Anda di halaman 1dari 8

MATA KULIAH

PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN AGROFORESTRI

TUGAS
PERHUTANAN SOSIAL BERBASIS AGROFORESTRI

Nama : Desya Reizshava


NPM : E2A021003
Dosen Pengampu : Dr. Ir. Enggar Apriyanto, M.Sc

PROGRAM STUDI PASCASARJANA


PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2022
I. PENDAHULUAN

Pemerintah Indonesia saat ini menargetkan perluasan dan percepatan Program


Perhutanan Sosial seluas 13,9 juta hektar (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan No. 4865/MENLHK-PKTL/REN/PLA.0/9/2017 tentang Peta Indikatif dan Areal
Perhutanan Sosial (Revisi I)) Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkugan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.83/MenLHK/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, program
tersebut dapat dilakukan dalam 5 (lima) skema, yaitu hutan kemasyarakatan (HKm), hutan
desa (HD), hutan tanaman rakyat (HTR), hutan adat, dan kemitraan kehutanan. Perhutanan
sosial adalah sistem dalam mengelola hutan secara lestari dalam kawasan hutan negara atau
hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat sekitar hutan (Kumar, 2015).
Tujuan perhutanan sosial adalah untuk meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan
lingkungan dan dinamika sosial budaya. Dalam Perhutanan Sosial terdapat tiga prinsip utama
yaitu hak (right), mata pencaharian (livelihood), dan konservasi (conservation) (Maryudi dkk,
2012).
Agroforestri adalah penggunaan lahan dengan mencampurkan tanaman berkayu
(kehutanan) dengan perkebunan, pertanian ataupun peternakan (Afifah dkk, 2021).
Agroforestri juga dapat didefinisikan sebagai bentuk menumbuhkan dengan sengaja dan
mengelola pohon secara bersama-sama dengan tanaman pertanian dan atau pakan ternak
dalam sistem yang bertujuan menjadi berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi baik
dengan pengaturan ruang secara campuran atau di tempat dan saat yang sama maupun secara
berurutan dari waktu ke waktu. Menurut Tamrin dkk (2017) agroforestri dapat meningkatkan
kesejaheraan masyarakat, menjamin kesediaan pangan, penyediaan fungsi ekologis dan
mengstabilkan ekonomi masyarakat.
Salah satu alternatif peningkatan produksi adalah dengan pola ekstensifikasi dengan
memanfaatkan lahan kehutanan dengan mengembangkan sistem agroforestri (Mayrowani dan
Ashari, 2011). Peningkatan luas tanaman tumpang sari (agroforestri) serta penyediaan
kawasan hutan untuk pengembangan pangan terus dilakukan sebagai wujud komitmen sektor
kehutanan dalam menunjang ketahanan pangan. Mengusahakan tanaman keras yang
menghasilkan kayu, buah, getah dan sebagainya di selingi dengan tanaman penghasil pangan,
seperti jagung, umbi-umbian, sayuran, palawija dan lainnya di satu area lahan (Anggraini,
2022). Saat ini program Perhutanan Sosial merupakan program prioritas pemerintah yag
didasarkan atas berbagai asumsi. Pemberian wewenang terhadap kelompok masyarakat untuk
mengelola huta dengan tujuan agar masyarakat dapat bertanggung jawab secara langsung
terhadap kelestarian hutan perlu diapresisasi sebagai perubahan paradigma pengelolaan hutan
berbasis masyarakat (Rizaldi dkk, 2022).
Ketersediaan sumber daya lahan yang luas dan potensi hutan yang berlimpah dapat
dikelola oleh masyarakat dan memberikan manfaat ekonomi yang tinggi dan merata. Namun
demikian, tidak banyak usaha tani berbasis hutan dan lahan yang berkembang dan menjadi
andalan ekonomi di Indonesia. Banyak pola usaha tani yang stagnan atau mengalami
kegagalan (Rohmayanto dkk, 2019). Adapun tujuan pembuatan tulisan ini yaitu untuk
mengetahui peran perhutanan sosial berbasis agroforestri.
II. PEMBAHASAN

Agroforestri merupakan sistem penggunaan lahan berkelanjutan yang semakin


mendapat perhatian di seluruh dunia karena peranannya secara ekologi, ekonomi dan sosial
(Nair dan Garrity, 2012). Menurut Garrity (2012) agroforestri mempunyai tools untuk
merespon permasalahan dan tantangan penggunaan lahan yang semakin berat secara
terintegrasi yaitu keamanan pangan, degradasi lahan, kemiskinan yang ekstrim, perubahan
iklim, dan lain-lain. Weichan dan Pikun (2000) menyatakan bahwa agroforestri merupakan
teknik pendorong untama dalam melaksanakan perhutanan sosial yang berkonotasi luas
(Mayrowani dan Ashari, 2011).
Penggunaan teknologi agroforestri dapat memberikam keuntungan/manfaat yang
cukup besar bagi para pemilik lahan. Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan
penggunaan teknik agroforestri yaitu:
- Keuntungan ekologis, yaitu penggunaan sumber daya yang efisie baik dalam
pemanfaatan sinar matahari, air dan unsur hara di dalam tanah.
- Keuntungan ekonomis, yaitu total produksi yang dihasilkan lebih tinggi sebagai
akibat dari pemanfaatan yang efesien.
- Keuntungan sosial, yaitu memberikan kesempatan kerja sepanjang tahun.
- Keuntungan psikologis, yaitu perubahan yang relatif kecil terhadap cara berroduksi
tradisional dan mudah diterima masyarakat dari pada teknik pertanian monokultur.
- Keuntungan politis, yaitu sebagai alat yang memberikan pelayanan sosial dan kondisi
hidup yang lebih baik bagi petani.
Menurut de Foresta dan Michon (1997) agroforestri dapat dikelompokkan menjadi
dua sistem yaitu sistem agroforestri sederhana dan agroforestri kompleks. Sistem agroforestri
sederhana adalah suatu sistem pertanoan dimana pepohonan ditanam secara tumpangsari
dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Lalu sistm agroforestri kompleks merupakan
suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis pohon baik yang ditanam
secara sengaja maupun tumbuh alami. Praktik agroforestri kompleks di desa-desa sekitar
hutan telah menopang kehidupan masyarakat secara turun temurun, karena sistem
penggunaan lahan ini mampu menyediakan pangan, papan, energi, pakan, dan obat-obatan.
Sistem-sistem agroforestri sederhana juga menjadi ciri umum pada pertanian komersil: kopi
sejak dahulu diselingi dengan tanaman dadap, yang menyediakan naungan bagi kopi dan
kayu bakar bagi petani (de Foresta dkk, 2000).
Bentuk agroforestri sederhana yang paling banyak dibahas adalah tumpangsari, yang
merupakan sistem taungya versi Indonesia yang diwajibkan di areal hutan jati di Jawa. Sistem
ini dikembangkan dalam program perhutanan sosial Perum Perhutani. Secara lebih rinci
tujuan agroforestri atau tumpang sari di kawasan hutan (Perum Perhutani, 1990 dalam
Adiputranto, 1995), yaitu:
- Membaantu meningkatkan penyediaan pangan
- Membantu memperluas lapangan kerja
- Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarkat sekitar hutan
- Meingkatkan keberhasilan tanaman hutan.
Berdasarkan penelitian Ungirwalu dkk (2014) terdapat multi produk yang dapat
dihasilkan dari hutan primer, huta sekunder, dan kebun-pekarangan baik untuk memasok
buah-buahan, sayuran, umbi-umbian, kayu bakar, bambu, dan kayu bangunan. atribut
sustainabilitas agroforestri Buah hitam dilakukan untuk mempertahankan potensi dan
produksi yang ada berdasarkan sumberdaya, yakni dengan memanfaatkan musim panen yang
teratur (2 kali setahun), mengatur jarak tanam, optimalisasi lahan untuk tanaman pertanian
(jangka panjang dan pendek). Model-model perhutanan sosialdiaplikasikan disesuaikan
dengan status pemilikan lahan dan peruntukan serta fungsi hutan. Beberapa model
Perhutanan Sosial yang sudah dikembangkan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.
Di dalam kawasan hutan dilakukan melalui kegiatan hutan kemasyarakatan (HKm), PMDH,
PHBM, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dll. Sedangkan di luar kawasan dilakukan melalui
pengembangan hutan rakyat. Hutan rakyat memiliki pola tanam yang beragam dan berbeda di
setiap daerah, baik cara pemilihan jenis yang dikembangkan maupun penataannya di
lapangan. Pada umumnya pola tanam yang dikembangkan oleh masyarakat petani diklasifi
kasikan atas 2 (dua) yaitu pola tanam murni (monokultur) dan campuran (Windawati, 2005).
Hutan rakyat campuran dari 2 (dua) bentuk, yaitu: Hutan Rakyat Campuran (Polikultur) dan
Hutan Rakyat Campuran dengan Sistem Agroforestri. Permasalahan penciutan kawasan hutan
akibat peningkatan jumlah penduduk dan alasan lainnya, mendorong Bank Dunia (World
Bank) untuk menggalakkan Program-Program Perhutanan Sosial (Social Forestry) yang
pelaksanaannya dirancang khusus untuk peningkatan produksi pangan dan konservasi
lingkungan tanpa mengabaikan kepentingan pihak kehutanan untuk tetap dapat memproduksi
dan memanfaatkan kayu (BPDAS-Pemalijratun, 2010).
III. KESIMPULAN

Peran perhutanan sosial berbasis agroforestri mempunyai prospek yang baik terhadap
sisi ekologi, ekonomi dan sosial jika dikelola dengan baik. Permasalahan agroforestri apabila
dirancang dengan sistem tumpangsari dengan baik di lahan sela kawasan hutan dapat
diarahkan untuk meningkatkan produksi tanaman dan pendapatan petani secara ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA

Adiputrantro, H. 1995. Peranan Kegiatan Insus Tumpangsari Perhutanan Sosial terhadap


Tingkat Pendapatan Petani di Resort Pemangku Hutan Wilangan, BKPH
Wilangan Utara, KPH Saradan. Fakultaas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Afifah, F.A.N., I. G. Febryano., T. Santoso., A. Darmawan. 2021. Identifikasi Perubahan


Penggunaan Lahan Agroforestri di Pulau Pahawang. Journal of Tropical Marine
Science. 4(1): 1-8.

Anggraini, L. 2022. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Kelompok Tani Hutan Padukuhan
Mandiri dalam Pengembangan Usahatani Agroforestry. Program Studi Program
Profesi Insinyur. Fakultas Pertanian. Universitas Jambi. Jambi.

BPDAS-Pemalihratun. 2010. Sejarah Perkembangan Agroforestri. https://www.bpdas-


Pemalijratun.net/. Diakses pada 2 Desember 2022

de Foresta, H., G, Michon. 1997. The Agroforest Alternative to Imperata Grasslands:when


Smallholder Agriculture and Forestry Reach Sustainability. Agroforestry
Systems. 36: 105-120.

de Foresta, H., A. Kuswiri., G. Michon., W.A. Djatmiko. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan
– Agroforest Khas Indonesia – Sebuah Sumbangan Masyarakat. International
Centre fo Research in Agroforestry. Bogor, Indonesia; Institu de Recherche pour
le Development, France; dan Ford Foundation, Jakarta, Indonesia. p249.

Garrity, D. 2012. Agroforestry and the Future of Global Land Use. In Nair and Garrity (Eds).
Agroforestry – The Future of Global Land Use. Advances in Agroforestry.
Springers. 21-27.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 4865/MENLHK-PKTL/REN/


PLA.0/9/2017 tentang Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (Revisi I).

Kumar, V. 2015. Social forestry in India: Concept and Schemes. Yan Sangyan A Monthly
Open Acces E-Magazine. 2 (11): 17-22.

Maryudi, A., R.R. Devkota., C. Schusser., C. Yufanyi., M. Salla., H. Aurenhammer., R.


Rotchanaphatharawit., M. Krott. 2012. Back to basics: Considerations in
evaluating the outcomes of community forestry. In Forest Policy and Economics
14 (1): 1-5.

Mayrowani, H., dan Ashari. 2011. Pengembangan Agroforestry untuk Mendukung Ketahanan
Pangan dan Pemberdayaan Petani Sekitar Hutan. Forum Penelitian Agro
Ekonomi. 29 (2): 83-98.

Nair, P.K.R., D. Garrity. 2012. Agroforestry – The Future of Global Land Use. Advances in
Agroforestry. Springer. p541.

Rizaldi, A., A. Dermawan., H. Kaskoyo., A. Setiawan. 2022. Pemanfaatan Google Earth


Engine untuk Pemantauan Lahan Agroforestri dalam Skema Perhutanan Sosial.
Majalah Geografi Indonesia. 37 (1): 12-21.
Rohmayanto, Y., F. Nurfatriani., A.S. Kurniawan. 2019. Skala Usaha Ekonomis Perhutanan
Sosial: Studi Komparasi pada Agroforestry dan Ekowisata di Yogyakarta dan
Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 16 (1):
55-80.

Tamrin, M., L. Sundawati., N. W. Wijayanto. 2017. Strategi Pengelolaan Agroforestri


Berbasis Aren di Pulau Bacan Kabupaten Halmahera Selatan. Risalah Kebijakan
Pertanian dan Lingkungan. 2(3): 243-253.

Ungirwalu, A., S.A. Awang., A. Murdjoko. 2014. Poteni Pengembangan Agroforestri


Tumbuhan Buah Hitam Berbasis Pengetahuan Lokal Etnis Wandamen-Papua:
Prospek Perhutanan Sosial di Papua Barat. Prosiding Seminar Nasional
Silvikultur Ke-2. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 268-274.

Windawati, N. 2015. Tinjauan Tentang Pola Tanam Hutan Rakyat. Pusat Litbang Huta
Tanaman. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai