Sistem pertanian (Farming System) merupakan suatu pengaturan usaha tani yang stabil,
unik, dan layak dan yang dikelola menurut praktek yang dijabarkan sesuai dengan lingkungan
biologi, fisik, dan sosial ekonomi, menurut tujuan, preferensi, dan sumberdaya rumah tangga. Di
dalam sistem pertanian, terdapat faktor internal terkendali seperti ukuran usaha tani, ketersediaan
tenaga kerja, preferensi pertanian terhadap inovasi teknologi diintegrasikan dengan faktor
ekternal tidak terkendali yaitu lingkungan biologi, fisik, ekonomi dan sosial budidaya dengan
fokus utama tanaman, ternak, atau yang lainnya dan pelaksanaan ini didukung oleh kebijakan
regional maupun nasional.
Sistem pertanian bisa dikatakan berkelanjutan bila mencakup hal-hal berikut ini:
Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumber daya alam dipertahankan
dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan – dari manusia, tanaman, hewan
sampai organisme tanah – ditingkatkan. Sumber daya lokal dipergunakan sedemikian
rupa sehingga kehilangan unsur hara, biomassa dan energi bisa ditekan serendah mungkin
serta mampu mencegah pencemaran.
Bisa berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa petani bisa cukup menghasilkan
untuk pemenuhan kebutuhan dan atau pendapatan sendiri, serta mendapatkan penghasilan
yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan.
Adil, yang berarti bahwa sumber daya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa
sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka
dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran
terjamin.
Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia)
dihargai.
Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus-menerus.
Komponen pertanian berkelanjutan yang diutamakan adalah harapan dan keinginan untuk
(1) mempertahankan produktivitas tinggi, (2) menjaga kualitas lingkungan dan keseimbangan
ekologis, dan (3) ekonomi petani yang layak.
Tujuan pengembangan IFS (Sistem Pertanian Terpadu) adalah merakit dan meramu
sistem untuk meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja, mendorong kemandirian,
meningkatkan kualitas kehidupan, dan melestarikan sumberdaya alam. Sistem pertanian terpadu
yang terkonservasi (Conservaton Farming System) dalam mendukung keberlanjutan secara rinci
ditunjukkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
Menurut Oteng Haridjaja dan Khalil (2009). Sekurang-kurangnya ada tiga keuntungan
IFS. (1) adanya intensifikasi penggunaan lahan, (2) peningkatan nilai guna limbah pertanian, dan
(3) dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Sistem pertanian berkelanjutan mencakup IFS
(Integrated Farming Systems), yaitu sistem pertanian yang mengintegrasikan tanaman dan
ternak, yang didukung oleh komponen ICM (Integrated Crop Management) termasuk aktivitas
IPM (Integrated Pest Management) .
Kebutuhan akan asupan pangan yang cukup banyak dan tidak sebanding dengan
produktivitas tanaman menyebabkan banyak usaha yang dilakukan untuk menaikan produktivitas
tanaman sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan.Usaha yang dilakukan adalah upaya
peningkatan hasil produksi dengan membuat varietas baru yang dapat menghasilkan hasil yang
banyak dan tahan penyakit. Namun usaha yang dilakukan dirasa kurang memperhatikan dampak
terhadap lingkungan, karena dalam praktiknya tanaman dengan varietas yang menghasilkan hasil
yang banyak dan tahan penyakit memerlukan input yang cukup besar dan intensif sehingga
berdampak pada kesehatan lingkungan. Sistem pertanian seperti ini disebut dengan revolusi hijau
Kegiatan revolusi hijau menganut sistem input yang intensif, input yang dilakukan antara
lain pemupukan dan penggunaan pestisida. Hal tersebut juga mempengaruhi mindset dari petani
yang beranggapan apabila tanaman yang ditanam tidak diberi pemupukan dan pestisda yang
intensif dapat berakibat kurang baik terhadap hasil tanaman. Tanpa disadari penggunaan pupuk
dan pestisida yang intensif menyebabkan pencemaran lingkungan karena dapat menimbulkan
eksplosi hama, hilangnya varietas lokal dan rusaknya lingkungan sekitar karena pengaruh bahan
kimia. Selain itu juga berpengaruh terhadap sistem sosial dan budaya di pedesaan menjadi
komersil dan individualis.
Namun, revolusi hijau memberikan dampak yang baik terhadap Indonesia. Revolusi hijau
mampu meningkatkan produksi beras di Indonesia menjadi 289% dalam waktu 30 tahun.
Kenaikan produktivitas lebih tinggi dibanding dengan pertambahan luas areal. Pada
pelakasanaannya sistem revolusi hijau ini lebih terfokus pada usaha untuk meningkatkan
produksi beras, sedangkan kesejahteraan petani tidak terlalu terperhatikan.
Dampak negatif yang ditimbulkan dari revolusi hijau menuntut para peneliti untuk
menemukan cara lain yang dapat digunkan untuk mendapatkan hasil produktivitas yang baik
namun tidak merusak lingkungan. Revolusi bioteknologi merupakan salah satu cara yang
diusahakan atau dicetuskan oleh peneliti, karena dapat mengembangkan kebutuhan tanaman
yang bukan hanya mampu berproduksi tinggi namun, mempunyai karakteristik yang diinginkan
oleh konsumen, kandungan gizi yang baik dan tahan terhadap serangan hama penyakit. Revolusi
bioteknologi dalam praktiknya memanfaatkan rekombinan DNA (r-DNA) yang diharapkan dapat
merevolusi bioproses pangan melalui perbaikan mikroorganisme yang dapat digunakan dan
produksi yang efisien. Menurut para ahli Institute of Food Technologist (2000) pangan hasil
rekayasa memberikan sejumlah manfaat antara lain suplai pangan melimpah dan ekonomis, mutu
gizi meningkat, daya simpan buah dan sayuran lebih tahan lama, pangan dengan alergenisitas
yang rendah, perbaikan lebih lanjut, efisien dan hasil yang meningkat dalam produksi pertanian,
terjadi konversi tanah yang beracun atau non-produktif menjadi tanah yang baik untuk ditanami,
kegiatan pertanian lebih ramah lingkungan karena penggunaan pestisida yang bersifat alami,
limbah yang tidak berbahaya dan perbaikan pemanfaatan lahan dan mengurangi kebutuhan lahan
secara ekologi sensitif.
Selain revolusi hijau dan revolusi bioteknologi, muncul sebuah revolusi yang dikenal
sebagai revolusi hijau lestari yang terfokus pada peningkatan produktivitas secara berkelanjutan
tanpa membahayakan lingkungan dengan tindakan agronomi berbasis sistem pertanian. Revolusi
hijau lestari dapat didukung dengan menggeser paradigma penelitian dan pengembangan
teknologi selain itu juga, teknologi yang dibuat dan dikembangkan diharuskan memiliki
keuntungan atau yang dapat meningkatkan kesejahteraan manusia sebagai pelaku.
Revolusi hijau lestari itu merupakan generasi kedua dari revolusi hijau yang dimulai
sejak tahun 2004 dengan penekanan pada produksi padi, perhatian difokuskan kepada daerah
suboptimal tertinggal, yaitu lahan sawah tadah hujan, lahan rawa dan lahan kering tanpa
mengurangi perhatian pada lahan sawah. Varietas padi yang dikembangkan adalah varietas
unggul baru (VUB) dengan penerapan teknologi tinggi yang adaptif dan ramah lingkungan
dalam pengelolaan LATO (Lahan, air, tanah dan organisme pengganggu tanaman). Adapun
contoh dari penerapan revolusi hijau lestari di Indonesia yaitu para pemulia tanaman merakit
new high yielding varieties (VUTB) yang tidak kalah dengan IR 64. Idiotipe ini adalah hasil
persilangan dari varietas unggul padi indica dan padi bulu. Selain itu, pada RHL juga dirakit
varietas padi dengan zat besi (Fe) yang tinggi dan karoten yang tinggi (Fe). Hal itu sangat baik
untuk gizi masyarakat.