Anda di halaman 1dari 51

1

AGROFORESTRY :
TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN
(smno.tnh.fpub)

Wanatani atau agroforest adalah suatu bentuk pengelolaan


sumberdaya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau
pohon kayu-kayuan dengan penanaman komoditas atau tanaman
jangka pendek, seperti tanaman pertanian. Model-model wanatani
bervariasi mulai dari wanatani sederhana berupa kombinasi
penanaman sejenis pohon dengan satu-dua jenis komoditas
pertanian, hingga ke wanatani kompleks yang memadukan
pengelolaan banyak spesies pohon dengan aneka jenis tanaman
pertanian, dan bahkan juga dengan ternak atau perikanan.
Dalam bentuk yang dikenal umum, wanatani ini mencakup rupa-
rupa kebun campuran, tegalan berpohon, ladang, lahan bera
(belukar), kebun pekarangan, hingga hutan-hutan tanaman rakyat
yang lebih kaya jenis seperti yang dikenal dalam rupa talun di Jawa
Barat, repong di Lampung Barat, parak di Sumatra Barat,
tembawang (tiwmawakng) di Kalimantan Barat, simpung
(simpukng) di Kalimantan Timur, dan lain-lain bentuk di berbagai
daerah di Indonesia.

1. Konsep Wanatani- Agroforestry

Agroforestry merupakan salah satu bentuk multiple cropping yang


telah banyak dikembangkan, terutama di daerah-daerah up-land dan di
sekitar kawasan hutan. Namun, tidak menutup kemungkinan bentuk
tersebut juga dijumpai di daerah-daerah rendah (low land) maupun di daerah-
daerah pertanian yang lain. Para ahli menyusun definisi dengan formulasi
yang berbeda-beda mengenai “agroforestry” ini, sesuai dengan bidang
keahliannya masing-masing.

King dan Chandler (1978) mendefinisikan “agroforestry” sebagai suatu


“sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan
hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman
pertanian (termasuk tanaman pohon-pohonan) dengan tanaman hutan dan
/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada suatu unit lahan yang sama,
dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan
penduduk setempat “.

Agroforestry sudah cukup lama dilaksanakan dalam berbagai


bentuk, di antaranya adalah berupa “teknologi usahatani” yang
dilaksanakan dengan menanam pohon bersama-sama dengan tanaman
pertanian dan hewan ternak di atas sebidang lahan yang sama. Sebagai
suatu sistem penggunaan lahan, agroforestry menyiratkan pengertian bahwa
2

pemanfaatan lahan harus dilakukan seoptimal mungkin dengan


mengusahakan pelestariannya. Tekanan pada konservasi lingkungan fisik
tersebut sesuai dengan sejarah awal mula munculnya konsep agroforestry,
yang dirintis oleh tim dari Canadian InternationaI Development Centre.
Dalam survainya di beberapa negara berkembang, tim tersebut menemukan
praktek-praktek pengelolaan lahan yang salah, yang mengarah pada
perusakan lingkungan. Dalam laporannya, mereka merekomendasikan
perlunya pencegahan perusakan lingkungan secara sungguh-sungguh,
dengan cara pengelolaan lahan yang dapat mengkonservasi lingkungan fisik
secara efektif, tetapi sekaligus dapat memenuhi tuntutan keperluan pangan ,
papan dan sandang bagi manusia.

Menurut Kartasubrata (1991), dipandang dari segi ekologi dan


ekonomi, “sistem agroforestry” lebih kompleks daripada sistem
monokultur. Produksi dari suatu sistem agroforestry selalu beraneka
ragam, yang satu dengan lainnya saling bergantung.

Wanatani kompleks (complex agroforestry systems) atau wanatani


sejati merupakan perpaduan rumit pelbagai unsur wanatani di atas, yang
pada gilirannya juga memberikan aneka hasil atau manfaat pada rentang
waktu dan interaksi yang tidak terbatas. Pada akhirnya, wanatani ini memiliki
struktur dan dinamika ekosistem yang mirip dengan hutan alam, dengan
keanekaragaman jenis flora dan fauna yang relatif tinggi.
Wanatani kompleks merupakan perkembangan wanatani sederhana,
meski kebanyakan pola wanatani sederhana yang telah mantap tidak selalu
bertumbuh terus menjadi sistem yang lebih rumit. Selain ditentukan oleh
kepadatan penduduk dan –sebagai konsekuensinya– keterbatasan lahan,
tidak berkembangnya wanatani sederhana menjadi kompleks kemungkinan
besar juga ditentukan oleh iklim dan kondisi tanah setempat. Budaya
wanatani kompleks sejauh ini berkembang di daerah-daerah yang semula
merupakan hutan hujan tropika yang memiliki struktur mirip.
3

Tumpukan buah keluwek (Pangium edule), hasil wanatani


kompleks di Lolong, Karanganyar, Pekalongan
Hampir selalu, wanatani kompleks berawal dari ladang yang
diperkaya. Sistem perladangan biasanya dimulai dengan membuka hutan
primer atau hutan sekunder, menebangi dan membakar kayu-kayunya, dan
menanaminya dengan tanaman pangan atau sayur mayur selama satu atau
dua daur. Setelah itu ladang diperkaya dengan tanaman keras seperti kopi
atau kakao, atau rotan, yang hasilnya dapat dipanen antara tahun ke-5
sampai ke-15; atau dibiarkan meliar sebagai lahan bera dan kemudian
menjadi hutan belukar kembali. Kelak, hutan belukar akan dibuka kembali
sebagai ladang apabila dirasa kesuburan tanahnya telah dapat dipulihkan.
Dalam kasus wanatani kompleks, ladang yang telah diperkaya tidak
kemudian dibiarkan meliar menjadi belukar, melainkan diperkaya lebih lanjut
dengan jenis-jenis pohon yang menghasilkan. Seperti misalnya pohon-pohon
penghasil buah (durian, duku, cempedak, petai, dll.), getah (damar
matakucing, karet, kemenyan, rambung), kayu-kayuan atau kayu bakar, dan
lain-lain. Setelah berselang belasan tahun, ladang ini telah berubah menjadi
hutan buatan yang menghasilkan aneka jenis produk, yang mampu bertahan
hingga berpuluh-puluh tahun ke depan.

2. Wanatani dan Kelestarian Sumberdaya Lahan

Agroforestry atau WANATANI atau AGROFORESTRY merupakan


suatu istilah kolektif untuk beberapa praktek penggunan lahan dimana
tumbuhan perennial berkayu ditanam secara sengaja pada sebidang lahan
bersama-sama dengan tanaman semusim dan/atau ternak, baik dalam
bentuk tatanan spasial dalam waktu yang bersamaan ataupun secara
sekuensial. Berbagai macam kombinasi pohon, tanaman semusim, pasture,
dan ter-nak dapat tergolong dalam agroforestry. Dalam kebanyakan sistem
agroforestry ini, pohon mempunyai peranan protektif, rejuvenatif, dan
produktif, tetapi kepentingan relatif dari peranan-peranan ini akan sangat
beragam di antara sistem-sistem yang berbeda. Oleh karena itu agroforestry
tidak boleh dipandang sebagai suatu "obat mujarap" bagi kebanyakan
problem penggunaan lahan, tetapi arahan dan praktek-praktek khusus harus
dikembangkan untuk sistem-sistem agroforestry secara terpisah.
Apabila dapat dikelola dengan tepat, sistem agroforestry secara
biofisik, ekonomis dan budaya cocok untuk berbagai kondisi iklim, topografi,
geologi, hidrologi, dan situasi tanah. Di daerah-daerah yang sumberdaya
lahannya relatif langka, tumbuhan pohon dan perennial berkayu lainnya
dapat dibudidayakan di lahan pertanian atau lahan gembalaan . Misalnya,
tanaman pohon dapat dimasukkan ke dalam sistem pertanaman semusim
pada lembah dataran rendah yang subur yang sangat cocok bagi pertanian
intensif. Sistem penanaman pagar lapangan untuk menjadi pagar hidup
guna menangkal angin dan menghasilkan kayubakar atau hijauan pakan
(misalnya di India). Pohon telah ditanam dalam jalur-jalur lorong "(alley)"
melintang lereng di antara padi gogo dan jagung pada lahan-lahan curam
untuk menyediakan mulsa, kompos, kayubakar, dan timber kecil-kecil dan
4

untuk mereduksi kehilangan tanah dengan jalan perkembangan terras


secara bertahap dari hasil penangkapan sedimen pada barisan pepohonan.
Sistem seperti ini yelah menjadi sistem yang sustainable di Cebu, Filipina.
Teladan-teladan lain tentang kultivasi simultan pohon dan tanaman
semusim adalah berbagai tipe sistem pekarangan multistory dimana berbagai
perennial dan kadangkala sedikit tanaman semusim bersama dengan pohon.
Di daerah-daerah dimana densitas populasi penduduk masih relatif rendah
dan lahan relatif banyak, maka sistem agroforestry temporer dengan suatu
rotasi pohon dan tanaman semusim dapat dilakukan. Ada dua pendekatan
utama yang sering digunakan bagi pengembangan agroforestry. Pendekatan
pertama terdiri atas introduksi pohon ke dalam sistem tanaman semusim
atau sistem grazing. Tujuannya seringkali adalah untuk menstabilkan
penggunaan lahan secara umum dan untuk mengendalikan erosi terutama
untuk memelihara produksi pertanian pada lahan yang secara biofisik tidak
sesuai. Pendekatan yang ke dua terdiri atas kegiatan konversi lahan
berhutan menjadi sistem agroforestry sebagai upaya untuk meningkatkan
produksi komoditi komersial atau produk-produk subsisten.
Pengadopsian sistem agroforestry sebagai suatu tipe penggunaan
lahan biasanya akan diputuskan oleh individu pemilik lahan atau pengguna
lahan, berdasarkan atas kelayakan sosial dan strategi minimisasi resiko atau
perkiraan manfaat ekonomis. Dengan demikian sistem agroforestry harus
dirancang secara khusus berdasarkan kondisi daerah setempat, dengan
memperhatikan praktek penggunaan lahan yang berlaku secara lokal,
kebutuhan masyarakat akan pa- ngan, kayu bakar, timber, dan produk
lainnya; serta preferensi masyarakat setempat. Di masa lalu, pemerintah
jarang yang berminat pada agroforestry, kecuali dalam sistem taungya yang
dihubungkan dengan awal fase perkembangan perkebunan besar.
Disamping faktor-faktor ekonomi, sosial, dan politik ini, ternyata
kendala biofisik yang berhubungan dengan kapabilitas lahan dan dampak
fisik seperti perubahan rejim air, erosi, sedimentasi, dan polusi agrokimia
sangat penting bagi perencana land-use. Secara ideal, faktor terakhir ini
harus dipertimbangkan secara seksama dalam setiap sistem agroforestry.
Introduksi atau retensi pohon dalam sistem pertanian semusim tidak boleh
dipandang sebagai suatu "safety net" yang general untuk melawan degradasi
sumberdaya lahan. Individu pohon atau kelompok pohon tidak dapat
diharapkan memberikan pengaruh yang sama terhadap lahan seperti
ekosistem hutan yang masih utuh, terutama pengendalian erosi (Wiersum,
1984). Kunci bagi kebaikan kualitas air dan konservasi tanah tidak terletak
pada pohon itu sendiri, melainkan pada praktek pengelolan yang dilakukan
dengan baik.

2.1. Seleksi dan pengembangan lokasi


Mengingat keanekaan sifat dari berbagai sistem agroforestry, maka
hanya dimungkinkan untuk melakukan genera lisasi secara umum tentang
kesesuaian lahannya. Kalau sistem agroforestry dikembangkan dengan jalan
introduksi ternak, tanaman semusim, atau tanaman pohon ke dalam daerah
yang berhutan, maka arahan untuk "Pembukaan Hutan dan Tebang Pilih"
harus dipertimbangkan untuk mengidentifikasikan daerah yang harus
5

dikonversi dan yang tidak boleh dikonversi. Arahan untuk konversi lahan
hutan menjadi lahan grazing, menjadi tanaman pohon, dan menjadi
pertanian semusim harus diperhatikan secara seksama untuk mengetahui
relevansinya bagi setiap sistem agroforestry yang spesifik. Akan tetapi
secara umum perkembangan agroforestry akan dimulai bukan dengan
mengkonversi lahan hutan, tetapi dengan introduksi pohon ke dalam sistem
pertanian semusim, atau dengan introduksi pohon naungan dalam sistem
pertanian pohon (misalnya kopi dan kakao).
Secara umum, sistem agroforestry tidak boleh dipraktek kan pada
lahan yang kemiringannya lebih dari 60%. Pada lahan yang kemiringannya
60-85%, agroforestry umumnya dapat dipraktekkan dan hanya sustainable
dalam hubungannya dengan rekayasa engineering konservasi tanah, dan hal
ini bisa tidak layak teknis bagi infrastruktur lokal dan juga tidak layak
ekonomis. Proporsi tanaman semusim dalam sistem yang memerlukan
pengolahan tanah secara teratur akan sangat mempengaruhi erosi tanah.
Kalau tanah-tanah bera berada di bawah atau di antara pohon-pohonan,
maka terras diperlukan pada lahan dengan kemiringan kurang dari 60%.
Pepohonan dapat membantu perkembangan terras-terras ini kalau ditanam
dan dikelola secara tepat sepanjang garis kontur.
Agar supaya produksi pohon dalam sistem agroforestry harus
berhasil secara ekonomis maka diperlukan kedalaman tanah dan kualitas
tanah yang memadai. Kelompok kerja internasional mempertimbangkan
bahwa kedalaman tanah yang diperlukan paling tidak 75-100 cm. Walaupun
sistem agroforestrydapat diimplementasikan pada loaksi yang telah
mengalami degradasi sehingga solum tanahnya dangkal, manfaat terutama
akan berasal dari pelestarian konservasi tanah dan perbaikan produksi
tanaman semusim dan bukannya produktivitas yang tinggi dari tanaman
pohon, terutama manfaat dalam jangka pendek.

2.2. Pemilihan dan penataan pohon dan tanaman semusim

Salah satu faktor yang sangat penting dalam disain sistem


agroforestry adalah pemilihan spesies pohon dan tanaman semusim.
Wiersum (1981) mengemukakan lima faktor utama yang harus diperhatikan
dalam disain sistem agroforestry, dan Mercer (1985) mengemukakan 23
kriteria yang harus diperhatikan dalam pemilihan spesies pohon. Preferensi
tanaman pangan lokal dan kondisi agroklimat umumnya akan menentukan
jenis tanaman pangan yang ditanam, sedang kan pemilihan jenis tanaman
pohon lebih banyak ditentukan oleh permintaan pasar. Dalam semua kasus
ternyata kompatibilitas antara tanaman pohon dan jenis tanaman lainnya
juga sangat penting.
Tatanan spasial komponen-komponen dari sistem agroforestry
merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi produktivitas,
sustainabilitas, efektivitas konser vasi tanah, dan daya menejerial. Arahan
khusus akan meliputi hal-hal berikut ini:
(1). Gunakan sistem jalur atau barisan secara bergantian sepanjang kontur untuk
maksimisasi stabilisasi tanah
6

(2). Gunakan jenis yang memfiksasi nitrogen, untuk memperbaiki kesuburan tanah dan
menyediakan pupuk hijau
(3). Gunakan jenis pohon yang tumbuhnya cepat untuk mendapatkan manfaat dari
konservasi tanah dan produksi
(4). Kalau produksi kayu tidak diutamakan dari tanaman pohon, maka disarankan jarak
20 cm di dalam barisan dan 1 meter di antara barisan rangkap pohon, dan 4 meter
atau lebih di antara pagar untuk tanaman semusim. Kalau barisan pohon
digunakan sebagai "jangkar" bagi seresah sisa pangkasan cabang dan ranting, maka
pola seperti ini akan menghasilkan perkembangan terras- terras dalam periode tiga
tahun karena penjebakan material yang tererosi dari lahan di sebelah atasnya. Jarak
yang berbeda diperlukan untuk daerah semiarid dan arid, dan laju perkembangan
terras akan lebih lambat di daerah iklim kering.
(5). Untuk produksi kayu bakar dari barisan-pagar, diperlu kan jarak tanam pohon yang
lebih lebar baik dalam barisan maupun di antara barisan. Pengujian lokal mungkin
diperlukan untuk menentukan jarak tanam optimal, terutama di daerah kering.
Jarak tanam sepanjang barisan sebesar 50 cm hingga 2 meter mungkin akan sesuai,
tergantung pada apakah kayubakar merupakan produk yang diutamakan.
(6). Jarak tanam yang lebih lebar, hingga 4m x 4m atau 5m x 5m, dapat digunakan kalau
jenis-jenis timber atau legume ditanam secara langsung untuk pangan merupakan
spesies pohon yang utama. Bahkan di daerah kering jarak tanam perlu lebih lebar
lagi.

3. Pengelolaan Usaha Wanatani

Arahan penting bagi sustainabilitas dan minimisasi dampak biofisik


yang bersifat negatif meliputi:
(1). Tanaman penutup tanah yang berupa tanaman hidup atau mulsa harus
dipertahankan sepanjang tahun di area tanaman semusim di antara
pohon pohon atau barisan pohon untuk melindungi permukaan tanah
daripukulan air hujan, pemadatan, limpasan permukaan, dan erosi.
Tanaman pohon sendiri tidak akan menyediakan perlindungan ini secara
otomatis; pada kenyataannya bahkan mereka dapat meningkatkan efek
erosi percik pada tanah yang kosong di bawah tajuk pohon.
(2). Bahan organik topsoil harus dipertahankan dengan memasukkan pupuk
hijau dan mulsa untuk menjaga ketersediaan unsur hara dan air serta
memperbaiki laju infiltrasi tanah
(3). Pemanenan bahan organik dan hara pada saat panen harus dibatasi
pada produk-produk yang dapat dijual saja. Residu tanaman dan
pemangkasan harus digunakan sebagai mulsa atau pupuk hijau.
(4). Perakaran yang rapat dalam topsoil harus dipacu untuk mencegah
kehilangan unsur hara melalui drainase dan untuk memelihara da
memperbaiki struktur tanah. Misalkan, hindarilah pengrusakan akar
pohon pada saat kultivasi tanaman semusim dan minimalkan pemadatan
topsoil akibat lalulintas manusia dan ternak. Penggunaan pupuk hijau,
pupuk kandang dan mulsa akan memperbaiki kandungan hara dan air
pada topsoil, dan memacu perkembangan akar.
7

(5). Pembakaran harus dihindarkan atau diminimumkan untuk mereduksi


kehilangan hara.
(6). Praktek pengendalian hama secara terpadu harus dilakukan, dan
penggunaan pestisida harus diminimumkan untuk menghindari
kepunahan musuh-musuh alami yang bermanfaat. Penggunaan bahan
agrokimia dan pengelolaan bahan-bahan limbah secara hati-hati.
(7). Kalau ternak gembalaan dimasukkan dalam sistem agroforestry, maka
ketersediaan hijauan pakan di musim kemarau harus menjadi
pertimbangan utama dalam memilih jenis ternak dan stocking-rate,
kecuali kalau tersedia sumber pakan alternatif. Overgrazing dan
pemadatan tanah yang berlebihan harus dihindarkan.
(8). Gangguan ternak terhadap tanaman pohon yang baru tumbuh harus
dihindarkan , terutama tanaman timber.
(9). Pola lalulintas ternak harus dimanipulasi dengan meng gunakan barier
vegetatif atau penghalang lainnya supaya jalan ternak yang padat tidak
langsung menuruni lereng cukup panjang atau langsung ke saluran air.

Pemilihan Spesies dan Disain Sistem

Beberapa hal pokok yang harus diperhatikan dalam menentukan


pilihan spesies pohon adalah (Wiersum, 1981):
(1). Daya adaptasi terhadap kondisi lingkungan setempat
(2). Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Faktor yang
dipertimbangkan adalah:
i. Tanaman yang dihasilkan (pagan, cash,kayu,hijauan
ii. Waktu tenggang antara saat tanam dan panen
iii. Umur dan keteraturan produksi manfaat
iv. Periode produksi dalam hubungannya dengan kesesuaian terhadap
distribusi tenagakerja
v. Popularitas lokal dengan spesies
vi. Ketersediaan pasar produk.
(3). Kesesuaian spesies dalam campuran tanaman
(4). Fungsi perlindungan lingkungan hidup (misalnya pe- ngendali erosi
tanah, siklus hara)
(5). Karakteristik menejemen (penanaman, panen, pengolahan dan
penyimpanan produk).

Menurut Mercer (1985), kriteria penting memilih jenis pohon untuk


agroforestry meliputi:
(1). Pertumbuhan cepat, yang memungkinkan panen lebih awal dan
hasil per hektar lebih banyak,
(2). Kemampuan memfiksasi nitrogen dari udara,
(3). Bersifat multiguna,
(4). Produk pohon ada pasarnya,
(5). Ketersediaan bahan bibit yang memadai,
(6). Mempunyai sifat self-pruning,
(7). Rasio antara diameter tajuk dengan diameter bole rendah (yaitu
lebar tajuk harus relatif kecil dibandingkan dengan diameter),
8

(8). Toleran terhadap naungan dari sisi,


(9). Filotaksisnya harus memungkinkan penetrasi cahaya matahari
ke permukaan tanah,
(10) Fenologinya harus menguntungkan bagi periode pertanaman
semusim (terutama dalam hubungannya dengan semi dan gugur
daun),
(11) Gugurnya seresah cukup banyak dan mudah terdekomposisi,
(12) Sistem perakarannya dan karakteristik akar yang mengeksploitir
lapisan tanah yang berbeda dengan tanaman pertanian yang
mendampinginya,
(13) Kompatibilitas di antara spesies annual dan perennial (misalnya
interaksi alelopati dan interaksi positif)
Dalam hubungannya dengan produk akhir maka karakteristik berikut
ini diperlukan untuk persyaratan tambahan, yaitu
(1) Pohon untuk produksi timber harus tinggi, cepat tumbuhnya,
spesies sekunder dengan batang lurus, kuat, kayu berbutir halus,
dan karakteristik mesinnya bagus,
(2) pohon untuk kayubakar harus mempunyai berat jenis tinggi,
regenerasinya mudah dengan anakan atau bibit kecambah,
cepat mengering, mudah dipanen dan diangkut,
(3) Spesies pagar harus mudah ditanam dan tumbuh , tahan
terhadap korosi oleh paku dan kawat,
(4) Pohon untuk buah dan sayur harus beradaptasi secara ekologis,
dan harus digunakan kombinasi pohon yang mampu
menyediakan berbagai kebutuhan gizi,
(5) Pohon untuk produksi hijauan dan pupuk hijau harus mampu
tumbuh cepat, memfiksasi nitrogen, dan mempunyai
kemampuan belukar yang hebat

Ekonomi wanatani

Berbagai kajian tentang agroforestri atau wanatani memberikan


gambaran bahwa bentuk penggunaan lahan ini sudah lama dipraktekkan oleh
masyarakat pedesaan dalam beragam bentuk dan model. Masing-masing
bentuk mempunyai ciri-ciri yang relevan dengan karakteristik lingkungannya,
baik lingkungan alam maupun lingkungan budaya. Sebagai salah satu bentuk
penggunaan lahan, wanatani juga diyakini mampu memberikan sumbangan
terhadap upaya mengatasi masalah kerusakan lingkungan dan sekaligus
sebagai salah satu pendekatan dalam pengentasan kemiskinan di pedesaan.
Bertolak dari pandangan tersebut, evaluasi ekonomi wanatani perlu
dimulai dari pemahaman atas model atau bentuk wanatani yang menjadi
target analisis. Pemahaman tersebut manyangkut proses dan tahapan
pengembangannya, karakteristik lingkungannya, output yang dihasilkan
termasuk jasa lingkungan, teknologi yang digunakan, kebutuhan modal, biaya
sosial yang ditimbulkan – jika memang ada, dan juga manfaat ekologis yang
seringkali tidak dengan sengaja untuk dihasilkan oleh operatornya. Sebagai
contoh, budidaya repong damar di Krui, Lampung. Pemahaman sepintas
9

tentang repong damar adalah bentuk wanatani yang menghasilkan damar,


buah-buahan, kayu, dan berbagai produk non kayu lainnya. Padahal dalam
prosesnya, pada 15 tahun pertama lahan yang sama berupa kebun kopi dan
lada. Menyangkut apa yang dihasilkan oleh wanatani (output), dengan
bertolak dari pandangan nilai ekonomi total, penilaian ekonomi wanatani tidak
hanya terbatas pada hasil produksi yang memiliki nilai pasar (buah, getah,
serat, umbi-umbian, kayu, dan produk non kayu lainnya), akan tetapi juga
terhadap jasa lingkungan yang secara empiris tidak atau belum memiliki nilai
finansial. Contoh jasa lingkungan yang perlu diperhitungkan dalam penilaian
ekonomi wanatani adalah: nilai keaneka-ragaman hayati yang mampu
dikonservasi atau bahkan dikembangkan, kemampuan untuk meningkatkan
dan menjaga kesuburan tanah, dampak hidrologis dari satu model wanatani
dan lain sebagainya. Demikian juga dengan biaya. Biaya yang dikeluarkan
untuk membangun wanatani tidak hanya terbatas dalam artian jumlah uang
yang dikeluarkan para operator, akan tetapi juga pengorbanan dari pihak lain
dengan adanya wanatani tersebut.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana penilaian
ekonomi terhadap semua itu dilakukan. Untuk output dan input yang memiliki
nilai pasar, harga pasar dapat digunakan untuk menilai barang dan jasa yang
dihasilkan ataupun yang digunakan. Harga pasar yang mana yang akan
digunakan merupakan persoalan yang akan di bicarakan di bagian lain. Untuk
menilai jasa lingkungan terdapat beberapa metoda penilaian yang masuk
dalam cakupan ekonomi lingkungan. Turner et al., (1994) mengelompokan
metoda penilaian lingkungan ke dalam dua ketegori besar, yaitu penilaian
dengan pendekatan permintaan pasar (demand curve approach), dan
penilaian dengan pendekatan non-market demand. Pendekatan non-market
demand pada hakekatnya merupakan penialain atas biaya yang harus
dikeluarkan sebagai akibat dari satu aktivitas atau dikeluarkannya satu
kebijakan pemerintah.
Pendekatan atau metoda yang termasuk dalam kategori ini adalah:
pendekatan effect on production (EoP) atau metoda opportunity cost (OC)
yang merupakan penilaian atas biaya yang harus dikeluarkan atau kerugian
yang harus ditanggung oleh satu proses produksi akibat satu kegiatan atau
kebijakan tertentu; pendekatan dose response (DR) yaitu penilaian terhadap
dampak yang terjadi akibat diterbitkannya ketentuan baku mutu lingkungan
tertentu; pendekatan prevantive expenditure, menilai kesediaan seseorang
untuk menjaga kenyamanan lingkungannya; dan lain sebagainya.
Salah satu cara untuk menilai keberadaan wanatani adalah
mengevaluasi produktivitas wanatani, baik secara finansial maupun secara
ekonomi. Produktivitas di sini diartikan sebagai kemampuan untuk
berproduksi yang secara finansial dan ekonomi diukur dari seberapa besar
wanatani mampu memberikan keuntungan berupa pendapatan bersih atau
sering disebut dengan profitabilitas. Pertanyaan pertama yang harus
dikemukakan adalah siapa yang berkepentingan terhadap wanatani dan apa
kepentingannya. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut akan menentukan
ukuran effisiensi yang mana yang akan digunakan.
Seperti halnya kegiatan pertanian, keberadaan wanatani tidak hanya
menjadi kepentingan petani saja. Akan tetapi juga merupakan kepentingan
10

pemerintah (pengambil keputusan). Para pengmbil keputusan berkentingan


terhadap produktivitas penggunaan lahan, kelestarian lingkungan,
tersedianya lapangan pekerjaan di pedesaan, kecukupan pangan bagi
masyarakat. Kepentingan petani dalam membudidayakan wanatani terutama
terletak harapan untuk mendapatkan penerimaan dari hasil wanatani. Kedua
kepentingan tersebut akan menentukan parameter produktivitas yang mana
yang akan dipakai.
Ada beberapa cara dan pengukuran profitabilitas yang lazim dipakai.
Analisa Manfaat-Biaya atau Benefit-Cost Analysis menghasilkan dua
parameter: Benefit-Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR). BCR
merupakan perbandingan antara nilai manfaat dan nilai biaya dari satu
investasi pada tingkat bunga yang telah ditentukan. Nilai BCR lebih besar dari
satu menunjukkan bahwa investasi cukup menguntungkan. Sedangkan IRR
membandingkan manfaat dan biaya yang ditunjukkan dalam persentasi.
Dalam hal ini nilai IRR merupakan tingkat bunga di mana nilai manfaat
sama dengan nilai biaya. IRR merupakan parameter yang menunjukkan
sejauh mana satu investasi mampu memberikan keuntungan. Nilai IRR yang
lebih besar dari tingkat bunga umum memberikan petunjuk bahwa investasi
tersebut cukup menguntungkan.
Analisis yang lebih sering digunakan untuk mengukur profitabilitas
satu investasi jangka panjang dalam kegiatan pertanian adalah Net Precent
Value, yaitu selisih antara nilai manfaat dan nilai biaya selama kurun waktu
tertentu pada tingkat bunga yang ditentukan. Nilai positif NPV dari satu
system kegiatan investasi (dalam hal ini wanatani) menunjukan bahwa
wanatani tersebut cukupmenguntungkan. Mengingat bahwa para petani
wanatani kebanyakan mengelola sendiri wanataninya, maka profitabilitas
yang diukur dengan NPV diturunkan menjadi penerimaan bersih per hari
kerja yang dalam halini disebut dengan return to labor. Return to labor
dihitung dengan cara mengubah tingkat upah dalam perhitungan NPV
sehingga menghasilkan NPV = 0. Perhitungan ini mengubah ‘surplus’ yang
ada menjadi upah setelah memasukkan biaya input dan modal dalam
discounted cash flow. Return to labor yang lebih besar dari tingkat upah
umum memberikan indikasi bahwa kegiatan itu memberikan keuntungan bagi
petani.
NPV yang dihitung dengan harga finansial (analisis finansial), yaitu
perhitungan dengan nilai pasar yang mencerminkan penerimaan dan
pengeluaran nyata petani, menghasilkan parameter profitabilitas untuk
kepentingan petani. Dalam hal ini akan memberikan estimasi besarnya
keuntungan petani dari sistem wanatani yang dianalisis. Atau dengan
perkataan lain penerimaan nyata petani. Sehingga return to labor yang
dihitung dengan nilai finansial, merupakan indikator profitabiltas bagi petani
yang merupakan insentif untuk berproduksi. Sedangkan perhitungan NPV
dengan menggunakan harga-harga ekonomi (analisis ekonomi), yaitu harga
barang dan jasa yang mencerminkan nilai tertinggi, menghasilkan parameter
profitabilitas untuk kepentingan para pengambil keputusan atan masyarakat
yang lebih luas. Mengingat bahwa produktivitas lahan merupakan
kepentingan para pengambil keputusan, maka NPV yang dihitung dengan
11

nilai ekonomi, merupakan indicator profitabilitas yang lebih baik. Karena


memasukkan semua komponen lingkungan di dalamnya.
Persoalan lain yang perlu mendapat perhatian dalam analisis finansial
dan ekonomi terhadap kegiatan wanatani adalah menyangkut: (1) komponen
apa saja yang harus masuk ke dalam perhitungan dan (2) bagaimana kita
mengukur atau memberi nilai untuk masing-masing komponen.
Hasil penelitian Iwan Kurniawan (2006) menunjukkan bahwa secara
ekonomi wanatani menguntungkan bagi pesanggem dilihat dari pola wanatani
dengan sistem wanatani kentang, sawi dan kubis, nilai B/C-ratio masing-
masing adalah 1,69 kentang 1,67 sawi dan kubis 1,52. Secara keseluruhan
besarnya B/C Ratio > 1, hal ini berarti efektif bagi pesanggem dan program
wanatani tersebut masih dibutuhkan oleh masyarakat baik untuk saat ini dan
seterusnya. Jenis tanaman yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah
tanaman palawija yang menguntungkan. Berdasarkan hasil penelitian ini
disarankan agar prosedur penanaman tanaman wanatani lebih dioptimalkan
dengan memperhatikan beberapa aspek ekonomi,dan lingkungan sehingga
lebih meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan tanaman kehutanan
(pinus) dapat tumbuh dengan optimal.
Hasil penelitian Rama Suhatini, Sugeng Yudiono, Eva Dolorosa,
Ilahang (2006) menemukan bahwa peningkatan produktivitas karet rakyat
dapat dilakukan melalui pengembangan sistem wanatani karet untuk
meningkatkan pendapatan petani, menjamin kelangsungan hidup petani serta
memelihara keanekaragaman hayati. Sistem wanatani karet ini terdiri dari tiga
pola yaitu pola RAS 1, (hutan karet produktif), pola RAS 2 (sistem wanatani
kompleks), dan pola RAS 3 (reklamasi lahan alang-alang).
Sistem wanatani karet yang direkomendasikan meliputi 3 pola, yaitu :
RAS1 yaitu hutan karet produktif bertujuan untuk penghematan biaya sarana
produksi, efisiensi tenaga kerja dan upaya pelestarian keanekaragaman
hayati, RAS2 yaitu sistem wanatani kompleks yang bertujuan untuk
pemanfaatan tenaga kerja secara optimal dan diversifikasi komoditi dan RAS
tiga yaitu reklamasi lahan alang-alang dengan menggunakan tanaman
penutup tanah yang bertujuan untuk menjaga kesuburan tanah dan
diversifikasi komoditi.
Karakteristik sosial ekonomi usahatani pada sistem wanatani karet di
ketiga pola RAS berbeda-beda. Status kepemilikan lahan dan pohon
kesemuanya merupakan hak milik pribadi petani RAS. Hasil produksi tertinggi
adalah pola RAS 1 (1.109 Kg/tahun), RAS 2 (1.011 Kg/tahun) dan RAS 3
(966 Kg/tahun). Curahan tenaga kerja pola RAS 1 kurang intensif, RAS 2
paling intensif dan RAS 3 cukup intensif. Pemasaran karet sangat mudah
karena pasar tersebar di seluruh desa dan kecamatan. Pendapatan yang
diperoleh dari kebun RAS lebih menguntungkan dibandingkan dengan
pendapatan dari luar RAS dalam satuan luas lahan yang sama serta memiliki
tingkat produktivitas karet yang tinggi.
Perspektif petani terhadap aspek sosial, ekonomi dan ekologi dari
system wanatani karet pola RAS 1, RAS 2 dan RAS 3 sebagian besar adalah
positif, maka sistem wanatani karet di Kabupaten Sanggau masih dapat
berkelanjutan. Perspektif petani peserta RAS terhadap pengembangan pola
wanatani pada tanaman kelapa sawit ditinjau aspek sosial, ekonomi dan
12

ekologi, sebagian besar petani menyatakan negatif, maka pola wanatani tidak
bisa diterapkan pada tanaman kelapa sawit.

4. WANATANI BERBASIS PINUS

Agroforestry merupakan salah satu alternatif bentuk penggunaan


lahan terdiri dari campuran pepohonan, semak dengan atau tanpa tanaman
semusim dan ternak dalam satu bidang lahan. Melihat komposisinya yang
beragam, maka agroforestri memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat
kepada hutan dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, lahan kosong
atau terlantar. Sampai batas tertentu agroforestri memiliki beberapa fungsi
dan peran yang menyerupai hutan baik dalam aspek biofisik, sosial maupun
ekonomi. Agroforestry merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang
diyakini oleh banyak orang dapat mempertahankan hasil pertanian secara
berkelanjutan. Agroforestry memberikan kontribusi yang sangat penting
terhadap jasa lingkungan (environmental services) antara lain
mempertahankan fungsi hutan dalam mendukung DAS (daerah aliran
sungai), mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, dan
mempertahankan keanekaragaman hayati.
Sistem agroforestri dapat mempertahankan sifat-sifat fisik lapisan
tanah atas yang diperlukan untuk menunjang pertumbuhan tanaman, melalui:
Adanya tajuk tanaman dan pepohonan yang relatif rapat sepanjang
tahun menyebabkan sebagian besar air hujan yang jatuh tidak langsung ke
permukaan tanah sehingga tanah terlindung dari pukulan air yang bisa
memecahkan dan menghancurkan agregat menjadi partikel-partikel yang
mudah hanyut oleh aliran air. Sistem agroforestry dapat mempertahankan
kandungan bahan organic tanah di lapisan atas melalui pelapukan seresah
yang jatuh ke permukaan tanah sepanjang tahun. Pemangkasan tajuk
pepohonan secara berkala yang di tambahkan ke permukaan tanah juga
mempertahankan atau menambah kandungan bahan organik tanah. Kondisi
demikian dapat memperbaiki struktur dan porositas tanah serta lebih lanjut
dapat meningkatkan laju infiltrasi dan kapasitas menahan air
Sistem agroforestri pada umumnya memiliki kanopi yang menutupi
sebagian atau seluruh permukaan tanah dan sebagian akan melapuk secara
bertahap. Adanya seresah yang menutupi permukaan tanah dan penutupan
tajuk pepohonan menyebabkan kondisi di permukaan tanah dan lapisan
tanah lebih lembab, temperatur dan intensitas cahaya lebih rendah. Kondisi
iklim mikro yang sedemikian ini sangat sesuai untuk perkembangbiakan dan
kegiatan organisme. Kegiatan dan perkembangan organisme ini semakin
cepat karena tersedianya bahan organik sebagai sumber energi. Kegiatan
organisme makro dan mikro berpengaruh terhadap beberapa sifat fisik tanah
seperti terbentuknya pori makro (biopores) dan pemantapan agregat.
Peningkatan jumlah pori makro dan kemantapan agregat pada gilirannya
akan meningkatkan kapasitas infiltrasi dan sifat aerasi tanah.
13

Tampak pada gambar Agroforestri di hutan pinus cikuray KPH Garut.


Di bawah tegakan pinus (populasi jarang) lahannya digarap secara intensif untuk
aneka tanaman hortikultura semusim (sumber: http://bumiku-
menangis.blogspot.com/)

TEKNIIK PEMBUATAN TANAMAN TUSAM ((Pinus merkusii Yung


ett de.. Vriies))

Pendahuluan
Pinus merkusii dengan nama daerah tusam banyak dijumpai tumbuh
di belahan bumi bagian selatan. Pohon bertajuk lebat, berbentuk kerucut
mempunyai perakaran cukup dalam dan kuat. Walaupun jenis ini dapat
tumbuh pada berbagai ketinggian tempat, bahkan mendekati 0 meter di atas
permukaan air laut, dengan tempat tumbuh yang terbaik pada ketinggian
tempat antara 400 – 1500 m dpl, pada tipe iklim A dan B menurut Schmidt –
Ferguson, pada curah hujan sekurang-kurangnya 2000 mm/tahun tanpa
dengan jumlah bulan kering 0 – 3 bulan.
Jenis ini dapat tumbuh pada berbagai tipe jenis tanah dengan lapisan
tanah yang tebal/dalam, pH tanah asam dan mengendaki tekstur tanah
ringan sampai sedang. Manfaat jenis pohon ini cukup banyak. Kayunya dapat
digunakan sebagai bahan bangunan ringan, peti, korek api, bahan baku
kertas dan vinir/kayu lapis. Pada umur 10 tahun, pohon sudah dapat disadap
getahnya. Dari getah Pinus dapat dibuat gondorukem dan terpentin.
Gondorukem digunakan dalam industri batik sedang terpentin digunakan
sebagai pelarut minyak cat dan lak.

Pembibitan

1. Pengadaan biji
Biji Pinus merkusii akan mempunyai viabilitas dan daya kecambah
tinggi, apabila diambil dari kerucut yang sudah masak dengan ciri-ciri
berwarna hijau kecoklatan dan sisik kerucut yang telah mulai melebar
14

kebiruan sedikit. Pengumpulan buah dapat dilakukan setiap tahun, karena


berbuahnya setiap tahun. Biji kering berisi antara 45.000 – 60.000 butir setiap
kilogramnya.
Sebelum ditabur sebaiknya dilakukan seleksi biji. Biji yang baik
mempunyai ciri-ciri warna kulit bij kuning kecoklatan dengan bintik-bintik
hitam, agar bentuk biji bulat, padat dan tidak mengkerut. Untuk menyeleksi
biji yang biasa juga digunakan cara perendaman. Biji yang akan digunakan
sebagi bibit direndam dalam air dan benih yang tenggelam saja menandakan
biji baik. Lama biji direndam air dingin 3 – 4 jam sebelum ditabur.

2. Penaburan biji
Pada kegiatan ini yang perlu diperhatikan adalah bahan media tabur
yang akan digunakan hendaknya mempunyai persyaratan sebagai berikut :
· Bebas dari hama-penyakit (steril)
· Cukup sarang
· Dapat merangsang proses perkecambahan

Sesuai persyaratan di atas, maka bahan campuran berupa pasir yang


berukuran ± 2 mm dan tanah (humus) halus dapat digunakan sebagai media
tabur. Tanah dan pasir perbandingan 1 : 2. Selanjutnya campuran ini
disterilkan dengan cara digoreng 4 – 6 jam dan dijemur diterik matahari.
Media yang sudah siap digunakan dimasukkan ke dalam bak plastik setinggi
± 5 cm. Bak diletakkan di atas rak-rak di dalam bedeng penaburan atau ruang
kaca. Benih-benih yang terpilih, kemudian dihamburkan di bak tabur,
selanjutnya ditutup dengan bahan media tabur kira-kira sama dengan tebal
benih yang ditabur. Setelah 10 – 15 hari dari saat penaburan, benih akan
berkecambah. Proses perkecambahan berlangsung sampai satu bulan.

3. Penyapihan
Sebelum dilakukan penyapihan terlebih dahulu disiapkan kantong
plastik yang berisi media tumbuh. Pinus merkusii adalah jenis tanaman yang
melakukan simbiose dengan jamur/mikorhiza. Penularan mikorihiza yang
paling baik ialah pada waktu pencampuran media tumbuh. Untuk itu, dalam
setiap kantong plastik media tumbuh harus dicampur dengan tanah humus
yang berasal dari bawah tegakan tua Pinus merkusii. Media tumbuh untuk
jenis tanaman ini yang paling baik adalah campuran dari tanah, pasir dan
kompos dengan perbandingan 7 : 2 : 1 dengan penambahan pupuk NPK
sebanyak 0,25 gram setiap kantong yang berisi 300 gram media. Setelah
bibit berumur 5 – 8 minggu di bak tabur kemudian dilakukan penyapihan.
Pada saat ini kulit biji sudah terlepas dari kecambah dan bibit telah memiliki
daun jarum pertama.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyapihan bibit antara
lain :
· Semai ditanam berdiri tegak lurus
· Akar tidak boleh terlipat
· Hindarkan semai dari kerusakan
· Lakukan penyapihan pada tempat yang teduh
15

4. Pemeliharaan
Dalam kegiatan ini perlu dilakukan penyiraman semai secara hati-hati,
dan untuk menghindarkan damping off perlu dilakukan penyemprotan dengan
fungisida. Upayakan agar bibit selama dipersemaian bebas dari gangguan
rumput-rumput liar, erangga maupun penyakit. Untuk itu kebersihan
persemaian sangat menunjang keberhasilan bibit yang disapih.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain :
· Naungan untuk menjaga kelembaban, menahan percikan air hujan
dan mengurangi penguapan.
· Penyiraman secara teratur, setiap hari satu kali pagi hari dan sore
hari.
· Pemupukan dengan NPK dengan interval 2 minggu sekali.
· Penyulaman pada kantong plastik yang mati bibitnya atau
pertumbuhannya jelek segera dilakukan.
· Perumputan apabila rumput atau tumbuhan liar lainnya
mengganggu pertumbuhan tanaman muda.
· Akar-akar yang keluar dari lubang kantong agar dipotong.

Penanaman

1. Persiapan lapangan
Sebelum melaksanakan penanaman, perlu dilakukan pekerjaan
persiapan, antara lain :
· Pembersihan lapangan dari tumbuhan pengganggu, seperti alang-
alang, semak belukar, dan lain-lain.
· Pengolahan tanah (manual/mekanik). Dalam pengolahan tanah
pada lahan miring hendaknya memperhatikan kaidah pengawetan
tanah agar dihindarkan erosi yang berlebihan.
· Pemasangan acir tanaman pada lahan miring sejajar garis kontour.
· Pembuatan lubang tanaman.

Pembuatan bibit agar diusahakan seaman mungkin dan semurah


mungkin. Apabila pengangkutan tidak hati-hati maka kerusakan bibit
membawa kerugian yang cukup besar. Oleh karena itu jumlah bibit yang
diangkut disesuaikan dengan kemampuan menanam regu tanam. Hal ini
untuk menghindarkan penumpukan bibit di lapangan.

2. Penanaman
Pada saat bibit akan ditanam, kantong plastik dilepas secara hati-hati
supaya media tumbuh tetap utuh. Kemudian bibit dimasukkan ke dalam
lubang yang telah disiapkan. Lubang yang telah berisi bibit ditutup kembali
dengan tanah galian dan dipadatkan di sekitar leher akar. Harus diupayakan
agar bibit tetap tegak. Penanaman bibit dilakukan pada permulaan musim
penghujan, setelah curah hujan cukup merata. Sistem penanaman dapat
dilakukan dengan tumpangsari atau tanpa tumpang sari. Tanaman sela yang
digunakan disesuaikan dengan tempat tumbuhnya.

3. Pemeliharaan
16

Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan maksud agar tanaman


muda mampu tumbuh menjadi tegakan akhir dengan kerapatan dan tingkat
pertumbuhan yang diharapkan. Kegiatan pemeliharaan meliputi :
a) Penyulaman dilakukan apabila dijumpai adanya kematian bibit
setelah satu bulan setelah satu bulan selesai penanaman, segera
dilakukan penyulaman. Penyulaman ini terus dilakukan sampai
jumlah tanaman muda cukup sesuai dengan kerapatan tegakan
yang dipersyaratkan. Penyulaman ini sebaiknya dilaksanakan
pada pertengahan musim penghujan.
b) Penyiangan gulma dan tumbuhan lain yang mengganggu tanaman
muda segera dilakukan, agar bebas dari persaingan untuk
mendapatkan cahaya dan unsur hara dari dalam tanah.
c) Pendangiran hanya dilakukan bilamana kondisi tanah yang padat
atau berdrainase jelek. Dengan catat mendangir di sekitar piringan
dengan berjari-jari 0,5 meter. Dan dilaksanakan bersamaan
waktunya dengan penyiangan.
d) Pemberantasan hama dan penyakit. Tindakan yang paling
menguntungkan dari kegiatan ini adalah mencegah penularan
hama dan penyakit yang menyerang tanaman muda. Cara
pencegahannya antara lain dengan cara fisik atau cara kimiawi.
Namun demikian harus selalu diupayakan agar nilai ambang
ekonominya tidak terlalu membahayakan tanaman.
e) Penjarangan. Dimaksudkan untuk memberi ruang tumbuh yang
lebih baik bagi tegakan selanjutnya, sehingga mutu tegakan dan
volume tegakan menjadi meningkat. Pohon yang tertekan
terserang hama dan penyakit, batang pokok bengkok, menggarpu,
dibuang dalam penjarangan. Saat penjarangan tegakan
tergantung pada kerapatan tegakan, kesuburan tanah dan sifat
pertumbuhan dari pohon. Tepatnya beberapa saat setelah tajuk
saling bersinggungan.
f) Pengendalian api dan kebakaran. Pinus merkusii sangat peka
terhadap api. Sekali terjadi kebakaran, tanaman muda akan
musnah. Hal ini disebabkan pada batang jenis tanaman ini banyak
mengandung getah (damar). Tindakan pencegahan secara dini
dapat dilakukan antara lain :
i. Membuat jalur sekat, jalur hijau secara jelas dan tegas.
ii. Pembentukan satuan tugas pengendali kebakaran dan
mengaktifkan ronda api.
iii. Pembuatan sistem komunikasi yang menjangkau seluruh
areal dan sekitarnya.

Panen Hasil
Pada umur 10 tahun, Pinus merkusii mulai dapat dipungut getahnya.
Penebangan untuk tujuan kayu pertukangan sebaiknya dilakukan apabila
tegakan telah mencapai umur 30 tahun dengan taksiran produksi kayu tebal
17

sebanyak 238 – 322 m3/ha. Sedangkan untuk tujuan kayu pulp dipergunakan
daur 10 – 15 tahun.
Sistem pemungutan hasil yang digunakan dalam pengelolaan HTI
Pinus merkusii adalah Sistem Tebang Habis dengan Permudaan Buatan.

5. Wanatani berbasis tegakan jati

Wanatani atau agroforest adalah suatu bentuk pengelolaan


sumberdaya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau pohon kayu-
kayuan dengan penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek, seperti
tanaman pertanian. Model-model wanatani bervariasi mulai dari wanatani
sederhana berupa kombinasi penanaman sejenis pohon dengan satu-dua
jenis komoditas pertanian, hingga ke wanatani kompleks yang memadukan
pengelolaan banyak spesies pohon dengan aneka jenis tanaman pertanian,
dan bahkan juga dengan ternak atau perikanan. Dalam bentuk yang dikenal
umum, wanatani ini mencakup rupa-rupa kebun campuran, tegalan berpohon,
ladang, lahan bera (belukar), kebun pekarangan, hingga hutan-hutan
tanaman rakyat yang lebih kaya jenis seperti yang dikenal dalam rupa talun di
Jawa Barat, repong di Lampung Barat, parak di Sumatra Barat, tembawang
(tiwmawakng) di Kalimantan Barat, simpung (simpukng) di Kalimantan Timur,
dan lain-lain bentuk di berbagai daerah di Indonesia.
Pada sisi yang lain, pola yang mirip dimanfaatkan dalam membangun
hutan. Pola tumpangsari dalam menanam hutan jati di Jawa, adalah satu
bentuk wanatani sederhana. Dalam tumpangsari, petani pesanggem
dibolehkan memelihara padi ladang, jagung, ketela pohon dan lain-lain di
sela-sela larikan tanaman pokok kehutanan jati yang baru ditanam. Biasanya
pada tahun ketiga atau keempat, setelah tanaman hutannya merimbun dan
menaungi tanah, kontrak tumpangsari ini berakhir.

Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Nama ilmiah
jati adalah Tectona grandis, berukuran besar, berbatang lurus, dapat
tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun besar, yang luruh di musim
kemarau.

Jati dikenal dunia dengan nama teak (bahasa Inggris). Nama ini
berasal dari kata thekku, dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bagian
Kerala di India selatan.

Karakter Tanaman Jati


Pohon besar dengan batang yang bulat lurus, tinggi total mencapai 40
m. Batang bebas cabang (clear bole) dapat mencapai 18-20 m. Pada hutan-
hutan alam yang tidak terkelola ada pula individu jati yang berbatang
bengkok-bengkok. Sementara varian jati blimbing memiliki batang yang
berlekuk atau beralur dalam; dan jati pring (Jawa: bambu) nampak seolah
berbuku-buku seperti bambu. Kulit batang coklat kuning keabu-abuan,
18

terpecah-pecah dangkal dalam alur memanjang batang. Pohon jati (Tectona


grandis sp.) dapat tumbuh meraksasa selama ratusan tahun dengan
ketinggian 40-45 meter dan diameter 1,8-2,4 meter. Namun, pohon jati rata-
rata mencapai ketinggian 9-11 meter, dengan diameter 0,9-1,5 meter. Pohon
jati yang dianggap baik adalah pohon yang bergaris lingkar besar, berbatang
lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu jati terbaik biasanya berasal dari pohon
yang berumur lebih daripada 80 tahun.
Daun umumnya besar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan
tangkai yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon berukuran besar,
sekitar 60-70 cm × 80-100 cm; sedangkan pada pohon tua menyusut menjadi
sekitar 15 × 20 cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di
permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan
mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Ranting yang
muda berpenampang segi empat, dan berbonggol di buku-bukunya.
Bunga majemuk terletak dalam malai besar, 40 cm × 40 cm atau lebih
besar, berisi ratusan kuntum bunga tersusun dalam anak payung menggarpu
dan terletak di ujung ranting; jauh di puncak tajuk pohon. Taju mahkota 6-7
buah, keputih-putihan, 8 mm. Berumah satu. Buah berbentuk bulat agak
gepeng, 0,5 – 2,5 cm, berambut kasar dengan inti tebal, berbiji 2-4, tetapi
umumnya hanya satu yang tumbuh. Buah tersungkup oleh perbesaran
kelopak bunga yang melembung menyerupai balon kecil.

Iklim yang cocok adalah yang memiliki musim kering yang nyata,
namun tidak terlalu panjang, dengan curah hujan antara 1200-3000 mm
pertahun dan dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi sepanjang tahun.
Ketinggian tempat yang optimal adalah antara 0 – 700 m dpl; meski jati bisa
tumbuh hingga 1300 m dpl.
Tegakan jati sering terlihat seperti hutan sejenis, yaitu hutan yang
seakan-akan hanya terdiri dari satu jenis pohon. Ini dapat terjadi di daerah
beriklim muson yang begitu kering, kebakaran lahan mudah terjadi dan
sebagian besar jenis pohon akan mati pada saat itu. Tidak demikian dengan
jati. Pohon jati termasuk spesies pionir yang tahan kebakaran karena kulit
kayunya tebal. Lagipula, buah jati mempunyai kulit tebal dan tempurung yang
keras. Sampai batas-batas tertentu, jika terbakar, lembaga biji jati tidak rusak.
Kerusakan tempurung biji jati justru memudahkan tunas jati untuk keluar pada
saat musim hujan tiba.
Guguran daun lebar dan rerantingan jati yang menutupi tanah
melapuk secara lambat, sehingga menyulitkan tumbuhan lain berkembang.
Guguran itu juga mendapat bahan bakar yang dapat memicu kebakaran —
yang dapat dilalui oleh jati tetapi tidak oleh banyak jenis pohon lain.
Demikianlah, kebakaran hutan yang tidak terlalu besar justru mengakibatkan
proses pemurnian tegakan jati: biji jati terdorong untuk berkecambah, pada
saat jenis-jenis pohon lain mati. Tanah yang sesuai adalah yang agak basa,
dengan pH antara 6-8, sarang (memiliki aerasi yang baik), mengandung
cukup banyak kapur (Ca, calcium) dan fosfor (P). Jati tidak tahan tergenang
air.
Menurut sifat-sifat kayunya, di Jawa orang mengenal beberapa jenis
jati (Mahfudz dkk.,):
19

1. Jati lengo atau jati malam, memiliki kayu yang keras, berat, terasa
halus bila diraba dan seperti mengandung minyak (Jw.: lengo,
minyak; malam, lilin). Berwarna gelap, banyak berbercak dan
bergaris.
2. Jati sungu. Hitam, padat dan berat (Jw.: sungu, tanduk).
3. Jati werut, dengan kayu yang keras dan serat berombak.
4. Jati doreng, berkayu sangat keras dengan warna loreng-loreng
hitam menyala, sangat indah.
5. Jati kembang.
6. Jati kapur, kayunya berwarna keputih-putihan karena mengandung
banyak kapur. Kurang kuat dan kurang awet.

Klasifikasi Ilmiah:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Famili : Lamiaceae
Genus : Tectona
Spesies : Tectona grandis

Penyebaran dan Tempat Tumbuh.


Seluruh Jawa, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tenggara, Nusa
Tenggara Barat, Lampung dan Maluku. klim yang cocok adalah yang memiliki
musim kering yang nyata, namun tidak terlalu panjang, dengan curah hujan
antara 1200-3000 mm pertahun dan dengan intensitas cahaya yang cukup
tinggi sepanjang tahun. Ketinggian tempat yang optimal adalah antara 0 –
700 m dpl; meski jati bisa tumbuh hingga 1300 m dpl.

Habitus
Pohon besar dengan batang yang bulat lurus, tinggi total mencapai 40
m. Batang bebas cabang (clear bole) dapat mencapai 18-20 m. Pada hutan-
hutan alam yang tidak terkelola ada pula individu jati yang berbatang
bengkok-bengkok. Sementara varian jati blimbing memiliki batang yang
berlekuk atau beralur dalam; dan jati pring (Jw., bambu) nampak seolah
berbuku-buku seperti bambu. Kulit batang coklat kuning keabu-abuan,
terpecah-pecah dangkal dalam alur memanjang batang. Pohon jati (Tectona
grandis sp.) dapat tumbuh meraksasa selama ratusan tahun dengan
ketinggian 40-45 meter dan diameter 1,8-2,4 meter. Namun, pohon jati rata-
rata mencapai ketinggian 9-11 meter, dengan diameter 0,9-1,5 meter.
Pohon jati yang dianggap baik adalah pohon yang bergaris lingkar
besar, berbatang lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu jati terbaik biasanya
berasal dari pohon yang berumur lebih daripada 80 tahun.
Daun umumnya besar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan
tangkai yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon berukuran besar,
sekitar 60-70 cm × 80-100 cm; sedangkan pada pohon tua menyusut menjadi
sekitar 15 × 20 cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di
20

permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan


mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Ranting yang
muda berpenampang segi empat, dan berbonggol di buku-bukunya.
Bunga majemuk terletak dalam malai besar, 40 cm × 40 cm atau lebih besar,
berisi ratusan kuntum bunga tersusun dalam anak payung menggarpu dan
terletak di ujung ranting; jauh di puncak tajuk pohon. Taju mahkota 6-7 buah,
keputih-putihan, 8 mm.

Berumah satu.
Buah berbentuk bulat agak gepeng, 0,5 – 2,5 cm, berambut kasar
dengan inti tebal, berbiji 2-4, tetapi umumnya hanya satu yang tumbuh. Buah
tersungkup oleh perbesaran kelopak bunga yang melembung menyerupai
balon kecil.

Budidaya Tanaman
Secara garis besar, pengadaan bibit jati dapat dilakukan melalui dua
cara yaitu secara generatif dan secara vegetatif. Secara generatif,
pengadaan bibit jati dilakukan dengan menggunakan biji. Biji jati yang akan
digunakan dipilih yang masih baru, karena biji jati yang telah disimpan sangat
mudah berkurang daya kecambahnya. Buah jati termasuk jenis buah batu,
memiliki kulit yang keras dan persentase perkecambahan rendah
dibandingkan dengan species lain. Untuk itu perlakuan-perlakuan tertentu
dilaksanakan agar mampu memecah dormansi biji.

Beberapa cara pemecahan dormansi biji yang dapat dilakukan antara


lain :
1. Biji direndam dalam air dingin-dijemur dibawah terik sinar
matahari, diulang 4-5 hari.
2. Biji jati direndam dalam air dingin-air panas bergantian selama 1
minggu.
3. Biji jati pada bagian epikotil, ditipiskan kulit bijinya dengan cara
diamplas, sehingga memudahkan air dan udara masuk kedalam
biji.
4. Biji jati direndam dalam larutan asam sulfat pekat (H2S04) selama
15 menit, kemudian dicuci dengan air dingin setelah itu baru
dikecambahkan pada media pasir.

Pasir yang digunakan dianjurkan untuk disterilkan dengan dijemur


dibawah sinar matahari, digoreng sangrai atau disemprot dengan
”Benlate” agar jamur dan bakteri pengganggu mati. Pasir jangan
dipadatkan agar memudahkan munculnya daun dan batang muda dari
media tabur. Biji disiram secara teratur 2x sehari agar kelembaban
terjaga. Naungan diperlukan agar suhu dan kelembaban terjadi dalam
kondisi yang lama. Naungan dapat berupa plastik, daun kelapa, atau
naungan jenis lainnya.
Benih ditanam dengan bekas tangkainya dibawah. Supaya tidak
hanyut oleh air baik karena hujan atau penyiraman, bijinya ditekan ke
dalam media sedalam 2 cm kemudian ditimbun. Perkecambahan biji
21

jati biasanya bertahap, sehingga perlu menunggu agar benih-benih


tersebut dapat berkecambah secara sempurna.
Media yang digunakan untuk penyapihan adalah campuran antara
pasir : tanah : kompos ( 7:2:1 ). Ukuran polybag yang digunakan
adalah 10 x 15 cm. Pemupukan dilakukan dengan NPK cair (5
gram/liter air ) ketika bibit telah berumur 2 minggu, selanjutnya 2
minggu sekali pemupukan dilakukan hingga bibit berumur 3 bulan dan
siap ditanam di lapangan.
Perbanyakan tanaman jati juga dapat dilakukan secara vegetatif atau
perbanyakan yang dilakukan tanpa benih/biji, dengan mengambil
bagian tanaman seperti daun, batang, tunas dan bagian lainnya.
Pembiakan secara vegetatif untuk jati dapat dilakukan dari cara yang
sederhana seperti stump, puteran hingga grafting dan kultur jaringan.

Hutan Jati

Fungsi ekonomis lain dari hutan jati jawa Jika berkunjung ke hutan-
hutan jati di Jawa, kita akan melihat bahwa kawasan-kawasan itu memiliki
fungsi ekonomis lain di samping menghasilkan kayu jati. Banyak pesanggem
(petani) yang hidup di desa hutan jati memanfaatkan kulit pohon jati sebagai
bahan dinding rumah mereka. Daun jati, yang lebar berbulu dan gugur di
musim kemarau itu, mereka pakai sebagai pembungkus makanan dan
barang. Cabang dan ranting jati menjadi bahan bakar bagi banyak rumah
tangga di desa hutan jati.
Hutan jati terutama menyediakan lahan garapan. Di sela-sela
pepohonan jati, para petani menanam palawija berbanjar-banjar. Dari hutan
jati sendiri, mereka dapat memperoleh penghasilan tambahan berupa madu,
sejumlah sumber makanan berkarbohidrat, dan obat-obatan. Tanaman
pangan yang tumbuh di hutan jati misalnya gadung (Dioscorea hispida) dan
uwi (Dioscorea alata). Bahkan, masyarakat desa hutan jati juga
memanfaatkan iles-iles (Ammorphophallus) pada saat paceklik. Tumbuhan
obat-obatan tradisional seperti kencur (Alpina longa), kunyit (Curcuma
domestica), jahe (Zingiber officinale), dan temu lawak (Curcuma longa)
tumbuh di kawasan hutan ini.
Pohon jati juga menghasilkan bergugus-gugus bunga keputihan yang
merekah tak lama setelah fajar. Masa penyerbukan bunga jati yang terbaik
terjadi di sekitar tengah hati —setiap bunga hidup hanya sepanjang satu hari.
Penyerbukan bunga dilakukan oleh banyak serangga, tetapi terutama oleh
jenis-jenis lebah. Oleh karena itu, penduduk juga sering dapat memanen
madu lebah dari hutan-hutan jati. Masyarakat desa hutan jati di Jawa juga
biasa memelihara ternak seperti kerbau, sapi, dan kambing. Jenis ternak
tersebut memerlukan rumput-rumputan sebagai pakan. Walaupun para petani
kadang akan mudah mendapatkan rerumputan di sawah atau tegal, mereka
lebih banyak memanfaatkan lahan hutan sebagai sumber penghasil makanan
ternak. Dengan melepaskan begitu saja ternak ke dalam hutan, ternak akan
mendapatkan beragam jenis pakan yang diperlukan. Waktu yang tidak
22

dipergunakan oleh keluarga petani untuk mengumpulkan rerumputan dapat


dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya.
Mengingat lahannya yang relatif cukup luas, hutan jati dipandang
memiliki fungsi-fungsi non-ekonomis yang penting. Fungsi-fungsi non-
ekonomis tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fungsi penyangga ekosistem Tajuk pepohonan dalam hutan jati
akan menyerap dan menguraikan zat-zat pencemar (polutan) dan
cahaya yang berlebihan. Tajuk hutan itu pun melakukan proses
fotosintesis yang menyerap karbondioksida dari udara dan
melepaskan kembali oksigen dan uap air ke udara. Semua ini
membantu menjaga kestabilan iklim di dalam dan sekitar hutan.
Hutan jati pun ikut mendukung kesuburan tanah. Ini karena akar
pepohonan dalam hutan jati tumbuh melebar dan mendalam.
Pertumbuhan akar ini akan membantu menggemburkan tanah,
sehingga memudahkan air dan udara masuk ke dalamnya. Tajuk
(mahkota hijau) pepohonan dan tumbuhan bawah dalam hutan jati
akan menghasilkan serasah, yaitu jatuhan ranting, buah, dan
bunga dari tumbuhan yang menutupi permukaan tanah hutan.
Serasah menjadi bahan dasar untuk menghasilkan humus tanah.
Berbagai mikroorganisme hidup berlindung dan berkembang
dalam serasah ini. Uniknya, mikroorganisme itu juga yang akan
memakan dan mengurai serasah menjadi humus tanah. Serasah
pun membantu meredam entakan air hujan sehingga melindungi
tanah dari erosi oleh air.
2. Fungsi biologis Jika hutan jati berbentuk hutan murni —sehingga
lebih seperti ‘kebun’ jati— erosi tanah justru akan lebih besar
terjadi. Tajuk jati rakus cahaya matahari sehingga cabang-
cabangnya tidak semestinya bersentuhan. Perakaran jati juga
tidak tahan bersaing dengan perakaran tanaman lain. Dengan
demikian, serasah tanah cenderung tidak banyak. Tanpa banyak
tutupan tumbuhan pada lantai hutan, lapisan tanah teratas lebih
mudah terbawa oleh aliran air dan tiupan angin.
3. Fungsi sosial Banyak lahan hutan jati di Jawa, baik yang
dikukuhkan sebagai hutan produksi maupun hutan non-produksi,
memberikan layanan sebagai pusat penelitian dan pendidikan,
pusat pemantauan alam, tempat berekreasi dan pariwisata, serta
sumber pengembangan budaya.

Akhir-akhir ini juga telah dilaksanakan program pengelolaan


sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM), dimana masyarakat sekitar
hutan diikut sertakan dalam pengelolaan hutan dengan ketentuan masyarakat
boleh menanam tanaman semusim diantara tanaman hutan sepanjang masih
memungkinkan dan pada pihak lain masyarakat juga berkewajiban
memelihara tanaman pokok hutan. Sedangkan pihak Perhutani mempunyai
kewajiban membina petani tersebut dan mengawasi tanaman pokoknya
(Perhutani, 2004).
Berdasarkan besarnya naungan yang ada, pada pola peremajaan
tanaman hutan atau perkebunan, pengusahaan tanaman tumpangsari
23

terbatas sampai tahun ke tiga atau ke empat. Batasannya sampai naungan


mencapai 50% (Sopandie et al., 2003; 2005), tanaman karet sampai tahun ke
tiga, kelapa sawit dan kelapa dalam sampai tahun ke empat. Khusus untuk
tanaman kelapa dalam setelah umur di atas 25 tahun, mahkota/tajuknya
mengecil lagi dan penetrasi cahaya dapat mencapai diatas 80% (Toha,
2005), sistem tanam tumpangsari dapat diusahakan lagi. Bila peremajaan
tanaman karet dan kelapa sawit, tiap 25 tahun sekali dan tanaman
tumpangsari dapat diusahakan sampai tahun ke empat, maka secara potensi
pengusahaan tanaman tumpangsari dapat mencapai 16% dari luasan lahan
perkebunan yang ada (Toha dan Hasanuddin, 1997). Selain peremajaan
tanaman perkebunan, peremajaan hutan setiap tahunnya mencapai antara
50.000-200.000 ha. Potensi tanaman tumpangsari perkebunan dan hutan
tanaman industri (HTI) muda dapat mencapai lebih dari 2,0 juta ha/tahun
(Toha, 2005).
Sedangkan untuk peremajaan hutan yang dikaitkan dengan program
pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) tanaman tumpangsari dapat
diusahakan 2 sampai 5 tahun tergantung jarak tanamnya. Khusus untuk RPH
Sanca (KPH Indramayu), dimana solum tanahnya dalam, dapat diusahakan
pertanaman hutan jati jenis (klon) unggul yang umur panennya lebih genjah.
Jenis jati lokal umur panennya dapat di atas 40 tahun, sedangkan jati unggul
hanya sekitar 25 tahun dan dapat ditanam lebih jarang. Jarak tanam jati lokal
biasanya (3,0 x 3,0) meter, sedangkan jati unggul jarak tanam antar baris 6
meter dan didalam barisan antara 1-2 meter. Berdasarkan jarak tanam
seperti ini, tanaman tumpangsari bisa diusahakan lebih lama dapat mencapai
6-7 tahun. Bila di hitung dengan masa persiapan panen (1-2 tahun) dan
persiapan tanam 1 tahun, maka usaha tanaman tumpangsari secara total
dapat mencapai 7-9 tahun atau sekitar 25% dari potensi hutan jati yang
diusahakan.
Tanaman pangan sebagai tanaman tumpangsari yang umum
diusahakan petani adalah; padi gogo, kacang-kacangan dan juga sayuran.
Tanaman pangan yang diusahakan sebagai tanaman tumpangsari, sebaiknya
mengacu pada pola tanam berbasis padi gogo, yaitu padi gogo-kedelai-
kacang tunggak/kacang hijau. Padi gogo ditanam pada awal musim hujan,
dikuti oleh kedelai dan terakhir kacang hijau atau kacang tunggak yang lebih
tahan kering. Budidaya padi gogo membutuhkan bulan basah (>200
mm/bulan) secara berurutan minimal 4 bulan, sedangkan untuk tanaman
palawija lainnya minimal 100 mm/bulan (Oldeman, 1975). Untuk efisiensi
tenaga kerja dan mengurangi resiko terjadinya erosi yang berlebihan
sebaiknya menggunakan sistem olah tanah minimal. Pengolahan tanah yang
agak intensif hanya untuk padi gogo dan dilakukan pada akhir musim
kemarau, jadi tanah dalam keadaan kering. Sedangkan untuk pertanaman
kedua dan ketiga (kedelai dan kacang hijau/kacang tunggak) dilakukan
dengan tanpa olah tanah. Untuk menekan pertumbuhan gulma dan menjaga
kelembaban tanah, sisa tanaman sebelumnya dijadikan mulsa. Dengan
demikian permukaan tanah akan terusik secara minimal dan erosi dapat
diminimalkan. Berdasarkan pengalaman (hasil penelitian sebelumnya),
tingkat hasil gabah dapat mencapai antara 2,5-5,5 t/ha GKG, kedelai sekitar
1,0-1,5 t/ha dan kacang hijau sekitar 1,0 t/ha. Bila dihitung dengan nilai setara
24

gabah, penerapan pola tanam intensif dengan olah tanah minimum, hasil
yang mencapai sekitar 10 t/ha/tahun, tidak kalah dengan produktivitas lahan
sawah (Toha et al., 2006).
Beberapa keuntungan dengan adanya usaha tanaman tumpangsari
diantara tanaman pokok hutan yang masih muda adalah: 1) produksi
tanaman pangan meningkat, pendapatan petani meningkat; 2) berfungsi
dalam persiapan lahan dan pemeliharaan tanaman pokok, mengurangi biaya
penyiangan; 3) kesuburan tanah meningkat (residu pupuk tanaman pangan,
penambahan bahan organik tanah/jerami); 4) mengurangi pengembalaan
ternak, pemeliharaan ternak lebih intensif; dan 5) dampak sosial/ekonomi
yang baik bagi masyarakat sekitar hutan, mengurangi penjarahan hutan.
Pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM)
dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan
dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam
pelaksanaannya masyarakat desa sekitar hutan sebagai mitra kerja Perum
Perhutani dapat berperan aktif dalam memelihara kelestarian sumberdaya
hutan. Dalam aspek perencanaan dan pembinaan, Perum Perhutani
mempunyai tanggung jawab penuh dan bersama pemerintah daerah
langsung mengarahkan dan mensosialisasikan kegiatan yang akan
dilakukan bersama masyarakat sekitar hutan. Secara simultan akan
diupayakan sumberdaya hutan tetap lestari, pendapatan Perum Perhutani
meningkat dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan meningkat.

Tumpangsari padi gogo dengan tanaman jati muda dalam system


agroforestry berbasis Tegakan jati (sumber: http://jati-arthamas.com/)
25

Tumpangsari tanaman jati dengan kacang-kacangan (sumber:


http://organicindonesianvanilla.blogspot.com/)

Tumpangsari tanaman jati dengan pisang (sumber:


http://investasipohonjati.blogspot.com/)

Perhutani mengembangkan bibit jati unggul yang berasal dari kebun


benih KBK ( Kebun Bibit Klonal ) di Cepu. Bibit Jati KBK ini merupakan bibit
26

dari jati yang diambil dari hutan perhutani blora hasil seleksi dengan umur
indukan berumur 65 tahun. Jati Blora jenis KBK yang kami tanam dapat di
panen pada umur 6-7 tahun dengan diameter 30-35 cm. Jati tersebut kami
tanam dengan jarak tanam 1x2m (jarak 1m ke arah timur barat sedangkan
2m kearah utara selatan sehingga setiap hektar lahan kebun dapat ditanam
minimal 4000 pohon.

Syarat umum bagi pohon jati untuk tumbuh dan teknik budidaya :
Sangat cocok untuk iklim tropis seperti indonesia, antara lain seluruh
pulau jawa, sebagian pulau sumatra, sulawesi selatan, sulawesi tenggara,
NTB dan maluku dengan syarat umum sbb:
1. Curah hujan 1500-2500mm/tahun.
2. Bulan kering 2-4 bulan.
3. Tinggi lokasi penanaman 10-1000m dari permukaan laut.
4. Intensitas cahaya 75-100%.
5. pH tanah 4-8.
6. Jenis tanah lempung berpasir, hindari tanah becek/rawa dan
cadas.

Teknik budidaya pohon jati dimulai dari persiapan lahan, Pembukaan


lahan kebun dengan membersihkan dari semak-semak, alang-alang dll,
kemudian membuat lubang tanam 40x40x40 cm dan dibiarkan selama kurang
lebih 2 minggu. Lakukan pemupukan pada lubang tanam dengan
memberikan pupuk kandang atau kompos sebanyak 5kg per lubang.
Pemberian kapur atau dolomit apabila tanah masam sebanyak 50-100
g/lubang tanam.
Penanaman: Masukan tanah campuran/kompos ke lubang setinggi
1/3 kedalam lubang sambil disiram, masukan bibit jati KBK yang telah
disobek polibag nya ke dalam lubang lalu timbun lubang hingga penuh, siram
tanaman sambil memadatkan lubang tanam.
Pemeliharaan: Pembersihan rumput/gulma disekitar tanaman penting
untuk dilakukan, jaga jangan sampai ada genangan air disekitar pohon,
purning atau pemangkasan cabang-cabang harus rutin dilakukan sampai
minimal ketinggian 6 m, potong cabang 1-2 cm dari pangkal. semprot
insektisida bila perlu untuk membunuh hama dan penyakit.
Pemupukan: Taburkan pupuk urea atau npk sekitar tanamam sesuai
petunjuk. perhatikan cara pemupukan dan periode pemupukan karena tahun
pertama pohon jati tumbuh adalah masa kritis yang menentukan untuk
tumbuh selanjutnya.
27

Tumpangsari tegakan jati dengan tanaman ubi-ubian Iles-iles.

6. Wanatani bebasis mahoni

Mahoni termasuk pohon besar dengan tinggi pohon mencapai 35-40


m dan diameter mencapai 125 cm. Batang lurus berbentuk silindris dan tidak
berbanir. Kulit luar berwarna cokelat kehitaman, beralur dangkal seperti sisik,
sedangkan kulit batang berwarna abu-abu dan halus ketika masih muda,
berubah menjadi cokelat tua, beralur dan mengelupas setelah tua. Mahoni
baru berbunga setelah berumur 7 tahun, mahkota bunganya silindris, kuning
kecoklatan, benang sari melekat pada mahkota, kepala sari putih, kuning
kecoklatan. Buahnya buah kotak, bulat telur, berlekuk lima, warnanya cokelat.
Biji pipih, warnanya hitam atau cokelat. Mahoni dapat ditemukan tumbuh liar
di hutan jati dan tempat-ternpat lain yang dekat dengan pantai, atau ditanam
di tepi jalan sebagai pohon pelindung. Tanaman yang asalnya dari Hindia
Barat ini, dapat tumbuh subur bila tumbuh di pasir payau dekat dengan
pantai.
Pohon mahoni bisa mengurangi polusi udara sekitar 47% - 69%
sehingga disebut sebagai pohon pelindung sekaligus filter udara dan daerah
tangkapan air. Daun-daunnya bertugas menyerap polutan-polutan di
sekitarnya. Sebaliknya, dedaunan itu akan melepaskan oksigen (O2) yang
membuat udara di sekitarnya menjadi segar. Ketika hujan turun, tanah dan
akar-akar pepohonan itu akan mengikat air yang jatuh, sehingga menjadi
cadangan air.[7]Buah mahoni memiliki zat bernama flavonolds dan saponins.
Flavonolds sendiri dikenal berguna untuk melancarkan peredaran darah
sehingga para penderita penyakit yang menyebabkan tersumbatnya aliran
darah disarankan memakai buah ini sebagai obat. Khasiat flavonolds ini juga
bisa untuk mengurangi kolesterol, penimbunan lemak pada saluran darah,
mengurangi rasa sakit, pendarahan dan lebam, serta bertindak sebagai
antioksidan untuk menyingkirkan radikal bebas. Sementara itu, saponins
28

memiliki khasiat sebagai pencegah penyakit sampar, bisa juga untuk


mengurangi lemak di badan, membantu meningkatkan sistem kekebalan,
mencegah pembekuan darah, serta menguatkan fungsi hati dan
memperlambat proses pembekuan darah.
Dalam UU No.41/1999, hutan rakyat dimaksudkan sebagai hutan
yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Hutan rakyat telah
lama dikenal dan memberikan manfaat ganda kepada masyarakat
luas, yaitu berupa manfaat jasa lingkungan, seperti pencegahan erosi
dan banjir, meningkatkan kesuburan tanah, dan disamping itu juga
dapat memberikan manfaat sosial ekonomi seperti dalam
menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan
masyarakat melalui perdagangan kayu.

Pengembangan agroforestry didorong perubahan paradigma baru


pengelolaan hutan yang lebih mempertimbangkan basis sumberdaya alam
(natural resources management). Pengembangan ini bertujuan untuk
mensejahterakan masyarakat yang hidup di sekitar hutan, memperbaiki
kualitas lahan hutan, meningkatkan kesadaran tentang pentingnya
pengetahuan lokal petani dan kepedulian global akan kelestarian alam.
Pengelolaan lahan yang baik dan berguna bila berdasarkan pemahaman
yang tepat atas ekologi, lingkungan manajerial dan ekonomi dari pengelolaan
lahan tersebut. Rengelolaan ini sering menjadi pertimbangan bagi petani
dalam pengembangan dan pengelolaan lahan ke arah peningkatan
produktifitas yang tinggi.
Praktek agroforestry dilakukan masyarakat mengalami perubahan ke
arah lebih baik pada tiap tahap atau fase rotasi pertanaman. Petani
melakukan penerapan silvikultur secara praktis dan menimbulkan inovasi
tertentu yang merupakan hasil pembelajaran “alam”. Pada dasarnya petani
adalah pengelola lahan yang komprehensif yang mampu mengintegrasikan
informasi yang disampaikan oleh aktor-aktor sektoral.
Pengelolaan lahan di suatu daerah biasanya mempunyai variasi pada
pola ataupun kombinasi komponen penyusun sistem agroforestry. Hal ini
disebabkan pertimbangan petani dalam pengembangan lahan yang
dipengaruhi aspek pasar. Pola tanam alley cropping (salah satu pola
agroforestry yang berkembang di lokasi penelitian) bukan hanya dijadikan
unit produksi untuk memenuhi kebutuhan petani saja, tetapi juga difungsikan
untuk konservasi tanah dan air. Mahoni merupakan salah satu komponen
penyusun pola alley cropping yang banyak dikembangkan oleh masyarakat di
berbagai daerah. Petani memilih mahoni atas dasar prospek pasar dan
karakter yang berbeda dari jenis lainnya terutama pada sisi dinamika
tegakannya dalam merespon tujuan ganda (beban ganda) yang menjadi
bebannya. Sejalan dengan waktu, tegakan mahoni memiliki dinamika yang
khas yang berbeda dibanding jenis lainnya sebagai respon pada pola alley
cropping dan juga variasi pola agroforestry lainnya. Dinamika komponen
penyusun dalam pola alley cropping penting untuk dikaji karena akan
berpengaruh terhadap rejim dan resep silvikultur yang mendukung
keberhasilan agroforestry.
29

Pola pertanaman alley cropping merupakan pertanaman barisan


pohon mahoni mengikuti kontur dan lorong di antara baris tersebut adalah
areal yang difungsikan untuk tanaman pertanian. Pola tanam alley cropping
ini dalam perkembangannya sangat dinamis, dengan faktor penentu
komponen penyusun di dalamnya kerapatan tegakan dan lebar alley cropping
yang terbentuk. Komponen penyusun yang potensial dan banyak dipilih
petani yaitu mahoni, sono keling dan akasia. Mahoni merupakan jenis yang
paling dominan, hal ini dikarenakan secara ekonomi tersedia pasarnya dan
secara ekologi memiliki perakaran yang baik sebagai penahan longsor dan
juga berperan sebagai sumber hijauan makanan ternak.
Lebar alley cropping sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan
tanaman pertanian yang diusahakan. Hal ini dikarenakan pengaruh
perkembangan dinamis konfigurasi tajuk mahoni dalam proses berbagi
sumberdaya (ruang tumbuh) dengan tanaman pertanian. Informasi lebar
lorong dalam pola alley cropping sangat beragam.. Ruang (lorong) inilah yang
digunakan untuk mengusahakan tanaman pertanian. Penutupan tajuk mahoni
ke arah lorong menjadi penyebab area tanaman pertanian semakin
berkurang dan pengurangan tingkat kepadatan pohon melalui tindakan
penjarangan dan pruning menjadikan lorong lebih efektif lagi. Faktor lain yang
berpengaruh terhadap dinamisasi lorong adalah kerapatan tegakan mahoni.
Kerapatan tegakan ini akan berpengaruh terhadap kepadatan tajuk (crown
density) dalam suatu area. Kepadatan tajuk mahoni berhubungan dengan
daya tangkap cahaya bagi tanaman bawah yaitu tanaman pertanian.
Kerapatan tegakan mahoni pada pola tanam alley cropping dinyatakan dalam
jarak tanam dan densitas dalam baris. Jarak tanam dalam baris pada pola
tanam alley cropping mempunyai kisaran 1.0-1.5 m. Densitas/kerapatan
tegakan mahoni dalam baris alley cropping dalam tiap 10 meter panjang
lorong, terdapat rata-rata 8-10 pohon.
Kerapatan tegakan mahoni dalam pola tanam alley cropping
menyebabkan tingginya kepadatan tajuk mahoni sehingga terjadi kompetisi
antara komponen tanaman pertanian dengan pohon penyusun pola ini.
Lorong yang padat dengan tajuk pada stratum atas berarti pengurangan areal
pertanian, perkembangan lanjut dari kondisi ini adalah bertemunya tajuk baris
satu dengan baris yang lainnya sehingga ruang temu untuk tanaman
pertanian tertutup seluruhnya.
Pemeliharaan merupakan salah satu tindakan silvikultur untuk
memperbaiki kualitas pertanaman yang diusahakan secara kontinyu. Menurut
petani Nglanggeran, tindakan pemeliharaan tegakan yang sering dilakukan
adalah perencekan (pruning). Kegiatan pruning dilakukan untuk mendapatkan
hasil kualitas batang yang baik selain itu keuntungan lainnya adalah cabang
atau ranting dapat digunakan sebagai kayu bakar dan bahan arang serta
daunnya untuk hijauan makanan ternak. Kegiatan pruning ini dilakukan pada
tegakan mahoni berumur muda, jarang sekali petani melakukan kegiatan ini
pada tegakan mahoni berumur tua. Kegiatan pruning yang jarang dilakukan
pada tegakan mahoni berumur tua menjadikan lorong lebih cepat tertutup
tajuk. Kondisi ini menjadikan lorong tidak efektif untuk bercocok tanam
semusim. Hal ini seiring dengan pendapat Jones et al. (1998) yang
mengatakan bahwa salah satu praktek pengelolaan pohon yang dapat
30

mengurangi kompetisi antara pohon dan tanaman pertanian asosiasinya


adalah pengurangan tajuk (pruning). Dengan demikian kegiatan pruning yang
dilakukan petani memegang peran penting dalam dinamisasi alley cropping.

Konfigurasi Tajuk Mahoni


Agroforestry memperkenalkan manajemen lahan berdasarkan
pembagian struktur vertikal maupun horisontal dalam penguasaan tajuk yang
merata. Hal ini difungsikan untuk memperkecil kompetisi pada ruang tertentu
sehingga terjadi imbangan dalam sistem berbagi sumberdaya antar
komponen penyusun. Dinamika tajuk mahoni dalam proses berbagi
sumberdaya dengan komponen yang lain dapat dihubungkan dengan sifat
dasar konfigurasi tajuknya. Mahoni mempunyai sifat dasar kerapatan
tajuknya tinggi (crown density) dan transparansi daun-daunan (foliage
tranparancy) yang rendah karena sifat dari daun mahoni tebal dan banyak
jumlahnya dalam setiap pohonnya.
Pola tanam alley cropping cenderung membentuk tajuk yang kurang
berimbang karena susunan struktur horisontal komponen alley cropping yang
tidak merata. Susunan tersebut menjadikan kompetisi tajuk ke arah baris
lebih tinggi dibandingkan dengan kompetisi ke arah lorong atau daerah
pertanian.Tajuk yang tidak berimbang ini masih dalam batas proporsi yang
sifatnya dinamis, sehingga rasio antara perkembangan tajuk ke arah baris
dan daerah pertanian relatif rendah. Respon tajuk mahoni terhadap pola
tanam alley cropping (daerah tumbuh) menghasilkan suatu konfigurasi yang
proporsif dan dinamis.
31

Estimasi Dinamika Lebar Tajuk Mahoni Arah Baris dengan Arah


Lorong pada Pola Tanam Alley Cropping mengikuti Kurva Sigmoid
Chapman. (Sabarnurdin, Priyono dan Aryono, 2004).

Perkembangan Mahoni dalam Pola Tanam Alley Cropping


Pengaturan kerapatan tegakan merupakan strategi dalam
mendapatkan produktifitas hasil yang tinggi sebagai usaha dalam
memanipulasi lahan agar setiap individu mempunyai tempat tumbuh yang
optimal. Variasi kerapatan tegakan yang besar dapat menjadi variabel yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan tegakan pada suatu sistem pertanaman.
Tegakan mahoni mempunyai kisaran jarak tanam dalam baris pada alley
cropping sebesar 1.0-1.5 m. Ruang tumbuh ke arah lorong tidak sebanding
dengan ruang tumbuh ke arah baris. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan tegakan mahoni.

Estimasi Pertumbuhan dan Perkembangan Tinggi Mahoni pada Pola


Tanam Alley Cropping dalam Waktu 10 Tahun ((Sabarnurdin, Priyono dan
Aryono, 2004).
32

Agroforestry mahoni dengan rumput pakan ternak (sumber:


http://achmadrivainoor.files.wordpress.com/)

Agroforestry mahoni dengan tanaman bawahnya ubi garut dan ganyong (sumber:
http://www.flickr.com/photos/68632374@N00/3389803665)
33

All seedlings are prepared within the plantation to ensure high quality planting stock.
Other agroforestry operations involve land preparation, fertilizing, watering, weed
control, and mulching. Ongoing maintenance and development include pruning, fire
protection and prevention, and administrative management. (sumber:
http://sites.google.com/site/marsseplantations/the-plantation)

Mahoni ditanam sebagai tanaman pagar di tepian bidang lahan menuruni lereng
(sumber: http://pcarrd.dost.gov.ph/cin/AFIN/)
34

pengaturan pola pertanaman dalam sistem pumpangsari mahoni


(sumber: http://www.google.co.id/imglanding?q=agroforest)

7. Wanatani bebasis sengon

SENGON (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)


Nama botanis: (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen), syn. Albizia
falcata Backer, famili Mimosaceae. Nama daerah :Albizia, bae, bai, jeungjing,
jeungjing laut, jing laut, rare, salawaku, salawaku merah, salawaku putih,
salawoku, sekat, sengon laut, sengon sabrang, sika, sika bot, sikas, tawa
sela, wai, wahagom, wiekkie.Nama lain : Batai (Malaysia Barat, Sabah,
Philipina, Inggris, Amerika Serikat, Perancis, Spanyol, Italia, Belanda,
Jerman); kayu machis (Sarawak); puah (Brunei).
Penyebaran : Seluruh Jawa, Maluku, Irian Jaya. Ciri umum : Kayu
teras berwarna hampir putih atau coklat muda pucat (seperti daging) warna
kayu gubal umumnya tidak berbeda dengan kayu teras. Teksturnya agak
kasar dan merata dengan arah serat lurus, bergelombang lebar atau
berpadu. Permukaan kayu agak licin atau licin dan agak mengkilap. Kayu
yang masih segar berbau petai, tetapi bau tersebut lambat laun hilang jika
kayunya menjadi kering.
Sifat kayu : Kayu sengon termasuk kelas awet IV/V dan kelas IV-V
dengan berat jenis 0,33 (0,24-0,49). Kayunya lunak dan mempunyai nilai
penyusutan dalam arah radial dan tangensial berturut-turut 2,5 persen dan
5,2 persen (basah sampai kering tanur). Kayunya mudah digergaji, tetapi
tidak semudah kayu meranti merah dan dapat dikeringkan dengan cepat
tanpa cacat yang berarti. Cacat pengeringan yang lazim adalah kayunya
melengkung atau memilin. (Martawijaya dan Kartasujana, 1977).
35

Sengon (latin: Paraserianthes Falcataria), pohon penghasil kayu yg


paling banyak ditanam. Karena pertumbuhannya cepat, sehingga masa
tunggu panen cukup singkat (5 s/d 6 tahun). Bandingkan dengan masa
tebang jati Tectona grandis yang mencapai 25-35 tahun. Bagian terpenting
yang mempunyai nilai ekonomi pada tanaman sengon adalah kayunya.
Pohonnya dapat mencapai tinggi sekitar 30–45 meter dengan diameter
batang sekitar 70 – 80 cm. Bentuk batang sengon bulat dan tidak berbanir.
Kulit luarnya berwarna putih atau kelabu, tidak beralur dan tidak mengelupas.
Berat jenis kayu rata-rata 0,33 dan termasuk kelas awet IV – V. Kayu sengon
digunakan untuk tiang bangunan rumah, papan peti kemas, peti kas,
perabotan rumah tangga, pagar, tangkai dan kotak korek api, pulp, kertas dan
lain-lainnya. Tajuk tanaman sengon berbentuk menyerupai payung dengan
rimbun daun yang tidak terlalu lebat. Daun sengon tersusun majemuk
menyirip ganda dengan anak daunnya kecil-kecil dan mudah rontok. Warna
daun sengon hijau pupus, berfungsi untuk memasak makanan dan sekaligus
sebagai penyerap nitrogen dan karbon dioksida dari udara bebas.
Sengon memiliki akar tunggang yang cukup kuat menembus kedalam
tanah, akar rambutnya tidak terlalu besar, tidak rimbun dan tidak menonjol
kepermukaan tanah. Akar rambutnya berfungsi untuk menyimpan zat
nitrogen, oleh karena itu tanah disekitar pohon sengon menjadi subur.
Tanaman sengon membutuhkan kelembaban sekitar 50%-75%. Dengan sifat-
sifat kelebihan yang dimiliki sengon, maka banyak pohon sengon ditanam
ditepi kawasan yang mudah terkena erosi dan menjadi salah satu kebijakan
pemerintah melalui DEPHUTBUN untuk menggalakan ‘Sengonisasi’ di sekitar
daerah aliran sungai (DAS) di Jawa, Bali dan Sumatra.
Bunga tanaman sengon tersusun dalam bentuk malai berukuran
sekitar 0,5 – 1 cm, berwarna putih kekuning-kuningan dan sedikit berbulu.
Setiap kuntum bunga mekar terdiri dari bunga jantan dan bunga betina,
dengan cara penyerbukan yang dibantu oleh angin atau serangga. Buah
sengon berbentuk polong, pipih, tipis, dan panjangnya sekitar 6 – 12 cm.
Setiap polong buah berisi 15 – 30 biji. Bentuk biji mirip perisai kecil dan jika
sudah tua biji akan berwarna coklat kehitaman,agak keras, dan berlilin.

Kenapa Sengon ?

 Kerusakan hutan alam sangat parah


 Kebutuhan kayu sangat tinggi dan taktergantikan,
 Pengelolaan budidaya sengon mudah, kesesuaian tumbuh tak sulit,
kayunya serbaguna, dan memperbaiki kualitas serta kesuburan
tanah
 Budidaya sengon itu mudah, risikonya tak terlalu besar, dan
pasarnya ada
 Departemen Kehutanan meluncurkan program sengonisasi pada
1989. Tujuannya untuk menyelamatkan dan melestarikan hutan
serta lahan.
 Kadar selulosa yang tinggi dan berserat panjang menyebabkan
sengon bagus sebagai bahan baku kertas.
36

 Pengelolaan budidaya sengon mudah, kesesuaian tumbuh tak sulit,


kayunya serbaguna, dan memperbaiki kualitas serta kesuburan
tanah
 Tanaman sengon tidak memerlukan kondisi lingkungan dan tanah
yang spesifik Kondisi lingkungan dan tanah di Jawa, Kalimantan
dan Sumatera yang kebanyakan jenisnya ultisol (podzolik merah
kuning) pada umumnya sangat cocok untuk pengusahaan sengon.
 Harga kayu tidak pernah turun, bahkan akan semakin mahal

Jenis-jenisSengon

Sengon Laut/Sengon Putih


 Rentan pernyakit kanker batang dan penggerek pucuk daun
 Tidak bercabang sepanjang minimal 9 meter. Dan warna kulitnya
putih

Sengon Merah
Biji sengon merah dan biji sengon putih/laut serupa. hanya saja biji
sengon merah lebih bulat dan ujung nya lebih tumpul.

Sengon Butho
Bijinya besar-besar. seperti biji bunga matahari ( kuwaci ), namun
lebih besar sedikit.
1. Banyak cabang.
2. Tekstur kayu yang melintir menyebabkan sulit diolah dan
membuat kayu/papan berserabut.
3. Tidak tahan disimpan lama karena mudah rusak karena serangga
( bubukan. jawa)
4. Akar sengon butho menyerap air sangat banyak. sehingga
merusak ekologi lingkungan.
Sengon Solomon
 Adalah pengembangan bibit sengon generasi ke 3, asal kanada (
sengon solomon )
 Menanam sengon laut biasa dg Solomon biasayanya sama. tetapi
solomon memberi hasil 2x lipat.
 Ukuran tanaman sengon jenis solomon ini lebih besar dan
batangnya lebih tinggi ketimbang sengon laut atau sengon unggul
bersertifikat.Pada usia lima tahun, lingkar batang sengon laut
hanya sekitar 25 cm, dan lingkar batang jenis sengon unggul
bersertifikat mencapai 28 cm. Bandingkan dengan lingkar batang
sengon solomon yang bisa mencapai 35 cm untuk usia yang
sama.Selain itu, tinggi batang sengon solomon bisa mencapai 23
meter pada usia lima tahun. Sementara untuk usia serupa, tinggi
sengon lokal hanya sekitar 15 meter.

Tentu saja, pertumbuhan itu bisa dicapai kalau sengon solomon


ditanam di tempat yang cocok. Sebagaimana tanaman sengon lainnya,
sengon solomon bisa tumbuh subur di daerah bercurah hujan tinggi.
37

Pertumbuhan sengon solomon tidak terlalu bagus kalau ditanam di daerah


berangin kencang.
Sengon ini tentunya memiliki banyak keunggulan dibandingkan
dengan sengon laut. Beberapa keunggulan sengon solomon adalah sbb :
1. Batang lurus keatas dengan cabang yang sangat kecil, seperti
layaknya pohon bambu. Tanpa adanya pemangkasan.
2. Memiliki potensi profit yang lebih mengutungkan dibandingkan
dengan sengon biasa.
3. Ketersediaan bibit sangat terbatas (pemesanan minimal dilakukan
3 bulan sebelum tanam atau saat cleaning lahan dimulai).
4. Pertumbuhan cepat antara 5 s/d 6 tahun dapat dipanen.
5. Hasil panen maksimal.
6. Ukuran tinggi bisa mencapai 40meter maximum.
7. Tahan terhadap penyakit karena sudah mengalami proses sewaktu
masih menjadi biji.

Estimasi perhitungan sengon laut dan sengon solomon (sumber :


http://albasia-investama.blogspot.com/2009/07/bisnis-menanam-
sengon-solomon-kultur.html)

Analisis ekonomi bisnis: (pada umur 5 th per hektar luas lahan)

1. Sengon lokal diameter rata-2 : 24cm

Biaya bibit 1150 x Rp. 900 = Rp. 1.035.000


Biaya pemeliharaan 1150 x Rp. 10.000 = Rp. 11.500.000
Jumlah Pengeluaran = Rp. 12.535.000

Pemasukan :
Penjarangan tahun ke 1 = 25% x 1150 =287.5 x harga jual Rp.
15000= Rp. 1.725.000
Penjarangan tahun ke 2 = 15% x 1150 = 172.5 x harga jual Rp.
40.000= Rp. 6.900.000
Hasil tebang tahun ke 5 = 60% x 1150 = 690 x harga jual Rp.
250.000= RP. 172.500.000
Jumlah pemasukan = Rp. 190.612.500

2. Sengon Solomon kultur jaringan


Biaya bibit (asumsi) 1150 x Rp. 3500 = Rp. 4.025.000
Biaya pemeliharaan 1150 x Rp. 10.000 = Rp. 11.500.000
Jumlah pengeluaran = Rp. 15.525.000

Pemasukan :
Penjarangan tahun ke 1 = 10% x 1150 x harga jual Rp. 15000 = Rp.
1.725.000
38

Penjarangan tahun ke 2 = 5% x 1150 x harga jual Rp. 40.000= Rp.


862.500
Hasil tebang tahun ke 5 = 85% x 1150 x harga jual Rp. 400.000 = Rp.
391.000.000
Jumlah Pemasukan = Rp. 393.587.500

Agroforestry sengon dengan tanaman-bawah umbi-umbian (sumber:


http://1.bp.blogspot.com)
39

Wanatani sengon (sumber:


http://kecamatantapos.blogspot.com/2010/07/penghijauan-yang-
memberdayakan.html)

Agroforestry sengon untuk memproduksi kayu (sumber:


http://219.83.122.106/fckfiles/)
40

Tumpangsari sengon dan nanas (sumber:


http://www.unit2.perumperhutani.com/)

Budidaya sengon dengan sistem tumpangsari


Budidaya tanaman katu-kayuan khususnya di Pulau Jawa mengalami
berbagai kendala. Ketersediaan lahan yang terbatas merupakan salah satu
kendala utama. Lahan yang tersedia lebih intensif digunakan sebagai lahan
pertanian dibandingkan sebagai lahan hutan rakyat. Pertanian merupakan hal
yang tidak bisa ditinggalkan bagi sebagian masyarakat di Pulau Jawa karena
merupakan mata pencaharian utama. Agar bisa membudidayakan tanaman
kayu-kayuan maka perlu dilakukan metode penanaman dengan sistem
tumpang sari yang dapat menggabungkan antara tanaman pertanian dan
tanaman kayu-kayuan pada suatu lahan secara bersamaan. Pemilihan jenis
atau spesies yang akan ditanam pada sistem tumpang sari sangat
menentukan keberhasilan dari sistem tumpang sari tersebut. Pohon Sengon
(Paraserientes falcataria) merupakan jenis tanamam kehutanan yang sudah
dikenal di masyarakat dan memiliki kecepatan tumbuh sangat tinggi dan daur
yang pendek (6 – 8 tahun).
Sengon dapat tumbuh optimal di ketinggian 400 -700 mdpl sehingga
sangat cocok dibudidayakan di daratan tinggi. Sengon juga memiliki tipe daun
yang kecil-kecil dan tajuk yang tidak rapat sehingga tanaman bawah masih
cukup terkena sinar matahari. Karena sifat-sifat yang dimiliki sengon tersebut,
maka sengon cocok sebagai tanaman pokok dalam sistem tumpang sari.
Jenis tanaman sela yang cocok di tanam di antaranya jagung, umbi-umbian,
ketela pohong, rumput gajah, dan berbagai jenis empon-empon.
41

8. Wanatani berbasis Akasia

Akasia merupakan genus dari semak-semak dan pohon yang


termasuk dalam subfamili Mimosoideae dari famili Fabaceae, pertama kali
diidentifikasi di Afrika oleh ahli botani Swedia Carl Linnaeus tahun 1773.
Banyak spesies Akasia non-Australia yang cenderung berduri, sedangkan
mayoritas Akasia Australia tidak. Akasia adalah tumbuhan polong, dengan
getah dan daunnya biasanya mempunyai bantalan tannin dalam jumlah
besar. Nama umum ini berasal dari ακακία (akakia), nama yang diberikan
oleh dokter-ahli botani Yunani awal Pedanius Dioscorides (sekitar 40-90
Masehi) untuk pohon obat A. nilotica dalam bukunya Materia Medica. Nama
ini berasal dari kata bahasa Yunani karena karakteristik tanaman Akasia yang
berduri, ακις (akis, "duri"). Nama spesies nilotica diberikan oleh Linnaeus dari
jajaran pohon Akasia yang paling terkenal di sepanjang sungai Nil.

Acacia mangium Willd.


Family: Fabaceae (bean family);
Subfamily: Mimosoideae
Common Name: black wattle, brown salwood, hickory wattle, mangium, sabah
salwood, Akasia, Coast Myall, Mountain Brigalow, Sally Wattle

Kebun bibit Acacia mangium (Sumber: http://ifgtb.icfre.gov.in/)


42

Hutan Tanaman Acacia mangium (sumber:


http://www.panoramio.com/photo/8177925)

a. Klasifikasi Ilmiah:

Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae (Mimosoideae)
Genus : Acacia
Spesies : Acacia mangium

b. Nama Daerah: Mangium

c. Penyebaran dan Tempat Tumbuh


Menyebar alami di Queensland utara Australia , Papua New Guinea hingga
propinsi Papua dan Maluku. Cepat tumbuh, pohon berumur pendek (30-50
tahun), beradaptasi terhadap tanam asam (pH 4.5-6.5) di dataran rendah
tropis yang le mbab. Tidak toleran terhadap musim dingin dan naungan.
Tumbuh baik pada tanah subur yang baik drainasenya tetapi tahan terhadap
tanah yang tidak subur dan jelek drainasenya. Pohon muda mudah terbakar.
Dapat menjadi gulma pada kondisi tertentu

d. Habitus
Pohon selalu hijau, tinggi hingga 30 m. Bebas ca- bang dapat lebih dari
setengah tinggi pohon; kadang-kadang silindris pada batang bawah dan
diameter jarang lebih dari 50 cm. Kulit kasar dan beralur, berwarna abu-abu
atau coklat. Ranting kecil seperti sayap. Daun besar, panjangnya men- capai
25 cm, lebar 3-10 cm, hijau gelap dengan empat urat longitudinal (tiga pada
A. auriculifor- mis); daun majemuk ketika bibit. Bunga berganda, putih atau
43

kekuningan, dalam rangkaian yang panjangnya 10 cm, tunggal atau


berpasangan di sudut daun pucuk.

Acacia mangium di Central Vietnam ditanam dari biji unggul , umur 2 tahun, tanpa
pemangkasan tajuk (sumber: http://tiwiislands.files.wordpress.com/2008/ )

e. Kegunaan
Penanaman di Asia terutama untuk pulp dan kertas. Pemanfaatan lain
meliputi kayu bakar, kayu konstruksi dan mebel, kayu tiang, pengendali erosi,
naungan dan perlindungan. Nilai lebih lain adalah kemampuan untuk ber-
saingi dengan alang-alang (Imperata cylindrica).

f. Diskripsi buah dan benih


Buah: polong kering merekah yang melingkar ketika masak, agak
keras, panjang 7-8 cm, lebar 3-5 mm. Benih: hitam mengkilat, lonjong, 3-5 x
2-3 mm, dengan ari (funicle ) kuning cerah atau oranye yang terkait di benih.
Terdapat 66,000-120,000 benih/kg.

g. Pembungaan dan pembuahan


Musim berbunga berbeda menurut sebaran alami dan lokasi tanam.
Di Australia berbunga Pebruari- Mei, dan benih masak bulan Oktober-
Desember. Di Indonesia buah masak bulan Juli, di Papua New Guinea pada
akhir September. Sebagai pohon eksotik, siklus pembungaan tidak teratur
dan pembungaan ini dapat sepanjang tahun; tetapi, puncak pembungaan
terlihat jelas. Puncak tersebut dilaporkan terjadi bulan Juli di Semenanjung
Malaysia, Januari di Sabah, Okto- ber – Nopember di Taiwan dan September
di Thailand. Di Tanzania buah masak di panen bulan Juni-Juli. Berbunga
setelah sebelum daun mekar dan benih dapat dipanen 24 bulan setelah
penanaman. Jenis ini umumnya kawin silang; dan diserbuki oleh serangga.
44

h. Penen buah
Diunduh dari pohon atau dikumpulkan di tanah.

i. Penanganan dan pemrosesan buah dan benih


Polong hendaknya diproses sedini mungkin setelah panen. Polong
dan benih hendaknya tidak terlalu lama dijemur, suhu lebih dari 43°C dapat
mengurangi viabilitas. Ekstraksi dengan pengirikan dan penampian seperti
yang dijelaskan oleh Doran et al. (1983) yang cocok untuk jenis ini. Ari dapat
dibuang dengan menggosok benih di atas ayakan.

j. Penyimpanan dan viabilitas


Benih berwatak ortodoks dan dapat dipertahankan viabilitasnya
beberapa tahun dalam wadah kedap di ruang gelap yang sejuk. Kadar air
selama peny- impanan disarankan 5-7%.

k. Dormansi dan perlakuan pendahuluan


Benih masak dicelup dalam air yang sedang men- didih selama 30
detik kemudian direndam dalam air dingin selama 24 jam; sebagai alternatif
benih dapat diskarifikasi. Daya kecambah tinggi (75-90%) setelah mendapat
perlakuan yang tepat.

l. Penaburan dan perkecambahan


Benih dapat ditabur di bedeng tabur, kotak ke- cambah (metoda
kertas lembab) atau langsung di kantung plastik. Awang and Taylor (1994)
menyajikan secara lengkap teknik persemaian. Pembiakan vegetatif dengan
stek dan kultur jarin- gan sangat penting untuk jenis ini.
45

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. dan Irawan, 2004. Alih guna dan aspek lingkungan lahan sawah.
Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. (Agus et.al Eds). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan
Penelitian dan Pengembnagan Pertanian, Departemen Pertanian. Hal
305- 328.
Altona, T. 1922. Teak and Hindoos. Origin of teak in Bodjonegoro (Java).
Tectona, 15: 457-507.
Awang, K. dan D. Taylor . 1993. Acacia mangium: growing and utilisation.
MPTS Monograph Series No. 3. Jointly published with the FAO
Forestry Research Support Programme for Asia and the Pacific
(FORSPA) and Forest Tree Improvement Project (FORTIP). 280 pp.
Bratamiharja, M. 1996. Perhutanan Sosial di Pulau Jawa. Buletin Bina
Swadaya, Badan Pengembangan Swadaya Masyarakat. No. 9 (IV) :
14-19.
Budidarsono S., B. Arifatmi, H. de Foresta and T.P. Tomich. 2000. Damar
Agroforest Establishment and Sources of Livelihood: A Profitability
Assessment of Damar Agroforest System in Krui, Lampung,
Indonesia. International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF),
Bogor, Indonesia.
Dah, U. Saw Eh dan U. Shwe Baw. 2000. “Regional Teak Marketing and
Trade”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third
Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4,
2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan
TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
De Datta, S.K. 1975. Upland Rice Around the World: Major Research in
Uplad Rice. The International Rice Research Institute, Los Banos,
Philippines. p: 1-11.
de Foresta, H. dan G. Michon. 1994. Agroforestry in Sumatra – Where
ecology meets economy. Agroforestry Today 6-4: 12-13.
de Foresta, H. dan G. Michon. 1995. Beberapa Aspek Ekologi dan Ekonomi
Kebun Damar Di Daerah Krui, Lampung Barat’ paper presented in a
seminar of Kebun Damar Di Krui, Lampung Sebagai Model Hutan
Rakyat. Bandar Lampung, 6 Juni 1995. ICRAF. Bogor.
de Foresta, H. dan G. Michon. 1997. The Agroforest alternative to Imperata
grassland: when smallholder agriculture and forestry reach
sustainability. Agroforestry System 36: 105-120.
de Foresta, H., A. Kusworo, G. Michon dan W.A. Djatmiko. 2001. Ketika
Kebun Berupa Hutan –Agroforeet Khas Indonesia: Sebuah
sumbangan masyarakat. ICRAF, Bogor, Indonesia.
Djogo, A.P.Y. 1992. Agroforestry dan Sumbangan bagi Pembangunan
Pertanian di Nusa Tenggara. Kupang: Politani.
Doran J.C. dan B.V. Gunn. 1987. Treatments to promote seed germination in
Australian acacias. In: Turnbull JW, ed. Australian Acacias in
Developing Countries. Proceedings of an International Workshop,
Gympie, Qld., Australia, 4-7 August 1986. ACIAR Proceedings No
16:57-63
46

Doran J.C., J.W.Turnbull, D.J.Boland dan B.V. Gunn. 1983. Handbook on


seeds of dry-zone acacias. A guide for collecting, extracting, cleaning,
and storing the seed and for treatment to promote germination of dry-
zone acacias. FAO, Rome, Italy.
Doran, J.C. dan J.W. Turnbull (eds.) 1997. Australian Trees and Shrubs:
species for land rehabilitation and farm planting in the tropics. ACIAR
Monograph No 24.
FAO. 1981 Forestry and Rural Development. FAO Forestry Paper No. 26,
FAO, Rome.
FAO. 1982 Conservation and Development of Tropical Forest Resources.
FAO/UNEP/Unesco Expert Meeting on Tropical Forests. FAO, Rome.
FAO. 1983 Management of Upland Watersheds: Participation of the Mountain
Communities. FAO Conservation Guide No. 8, FAO, Rome.
de Foresta, H. dan G. Michon. 2000. Agroforestry Indoneia: Beda sistem
Beda Pendekatan. Dalam Agroforestry Khas Indonesia. ICRAF.
HAlam 1-17.
Garrod, G. dan K.G. Willis. 1999. Economic Valuation on the Environment,
Method and Case Studies. Edward Elgar, Massachusetts, USA.
Gartner, C. 1956. Country reports on teak: Indonesia, FAO, Rome. pp; 49-54.
Guswara, A. dan H. M. Toha, 1995. Perbaikan budidaya padi gogo tingkat
petani peserta perhutanan sosial. Laporan Penelitian Kelti
Ekofisiologi, Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.
Hadley, M. and Lanly, J.P. 1983 Tropical Forest Ecosystems. Nature and
Resources, Vol. 19, No. 1.
Hairiah, K, Suprayogo, D, Widianto, Berlian, Suhara, E, Mardiastuning, A,
Widodo, RH, Prayogo, C and Rahayu, S. 2004. Alih guna lahan hutan
menjadi lahan pertanian: ketebalan seresah, populasi cacing tanah
dan makroporositas tanah. AGRIVITA 26 (1): 68-80.
Hairiah, K., Mofit Saptono, Widianto, Betha Lusiana and Meine van
Noordwijk. 2009. Dynamics of Tree Litter in Agroforestry Systems.
Brawijaya University, Faculty of Agriculture, and World Agroforestry
Centre, ICRAF S.E. Asia, Bogor, Indonesia
Hanley N.D. and C. Spash. 1993. Cost-Benefic Analysis and the
Environment. Edward Elgar, Cheltenham, UK.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid IV. Badan Litbang
Kehutanan (penerj.). Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
Irawan, B., S. Priyanto, A. Supriyanto, I. S. Anugrah, N. A. Kirom, B.
Rahmanto dan B. Wiryono. 2001. Perumusan model kelembagaan
konversi lahan pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,
Badan Litbang Pertanian.
Iwan Kurniawan. 2006. Analisis ekonomi tanaman pertanian program
wanatani di rph pujon selatan bkph pujon KPH Malang. Universitas
Muhammadiyah Malang, Department of Forestry - student-
research.umm.ac.id
Jeriels Matatula. 2009. Upaya rehabilitasi lahan kritis dengan penerapan
teknologi agroforestry sistem silvopastoral di desa oebola kecamatan
fatuleu kabupaten kupang. Inotek, Volume 13, Nomor 1, Februari
2009
47

Juwadi, 1997. Agroforestry. Diktat Kuliah pada Fakultas Kehutanan UGM.


Jogyakarta
Kartasubrata, J. 1991. Kehutanan Masyarakat Dalam Menunjang Penyediaan
dan Penganekaragaman Pangan. Makalah dipersiapkan untuk
seminar dalam rangka peringatan Hari Pangan Sedunia XI Tahun
1991, di Jakarta, 11-12 Oktober 1991.
King, K.F.S. 1968. Agri-Silviculture (The Taungya System). Bull. No. 1. Dep.
For., University of Ibadan, 109 pp.
King, K.F.S. 1978. Agroforestry. Paper presented to 50th Tropical Agriculture
Day, Royal Tropical Institute, Amsterdam, 10 pp.
King, K.F.S. 1979. Agroforestry and the utilisation of fragile ecosystems.
Forest Ecology and Management, 2 (1979) 161—168 161.
King, K.F.S. dan M.T.Chandler. 1978. The Wasted Lands. ICRAF, Nairobi, 36
pp.
Lambert, T., J. Malcolm dan B. Zimmerman. 2005. Effects of mahogany
(Swietenia macrophylla) logging on small mammal communities,
habitat structure, and seed predation in the southeastern Amazon
Basin. Forest Ecology and Management 206: 381-398.
Lemes, M.R., R.P.V.Brondani dan D. Grattapaglia. 2002. Multiplexed
systems of microsatellite markers for genetic analysis of mahogany,
Swietenia macrophylla King (Meliaceae), a threatened Neotropical
timber species. Journal of Heredity 93: 287-291.
Lemes, M.R., D.Grattapaglia, J.Grogan, J.Procter dan R. Gribel. 2007.
Flexible mating system in a logged population of mahogany
(Swietenia macrophylla King, Meliaceae): implications for the
management of a threatened neotropical tree species. Plant Ecology
192: 169-180.
Lemes, M.R., R.Gribel, J.Procter dan D. Grattapaglia. 2003. Population
genetic structure of mahogany (Swietenia macrophylla King,
Meliaceae) across the Brazilian Amazon, based on variation at
microsatellite loci: implications for conservation. Molecular Ecology 12:
2875-2883.
Lombardi, I. dan P. Huerta. 2007. Monitoring mahogany. ITTO Tropical Forest
Update 17(3):5-9.
Lundgren, B.O. dan J.B. Raintree. 1983 Sustained Agroforestry. International
Council for Research in Agroforestry, Nairobi, Kenya.
Martawijaya, A. dan I. Kartasujana. 1977. Ciri Umum, Sifat dan Kegunaan
Jenis-jenis Kayu Indonesia. Publikasi Khusus No. 41. Lembaga
Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Mercer, D.E. 1985. Guidelines for planning agroforestry development
projects. East-West Environment and Policy Institute Working Paper,
Honolulu, Hawaii.
Nair, R.P.K. 1989. Agroforestry Systems in the Tropics. Kluwer Academic
Publisher. Doordrect, The Netherland.
Nair, R.P.K. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic
Publisher. Doordrect, The Netherland.
48

Nandika, D. 2005. Hutan bagi Ketahanan Nasional. Surakarta:


Muhammadiyah University Press. Salim, H S. 2003. Dasar-Dasar
Hukum Kehutanan. Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika.
Norghauer, J.M., Malcolm, J.R. dan B. Zimmerman. 2006. Juvenile mortality
and attacks by a specialist herbivore increase with conspecific adult
basal area of Amazonian Swietenia macrophylla (Meliaceae). Journal
of Tropical Ecology 22: 451-460.
Norghauer, J.M., Malcolm, J.R. dan B. Zimmerman. 2008. Experimental
establishment of big-leaf mahogany (Swietenia macrophylla King)
seedlings on two soil types in native forest of Pará, Brazil. Forest
Ecology and Management 255: 282-291.
Ogbe, G.A.E. 1967. Tectona grandis L. Min. Agric. Nat. Res., Mid-Western
Nigeria. Mineo, 4 pp.
Oldeman. L.R. 1975. Agroclimatic map of Java. Contr. Centr. Res. Inst. for
Agriculture, Bogor Indonesia. 17:1-22.
Oliveira, M.V.N. 2000. Artificial regeneration in gaps and skidding trails after
mechanised forest exploitation in Acre, Brazil. Forest Ecology and
Management 127: 67-76.
Pearce, D. dan D. Moran. 1994. The Economic Value of Biodiversity. IUCN –
The World Conservation Union. London, UK.
Peluso, N.L.1991. The history of state forest management in colonial Java.
For. Conserv. Hist. 35: 65-75.
Pennington, T.D. 2002. Mahogany carving a future. Biologist 49: 204-208.
Pennington, T.D., Styles, B.T. dan D.A.H.Taylor. 1981. Meliaceae. Flora
Neotropica Monograph 28: 1-472.
Permadi, P. dan H. M. Toha. 1996. Peningkatan produktivitas padi gogo dengan
penanaman kultivar unggul dan pemupukan nitrogen. Jurnal Penelitian
Pengambangan Wilayah Lahan Kering. No. 18: 27-39. Lembaga
Penelitian UNILA.
Perum Perhutani. 2000. Marketing and Trade Policy of Perum Perhutani”.
Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional
Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000.
Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan
TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
Pirngadi, K., H.M. Toha, K. Permadi dan A. Guswara, 2001. Cara tanam dan
pemupukan terhadap hasil padi gogo sebagai tanaman sela hutan jati
muda. Makalah disampaikan pada Seminar Apresiasi dan Hasil
Penelitian Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi 14-15
Nopember 2001. 14 hal.
Price C. 1989. The Theory and Applicarion of Forest Economics. Blackwell,
Oxford, UK.
Rama Suhatini, Ilahang , Sugeng Yudiono, Eva Dolorosa. 2006. Karakteristik
Usahatani Pada Sistem Wanatani Berbasis Karet di Kabupaten
Sanggau. Tesis Tanjungpura University
Reijntjes, C., Haverkort,B., A.W. Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan.
Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah
(Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Y. Sukoco). Penerbit mitra Tani,
ILEIA dan Kanisius.
49

Rojas, C.C. 2007. Illegal logging and international trade in mahogany


(Swietenia macrophylla) from the Peruvian Amazon. Rainforest
Foundation Norway, Lima, Peru.
Sabarnurdin,S.M., S.Priyono dan W.B. Aryono. 2004. DINAMIKA POHON
MAHONI (Swietenia macrophylla King) PADA AGROFORESTRY
POLA LORONG (ALLEY CROPPING) Ilmu Pertanian Vol. 11 No.1,
2004 : 63 - 73
Sabarnurdin. 2002. Kehutanan, Rimbawan, dan Agroforestry dalam:
Sabarnurdin dkk (ed). Prosiding Seminar Nasional Agroforestri:
Peranan Strategis Agroforestry dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Secara Lestari dan Terpadu. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Santos, J.M.L. 1998. The economic Valuation od Landscape Change, Theory
and Policies for Land Use and Concervation (New Horizons in
Environmental Economics). Edward Elgar, Massachusetts, USA.
Sibuea T. dan Th. Herdimansyah. 1993. The variety of Mammal species in
the agroforest areas of Krui (Lampung), Muara Bungo (Jambi) and
Maninjau (West Sumatra). Final research report, Orstom and Himbio.
Simatupang, M. H. 2000. Some Notes on the Origin and Establishment of
Teak Forest (Tectona grandis Lf.) in Java, Indonesia. Dalam:
Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar
on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta:
Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah
Asia Pasifik.
Simon, Hasanu. 2000. The Evolvement of Teak Forest Management in Java,
Indonesia. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third
Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4,
2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan
TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
Simon, Hasanu. 2004. Membangun Desa Hutan. Kasus Dusun Sambiroto.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Snook, L.K. 1996. Catastrophic disturbance, logging and the ecology of
mahogany (Swietenia macrophylla King): grounds for listing a major
tropical timber species in CITES. Botanical Journal of the Linnean
Society 122: 35-46.
Soepardja, E. 1991. Penanganan Lahan Kritis dari Masa ke Masa. Bandung:
Angkasa.
Somaiya, R.T. 2000. “Marketing & Trading of Plantation Teakwood in India”.
Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional
Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000.
Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan
TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
Sopandie, D., M.A. Chosim, S. Sastrosumarjo, T. Juhaeti dan Sahardi, 2003.
Toleransi terhadap naungan pada padi gogo. Hayati 10 : 71-75.
Sopandie, D., N. Khumaida dan S. Yahya, 2005. Pemberdayaan Aspek
Fisiologi Fotosintesis Tanaman Padi dalam Upaya Peningkatan
Produksi: Adaptasi terhadap Intensitas Cahaya Rendah. Inovasi
Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan (Buku
50

satu). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan


Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal. 211- 227.
Suharisno. 2000. “Role and Prospect: Teak Plantation in Rural Areas of
Gunung Kidul, Yogyakarta”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.).
Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta,
Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan
UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
Suprayogo, D, Widianto, Purnomosidi, P, Widodo, RH, Rusiana, F, Aini, ZZ,
Khasanah, N and Kusuma, Z. 2004. Degradasi sifat fisik tanah
sebagai akibat alih guna lahan hutan menjadi sistem kopi monokultur:
kajian perubahan makroporositas tanah. Agrivita Agrivita 26 (1): 60-
68.
Suseno, Oemi Hani’in. 2000. The History of Teak Silviculture in Indonesia.
Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional
Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000.
Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan
TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
Suwarno, H.M. Toha dan B.P. Ismail. 2005. Ketersediaan Teknologi dan
Peluang Pengembangan Pado Gogo. Inovasi Teknologi Padi Menuju
Swasembada Beras Berkelanjutan (Buku satu). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Hal. 129-143.
Thiollay J.M. 1995. The role of traditional agroforests in the conservation of
rain forest bird diversity in Sumatra. Conservation Biology 9(2): 335-
353.
Tinambunan, D. 1995. Rehabilitasi Lahan Kritis di Indonesia. Proceeding
Seminar Mahasiswa Kehutanan Indonesia. Irian Jaya: Fakultas
Pertanian Universitas Negeri Cenderawasih Manokwari.
Toekan, J, Yulianti, Roshetko, JM and Darusman, D. 2004. Analisis
pemasaran kayu di propinsi Lampung. ? Agrivita 26(1): 131-140.
Toha, H.M. 2002. Padi Gogo Sebagai Tanaman Sela Perkebunan dan HTI
Muda. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai
Penelitian Tanaman Padi.
Toha, H.M. 2005. Padi Gogo dan Pola Pengembangannya. Balai Penelitian
Tanaman Padi Sukamandi. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian. 48 hal.
Toha, H.M. dan A. Hasanuddin, 1997. Kemungkinan penerapan sistem usaha
pertanian padi gogo pada tanaman perkebunan muda dan Hutan
Tanaman Industri. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi
Teknologi Budidaya Padi Gogo di Propinsi Sulawesi Utara, IP2TP
Kalasey-Manado, 17-19 Nopember 1997. 17 p.
Toha, H.M. dan Hawkins. 1990. Potensi peningkatan produktivitas tanaman
pangan melalui perbaikan variertas dan pemupukan di DAS
Jratunseluna bagian hulu. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan,
Tanah dan Air. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
103p.
Toha, H.M., K.Pirngadi dan Iwan Yuliardi. 2006. Peningkatan produktivitas
padi gogo sebagai tanaman sela hutan jati muda melalui pendekatan
51

pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Laporan


Tahunan 2005. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. 37 hal.
Turner R.K, D. Pearce and I. Bateman. 1994. Environmental Economics.
Harvester Wheatsheaf, London.
Utami S.R., B. Verbist, M. van Noordwijk, K. Hariah, dan M. A. Sardjono.
2003. Prospek Penelitian dan Pengembangan Agroforestri di
Indonesia. ICRAF. Bogor.
Van Noordwijk, M, P.Woomer, C.Cerri, M.Bernoux and K.Nugroho. 1997.
Soil carbon in the humid tropical forest zone. Geoderma 79: 187-225.
Widianto, Suprayogo, D, Noveras, H, Widodo, RH, Purnomosidhi, P and Van
Noordwijk, M. 2004. Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian :
Apakah fungsi hidrologis hutan dapat digantikan sistem kopi
monokultur ? Agrivita 26(1): 47-52.
Wiersum, K.F. (ed.) 1981 Viewpoints on Agroforestry. Department of
Forestry, Agricultural University, Wageningen, Netherlands.
Wiersum, K.F. (ed.) 1984 Strategies and Designs for Afforestation,
Reforestation, and Tree Planting., Proceedings of an International
Symposium. PUDOC, Wageningen, Netherlands.
Wijayanto N. 1993. Potensi pohon kebun campuran damar matakucing di
Desa Pahmungan, Lampung, Laporan Orstom-Biotrop.

Anda mungkin juga menyukai