Anda di halaman 1dari 8

PERANAN AGROFORESTY DALAM ASPEK KONSERVASI LAHAN

PERTANIAN DAN FUNGSI HUTAN LINDUNG DATA


STATISTIK DI INDONESIA

Dosen Pembimbing

Adil, S.E., M.M.

Disusun Oleh

Gulam Muhammad Rum (211120248)


Hikma Ramadani (211120242)
Fikram G. (211120243)
Muhammad Reski Jasmin (211120237)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALOPO

2022 – 2023
ABSTRACT

The low soil fertility and high toxic elements caused by high rainfall (>2,500 mm/year) is the
main factor responsible for the low soil productivity in the humid tropical zone, like Indonesia.
In this condition, agroforestry system is expected to be solution. There are three components of
agroforestry: silviculture, agriculture and livestock. Agroforestry in Indonesian is called
Wanatani that means planting trees in agricultural land. Trees have deep rooting and spread
intensively in subsoil may reduce leaching nutrient both vertically and horizontally. Cover crop
protected soil from erosion. This role makes agroforestry as one form of soil and water
conservation practices, produced some products that have a high economic value. This situation
allowed agroforestry as a system of sustainable land management.

Keywords : Low soil productivity, humid tropical zone, sustainable land management, agroforest

ABSTRAK
Rendahnya tingkat kesuburan tanah dan tingginya unsur yang bersifat meracun sebagai akibat
tingginya intensitas hujan (>2.500 mm/tahun) merupakan penyebab utama rendahnya
produktivitas tanah di daerah tropika basah, seperti Indonesia. Pada kondisi ini, diharapkan
sistem agroforestri dapat menjadi solusinya. Terdapat tiga komponen dalam agroforestri, yaitu
kehutanan, pertanian dan peternakan. Agroforestry dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai
Wanatani yang berarti menanam pepohonan di lahan pertanian. Pohon-pohon memilki perakaran
dalam dan menyebar secara intensif pada lapisan tanah bawah mengurangi pencucian hara secara
vertikal maupun horisontal. Penutupan tanah oleh vegetasi melindung tanah dan erosi. Peran
tersebut menjadikan agroforestri mampu bertindak sebagai salah satu tindakan konservasi tanah
dan air, selain menghasilkan beberapa jenis produk yang memilik nilai ekonomi tinggi. Kondisi
demikian sekaligus menempatkan agroforestri sebagai sistem pengelolaan lahan yang
berkelanjutan.
Kata kunci : Produktivitas tanah rendah, zona tropika basah, pengelolaan lahan berkelanjutan,
agroforestri
I. PENDAHULUAN
Agroforestri atau wanatani diartikan sebagai menanam pepohonan di lahan pertanian. Model
sitem pertanian ini telah lama dipraktekan oleh petani di Maluku. Namun, agroforestri sendiri
sebagi suatu sistem pertanian mempunyai komponenkomponen penyusun yang berbeda, bisa
secara sederhana maupun kompleks.

De Foresta dkk (1997) mengelompokan agroforestri menjadi dua jenis yaitu: sistem
agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana
adalah suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu
atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak
lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya
berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar. Agroforestri dapat diartikan juga
sebagai suatu sistem pengelolaan lahan secara intensif dengan mengkombinasikan tanaman
kehutanan dan tanaman pertanian dengan maksud agar diperoleh hasil yang maksimal dari
kegiatan pengelolaan hutan tersebut dengan tidak mengesampingkan aspek konservasi lahan
serta budidaya praktis masyarakat lokal (Anggraini dan Wibowo, 2007).

Sistem pengelolaan agroforestri biasanya dibentuk pada lahan berbasis hutan yang kemudian
digunakan untuk membudidayakan tanaman pertanian dengan tanaman kehutanan. Menurut
Pattinama (2014) pengembangan komoditas pertanian tidak dapat dipisahkan dari
pengembangan peradaban manusia. Jika ini semua tercapai maka kita telah menciptakan
program kecukupan pangan bagi masyarakat yang hidup disekeliling sumberdaya alam yang
melimpah dimana selama ini belum dioptimalkan untuk diberdayakan.

Salah satu tanaman pertanian yang dibudidayakan dan dikembangkan adalah salak. Tanaman
salak dikombinasikan dengan jenis tanaman tahunan seperti kenari, lansat, durian pada satu
bidang lahan secara bersamaan sehingga membentuk suatu sistem agroforestri. Sistem
pengelolaan agroforestri dikawasan penghasil salak tidak hanya memberikan keuntungan
ekonomis bagi masyarakat petani, tetapi juga memberikan keuntungan dari sisi ekologis yaitu
dengan tetap terjaganya kondisi lingkungan yang stabil. Potensi tanaman dalam sistem
agroforestri ini cukup besar kontribusinya terhadap pendapatan masyarakat petani, akan
tetapi pengolahan agroforestri belum diperhatikan oleh petani yang melakukan sistem
pengelolaan agroforestri. Hal ini karena pada umumnya penerapan sistem agroforestri
dipengaruhi oleh sistem pertanian masyarakat setempat yang telah menjadi budaya dalam
menerapkan pola pertanian yang sesuai (Maruapey, 2013). Selain itu, untuk pengembangan
suatu komoditas pertanian pada umumnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik
lingkungan (iklim, tanah, topografi) dengan persyaratan tumbuh tanaman dapat memberikan
informasi bahwa komoditas tersebut potensial dikembangkan di daerah bersangkutan.
Penggunaan lahan dalam agroforestri bersifat multitajuk, yang terdiri dari campuran
pepohonan, semak dengan atau tanaman semusim yang sering disertai dengan ternak dalam
satu bidang lahan. Komposisi yang beragam tersebut menjadikan agroforestri memiliki fungsi
dan peran yang lebih dekat dengan hutan dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, lahan
kosong atau lahan terlantar (Widianto dkk, 2003, dalam Firdasari 2015).
Sistem pengelolaan agroforestri di Negeri Riring sudah banyak dilakukan para petani, tetapi
masih menerapkan budidaya tradisional dengan menanam tanaman semusim (seasonal crop)
disela tanaman keras (tree) dan ternak pada saat bersamaan atau berurutan. Tanaman keras
yang ditanam sebagai penaung tanaman salak seperti: kenari (Cannarium Amboninensis),
durian (Durio zibethinus), langsat, dan salawaku (Paraserianthes falcataria, L). Hal itu
membuat keragaman hayati sehingga ekosistem menjadi lebih stabil.

II. METODE PENELITIAN


III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Konservasi Lahan

Pengelolaan hutan dan kawasan konservasi, termasuk upaya rehabilitasi lahan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan, telah memprogramkan
pengembangan hutan kemasyarakatan Kepmen No. 311/ Kpts-II/2001, tentang
Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, hutan tanaman, dan hutan rakyat dalam bentuk
agroforestry. Sebagai paradigma baru dalam pengelolaan hutan, pelaksanaan hutan
kemasyarakatan yang dipadukan dengan model agroforestry diharapkan dapat melestarikan
hutan alam melalui peningkatan produktivitas lahan hutan di areal masyarakat atau di lahan
kritis. Program ini perlu diadakan di sekitar kawasan konservasi seperti taman nasional
dengan pengembangan model tersebut di daerah penyangga, untuk meningkatkan
kesejahteraan dan persepsi masyarakat dalam perlindungan kawasan pelestarian alam.
Sebagai salah satu program pengelolaan hutan produksi yang melibatkan masyarakat, model
agroforestry dikembangkan di hutan produksi kawasan Gn. 10 Ciremai yang dikenal dengan
PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) sebelum kawasan tersebut ditetapkan
sebagai taman nasional.

Secara umum manfaat dari sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat dengan model
agroforestry menurut Bismark dan Sawitri (2006) di bidang konservasi antara lain :

1. Pelestarian Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan Kekayaan jenis dalam areal


agroforestry sangat tinggi. Agroforestry yang terletak dekat hutan alam memiliki
komponen jenis tumbuhan hutan yang beragam. Pada agroforestry di Krui Lampung
dan di Maninjau Sumatera Barat terdapat 300 spesies tumbuhan. Pada agroforestry
banyak ditemukan tumbuhan yang membutuhkan sinar matahari lebih banyak, seperti
nangka, sukun, pulai, dan bayur. Masyarakat desa di Gn Halimun, Jawa Barat banyak
memanfaatkan flora hutan untuk kepentingan bangunan, sumber pakan, obat
tradisional, kayu bakar, pakan ternak, dan upacara adat sejumlah 464 jenis (Harada et
al., 2001 dalam Bismark dan Sawitri, 2006), tetapi jenis yang umum dibudidayakan di
ladang dalam tiga desa didominasi oleh 20 jenis pohon utama yang bernilai ekonomis
tinggi dan cepat tumbuh. Jenis pohon yang dikembangkan di antaranya adalah
Maesopsis eminii, Agathis alba, Swietenia macrophylla, Durio zibethinus, Melia
azedarah, Paraserianthes falcataria, dan Peronema canescens.
2. Habitat Satwaliar Agroforestry yang sudah tertata dengan keanekaragaman jenis
tinggi dan komposisi tajuk yang baik dapat menjadi habitat dari beberapa jenis satwa,
seperti primata, beruang, dan mamalia teresterial. Peran satwa tersebut dapat sebagai
penyebar biji-bijian yang membantu proses regenerasi dan peningkatan
keanekaragaman tumbuhan. Jumlah spesies mamalia yang ditemukan di agroforestry
durian ada 33 jenis, di hutan karet 39 jenis, dan hutan damar 46 jenis dengan jenis
yang dilindungi masing-masing 14, 15, dan 17 jenis (Michon et al., 2000 dalam
Bismark dan R. Sawitri, 2006). Dengan demikian, pengembangan hutan rakyat
dengan sistem agroforestry memiliki manfaat sebagai rehabilitasi kawasan di daerah
penyangga sekitar kawasan taman nasional sekaligus manfaat ekonomis dan ekologis
untuk konservasi jenis satwa di luar dan di dalam taman nasional.
3. Konservasi Lahan dan Air Masalah lingkungan yang umum berkaitan dengan lahan
adalah meluasnya lahan kritis dan tingginya tingkat erosi tanah. Sistem stratifikasi
tajuk yang menyerupai hutan dari segi konservasi tanah dan air akan lebih berdampak
pada pengaturan tata air dan hujan tidak langsung ke tanah yang dapat mencegah erosi
permukaan. Hal ini terlihat dari komposisi jenis dan pola tanam, jenis pohon di
ladang, dan hutan rakyat. Sebagai contoh peran pohon dalam peresapan air seperti
Calliandra callothyrsus 56%, Parkia javanica 63,9%, dan Dalbergia latifolia 73,3%
(Pudjiharta, 1990 dalam Bismark dan Sawitri, 2006). Manfaat lain dari adanya pohon
terhadap lingkungan adalah terjadinya siklus hara yang efisien sehingga akan
mendukung produktivitas lahan melalui penyuburan tanah oleh berkembangnya
mikroba tanah. Tersedianya konsentrasi bahan organik, C, dan N tanah dari serasah
akan berpengaruh pada biomasa mikroba tanah, termasuk mikoriza yang aktif
menyerap dan menyediakan unsur mikro P, N, Zn, Cu, dan S kepada tumbuhan inang,
sehingga siklus hara pada agroforestrybersifat efisien dan tertutup.
4. Kesetimbangan biodiversity.
Keragaman tanaman yang dusahakan antara tanaman tahunan dan tanaman pertanian
memungkinkan terjadinya rantai makanan dan energi yang lebih panjang. Kondisi ini
selanjutnya akan mendukung terciptanya keragaman hayati yang tinggi
(biodiversitas). Secara ringkas, (Sabarnurdin, 2004) menyebutkan beberapa manfaat
lingkungan yang dapat diperoleh dari sistem agroforestry :
1) Mengurangi tekanan terhadap hutan, sehingga fungsi kawasan hutan tidak
terganggu (tata air, keanekaragaman hayati dll);
2) Lebih efisien dalam recycling unsur hara melalui pohon berakar dalam di
lokasi tsb.;
3) Perlindungan yang lebih baik terhadap sistem ekologi daerah hulu DAS;
4) Mengurangi aliran permukaan, pencucian hara dan erosi tanah ;
5) Memperbaiki iklim mikro, mengurangi suhu permukaan tanah, mengurangi
evapotranspirasi karena kombinasi mulsa dari tanaman setahun/semusim dan
naungan pohon;
6) Meningkatkan hara tanah dan struktur tanah melalui penambahan yang
kontinyu hasil proses dekomposisi bahan organik.
IV. KESIMPULAN
Agroforestri atau wanatani adalah suatu sistem pengelolaan lahan yang memadukan tiga
komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian dan peternakan. Interaksi komponen tersebut
menjadikan sistem agroforestri memiliki keunggulan dibandingkan penggunaan lahan lain,
baik dalam hal produktivitas, diversitas, kemandirian maupun stabilitas produk. Peran
agroforestri dengan berbagai bentuknya telah terbukti sebagai sistem penggunaan lahan
berkelanjutan yang mampu bertindak sebagai salah satu tindakan konservasi tanah dan air
pada lahan marginal melalui perbaikan dan pemeliharaan kesuburan tanah, menekan erosi,
disamping menghasilkan beberapa jenis produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Pemilihan jenis tanaman merupakan kunci penting dalam sistem agroforestri. Kondisi
kesuburan tanah yang rendah dan tingginya tingkat kemasaman tanah mengharuskan
pemilihan jenis tanaman yang toleransi tinggi terhadap kondisi tersebut dan memiliki
perakaran dalam serta dapat menyumbangkan hara ke dalam tanah. Selain itu perlu
dipertimbangkan lebar tajuk tanaman hubungannya dengan naungan.

V. DAFTAR PUSTAKA
Asdakh, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada Press.
Yogyakarta.

Barrow, C.J. 1991. Land Degradation: Development and Breakdown of Terrestial


Enviroment. Great Britain. Cambridge University Press.
Cooper, PJM, Leakey, RRB, Rao, MR. Reynolds, L. 1996. Agroforestry and Mitigation of
Land Degradation in the Humid and Sub Humid Tropical of Africa. Experimental
Agriculture 32: 249-261.

de Foresta, H, Michon, G. 1997. The agroforest alternative to imperata grasslands: when


smallholder agriculture and forestry reach sustainability. Agroforestry systems 36:105-
120.
FAO. 1989. Forestry and Food Security. FAO Forestry Paper 90. FAO, Rome. FAO.
1995. Planning for Sustainable Use of Land Resources. Toward a New
Approach. FAO Land and Water Bulletin. FAO, Rome.

Freenstra, 0. 2000. What is sustainable agriculture?. http://www.sarep.ucdavis. edu/ concept.


Htm
Hairiah, K, Utami, SR, Suprayogo, D, Widianto, Sitompul, SM, Sunaryo, Lusiana, B, Mulia,
R, van Nordwijk, M, Cadisch, G. 2000a. Agroforestri pada tanah masam di daerah
tropika basah: pengelolaan interaksi antara pohon-tanaman semusim. International
Centre for Research in Agroforestry (ICRAF). Bogor.

Hairiah, K, Widianto, Utami, SR, Suprayogo, D, Sunaryo, Sitompul, SM, Lusiana, B, Mulia,
R, van Nordwijk, M, dan Cadisch,

G. 2000b. Pengelolaan tanah masam secara biologi. International Centre for Research in
Agroforestry (ICRAF). Bogor.
Hairiah, K, Sardjono, MA, Sabarmirdin, S. 2003. Pengantar Agroforestri. Indonesia World
Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia Regional Office. PO Box 161 Bogor,
Indonesia.

Lundgren, B, Raintree, JB. 1983. Sustained Agroforestry. In: Nestel, B (Ed.), Agricultural
Research for Development: Potentials and Challenge in Asia. ISNAR. The Hague.
Mukerji, K.G., Jagpal, R, Bali, M, and Rani, R. 1991. The importance of mycorrhiza for
roots. In: McMichael, B.L. and Persson, H. (Ed.). Plant roots and their
environment. Elsevier. Amsterdam.
Nair, PKR. 1984. Classification of agroforestry system. Agroforestry systems 3:97-128

Norman, MiT, Pearson, CI, Sean, POE. 1995. The ecology of tropical food crop. Cambridge
University Press. New York.

Prasetyo. 2004. Budidaya kapulaga sebagai tanaman sela pada tegakan sengon. Jurnal Ilmu-
Ilmu Pertanian Indonesia. Volume 6, No. 1: 22-31.

Sanchez, PA. 1995. Science in agroforestry. Agroforestry Systems 3.0:5-55.

Sanchez, PA, Buresh, RJ, Leakey, RRB. 1997. Trees, soils, and food security.
Philosophical transactions of the Royal Society, series A, 355. London.
Satjapradja, D. 1981. Agroforestri di Indonesia, Pengertian dan Implementasinya. Makalah.
Seminar Agroforestri dan Perladangan, Jakarta.

Smith, S.E. and D.J. Read. 1997. Mycorrhizal symbiosis. Academic Press. San Diego.
Soil Survey Staff. 2003. Keys to Soil Taxonomy. 2nd edition. Natural
Resources Conservation Service. USDA.
Subagyo, H., Nata Suharta, dan Agus B Siswanto. 2000. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia.
Dalam. Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Deptan.
Suprayogo, H., D.K. Hairiah, N. Wijayanto, Sunaryo, dan M. Noordwijk. 2003. Peran
Agroforestri pada Skala Plot: Analisis Komponen Agroforestri sebagai Kunci
Keberhasilan atau Kegagalan Pemanfaatan Lahan Indonesia. World Agroforestry
Centre (ICRAF), Southeast
Asia Regional Office. P0 Box 161 Bogor, Indonesia
Suryani, E., M. Ardiansyah, S.D. Tarigan, dan F. Agus. 2004. Kesesuaian penggunaan lahan
sebagai upaya meningkatkan kualitas Daerah Aliran Sungai: Suatu studi di DAS
Cijalupang, Jawa Barat. Makalah disampaikan pada Kongres Nasional V MKTI,
Yogyakarta 10-11 Desember 2004
Szoot, L.T., E.C.M. Fernandes, P.A. Sanchez. 1991. Soil-Plant Interaction in Agroforestry
Sistems. In: Jarvis, PG (Ed). Agroforestry Principle and Practice. Proceedings of an
International Conference 23-28 July 1989 at the University of Edinburgh, Edinburgh.
Elsevier. Amsterdam.
Vegara, NT. 1982. New Directions in agroforestry: The potential of tropical
legume trees. East-West Centre and United Nations University. Honolulu.

https://media.neliti.com/media/publications/64154-none-cc75e2df.pdf

https://apps.worldagroforestry.org/downloads/Publications/PDFS/LN03309.PDF

https://www.menlhk.go.id/uploads/site/post/1647235041.pdf

Anda mungkin juga menyukai