AGROFORESTRY :
TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN
(smno.tnh.fpub)
dikonversi dan yang tidak boleh dikonversi. Arahan untuk konversi lahan
hutan menjadi lahan grazing, menjadi tanaman pohon, dan menjadi
pertanian semusim harus diperhatikan secara seksama untuk mengetahui
relevansinya bagi setiap sistem agroforestry yang spesifik. Akan tetapi
secara umum perkembangan agroforestry akan dimulai bukan dengan
mengkonversi lahan hutan, tetapi dengan introduksi pohon ke dalam sistem
pertanian semusim, atau dengan introduksi pohon naungan dalam sistem
pertanian pohon (misalnya kopi dan kakao).
Secara umum, sistem agroforestry tidak boleh dipraktek kan pada
lahan yang kemiringannya lebih dari 60%. Pada lahan yang kemiringannya
60-85%, agroforestry umumnya dapat dipraktekkan dan hanya sustainable
dalam hubungannya dengan rekayasa engineering konservasi tanah, dan hal
ini bisa tidak layak teknis bagi infrastruktur lokal dan juga tidak layak
ekonomis. Proporsi tanaman semusim dalam sistem yang memerlukan
pengolahan tanah secara teratur akan sangat mempengaruhi erosi tanah.
Kalau tanah-tanah bera berada di bawah atau di antara pohon-pohonan,
maka terras diperlukan pada lahan dengan kemiringan kurang dari 60%.
Pepohonan dapat membantu perkembangan terras-terras ini kalau ditanam
dan dikelola secara tepat sepanjang garis kontur.
Agar supaya produksi pohon dalam sistem agroforestry harus
berhasil secara ekonomis maka diperlukan kedalaman tanah dan kualitas
tanah yang memadai. Kelompok kerja internasional mempertimbangkan
bahwa kedalaman tanah yang diperlukan paling tidak 75-100 cm. Walaupun
sistem agroforestrydapat diimplementasikan pada loaksi yang telah
mengalami degradasi sehingga solum tanahnya dangkal, manfaat terutama
akan berasal dari pelestarian konservasi tanah dan perbaikan produksi
tanaman semusim dan bukannya produktivitas yang tinggi dari tanaman
pohon, terutama manfaat dalam jangka pendek.
(2). Gunakan jenis yang memfiksasi nitrogen, untuk memperbaiki kesuburan tanah dan
menyediakan pupuk hijau
(3). Gunakan jenis pohon yang tumbuhnya cepat untuk mendapatkan manfaat dari
konservasi tanah dan produksi
(4). Kalau produksi kayu tidak diutamakan dari tanaman pohon, maka disarankan jarak
20 cm di dalam barisan dan 1 meter di antara barisan rangkap pohon, dan 4 meter
atau lebih di antara pagar untuk tanaman semusim. Kalau barisan pohon
digunakan sebagai "jangkar" bagi seresah sisa pangkasan cabang dan ranting, maka
pola seperti ini akan menghasilkan perkembangan terras- terras dalam periode tiga
tahun karena penjebakan material yang tererosi dari lahan di sebelah atasnya. Jarak
yang berbeda diperlukan untuk daerah semiarid dan arid, dan laju perkembangan
terras akan lebih lambat di daerah iklim kering.
(5). Untuk produksi kayu bakar dari barisan-pagar, diperlu kan jarak tanam pohon yang
lebih lebar baik dalam barisan maupun di antara barisan. Pengujian lokal mungkin
diperlukan untuk menentukan jarak tanam optimal, terutama di daerah kering.
Jarak tanam sepanjang barisan sebesar 50 cm hingga 2 meter mungkin akan sesuai,
tergantung pada apakah kayubakar merupakan produk yang diutamakan.
(6). Jarak tanam yang lebih lebar, hingga 4m x 4m atau 5m x 5m, dapat digunakan kalau
jenis-jenis timber atau legume ditanam secara langsung untuk pangan merupakan
spesies pohon yang utama. Bahkan di daerah kering jarak tanam perlu lebih lebar
lagi.
Ekonomi wanatani
ekologi, sebagian besar petani menyatakan negatif, maka pola wanatani tidak
bisa diterapkan pada tanaman kelapa sawit.
Pendahuluan
Pinus merkusii dengan nama daerah tusam banyak dijumpai tumbuh
di belahan bumi bagian selatan. Pohon bertajuk lebat, berbentuk kerucut
mempunyai perakaran cukup dalam dan kuat. Walaupun jenis ini dapat
tumbuh pada berbagai ketinggian tempat, bahkan mendekati 0 meter di atas
permukaan air laut, dengan tempat tumbuh yang terbaik pada ketinggian
tempat antara 400 – 1500 m dpl, pada tipe iklim A dan B menurut Schmidt –
Ferguson, pada curah hujan sekurang-kurangnya 2000 mm/tahun tanpa
dengan jumlah bulan kering 0 – 3 bulan.
Jenis ini dapat tumbuh pada berbagai tipe jenis tanah dengan lapisan
tanah yang tebal/dalam, pH tanah asam dan mengendaki tekstur tanah
ringan sampai sedang. Manfaat jenis pohon ini cukup banyak. Kayunya dapat
digunakan sebagai bahan bangunan ringan, peti, korek api, bahan baku
kertas dan vinir/kayu lapis. Pada umur 10 tahun, pohon sudah dapat disadap
getahnya. Dari getah Pinus dapat dibuat gondorukem dan terpentin.
Gondorukem digunakan dalam industri batik sedang terpentin digunakan
sebagai pelarut minyak cat dan lak.
Pembibitan
1. Pengadaan biji
Biji Pinus merkusii akan mempunyai viabilitas dan daya kecambah
tinggi, apabila diambil dari kerucut yang sudah masak dengan ciri-ciri
berwarna hijau kecoklatan dan sisik kerucut yang telah mulai melebar
14
2. Penaburan biji
Pada kegiatan ini yang perlu diperhatikan adalah bahan media tabur
yang akan digunakan hendaknya mempunyai persyaratan sebagai berikut :
· Bebas dari hama-penyakit (steril)
· Cukup sarang
· Dapat merangsang proses perkecambahan
3. Penyapihan
Sebelum dilakukan penyapihan terlebih dahulu disiapkan kantong
plastik yang berisi media tumbuh. Pinus merkusii adalah jenis tanaman yang
melakukan simbiose dengan jamur/mikorhiza. Penularan mikorihiza yang
paling baik ialah pada waktu pencampuran media tumbuh. Untuk itu, dalam
setiap kantong plastik media tumbuh harus dicampur dengan tanah humus
yang berasal dari bawah tegakan tua Pinus merkusii. Media tumbuh untuk
jenis tanaman ini yang paling baik adalah campuran dari tanah, pasir dan
kompos dengan perbandingan 7 : 2 : 1 dengan penambahan pupuk NPK
sebanyak 0,25 gram setiap kantong yang berisi 300 gram media. Setelah
bibit berumur 5 – 8 minggu di bak tabur kemudian dilakukan penyapihan.
Pada saat ini kulit biji sudah terlepas dari kecambah dan bibit telah memiliki
daun jarum pertama.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyapihan bibit antara
lain :
· Semai ditanam berdiri tegak lurus
· Akar tidak boleh terlipat
· Hindarkan semai dari kerusakan
· Lakukan penyapihan pada tempat yang teduh
15
4. Pemeliharaan
Dalam kegiatan ini perlu dilakukan penyiraman semai secara hati-hati,
dan untuk menghindarkan damping off perlu dilakukan penyemprotan dengan
fungisida. Upayakan agar bibit selama dipersemaian bebas dari gangguan
rumput-rumput liar, erangga maupun penyakit. Untuk itu kebersihan
persemaian sangat menunjang keberhasilan bibit yang disapih.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain :
· Naungan untuk menjaga kelembaban, menahan percikan air hujan
dan mengurangi penguapan.
· Penyiraman secara teratur, setiap hari satu kali pagi hari dan sore
hari.
· Pemupukan dengan NPK dengan interval 2 minggu sekali.
· Penyulaman pada kantong plastik yang mati bibitnya atau
pertumbuhannya jelek segera dilakukan.
· Perumputan apabila rumput atau tumbuhan liar lainnya
mengganggu pertumbuhan tanaman muda.
· Akar-akar yang keluar dari lubang kantong agar dipotong.
Penanaman
1. Persiapan lapangan
Sebelum melaksanakan penanaman, perlu dilakukan pekerjaan
persiapan, antara lain :
· Pembersihan lapangan dari tumbuhan pengganggu, seperti alang-
alang, semak belukar, dan lain-lain.
· Pengolahan tanah (manual/mekanik). Dalam pengolahan tanah
pada lahan miring hendaknya memperhatikan kaidah pengawetan
tanah agar dihindarkan erosi yang berlebihan.
· Pemasangan acir tanaman pada lahan miring sejajar garis kontour.
· Pembuatan lubang tanaman.
2. Penanaman
Pada saat bibit akan ditanam, kantong plastik dilepas secara hati-hati
supaya media tumbuh tetap utuh. Kemudian bibit dimasukkan ke dalam
lubang yang telah disiapkan. Lubang yang telah berisi bibit ditutup kembali
dengan tanah galian dan dipadatkan di sekitar leher akar. Harus diupayakan
agar bibit tetap tegak. Penanaman bibit dilakukan pada permulaan musim
penghujan, setelah curah hujan cukup merata. Sistem penanaman dapat
dilakukan dengan tumpangsari atau tanpa tumpang sari. Tanaman sela yang
digunakan disesuaikan dengan tempat tumbuhnya.
3. Pemeliharaan
16
Panen Hasil
Pada umur 10 tahun, Pinus merkusii mulai dapat dipungut getahnya.
Penebangan untuk tujuan kayu pertukangan sebaiknya dilakukan apabila
tegakan telah mencapai umur 30 tahun dengan taksiran produksi kayu tebal
17
sebanyak 238 – 322 m3/ha. Sedangkan untuk tujuan kayu pulp dipergunakan
daur 10 – 15 tahun.
Sistem pemungutan hasil yang digunakan dalam pengelolaan HTI
Pinus merkusii adalah Sistem Tebang Habis dengan Permudaan Buatan.
Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Nama ilmiah
jati adalah Tectona grandis, berukuran besar, berbatang lurus, dapat
tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun besar, yang luruh di musim
kemarau.
Jati dikenal dunia dengan nama teak (bahasa Inggris). Nama ini
berasal dari kata thekku, dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bagian
Kerala di India selatan.
Iklim yang cocok adalah yang memiliki musim kering yang nyata,
namun tidak terlalu panjang, dengan curah hujan antara 1200-3000 mm
pertahun dan dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi sepanjang tahun.
Ketinggian tempat yang optimal adalah antara 0 – 700 m dpl; meski jati bisa
tumbuh hingga 1300 m dpl.
Tegakan jati sering terlihat seperti hutan sejenis, yaitu hutan yang
seakan-akan hanya terdiri dari satu jenis pohon. Ini dapat terjadi di daerah
beriklim muson yang begitu kering, kebakaran lahan mudah terjadi dan
sebagian besar jenis pohon akan mati pada saat itu. Tidak demikian dengan
jati. Pohon jati termasuk spesies pionir yang tahan kebakaran karena kulit
kayunya tebal. Lagipula, buah jati mempunyai kulit tebal dan tempurung yang
keras. Sampai batas-batas tertentu, jika terbakar, lembaga biji jati tidak rusak.
Kerusakan tempurung biji jati justru memudahkan tunas jati untuk keluar pada
saat musim hujan tiba.
Guguran daun lebar dan rerantingan jati yang menutupi tanah
melapuk secara lambat, sehingga menyulitkan tumbuhan lain berkembang.
Guguran itu juga mendapat bahan bakar yang dapat memicu kebakaran —
yang dapat dilalui oleh jati tetapi tidak oleh banyak jenis pohon lain.
Demikianlah, kebakaran hutan yang tidak terlalu besar justru mengakibatkan
proses pemurnian tegakan jati: biji jati terdorong untuk berkecambah, pada
saat jenis-jenis pohon lain mati. Tanah yang sesuai adalah yang agak basa,
dengan pH antara 6-8, sarang (memiliki aerasi yang baik), mengandung
cukup banyak kapur (Ca, calcium) dan fosfor (P). Jati tidak tahan tergenang
air.
Menurut sifat-sifat kayunya, di Jawa orang mengenal beberapa jenis
jati (Mahfudz dkk.,):
19
1. Jati lengo atau jati malam, memiliki kayu yang keras, berat, terasa
halus bila diraba dan seperti mengandung minyak (Jw.: lengo,
minyak; malam, lilin). Berwarna gelap, banyak berbercak dan
bergaris.
2. Jati sungu. Hitam, padat dan berat (Jw.: sungu, tanduk).
3. Jati werut, dengan kayu yang keras dan serat berombak.
4. Jati doreng, berkayu sangat keras dengan warna loreng-loreng
hitam menyala, sangat indah.
5. Jati kembang.
6. Jati kapur, kayunya berwarna keputih-putihan karena mengandung
banyak kapur. Kurang kuat dan kurang awet.
Klasifikasi Ilmiah:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Famili : Lamiaceae
Genus : Tectona
Spesies : Tectona grandis
Habitus
Pohon besar dengan batang yang bulat lurus, tinggi total mencapai 40
m. Batang bebas cabang (clear bole) dapat mencapai 18-20 m. Pada hutan-
hutan alam yang tidak terkelola ada pula individu jati yang berbatang
bengkok-bengkok. Sementara varian jati blimbing memiliki batang yang
berlekuk atau beralur dalam; dan jati pring (Jw., bambu) nampak seolah
berbuku-buku seperti bambu. Kulit batang coklat kuning keabu-abuan,
terpecah-pecah dangkal dalam alur memanjang batang. Pohon jati (Tectona
grandis sp.) dapat tumbuh meraksasa selama ratusan tahun dengan
ketinggian 40-45 meter dan diameter 1,8-2,4 meter. Namun, pohon jati rata-
rata mencapai ketinggian 9-11 meter, dengan diameter 0,9-1,5 meter.
Pohon jati yang dianggap baik adalah pohon yang bergaris lingkar
besar, berbatang lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu jati terbaik biasanya
berasal dari pohon yang berumur lebih daripada 80 tahun.
Daun umumnya besar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan
tangkai yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon berukuran besar,
sekitar 60-70 cm × 80-100 cm; sedangkan pada pohon tua menyusut menjadi
sekitar 15 × 20 cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di
20
Berumah satu.
Buah berbentuk bulat agak gepeng, 0,5 – 2,5 cm, berambut kasar
dengan inti tebal, berbiji 2-4, tetapi umumnya hanya satu yang tumbuh. Buah
tersungkup oleh perbesaran kelopak bunga yang melembung menyerupai
balon kecil.
Budidaya Tanaman
Secara garis besar, pengadaan bibit jati dapat dilakukan melalui dua
cara yaitu secara generatif dan secara vegetatif. Secara generatif,
pengadaan bibit jati dilakukan dengan menggunakan biji. Biji jati yang akan
digunakan dipilih yang masih baru, karena biji jati yang telah disimpan sangat
mudah berkurang daya kecambahnya. Buah jati termasuk jenis buah batu,
memiliki kulit yang keras dan persentase perkecambahan rendah
dibandingkan dengan species lain. Untuk itu perlakuan-perlakuan tertentu
dilaksanakan agar mampu memecah dormansi biji.
Hutan Jati
Fungsi ekonomis lain dari hutan jati jawa Jika berkunjung ke hutan-
hutan jati di Jawa, kita akan melihat bahwa kawasan-kawasan itu memiliki
fungsi ekonomis lain di samping menghasilkan kayu jati. Banyak pesanggem
(petani) yang hidup di desa hutan jati memanfaatkan kulit pohon jati sebagai
bahan dinding rumah mereka. Daun jati, yang lebar berbulu dan gugur di
musim kemarau itu, mereka pakai sebagai pembungkus makanan dan
barang. Cabang dan ranting jati menjadi bahan bakar bagi banyak rumah
tangga di desa hutan jati.
Hutan jati terutama menyediakan lahan garapan. Di sela-sela
pepohonan jati, para petani menanam palawija berbanjar-banjar. Dari hutan
jati sendiri, mereka dapat memperoleh penghasilan tambahan berupa madu,
sejumlah sumber makanan berkarbohidrat, dan obat-obatan. Tanaman
pangan yang tumbuh di hutan jati misalnya gadung (Dioscorea hispida) dan
uwi (Dioscorea alata). Bahkan, masyarakat desa hutan jati juga
memanfaatkan iles-iles (Ammorphophallus) pada saat paceklik. Tumbuhan
obat-obatan tradisional seperti kencur (Alpina longa), kunyit (Curcuma
domestica), jahe (Zingiber officinale), dan temu lawak (Curcuma longa)
tumbuh di kawasan hutan ini.
Pohon jati juga menghasilkan bergugus-gugus bunga keputihan yang
merekah tak lama setelah fajar. Masa penyerbukan bunga jati yang terbaik
terjadi di sekitar tengah hati —setiap bunga hidup hanya sepanjang satu hari.
Penyerbukan bunga dilakukan oleh banyak serangga, tetapi terutama oleh
jenis-jenis lebah. Oleh karena itu, penduduk juga sering dapat memanen
madu lebah dari hutan-hutan jati. Masyarakat desa hutan jati di Jawa juga
biasa memelihara ternak seperti kerbau, sapi, dan kambing. Jenis ternak
tersebut memerlukan rumput-rumputan sebagai pakan. Walaupun para petani
kadang akan mudah mendapatkan rerumputan di sawah atau tegal, mereka
lebih banyak memanfaatkan lahan hutan sebagai sumber penghasil makanan
ternak. Dengan melepaskan begitu saja ternak ke dalam hutan, ternak akan
mendapatkan beragam jenis pakan yang diperlukan. Waktu yang tidak
22
gabah, penerapan pola tanam intensif dengan olah tanah minimum, hasil
yang mencapai sekitar 10 t/ha/tahun, tidak kalah dengan produktivitas lahan
sawah (Toha et al., 2006).
Beberapa keuntungan dengan adanya usaha tanaman tumpangsari
diantara tanaman pokok hutan yang masih muda adalah: 1) produksi
tanaman pangan meningkat, pendapatan petani meningkat; 2) berfungsi
dalam persiapan lahan dan pemeliharaan tanaman pokok, mengurangi biaya
penyiangan; 3) kesuburan tanah meningkat (residu pupuk tanaman pangan,
penambahan bahan organik tanah/jerami); 4) mengurangi pengembalaan
ternak, pemeliharaan ternak lebih intensif; dan 5) dampak sosial/ekonomi
yang baik bagi masyarakat sekitar hutan, mengurangi penjarahan hutan.
Pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM)
dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan
dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam
pelaksanaannya masyarakat desa sekitar hutan sebagai mitra kerja Perum
Perhutani dapat berperan aktif dalam memelihara kelestarian sumberdaya
hutan. Dalam aspek perencanaan dan pembinaan, Perum Perhutani
mempunyai tanggung jawab penuh dan bersama pemerintah daerah
langsung mengarahkan dan mensosialisasikan kegiatan yang akan
dilakukan bersama masyarakat sekitar hutan. Secara simultan akan
diupayakan sumberdaya hutan tetap lestari, pendapatan Perum Perhutani
meningkat dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan meningkat.
dari jati yang diambil dari hutan perhutani blora hasil seleksi dengan umur
indukan berumur 65 tahun. Jati Blora jenis KBK yang kami tanam dapat di
panen pada umur 6-7 tahun dengan diameter 30-35 cm. Jati tersebut kami
tanam dengan jarak tanam 1x2m (jarak 1m ke arah timur barat sedangkan
2m kearah utara selatan sehingga setiap hektar lahan kebun dapat ditanam
minimal 4000 pohon.
Syarat umum bagi pohon jati untuk tumbuh dan teknik budidaya :
Sangat cocok untuk iklim tropis seperti indonesia, antara lain seluruh
pulau jawa, sebagian pulau sumatra, sulawesi selatan, sulawesi tenggara,
NTB dan maluku dengan syarat umum sbb:
1. Curah hujan 1500-2500mm/tahun.
2. Bulan kering 2-4 bulan.
3. Tinggi lokasi penanaman 10-1000m dari permukaan laut.
4. Intensitas cahaya 75-100%.
5. pH tanah 4-8.
6. Jenis tanah lempung berpasir, hindari tanah becek/rawa dan
cadas.
Agroforestry mahoni dengan tanaman bawahnya ubi garut dan ganyong (sumber:
http://www.flickr.com/photos/68632374@N00/3389803665)
33
All seedlings are prepared within the plantation to ensure high quality planting stock.
Other agroforestry operations involve land preparation, fertilizing, watering, weed
control, and mulching. Ongoing maintenance and development include pruning, fire
protection and prevention, and administrative management. (sumber:
http://sites.google.com/site/marsseplantations/the-plantation)
Mahoni ditanam sebagai tanaman pagar di tepian bidang lahan menuruni lereng
(sumber: http://pcarrd.dost.gov.ph/cin/AFIN/)
34
Kenapa Sengon ?
Jenis-jenisSengon
Sengon Merah
Biji sengon merah dan biji sengon putih/laut serupa. hanya saja biji
sengon merah lebih bulat dan ujung nya lebih tumpul.
Sengon Butho
Bijinya besar-besar. seperti biji bunga matahari ( kuwaci ), namun
lebih besar sedikit.
1. Banyak cabang.
2. Tekstur kayu yang melintir menyebabkan sulit diolah dan
membuat kayu/papan berserabut.
3. Tidak tahan disimpan lama karena mudah rusak karena serangga
( bubukan. jawa)
4. Akar sengon butho menyerap air sangat banyak. sehingga
merusak ekologi lingkungan.
Sengon Solomon
Adalah pengembangan bibit sengon generasi ke 3, asal kanada (
sengon solomon )
Menanam sengon laut biasa dg Solomon biasayanya sama. tetapi
solomon memberi hasil 2x lipat.
Ukuran tanaman sengon jenis solomon ini lebih besar dan
batangnya lebih tinggi ketimbang sengon laut atau sengon unggul
bersertifikat.Pada usia lima tahun, lingkar batang sengon laut
hanya sekitar 25 cm, dan lingkar batang jenis sengon unggul
bersertifikat mencapai 28 cm. Bandingkan dengan lingkar batang
sengon solomon yang bisa mencapai 35 cm untuk usia yang
sama.Selain itu, tinggi batang sengon solomon bisa mencapai 23
meter pada usia lima tahun. Sementara untuk usia serupa, tinggi
sengon lokal hanya sekitar 15 meter.
Pemasukan :
Penjarangan tahun ke 1 = 25% x 1150 =287.5 x harga jual Rp.
15000= Rp. 1.725.000
Penjarangan tahun ke 2 = 15% x 1150 = 172.5 x harga jual Rp.
40.000= Rp. 6.900.000
Hasil tebang tahun ke 5 = 60% x 1150 = 690 x harga jual Rp.
250.000= RP. 172.500.000
Jumlah pemasukan = Rp. 190.612.500
Pemasukan :
Penjarangan tahun ke 1 = 10% x 1150 x harga jual Rp. 15000 = Rp.
1.725.000
38
a. Klasifikasi Ilmiah:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae (Mimosoideae)
Genus : Acacia
Spesies : Acacia mangium
d. Habitus
Pohon selalu hijau, tinggi hingga 30 m. Bebas ca- bang dapat lebih dari
setengah tinggi pohon; kadang-kadang silindris pada batang bawah dan
diameter jarang lebih dari 50 cm. Kulit kasar dan beralur, berwarna abu-abu
atau coklat. Ranting kecil seperti sayap. Daun besar, panjangnya men- capai
25 cm, lebar 3-10 cm, hijau gelap dengan empat urat longitudinal (tiga pada
A. auriculifor- mis); daun majemuk ketika bibit. Bunga berganda, putih atau
43
Acacia mangium di Central Vietnam ditanam dari biji unggul , umur 2 tahun, tanpa
pemangkasan tajuk (sumber: http://tiwiislands.files.wordpress.com/2008/ )
e. Kegunaan
Penanaman di Asia terutama untuk pulp dan kertas. Pemanfaatan lain
meliputi kayu bakar, kayu konstruksi dan mebel, kayu tiang, pengendali erosi,
naungan dan perlindungan. Nilai lebih lain adalah kemampuan untuk ber-
saingi dengan alang-alang (Imperata cylindrica).
h. Penen buah
Diunduh dari pohon atau dikumpulkan di tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan Irawan, 2004. Alih guna dan aspek lingkungan lahan sawah.
Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. (Agus et.al Eds). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan
Penelitian dan Pengembnagan Pertanian, Departemen Pertanian. Hal
305- 328.
Altona, T. 1922. Teak and Hindoos. Origin of teak in Bodjonegoro (Java).
Tectona, 15: 457-507.
Awang, K. dan D. Taylor . 1993. Acacia mangium: growing and utilisation.
MPTS Monograph Series No. 3. Jointly published with the FAO
Forestry Research Support Programme for Asia and the Pacific
(FORSPA) and Forest Tree Improvement Project (FORTIP). 280 pp.
Bratamiharja, M. 1996. Perhutanan Sosial di Pulau Jawa. Buletin Bina
Swadaya, Badan Pengembangan Swadaya Masyarakat. No. 9 (IV) :
14-19.
Budidarsono S., B. Arifatmi, H. de Foresta and T.P. Tomich. 2000. Damar
Agroforest Establishment and Sources of Livelihood: A Profitability
Assessment of Damar Agroforest System in Krui, Lampung,
Indonesia. International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF),
Bogor, Indonesia.
Dah, U. Saw Eh dan U. Shwe Baw. 2000. “Regional Teak Marketing and
Trade”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third
Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4,
2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan
TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
De Datta, S.K. 1975. Upland Rice Around the World: Major Research in
Uplad Rice. The International Rice Research Institute, Los Banos,
Philippines. p: 1-11.
de Foresta, H. dan G. Michon. 1994. Agroforestry in Sumatra – Where
ecology meets economy. Agroforestry Today 6-4: 12-13.
de Foresta, H. dan G. Michon. 1995. Beberapa Aspek Ekologi dan Ekonomi
Kebun Damar Di Daerah Krui, Lampung Barat’ paper presented in a
seminar of Kebun Damar Di Krui, Lampung Sebagai Model Hutan
Rakyat. Bandar Lampung, 6 Juni 1995. ICRAF. Bogor.
de Foresta, H. dan G. Michon. 1997. The Agroforest alternative to Imperata
grassland: when smallholder agriculture and forestry reach
sustainability. Agroforestry System 36: 105-120.
de Foresta, H., A. Kusworo, G. Michon dan W.A. Djatmiko. 2001. Ketika
Kebun Berupa Hutan –Agroforeet Khas Indonesia: Sebuah
sumbangan masyarakat. ICRAF, Bogor, Indonesia.
Djogo, A.P.Y. 1992. Agroforestry dan Sumbangan bagi Pembangunan
Pertanian di Nusa Tenggara. Kupang: Politani.
Doran J.C. dan B.V. Gunn. 1987. Treatments to promote seed germination in
Australian acacias. In: Turnbull JW, ed. Australian Acacias in
Developing Countries. Proceedings of an International Workshop,
Gympie, Qld., Australia, 4-7 August 1986. ACIAR Proceedings No
16:57-63
46