Anda di halaman 1dari 13

TERAPAN PERTANIAN TEKNO-EKOLOGIS

PADA SISTEM BUDIDAYA ---------

Logo

Nama
Nim

PROGRAM STUDI ----


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE
BULAN TAHUN
1

Daftar Isi

Bab 1. Pendahuluan........................................................................................................ 2

I. Latar Belakang.............................................................................................. 2
II. Ciri dan Faktor Pembentuk Model Pertanian Tekno-Ekologis..................... 3
III. Langkah-Langkah Pengembangan Pertanian Tekno-Ekologis..................... 4

Bab 2. Model Pertanian Tekno-Ekologis........................................................................ 5

Daftar Pustaka................................................................................................................. 11
2

BAB 1. PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Pemerintah telah mengembangkan pertanian yang lebih berorientasi pada


memaksimalkkan satu komoditas dan didukung oleh teknologi maju. Hal ini dilakukan
terutama untuk mengejar ketersediaan pangan, khususnya beras yang kemudain ditempuh
dengan upaya yang disebut revolusi hijau. Bukan hanya pada komoditi bahan pangan,
namun disemua aspek pertanian. Pada prinsipnya revolusi hijau berupaya memacu
produksi melalui penggunaan varietas unggul dengan sistem budidaya monokultur. Model
pertanian ini didukung oleh perbaikan sistem irigasi, pemupukan intensif, serta
pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida melalui pendekatan percontohan dan
penyuluhan.
Dengan berorientasi pada pertanian monokultur dalam suatu usaha tani atau
kawasan usaha tani akan terbentuk sistem produksi linear. Tidak mungkin terbentuk sistem
produksi siklus, yakni terjadinya siklus zat-zat makanan dan biomassa secara tertutup.
Dengan demikian model pertanian ini akan memerlukan input luar yang tinggi (high
external input), seperti pupuk, pestisida, dan pakan. Hal ini berdampak ketergantungan
petani terhadap sarana produksi (input) dari luar semakin tinggi. Hal ini menjadi tantangan
petani dalam menyediakan input dari bahan lokal.
Memasuki era pasar bebas, perlu adanya peningkatan daya saing, termasuk daya
saing produk pertanian. Untuk dapat meningkatkan daya saing produk pertanian, antara
lain perlu meningkatkan mutu produk dan efisiensi dalam proses produksi. Pemanfaatan
sumber daya lokal sebagai input, baik berupa pupuk, pestisida, pakan ataupun energi, tentu
akan meningkatkan efisiensi. Pemanfaatan sumber daya lokal sebagai input tentu akan bisa
dioptimalkan bila pertanian dikembangkan dengan pola integratif. Pola integratif sebagai
salah satu ciri pertanian Tekno-Ekologis menurut Guntoro (2011) sangat membantu dalam
menjawab tantangan pertanian masa depan.
Pertanian tekno-ekologis (eco-techno farming) merupakan model pertanian yang
dikembangkan dengan memadukan model pertanian ekologis (eco-farmin) dengan
pertanian berteknologi maju (techno-farming) (Guntoro, 2011). Pertanian ekologis
merupakan model pertanian yang dikembangkan selaras dengan kondisi alam atau
3

ekosistem setempat (Metzner dan Daldjoeni, 1987). Pertanian tekno-ekologis berupaya


memadukan kekuatan pertanian ekologis dengan pertanian berteknologi maju, sehingga
akan terbentuk model pertanian yang lebih produktif, efisien, dan berkualitas dengan
resiko yang lebih kecil sekaligus ramah lingkungan.

II. CIRI DAN FAKTOR PEMBENTUK MODEL PERTANIAN TEKNO-


EKOLOGIS

Kekuatan utama sistem pertanian ini terletak pada integrasi fungsional dari
beragam sumber daya, termasuk fungsi lahan dan komponen biologis, sehingga stabilitas
dan produktivitas sistem usaha tani dapat ditingkatkan dengan berbasis sumber daya alam
bisa dilestarikan (Reijntjes et al., 2002). Dengan berbagai keragaman jenis spesies
(komoditas), ekosistem pertanian cenderung menjadi lebih stabil daripada hanya ditempati
oleh satu spesies (komoditas) seperti dalam budidaya monokultur. Namun keragaman
spesies tersebut harus dipilih dan ditata dengan baik, agar tidak terjadi persaingan zat-zat
makanan dan tidak melanggengkan siklus hama dan penyakit (Dover dan Talbot, 1987).
a. Diversifikasi (Keragaman) Komoditas.
Adanya keragaman (diversifikasi) komoditas merupakan ciri umum, sekaligus syarat
mutlak bagi terbentuknya model pertanian tekno-ekologi. Fungsi keragaman komoditas
ini harus memiliki peran dalam pemanfaatan zat-zat makan sehingga tersipta siklus
produksi secara tertutup. Rantai zat-zat makanan dibentuk terutama oleh pemanfaatan
limbah.
b. Adanya Pola Integratif
Pola integratif adalah adanya integrasi diversifiasi fungsional antar dua komoditas atau
lebih merupakan ciri khas sekaligus faktor penting terbentuknya model pertanian
tekno-ekologis. Pola integrasi adalah adalah pola dalam usaha tani yang menekankan
komoditas-komoditas yang diusahakan memiliki hubungan fungsional dalam
pemanfaatan zat-zat makanan, sehingga antar komoditas tidak berkompetisi, melainkan
saling substitusi dalam memenuhi kebutuhan hara atau nutrisi. Adanya pola integratif
secara bertahap dari berbagai komoditas (pertanian, peternakan, perikanan, dan
kehutanan) secara bertahap di lokasi atau kawasan yang menerapkan model pertanian
iniakan mendorong lahirnya kawasan bebas limbah (zero waste).
c. Orientasi Pemanfaatan Sumber Daya Lokal
4

Model pertanian tekno-ekologis mendorong terbentuknya siklus tertutup, maka dengan


sendirinya akan berorientasi pada pemanfaatan sumber daya lokal dan menekan
masuknya input dari luar. Karena adanya rantai pemanfaatan zat-zat makanan dari
tanaman ke ternak berupa limbah tanaman untuk pakan dan dari ternak ke tanaman
berupa limbah (feces dan urine) untuk pupuk telah sesuai dengan prinsip low external
input and sustainable agriculture (LEISA), melalui proses penambahan bahan-bahan
tertentu dari sumber daya lokal ini juga bisa dihasilkan biopestisida dan bioenergi.
d. Ramah Lingkungan
Model pertanian tekno-ekologis selalu membuka diri terhadap inovasi dan teknologi
baru, sepanjang inovasi dan teknologi tersebut bersifat ramah lingkungan. Aplikasi
teknologi ramah lingkungan merupakan ciri sekaligus pendukung penguatan model
pertanian tekno-ekologis.
e. Adanya Pengolahan Hasil
Teknologi pengolaha hasil bukan merupakan ciri utama model pertanian tekno-
ekologis, tetapi merupakan faktor pendukung yang sangat penting. Aplikasi teknologi
pengolahan hasil dapat mendukung terbentuknya produksi siklus, hasil sampingan
berupa limbah dari olahan pertanian tersebut dimanfaatkan untuk saran produksi.

III. LANGKAH-LANGKAH PENGEMBANGAN PERTANIAN TEKNO-


EKOLOGIS

Berbagai teknik dan metode dapat dilakukan sebagai langkah untuk


mengembangkan pertanian tekno-ekologis, sesuai dengan situasi dan kondisi
agroekosistem setempat. Langkah-langkah dalam membangun pertanian tekno-ekologis
menurut Guntoro (2011) yang dapat menjadi acuan, adalah sebagai berikut:
1. Pengidentifikasian keragaman komoditas (spesies) yang ada di lahan pertanian
berdasarkan nilai potensi ekonomi masing-masing komoditi.
2. Penentuan komoditas dominan atau komoditas penting yang bisa dilihat dari aspek
potensi sumber daya alam maupun potensi ekonomis komoditas tersebut. Perlu adanya
hubungan fungsional dari kedua atau ketiga komoditas unggulan tersebut.
3. Introduksi komoditas baru sebagai pengisi relung ekosistem pada dua atau lebih
komoditas unggulan yang tidak memiliki fungsional dalam pemanfaatan zat makan.
5

4. Perencanaan integrasi dari dua atau lebih komoditas dalam menentukan jumlah atau
luasan agar tercapai titik keseimbangan dalam pemenuhan zat-zat makanan (hara).
5. Sentuhan teknologi maju guna optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal untuk
memperkuat integrasi antar komoditas sebagai upaya mengurangi input luar.
6. Upaya pengolahan hasil untuk menghasilkan diversifikasi vertikal sebagai sarana
produksi atau input dalam.

BAB 2. MODEL PERTANIAN TEKNO-EKOLOGIS

Gambar 1. Integrasi tanaman kopi dengan tanaman hutan tanpa terapan teknologi

Pola integrasi sederhana telah membentuk siklus zat-zat makanan dan biomassa
secara tertutup dengan sentuhan teknologi baru, maka pola tersebut dapat dilanjutkan
dalam bentuk integrasi yang lebih kompleks. Integrasi tanaman kopi – tanaman penaung
(berupa lamtoro dan gamal) akan membuka relung baru yang bisa diisi dengan spesies
baru.

Gambar 2. Pola integrasi sederhana – Konvensional


6

Gambar 2. memperlihatkan adanya integrasi meskipun sifatnya konvensional, pola


ini telah diterapkan pada daerah di Desa Pucak Sari dan Sepang, Kecamatan Usungbiu,
Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali yang dibina oleh Guntoro (2007). Dengan adanya
integrasi tanaman kopi dengan kambing, maka menjadi awal terbentuknya pertanian
ekologis. Dalam pola ini terbentuk rantai ekosistem, yakni pemanfaatan zat-zat makanan
secara tertutup.
Namun pada Gambar 2. belum ada sentuhan teknologi baru, seperti fermentasi
untuk meningkatkan mutu pupuk dan pakan. Agar efisiensi dalam integrasi pada pola
tersebut dapat meningkat, maka perlu sentuhan teknologi maju, berupa pengolahan limbah
kulit kopi sebagai pakan ternak dan pengolahan feces dan urine kambing menjadi pupuk
organik. Jika pola tersebut terdapat relung baru, maka ekosistem pola konvensional
membentuk jaring-jaring ekosistem dengan memanfaatkan komoditas baru sebagai pola
integrasi menggunakan input teknologi fermentasi.

Gambar 3. Pola integrasi sederhana – Teknologi maju

Pola integrasi pada Gambar 3. masih berlangsung secara sederhana, tetapi sudah
terdapat sentuhan teknologi maju, berupa pengolahan limbah kulit kopi dimanfaatkan
untuk menghasilkan konsentrat bagi kambing atau sapi. Sementar itu pengolahan feces dan
urine ternak menggunakan mikroba inokulan untuk menghasilkan pupuk padat maupun
cair yang memiliki mutu sehingga mampu meningkatkan produktivitas tanaman kopi dan
buah-buahan.
7

Gamabr 4. Limbah kopi berupa kulit kopi, dapat diolah menjadi konsentrat (Guntoro,
2008)

Hasil penelitian Guntoro (2008), Wahyono dan Hardianto (2004) menghasilkan


pemanfaatan limbah kulit kopi bagus untuk dijadikan pakan ternak. Pemberian konsentrat
dari hasil olahan kulit buah kopi dapat mempercepat pertumbuhan anak kambing PE
(peranakan etawa). Dengan sentuhan teknologi ini diperoleh produk kopi, daging, dan
susu. Jika pola sederhana telah membentuk siklus zat-zat makanan dan biomassa secara
tertutup dengan sentuhan teknologi baru ini dikembang kembali dengan terapan lebih baik,
maka dapat dihasilkan pola integrasi yang lebih kompleks. Integrasi tanaman kopi dan
kambing akan membuka relung-relung baru yang bisa diisi dengan spesies lain.
Sedangkan tanaman pelindung juga memberi relung baru untuk dapat menghadirkan
spesies yang memeliki fungsional dan nilai ekonomi.

Gambar 5. Hutan tanaman kopi yang dipenuhi oleh pohon kopi arabika dan lamtoro di
Kabupaten Aceh Tengah

Integrasi berlangsung lebih intensif dengan penambahan spesies baru dengan lebah
madu sebagai pengisi relung baru untuk memperpanjang rantai ekosistem. Introduksi lebah
8

madu ke dalam sistem usaha tani dapat memanfaatkan nektar saat tanaman kopi berbunga
dan dapat juga diperoleh dari tanaman penaung. Tanaman penaung yang ditanam
sebaiknya berupa kaliandra dan gamal. Selain sebagai sumber pakan hijauan, kedua jenis
tanaman pelindung tersebut dapat menjadi sumber nektar bagi lebah madu di luar musim
kopi berbunga.
Pemanfaatan limbah kopi secara optimal akan menghasilkan konsentrat, selain itu
hasil olahan limbah kopi dapat pula digunakan sebagai campuran pakan unggas (Guntoro,
2011). Integrasi yang kompleks dapat diperoleh produk yang lebih banyak dibandingkan
dengan pola integrasi sederhana. Produk yang dihasilkan dari integrasi kompleks tersebut
anatara lain kopi, daging, susu, telur, dan madu.

Gambar 6. Pola integrasi kompleks – Teknologi maju

Orientasi pemanfaatan sumber daya lokal seperti dalam penggunaan pupuk


organik, maka pengembangan usaha tani model ini akan mengurangi emisi N 2O yang
dihasilkan dari penggunaan pupuk anorganik. Jika pola sederhana mengalami intensifikasi
dan dipadukan dengan pengolahan hasil maka yang terbentuk adalah pola integrasi yang
kompleks (Gambar 6). Produk tanaman penaung kopi (kaliandra atau gamal) diperoleh
9

hijauan bagi ternak dan nektar bagi lebah madu. Limbah ternak berupa feces langsung
diolah untuk kompos, sedang integrasi kompleks feces ternak difermentasi dalam digester
yang menghasilkan biogas dan slurry. Slurry dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman baik
berupa pupuk pada maupun cair.
Pertanian tekno-ekologis akan menghasilkan relung yang dapat terisi dengan
komoditas lainnya, ini berarti tercipta pula ruang kerja yang lebih banyak lagi. Dampak
yang dihasilkan tentu mampu meningkatkan sumber pendapatan oleh masayarakat petani.

Gambar 7. Pemanfaatan azolla sebagai N hayati

Terapan model pertanian tekno-ekologis di ekosistem sawah akan membuka


peluang petani untuk meningkatkan pendapatannya. Untuk terapan tekno-ekologis adalah
melakukan penambahan komoditas baru (dapat berupa sapi atau kerbau). Penambahan
komoditas baru pada lahan sawah perlu mengintensifikasikan integrasi kedua komoditas
tersebut. Keberadaan ternak akan membuat siklus sistem produksi dapat berlangsung
secara tertutup, meskipun dalam batas-batas tertentu masih membutuhkan input dari luar.
Azolla adalah tumbuhan air yang daunnya dapat mengikat nitrogen di udara,
karena azolla membangun simbiosis mutualisme dengan ganggang biru (Anabena azollae)
yang tinggal di dalam rongga daun azolla. Tanaman azolla digunakan sebagai sumber
pupuk dengan cara menenggelamkan tanaman ini ke dalam lumpur di sela-sela tanaman
padi. Pembudidayaan ikan dapat memanfaatkan berbagai zat makanan dari jasad renik
yang hidup di sela-sela tanaman padi dan azolla.
10

Gambar 8. Tanaman lada dengan penutup tanah Arachis pintoi sebagai sumber N

Gambar 9. Prinsip dasar sistem pertanian berkelanjutan.


11

Penciptaan
biosiklus
kesuburan tanah
Diversifikasi untuk Penambahan hara dibatasi,
pemenuhan Penyematan N2 dilaksanakan
kebutuhan petani apabila memungkinkan

Sistem
Pertanian
berkelanjutan
Produksi Biota tanah (Mikoriza, Rhizobium,
dipertahankan atau Azolla) diperbaiki, serangan hama
ditingkatkan penyakit menurun

Lebih banyak
biomassa yang
digunakan atau
dikomposkan, tidak
bergantung pada
pupuk kimia
12

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., A. N. Gintings, dan M. V. Noordwijk., 2002. Pilihan Teknologi


Agroforestri/Konservasi Tanah untuk Areal Pertanian Berbasis Kopi di
Sumberjaya, Lampung Barat. Bogor, Word Agroforestry Centre.
Dover, M. J. dan L. M. Talbot., 1987. To Feed the Earth: Agro-Ecolog for Sustainable
Development, Washington DC: Word Resourses Institusi. p. 88.
Guntoro, S., 2011. Saatnya Menerapkan Pertanian Tekno-Ekologis. Cet. 1. Jakarta,
Agromedia Pustaka.
Guntoro, S., 2007. Mengembangkan Prima Tani Berbasis Pertanian Tekno-Ekologis di
Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng. Bali, Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Bali.
Guntoro, S., 2008. Membuat Pakan Ternak dari Limbah Perkebunan. Jakarta, Agromedia
Pustaka.
Heddy, S., 2010. Agroekosistem: Permasalahan Lingkungan Pertanian. Cet. 1. Jakarta, PT
Rajagrafindo Persada.
Metzner, J. dan Daldjoeni N., 1987. Ekofaming: Bertani Selaras Alam. Jakarta, Yayasan
Obor Indonesia.
Reijntjes, C., Haverkort, dan A. Waters-Bayer., 2002. Pertanian Masa Depan: Pengantar
untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Yogyakarta,
Penerbit Kanisius.
Subagyono, K., S. Marwanto, dan U. Kurnia., 2003. Teknik Konservasi Tanah Secara
Vegetatif. Seri Monograf Sumber Daya Tanah Indonesia. Balai Penelitian
Tanah. Departemen Pertanian. Bogor.
Toleng, A. L., 2012. Gagasan, Pikiran, dan Harapan Alumni Fakultas Pertanian UNHAS
Terhadap Pembangunan Pertanian Indonesia: Hakekat Keterpaduan dalam
Pertanian Terpadu. Makassar, Penerbit Identitas Universitas Hasanuddin.
Wahyono, D. E., dan R. Hardianto., 2004. Pemanfaatan Sumberdaya Pakan Lokal untuk
Pengembangan Usaha Sapi Potong. Lokakarya Nasional. pdf.

Anda mungkin juga menyukai