Bertani On Cloud
Vol. 190
Oleh :
MASRI IBRAHIM
A. Integrated Farming
Isu kebutuhan pangan yang akan semakin meningkat di kemudian hari sudah
banyak diprediksi oleh para ahli. Padahal pangan merupakan kebutuhan primer dari
manusia untuk dapat berlangsung hidup, sehingga upaya untuk menjawab tantangan
kebutuhan pangan tersebut di tengah ledakan penduduk dan perubahan iklim semakin
marak diupayakan.
Penyediaan pangan (beras) untuk 269 juta penduduk Indonesia yang terus
bertambah hingga diperkirakan mencapai 318,96 juta pada tahun 2045 tidak mudah,
karena memerlukan lahan dan air yang cukup. Di sisi lain, budidaya pangan
dihadapkan oleh alih fungsi lahan produktif, perubahan iklim yang dapat menyebabkan
kekeringan dan gagal panen, pandemi serta krisis pangan global. Oleh karena itu,
perlu dikembangkan sumber pangan alternatif yang lebih adaptif terhadap kondisi
spesifik lingkungan dan sosial masyarakat untuk menjaga ketahanan pangan nasional.
Selain pertanian tekno ekologis dikenal pula Integrated Farming. Salah satu
upaya yang dilakukan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian adalah
menggerakkan model pertanian terintegrasi yang merupakan terobosan untuk
meningkatkan produksi dan secara holistik untuk meningkatkan ketahanan pangan
nasional yaitu dengan Integrated Farming.
Integrated Farming System atau Sistem Pertanian Terpadu merupakan sistem
pertanian yang mengintegrasikan kegiatan sub sektor pertanian, tanaman, ternak,
ikan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas sumber daya (lahan, manusia,
dan faktor tumbuh lainnya) kemandirian dan kesejahteraan petani secara
berkelanjutan. Penerapan pertanian terpadu pada dasarnya adalah mengoptimalkan
pemanfaatan seluruh potensi sumber daya yang ada.
Model Pengembangan Sistem Pertanian Terpadu yang ramah lingkungan dan
berkelanjutan tersebut adalah salah satu alternatif untuk bisa diterapkan dalam
meningkatkan produktivitas, hemat air, hemat tenaga kerja, berwawasan lingkungan,
hasil produksi yang sehat dan mudah diterima oleh petani. Dalam pertanian terpadu
semua limbah yang dihasilkan dapat dimanfaatkan kembali, limbah pertanian dapat
digunakan untuk pakan ternak dan kotoran ternak dapat diolah menjadi pupuk
kompos.
Diharapkan sistem ini dapat menambah penghasilan petani dari segi ekonomi,
disamping tidak rusaknya lingkungan sebagai lahan pertanian.. Kita menyadari bahwa
untuk melaksanakan sistem pertanian terpadu tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Dibutuhkan keterlibatan dan kerjasama semua pihak baik pemerintah
maupun petani sendiri untuk mengawalinya.
BAB II
PERTANIAN ORGANIK
Hasil akhir dari pengomposan ini merupakan bahan yang sangat dibutuhkan
untuk kepentingan tanah-tanah pertanian di Indonesia, sebagai upaya untuk
memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi tanah, sehingga produksi tanaman menjadi
lebih tinggi. Kompos yang dihasilkan dari pengomposan sampah dapat digunakan untuk
menguatkan struktur lahan kritis, menggemburkan kembali tanah pertanian,
menggemburkan kembali tanah petamanan, sebagai bahan penutup sampah di TPA,
eklamasi pantai pasca penambangan, dan sebagai media tanaman, serta mengurangi
penggunaan pupuk kimia.
Bahan organik memberikan efek positif pada aktivitas berbagai enzim hidrolase
yang kemungkinan disebabkan oleh meningkatkan biomassa mikroba (Garcia et al.,
2001). Setelah 10 tahun penambahan bahan organik, siklus biokimia N, aktivitas (urease
dan protease-BAA), P (phosphatase) dan karbon (B-glucosidase) dapat di reaktivasi,
sehingga kesuburan tanah meningkat (Ladd, 1985).
Yang paling mudah dan banyak tersedia sebagai pembenah tanah adalah
kompos. Kompos hasil fermentasi bahan organic berupa limbah pertanian memiliki
kualitas yang tinggi sebagai pembenah tanah. Melalui proses pengomposan diperoleh
kandungan bahan organic tinggi yang memperbaiki sifat fisik tanah dan dalam jangka
panjang dapat mengembalikan kesuburan dan produktivitas lahan. Hasil pengomposan
lain, asam humat dan asam sulfat pemacu pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu,
aplikasi kompos dapat menurunkan kebutuhan pupuk kimia.
Pada umumnya untuk memperoleh kompos yang baik diperlukan waktu empat
sampai delapan bulan. Salah satu masalah yang penting untuk diketahui adalah cara /
metode / teknik pengomposan yang cepat sehingga mengurangi waktu pendauran ulang
residu organik yang efisien.
Metode pengomposan yang cepat akan lebih mudah diterima oleh petani karena
harus disiapkan kompos dalam jumlah banyak pada areal yang terbatas. Di samping itu,
kompos bersifat ruah (bulky) dan rerata mengandung N, P, K dalam jumlah yang kecil.
Dengan demikian diperlukan penurunan keruahan periode penyiapan dan memperbaiki
kualitas sehingga dapat memasok N, P, K dan senyawa humik lebih banyak untuk setiap
satuan berat.
Salah satu kendala yang dihadapi dalam mengolah limbah pertanian khususnya
di wilayah perdesaan (pelosok) adalah terbatasnya informasi, pengetahuan dan
keterampilan petani, khususnya yang terkait dengan pemanfaatan teknologi EM. Padahal
teknologi EM merupakan salah satu solusi untuk mempercepat proses pengomposan.
Selain karena ketersediaan EM yang sulit diperoleh, cara membuat EM dengan
memanfaatkan bahan baku lokal belum banyak dipahami oleh petani dan penyuluh. Oleh
karena itu diperlukan pelatihan khusus bagi para penyuluh pertanian tentang cara
membuat dan mengembang biakkan EM sebagai bekal untuk meningkatkan
keterampilan teknis yang kelak dapat disampaikan kepada petani binaan yang ada di
wilayahnya.
B. Pestisida Nabati
Sebagian besar peningkatan resistensi pestisida disebabkan oleh tindakan manusia
terutama pengguna dalam mengaplikasikan pestisida tanpa dilandasi oleh pengetahuan
yang menyeluruh tentang sifat-sifat dasar pestisida kimia termasuk pengembangan
populasi resisten. Suatu jenis pestisida yang oleh petani pada suatu saat dianggap
sangat efektif dalam mengendalikan hama menjadi tidak berguna bila sebagian besar
individu dalam populasi menjadi resisten. Saat ini jumlah dan keragaman jenis hama
yang menunjukkan resistensi terhadap satu atau beberapa jenis atau kelompok pestisida
semakin meningkat di seluruh dunia. Telah diketahui bahwa setiap jenis organisme
mempunyai kemampuan mengembangkan resistensi terhadap jenis pestisida apapun.
Laju peningkatan resistensi sangat ditentukan oleh tindakan manusia dalam
menggunakan dan memanfaatkan pestisida. Karena itu satu-satunya jalan untuk
memperlambat, menghindari atau membalik arah pengembangan resistensi pestisida
adalah melalui program pengelolaan resistensi pestisida dengan perubahan tindakan
manusia dalam menghasilkan, mengaplikasikan dan mengawasi pestisida. Sebagian
besar peningkatan resistensi pestisida disebabkan oleh tindakan manusia terutama
pengguna dalam mengaplikasikan pestisida tanpa dilandasi oleh pengetahuan yang
menyeluruh tentang sifat-sifat dasar pestisida kimia termasuk pengembangan populasi
resisten. Suatu jenis pestisida yang oleh petani pada suatu saat dianggap sangat efektif
dalam mengendalikan hama menjadi tidak berguna bila sebagian besar individu dalam
populasi menjadi resisten. Saat ini jumlah dan keragaman jenis hama yang menunjukkan
resistensi terhadap satu atau beberapa jenis atau kelompok pestisida semakin meningkat
di seluruh dunia. Telah diketahui bahwa setiap jenis organisme mempunyai kemampuan
mengembangkan resistensi terhadap jenis pestisida apapun. Laju peningkatan resistensi
sangat ditentukan oleh tindakan manusia dalam menggunakan dan memanfaatkan
pestisida. Karena itu satu-satunya jalan untuk memperlambat, menghindari atau
membalik arah pengembangan resistensi pestisida adalah melalui program pengelolaan
resistensi pestisida dengan perubahan tindakan manusia dalam menghasilkan,
mengaplikasikan dan mengawasi pestisida.
Meskipun resistensi hama terhadap insektisida anorganik telah diketahui sejak tahun
1910an, namun kasus ini meningkat sekali sejak ditemukannya insektisida organik
sintetik. DDT sebagai insektisida organik sintetik pertama ditemukan dan digunakan
secara luas sejak tahun 1945. Pada tahun 1948 sudah mulai dilaporkan terjadinya
resistensi DDT pada nyamuk dan lalat. Pada tahun 1986 dilaporkan 447 jenis serangga
yang resisten terhadap hampir semua kelompok insektisida (organokhlor, oganofosfat,
karbamat, piretroid sintetik, fumigan) termasuk kelompok insektisida hayati seperti Bt
(Georgiiou,1986). Jenis resistensi hama terhadap pestisida dapat berupa resistensi
tunggal, resistensi ganda (multiple resistance) atau resistensi silang (cross resistance).
Resistensi pestisida tidak hanya terjadi pada serangga-serangga pertanian, tetapi juga
pada semua kelompok serangga termasuk serangga rumah tangga dan kesehatan
masyarakat.
Resistensi pada penyakit tumbuhan telah lama diketahui sejak tahun 1940an, namun
kasus resistensi penyakit tumbuhan terhadap fungisida meningkat sejak introduksi
fungisida sistemik sekitar tahun 1960an. Resistensi gulma terhadap herbisida baru
diketahui sejak tahun 1970 dan saat ini banyak spesies gulma yang resisten terhadap
berbagai kelompok dan jenis herbisida, seiring dengan peningkatan penggunaan
herbisida (Georgiou, 1986).
Para petani di Indonesia umumnya masih cenderung enggan mengambil risiko. Meskipun
PHT sudah menjadi kebijakan pemerintah, namun banyak petani masih mempercayakan
pada penyemprotan pestisida secara asuransi. Tanggapan pertama petani terhadap
pestisida yang kehilangan efektivitasnya adalah dengan meningkatkan dosis dan
frekuensi aplikasi. Bila hal ini tak berhasil mereka akan menggunakan jenis pestisida
yang lebih baru, lebih mahal dan mereka harapkan lebih manjur daripada jenis pestisida
yang digunakan sebelumnya. Pergeseran petani dari penggunaan pestisida baru tanpa
adanya perubahan mendasar dalam filosofi dan strategi pengendalian hama dengan
pestisida, merupakan solusi sementara yang akan menimbulkan masalah baru yang lebih
parah yaitu terjadinya resistensi hama pada jenis pestisida yang baru. Dari data
penelitian dan empirik dapat dibuktikan bahwa populasi hama yang sudah resisten
terhadap satu atau lebih jenis pestisida biasanya dapat mengembangkan sifat resistensi
terhadap senyawa lain secara lebih cepat, khususnya bila senyawa baru ini mempunyai
mekanisme resistensi yang sama atau berdekatan dengan senyawa-senyawa
sebelumnya. Sebagian besar hama mampu mempertahankan dan mewariskan sifat
resistensi pada keturunannya dalam waktu yang lama.
A. Pestisida Nabati
Dengan semakin meningkatnya kesadaran lingkungan dan keinginan untuk hidup
selaras dengan alam serta berkembangnya konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
pestisida nabati kembali memperoleh perhatian dari paara pakar dan praktisi termasuk di
indonesia setelah beberapa dekade teknik pengendalian hama tersebut nyaris dilupakan.
Namun perlu dicatat di sini bahwa banyak kelompok pestisida sintetik yang sudah
dikembangkan dan dipasarkan saat ini berasal dari pestisida nabati seperti karbamat dan
piretroid.
Namun dari berbagai hasil penelitian baik yang dilakukan di Indonesia maupun di
luar negeri masih banyak langkah penelitian dan pengembangan yang harus ditempuh
agar jenis-jenis tumbuhan tersebut dapat digunakan sebagai pestisida nabati yang dapat
efektif mengendalikan hama, ekonomi, praktis dan tidak membahayakan manusia dan
lingkungan. Nimba, mimba atau Azadirachta indica merupakan tanaman yang sangat
intensif diteliti oleh banyak peneliti dan ditinjau dari berbagai aspek pengendalian hama
yang menunjukkan bahwa tanaman tersebut dapat dijadikan pestisida nabati yang dapat
dimanfaatkan di lapangan, baik dilakukan secara manual maupun secara industri.
Dilihat dari konsep dan prinsip PHT pestisida nabati mempunyai banyak
keuntungan/keunggulan tetapi juga masih banyak kelemahannya yang secara rinci
diuraikan berikut ini:
Keunggulan
Bahan nabati mempunyai sifat yang menguntungkan karena daya racun rendah,
tidak mendorong resistensi, mudah terdegradasi, kisaran organisme sasaran sempit,
lebih akrab lingkungan serta lebih sesuai dengan kebutuhan keberlangsungan usaha tani
skala kecil. Pestisida nabati tidak mencemari lingkungan, lebih bersifat spesifik, residu
lebih pendek dan kemungkinan berkembangnya resistensi lebih kecil.
Kelemahan
Apabila telah ditentukan jenis-jenis tanaman yang akan digunakan sebagai bahan
dasar pestisida nabati yang sesuai dengan keadaan setempat, masalah berikutnya
adalah menentukan kriteria pengambilan keputusan penggunaan pestisida nabati.
Karena sifat-sifat dasar pestisida nabati berbeda dengan sifat-sifat pestisida kimia
sintetik, maka konsep Ambang ekonomi atau aras luka ekonomi menjadi tidak relevan,
sehingga diperlukan aras pengendalian yang khas untuk tindakan koreksi perlakuan
dengan pestisida nabati. Ada kemungkinan untuk menekan populasi hama agar selalu
berada di sekitar garis keseimbangan diperlukan perlakuan pestisida dengan pestisida
secara berjadwal. Untuk menjawab pertanyaan kapan, dimana dan berapa kali pestisida
nabati digunakan diperlukan kegiatan penelitian khusus. Berikut adalah adaftar tanaman
yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati :
Bagian
No. Nama Tumbuhan Kandungan Bahan Aktif Jenis Pestisida
tumbuhan
1 Patah tulang daun Moluskisida
Tefrosia (kacang
2 daun Tephrosin, deguelin Moluskisida
ikan)
Borneol, sineol, limonen,
3 Sembung daun Moluskisida
eimetil eter floroasetofenon
Duan, bunga,
4 Babadotan Saponin, fivanoid, pilifenol Insektisida
batang, akar
Lempuyang
5 rimpang Insektisida
gajah
Lempuyang
6 rimpang Insektisida
emprit
7 Salam daun Perangsang tumbuh
Meulaluka (daun
8 daun metyleugenol Pemikat
wangi)
Asaron, kolamenol,
9 Jeringau rimpang kolamen, kolameon, Insektisida
metileugenol, dan eugenol
10 Kecubung biji scopolamin Insektisida
11 Mimba biji azadirachtin Insektisida
12 Mindi Biji, daun azadirachtin Insektisida
13 Bitung biji Saponin, tritepenoid Insektisida
Bunga,
14 Piretrum piretrin Insektisida
tangkai bunga
15 Bengkuang biji pachirrizid Insektisida
16 Legundi daun Insektisida
17 Serai dapur daun Insektisida
18 Bawang putih umbi Penolak
19 Nilam daun Insektisida
20 Saga biji Tanin, toksalbumin Insektisida
Racun ikan,
21 Tuba akar rotenon moluskisida,
insektisida, penolak
22 Kipahit/kisutra daun Penolak
Daun, bunga,
23 Secang Insektisida
biji
24 Brotowali batang Insektisida
25 Sirsak Daun, biji annonain Insektisida, larvasida
26 Srikaya biji Annonain, resin Insektisida
Insektisida,
27 Jambu mete Kulit biji Anarkadat, kardol fungisida,
bakterisida
28 Mahoni Biji Insektisida
29 Picung Biji, daun Asam sianida Insektisida
30 Gadung racun Umbi Dioskorin Rodentisida
31 Gadung KB Umbi Diosgenin, saponin Rodentisida
Surenon, surenin,
32 Suren Daun Insektisida
surenolakton
33 Kenikir Daun, bunga Pepeirton, terhtienil Nematisida
34 Zodia Daun, bunga Evodiamin, rutaecarpin Insektisida
35 Kamalakian Biji Recinin Insektisida
36 Selasih Daun, bunga Metyleugenol Pemikat
Bunga,
37 Cengkeh tangaki Minyak atsiri Fungisida
bunga, daun
Penolak, Insektisida,
38 Tembakau Daun, batang Nikotin
akarisida
Asang jengkolat, ureum,
39 Jengkol biji Pengusir tikus
belerang
Insektisida,
Semua bagian
40 Jarak Ricin nematisida,
tanaman
fungisida
41 Klerak/lerak buah Saponin Insektisida