Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH/BAHAN AJAR ⃰

Bertani On Cloud
Vol. 190

INTEGRATED ORGANIC FARMING MENUJU


ZERO WASTE

Oleh :
MASRI IBRAHIM

PUSAT PELATIHAN PERTANIAN DAN PERDESAAN SWADAYA (P4S)


BUKIT MELINTANG
DESA BULO, KECAMATAN PANCARIJANG, KAB. SIDENRENG RAPPANG,
SULAWESI SELATAN
2022
⃰ ) Diolah dari Berbagai Sumber
BAB I

INTEGRATED ORGANIC FARMING

A. Integrated Farming

Isu kebutuhan pangan yang akan semakin meningkat di kemudian hari sudah
banyak diprediksi oleh para ahli. Padahal pangan merupakan kebutuhan primer dari
manusia untuk dapat berlangsung hidup, sehingga upaya untuk menjawab tantangan
kebutuhan pangan tersebut di tengah ledakan penduduk dan perubahan iklim semakin
marak diupayakan.

Penyediaan pangan (beras) untuk 269 juta penduduk Indonesia yang terus
bertambah hingga diperkirakan mencapai 318,96 juta pada tahun 2045 tidak mudah,
karena memerlukan lahan dan air yang cukup. Di sisi lain, budidaya pangan
dihadapkan oleh alih fungsi lahan produktif, perubahan iklim yang dapat menyebabkan
kekeringan dan gagal panen, pandemi serta krisis pangan global. Oleh karena itu,
perlu dikembangkan sumber pangan alternatif yang lebih adaptif terhadap kondisi
spesifik lingkungan dan sosial masyarakat untuk menjaga ketahanan pangan nasional.

Dalam rangka peningkatan produksi dan swasembada, banyak kendala yang


sering dihadapi, antara lain sosial ekonomi, infrastruktur, adopsi teknologi, kendala
abiotik dan biotik. Kendala abiotik disebabkan oleh antara lain faktor iklim, tata air,
ketersediaan hara, sedangkan kendala biotik disebabkan oleh Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT).

Sistem pertanian yang mengintegrasikan beberapa sektor (pertanian, perikanan,


peternakan, perkebunan dan kehutanan) yang dikelola secara terpadu dan berorientasi
ekologis, sehingga diperoleh peningkatan nilai ekonomi, tingkat efisiensi dan produktifitas
yang tinggi. Konsep pada sistem pertanian ini adalah siklus materi, di mana materi yang
merupakan limbah atau waste dari suatu sektor digunakan kembali sebagai bahan dasar pada
sektor lainnya. Contoh sederhananya adalah limbah dari sektor peternakan yang digunakan
kembali sebagai pupuk untuk digunakan pada sektor pertanian. Adapun timbal balik dari sektor
pertanian adalah misalkan melalui jerami yang digunakan untuk pakan ternak. Intinya, seluruh
materi pada sektor – sektor tersebut terus bersiklus dalam sistem, muncul sebagai waste pada
suatu sektor lalu dialihkan dan digunakan sebagai bahan dasar pada sektor lainnya. Dari segi
lingkungan, sistem ini memiliki konsep zero waste, konsep yang menekan jumlah produksi
sampah, yang tentu memiliki dampak baik terhadap lingkungan. Adapun dari segi ekonomi,
sistem ini memiliki konsep cost reduction, yaitu konsep di mana modal/biaya menjadi lebih
rendah dari pendapatan. Hal ini dapat tercapai karena dengan digunakannya kembali limbah
sebagai bahan dasar pada sektor lain, dapat mengurangi biaya untuk memenuhi kebutuhan
sektor tersebut tanpa mengurangi pendapatan yang akan diperoleh. Pada perkembangan
berikutnya, setelah sistem pertanian ini dapat berjalan secara mandiri, maka pertanian dapat
difungsikan pula sebagai kawasan eduwisata, di mana masyarakat yang berkunjung akan
diberikan wawasan mengenai sistem integrated farming, termasuk di dalamnya teknik bertani,
beternak dan hal lainnya yang tercakup. Sasaran utama dengan difungsikannya sebagai
kawasan eduwisata adalah untuk mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai potensi
pertanian Indonesia, termasuk mengenai potensi daerah masing – masing di bidang pertanian,
serta mensosialisasikan pula mengenai sistem integrated farming yang berbasis lingkungan
dan berbagai inovasi seputar pertanian ataupun bioresource, seperti misalnya dijelaskan
mengenai biofuel ataupun biogas. Contoh sederhananya, di kawasan pertanian eduwisata ini
dibuat pula kawasan kuliner yang menggunakan biogas sebagai sumber gas untuk memasak.
Hal ini bertujuan untuk mensosialisasikan bahwa dengan menggunakan biogas, masakan
tidak akan terpengaruhi dan tetap aman. Untuk mengoptimalkan keberlangsungan seluruh
proses pertanian, kawasan pertanian ini dibangun berdekatan dengan pusat riset varietas
tanaman agar koordinasi antar kedua sektor ini dapat berlangsung lebih mudah.
Dalam era perubahan iklim ini, petani berada pada posisi yang dilematis. Di tengah
resiko usaha tani yang kian besar, kegiatan pertanian dituding berkontribusi terhadap
peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK), sementara itu, usaha tani mempunyai fungsi
yang urgen bagi kelangsungan hidup manusia. Berbagai hasil penelitian menunjukkan
bahwa pertanian tanaman padi merupakan salah satu sumber emisi gas metan yang
cukup besar disamping limbah ternak dan sampah organik. Kondisi ini menuntut
kebutuhan akan implementasi model pertanian yang ramah lingkungan tetapi tetap
terbuka bagi penerapan teknologi maju.

Pertanian tekno-ekologis (eco-techno farming) merupakan model pertanian yang


dikembangkan dengan memadukan model ‘pertanian ekologis’ (eco farming) dengan
pertanian berteknologi maju (techno-farming). Pertanian ekologis merupakan model
pertanian yang dikembangkan selaras dengan kondisi alam atau ekosistem setempat.
Kekuatan sistem pertanian ini terletak pada integrasi fungsional dari beragam sumber
daya, termasuk fungsi lahan dan komponen biologis, sehingga stabilitas dan produktivitas
sistem usaha tani dapat ditingkatkan dan basis-basis sumber daya alam bisa dilestarikan.
Jika hanya menerapkan model pertanian ekologis yaitu dengan hanya menggunakan
teknologi tradisional (alamiah), maka dari aspek ekosistem akan aman, tetapi
peningkatan produksi dan produktivitas akan sulit dioptimalkan. Sedangakan jika hanya
dengan penerapan techno-farming (teknologi modern) maka dari sisi produktivitas dalam
jangka pendek akan lebih menjanjikan, tetapi dalam jangka panjang dari aspek
lingkungan dan resiko usaha tani menjadi tidak aman. Akibat aspek lingkungan yang
kurang diperhatikan, maka secara jangka panjang peningkatan produksi juga akan
menjadi tidak aman.

Pertanian tekno-ekologis berupaya memadukan kekuatan pertanian ekologis


dengan pertanian berteknologi maju sehingga terbentuk model pertanian yang lebih
produktif, efisien, dan berkualitas dengan resiko yang lebih kecil sekaligus ramah
lingkungan. Pertanian tekno-ekologis yang memadukan sistem produksi siklus
(peredaran zat makanan dan biomassa dalam satu rantai) dengan sentuhan teknologi
maju, akan bisa mengarah pada ‘zero waste’ atau pertanian tanpa limbah. Karena itu,
memadukan kedua model pertanian tersebut secara cermat merupakan langkah yang
arif menuju masa depan pertanian yang maju dan berkelanjutan. Model ini diyakini makin
relevan ketika pembangunan pertanian dihadapkan pada perubahan iklim ekstrim,
kerusakan lingkungan, penyempitan lahan, tuntutan konsumen, dan pertumbuhan
penduduk.

Selain pertanian tekno ekologis dikenal pula Integrated Farming. Salah satu
upaya yang dilakukan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian adalah
menggerakkan model pertanian terintegrasi yang merupakan terobosan untuk
meningkatkan produksi dan secara holistik untuk meningkatkan ketahanan pangan
nasional yaitu dengan Integrated Farming.
Integrated Farming System atau Sistem Pertanian Terpadu merupakan sistem
pertanian yang mengintegrasikan kegiatan sub sektor pertanian, tanaman, ternak,
ikan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas sumber daya (lahan, manusia,
dan faktor tumbuh lainnya) kemandirian dan kesejahteraan petani secara
berkelanjutan. Penerapan pertanian terpadu pada dasarnya adalah mengoptimalkan
pemanfaatan seluruh potensi sumber daya yang ada.
Model Pengembangan Sistem Pertanian Terpadu yang ramah lingkungan dan
berkelanjutan tersebut adalah salah satu alternatif untuk bisa diterapkan dalam
meningkatkan produktivitas, hemat air, hemat tenaga kerja, berwawasan lingkungan,
hasil produksi yang sehat dan mudah diterima oleh petani. Dalam pertanian terpadu
semua limbah yang dihasilkan dapat dimanfaatkan kembali, limbah pertanian dapat
digunakan untuk pakan ternak dan kotoran ternak dapat diolah menjadi pupuk
kompos.
Diharapkan sistem ini dapat menambah penghasilan petani dari segi ekonomi,
disamping tidak rusaknya lingkungan sebagai lahan pertanian.. Kita menyadari bahwa
untuk melaksanakan sistem pertanian terpadu tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Dibutuhkan keterlibatan dan kerjasama semua pihak baik pemerintah
maupun petani sendiri untuk mengawalinya.

BAB II
PERTANIAN ORGANIK

A. Pengolahan Limbah Menjadi Pupuk Organik


Pemakaian pupuk an-organik secara berlebihan dan berlangsung terus menerus
tanpa diimbangi dengan pemakaian pupuk organik menyebabkan kualitas tanah
menurun dan tidak optimal untuk usaha pertanian. Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan 79% lahan pertanian di Indonesia khususnya sawah memiliki kadar C-
Organik tanah <2%, padahal kadar C-Organik dalam tanah yang baik untuk pertanian
minimal 5%.
Secara alami bahan-bahan organik akan mengalami penguraian di alam dengan
bantuan mikroba maupun biota tanah lainnya. Namun proses pengomposan yang terjadi
secara alami berlangsung lama dan lambat. Untuk mempercepat proses pengomposan
ini telah banyak dikembangkan teknologi-teknologi pengomposan. Baik pengomposan
dengan teknologi sederhana, sedang, maupun teknologi tinggi.

Pada prinsipnya pengembangan teknologi pengomposan didasarkan pada


proses penguraian bahan organic yang terjadi secara alami. Proses penguraian
dioptimalkan sedemikian rupa sehingga pengomposan dapat berjalan dengan lebih cepat
dan efisien. Teknologi pengomposan saat ini menjadi sangat penting artinya terutama
untuk mengatasi permasalahan limbah organic, seperti untuk mengatasi masalah
sampah di kota-kota besar, limbah organik industry, serta limbah pertanian dan
perkebunan.

Pengomposan secara aerobik paling banyak digunakan, karena mudah dan


murah untuk dilakukan, serta tidak membutuhkan kontrol proses yang terlalu sulit.
Dekomposisi bahan dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bahan itu sendiri dengan
bantuan udara. Sedangkan pengomposan secara anaerobik memanfaatkan
mikroorganisme yang tidak membutuhkan udara dalam mendegradasi bahan organik.

Hasil akhir dari pengomposan ini merupakan bahan yang sangat dibutuhkan
untuk kepentingan tanah-tanah pertanian di Indonesia, sebagai upaya untuk
memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi tanah, sehingga produksi tanaman menjadi
lebih tinggi. Kompos yang dihasilkan dari pengomposan sampah dapat digunakan untuk
menguatkan struktur lahan kritis, menggemburkan kembali tanah pertanian,
menggemburkan kembali tanah petamanan, sebagai bahan penutup sampah di TPA,
eklamasi pantai pasca penambangan, dan sebagai media tanaman, serta mengurangi
penggunaan pupuk kimia.

Kompos banyak mengandung mikroorganisme (fungsi, aktinomisetes, bakteri,


dan alga). Dengan ditambahkannya kompos ke dalam tanah tidak hanya jutaan
mikroorganisme yang ditambahkan, akan tetapi mikroorganisme yang ada dalam tanah
juga terpacu untuk berkembang. Proses dekomposisi lanjut oleh mikro-organisme akan
tetap terus berlangsung tetapi tidak mengganggu tanaman. Gas CO2 yang dihasilkan
mikroorganisme tanah akan dipergunakan untuk fotosintesis tanaman, sehingga
pertumbuhan tanaman akan lebih cepat. Amonifisi, nitrifikasi, dan fiksasi nitrogen juga
meningkat karena pemberian bahan organik sebagai sumber karbon yang terkandung di
dalam kompos menghasilkan hormon-hormon pertumbuhan, misalnya auksin, giberelin,
dan sitokinin yang memacu pertumbuhan dan perkembangan akar-akar rambut sehingga
daerah pencarian makanan lebih luas. Pemberian kompos pada lahan sawah akan
membantu mengendalikan atau mengurangi populasi nematoda, yaitu cendawan dan
bakteri serta memberi kondisi yang kurang menguntungkan bagi perkembangan
nematoda. Munculnya serangan nematoda penyebab penyakit bintil akar pada akar
tanaman padi di beberapa daerah dipicu oleh penggunaan pupuk urea yang intensif.

Bahan organik memberikan efek positif pada aktivitas berbagai enzim hidrolase
yang kemungkinan disebabkan oleh meningkatkan biomassa mikroba (Garcia et al.,
2001). Setelah 10 tahun penambahan bahan organik, siklus biokimia N, aktivitas (urease
dan protease-BAA), P (phosphatase) dan karbon (B-glucosidase) dapat di reaktivasi,
sehingga kesuburan tanah meningkat (Ladd, 1985).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peranan pupuk kompos terhadap


sifat biologi tanah adalah menjadi sumber makanan bagi mikroorganisme tanah seperti
kapang, Actinomycetes, fungi, bakteri, dan protosoa serta mikroorganisme
menguntungkan lainnya, sehingga dapat meningkatkan dan mempercepat proses
dekomposisi bahan organik sehingga perkembangannya lebih cepat.

Kompos ibarat multi-vitamin untuk tanah pertanian. Kompos akan meningkatkan


kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat Kompos memperbaiki struktur
tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan
kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Aktivitas mikroba tanah
yang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan penambahan kompos. Aktivitas
mikroba ini membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah dan menghasilkan
senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Aktivitas mikroba tanah juga
diketahui dapat membantu tanaman menghadapi serangan penyakit.
Tanaman yang dipupuk dengan kompos juga cenderung lebih baik kualitasnya
daripada tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia, misal: hasil panen lebih tahan
disimpan, lebih berat, lebih segar, dan lebih enak.
Penggunaan pupuk kimia secara intensif oleh petani selama beberapa dekade ini
menyebabkan petani sangat tergantung pada pupuk kimia. Di sisi lain, penggunaan
pupuk kimia juga menyebabkan kesuburan tanah dan kandungan bahan organik tanah
menurun. Petani melupakan salah satu sumber daya yang dapat mempertahankan
kesuburan dan bahan organik tanah, yaitu: limbah sisa panen hasil pertaian seperti
jerami, batang jagung, batang kedelai, kacang tanah, pucuk tebu, dll. Memanfaatkan
limbah sisa panen seperti jerami padi untuk pupuk organik padat secara bertahap dapat
mengembalikan kesuburan tanah dan meningkatkan produktivitas padi.
Diperkirakan kandungan bahan organik di sebagian besar sawah di Pulau Jawa
menurun hingga 1% saja. Dan rata-rata kandungan bahan organik di sebagian besar
wilayah Republik Indonesia kurang dari 2%. Padahal kandungan bahan organik yang
ideal adalah sekitar 5%. Kondisi miskin bahan organik ini menimbulkan banyak masalah,
antara lain: efisiensi pupuk yang rendah, aktivitas mikroba tanah yang rendah, dan
struktur tanah yang kurang baik. Akibatnya produksi padi cenderung turun dan kebutuhan
pupuk terus meningkat. Solusi mengatasi permasalah ini adalah dengan menambahkan
bahan organik/pupuk organik cair/padat ke lahan-lahan sawah. Pupuk organik harus
ditambahkan dalam jumlah yang cukup hingga kandungan bahan organik kembali ideal
seperti semula.

Penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus dan berlebihan untuk


meningkatkan produksi pertanian, tanpa diimbangi pemberian pupuk organik akan
menimbulkan “levelling off, terutama pada lahan sawah". Padahal dalam proses
tumbuhnya, tumbuhan memerlukan tempat berpijak yang kokoh dan gembur. Karena
disamping menyerap air dari dalam tanah, akar tanaman juga melakukan proses respirasi
(bernapas). Maka dapat dibayangkan jikalau tanah tempat tumbuh tersebut adalah tanah
yang keras dan mempunyai tingkat kepadatan tinggi, sehingga tidak ada celah yang
dapat menjadi tempat sirkulasi udara.
Agar tanah tetap sehat, setelah panen dilakukan pembenahan. Tanah setelah
ditanami unsur haranya berkurang, sehingga jika tidak dibenahi kemampuannya untuk
berproduksi menjadi rendah. Pembenahan tanah tak hanya dilakukan secara fisik saja,
tetapi juga dengan kimia dan biologi, diantaranya adalah meningkatkan kadar oksigen
terlarut dalam irigasi, menjaga keseimbangan pH tanah, mengikat logam berat yang
bersifat racun bagi tanaman seperti Pb, Cd, mengikat kation dari unsur dalam pupuk,
misalnya NH4+ dari Urea K+ dari KCl, sehingga penyerapan pupuk menjadi efisien, dan
meningkatkan KTK tanah”.

Yang paling mudah dan banyak tersedia sebagai pembenah tanah adalah
kompos. Kompos hasil fermentasi bahan organic berupa limbah pertanian memiliki
kualitas yang tinggi sebagai pembenah tanah. Melalui proses pengomposan diperoleh
kandungan bahan organic tinggi yang memperbaiki sifat fisik tanah dan dalam jangka
panjang dapat mengembalikan kesuburan dan produktivitas lahan. Hasil pengomposan
lain, asam humat dan asam sulfat pemacu pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu,
aplikasi kompos dapat menurunkan kebutuhan pupuk kimia.

Pada umumnya untuk memperoleh kompos yang baik diperlukan waktu empat
sampai delapan bulan. Salah satu masalah yang penting untuk diketahui adalah cara /
metode / teknik pengomposan yang cepat sehingga mengurangi waktu pendauran ulang
residu organik yang efisien.

Metode pengomposan yang cepat akan lebih mudah diterima oleh petani karena
harus disiapkan kompos dalam jumlah banyak pada areal yang terbatas. Di samping itu,
kompos bersifat ruah (bulky) dan rerata mengandung N, P, K dalam jumlah yang kecil.
Dengan demikian diperlukan penurunan keruahan periode penyiapan dan memperbaiki
kualitas sehingga dapat memasok N, P, K dan senyawa humik lebih banyak untuk setiap
satuan berat.

Usaha mempercepat proses pengomposan dapat dilakukan dengan


menambahkan bahan aktivator / efective mikroorganism (EM). Selain itu juga dapat
dilakukan dengan memberikan inokulan mikroorganisme selulopati untuk meningkatkan
kandungan nitrogen dan phospat. Pada waktu bersamaan keruahan bahan kompos
dapat menurun lebih cepat.

Saat ini, kebijakan pemerintah sudah sangat mendukung untuk diterapkannya


sistem pertanian berkelanjutan. Salah satu aspek yang menonjol dalam pertanian
berkelanjutan adalah mengolah kembali semua limbah pertanian yang dihasilkan untuk
dikembalikan ke sumber asalnya (tanah).

Salah satu kendala yang dihadapi dalam mengolah limbah pertanian khususnya
di wilayah perdesaan (pelosok) adalah terbatasnya informasi, pengetahuan dan
keterampilan petani, khususnya yang terkait dengan pemanfaatan teknologi EM. Padahal
teknologi EM merupakan salah satu solusi untuk mempercepat proses pengomposan.
Selain karena ketersediaan EM yang sulit diperoleh, cara membuat EM dengan
memanfaatkan bahan baku lokal belum banyak dipahami oleh petani dan penyuluh. Oleh
karena itu diperlukan pelatihan khusus bagi para penyuluh pertanian tentang cara
membuat dan mengembang biakkan EM sebagai bekal untuk meningkatkan
keterampilan teknis yang kelak dapat disampaikan kepada petani binaan yang ada di
wilayahnya.

B. Pestisida Nabati
Sebagian besar peningkatan resistensi pestisida disebabkan oleh tindakan manusia
terutama pengguna dalam mengaplikasikan pestisida tanpa dilandasi oleh pengetahuan
yang menyeluruh tentang sifat-sifat dasar pestisida kimia termasuk pengembangan
populasi resisten. Suatu jenis pestisida yang oleh petani pada suatu saat dianggap
sangat efektif dalam mengendalikan hama menjadi tidak berguna bila sebagian besar
individu dalam populasi menjadi resisten. Saat ini jumlah dan keragaman jenis hama
yang menunjukkan resistensi terhadap satu atau beberapa jenis atau kelompok pestisida
semakin meningkat di seluruh dunia. Telah diketahui bahwa setiap jenis organisme
mempunyai kemampuan mengembangkan resistensi terhadap jenis pestisida apapun.
Laju peningkatan resistensi sangat ditentukan oleh tindakan manusia dalam
menggunakan dan memanfaatkan pestisida. Karena itu satu-satunya jalan untuk
memperlambat, menghindari atau membalik arah pengembangan resistensi pestisida
adalah melalui program pengelolaan resistensi pestisida dengan perubahan tindakan
manusia dalam menghasilkan, mengaplikasikan dan mengawasi pestisida. Sebagian
besar peningkatan resistensi pestisida disebabkan oleh tindakan manusia terutama
pengguna dalam mengaplikasikan pestisida tanpa dilandasi oleh pengetahuan yang
menyeluruh tentang sifat-sifat dasar pestisida kimia termasuk pengembangan populasi
resisten. Suatu jenis pestisida yang oleh petani pada suatu saat dianggap sangat efektif
dalam mengendalikan hama menjadi tidak berguna bila sebagian besar individu dalam
populasi menjadi resisten. Saat ini jumlah dan keragaman jenis hama yang menunjukkan
resistensi terhadap satu atau beberapa jenis atau kelompok pestisida semakin meningkat
di seluruh dunia. Telah diketahui bahwa setiap jenis organisme mempunyai kemampuan
mengembangkan resistensi terhadap jenis pestisida apapun. Laju peningkatan resistensi
sangat ditentukan oleh tindakan manusia dalam menggunakan dan memanfaatkan
pestisida. Karena itu satu-satunya jalan untuk memperlambat, menghindari atau
membalik arah pengembangan resistensi pestisida adalah melalui program pengelolaan
resistensi pestisida dengan perubahan tindakan manusia dalam menghasilkan,
mengaplikasikan dan mengawasi pestisida.

Meskipun resistensi hama terhadap insektisida anorganik telah diketahui sejak tahun
1910an, namun kasus ini meningkat sekali sejak ditemukannya insektisida organik
sintetik. DDT sebagai insektisida organik sintetik pertama ditemukan dan digunakan
secara luas sejak tahun 1945. Pada tahun 1948 sudah mulai dilaporkan terjadinya
resistensi DDT pada nyamuk dan lalat. Pada tahun 1986 dilaporkan 447 jenis serangga
yang resisten terhadap hampir semua kelompok insektisida (organokhlor, oganofosfat,
karbamat, piretroid sintetik, fumigan) termasuk kelompok insektisida hayati seperti Bt
(Georgiiou,1986). Jenis resistensi hama terhadap pestisida dapat berupa resistensi
tunggal, resistensi ganda (multiple resistance) atau resistensi silang (cross resistance).
Resistensi pestisida tidak hanya terjadi pada serangga-serangga pertanian, tetapi juga
pada semua kelompok serangga termasuk serangga rumah tangga dan kesehatan
masyarakat.

Resistensi pada penyakit tumbuhan telah lama diketahui sejak tahun 1940an, namun
kasus resistensi penyakit tumbuhan terhadap fungisida meningkat sejak introduksi
fungisida sistemik sekitar tahun 1960an. Resistensi gulma terhadap herbisida baru
diketahui sejak tahun 1970 dan saat ini banyak spesies gulma yang resisten terhadap
berbagai kelompok dan jenis herbisida, seiring dengan peningkatan penggunaan
herbisida (Georgiou, 1986).

Para petani di Indonesia umumnya masih cenderung enggan mengambil risiko. Meskipun
PHT sudah menjadi kebijakan pemerintah, namun banyak petani masih mempercayakan
pada penyemprotan pestisida secara asuransi. Tanggapan pertama petani terhadap
pestisida yang kehilangan efektivitasnya adalah dengan meningkatkan dosis dan
frekuensi aplikasi. Bila hal ini tak berhasil mereka akan menggunakan jenis pestisida
yang lebih baru, lebih mahal dan mereka harapkan lebih manjur daripada jenis pestisida
yang digunakan sebelumnya. Pergeseran petani dari penggunaan pestisida baru tanpa
adanya perubahan mendasar dalam filosofi dan strategi pengendalian hama dengan
pestisida, merupakan solusi sementara yang akan menimbulkan masalah baru yang lebih
parah yaitu terjadinya resistensi hama pada jenis pestisida yang baru. Dari data
penelitian dan empirik dapat dibuktikan bahwa populasi hama yang sudah resisten
terhadap satu atau lebih jenis pestisida biasanya dapat mengembangkan sifat resistensi
terhadap senyawa lain secara lebih cepat, khususnya bila senyawa baru ini mempunyai
mekanisme resistensi yang sama atau berdekatan dengan senyawa-senyawa
sebelumnya. Sebagian besar hama mampu mempertahankan dan mewariskan sifat
resistensi pada keturunannya dalam waktu yang lama.

Akibat peningkatan dosis dan frekuensi aplikasi pestisida percepatan pengembangan


resistensi pestisida sangat meningkatkan biaya pengendalian yang harus dikeluarkan
petani dan para pengguna pestisida lainnya. Di Amerika Serikat telah dilakukan perkiraan
peningkatan biaya pengendalian akibat resistensi pestisida, dan diperoleh angka sekitar
133 juta US$. Di tingkat global pada tahun 1980 (kecuali Rusia dan Cina) diduga
tambahan biaya pengendalian dengan pestisida akibat resistensi adalah sekitar satu
milyard US $. Kalau peningkatan biaya tersebut ditambahkan pada biaya investasi untuk
memperoleh jenis pestisida baru yang besarnya sekitar 100 juta US$ per satu jenis
pestisida baru, sangat sulit bagi perusahaan pestisida untuk dapat memperoleh
keuntungan. Tidak mengherankan bahwa laju penemuan pestisida baru saat ini sangat
lambat.
Di samping ketakutan akan fenomena resistensi pestisida, beberapa penyebab
berkurangnya penemuan pestisida baru adalah; 1) peningkatan biaya penelitian untuk
menemukan pestisida baru yang memenuhi syarat, 2) peningkatan biaya dan
persyaratan registrasi pestisida yang semakin ketat, 3) peningkatan biaya produksi, serta
4) semakin ketatnya kompetisi antar produsen pestisida. Ada kemungkinan
kecenderungan bergabungnya perusahaan-perusahaan pestisida multinasional akhir-
akhir ini disebabkan oleh faktor-faktor tersebut.

A. Pestisida Nabati
Dengan semakin meningkatnya kesadaran lingkungan dan keinginan untuk hidup
selaras dengan alam serta berkembangnya konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
pestisida nabati kembali memperoleh perhatian dari paara pakar dan praktisi termasuk di
indonesia setelah beberapa dekade teknik pengendalian hama tersebut nyaris dilupakan.
Namun perlu dicatat di sini bahwa banyak kelompok pestisida sintetik yang sudah
dikembangkan dan dipasarkan saat ini berasal dari pestisida nabati seperti karbamat dan
piretroid.

Perhatian banyak peneliti Indonesia terhadap pestisida nabati sangat meningkat


pada dekade terakhir ini. Banyak jenis tanaman yang telah diteliti indikasi sifat
insektisidal, fungisidal dan sifat-sifat pengendalian hama lainnya, seperti kunyit, jahe,
kecubung, temu hitam, laos, gadung, biji bengkuang dan sirih. Banyak hasil penelitian
mengenai siifat-sifat pestisida nabati antara lain yang berasal dari tanaman cengkeh,
serai wangi, jeruju/mangrove, sirih, gadung, nimba, lada hitam, duku, nilam, piretrum,
vitex trifola, nona sabrang, deris dan bengkuang.

Namun dari berbagai hasil penelitian baik yang dilakukan di Indonesia maupun di
luar negeri masih banyak langkah penelitian dan pengembangan yang harus ditempuh
agar jenis-jenis tumbuhan tersebut dapat digunakan sebagai pestisida nabati yang dapat
efektif mengendalikan hama, ekonomi, praktis dan tidak membahayakan manusia dan
lingkungan. Nimba, mimba atau Azadirachta indica merupakan tanaman yang sangat
intensif diteliti oleh banyak peneliti dan ditinjau dari berbagai aspek pengendalian hama
yang menunjukkan bahwa tanaman tersebut dapat dijadikan pestisida nabati yang dapat
dimanfaatkan di lapangan, baik dilakukan secara manual maupun secara industri.
Dilihat dari konsep dan prinsip PHT pestisida nabati mempunyai banyak
keuntungan/keunggulan tetapi juga masih banyak kelemahannya yang secara rinci
diuraikan berikut ini:

Keunggulan

Dibandingkan dengan pestisida sintetik pestisida nabati mempunyai sifat yang


lebih menguntungkan yaitu: a) mengurangi resiko hama mengembangkan sifat resistensi,
b) tidak mempunyai dampak yang merugikan bagi musuh alami hama, c) mengurangi
resiko terjadinya letusan hama kedua, d) mgnurangi bahaya bagi kesehatan manusia dan
ternak, e) tidak merusak lingkungan dan persediaan air tanah dan air permukaan, f)
mengurangi ketergantungan petani terhadap agrokimia dan g) biaya dapat lebih murah.

Bahan nabati mempunyai sifat yang menguntungkan karena daya racun rendah,
tidak mendorong resistensi, mudah terdegradasi, kisaran organisme sasaran sempit,
lebih akrab lingkungan serta lebih sesuai dengan kebutuhan keberlangsungan usaha tani
skala kecil. Pestisida nabati tidak mencemari lingkungan, lebih bersifat spesifik, residu
lebih pendek dan kemungkinan berkembangnya resistensi lebih kecil.

Kelemahan

Kelemahan pestisida nabati yang perlu kita ketahui antara lain:

 Karena bahan nabati kurang stabil mudah terdegradasi oleh


pengaruh fisik, kimia maupun biotik dari lingkungannya, maka penggunaannya
memerlukan frekuensi penggunaan yang lebih banyak dibandingkan pestisida
kimiawi sintetik sehingga mengurangi aspek kepraktisannya
 Kebanyakan senyawa organik nabati tidak polar sehingga sukar larut
di air karena itu diperlukan bahan pengemulsi
 Bahan nabati alami juga terkandung dalam kadar rendah, sehingga
untuk mencapai efektivitas yang memadai diperlukan jumlah bahan tumbuhan
yang banyak
 Bahan nabati hanya sesuai bila digunakan pada tingkat usaha tani
subsisten bukan pada usaha pengadaaan produk pertanian massal
 Apabila bahan bioaktif terdapat di bunga, biji, buah atau bagian
tanaman yang muncul secara musiman, mengakibatkan kepastian
ketersediaannya yang akan menjadi kendala pengembangannya lebih lanjut
 Kesulitan menentukan dosis, kandungan kadar bahan aktif di bahan
nabati yang diperlukan untuk pelaksanaan pengendalian di lapangan, sehingga
hasilnya sulir diperhitungkan sebelumnya

Dengan mempelajari keunggulan dan kelemahan pestisida nabati sebagai


pestisida yang bersahabat dengan lingkungan, sebelum dapat digunakan di lapangan
untuk mengendalikan hama dalam kerangka kerja PHT, masih memerlukan banyak
langkah penelitian yang harus dilaksanakan secara terpadu dan komprehensif,
mencakup banyak disiplin ilmu dan kepakaran. Pestisida nabati tidak dapat berdiri sendiri
sebagai satu-satunya teknik pengendalian hama yang akan digunakan, dan harus
dipadukan dengan teknik-teknik pengendalian hama lainnya termasuk pengendalian
hayati, sesuai dengan prinsip-prinsip PHT.

Apabila telah ditentukan jenis-jenis tanaman yang akan digunakan sebagai bahan
dasar pestisida nabati yang sesuai dengan keadaan setempat, masalah berikutnya
adalah menentukan kriteria pengambilan keputusan penggunaan pestisida nabati.
Karena sifat-sifat dasar pestisida nabati berbeda dengan sifat-sifat pestisida kimia
sintetik, maka konsep Ambang ekonomi atau aras luka ekonomi menjadi tidak relevan,
sehingga diperlukan aras pengendalian yang khas untuk tindakan koreksi perlakuan
dengan pestisida nabati. Ada kemungkinan untuk menekan populasi hama agar selalu
berada di sekitar garis keseimbangan diperlukan perlakuan pestisida dengan pestisida
secara berjadwal. Untuk menjawab pertanyaan kapan, dimana dan berapa kali pestisida
nabati digunakan diperlukan kegiatan penelitian khusus. Berikut adalah adaftar tanaman
yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati :
Bagian
No. Nama Tumbuhan Kandungan Bahan Aktif Jenis Pestisida
tumbuhan
1 Patah tulang daun Moluskisida
Tefrosia (kacang
2 daun Tephrosin, deguelin Moluskisida
ikan)
Borneol, sineol, limonen,
3 Sembung daun Moluskisida
eimetil eter floroasetofenon
Duan, bunga,
4 Babadotan Saponin, fivanoid, pilifenol Insektisida
batang, akar
Lempuyang
5 rimpang Insektisida
gajah
Lempuyang
6 rimpang Insektisida
emprit
7 Salam daun Perangsang tumbuh
Meulaluka (daun
8 daun metyleugenol Pemikat
wangi)
Asaron, kolamenol,
9 Jeringau rimpang kolamen, kolameon, Insektisida
metileugenol, dan eugenol
10 Kecubung biji scopolamin Insektisida
11 Mimba biji azadirachtin Insektisida
12 Mindi Biji, daun azadirachtin Insektisida
13 Bitung biji Saponin, tritepenoid Insektisida
Bunga,
14 Piretrum piretrin Insektisida
tangkai bunga
15 Bengkuang biji pachirrizid Insektisida
16 Legundi daun Insektisida
17 Serai dapur daun Insektisida
18 Bawang putih umbi Penolak
19 Nilam daun Insektisida
20 Saga biji Tanin, toksalbumin Insektisida
Racun ikan,
21 Tuba akar rotenon moluskisida,
insektisida, penolak
22 Kipahit/kisutra daun Penolak
Daun, bunga,
23 Secang Insektisida
biji
24 Brotowali batang Insektisida
25 Sirsak Daun, biji annonain Insektisida, larvasida
26 Srikaya biji Annonain, resin Insektisida
Insektisida,
27 Jambu mete Kulit biji Anarkadat, kardol fungisida,
bakterisida
28 Mahoni Biji Insektisida
29 Picung Biji, daun Asam sianida Insektisida
30 Gadung racun Umbi Dioskorin Rodentisida
31 Gadung KB Umbi Diosgenin, saponin Rodentisida
Surenon, surenin,
32 Suren Daun Insektisida
surenolakton
33 Kenikir Daun, bunga Pepeirton, terhtienil Nematisida
34 Zodia Daun, bunga Evodiamin, rutaecarpin Insektisida
35 Kamalakian Biji Recinin Insektisida
36 Selasih Daun, bunga Metyleugenol Pemikat
Bunga,
37 Cengkeh tangaki Minyak atsiri Fungisida
bunga, daun
Penolak, Insektisida,
38 Tembakau Daun, batang Nikotin
akarisida
Asang jengkolat, ureum,
39 Jengkol biji Pengusir tikus
belerang
Insektisida,
Semua bagian
40 Jarak Ricin nematisida,
tanaman
fungisida
41 Klerak/lerak buah Saponin Insektisida

Ada dua cara mudah untuk membuat pestisida nabati, yaitu:


 Perendaman untuk menghasilkan produk ekstrak
 Penumbukan, pembakaran, pengerusan, dan pengepresan untuk menghasilkan
produk berupa pasta atau tepung

Anda mungkin juga menyukai