Anda di halaman 1dari 20

I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Usaha agrikultur merupakan sektor yang penting di Indonesia
karena sebagian pendapatan nasional berasal dari hasil ekspor beberapa
produk dari sektor ini.Selain itu, sektor ini juga berperan dalam memenuhi
kebutuhan pangan nasional serta merupakan mata pencaharian utama bagi
sebagian besar penduduk Indonesia. Namun, kebanyakan petani berada
pada golongan menengah kebawah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya
produktivitas lahan, rendahnya harga hasil pertanian, dan terbatasnya
kesempatan bekerja di luar usaha tani. Pada umumnya, sistem pertanian
yang dilakukan petani bergantung pada pemberian masukan luar yang
cukup tinggi, yaitu berupa pupuk kimia dan pestisida untuk menghasilkan
produksi yang tinggi. Pemberian pupuk kimia yang tinggi tersebut
mengakibatkan terkurasnya beberapa unsur hara dalam tanah atau menjadi
tidak tersedia bagi tanaman sehingga keseimbangan hara tanah terganggu
dan produktivitas tanah menjadi rendah. Kegiatan usaha tani tidak akan
berkelanjutan jika kondisi tersebut terus berlangsung.
Pertanian berkelanjutan mempunyai beberapa prinsip, yaitu :
a. Menggunakan sistem input luar yang efektif, produktif, murah, dan
membuang metode produksi yang menggunakan sistem input dari
industri,
b. Memahami dan menghargai kearifan lokal serta lebih banyak
melibatkan peran petani dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
pertanian,
c. Melaksanakan konservasi sumberdaya alam yang digunakan dalam
sistem produksi.
Dalam upaya mengatasi akibat negatif dari sistem pertanian
konvensional, dikembangkan konsep pertanian yang mengupayakan
keberkelanjutan dengan meminimalkan masukan luar serta
memperhatikan dampak negatif dari kegiatan pertanian. Konsep pertanian
tersebut dikenal dengan istilah LEISA (Low External Input and
Sustainable Agriculture, pertanian berkelanjutan dengan masukan
eksternal rendah).
LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture) mengacu
pada bentuk-bentuk pertanian yang berusaha mengoptimalkan sumber
daya lokal yang ada dengan mengkombinasikan berbagai macam
komponen sistem usaha tani, yaitu tanaman, hewan, tanah, air, iklim, dan
manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang
paling besar. Yang kedua berusaha mencari cara pemanfaatan  input luar
hanya bila diperlukan untuk melengkapi  unsur-unsur yang kurang dalam
ekosistem dan meningkatkan sumber daya biologi, fisik, dan manusia.
Dalam memanfaatkan input luar, perhatian utama diberikan pada
maksimalisasi daur ulang dan minimalisasi kerusakan lingkungan.
Pengembangan LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture)
ditengah-tengah sektor pertanian dapat memberikan dampak positif yang
besar bagi semua pihak, termasuk konsumen pertanian, petani dan juga
lingkungan. Besarnya manfaat yang diperoleh dari konsep LEISA (Low
External Input and Sustainable Agriculture) menyebabkan konsep ini
tepat untuk dikembangkan dan dipelajari lebih lanjut untuk mendukung
kemajuan dunia pertanian.

I.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor yang
mempengarui pertanian berkelanjutan, mengetahui pengembangan
pertanian berkelanjutan dengan konsep LEISA (Low External Input and
Sustainable Agriculture) dan mengetahui manfaat LEISA bagi
keberlanjutan pertanian.
I.3 Rumusan Masalah
1) Apakah yang dimaksud dengan LEISA ?
2) Bagaimanakah keterkaitan konsep LEISA dan Pembangunan
Pertanian Berkelanjutan?
3) Baaimana korelasinya terhadap bidang usaha peternakan sapi
perah?
II
PEMBAHASAN

Definisi LEISA
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pemanfaatan sumber
daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat
diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi pertanian dengan
menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan
yang dimaksud adalah dengan turut memperhatikan penggunaan sumber daya,
kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang
berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah
terhadap lingkungan (Kasumbogo, 1997).
LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture) adalah pertanian
yang mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia setempat/lokal,
layak secara ekonomis, mantap secara ekologis, sesuai dengan budaya, adil secara
sosial, dan input luar hanya sebagai pelengkap. Konsep LEISA (Low External Input
and Sustainable Agriculture) merupakan penggabungan dua prinsip yaitu agroekologi
serta pengetahuan dan praktek pertanian masyarakat setempat/tradisional.
Agroekologi merupakan studi holistik tentang ekosistem pertanian termasuk semua
unsur lingkungan dan manusia. Dengan pemahaman akan hubungan dan proses
ekologi, agroekosistem dapat dimanipulasi guna peningkatan produksi agar dapat
menghasilkan secara berkelanjutan, dengan mengurangi dampak negatif yang
ditimbulkan bagi lingkungan maupun sosial serta meminimalkan input
eksternal. Konsep ini menjadi salah satu dasar bagi pengembangan pertanian yang
berkelanjutan.
Metode LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture) tidak
bertujuan memaksimalkan produksi dalam jangka pendek, namun untuk mencapai
tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang. LEISA (Low
External Input and Sustainable Agriculture) berupaya mempertahankan dan sedapat
mungkin meningkatkan potensi sumber daya alam serta memanfaatkannya secara

3
optimal. Pada prinsipnya, hasil produksi yang keluar dari sistem atau dipasarkan
harus diimbangi dengan tambahan unsur hara yang dimasukkan ke dalam sistem
tersebut. Dengan metode LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture),
kekhawatiran penurunan produktivitas secara drastis dapat dihindari. Model LEISA
(Low External Input and Sustainable Agriculture) masih menjaga toleransi
keseimbangan antara pemakaian input internal dan input eksternal, misalnya
penggunaan pupuk organic diimbangi dengan pupuk TSP, pemakaian pestisida hayati
dilakukan bersama-sama dengan pestisida sintesis, teknologi spesifik lokalitas
disandingkan dengan teknologi canggih, dan sabagainya (Salikin, 2003).
Prinsip-prinsip ekologi dasar pada LEISA (Low External Input and
Sustainable Agriculture) bisa dikelompokkan sebagai berikut (Reijntjes et al, 1999):
1. Menjamin kondisi tanah yang mendukung bagi pertumbuhan tanaman,
khususnya dengan mengelola bahan-bahan organik dan meningkatkan
kehidupan dalam tanah.
2. Mengoptimalkan ketersediaan unsur hara dan menyeimbangkan arus unsur
hara, khususnya melalui peningkatan nitrogen, pemompaan unsur hara, daur
ulang dan pemanfaatan pupuk luar sebagai pelengkap.
3. Meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi matahari, udara, dan air
dengan cara pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air, dan pengendalian
erosi.
4. Meminimalkan serangan hama dan penyekit terhadap tanaman dan hewan
melalui pencegahan dan perlakuan yang aman.
5. Saling melengkapi dan sinergi dalam penggunaan sumber daya genetik yang
mencukupi penggabungan dalam sistem pertanian terpadu dengan tingkat
keanekaragaman fungsional yang tinggi.
LEISA dipilih sebagai kebijakan alternatif karena beberapa kelebihannya.
Secara teknologis, sistem pertanian LEISA berpotensi mengurangi ketergantungan
petani pada pembelian berbagai input eksternal pertanian sehingga dapat
memperbesar keuntungan petani. Bahkan, dari sudut penambahan lapangan kerja dan
diversifikasi usaha, LEISA diyakini berpotensi membangkitkan kekuatan vital untuk
menghidupkan kembali daerah pedesaan. Di pihak lain, sistem LEISA diyakini dapat
membawa dampak yang menguntungkan masyarakat, seperti pengurangan kerusakan
lingkungan akibat erosi tanah dan pencemaran bahan kimia terhadap air, tanah dan
udara, penghematan bahan bakar fosil (minyak bumi), serta pemeliharaan
keberlanjutan pertanian bagi generasi di masa depan (Mangoting, 1998).
Suatu konsep utama dalam ekologi adalah “relung”, yaitu fungsi atau peran
suatu organisme dalam ekosistem serta sumber daya kehidupannya yang menentukan
kesempatannya untuk bertahan hidup dan pengaruh positif dan negatifnya terhadap
komponen lain. Agroekosistem dengan banyak relung yang berbeda dan ditempati
oleh beragam jenis spesies cenderung lebih stabil daripada yang ditempati oleh hanya
satu spesies. Pemanfaatan keanekaragaman fungsional sampai pada tingkat yang
maksimal mengakibatkan sistem pertanian yang kompleks dan terpadu yang
menggunakan sumber daya dan input yang ada secara optimal. Tantangannya adalah
menentukan kombinasi tanaman, hewan dan input yang mengarah pada produktivitas
yang tinggi, keamanan produksi serta konservasi sumber daya yang relatif sesuai
dengan keterbatasan lahan, tenaga kerja dan modal (Reijntjes et al, 1999).

LEISA Sebagai Suatu Sistem Dalam Pembangunan Berkelanjutan


Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai “pembangunan yang
memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan kesanggupan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka”. Pertanian berkelanjutan adalah
keberhasilan dalam mengelola sumberdaya untuk kepentingan pertanian dalam
memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan
kualitas lingkungan serta konservasi sumberdaya alam. Pertanian berwawasan
lingkungan selalu memperhatikan nasabah tanah, air, manusia, hewan/ternak,
makanan, pendapatan dan kesehatan. Sedang tujuan pertanian yang berwawasan
lingkungan adalah mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah,
meningkatkan dan mempertahankan basil pada aras yang optimal, mempertahankan
dan meningkatkan keanekaragaman hayati dan ekosistem, dan yang lebih penting
untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan penduduk dan makhluk hidup
lainnya.
Sistem pertanian berkelanjutan harus dievaluasi berdasarkan pertimbangan
beberapa kriteria, antara lain:
1) Aman menurut wawasan lingkungan, berarti kualitas sumberdaya alam dan
vitalitas keseluruhan agroekosistem dipertahankan/mulai dari kehidupan
manusia, tanaman dan hewan sampai organisme tanah dapat ditingkatkan. Hal
ini dapat dicapai apabila tanah terkelola dengan baik, kesehatan tanah dan
tanaman ditingkatkan, demikian juga kehidupan manusia maupun hewan
ditingkatkan melalui proses biologi. Sumberdaya lokal dimanfaatkan
sedemikian rupa sehingga dapat menekan kemungkinan terjadinya kehilangan
hara, biomassa dan energi, dan menghindarkan terjadinya polusi.
Menitikberatkan pada pemanfaatan sumberdaya terbarukan.
2) Menguntungkan secara ekonomi, berarti petani dapat menghasilkan sesuatu
yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri/ pendapatan, dan cukup
memperoleh pendapatan untuk membayar buruh dan biaya produksi lainnya.
Keuntungan menurut ukuran ekonomi tidak hanya diukur langsung
berdasarkan hasil usaha taninya, tetapi juga berdasarkan fungsi kelestarian
sumberdaya dan menekan kemungkinan resiko yang terjadi terhadap
lingkungan.
3) Adil menurut pertimbangan sosial, berarti sumberdaya dan tenaga tersebar
sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat dapat
terpenuhi, demikian juga setiap petani mempunyai kesempatan yang sama
dalam memanfaatkan lahan, memperoleh modal cukup, bantuan teknik dan
memasarkan hasil. Semua orang mempunyai kesempatan yang sama
berpartisipasi dalam menentukan kebijkan, baik di lapangan maupun dalam
lingkungan masyarakat itu sendiri.
4) Manusiawi terhadap semua bentuk kehidupan, berarti tanggap terhadap semua
bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia) prinsip dasar semua bentuk
kehidupan adalah saling mengenal dan hubungan kerja sama antar makhluk
hidup adalah kebenaran, kejujuran, percaya diri, kerja sama dan saling
membantu. Integritas budaya dan agama dari suatu masyarakat perlu
dipertahankan dan dilestarikan.
5) Dapat dengan mudah diadaptasi, berarti masyarakat pedesaan/petani mampu
dalam menyesuaikan dengan perubahan kondisi usahatani: pertambahan
penduduk, kebijakan dan permintaan pasar. Hal ini tidak hanya berhubungan
dengan masalah perkembangan teknologi yang sepadan, tetapi termasuk juga
inovasi sosial dan budaya.Kekuatan utama sistem pertanian terletak pada
integrasi fungsional dari beragam sumber daya dan teknik pertanian. Dengan
mengintegrasikan beragam fungsi pemanfaatan lahan (misalnya memproduksi
bahan pangan, kayu, dan sebagainya, mengkonservasi tanah dan air,
melindungi tanaman, dan mempertahankan kesuburan tanah) serta
pemanfaatan beragam komponen biologis (ternak besar dan ternak kecil,
tanaman pangan, hijauan makanan ternak, padang rumput alami,
pohon,rempah-rempah, pupuk hijau, dan sebagianya), stabilitas dan
produktivitas sistem usaha tani sebagai suatu keseluruhan bisa ditingkatkan
dan basis sumber daya alam bisa dikonservasikan.
Konservasi merupakan faktor yang penting dalam pertanian berwawasan
lingkungan. Konservasi sumberdaya terbarukan berarti sumberdaya tersebut harus
dapat difungsikan secara berkelanjutan (continous). Sekarang kita sudah mulai sadar
tentang potensi teknologi, kerapuhan lingkungan, dan kemampuan budidaya manusia
untuk merusak lingkungan tersebut. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa ketersediaan
sumberdaya adalah terbatas. Pada dasarnya konservasi lahan diarahkan untuk
memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hidrologis, menjaga
kelestarian sumber air, meningkatkan sumber daya alam serta memperbaiki kualitas
lingkungan hidup yang pada gilirannya meningkatkan produksi dan  pendapatan
petani melalui usaha tani yang berkelanjutan.
Tidak ada satu metode pertanian yang secara tunggal  memiliki kunci
keberlanjutan. Sistem pertanian apa pun, apakah  itu ”padat bahan kimia ” atau
”alamiah” di lihat dari berbagai sudut pandang  bersifat melestarikan sumber daya,
sedangkan dari sudut lain  bersifat boros, tidak berwawasan lingkungan atau
mencemarkan. Sudah sering dipertanyakan  berapa lama energi  dari luar dan suplai
unsur hara, bahan bakar minyak, petrokimia dan pupuk mineral dari luar dapat
dipertahankan. Namun dengan langsung mengganti  anternatif nonkimia belum tentu
akan membuat pertanian lebih berkelanjutan. Misalnya  penggunaan pupuk kandang
secara  tidak bijaksana dapat mencemarkan tanah dan permukaan seburuk
pencemaran  yang ditimbulkan oleh penggunaan pupuk kimia secara berlebihan.
Begitu pula pemakaian  pestisida yang dibuat  dari tumbuhan bisa sama  bahayanya
dengan pestisida kimia.
Suatu konsensus telah dikembangkan untuk mengantisipasi pertanian
berkelanjutan. Sistem produksi yang dikembangkan berasaskan LEISA (Low
External Input Sustainable Agriculture) yang kalau diterjemahkan sebagai (Pertanian
Berkelanjutan dengan masukan dari luar usahatani rendah). LEISA adalah pertanian
yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam dan manusia yang tersedia
ditempat (seperti tanah, air, tumbuhan, tanaman, dan hewan atau ternak setempat,
manusia, pengetahuan dan keterampilan) dan secara ekonomi maupun ekologis
bermanfaat disesuaikan menurut kondisi setempat (Reijntjes, 2003). Kebijakan
LEISA, secara konseptual mempunyai dua tujuan utama yaitu memperbesar
pendapatan (petani) serta memelihara lingkungan melalui pembangunan suatu sistem
atau praktek pertanian terpadu. Konsep ini dapat dijabarkan menjadi beberapa rakitan
operasional, antara lain: meningkatkan produktivitas, melaksanakan konservasi energi
dan sumberdaya alam, mencegah terjadinya erosi dan membatasi kehilangan unsur
hara, meningkatkan keuntungan usahatani, memantapkan dan keterlanjutan
konservasi serta sistem produksi pertanian.
            LEISA (Low external input sustainable agriculture) merupakan suatu pilihan
yang layak bagi petani dan bisa melengkapi bentuk-bentuk lain produksi pertanian.
Karena sebagian besar petani tidak mampu untuk memanfaatkan input buatan itu atau
hanya dalam jumlah yang sangat sedikit, maka perhatian perlu dipusatkan
pada  teknologi yang bisa memanfaatkan sumber daya lokal secara efisien. Petani
yang kini menerapkan HEIA, bisa saja mengurangi pencemaran dan biaya serta
meningkatkan efisiensi inputluar dengan menerapkan beberapa teknik LEISA.
LEISA mengacu pada bentuk-bentuk pertanian sebagai berikut:
1. Berusaha mengoptimalkan sumber daya lokal yang ada dengan
mengkombinasikan berbagai macam komponen sistem usaha tani, yaitu
tanaman, hewan, tanah, air, iklim, dan manusia sehingga saling melengkapi
dan memberikan efek sinergi yang paling besar.
2. Berusaha mencari cara pemanfaatan  input luar hanya bila diperlukan untuk
melengkapi  unsur-unsur yang kurang dalam ekosistem dan meningkatkan
sumber daya biologi, fisik, dan manusia. Dalam memanfaatkan input luar,
perhatian utama diberikan pada maksimalisasi daur ulang dan minimalisasi
kerusakan lingkungan.
LEISA (Low external input sustainable  agriculture) tidak bisa
dipresentasikan sebagai solusi mutlak terhadap masalah-masalah pertanian dan
lingkungan yang mendadak di dunia ini, tetapi LEISA bisa memberikan kontribusi
yang berharga untuk memecahkan beberapa permasalahan tersebut: LEISA terutama
merupakan suatu pendekatan pada pembangunan pertanian yang ditujukan pada
situasi di daerah-daerah pertanian tadah hujan yang terabaikan oleh pendekatan-
pendekatan konvensional.

Korelasi Konsep LEISA Dalam Peternakan Sapi Perah


Dalam artikel yang termuat pada Journal of the Indonesian Tropical Animal
Agriculture halaman 412-420 yang membahas tentang status keberlanjutan dimensi
ekologi pada peternakan sapi perah rakyat pada musim hujan di KUNAK, Kabupaten
Bogor, indeks keberlanjutannya berada pada nilai 57,95 dari indeks 0-100 atau dalam
kategori sedang (gambar 1). Indeks keberlanjutan ini lebih rendah dari Erif Farm
(76,21) dan Cifa Farm di Cisarua (76,92) (Jaenudin et al., 2017). Sedangkan untuk
hasil analisis leverage menunjukkan atribut ≥ 4 adalah aliran pupuk kandang ke
padang rumput, topografi dan curah hujan (gambar 2). Atribut tersebut merupakan
atribut yang harus diminimalkan untuk menjaga keberlanjutan dimensi ekologi dalam
pengoperasiannya peternakan sapi perah rakyat yang menerapkan pola LEISA di
KUNAK. Aliran kotoran ke padang rumput sangat erat kaitannya dengan kebersihan
kandang hewan, pengelolaan limbah dan pertumbuhan hijauan. Kebersihan kandang
hewan erat kaitannya dengan kesehatan sapi perah. Kebersihan kandang akan
memberikan kondisi yang nyaman dan suasana yang sehat bagi sapi untuk
mendukung pertumbuhan dan produktivitas yang optimal. Everitt dkk. (2002)
menyatakan bahwa kebersihan kandang, kondisi sapi laktasi, peralatan, perah sangat
mempengaruhi kualitas susu yang diproduksi dan jumlah bakteri susu. Kusnadi dan
Juarini (2007) menyatakan bahwa jumlah bakteri susu (total plate count), lemak susu
dan total padatan merupakan penentu harga susu di Indonesia. Oleh karena itu,
sanitasi dan pengendalian pemberian pakan, peralatan dan proses pemerahan harus
mendapat perhatian khusus. Sebelum proses pemerahan dimulai, sapi harus
dibersihkan di sekitar perut dan ambingnya menggunakan air hangat. Demikian pula,
rumah dan peralatan juga harus dibersihkan sebelum diperah. Kebersihan perumahan
akan terjaga jika drainase perumahan dikelola dengan baik, sehingga pengelolaan
sampah menjadi lebih terkelola. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 100 /
Permentan / OT.140 / 7/2014 tentang Pedoman Peternakan yang Baik untuk
Pembibitan Sapi Perah menyebutkan bahwa setiap peternakan sapi perah harus
mempunyai drainase dan saluran pembuangan yang baik, dengan kemiringan lantai 2-
5 derajat, tidak licin, tidak kasar, mudah kering dan tahan stamping serta
menggunakan alas (karpet / keset) untuk menjaga kebersihan kandang dan tidak
tergenang air. Pengelolaan drainase kandang yang baik juga akan memudahkan
pengelolaan limbah (kotoran / air seni) untuk pupuk organik atau biogas.
Atribut topografi juga perlu diperhatikan karena sangat mempengaruhi posisi
kandang, kenyamanan sapi, dan aktivitas pekerja untuk penyediaan hijauan. Lahan
dengan topografi datar akan membuat peternak sapi lebih nyaman dan lebih mudah
menjalankan kegiatan peternakan seperti pemberian pakan, pemerahan dan pemberian
pakan serta angkutan susu. Suratman dan Busyra (2006) menunjukkan bahwa
topografi lereng terbaik untuk peternakan sapi perah kurang dari 15%, jika
kemiringan lebih dari 30% memerlukan konservasi lahan yang intensif. Pertumbuhan
beberapa spesies hijauan akan rentan pada kondisi dataran tinggi lebih dari 1200 m
dpl.

Gambar 1. Rapdairy Ordiantion of Sustainablity Ecology on Smallholder Dairy Farm


which Apply LEISA Pattern in KUNAK during Rainy Season.
Gambar 2. Leverage Analysis of Ecological Sustainability Smallholder Dairy Farm
which Apply LEISA Pattern at KUNAK during Rainy Season.
Yani dan Purwanto (2006) menyatakan bahwa topografi terbaik untuk
peternakan sapi perah berada pada ketinggian lebih dari 800 m di atas permukaan
laut. Curah hujan merupakan atribut yang telah diperbaiki dan tidak dapat
dimodifikasi oleh aktivitas manajemen. Jadi, jika kita ingin mengembangkan
peternakan sapi perah rakyat yang menerapkan pola LEISA harus memperhatikan
kondisi curah hujan karena curah hujan merupakan iklim mikro yang secara tidak
langsung mempengaruhi produktivitas sapi perah (Yani dan Purwanto, 2006).
Menurut Suratman dan Busyra (2006), suhu dan kelembaban yang sesuai untuk
pertumbuhan optimum produksi hijauan dan produksi sapi perah adalah 18-35oC dan
60-90%. Curah hujan yang terlalu kering (kurang dari 400 mm / tahun) dan kondisi
kekeringan lebih dari 8 bulan / tahun akan memperlambat pertumbuhan hijauan. Suhu
dan kelembaban yang sesuai untuk produksi sapi perah masing-masing adalah 18,3oC
dan 55% (Yani dan Purwanto, 2006). Analisis leverage merupakan atribut yang tidak
sensitif tetapi mempengaruhi keberlanjutan peternakan sapi perah rakyat. Atribut
tersebut adalah kepadatan sapi perah, daya dukung lahan dan ketersediaan air. Semua
atribut skor harus ditingkatkan agar peternak dapat mempertahankan peternakan sapi
perahnya tetap berkelanjutan. Atribut kepadatan sapi perah akan mempengaruhi
ketersediaan hijauan (Ajayi et al., 2005) dan pemenuhan pakan (Despal et al., 2011).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi kelebihan kapasitas sapi perah di
peternakan rakyat yang menerapkan pola LEISA di KUNAK. Kondisi ini disebabkan
keinginan petani untuk meningkatkan pendapatannya tanpa memperhitungkan
ketersediaan hijauan. Seluruh responden penelitian ini memelihara sapi perah hampir
dua kali lipat dari jumlah sapi perah yang seharusnya dipelihara. Berdasarkan kondisi
lahan yang ada dan ketersediaan hijauan pakan, kepadatan sapi perah sebaiknya
kurang dari 7 unit hewan (AU); namun mereka bertahan hingga 11 AU. Dengan
demikian ketersediaan pakan yang ada tidak dapat mencukupi kebutuhan sapi perah
dan penambahan pakan luar (konsentrat dan hijauan) dalam jumlah terbatas tidak
memberikan pengaruh yang baik terhadap produktivitas sapi. Model Kelestarian
Ekologis Peternakan Sapi Perah Hasil analisis dimensi ekologis pada model tersebut
menunjukkan bahwa keberlanjutan usaha peternakan sapi perah rakyat yang
menerapkan pola LEISA dapat dipertahankan dan memiliki nilai 88,39 dari kategori
indeks 0-100 (Gambar 3). Nilai tersebut diperoleh dengan peningkatan dimensi
ekologi. Hasil analisis atribut leverage ditunjukkan pada Gambar 4. Hasil analisis Rap
Dairy terhadap status keberlanjutan usaha peternakan sapi perah rakyat yang
menerapkan pola LEISA di KUNAK menunjukkan bahwa terdapat beberapa atribut
yang masih perlu ditingkatkan. Atribut yang perlu ditingkatkan adalah kepadatan sapi
perah, daya dukung dan ketersediaan air sehingga status usaha peternakan sapi perah
dapat berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelebihan
kapasitas pada peternakan sapi perah rakyat yang menerapkan pola LEISA di
KUNAK. Hal ini terlihat dari jumlah sapi perah yang dipelihara oleh peternak (11
AU) lebih banyak dari jumlah yang seharusnya dipelihara (7 AU). Kondisi tersebut
menyebabkan ketersediaan rumput gajah tidak mencukupi kebutuhan sapi perah dan
berdampak pada rendahnya produktivitas sapi perah. Umumnya peternak memelihara
sapi perah untuk mendapatkan keuntungan yang besar tanpa memperhatikan
ketersediaan faktor pakan sehingga produktivitas menjadi kurang optimal. Secara
umum produksi rumput gajah di padang rumput belum mampu mencukupi kebutuhan
sapi perah. Produksi rumput gajah saat ini adalah 194,95 ton / ha / musim atau setara
dengan 2508,5 kg / m2 / hari. Produksi rumput gajah mampu menampung sapi perah
sebanyak 7,42 AU. Jumlah sapi yang dipelihara peternak adalah 11 AU, maka
produksi rumput gajah yang ada saat ini belum mampu mencukupi kebutuhan sapi
perah. Padahal, untuk meningkatkan produktivitas sapi perah dibutuhkan pakan yang
cukup, tersedia sepanjang tahun dan kualitas yang baik. Daya dukung pada
peternakan sapi perah sangat erat kaitannya dengan pakan ternak (Ajayi et al., 2005),
kebutuhan nutrisi (Despal et al., 2011) dan kepadatan sapi perah pada musim hujan
(Nugraha et al., 2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan yang ada belum
mampu mencukupi kebutuhan pakan sapi perah karena jumlah sapi perah yang
dipelihara melebihi kapasitas yang seharusnya. Oleh karena itu, jika peternak ingin
meningkatkan produktivitas sapi perah dan status keberlanjutan usaha peternakan sapi
perah rakyat yang menerapkan pola LEISA, maka peternak sebaiknya memelihara
sapi perah sesuai dengan kapasitas yang seharusnya. Peternak di KUNAK sebaiknya
mengurangi jumlah sapi perah yang dipelihara hingga jumlah induknya sesuai daya
dukung. Mengurangi jumlah sapi perah bisa dilakukan berdasarkan pemilihan
produksi susunya. Menurut Karnaen dan Arifin (2007), produksi susu yang optimal
dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kualitas genetik melalui pencatatan identitas
sapi, produksi susu, data reproduksi, dan kesehatan hewan.
agar program seleksi menjadi terarah. Sapi perah mengalami beberapa kali laktasi
selama hidupnya sehingga semakin banyak pencatatan laktasi akan semakin tepat dan
akurat kemampuan produksinya. Catatan tersebut dapat digunakan untuk
memperkirakan heritabilitas dan pengembangbiakan sapi perah. Sapi perah yang
memiliki nilai heritabilitas dan breeding yang tinggi dapat dijadikan sebagai induk
pada generasi penerus. Selain itu, daya dukung dan pasokan air juga harus
diperhatikan. Daya dukung terkait dengan laju tebar produksi hijauan dan produksi
susu, peningkatan skala pada peternakan sapi perah dan skenario pakan. Validasi
Keberlanjutan Validasi model keberlanjutan peternakan sapi perah rakyat yang
menerapkan pola LEISA di KUNAK dilakukan dengan membandingkan hasil
perhitungan MDS dengan Monte Carlo. Hasil validasi pada model keberlanjutan
peternakan sapi perah yang menerapkan pola LEISA pada penelitian ini menunjukkan
bahwa nilai kelayakan model MDS 0,128 dinyatakan valid karena nilainya lebih kecil
dari 0,25. Nilai Squared Correlation (RSQ) dalam penelitian ini adalah 0,957. Artinya
keberlangsungan usaha peternakan sapi perah rakyat yang menerapkan pola LEISA di
KUNAK pada level 84,76 sudah sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.

Gambar 3. Rapdairy Ordiantion of Ecologically Sustainable Model of Smallholder


Dairy Farm which Apply LEISA Pattern in KUNAK during Rainy Season.
Gambar 4. Leverage Analysis Model of Ecological Sustainability
Smallholder Dairy Farm which Apply LEISA Pattern at KUNAK during
Rainy Season
IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertanian berkelanjutan diantaranya

keseimbangan penggunaan input-input eksternal dengan pemanfaatan

anggota ekosistem yang ada di lahan pertanian.

2. Pengembangan pertanian berkelanjutan dengan konsep LEISA sangat baik

diterapkan di berbagai jenis lahan pertanian baik tadah hujan maupun

dengan system irigasi semi teknis dan teknis, karena konsep pembangunan

ini memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan

kesanggupan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka

3. Manfaat LEISA bagi keberlanjutan pertanian adalah mengupayakan agar

kegiatan bercocok tanam dapat dilakukan secara kontinyu bukan hanya

pada saat ini dengan mementingkan pemaksimalan produksi, namun

LEISA mengutamakan kestabilan lahan untuk terus-menerus berproduksi

meski dalam jumlah yang tidak fantastis.

4. Status keberlanjutan ekologis peternakan sapi perah rakyat yang

menerapkan pola LEISA dapat ditingkatkan dari kurang berkelanjutan

(57,95) menjadi berkelanjutan (88,39) melalui penataan atribut (kepadatan

hewan, daya dukung dan ketersediaan air dan hijauan).


DAFTAR PUSTAKA

Kasumbogo, Untung. 1997 Peranan Pertanian Organik Dalam Pembangunan yang


Berwawasan Lingkungan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian:
Jakarta.
Mangoting, D. 1998. Agenda Reformasi Kebijakan di Sektor Pertanian. Wacana: 4-7.
Reijntjes, C., B. Haverkort, and A. W. Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan. Kanisius,
Yogyakarta.
Reijntjes, Bertus H dan Ann W. 2003. Pertanian masa depan. Kanisius. Jakarta.
Salikin, K. A. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius, Yogyakarta.
Despal, D., I.G. Permana, S.N. Safarina and A.J. Tatra. 2011. Penggunaan berbagai
sumber karbohidrat terlarut air untuk meningkatkan kualitas silase daun rami.
Media Peternakan. 34(1):69-76.
Diwyanto, K., B.R. Prawiradiputra and D. Lubis. 2001. Integrasi tanaman-ternak
dalam pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan dan
berkerakyatan. Wartazoa. 12(1):17-26.
Everitt, B., T. Ekman and M. Gyllenward. 2002. Monitoring milk quality and udder
health in Swedish AMS Herds. Proc. of the 1st North American Conference
on Robotic Milking.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations and IDF
(International Dairy Federation). 2011. Guide to Good Dairy Farming
Practice. FAO Animal Production and Health & Food and Agriculture.
Organization of the United Nations and International Dairy Federation. Rome
Jaenudin, D., A.A. Amin, M.A. Setiadi, H. Sumarno and S. Rahayu. 2017.
Sustainability status of dairy farms in Bogor District Area, Indonesia. Int. J.
Sci. : Basic App. Res. (IJSBAR). 34(2):34-53.
Karnaen and J. Arifin. 2007. Korelasi nilai pemuliaan produksi susu sapi perah
berdasarkan test day laktasi 1, laktasi 2, laktasi 3, dengan gabungannya.
Anim. Prod. 11(2):135‐142.
Kusnadi, U and E. Juarini. 2007. Optimalisasi pendapatan usaha pemeliharaan sapi
perah dalam upaya peningkatan produksi susu nasional. Wartazoa. 17(1):21-
28.
Mulyana, R., J. Haluan, M.S. Baskoro and S.H. Wisudo. 2011. Analisis
multidimensional untuk pengelolaan perizinan perikanan yang berkelanjutan :
studi kasus WPP Laut Arafura. J. Teknologi Perikanan. 2(1):71-79.
Mustikarini, E.D., T. Lestari and R. Santi. 2010. Penerapan paket teknologi
LEISA pada lahan pasca penambangan timah di Kecamatan Mendo
Barat, Bangka. Enviagro,
J. Pertanian dan Lingkungan. 3(1):22-29. Najafabadi, M.O., K. Khedri and F.
Lashgarara. 2012. Requirements of low input sustainable agricultural
implementation: a factor analysis of expert’s perspective. J. Agric. Biol. Sci.
7(8):583-585.
Nugraha, B.D., E. Handayanta and E.T. Rahayu. 2013. Analisis daya tampung
(carrying capacity) ternak ruminansia pada musim penghujan di daerah
pertanian lahan kering Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul.
Tropical Animal Husbandry. 2(1):34-40 [PERMENTAN] Peraturan Menteri
Pertanian. 2014. No 100/Permentan/OT.140/7/2014 tentang Pedoman
Pembibitan Sapi Perah yang Baik.
Pitcher, T.J. and B.D. Preikshot. 2001. Rapfish: a rapid appraisal technique to
evaluate the sustainability status of fisheries research. Fisheries Res. 49:225-
270.
Suratman and B.S. Busyra. 2006. Potensi sumberdaya lahan sebagai basis tata ruang
pengembangan peternakan ruminansia di Indonesia. Prosiding Seminar
Nasional Peternakan - Revitalisasi Potensi Lokal 2006. BPTP Sumbar. P.240-
245.
Yani, A and B.P. Purwanto. 2006. Pengaruh iklim mikro terhadap respons fisiologis
sapi peranakan Fries Holland dan modifikasi lingkungan untuk
meningkatkan produktivitasnya (ULASAN). Media Peternakan.
29(1):35-46.
Yusuf, M., A. Fahrudin, C. Kusmana and M.M. Kamal. 2016. Analisis faktor penentu
dalam pengelolaan berkelanjutan estuaria DAS Tallo. J. Analisis Kebijakan
Kehutanan. 13(1):41-51.

Anda mungkin juga menyukai