Anda di halaman 1dari 31

SISTEM PERTANIAN KONSERVASI

MENUJU DESA MANDIRI:


Realitas dan Harapan di Sulawesi Barat

Andi Nuddin
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas
Muhammadiyah Parepare
E-mail: nuddinandi@yahoo.co.id
Muhammad Arsyad
Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Hasanuddin dan Sekretaris Publication Management
Center (PMC) Universitas Hasanuddin
E-mail: arsyad@unhas.ac.id
Dedy Putra Wahyudi
Fakultas Kelautan dan Perikanan
Universitas Sulawesi Barat
E-mail: dedyputrawahyudi@gmail.com
Muhammad Aswad
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Sulawesi Barat
E-mail: aswad.sendana@yahoo.com
Suherman
Prodi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Peternakan dan
Perikanan Universitas Muhammadiyah Parepare
E-mail: suherman.umpar@ymail.com

1. Latar Belakang

Pengalaman masa silam mengingatkan kita


bagaimana penerapan kebijakan pembangunan pertanian
yang memuat paket teknologi yang seragam pada suatu
wilayah dengan kondisi biofisik dan sosial ekonomi yang
berbeda. Konsep kebijakan ini sesungguhnya gagal
mengantarkan petani sebagai ujung tombak pembangunan
menuju masyarakat desa mandiri. Secara ekonomi petani
tetap miskin, dan lahan semakin kritis dan miskin akan
kandungan hara. Fenomena ini menjadi semakin serius,
dengan memunculkan masalah baru apakah adanya lahan
yang miskin hara (kritis) sebagai penyebab petani jatuh
miskin, atau sebaliknya petani miskin sebagai variabel
pemicu terjadinya lahan kritis? Hal ini merupakan lingkaran
setan, sehingga dalam tulisan ini dinyatakan bahwa antara
petani dan lahan saling memiskinkan. Karena itu dibutuhkan
sebuah pendekatan baru yang didasarkan pada variasi
kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat desa.
Permasalahan ini terbaca oleh pemangku kebijakan di
Sulawesi Selatan di era 1980-an, sehingga melahirkan paket
kebijakan sebagaimana dikenal dengan pewilayahan
komoditas. Meskipun demikian penerapan paket kebijakan
ini tidak membawa hasil secara optimal. Dari sisi ekonomi,
ada pergeseran tingkat kesejahteraan petani jika
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Namun pada sisi
lainnya tingkat kekritisan lahan dan perluasan lahan kritis tak
kunjung teratasi, bahkan semakin parah. Salah satu indikator
kekritisan lahan di Sulawesi Selatan adalah meningkatnya
erosi di DAS Bila yang mencapai rata-rata 48,16
ton/ha/tahun sedangkan yang dapat ditoleransikan hanya 12
ton/ha/tahun (BP-DAS Jeneberang-Walanae Tahun 2003).
Data ini menunjukkan bahwa bahaya erosi di DAS ini sudah
berada pada level yang sangat berat. Dalam tulisan ini belum
dapat ditunjukkan data hasil pendugaan erosi tahun-tahun
terakhir ini. Namun dengan melihat kenyataan
pengalihfungsian dan pola perubahan penggunaan lahan
yang semakin memburuk, maka dapat dipastikan bahwa
tingkat kekritisan lahan di DAS Bila dan DAS-DAS lainnya
di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat tidak bergeser
bahkan semakin memburuk dibandingkan dengan tahun-
tahun sebelumnya.
Pendekatan yang dalam kajian ini dimaksudkan untuk
mencapai perubahan paradigma dari pembangunan desa
menuju desa membangun, adalah Sistem Pertanian
Konservasi (Conservation Farming Sistem). Sesungguhnya
pendekatan ini bukan suatu konsep yang baru. Sistem
Pertanian Konservasi (SPK) telah diperkenalkan oleh
Sinukaban sejak Tahun 1994, dalam pidato pengukuhannya
sebagai Guru Besar dalam bidang ilmu konservasi tanah.
Tujuan utama SPK bukan hanya untuk penerapan teknik
konservasi tanah dan air, melainkan juga untuk peningkatan
kesejahteraan petani dan mempertahankan pertanian yang
lestari. SPK adalah sistem pertanian terpadu yang
mengintegrasikan tindakan konservasi tanah dan air dengan
pola usahatani yang telah ada sehingga menjamin
tercapainya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
petani secara simultan dengan penurunan laju erosi sampai
pada nilai ambang yang dapat ditoleransikan. Sistem
pertanian seperti ini memungkinkan terciptanya transformasi
pola usahatani menuju industri yang lestasi.
Menurut Sinukaban (1994), ada enam ciri-ciri
perwujudan SPK, yaitu: (1) Produksi pertanian cukup tinggi,
sehingga petani tetap termotivasi untuk melanjutkan
usahataninya. (2) Pendapatan petani cukup tinggi, sehingga
petani dapat mendesain masa depan keluarganya dari
pendapatan usahataninya. (3) Teknologi yang diterapkan
baik teknologi produksi maupun teknologi konservasi adalah
yang sesuai dengan kemampuan petani, dan diterima oleh
petani sehingga sistem pertanian dapat berlanjut melalui
kemampuan petani. (4) Komoditi pertanian yang diusahakan
beraneka ragam sesuai dengan kondisi biofisik wilayah,
dapat diterima oleh petani dan laku di pasar. (5) Laju erosi
kecil, lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan,
sehingga produktivitas yang cukup tinggi dapat diper-
tahankan/ditingkatkan, dan fungsi hidrologis daerah ter-
pelihara sehingga tidak banjir di musim hujan dan tidak
kekeringan di musim kemarau. (6) Sistem penguasaan/
pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka
panjang (longterm investment security) sehingga mendorong
petani untuk terus melakukan usahatani.
Bertolak dari ke enam ciri perwujudan SPK
sebagaimana telah dikemukakan terakhir di atas, maka kajian
ini difokuskan untuk menjawab tiga pertanyaan. Pertama,
bagaimana penerapan SPK dapat menjamin penurunan laju
erosi? Kedua, berdasarkan kondisi biofisik wilayah, jenis
komoditi apa yang dapat diusahakan sekaligus dapat
menurunkan laju erosi. Ketiga, apakah dengan penerapan
Sistem Pertanian Konservasi (SPK) dapat mewujudkan
perubahan paradigma pembangunan desa menuju desa
mandiri?

2. Konversi SPH ke SPK: Realitas dan Harapan di


Sulawesi Barat

Seperti telah dikemukakan bahwa Sistem Pertanian


Hutan (SPH) identik dengan Sistem Pertanian Konservasi
(SPK). Di Sulawesi Barat SPH (agroforestry) sudah dikenal
sejak lama dengan sebutan yang lebih populer kebun
campuran. Namun yang dimaksudkan dalam tulisan ini,
bagaimana SPK sebagai sistem usahatani dapat diterapkan
sesuai konsep teori sebagaimana telah diperkenalkan oleh
Naik Sinukaban sejak Tahun 1994.
Sistem Pertanian Hutan (SPH) adalah sistem usaha-
tani dimana tanaman berkayu diusahakan secara terpadu
dalam satu hamparan lahan dengan jenis tanaman lainnya,
hingga membentuk struktur vegetasi sedemikian rupa,
sehinga fungsi hidro-orologisnya sama dengan fungsi hidro-
orologi hutan. Selanjutnya Sistem Pertanian Konservasi
(SPK) adalah sistem pertanian yang spesifik lokasi. Artinya
dalam hal pemilihan jenis tanaman, intervensi secara
eksternal dapat diminimalisir atas pertimbangan kesesuaian-
nya dengan lokasi, baik dari sudut pandang spasial, geologi,
geomorfologi, maupun sosial ekonomi. Dalam SPK sangat
memungkinkan penerapan konsep pewilayahan komoditas,
meskipun konsep pewilayahan komoditas ini bukan
parameter yang harus berlaku secara mutlak. Penerapan
pewilayahan komoditas harus mempertimbangkan, baik
aspek fisik geografis, maupun sosial ekonomi masyarakat.
Untuk membangun SPK di Sulawesi Barat dapat
dilakukan melalui penyempurnaan SPH sebagai system
pertanian yang telah berjalan turun-temurun. Untuk
mengonversi SPH ke dalam SPK, ada tiga elemen yang harus
diakses sebagai bahan pertimbangan. Pertama, elemen
fisik/geografi wilayah dengan sub-sub elemen, yaitu: jenis
tanah, penatagunaan lahan, topografi/kelerengan, cuaca/
iklim, dan fungsi kawasan. Kedua, elemen sosial-budaya dan
ekonomi, dengan sub-sub elemen, yaitu: tingkat pendidikan,
kemampuan ekonomi, kearifan lokal dan kegotongroyongan,
penguasaan teknologi pertanian, kepemilikan dan pengua-
saan lahan. Ketiga, elemen kelembagaan, dengan sub-sub
elemen, yaitu: kelembagaan lokal, pasar dan pemasaran,
kebijakan harga, kelembagaan keuangan (koperasi/
perbankan), kelompok tani/gapoktan, Penyuluh Pertanian
Lapangan (PPL) dan Balai Penyuluhan Pertanian.
Ketiga elemen ini dibutuhkan untuk merumuskan dan
mendesain pertanian konservasi yang sesuai dengan kondisi
fisik, sosial, budaya, dan ekonomi wilayah. Elemen pertama,
dibutuhkan karena pada umumnya terapan SPH yang akan
dikonversi ke SPK merupakan lahan dengan topografi kasar.
Karena itu elemen/sub elemen fisik geografi ini dimak-
sudkan untuk memudahkan dalam mendesain model
pertanian konservasi sesuai dengan kemampuan lahannya.
Elemen/sub elemen kedua dibutuhkan mengingat petani
hutan (agroforestry) pada umumnya miskin dengan
fenomena sosial yang serba terbatas, sedangkan SPK harus
didesain sesuai kemampuan ekonomi, dan akses terhadap
teknologi pertanian. Karena itu elemen/sub elemen sosial-
budaya dan ekonomi, dibutuhkan untuk mendesain SPK
sesuai dengan kemampuan ekonomi, potensi, dan
kemampuan/penguasaan teknologi pertanian yang dimiliki.
Sedangkan elemen/sub elemen ketiga, dibutuhkan ber-
dasarkan pengalaman selama ini bahwa petani sudah berbuat
banyak dan menghasilkan aneka macam komoditas. Namun
tidak ditunjang oleh manajemen agribisnis yang dapat
mengangkat harkat dan martabat ekonomi petani. Kenyataan
ini adalah akibat ketidaksinkronan peran dan partisipasi
lembaga, khususnya antara kelembagaan produksi dan
kelembagaan pemasaran.
Bertolak dari uraian di atas, sesungguhnya untuk
membangun kemandirian masyarakat desa, tinggal
memodifikasi SPH menjadi SPK. Namun hal itu tidak
semuda dengan apa yang dibayangkan. Ciri petani lahan
kering sebagaimana dikemukakan oleh Sinukaban (2002),
menjadi tantangan dalam penerapan Sistem Pertanian
Konservasi (SPK) sebagai berikut:
1) Petani pada umumnya miskin, sehingga lemah dalam
modal untuk melaksanakan SPK.
2) Petani berlahan sempit sehingga tidak bergairah
melaksanakan SPK.
3) Petani tidak menganggap bahwa erosi adalah masalah
pengelolaan pertanian, dan merupakan masalah petani,
meskipun mereka menyadari bahwa erosi sangat
merugikan petani.
4) Rendahnya pengetahuan petani tentang teknik konservasi
yang dapat meningkatkan produksi pertanian.
5) Lahan usahatani umumnya miskin kandungan hara, lahan
marginal, akibat erosi yang terjadi sudah berlanjut
sehingga produktivitas lahan semakin rendah.
6) Rendahnya harga produk pertanian,
7) Terbatasnya kesempatan kerja di luar usahatani.
Ciri petani di lahan kering inilah yang menjadi
hambatan utama dalam penerapan SKP. Penerapan SPK
membutuhkan modal, termasuk biaya hidup sebelum
usahataninya produktif. Meskipun para petani sadar bahwa
erosi sangat merugikan, mereka tidak punya modal untuk
memperkecil laju erosi dengan membangunan terasering dan
pengendali erosi lainnya, disamping rendahnya pengetahuan
tentang teknik konservasi. Kendala lainnya adalah adanya
keterbatasan kesempatan kerja di luar sektor pertanian,
sehingga usahatani merupakan satu-satunya jalan untuk
menopang kehidupan dan kebutuhan hidup keluarganya.
Disamping adanya produksi yang rendah, derita petani
semakin diperparah oleh ketidakstabilan harga dan
rendahnya harga produk pertanian.
Ketujuh tantangan di atas merupakan paradox di
Sulawesi Barat, dimana akar masalahnya dipahami tetapi
tidak dapat diatasi. Diantara ketujuh masalah tersebut satu
dengan yang lainnya berkaitan. Karena itu penanganan-
nyapun harus secara holistik, oleh suatu kelembagaan yang
tangguh dan bersifat multi disiplin dan multi sektor.
Pengembangan SPK memerlukan dukungan kelembagaan,
untuk memperkuat tataran kebijakan dalam memperkuat sub-
sub elemen sebagai berikut:
1) Pendidikan dan pelatihan (diklat)
Pelayanan pendidikan dan pelatihan menduduki
posisi sangat penting dalam upaya mewujudkan SPK. Hal ini
sesuai dengan karakteristik pelaku usahatani lahan kering
dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga
pengetahuannya tentang pengelolaan usahatani juga rendah.
Oleh karena itu kebutuhan diklat ini bukan sebatas
pelaksanaannya, tetapi yang lebih penting adalah
menyangkut isi/materinya. Hal ini tergambar seperti pada
Tabel 1, bahwa materi tentang pengelolaan pascapanen
merupakan materi prioritas, sebagaimana ditunjukkan
dengan bobot DP = 1,00 (kunci).
Pengelolaan pascapanen ini penting karena
menentukan kualitas produk. Kualitas produk ini
mempengaruhi harga/pemasaran. Demikian pentingnya
pemasaran, juga dapat ditunjukkan pada Tabel 1 sebagai
materi diklat prioritas kedua sesudah pengelolaan
pascapanen. Demikian berturut-turut yaitu pemangkasan, dan
pengelolaan dan pemeliharaan tanaman sebagai prioritas
ketiga dan keempat. Keempat sub-elemen ini berada diposisi
independence, yang berarti pengaruhnya terhadap susksesnya
program SPK sangat besar.
Selanjutnya diposisi linkage, ada tujuh materi diklat
menurut penilaian praktisi, adalah: (1) akses terhadap
sumberdaya modal, (2) penyediaan input produksi, (3)
metode dan teknik penggunaan pupuk organik, (4) teknik
pembibitan, (5) penanaman/contour strip cropping, (6)
rehabilitasi tanaman, dan (7) peremajaan tanaman. Ketujuh
materi diklat di posisi linkage ini disamping berpengaruh
besar terhadap keberlanjutan SPK, juga dapat berdampak
menggagalkan program akibat besarnya ketergantungan
(dependence) terhadap sub elemen lainnya.

Tabel 1. Tingkat prioritas materi pendidikan dan pelatihan


Pengembangan petani kakao berbasis Sistem
Pertanian Konservasi di Sulawesi Barat.

Materi Diklat Bobot


Independence DP>0,50 (besar) D<50 (kecil)
1. Pengelolaan pascapanen 1,00*) 0,43
2. Pemasaran 0,93 0,43
3. Pemangkasan dan sanitasi 0,86 0,43
4. Pengelolaan dan pemeliharaan tanaman 0,71 0,29
Rata-rata 0,87 0,39
Linkage DP>0,50 (besar) D>50 (besar)

1. Akses terhadap sumberdaya modal 0,86 0,64


2. Penyediaan input produksi 0,86 0,78
3. Teknik pembuatan dan penggunaan
pupuk porganik 0,71 0,79
4. Pembibitan 0,71 0,71
5. Penanaman/contour strip cropping 0,71 0,86
6. Rehabilitasi tanaman 0,57 0,71
7. Peremajaan tanaman 0,57 0,79
Rata-rata 0,63 0,75
Dependence DP
1. Kelembagaan usaha tani kakao 0,36 0,93
2. Pengelolaan keuangan usaha tani 0,29 0,86
3. Pembukuan Usaha Tani 0,14 0,93
Rata-rata 0,26 (kecil) 0,90 (besar)

Aktor utama dalam kegiatan ini (diklat) adalah


kelompok tani dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL).
Karena itu peran kedua aktor ini dalam konteks kelembagaan
SPK amat penting. Nuddin (2007), menemukan bahwa peran
PPL dan kelompok tani merupakan ujung tombak dalam
implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis di DAS Bila
Sulawesi Selatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
peran PPL berada di posisi independence (DP = 0,79),
sedangkan kelompok tani di posisi linkage (DP = 0,83).
Demikian pula temuan Arsyad, Nuddin, dan Yusuf (2013),
bahwa kelompok tani dan PPL sebagai aktor kunci dalam
pengembangan kakao berbasis SPK.
Dalam studi di Sulawesi Barat dapat dikemukakan
sesuai hasil analisis ISM bahwa kelompok tani dan PPL
masing-masing mencapai bobot driver-power (DP) = 1,00.
Karena itu hasil analisis ISM mengindikasikan bahwa kedua
lembaga ini menjadi pemeran kunci dalam pengembangan
kakao. Kedua lembaga ini (PPL dan kelompok tani) berada
di posisi independence dengan bobot driver power masing-
masing DP = 1,00. Disamping PPL dan kelompok tani,
lembaga pemeran kunci lainnya adalah usaha angkutan dan
transportasi (DP = 1,00) seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Hal ini mengindikasikan bahwa dalam pengembangan SKP
di bagian hulu di samping berbukit, bergunung dan
berlereng, peran pengusaha angkutan dan transportasi amat
penting. Peran lembaga ini sangat ditentukan oleh
inprastruktur (jalur jalan).
2) Produksi dan pemasaran
Tataran kebijakan yang menyentuh pengembangan
SPK adalah menyangkut produksi dan pemasaran. Kedua sub
elemen ini telah menjadi fenomena umum dalam SPH.
Produksi petani umumnya rendah. Namun pada saat-saat
tertentu, produksi meningkat meskipun disusul dengan
turunnya harga. Karena itu petani sangat tidak dirugikan
akibat ketidakstabilan harga. Demikian pentingnya sub
elemen ini, terungkap dalam pelaksanaan diklat bahwa
materi yang dibutuhkan petani adalah hal ihwal yang
bersangkut paut dengan pemasaran dan pengelolaan
pascapanen.

Tabel 2. Lembaga-lembaga pemeran dalam pengembangan


petani kakao berbasis Sistem Pertanian Konservasi
di Sulawesi Barat.
Lembaga Bobot
Independence (besar) (kecil)
*)
1. Kelompok tani 1,00 0,30
2. Usaha angkutan/transportasi 1,00*) 0,35
3. Penyuluh Perkebunan Lapangan 1,00*) 0,45
4. Dinas Kehutanan dan Perkebunan 0,85 0,45
5. Gabungan Kelompok Tani 0,85 0,50
Rata-rata 0,94 0,41
Linkage DP 0,50 (besar)
1. Lembaga Pemasaran 0,95 0,55
2. Pedagang Pengumpul 0,90 0,55
3. Badan Lingkungan Hidup 0,85 0,90
4. Perbankan 0,85 0,70
5. Dinas Perindustrian dan Perdagangan 0,80 0,75
6. Industri Rumah Tangga 0,75 0,65
7. Koperasi 0,70 0,65
8. Penyelia Mitra Tani (PMT) 0,65 0,65
9. Assosiasi Kakao Indonesia (Askindo) 0,55 0,75
Rata-rata 0.78 0,68
Dependence DP
1. Bappeda 0,50 0,60
2. Perguruan Tinggi 0,50 0,80
3. Dinas Pertanian 0,30 0,80
4. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 0,20 0,80
5. International Cocoa Organization
(ICCO) 0,20 0,90
6. Tengkulak 0,10 0,90
Rata-rata 0,30 0,80
Keterangan :
*) Lembaga pemeran kunci
Sumber: Arsyad, Nuddin, dan Yusuf (2013)

Kepentingan pemasaran dan pengelolaan pascapanen


dalam pengembangan usahatani kakao di Sulawesi Selatan
dan Sulawesi Barat masing-masing mencapai driver-power
(DP) = 1,00, dan dependence (D) = 0,43. Selain itu
penyediaan input produksi merupakan materi diklat yang
juga berada pada posisi kunci pengembangan usahatani
kakao (DP = 1,00 dan D = 0,78) (Arsyad, Nuddin, dan
Yusuf, 2013).
3) Penguatan lembaga keuangan dan perkreditan
Peran perbankan dan lembaga keuangan desa sangat
dibutuhkan dalam hal pengembangan SPK. Petani dengan
segala keterbatasannya, khususnya dalam hal modal
usahatani adalah salah satu faktor penghambat dalam
pengembangan usahatani. Karena itu diperlukan dukungan
kebijakan yang dapat memberikan kemudahan bagi petani
dalam mengakses modal usahatani melalui kredit perbankan.
Hasil analisis ISM dalam pengembangan usahatani kakao di
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat bahwa perbankan dan
koperasi berada di posisi linkage dengan bobot driver-power
masing-masing (DP = 0,90 dan 0,70). Bobot DP ini
mengindikasikan bahwa peran perbankan dan koperasi amat
penting dalam kelembagaan usahatani.
Koperasi sebagai lembaga perkreditan memegang
peran yang amat penting dalam hal pengembangan ekonomi
masyarakat desa. Salah satu koperasi tani di Desa
Tamangalle (Sulawesi Barat) menunjukkan kontribusi yang
amat besar dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat
melalui jenis usaha simpan pinjam. Dari lima jenis usaha
yang dikembangkan Koperasi Serba Usaha (KSU) Citra
Mandiri Lestari, jenis usaha simpan pinjam paling besar
kontribusinya terhadap pengembangan koperasi dan
perbaikan ekonomi masyarakat desa.
Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa jenis usaha
simpan pinjam dan usaha jual beli tanah berada di level
kunci dengan bobot driver power masing-masing (DP) =
1,00. Di level berikutnya adalah usaha peternakan kambing
dengan capaian driver power (DP) = 0,80 (BPMPD DAN
LPPM Unsulbar 2015). Dengan melihat kondisi biofisik
Kabupaten Majene, pengembangan SKP sangat tepat dimana
kegiatan usaha tani dikelola secara terpadu dengan usaha
ternak kambing, seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Tanaman semusin, tahunan, dan ternak


dipadukan dalam Sistem Pertanian Konservasi
(Foto Nuddin, Desember 2015).

Jenis tanaman dalam bentuk bahan sisa/limbah dapat


dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Demikian pula limbah
peternakan dalam bentuk kotoran ternak dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk organik.
4) Pengembangan industri rumah tangga
Seperti dikemukakan terakhir di atas, bahwa salah
satu faktor yang menghambat pengembangan SPK, adalah
keterbatasan lapangan kerja di luar sektor pertanian. Karena
itu tumpuan ekonomi petani hanya bergantung pada
usahatani lahan kering yang miskin hara dengan produksi
yang rendah, tanpa sumber pendapatan lain. Karena itu
dibutuhkan dukungan kebijakan pemerintah untuk
pengembangan industri rumah tangga.

Gambar 2. Tenunan tradisional sutera mandar (Foto


Nuddin, Desember 2015).

5) Penguasaan dan pemilikan lahan


Di awal uraian ini telah dikemukakan bahwa salah
satu faktor yang menghambat penerapan SPK adalah adanya
kepemilikan lahan petani berlahan sempit menghambat
penerapan SPK. Karena itu dibutuhkan dukungan kelem-
bagaan khususnya lembaga pemerintah untuk melakukan
pengaturan penguasaan lahan yang dapat menguntungkan
petani, setidaknya kebijakan yang dapat menunjang pe-
ngembangan SPK yang berkelanjutan.

3. Sistem Pertanian Konservasi dan Penurunan Laju


Erosi

Salah satu pendekatan yang digunakan dalam


konservasi tanah dan air adalah pendekatan agroteknologi,
yaitu tiada lain adalah pengunaan tanaman atau tumbuhan
dan sisa-sisanya untuk mengurangi daya rusak air hujan yang
jatuh dan mengurangi jumlah dan daya rusak aliran
permukaan dan erosi.
Air yang jatuh sebagai air hujan dapat merusak akibat
adanya energi kinetik. Semakin besar butiran air hujan
semakin besar pula daya rusaknya. Lepasnya material akibat
energi ini disebut erosi percikan. Air hujan yang mengalir
dipermukaan disebut limpasan permukaan (run off). Semakin
besar volume air mengalir, semakin cepat, dan semakin
panjang alirannya semakin besar pula daya rusaknya. Daya
rusak semacam ini dapat diatasi dengan metoda vegetative,
termasuk dapat menetralisir kapasiats infiltrasi.
Salah satu bentuk pendekatan agroteknologi ini
adalah Sistem Pertanian Hutan (agroforestry) (Arsyad,
2000). Agroforestry merupakan salah satu sistem usahatani
yang mengintegrasikan antara jenis tanaman tahunan dengan
tanaman rendah bahkan tanaman semusim, dalam
satu/sebidang lahan. Karena itu dalam sistem ini terjadi
interaksi ekologi, dan ekonomi.
Sistem Pertanian Hutan (SPH) sebagaimana lebih
populer dengan istilah agroforestry, sudah dikenal oleh
masyarakat tani khususnya petani lahan kering sejak dahulu.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa secara umum pelaku
usahatani SPH ini dalam keterbatasan ekonomi (miskin),
sehingga sangat diperlukan adanya perubahan sikap dan pola
pikir. Melalui perubahan sikap dan pola pikir inilah
dimungkinkan terjadinya perubahan paradigma Sistem
Pertanian Hutan ke Sistem Pertanian Konservasi atau dari
SPH ke SPK. Dalam SPH, perpaduan antara berbagai jenis
tanaman pepohonan/berkayu dengan beberapa jenis tanaman
rendah/semusim membentuk struktur tajuk berlapis. Struktur
tajuk berlapis ini sangat penting dalam memperkecil daya
erosi. Tetesan air hujan akan tertahan mulai dari lapisan tajuk
paling tinggi, kemudian lolos dan tertahan pada lapisan tajuk
dibawahnya. Setelah melalui beberapa lapisan tajuk akhirnya
sampailah pada lapisan vegetasi penutup tanah. Karena itu
energi kinetik air hujan dapat diperkecil dengan adanya
struktur tajuk berlapis. Disinilah fungsi hidrologi SPH
sebagaimana dikenal dengan istilah agroforestry.
Meskipun demikian, penerapan sistem ini dibuntuti
oleh berbagai kendala di lapangan. Petani merasa enggan
untuk menerapkan SPH dan/atau banyak diantaranya sengaja
beralih ke jenis tanaman semusim misalnya jagung, akibat
tuntutan kebutuhan hidup yang mendesak. Usahatani dengan
jenis tanaman tahunan, membutuhkan waktu yang lama.
Kadang-kadang komoditi yang dihasilkan tidak selamanya
sesuai dengan kebutuhan pasar. Belum lagi dengan adanya
serangan hama dan penyakit yang dapat membuat petani
menderita ibarat jatuh dihimpit tangga pula. Oleh karena itu,
agar fungsi ganda penerapan usahatani (hidro-orologi dan
sosio-ekonomi), dapat diperoleh secara optimal, diperlukan
perubahan paradigma dari SPH ke SPK.
Sistem Pertanian Konservasi (SPK) identik dengan
Sistem Pertanian Hutan (SPH), yang lebih populer di
masyarakat dengan sebutan kebun campuran. Namun antara
kedua pola usahatani ini berbeda dalam hal pengelolaannya.
Pengelolaan SPK lebih intensif dibandingkan dengan SPH.
SPK diusahakan dengan mempertimbangkan di samping
keragaman jenis komoditi, juga kesesuaiannya dengan
kondisi biofisik lahan yang diusahakan. Karena itu, jika
dilihat dari struktur dan keragaman jenis tanaman, pola
usahatani SPK dan struktur penggunaan lahan kebun
campuran memiliki nilai faktor C4) tergolong kecil, antara
kebun campuran kerapatan tinggi hingga sedang seperti
pada Tabel 3.
Nilai faktor C dari beberapa jenis penggunaan lahan
seperti disajikan pada Tabel 3 dapat ditunjukkan bahwa
betapa besar perbedaan peluang erosi antara penggunaan
lahan usahatani tanaman sejenis dengan tanaman beragam.
Artinya akan terjadi perbedaan yang sangat besar antara erosi
yang dihasilkan melalui penerapan Sistem Pertanian
Konservasi (SPK) dengan usahatani dengan tanaman yang
sejenis. Perbedaan erosi ini akan semakin besar apabila SPK
ini betul-betul diterapkan secara optimal. Salah satu ciri SPK
adalah komoditi pertanian yang diusahakan beraneka ragam
sesuai dengan kondisi biofisik wilayah, dapat diterima oleh
petani dan laku di pasar.
Aneka ragam komoditi yang diusahakan dalam
hamparan lahan yang sama, dapat membentuk kerapatan
vegetasi dengan struktur tajuk berlapis, seperti pada Gambar
3. Karena itu peluang tercapainya tujuan konservasi dalam
hal penurunan tingkat erosi sampai pada batas yang dapat
ditoleransi sangat besar. Tanaman yang diusahakan dalam
SPK adalah komoditi yang sudah dikenal oleh petani dan
4)
Nilai faktor C adalah nisbah antara besarnya erosi dari lahan yang bertanaman
dengan pengolahan tanaman tertentu, terhadap besarnya erosi tanah yang
tidak ditanami dan diolah bersih.
Tabel 3. Nilai faktor C beberapa jenis penggunaan lahan.

Penggunaan Lahan Nilai Faktor C


1. Tanah terbuka/tanpa tanaman 1,0
2. Sawah 0,01
3. Ubikayu 0,8
4. Jagung 0,7
5. Kedelai 0,399
6. Kentang 0,4
7. Kacang tanah 0,2
8. Padi 0,561
9. Tebu 0,2
10. Pisang 0,6
11. Kopi dengan penutup tanah buruk 0,2
12. Talas 0,85
13. Kebun campuran kerapatan tinggi 0,1
14. Kebun campuran kerapatan sedang 0,2
15. Kebun campuran kerapatan rendah 0,5
Sumber: Arsyad (2000).

Gambar 3. Kerapatan vegetasi membentuk struktur tajuk


berlapis (Foto Nuddin, Desember 2015).
dibutuhkan oleh pasar, sehingga memudahkan petani dalam
hal akses teknologi, baik teknologi produksi maupun
teknologi konservasi tanah dan air.

4. Jenis Komoditi dalam Pengembangan Sistem


Pertanian Konservasi

Dalam penerapan Sistem Pertanian Konservasi


(Conservation Farming Sistem), tidak diprioritaskan jenis
komoditi pertanian asing dan langkah. Sistem ini
mengutamakan pengembangan komoditi pertanian yang
sudah ada, sifat dan teknik pemeliharaannya sudah dikenal
oleh petani, dan sesuai dengan kondisi biofisik lahan. Fokus
pengembangan SPK ini diarahkan pada dua sasaran, yaitu
untuk konservasi tanah dan air, dan perbaikan ekonomi
petani. Oleh karena itu, penganekaragaman komoditi
menjadi ukuran prioritas. Semakin tinggi tingkat keaneka-
ragaman komoditi, semakin besar peluang terbentuknya
struktur vegetasi yang rapat dengan susunan tajuk berlapis.
Dalam SPK penatakelolaan jenis komoditi adalah penting,
mulai dari tanaman tahunan berkayu sampai ke jenis
tanaman semusim, bahkan dapat dikelola bersama ternak dan
ikan dalam bentuk usahatani.
Banyak kalangan petani yang tidak memahami bahwa
erosi dapat menurunkan produksi sehingga berdampak
terhadap kerugian ekonomi. Petani tidak menganggap bahwa
erosi adalah masalah yang harus diatasi. Oleh karena itu,
dalam praktik SPK diarahkan pada pengembangan usahatani
untuk mencapai keuntungan ekonomi yang dapat menunjang
penurunan laju erosi sampai ke level yang dapat
ditoleransikan. Untuk mencapai kedua tujuan tersebut,
dipilih jenis komoditi yang sesuai dengan kondisi biofisik
wilayah, dikenal/diterima oleh petani, dan laku di pasar.
Karena itu dalam praktik SPK, peluang ekonomi
harus menjadi bahan pertimbangan dalam penetapan jenis
komoditi. Dalam kajian ini penetapan jenis komoditi di
Kabupaten Majene didasarkan pada pertimbangan analisis
Location Quotient (LQ) tanaman perkebunan, seperti pada
Tabel 4.
Dari kesembilan jenis komoditi tersebut, ada dua
diantaranya yang secara kontinue mencapai nilai LQ 1, yaitu
kemiri dan vanili. Nilai LQ kedua jenis komoditi ini
berdasarkan dua acuan variabel yang digunakan (variabel
acuan Indonesia dan Sulawesi Barat) rata-rata bergerak
antara 2 7. Rata-rata nilai LQ kemiri antara Tahun 2010
2013 mencapai 5,9240 menurut acuan variable Indonesi
(PMI), dan 5,2938 menurut acuan variable Sulawesi Barat
(PMS). Sedangkan komoditi vanili mencapai nilai LQ rata-
rata 3,5942 (PMI) dan 5,2106 (PMS). Artinya kedua jenis
komoditi ini dapat dijadikan komoditi basis yang mampu
memberikan kontribusi terhadap perkembangan per-
ekonomian Kabupaten Majene. Karena itu pula komoditi ini
dapat dikembangkan dalam praktik SPK melaui kombinasi
dengan aneka ragam komoditi lainnya.
Selain itu kedua jenis komoditi di atas, juga terdapat
jenis komoditi lain dengan nilai LQ 1 meskipun hanya pada
variable reference provinsi. Jenis komoditi yang di-
maksudkan adalah cengkeh, kelapa, kakao dan jambu mente.
Berdasarkan data Tahun 2010 2013 cengkeh dan kelapa
hanya dapat diandalkan sebagai basis tingkat provinsi
dengan LQ rata-rata 4,0017 (PMS) untuk cengkeh, dan
1,3934 (PMS) untuk kelapa. Meskipun demikian tidak
tertutup kemungkinan untuk menjadi andalan ekspor
bilamana pemerintah dapat membuat dan menerapkan
kebijakan yang dapat mendorong pertumbuhan kedua jenis
komoditi ini. Selanjutnya kakao dapat diandalkan pada
sektor basis tingkat nasional sehingga jenis komoditi ini
memiliki potensi pengembangan untuk pasar ekspor.

Tabel 4. Hasil Analisis Location Quotient (LQ) Tanaman


Perkebunan Kabupaten Majene Tahun 2010
2013.

LQ Tahun 2010 LQ Tahun 2011 LQ Tahun 2012 LQ Tahun 2013 LQ Rata-Rata

Komoditi PMI PMS PMI PMS PMI PMS PMI PMS PMI PMS

Kelapa 0,8868 1,7879 0,7483 1,3211 0,6800 1,2300 0,6732 1,2346 0,7471 1,3934

Kopi 0,1056 0,5608 0,1080 0,3589 0,1284 0,4205 0,1273 0,3274 0,1173 0,4169

Cengkeh 0,7177 3,4327 0,8718 4,7283 0,6119 3,8900 0,6076 3,9558 0,7023 4,0017

Kakao 1,9054 0,4904 2,7116 0,6873 2,5732 0,6746 2,7078 0,6860 2,4745 0,6346

Jambu
0,4636 5,9782 0,4071 5,1406 0,3510 5,1299 0,3496 5,2681 0,3928 5,3792
Mente

Lada 0,0208 0,7912 0,0172 0,9716 0,0125 0,2874 0,0124 0,2407 0,0157 0,5727

Kemiri 4,7792 4,7392 4,3318 4,1111 7,2957 6,1108 7,2894 6,2142 5,9240 5,2938

Kapuk 0,2198 3,0252 0,1448 4,2943 0,1121 3,6382 0,1140 3,6997 0,1477 3.6643

Vanili 5,3655 7,4562 3,5422 5,3127 2,7749 4,0029 2,6941 4,0706 3,5942 5,2106
Keterangan:
PMI = LQ dengan peubah acuan (reference variable) Indonesia
PMS = LQ dengan peubah acuan (reference variable) Sulawesi Barat
Sumber: LPPM UNHAS kerjasama BKPMD & P2T Provinsi Sulawesi Barat 2014.

Hasil analisis LQ sebagaimana telah dikemukakan


Tabel 4, sejalan dengan analisis ISM bahwa cengkeh, kelapa,
kakao, jambu mente, dan kemiri merupakan komoditi
perkebunan sektor andalan di Kabupaten Majene, seperti
ditunjukkan pada Tabel 5.
Berdasarkan analisis ISM, vanili berada di posisi
dependent dengan bobot DP = 0,33 dan D = 0,73. Artinya
menurut penilaian para pakar dan praktisi, komoditi ini
belum dapat dijadikan produk andalan. Namun sebagai sub
Tabel 5. Posisi dan Bobot DP-D Sub Elemen Komoditi
Perkebunan di Kabupaten Majene Tahun 2015.

Bobot
Posisi Komoditi
DP D
Independent 1. Kelapa 1,00*) 0,27
2. Kakao 1,00*) 0,47
Linkage 1. Cengkeh 1,00*) 0,53
2. Kemiri 0,93 0,60
3. Kopi Robusta 0,53 0,53
4. Jambu Mente 0,53 0,53
5. Kopi Arabika 0,66 0,66
6. Kapuk 0,53 0,93
7. Kelapa hybrida 0,53 0,87
Dependent 1. Pala 0,47 0,66
2. Lada 0,33 0,73
3. Vanili 0,33 0,73
4. Sagu 0,33 0,87
5. Jarak Pagar 0.07 0,80
Automous -
Keterangan
DP = driver power
D = dependent
*) = komoditi andalan
Sumber: BKPMD Provinsi Sulawesi Barat.

elemen di posisi dependent, komoditi vanili akan


berkembang bergantung pada sub elemen lainnya.
Berdasarkan bobot DP-D (Tabel 5), jenis komodi yang
berada pada posisi independent dan linkage merupakan
komoditi yang dapat dikembangkan dalam Sistem Pertanian
Konservasi melalui perpaduan dengan kemoditi lainnya.
Agar lebih jelas urutan prioritas jenis komoditi perkebunan
dalam pengembangan SPK, dapat dikemukakan seperti pada
Gambar 4. Jenis komoditi perkebunan yang menempati
posisi level 1 adalah komoditi dengan bobot driver power
(DP) = 1,00, sebagai komoditi andalan, yaitu kelapa, kakao,
dan cengkeh. Selanjutnya di level 2 adalah kemiri dengan
bobot DP = 0,93. Di level 3 adalah kopi arabika, menyusul
kopi robusta, jambu mente, kapuk, dan kelapa hibrida di
level 4 terakhir.

5. Perubahan Paradigma Pembangunan Desa melalui


Sistem Pertanian Konservasi (SPK)

Melalui pemberlakuan Undang-Undang No. 6 Tahun


2014 tentang Desa, diharapkan adanya perubahan paradigma
pembangunan desa. Begitu mudah diucapkan, tetapi amat
sangat sulit diwujudkan. Merubah paradigma pembangunan
desa ke desa membangun, tidak bagaikan membalik telapak
tangan. Dalam artian pembangunan desa, peran masyarat
sebagai obyek pembangunan, sedangkan makna desa
membangun, masyarakat desa sebagai penggerak,
pemrakarsa sekaligus sebagai subjek (pelaku) pembangunan.

Level 1 Kelapa Kakao Cengkeh

Level 2 Kemiri

Level 3 Kopi Arabika

Level 4 Kopi Robusta Jambu Mente Kapuk Kopi Hibrida

Gambar 4. Model struktur prioritas komoditi perkebunan


pengembangan Sistem Pertanian Konservasi di
Kabupaten Majene. Sumber: BKPMD Provinsi
Sulawesi Barat.

Melalui pendekatan Sistem Pertanian Konservasi


(SPK), membuka peluang tercapainya kemandirian
masyarakat desa dilihat dari sudut pandang sosial ekonomi.
Untuk mencapai kualifikasi desa membangun harus
didukung oleh masyarakat yang mandiri. Karena itu dalam
kajian ini pendekatan SPK dimaksudkan untuk meniti
kemandirian masyarakat baik dari aspek sosial, budaya, dan
ekonomi.
Desa Batetangnga adalah salah satu desa di Sulawesi
Barat yang telah menerapkan usahatani melalui pendekatan
SPK. Wilayahnya mencapai luas 5.650 ha yang terdistribusi
atas sepuluh jenis penggunaan lahan. Penggunaan lahan
terluas adalah perkebunan yang mencapai 2.578 ha, atau
sekitar 45% lebih dari total luas desa, seperti ditunjukkan
pada Tabel 6.
Desa Batetangnga adalah salah satu desa dengan
tingkat pendapatan perkapita tertinggi di Kabupaten Polewali
Mandar. Keberhasilan desa ini terutama di sektor usaha
kebun, sehingga sejak Tahun 2010 pendapatan perkapita
penduduk desa mencapai sebesar Rp 32.616.893, atau rata-
rata mencapai Rp 2.718.074/orang/bulan (Profil Desa
Batetangnga, 2010).
Penggunaan lahan perkebunan yang dimaksudkan
adalah kebun rakyat dengan jenis komoditi andalan kakao,
durian, langsat, dan rambutan. Selanjutnya penggunaan lahan
perumahan diurutan kedua (23%), dan lahan pekarangan
diurutan ketiga seluas 639 ha, atau sekitar 11% dari luas
desa. Lahan pekarangan penduduk desa ini juga sangat
produktif dalam menunjang ekonomi keluarga, dengan jenis
komoditi umum adalah langsat dan rambutan, disamping
jenis tanaman lainnya sebagai tanaman penutup. Penggunaan
lahan berikutnya adalah hutan lindung sekitar 7% dan hutan
rakyat sekitar 9%, menyusul persawahan seluas 164 ha
dengan persentase 2,89% dari luas desa Batetangnga.
Keempat jenis komoditi andalan masyarakat Desa
Batetangnga, sebagaimana dikemukakan di atas dikelola
melalui pendekatan Sistem Pertanian Konservasi.

Tabel 6. Penggunaan lahan di Desa Batetangnga.

Jenis Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%)


Perumahan 1.356,00 23,92
Persawahan 164,00 2,89
Perkebunan 2.578,00 45,46
Hutan lindung 420,00 7,41
Hutan rakyat 548,00 8,82
Pekuburan 1,50 0,03
Pekarangan 639,00 11,27
Pertamanan 0,50 0,01
Perkantoran 0,50 0,01
Prasarana umum 10,50 0,19
Jumlah 5.670,00 100,00
Sumber: Profil Desa Batetangnga

Struktur lapisan tajuk semacam ini menjamin fungsi


hidro-orologis. Rambutan, durian, dan langsat adalah jenis
vegetasi berukuran daun kecil. Sebaliknya daun yang lebar
akan menghasilkan tetes air yang besar. Semakin besar tetes
air semakin besar pula energi kinetiknya. Karena itu air
hujan yang lolos dari daun rambutan, durian, dan langsat
akan menghasilkan tetes air yang kecil dengan energi kinetik
yang kecil pula. Semakin kecil energi kinetik, semakin kecil
pula daya erosinya.
Selain itu pada Gambar 5 ditunjukkan bahwa di
bawah tanaman rambutan, durian, langsat, dan kakao
terdapat vegetasi rumput dan seresah sebagai penutup lahan.
Rumput dan seresah ini berfungsi sebagai pengendali erosi
yang sangat efektif.
Salah satu tantangan yang dihadapi petani kakao
adalah pada tahap awal sebelum tanaman kakao produktif.
Hal semacam ini juga menjadi faktor penghambat dalam
penerapan SPK. Diakui bahwa kakao bisa produktif sampai
umur 30 tahun, dan paling efektif antara 13 19 tahun
(Asrul, 2013). Mayoritas pelaku usahatani kakao umumnya
adalah petani kecil tanpa modal. Derita petani kakao paling
terasa sampai tujuh tahun pertama sebelum tanaman
produktif. Karena itu banyak petani kakao meninggalkan
lahan usahakebunnya untuk mencari pekerjaan lain demi
pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya.

Tabel 7. Areal tanam dan produksi berbagai jenis komoditi


di Desa Batetangnga.

Jenis
Komoditi Luas Tanam (ha) Produksi (kw/ha)
Komoditi
Perkebunan Kelapa 6 5,0
Kopi 45 1,0
Cengkeh 10 -
Kakao 2.030 4,0
Kemiri 15 0,5
Buah- Mangga
1,5 -
buahan
Rambutan 200 -
Langsat 600 -
Pepaya 0,2 0,1
Belimbing 0,1 -
Durian 400 -
Pisang 20 0,5
Jeruk nipis 1 0,1
Nangka 2 0,1
Nenas 0,5 0,1
Jambu klutuk 0,5 0,1
Pangan Padi sawah 164 6
Padi ladang 0,5 0,1
Kacang panjang 0,5 0,2
Tomat 0,1 0,1
Sawi 0,1 0,2
Mentimun 0,1 0,2
Terong 0,1 0,1
Bayam 0,1 0,1
Sumber: Profil Desa Batetangnga.
Namun berbeda dalam penerapan SPK di desa ini,
derita seperti yang digambarkan di atas tidak dirasakan oleh
petani. Sebelum tanaman kakao produktif, petani mem-
peroleh penghasilan melalui tiga jenis komoditi, yaitu:
rambutan, durian, dan langsat. Dalam wawancara singkat
dengan salah seorang Penyelia Mitra Tani (PMT) petani
merasakan manfaat bahwa ketika melakukan pemupukan
tanaman kakao, produksi rambutan, durian, dan langsat juga
semakin meningkat. Ini berarti residu pemupukan juga
dimanfaatkan oleh jenis tanaman lain melalui run off pada
saat turun hujan5). Selain itu peningkatan bahan organik
tanah berlangsung secara berkelanjutan sebagai hasil
pelapukan seresah dari rambutan, durian, dan langsat.
Tantangan lain dalam penerapan SPK umumnya adalah
adanya keterbatasan lapangan kerja di luar sektor pertanian.
Petani tidak punya pilihan lain untuk memperoleh
penghasilan di luar usahatani. Karena itu pula tidak ada
pilihan kecuali mengusahakan jenis tanaman jangka pendek
untuk memenuhi kebutuhan harian yang lebih mendesak.
Meskipun demikian, masyarakat tani di Desa
Batetangnga Sulawesi Barat lebih beruntung. Mereka merasa
terbebas dari himpitan masalah seperti dikemukakan di atas.
Hal ini didukung dengan keberadaan pasar desa, yang
berpengaruh besar terhadap arus masuk konsumen di desa
ini.
Keberadaan permandian alam, baik yang dikelola oleh
masyarakat maupun pemerintah desa, dan adanya prasarana
transportasi yang lancar, juga turut membuka peluang pasar.
Semua ini merupakan variabel yang menghidupkan geliat

Rahmadi (Penyelia Mitra Tani, Hasil wawancara singkat


Tanggal 25 Mei 2014 di Batetangnga.
pasar di desa Batetangnga, dibandingkan dengan desa
lainnya di Sulawesi Barat.

Gambar 5. Tanaman kakao dengan naungan terdiri dari


durian, langsat, dan rambutan membentuk
struktur tajuk berlapis (Foto Nuddin, 2014).

Oleh karena itu, pasar/saluran pemasaran produk


perkebunan rakyat bergerak lebih cepat dan lancar. Tidaklah
mengherankan jika pendapatan perkapita masyarakat desa
Batetangnga lebih tinggi dibandingkan dengan desa-desa
lainnya di Sulawesi Barat. Semua ini tidak lepas dari adanya
terapan Sistem Pertanian Konservasi (SPK).
Melalui SPK dapat diperoleh produksi pertanian yang
tinggi, sehingga pendapatan petani pun juga meningkat.
Tingginya produksi sangat bergantung pada pendekatan
agroteknologi yang menjamin pemeliharaan unsur hara,
akibat keberhasilan dalam menekan erosi sampai pada batas
yang dapat ditoleransi. Tingginya pendapatan sangat
bergantung pada kestabilan harga. Dalam SPK, komoditi
yang diusahakan adalah komoditi yang memiliki prospek
pemasaran yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan
ekonomi rumah tangga petani.
Pada umumnya usahatani SPK terlaksana secara
berkelanjutan secara turun temurun. Hal ini sebagai akibat
karena teknologi yang diterapkan adalah teknologi yang
dapat diterima dan sudah dikuasai oleh petani. Usahatani
SPK ini mengusahakan multi komoditi sehingga jika terjadi
gagal panen untuk satu jenis komoditi, komoditi lainnya
masih dapat dipertahankan sehingga petani terbebas dari
risiko gagal panen total. Selain yang dikemukakan di atas,
dalam SPK dipersyaratkan pula mengenai sistem pengua-
saan/pemilikan lahan. Hal ini dianggap penting sebagai
jaminan investasi jangka panjang.

6. Penutup

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan


terdahulu, dapat dirumuskan tiga kesimpulan sebagai
berikut:
1. Dalam penerapan Sistem Pertanian Konservasi (SPK)
terbentuk struktur tajuk berlapis. Mulai dari pohon yang
tinggi seperti kelapa, durian, kemiri, atau jenis tanaman
lainnya. Dibawahnya terdapat lapisan tajuk seperti
kakao, kopi, rambutan, mangga dan/atau jenis tumbuhan
lain. Selanjutnya menyusul jenis tanaman sere, lengkuas
dan atau jenis kacang-kacangan dan atau rumput dan
seresah sebagai penutup tanah. Dengan struktur tajuk
seperti itu dapat memperkecil tetesan dan energi kinetik
air hujan. Semakin kecil tetesan dan energi kinetik air
hujan semakin kecil pula daya erosinya.
2. Ada dua tujuan utama penerapan Sistem Pertanian
Konservasi, yaitu tujuan konservasi dan tujuan ekonomi.
Tujuan konservasi bersifat jangka panjang, sedangkan
tujuan ekonomi bersifat jangka pendek dan jangka
panjang. Karena itu, sebaiknya jenis komoditi yang
diusahakan dalam SPK adalah jenis komoditi lokal yang
pengelolaannya dari segi agroteknologi telah dikenal
oleh masyarakat, dan dari segi agribisnis dapat dijamin
prospek pemasaran. Dengan demikian petani senang
melakukan dan mengembangkan usahataninya dan dapat
mendesain masa depan ekonomi keluarganya.
3. Melalui penerapan Sistem Pertanian Konservasi (SPK)
dapat diwujudkan perubahan paradigma pembangunan
desa menuju desa mandiri secara ekonomi, yaitu
paradigma pembangunan desa.

Referensi

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: Serial


Pustaka IPB Press.
Arsyad, M., A., Nuddin and S., Yusuf. 2013. Strengthening
Institutional Towards Smallholders Welfare:
Evidence from Existing Condition of Cocoa
Smallholders in Sulawesi, Indonesia, Ryukoku
Journal of Economic Studies. 52(1).
Asrul, L. Agribisnis Kakao, Jakarta: Media Bangsa.
BKPMD-PT Provinsi Sulawesi Barat dan LP2M UNHAS.
Laporan Akhir Naskah Akademik Rencana Umum
Penanaman Modal Provinsi Sulawesi Barat Tahun
2014-2025.
BPMPD dan LPPM Unsulbar, 2016. Usaha Ekonomi Desa di
Provinsi Sulawesi Barat. Mamuju: Kerjasama Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa
Provinsi Sulawesi Barat dengan Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas
Sulawesi Barat.
Campbell, J.Y. 2001. Hutan Untuk Rakyat, Masyarakat Adat
atau Koperasi? Beragam Perspektif dalam Debat
Publik tentang Hutan Kemasyarakatan di Indonesia:
Sumberdaya Alam dan Jaminan Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Nuddin, A. 2007. Analisis Sistem Kelembagaan Dalam
Perencanaan dan Strategi Pengelolaan Lahan Kritis
DAS Bila. Bogor: Pascasarjana Institut Pertanian.
Nuddin, A., S., Yusuf and Sulianderi, N.M.V. 2015. An
Alternative Model of Cocoa Production Institution: A
Solution in Facing Asean Economic Community.
Hasanuddin University: International Journal of
Agriculture System.
Sinukaban N. 2002. Membangun Pertanian Berkelanjutan
Sebagai Basis Ketahanan Pangan Nasional Makalah
dalam Seminar Nasional: Aplikasi Teknologi dalam
Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan, 28
Sepember 2002. Bogor: Pekan Ilmiah Mahasiswa
Ilmu Tanah Nasional IPB.
Soetomo. 2010. Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

***

Anda mungkin juga menyukai