keseluruhan proses pembangunan.
Diharapkan dengan pendekatan partisipatif, pelaksanaan kegiatan pertanian
berkelanjutan dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga dapat
diterapkan untuk jangka panjang.

7
PEMBAHASAN

Definisi Dan Sejarah Sistem Pertanian Berkelanjutan (Pertanian Terpadu)

Sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture system)


merupakan suatu sistem yang memanfaatkan sumber daya yang dapat
diperbaharui (renewable resources) dan sumber daya yang tidak dapat
diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi pertanian dengan
menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan
yang dimaksud meliputi : penggunaan sumber daya, kualitas dan kuantitas
produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan
lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah lingkungan
(Kasumbogo Untung, 1997)
Pertanian berkelanjutan menggunakan pengolahan pertanian dengan diversitas
atau keanekaragaman hayati tanaman. Munculnya pertanian berkelanjutan dilatar
belakangi oleh dua pristiwa penting yaitu :
- Laporan Brundland dari komisi Dunia tentang Lingkungan dan
Pembangunan pada tahun 1987, yang mendefinisikan dan berupaya
mempromosikan paradigma pembangunan berkelanjutan.
- Konferensi dunia di Rio de Janerio Brazil pada tahun 1992, yang memuat
pembahasan agenda 21 dengan mempromosikan Sustainable Agriculture
and Rural Development (SARD) yang membawa pesan moral pada dunia
bahwa ”without better enviromental stewardship, development will be
undermined”.
Pertanian berkelanjutan dipakai pertama kali oleh pakar FAO sebagai
sinonim dari agroekosistem. Agroekosistem merupakan modifikasi ekosistem
alamiah dengan sentuhan campur tangan manusia untuk menghasilkan bahan
pangan, serat, dan kayu untuk memenuhi kebutuhan serta kesejahteraan manusia.
Pada tahun yang sama istilah agroekosistem didefinisikan sebagai upaya untuk
memadukan produktivitas, stabilitas, dan pemerataan. Pertanian berkelanjutan
meliputi komponen-komponen fisik, biologi dan sosioekonomi. Pertanian
berkelanjutan direpresentasikan dengan sistem pertanian yang melaksanakan
pengurangan input bahan-bahan kimia, mengendalikan erosi tanah dan gulma,

8
serta memelihara kesuburan tanah. Pertanian berkelanjutan memiliki konsep dasar
yaitu mempertahankan ekosistem alami lahan pertanian yang sehat, bebas dari
bahan-bahan kimia yang meracuni lingkungan.

Aspek Fundamental dalam Mencapai Pertanian Berkelanjutan


Konsep pertanian berkelanjutan adalah memperhatikan pemenuhan
kebutuhan manusia yang selalu meningkat dan berubah, sekaligus
mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan
sumber daya alam. Beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk keberlanjutan
SPB adalah sistem tanam ganda, komplementari hewan ternak dan tumbuhan,
agroforestry, pemeliharaan dan peningkatan sumberdaya genetik serta
pengelolaan hama terpadu.

1. Sistem Tanam Ganda, adalah penanaman dua jenis tanaman atau lebih pada
lahan yang sama dalam kurun waktu satu tahun untuk memaksimalkan
produksi dengan input luar yang rendah sekaligus meminimalkan resiko dan
melestarikan sumberdaya alam. Menurut bentuknya, pertanaman ganda ini
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : pertanaman tumpangsari
(Intercropping) dan pertanaman berurutan (Sequential Cropping). Sistem
tanam ganda dapat meningkatkan produktivitas 20 – 60 %. Sedangkan
tumpangsari adalah salah satu program intensifikasi di lahan yang kurang
produktif karena pertanaman secara tumpangsari pada lahan kering dapat
memelihara kelembaban dan kadar air tanah serta mengurangi erosi dan
meningkatkan kesuburan tanah (Samosir, 1996).

2. Komplementari Hewan Ternak, tanaman pangan dengan komponen utama dan


ternak menjadi komponen kedua. Ternak dapat digembalakan di pinggir atau
pada lahan yang belum ditanami dan pada lahan setelah pemanenan hasil
sehingga ternak dapat memanfaatkan limbah tanaman pangan, gulma, rumput,
semak dan hijauan pakan yang tumbuh disekitar tempat tersebut. Sebaliknya
ternak dapat mengembalikan unsur hara dan memperbaiki struktur tanah
melalui urin dan fesesnya.

9
3. Agroforestry, mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat.
Peran utama agroforestry bukanlah produksi bahan pangan melainkan sebagai
sumber penghasilan pemasukan uang dan modal. Seringkali agroforestry
menjadi satu-satunya sumber uang tunai keluarga petani. Agroforestry
memasok 50 – 80% pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produksi
langsung dan kegiatan lain yang berhubungan dengan pengumpulan,
pemrosesan dan pemasaran hasilnya. Contoh kegiatan tersebut misalnya adalah
aktivitas penanaman hutan dengan sistem tumpangsari, kegiatan penebangan,
aktivitas angkutan hasil hutan, pembinaan industri rakyat, pembinaan sutra
alam, lebah madu dan sebagainya. Agroforestry berperan sebagai kebun dapur
yang memasok bahan makanan pelengkap (sayuran, buah, rempah, bumbu).
Selain itu melalui keanekaragaman sumber nabati dan hewani agroforestri
dapat menggantikan peran hutan alam dalam menyediakan hasil-hasil yang
akhir-akhir ini semakin langka dan mahal seperti kayu, rotan, bahan atap,
tanaman obat dan binatang buruan.

4. Pemeliharaan dan peningkatan sumberdaya genetik; Penggunaan benih varietas


unggul sudah tidak dapat dipisahkan dari sistem produksi pertanian terutama
tanaman pangan yang masih menggunakan benih sebagai satu-satunya sumber
perbanyakan tanaman. Suatu pendekatan yang dapat diupayakan dalam
pengelolaan sumberdaya genetik adalah pembentukan unit-unit suplai benih
yang dibuat dengan cara membentuk unit-unit pertanian kecil untuk
memproduksi benih unggul yang cukup memadai untuk kebutuhan
lokal. Apabila sistem tersebut telah berjalan dengan baik maka kebutuhan
petani terhadap 4 (empat) tepat benih ( tepat mutu, jumlah, waktu, dan harga)
dapat terpenuhi.

5. Pengelolaan Hama Terpadu, adalah upaya mengendalihan tingkat populasi atau


tingkat serangan organisme terhadap tanaman dengan menggunakan dua atau
lebih teknik pengendalian dalam satu kesatuan untuk mencegah atau
mengurangi kerugian secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup.
Perlindungan tanaman dilakukan melalui kegiatan pencegahan, pengendalian
dan eradikasi. Dalam perkembangannya, istilah pengendalian berubah menjadi

10
pengelolaan untuk lebih menekankan pada usaha untuk mengurangi populasi
organisme yang harus ditangani secara terus menerus sejak dari penanaman,
misalnya dengan menentukan jenis tanaman, cara pembukaan lahan,
penggarapan tanah, jarak tanam, dan sebagainya.

Beberapa aspek fundamental upaya tercapainya aspek keberlanjutan:

1. Pemahaman yang baik terhadap pasar dan upaya meningkatkan nilai tambah
produk pertanian, yang dicapai melalui diversivikasi usaha, perluasan pasar
dan integrasi perusahaan secara vertikal, pemasaran secara langsung dan
pasar khusus produk premium, membentuk koperasi, dan menciptakan nilai
tambah dengan pengolahan di lapang (on-farm).
2. Menciptakan struktur dan kesuburan tanah yang baik melalui pengurangan
penggunaan pupuk sintetik dan memaksimalkan siklus nutrisi lapang,
pemupukan berdasarkan hasil uji tanah, pengolahan tanah minimum,
memperlakukan tanah sebagai entitas yang hidup, mengelola organisme
tanah, penggunaan penutu tanah dan mulsa sepanjang tahun dan
meninggalkan sisa tanaman di lapangan.
3. Menjaga kualitas air di lapang dan sekitarnya dengan cara meningkatkan
bahan organik tanah dan ompleks humus aktif, menanam tanaman tahunan,
menanam tanaman penutup tanah yang dapat mengambil hara agar tidak
tercuci, menyediakan daerah penyangga antara lapangan dan badan air
untuk melindungi aliran nutrisi, pengelolaan irigasi, dan memelihara ternak
berbasis pakan-rumput.
4. Melaksanakan PHT (Pengelolaan Hama Terpadu) yaitu mencegah masalah
hama dengan pengelolaan tanah yang sehat, menciptakan habitat bagi
organisme menguntungkan, memandang pertanian sebagai suatu ekosistem,
mengidentifikasi spesies hama, mengubah sistem tanam, dan penggunaan
pestisida sebagai upaya terakhir.
5. Meningkatkan keragaman hayati di lapang yang maksimal dengan
mengintegrasikan tanaman dan ternak, penggunaan tanaman pagar,
menghindari penanaman monokultur, menanam tanaman tahunan,
mengelola padang rumput, menanam tanaman penutup tanah di luar musim.

11
Rekomendasi yang dapat diberikan upaya mencapai keberlanjutan sistem
pertanian meliputi mengurangi pengunaan input, meningkatkan efisiensi
penggunaan sumber daya alam, meningkatkan penggunaan proses-proses biologi
untuk N, pemanfaatan siklus nutrisi dan manajemen hama terpadu.

Tabel 1. Karakteristik pertanian organik, PPT, dan pertanian konvensional (IOBC,


2001)

Karakter
Pertanian Pengelolaan Pertanian
Sistem
Organik Tanaman Terpadu Konvensional
Pertanian

Tanpa
Teknologi intensif Difokuskan kepada
penggunaan
dengan pendekatan penggunaan input
input anorganik.
seimbang antara tinggi dan
Teknik Fokus pada
lingkungan, teknologi untuk
produksi penggunaan
pendapatan dan hasil, produktivitas
bahan alami dari
produksi pangan yang dan keuntungan
pertanian dan
berkualitas. maksimal.
ternak.

Perubahan
Diperlukan iptek baru
radikal dari R & D yang
dalam advisory
pertaniuan tradisional/konvens
system. Target R & D
konvensional. ional dan dalam
lebih maju.
Iptek yang Diperlukan advisory system
Diperlukan pelatihan
diperlukan pengembangan (perusahaan publik
ulang jika akan
(Knowledge R & D baru dan dan swasta).
merubah sistem
Requirement) sistem Berbasis
agribisnis. Berbasis
pengawasan. pengetahuan yang
pada penggabungan
Berbasis sudh baku
pengetahuan lokal dan
pengetahuan (konvensional)
eksternal yang serasi.
lokal

Struktur pasar bersifat


Pasar yang bersifat
Struktur massal (pasar
Pasar yang massal untuk
pasar (Market pertanian melalui
sesuai/ khusus pangan
Structures) skim jaminan
konvensional.
berdasarkan IFS)

Ide Awalnya Pertimbangan Sistem produksi

12
konseptual sebagai kritik terhadap lingkungan melalui
yang radikal terhadap lebih banyak intensifikasi,
mendasari cara produksi diberikan dalam spesialisasi dan
terbangunnya pangan proses produksi. konsentrasi.
sistem konvensional Secara relatif lebih
pertanian berkelanjutan dalam
penggunaan sumber
daya alam
dibandingkan
pertanian
konvensional.

Karakter
Pertanian Pengelolaan Pertanian
Sistem
Organik Tanaman Terpadu Konvensional
Pertanian

Merupakan bagian
Bertujuan untuk dari IFS, sebagai
Hubungan menarik respon terhadap Terdapat jarak
dalam rantai konsumen lebih konsumen yang peduli antara konsumen
pangan dekat dengan terhadap konsumen dan produsen.
produsen yang peduli terhadap
proses produksi.

Berbagai Pendekatan dalam Mencapai Keberlanjutan

1. Pengelolaan Tanaman Terpadu (Integrated Crop Management)

Pengelolaan Tanaman Terpadu atau biasa dikenal dengan Integrated Crop


Management (ICM) adalah salah satu pendekatan dalam pertanian berkelanjutan,
yang mengombinasikan metode tradisional dengan teknologi modern, serta
bertujuan menyeimbangkan nilai ekonomi produksi dengan pengelolaan ramah
lingkungan (Kumar dan Shivay, 2008). ICM juga merupakan pendekatan
pertanian yang menyeluruh dan bersifat spesifik lokasi. Adapun, komponen-
komponen dasar dalam ICM adalah pengelolaan tanaman, pengelolaan nutrisi,
pengelolaan hama dan penyakit, serta pengelolaan finansial (Kumar dan Shivay,
2008).

13
2. Usaha Pertanian berbasis LEISA
LEISA merupakan sebuah akronim dari Low Eksternal Input and
Sustainable Agriculture. Menurut Reijintjes (1992) dalam Mustikarini, dkk.
(2010), LEISA merupakan cara pandang baru dalam pertanian yang tidak lepas
dari prinsip-prinsip yang mendasarinya yang mencakup prinsip ekologi,
sosioekonomi, budaya dan politik. Menurut Rambodagedara (2006), prinsip
ekologi yang mendasari LEISA diantaranya sebagai berikut.
 Membuat kondisi yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman dengan
menstimulasi mikroorganisme tanah dan memasukan bahan-bahan organik
secukupnya.
 Memelihara nutrisi pada level optimum, dan memastikan keseimbangan nutrisi
di tanah melalui fiksasi nitrogen, pemanfaatan nutrisi yang tersedia pada solum
tanah, dan pemasukan pupuk eksternal hanya jika dibutuhkan untuk
menyeimbangkan jika terjadi defisiensi nutrisi.
 Mengontrol kondisi iklim mikro untuk meminimalisir kehilangan sumber
karena cahaya, udara, dan air. Menggunakan metode biologi dan mekanik
untuk mencegah erosi tanah.
 Meminimalisir kehilangan hasil karena hama dan penyakit. Melalui
pengelolaan hama terpadu, yang memprioritaskan musuh alami.
 Menstimulasi sinergitas dan kondisi simbiosis antara tanaman dan tanaman
atau tanaman dan hewan sehingga menimbulkan biodiversitas.
Tujuan utama dari LEISA adalah untuk menjaga hasil produksi pertanian
tetap pada tingkat optimum menggunakan input eksternal yang lebih sedikit dan
ramah lingkungan. Untuk mendapatkan tujuan tersebut, LEISA sangat
terkonsentrasi pada faktor-faktor yaitu, memelihara kehidupan tanah, membuat
biodiversitas, pengelolaan hama dengan musuh alami dan agen biologi, serta
mendaur ulang sumber nutrisi (Rambodagedara, 2006).

3. Pengelolaan Tanah Berkelanjutan


Menurut FAO (2017), pengelolaan tanah dapat digolongkan sebagai upaya
berkelanjutan apabila pendukung, pengatur, dan penyediaan nutrisi oleh tanah
dapat dipertahankan atau ditingkatkan tanpa memengaruhi fungsi tanah yang

14
memungkinkan terjadinya biodiversitas. FAO (2017), juga menyebutkan bahwa
pengelolaan tanah berkelanjutan berkaitan erat dengan karakteristik sebagai
berikut.
 Rendahnya tingkat erosi karena air dan udara;
 Tidak terjadinya degradasi dari struktur tanah dan menyediakan kondisi yang
stabil untuk pergerakan air, udara, pertumbuhan akar, serta sirkulasi panas;
 Penutup tanah yang cukup untuk melindungi tanah;
 Bahan organik stabil atau meningkat hingga tingkat optimum;
 Ketersediaan nutrisi sesuai untuk memelihara kesuburan tanah;
 Tingkat salinitas, sodifikasi dan alkalinisasi berada pada level minimal;
 Air dapat berinfiltrasi dan mencukupi kebutuhan tanaman;
 Kontaminan berada dibawah tingkat toksisitas;
 Keberagaman biologis tanah tersedia.
Untuk mendapatkan tanah yang memenuhi karakteristik tersebut beberapa
hal dapat dilakukan sebagai upaya untuk pengelolaan tanah berkelanjutan. Untuk
mengurangi tingkat erosi juga menambah bahan organik tanah dapat dilakukan
dengan menanam tanaman mulsa penutup tanah yang dapat melindungi
permukaan tanah, juga implementasi teknologi lainnya seperti mulsa, pengolahan
tanah minimum atau tanpa pengolahan tanah (dimaksudkan untuk mengurangi
penggunaan herbisida), rotasi tanaman, juga agroferestry.

4. Konsep Teknologi Spesifik Lokasi


Teknologi yang dikembangkan harus sesuai dengan kondisi lingkungan
setempat dan dapat dikembangkan dengan sumberdaya lokal, yang dilakukan
dengan cara yang tidak mengurangi daya dukung sumber daya alam. Suatu usaha
pertanian yang melibatkan teknologi sudah mulai dari yang sangat sederhana
hingga sangat kompleks. Banyak teknologi baru yang dikembangkan melalui
penelitian tetapi tidak berpengaruh pada peningkatan kapasitas produksi pertanian,
hal ini karena diseminasi ke pengguna teknologi terhambat, apabila sudah
dikuasai oleh pelaku ternyata tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang
dibutuhkan. Teknologi produksi padi SRI sudah banyak didesiminasikan dan

15
mulai dikuasai oleh petani padi dengan berbagai nama lokal, ternyata sulit
dilakukan karena sistem pengaturan airnya kurang memadai.
Salah satu faktor teknologi yang penting dikembangkan dalam
menghadapi tantangan ke depan adalah varietas yang beradaptasi secara spresifik,
karena lahan yang tersedia selanjutnya merupakan lahan yang memiliki kondisi
spesifik seperti lahan kering, gambut, masam, atau mendapatkan naungan.
Penerapan teknologi dan norma produksi sebisa mungkin tidak mengganggu
keseimbangan ekosistem, karena ketika keseimbangan tersebut tidak terjaga akan
terjadi pergerakan ke kesetimbangan baru, yang dapat menurunkan daya dukung
sumber daya alam dan selanjutnya akan menekan produksi dan nilai ekonomi
usaha pertanian tersebut. Tekanan dari ketidakseimbangan ekosistem bukan hanya
dari faktor di sekitar lokasi usaha tani, tetapi juga dari faktor perubahan iklim,
berupa anomali cuca maupun pemanasan global. Sehingga perlu upaya lebih keras
untuk menciptakan teknologi bagi usaha pertanian yang lebih berdaya tahan.

5. Pengembangan Teknologi Pemanfaatan Mikroba


Mikroba berguna seringkali dijadikan sebagai komponen habitat alam
yang mempunyai peran dan fungsi penting dalam mendukung terlaksananya
pertanian ramah lingkungan melalui berbagai proses seperti dekomposisi bahan
organik, mineralisasi senyawa organik, fiksasi hara, pelarut hara, nitrifikasi, dan
denitrifikasi (Saraswati dan Sumarno, 2008). Menurut Karlen et al. (2006),
mikroba tanah dipandang sangat penting sehingga menjadi salah satu indikator
dalam menentukan indeks kualitas tanah. Populasi mikroba tanah yang tidak
bersifat patogenik juga dianggap sebagai salah satu indikator teknologi pertanian
ramah lingkungan.
Pemanfaatan mikroba ini telah banyak digunakan dan merupakan salah
satu pendekatan dalam mencapai pertanian berkelanjutan. Mikroba biasanya
dimanfaatkan sebagai produk biologi aktif yang berfungsi meningkatkan efisiensi
pemupukan, kesuburan, dan kesehatan tanah. Pemanfaatan ini diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi pemupukan dan meningkatkan produksi tanaman,
menghemat biaya pupuk, dan menjadi substitusi bagi input eksternal yang
merupakan produk sintetis (Saraswati dan Sumarno, 2008).

16
6. Teknologi Pemanfaatan Bahan Organik dan Bahan Lokal
Bahan organik tanah merupakan komponen penting penentu kesuburan
tanah. Kandungan bahan organik yang rendah menyebabkan partikel tanah mudah
pecah oleh curah hujan dan terbawa oleh aliran permukaan sebagai erosi, yang
pada kondisi ekstrim dapat mengakibatkan terjadinya desertifikasi (perubahan
menjadi padang pasir) (Pirngadi, 2009).
Semenjak revolusi hijau, pemanfaatan bahan organik jarang dilakukan di
Indonesia. Pirngadi (2009), menyebutkan, setiap tahun lebih dari 165 juta ton
bahan organik dihasilkan dari limbah panen tanaman pangan dan hortikultura.
Jerami sebagai limbah hasil panen padi jumlahnya mencapai 75-80 juta ton lebih
banyak digunakan untuk keperluan industri (kertas, karton, jamur merang),
sedangkan di sawah jerami lebih banyak dibakar (Pirngadi et al., 2006 dalam
Pirngadi, 2009).
Bahan organik mempunyai peranan penting sebagai sumber karbon, tanpa
bahan organik, mikroba dalam tanah akan menghadapi keadaan defisiensi karbon
sebagai pakan (Sisworo, 2006). Dengan demikian, penambahan bahan organik
sangat diperlukan agar kemampuan tanah dapat dipertahankan atau bahkan
ditingkatkan untuk mendukung upaya peningkatan produktivitas tanaman melalui
efisiensi penggunaan pupuk.
Penggunaan pemanfaatan bahan organik sebagai salah satu pendekatan
agroteknologi melalui upaya pembangunan pertanian berkelanjutan diartikan
sebagai pengelolaan lahan untuk memperoleh produktivitas optimal dan disertai
upaya pemeliharaan serta peningkatan kesuburan tanah (Sumarno dan Suyamto,
1998 dalam Pringadi, 2009). Pendekatan ini menekankan pentingnya daur hara
tertutup atau limbah pertanian yang dipanen dari lahan untuk dikembalikan ke
lahan, perlunya pengkayaan kandungan bahan organik dalam tanah, dan perlunya
lingkungan yang sehat dalam proses produksi tanaman (Pringadi, 2009).
Salah satu contoh pemanfaatan bahan organik adalah pemberian mulsa
alang-alang, daun gamal (Gliricidia sp.), dan mulsa kacang tunggak pada tanah
Latosol dengan takaran 5 t/ha, terbukti meningkatkan produksi padi gogo 6,4%

17
dengan mulsa alang-alang, 15% dengan mulsa daun gamal, dan 7,0% dengan
mulsa kacang tunggak (Pirngadi et. al., 2001).

7. Cropping Systems : Jembatan Penghubung IFS


Cropping System adalah interaksi antara pola tanam yang diterapkan pada
sebidang lahan dengan sumber daya lahan, iklim, biaya, teknologi, sedangkan
pola tanam (cropping pattern) yaitu susunan tata letak dan tata urut tanaman pada
sebidang lahan selama periode tertentu termasuk pengolahan tanah dan masa bera
(Andrews dan Kassam, 1976). Hal pertama yang harus dilakukan adalah suatu
studi dasar (base line study) untuk mengetahui profil agro ekonomi dari daerah-
daerah bina yang akan dikembangkan, mencakup kondisi biologi, fisik, dan sosial
ekonomi yang sedang berlaku saat itu. Langkah kedua adalah menginventarisasi
teknologi yang tersedia, baik yang berasal dari hasil penelitian ataupun dari petani
lain pada kondisi agroklimat yang sama yang menjalankan usaha tani lebih maju.

Tantangan Pertanian Berkelanjutan di Indonesia

1. Kondisi agro-klimat lokal

Heterogenitas lingkungan agroklimat mempunyai implikasi bahwa tidak


terdapat satu pendekatan yang dapat diterapkan di seluruh dunia secara seragam.
Teknik dan sistem yang berbeda diterapkan, dan diadaptasikan, dalam kondisi
agroekologi yang berbeda, memberikan hasil yang berbeda. Misalnya, di Ethiopia,
pengolahan tanah kurang dan teras batu memberikan hasil yang lebih baik pada
daerah agak kering (semi arid) dibandingkan dengan daerah dengan curah hujan
tinggi. Faktor-faktor biofisik lokal atau regional seperti kualitas tanah dan
karakteristik plot telah ditemukan menjadi faktor penentu penting untuk
mengadopsi teknologi pengolahan tanah konservasi. Teknologi yang sama
mungkin tidak sesuai untuk semua keluarga petani karena perbedaan sumberdaya
yang dimilikinya, atau pasar yang tidak sempurna atau bahkan tidak ada, serta
tidak adanya kredit.

2. Ketersediaan biomasa

18
Adopsi praktek pertanian berkelanjutan oleh petani miskin bergantung
pada jumlah dan ketersediaan biomassa (misalnya sisa-sisa tanaman, kotoran
hewan). Hal ini karena kebanyakan praktek pertanian berkelanjutan (seperti
kontrol erosi, konservasi air, peningkatan kesuburan tanah, pengikatan karbon)
berhubungan secara langsung dengan biomasa yang digunakan untuk
memperbaiki kualitas tanah. Kuantitas biomasa yang tersedia bagi petani kecil
umumnya tidak mencukupi karena petani miskin mempunyai sumberdaya yang
terbatas (seperti lahan, ternak dan/atau tenaga kerja). Beberapa studi telah
menemukan bukti bahwa kepemilikan ternak mempengaruhi adopsi penerapan
kompos, sedangkan total lahan yang dimiliki dan tenaga kerja membatasi adopsi
pengolahan tanah konservasi. Adopsi dari teknik seperti penggunaan tanaman
penutup dan sisa-sisa tanaman (mulsa) di daerah dataran tinggi Ethiopia
bergantung pada ukuran lahan pertanian dan ketersediaan tenaga kerja. Jadi,
meskipun petani miskin sadar akan terjadinya degradasi tanah dan lingkungan
yang disebabkan tidak digunakannya biomasa untuk memperbaiki kualitas tanah,
mereka mungkin masih memilih untuk mengalihkan biomasa yang langka itu
untuk digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak atau sebagai makanan
ternak karena mereka tidak mempunyai alternatif lain.

3. Insentif ekonomi

Insentif ekonomi juga sangat penting dalam menentukan kelayakan


ekonomi dari pertanian berkelanjutan. Tingkat keuntungan (dalam jangka pendek
dan jangka panjang) dari praktek pertanian berkelanjutan akan mempengaruhi
penyebarannya secara luas. Adopsi dan pendapatan ekonomi dari sebuah
teknologi merupakan fungsi dari atau dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
harga, permintaan konsumen untuk pangan jenis tertentu, infrastruktur fisik, akses
pasar, agro-ekologi dan karakteristik dari rumah tangga (seperti kaya lawan
miskin dan kepala keluarga laki-laki lawan kepala keluarga perempuan). Juga
penting, tingkat keuntungan dari sebuah praktek tertentu bergantung pada kondisi
agro-ekologi. Meningkatnya harga input akan mendorong adopsi praktek
pertanian berkelanjutan karena petani akan menggantikan input eksternal dengan

19
praktek yang seringnya lebih banyak menggunakan tenaga kerja dan sumberdaya
yang tersedia secara lokal.

4. Pasar produk

Permintaan juga menjadi pendorong diadopsinya sebuah teknologi.


Pengetahuan yang meningkat dan perbaikan jalur komunikasi akan mengarahkan
konsumen untuk meningkatkan permintaannya akan produk pangan yang
diproduksi secara organik di negara-negara maju. Pada saat yang sama, konsumen
semakin meminta produk makanan yang diproduksi dengan menggunakan teknik
konservasi sumberdaya alam, mengurangi tekanan terhadap lingkungan dan
menaruh perhatian 6 terhadap kelayakan untuk daerah perdesaan dan
kesejahteraan hewan. Hal ini bisa menjadi kesempatan untuk mengadopsi praktek-
praktek pertanian berkelanjutan bagi negara-negara maju. Petani-petani di negara
berkembang tidak terintegrasi dengan pasar input dan output. Hal ini
mempengaruhi promosi dan adopsi teknologi ini. Studi di Ethiopia, Kenya dan
Republik Dominika menemukan bahwa infrastruktur dan akses pasar yang lebih
baik mempunyai dampak positif terhadap adopsi teknologi termasuk praktek
pertanian berkelanjutan. Biaya investasi yang dibayar di muka dan biaya transaksi
dalam pembelajaran dalam mengembangkan atau adaptasi teknologi lama juga
menjadi hambatan dalam mengadopsi teknologi ini, terutama di negara
berkembang dimana pasar modal bersifat tak sempurna.

5. Akses Informasi

Akses terhadap informasi juga penting dalam menimbulkan kesadaran dan


sikap terhadap adopsi teknologi. Ketidakcukupan informasi tentang ketersediaan,
manfaat bersih dari adopsi, dan detil teknis implementasi praktek pertanian
berkelanjutan menjadi penghambat untuk mengadopsi teknologi ini. Di Ethiopia,
studi baru-baru ini menemukan bahwa akses terhadap pelayanan penyuluhan
pertanian mempengaruhi adopsi kompos dan pengolahan tanah kurang (less
tillage) secara positif, sedangkan pendidikan formal (sebagai lawan dari tanpa
pendidikan sama sekali) meningkatkan kemungkinan penerapan kompos.
Kurangnya kesadaran terhadap besarnya masalah erosi tanah seperti juga
kurangnya pengetahuan tentang teknologi konservasi juga diidentifikasi sebagai

20
dua hambatan utama petani dalam mengadopsi teknologi konservasi tanah dan air
di Tanzania.

6. Penguasaan Lahan

Ketidakamanan penguasaan lahan (land tenure insecurity) telah terbukti


menjadi kendala bagi setiap investasi dimana penerimaannya dibobot dengan
(akan diterima di) masa depan, ketika uang kontan saat sekarang yang diperlukan.
Hal ini berlaku untuk semua adopsi teknologi termasuk praktek pertanian
berkelanjutan. Meskipun demikian, dampak ketidakamanan penguasaan lahan
dalam investasi dari praktek berkelanjutan telah ditemukan spesifik lokasi atau
negara. Di Filipina dan Honduras, ketidakamanan penguasaan secara positif dan
signifikan mempengaruhi adopsi “hedgerow” (pagar tanaman hidup diantara
tanaman yang diusahakan) dan pengolahan tanah minimum (minimum tillage).
Meskipun demikian, sebuah studi yang dilaksanakan di Uganda dan Selatan
Ethiopia dimana kelangkaan sumberdaya merupakan hal yang umum, menemukan
bahwa ketidakamanan penguasaan lahan tidak secara signifikan menghambat
investasi pada lahan.

7. Kelembagaan

Kelembagaan juga merupakan aspek penting dalam memfasilitasi promosi


dan adopsi praktek pertanian berkelanjutan. Penelitian terapan, pelayanan
penyuluhan, dan jaringan LSM dapat menjadi jembatan untuk pengembangan,
implementasi, dan adaptasi dari pratek-praktek seperti ini. Pendekatan
partisipatoris yang ikut mempertimbangkan modal masyarakat (modal sosial)
dalam implementasi teknologi telah diidentifikasi menjadi salah satu faktor
penting dalam mempengaruhi adopsi dari praktek-praktek pertanian
berkelanjutan.
Kurangnya pelayanan penyuluhan yang layak telah diidentifikasi sebagai
penghambat dari adopsi teknologi untuk meningkatkan produktivitas, dan
dianggap sebagai salah satu kelemahan sistem penyampaian dalam penyuluhan.
Untuk menjamin bahwa informasi yang tepat dan terkini telah disampaikan oleh
para penyuluh, diperlukan pengembangan sistem pelatihan dan organisasi yang
senantiasa meningkatkan kompetensi para penyuluh, terutama mengenai praktek-

21
praktek bertani tidak konvensional seperti pertanian berkelanjutan. Dengan
terbatasnya sumberdaya pemerintah dan tekanan keuangan yang dialami oleh
institusi penyuluhan, adalah penting untuk mendorong kegiatan penyuluhan dari
petani ke petani dengan 7 melatih beberapa petani terpilih. Jaringan informal
diantara para petani selalu menjadi saluran yang kuat untuk saling tukar menukar
informasi dan menyebarkan pengetahuan. Misalnya di Kamboja, pengguna SIP
telah tumbuh hampir 4000 kali pada tahun 2008 dibandingkan dengan pada tahun
2000, terutama melalui penyebarluasan informasi secara informal. Sebuah
evaluasi yang dilakukan terhadap 120 petani yang menggunakan metode SIP
selama paling sedikit 3 tahun ditemukan bahwa, secara keseluruhan, mereka telah
memberi informasi pada 969 rumah tangga di dalam desanya, dan 967 rumah
tangga di luar desanya. Akan tetapi, meskipun difusi informasi seperti itu sangat
memberi harapan, hal ini tidak bisa menjadi pengganti terhadap keperluan adanya
petugas penyuluhan yang terlatih baik. Mereka tetap diperlukan untuk
memberikan informasi yang bisa dipercaya tentang praktek-praktek ini, dan
karenanya akan menjamin keberlanjutannya.
Sebagian besar petani di negara berkembang berada di luar sistem
‘ekonomi kontan’ dengan risiko dan biaya transaksi yang tinggi. Ini berarti
kelembagaan yang ada di perdesaan menjadi sangat penting untuk menjangkau
petani semacam ini, memberi mereka dengan informasi, kredit dan pelayanan
pemasaran. Kelompok atau asosiasi petani dapat menjadi sumber informasi yang
berharga bagi petani. Di Ethiopia bagian utara, keanggotaan rumah tangga dalam
paling sedikit sebuah kelompok tani secara signifikan meningkatkan kemungkinan
diterapkannya pengolahan tanah konservasi dan/atau kompos di lahan pertanian
mereka. Juga di Ethiopia, pelayan kredit yang dikaitkan dengan bantuan teknis
dari lembaga keuangan mikro meningkatkan penggunaan kompos dan investasi
dalam pengolahan lahan, tanaman kayu-kayuan dan pagar hidup.

8. Kendala Politik.

Pada tingkat nasional dan internasional, kebijakan lingkungan mungkin


agak kondusif bagi penyebar-luasan praktek pertanian berkelanjutan. Pada
awalnya, faktor yang mempengaruhi rancangan kebijakan pertanian adalah tingkat

22
kesadaran para pembuat keputusan tentang manfaat dari praktek pertanian
berkelanjutan, yang diantaranya mewakili perubahan yang signifikan dari
paradigma yang diterima sebelumnya. Sebagai tambahan, pertanian berkelanjutan
dengan mengurangi input eksternal seperti pupuk dan bahan kimia lainnya untuk
mengontrol gulma dan hama, mungkin akan menghadapi tantangan dari industri
agro-kimia dan aktor tradisional lainnya dalam rantai suplai input pertanian
intensif. Agar bisa berhasil meningkatkan secara luas penerapan pertanian
berkelanjutan diperlukan dukungan politik pada berbagai level dari lokal sampai
nasional.

23
PENUTUP

Sistem pertanian berkelanjutan merupakan sistem perubahan dari


pertanian tradisional dengan tujuan untuk dapat memenuhi tujuan yang telah
direncanakan, mengatasi permasalahan perekonomian dunia dan memaksimalkan
kebutuhan yang cepat dan siap saji. Hal tersebut juga didasarkan pada pengelolaan
sumberdaya yang ada dengan maksimal, memanfaatkan, mempertahankan dan
lebih meningkatkan kualitas lingkungan serta konservasi sumberdaya alam.
Pendekatan-pendekatan dari aspek ekologi telah banyak dilakukan untuk
mencapai keberlanjutan dalam usaha pertanian, diantaranya dengan pengelolaan
tanaman terpadu (PTT), pertanian input rendah (LEISA), pengelolaan tanah
berkelanjutan, pemanfaatan mikroba, dan pemanfaatan bahan organik. Semua
upaya tersebut diharapkan dapat membuat sebuah kegiatan pertanian menjadi
berkelanjutan dengan hasil optimum dan ramah lingkungan, terlepas dari berbagai
kendala dan tantangan yang dihadapi dalam suatu negara khususnya Indonesia.

24
DAFTAR PUSTAKA

Food and Agriculture Organization of United Nations. 2017. Voluntary


Guidelines for Sustainable Soil Management. Rome, Italy.

Karlen D.L., E.G. Hurley, and A.P. Mallarino. 2006. Crop rotation on soil quality
at three northern corn/soybean belt location. J. Agron 98: 484-495.

Kumar, Dinesh and Y.S Shivay. Modern concepts of agriculture: Integrated Crop
Management. Indian Agricultural Research Institute.

Mustikarini, Lestari T, Santi. 2010. Penerapan paket teknologi LEISA (Low


External Input and Sustainable Agriculture) pada lahan pasca penambangan
timah di kecamatan Mendo Barat, Bangka. Jurnal Pertanian dan Lingkungan
3(1): 1-41.

Pirngadi, K., H.M. Toha, K. Permadi, dan A. Guswara. 2001. Sistem olah tanah
dan pengelolaan bahan organik pada hasil padi gogo di lahan kering
didominasi gulma alang-alang. Prosiding Seminar Nasional Air-Lahan-Pangan.
Pusat Penelitian Manajemen Air dan Lahan, Palembang 20-21 Juni 2001. hlm.
A16.1-A16. 8.

Pirngadi, Kasdi. 2009. Peran bahan organik dalam peningkatan produksi padi
berkelanjutan mendukung ketahanan pangan nasional. J. Pengembangan
Inovasi Pertanian 2(1): 48-64.

Plucknert, Winkelmann DI. 1992. Technology for Sustainable Agriculture.


Scientific American. 182 - 186.

Rahman, Didik Taufik. 2014. Pertanian Berkelanjutan.


http://organichcs.com/2014/01/15/pertanian-berkelanjutan/. Diakses pada
tanggal 23 Februari 2018.

Rambodagedera, D.B. 2006. Sustainable agriculture. Institute for Participatory


Interaction in Development. Pilimathalawa.

Reijntjes C, Haverkort B, Waters-Bayers A. 1999. Pertanian Masa Depan.


Diterjemahkan oleh Y. Sukoco. Yogyakarta: Kanisius.

Rukmana, D. 2012. “Pertanian Berkelanjutan: Mengapa, Apa Dan Pelajaran


Penting Dari Negara Lain”. 5-7.

Saraswati, Rasti, dan Sumarno. 2008. Pemanfaatan mikroba penyubur tanah


sebagai komponen teknologi pertanian. J. Iptek Tanaman Pangan 3(1): 41-58.

25
Sisworo, W.H. 2006. Swasembada pangandan pertanian berkelanjutan tantangan
abad dua satu: pendekatan ilmu tanah, tanaman, dan pemanfaatan iptek nuklir.
Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta.

Sudirja, Rija. 2008. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sistem


Pertanian Organik
http://repository.unpad.ac.id/914/1/pembangunan_pertanian_berkelanjutan_ber
basis_sistem_pertanian_organik.pdf. Diakses pada tanggal 22 Februari 2018.

26

Anda mungkin juga menyukai