PAISAL ANWAR
J1B118021
DOSEN PENGAMPU ;
Dr.Ir. Aswandi, M.Si
Semenjak revolusi hijau ramai secara global (dimulai sejak 1934 di meksiko dan
menyeluruh pada abad 20), eksplorasi terhadap pertanian dilakukan besar-besaran sebagai
komoditas kesejahteraan manusia. Hal yang dilakukan pertama kali tentu saja konversi
lahan hutan menjadi lahan pertanian, dan ini dilakukan secara besar-besaran. Pertanian
menjadi satu hal penting yang menopang kehidupan manusia. Pertanian konvensional
memang memberikan berkah kepada penduduk dunia, namun juga memberikan masalah
lain kepada lingkungan bahkan kepada keberlanjutan pertanian itu sendiri.
Eco-Farming) juga disebut sebagai Organic farming atau metode pertanian yang
meminimalisir penggunaan kimia dalam proses produksinya. Hal ini bertujuan untuk
memproduksi hasil tani dengan nilai nutrisi tinggi dan mengimprovisasi fertilitas jangka
panjang serta tanah pertanian yang berkelanjutan. Sistem ini memajukan dan meninggikan
agroekosistem, termasuk biodiversitas, siklus biologi dan aktivitas biologi di dalam tanah.
Istilah organic farming sendiri ditemukan oleh Lord Northbourne dari bukunya berjudul
Look to the Land yang lahir dari konsepsinya tentang “pertanian sebagai organisme”, dia
memaparkan sebuah pendekatan holistic, keseimbangan ekologis ke dalam pertanian.
C. Karakteristik Eco-Farming
Karakteristik sistem Eco-farming meliputi:
1. Memanfaatan sumberdaya lokal secara maksimal namun tetap memperhatikan
keberlanjutannya.
2. Penggunaan input dari luar secara minimal, hanya sebagai pengganti jika sumberdaya
lokal tidak tersedia
3. Penekanan pada budidaya tanaman pangan yang dikombinasikan dengan tanaman lain
yang dapat dipanen sebelum tanaman utama dihasilkan.
4. Memastikan bahwa fungsi biologi dasar dari tanah, air, unsur hara dan humus dapat
terjaga.
5. Memelihara keanekaragaman jenis tanaman dan binatang untuk keseimbangan ekologi
dan stabilitas ekonomi dengan mengembangkan spesies dan varietas lokal.
6. Menciptakan suatu bentuk pengelolaan lahan yang menarik dan mampu memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat setempat.
D. Keuntungan Eco-Farming
Eco-Farming memiliki keuntungan baik dari segi ekologis maupun ekonomi karena
sistem ini memang mengintegrasikan keduanya. Keuntungan ekologis jelas didapat
diantaranya konservasi air, siklus daur ulang hara pada tanah, biodiversitas yang tinggi, dan
tentu saja fertilitas ekosistem sehingga didapat pertanian berkelanjutan. Keuntungan
ekonomi didapat dari optimalisasi produksi pertanian melalui berbagai cara pertanian
seperti diversifikasi komoditas dalam satu petak (multiple cropping), dapat juga dengan
lahan kecil dan sumber daya pekerja minimum dengan cara permaculture (permanent
agriculture) atau implementasi pertanian skala kecil bahkan mikro yang diintegrasikan
dengan habitat manusia dan diserahkan pada pola ekosistem alami.
Pada sistem ekonomi, Eco-Farming sebetulnya dapat masuk pada sistem capital
employed maupun subsistence tergantung pola hubungan manusia-pertanian diarahkan
pada kesejahteraan manusia. Bila mendefinisikan kesejahteraan dengan penghasilan tinggi
maka hasil surplus Eco-Farming dapat dipasarkan secara global (capital) maupun lokal
(subsisten) dengan produk yang unggul dari segi alamiah. Bila kesejahteraan dapat
diterjemahkan pada terpenuhinya kebutuhan manusia maka hasil panen dapat mencukupi
konsumsi pangan keluarga bahkan saling berbagi surplus panen, tentu saja hal in ihanya ada
pada sistem subsisten.
Salah satu Negara yang berhasil menerapkan Eco-Farming adalah Rwanda, salah
satu Negara di Afrika Timur. Ada beberapa hal yang diterapkan Negara Rwanda dalam
mengembangkan system Eco-Farming adalah ;
1.Penanaman tanaman semusim yang diintegrasikan dengan tanaman tahunan spesifik lokal
dan memiliki nilai eksotika tinggi. Selain mencegah terjadinya erosi tanah, pohon-pohon
dapat menghasilkan buah, kayu dan energi. Pohon juga akan mengembalikan ketersediaan
hara ke permukaan tanah dan menciptakan iklim mikro yang lebih baik. Kombinasi kedua
jenis tanaman tersebut juga mampu meningkatkan kunjungan wisatawan untuk tujuan
ekowisata.
2. Mengembangkan peternakan disekitar lokasi pertanian.
3. Penggunaan sisa-sisa tumbuhan semak untuk pupuk hijau. Lahan diberakan selama 1 – 2
tahun yang diikuti dengan pertanaman selama dua tahun akan menghasilkan 10 – 25 ton/ha
bahan organik kering untuk pupuk dan mampu mengasimilasi 150 – 300 kg nitrogen per
tahun. Tanaman semak terbukti meningkatkan akumulasi humus, menekan pertumbuhan
gulma, mencegah terjadinya longsor dan meningkatkan kapasitas tanah mengikat air serta
meningkatkan efisiensi pemupukan mineral. Penggunaan pupuk hijau dan pupuk mineral
bukan bersifat alternatif, namun saling melengkapi.
4. Membuat parit-parit dan tanaman pagar untuk mencegah terjadinya erosi.
5. Menggantikan monokultur menjadi pertanian multikultur yang mengandalkan kebutuhan
dan kearifan lokal.
6. Menggunakan input luar (pupuk mineral dan pestisida) pada saat yang tepat, tergantung
pada kondisi dan kebutuhannya.
7. Total ecodesign, dilaksanakan dengan komitmen tinggi dalam satu kawasan.
8. Didukung oleh penyuluhan dan pelatihan mengenai penerapan eco-farming bagi petani.
DAFTAR PUSTAKA