Sumber: http://www.dnv.org/article.asp?c=1030
Mengurangi Risiko Longsor
Meskipun mereka mungkin disebabkan oleh kondisi di atas lereng
tidak stabil , tanah longsor dapat mempengaruhi sifat dan fasilitas
di bagian bawah lereng berpotensi tidak stabil . Pertimbangkan
tetangga Anda (di samping dan di bawah ) ketika membuat
penilaian atau drainase perubahan pada properti anda:
2.
3.
4.
5.
ahli
Profesional
atau Geoscientist jika
kita
memiliki
kekhawatiran tentang ketidakstabilan lereng yang dapat
mempengaruhi properti anda. Hubungi instansi pemerintah
kalau ada kekhawatiran ketidakstabilan lereng di daerah
properti publik .
Alihkan aliran air di sekitar dan jauh dari lereng yang tidak
stabil, ukuran dan strukturnya dibuat dengan cara yang
terkendali . Hindari genangan air di dekat lereng .
Menampung aliran air dengan menangkap cucuran air dari atap
dan drainage trotoar di selokan yang diperkeras. Desain
lansekap untuk menyalurkan air dari lereng yang curam .
Hubungi instansi pemerintah untuk memeriksa bahwa rumah
Anda terhubung , dengan sistem drainase kawasan .
Menyalurkan air melalui sistem saluran , selokan jalan atau
parit-parit yang menuju ke sungai.
12.
Pendugaan
Kerentanan
beberapa bulan dikeruk, saluran drainse sudah penuh lagi dengan aneka bentuk
sedimen, sampah dan limbah. Bagaimana mengatasinya?. Pada TA 2002 DPP Kota
Surabaya menerima anggaran untuk penanganan banjir sekitar 33 milyar (JP 10-82002). Berbagai proyek teknik-sipil dilaksanakan untuk mengantisipasi banjir,
saluran drainase, gorong-gorong, pompa air, Bozem, dll. Proyek-proyek ini semuanya
ditujukan untuk mempercepat aliran air hujan menuju ke laut; sedangkan proyekproyek untuk memaksimumkan jumlah air hujan yang masuk ke dalam tanah masih
dipertanyakan?.
Tiga akar masalah banjir kota Surabaya adalah:
1. Perbedaan elevasi antara pusat kota Surabaya dengan pesisir pantai
sangat tipis, sehingga aliran air hujan di permukaan sangat lambat.
2. Perubahan peruntukan / penggunaan lahan di seluruh wilayah kota dan
sekitarnya, sehingga sangat mengurangi kesempatan air hujan untuk
dapat memasuki tanah (infiltrasi dan perkolasi), dan memaksimumkan
limpasan permukaan
3. Selokan/saluran drainase yang tidak jelas ujung-pangkalnya, dimensinya
sangat minim, tersumbat sampah dan lainnya.
4. Kiriman banjir dari daerah atas / hulu.
BANJIR LAHAR DINGIN G. KELUD MENGANCAM WILAYAH
Blitar dan Kediri
Semakin berkurangnya areal hutan yang seharusnya berfungsi sebagai
penyangga di kawasan lereng G. Kelud dalam empat tahun terakhir ini, diperkirakan
dapat menimbulkan ancaman bencana tanah longsor, dan banjir lahar dingin.
Sejumlah areal hutan di Krisik, G. Gedang dan Kali Badak telah berubah menjadi
pemukiman penduduk, perkebunan, dan tegalan/ lahan pertanian palawija. Sejumlah
areal hutan lainnya menjadi gundul atau populasi pohonnya jarang-jarang. Sejumlah
dam pengendali material G. Kelud sudah penuh sedimen dan harus dikeruk kalau
memungkinkan, atau bangunan dam ditinggikan. Sisa material letusan G. Kelud
1990, saat ini masih 150 juta meter kubik, yang setiap saat dapat berubah menjadi
lahar dingin kalau curah hujan cukup tinggi.
Pohon juga ikut mengendlaikan banjir dengan memperlambat aliran
air hujan sehingga tidak semua masuk ke sungai pada satu waktu
yang bersamaan. Apa yang terjadi ketika kita berjalan di bawah
pohon dan angin bertiup setelah terjadi hujan? Tentu kita merasa
seperti ada hujan lagi. Hal ini karena sejumlah air hujan ditahan
pada tajuk pohon. Sebagian air hgujan ini menguap dari daun
(transpirasi), dan sebagian lagi jatuh ke tanah setelah beberapa
saat hujan berhenti. Tetapi jika semua pohon ditebang tidak ada
yang menahan air hujan, sehingga debit sungai naik dengan sangat
cepat.
10
Pohon hutan juga menjaga tanah longsor karena akar pohon membantu
memperkuat tanah dan menyimpannya di tempat, betapa pentingnya
pohon
untuk
keseimbangan
hidrologi
(http://keithtravelsinindonesia.blogspot.com/2010/09/into-jungle.html)
11
12
Hujan lebat sejak Minggu (1/1) malam itu menyebabkan banjir dan tanah
longsor pada keesokan harinya (Senin, 2/1). Terjadinya banjir bandang dan tanah
longsor yang mengagetkan penduduk Jember mengakibatkan 51 orang tewas, ratusan
rumah hancur, ratusan hektare sawah rusak, dan ratusan warga terjebak dan terisolasi
karena jembatan terputus. Sampai saat ini tim SAR terus bekerja keras
menyelamatkan penduduk yang terjebak di tengah-tengah air bercampur lumpur.
Bantuan makanan dan obat-obatan pun mengalir ke Jember.
Bupati Jember, menyatakan bencana alam ini tak terlepas dari gundulnya
hutan di lereng Gunung Argopuro yang merupakan hulu Sungai Kaliputih, Sungai
Bedadung dan Sungai Jompo. Namun musibah ini diduga juga ada hubungannya
dengan adanya lumbung-lumbung di aliran sungai. Seharusnya air ke luar dari
lumbung, tetapi salurannya tertutup kayu yang sudah tua sehingga air tersumbat.
Selain Jember, tanah longsor juga menimpa Banjarnegara, Jawa Tengah.
Tanah longsor menimbun Kampung Gunungrejo di Kecamatan Banjarmangu, sekitar
15 kilometer arah utara kota Banjarnegara, Rabu (4/1) dini hari. Seperti diberitakan
Kompas (Kamis, 5/1), dari lima RT di kampung yang berpenduduk 655 jiwa itu,
hanya satu RT yang selamat dari musibah. Kita sungguh prihatin atas terjadinya
bencana banjir dan tanah longsor yang menimpa Pulau Jawa. Hujan lebat sepanjang
Januari-Februari seharusnya membuat wilayah lain di Indonesia siap siaga
mengantisipasi kejadian serupa. Namun, kita lebih prihatin lagi karena hutan sebagai
penyangga air hujan justru sebagian besar gundul akibat penebangan yang membabi
buta. Padahal hutan gundul sangat berpotensi menimbulkan bencana alam, seperti
banjir bandang dan tanah longsor.
Dirut Perum Perhutani, mengakui 60 persen hutan Perhutani di Pulau Jawa
berpotensi rawan bencana akibat penjarahan. Bahkan Menhut membenarkan, secara
nasional luas hutan yang dipastikan gundul mencapai 59,2 juta hektar, dari total luas
hutan 120,35 juta hektar.
Pengalaman membuktikan bahwa ulah manusia merusak hutan, melakukan
penebangan secara serampangan merupakan bom waktu di kemudian hari. Namun,
hal ini berkali-kali terjadi, hutan tetap saja dijarah, sedangkan penanaman kembali
tidak secepat penjarahan itu terjadi. Semestinya manusia hidup bersatu dengan alam
dan memelihara lingkungan sekitar. Jika lingkungan dirusak, akibatnya sungguh luar
biasa, dan akhirnya manusia juga yang menderita.
Sungai, dalam sejarahnya, telah memberi manfaat besar bagi umat manusia,
hingga kini. Selain sebagai sumber air, sungai juga bermanfaat sebagai sarana
perhubungan, sumber tenaga (listrik dengan PLTA _Pembangkit Listrik Tenaga Air),
serta juga sebagai sumber pangan, karena menyimpan keragaman plasma nutfah.
13
14
kandungan lengas tanah yang seharusnya cukup, menjadi berkurang karena air hujan
lebih sedikit yang terinfiltrasi ke dalam lapisan tanah. Pengaruh lebih luas adalah
berkurangnya populasi ikan di sungai.
Beberapa jenis ikan kurang mampu beradaptasi karena terjadi perubahan
habitat secara cepat. Perubahan intensitas penetrasi sinar matahari, oksigen,
kandungan mineral dan tingkat keasaman (PH), adalah beberapa penyebabnya.
Dengan berkurangnya populasi ikan, ini juga berdampak secara luas pada siklus
rantai makanan. Populasi satwa, di antaranya, akan ikut berkurang karena kehilangan
makanan. Menjaga kelestarian ekosistem sungai sama halnya dengan menghindari
kepunahan generasi mendatang. Salah satu cara untuk mengantisipasinya adalah
dengan mencoba ramah pada alam dan hutan yang masih tersisa.
http://imnh.isu.edu/digitalatlas/hydr/concepts
/surfhyd/srfwtr.htm
15
16
17
18
permukaan tanah yang curam (surface runoff) dengan menghanyutkan apa saja yang
ada di permukaan tanah. Terjadilah erosi, pengikisan tanah dan akhirnya terjadilah
tanah longsor, banjir, banjir lumpur atau banjir bandang.
Di daerah bawah (hilir), bencana banjir biasanya terjadi karena banjir kiriman
dari daerah atas (hulu), dan air hujan yang jatuh tidak dapat masuk ke dalam tanah,
serta saluran drainase air hujan semakin minim karena tersumbat oleh berbagai
bentuk sampah/limbah, atau karena dihuni oleh berbagai kepentingan manusia.
19
Sumber: http://k3mpitz.blogspot.com/2010/03/banjir.html
20
Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2009/11/26/menyusurihulu-banjir-dan-longsor/
KERANGKA SOLUSI
Hidrologi Hutan
SISTEM agroforestri yang juga dikenal dengan wanatani dalam
mempertahankan produktivitas lahan, dan sekaligus memberikan perlindungan
21
Aliran sungai lebih ditentukan oleh tingkat curah hujan daripada oleh proses
hidrologi lainnya yang dipengaruhi oleh DAS. Aspek utama yang termasuk dalam
aliran sungai adalah total hasil air tahunan, keteraturan aliran, frekuensi terjadinya
banjir pada lahan basah, dataran aluvial dan ketersediaan air pada musim kemarau.
Agar lebih terfokus dalam mempelajari fungsi DAS diperlukan pemilahan antara
kontribusi hujan, terrain (bentuk topografi wilayah serta sifat geologi lain yang tidak
dipengaruhi langsung oleh adanya alih guna lahan), serta peran tutupan lahan
(terutama yang langsung dipengaruhi oleh aktivitas manusia).
Hujan atau presipitasi (P) akan terurai menjadi aliran sungai (Q) dan
evapotranspirasi (E) pada suatu sistem neraca air. Hubungan antara faktor-faktor ini
dapat membantu kita dalam memahami logika dan tarik ulur antara perubahan
transmisi air, daya sangga kejadian puncak hujan dan fungsi DAS dalam menyalurkan
air secara perlahan. Dengan melakukan analisis hubungan perubahan tutupan lahan
terhadap proses intersepsi kanopi, infiltrasi air ke dalam tanah, penyerapan air oleh
tanaman, penyimpanan air di dalam tanah untuk sementara waktu (yang selanjutnya
akan mengalami evapotranspirasi dan transpirasi oleh tanaman), maka dapat
dipahami dampak tutupan lahan terhadap neraca air tahunan.
22
23
Serapan air. Sepanjang tahun tanaman menyerap air dari berbagai lapisan
tanah untuk mendukung proses transpirasi pada permukaan daun. Faktor faktor
yang mempengaruhi jumlah serapan air oleh pohon adalah fenologi pohon, distribusi
akar dan respon fisiologi pohon terhadap cekaman parsial air tersedia. Serapan air
oleh pohon diantara kejadian hujan akan mempengaruhi jumlah air yang dapat
disimpan dari kejadian hujan berikutnya, sehingga selanjutnya akan mempengaruhi
proses infiltrasi dan aliran permukaan. Serapan air pada musim kemarau, khususnya
dari lapisan tanah bawah akan mempengaruhi jumlah air tersedia untuk aliran
lambat (slow flow).
Drainase lansekap. Besarnya drainase suatu lansekap (bentang lahan)
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kekasaran permukaan tanah, relief
permukaan tanah yang memungkinkan air tinggal di permukaan tanah lebih lama
sehingga mendorong terjadinya infiltrasi, tipe saluran yang terbentuk akibat aliran
permukaan yang dapat memicu terjadinya aliran cepat air tanah (quick flow).
Selain tutupan pohon, ada faktor lain yang dapat mempengaruh fungsi
hidrologi tanah. Pada hutan alami, perlintasan hewan biasanya meninggalkan jalan
setapak yang merupakan pemicu petama terbentuknya jalur aliran permukaan
walaupun tingkatannya masih belum membahayakan. Jalan yang terbentuk oleh
kendaraan berat selama penebangan pohon juga meningkatkan runoff air hujan
menuju sungai. Konversi hutan biasanya juga ditujukan untuk perbaikan drainase
guna melindungi tanaman dari bahaya penggenangan dan atau aliran permukaan. Hal
ini berdampak sangat baik kalau air hujan dapat diresapkan ke dalam tanah sebanyakbanyaknya.
Adanya kawasan resapan air hujan pada suatu lansekap mempunyai peranan
penting dalam mengurangi terjadinya banjir di daerah hilir. Namun sebaliknya, jika
ada usaha mengurangi frekuensi terjadinya banjir di daerah hulu dengan
mempercepat aliran-permukaan (runoff) ke hilir, justru akan meningkatkan resiko
banjir di daerah hilir.
24
25
Metode Memanen dan Memanfaatkan Air Hujan untuk Penyediaan Air Bersih
(Sumber: bebasbanjir2025.wordpress.com)
Bangunan sumur resapan adalah salah satu rekayasa teknik konservasi air
(Sumber: bebasbanjir2025.wordpress.com).
1. TEKNOLOGI TEPAT GUNA
Berbagai teknologi tepat guna telah ada dan siap digunakan untuk
memfasilitasi meresapnya air hujan ke dalam bumi; beberapa di antaranya adalah:
1. Teknologi yg bersifat mekanik-sipil, seperti Bozem, Zone resapan,
Sumur resapan, Kolam resapan, dan lainnya
26
27
28
Memberdayakan masyarakat sehingga mampu keluar dari ketidakmampuan, ketertinggalan dan kemiskinannya.
Sumber: http://www.kphrandublatung.perumperhutani.com
Pelatihan PLDT Bagi Masyarakat Desa Hutan
Upaya Pemerintah Propinsi Jawa Tengah untuk memperkuat sektor pertanian
dengan slogan "Bali Ndeso Mbangun Deso" dalam penerapannya juga merambah
pada lembaga masyarakat desa hutan dan kelompok tani hutan, kedua kelompok
masyarakat tersebut sudah menampakkan jati dirinya sebagai pelopor pembaharuan
perekonomian pedesaan. Sistem PHBM yang sudah berjalan delapan tahun secara
umum belum bisa merubah kehidupan masyarakat desa hutan secara keseluruhan
dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat, sehingga LMDH masih memerlukan
bimbingan dan pengawalan yang lebih intensif dari berbagai kalangan yang
berkompeten, termasuk dari Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten
Blora yang menyelenggarakan pelatihan pemanfaatan lahan di bawah tegakan yang
dilaksanakan di Blora.
Pelatihan pemberdayaan masyarakat desa hutan dengan cara memanfaatkan
kawasan hutan untuk kegiatan pertanian dibawah tegakan dilaksanakan untuk
mempercepat kemandirian masyarakat desa hutan dimana dalam mencapai tujuan
tersebut masih perlu adanya campur tangan berbagai pihak dengan ragam
pengetahuan yang berbeda namun mempunyai tujuan yang sama yaitu membentuk
masyarakat desa hutan yang mandiri di Ngliron KPH Randublatung. Tujuan utama
pelatihan ini memberikan bekal kepada peserta dalam hal ketrampilan berwira usaha
baik mengenai pembuatan kompos bokhasi, budidaya empon empon serta usaha
pengawetan pakan ternak dengan pola silase. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah
29
Sumber: http://www.antarafoto.com/peristiwa/v1267333801/hasil-hutan-tanaman-rakyat
30
Bagaimana
melestarikan
fungsi produksi
H.T.A. ?
Bagaimana
Mengolah
HASIL primer?
Bagaimana
memanfaatkan
Peluang Pasar?
?
Bagaimana
Menyediakan
Sarana Penunjang?
(AGRO-INDUSTRI)
Bagaimana
memproduksi
yang benar ?
(USAHATANI)
31
MELINDUNGI
MENGAJAK
MEMBERITAHU
MEMIHAKI
MEMBANTU &
MENDAMPINGI
MELATIH
32
PRASYARAT PEMBERDAYAAN
SIRAMAN
ROHANI
Manajemen
Finansial
PENDAMPINGAN
PENYEHATAN
BIOFISIK
PENYEHATAN
LINGKUNGAN
PENDIDIKAN
KETRAMPILAN
(Continuing Education)
33
Sumber: http://dkn.or.id/program/kehutanan-dan-ekonomi/
34
Perhutani mengeluarkan program perhutanan sosial yang
kemudian di tahun 1994 berubah menjadi program
pembinaan masyarakat desa hutan (PMDH) terpadu.
35
PRINSIP PENDAMPINGAN
PENDAMPING
Broadcasting
System
Group
YANG
DIDAMPINGI
SUBSTANSI
PESAN/
INFORMASI/
Receiving
System
Groups
36
4. Institutional Building
Pengembangan Kelembagaan Keswadayaan masyarakat dilakukan
untuk mengembangkan kelembagaan keswadayaan atau volunter yang berfungsi
dalam penggalangan solidaritas sosial dan partisipasi masyarakat luas untuk
memecahkan masalah penyelamatan Hutan, Tanah dan Air.
Sasaran yang harus dicapai adalah terwujudnya sistem kelembagaan
keswadayaan di masyarakat dan keaktifan kelompok masyarakat, kelompok asosiasi,
organisasi yayasan, lembaga swadaya masyarakat dalam membantu pemecahan
masalah pengelolaan sumberdaya Hutan, Tanah dan Air.
Kegiatan yang dapat diprioritaskan dalam pengembangan kelembagan
keswadayaan masyarakat adalah :
(1) pengembangan skema jaringan kerja kegiatan keswadayaan,
(2) pengembangan kapasitas lembaga-lembaga keswadayaan,
(3) pengembangan forum komunikasi antar tokoh penggerak dan lembagalembaga yang bergerak dalam kegiatan keswadayaan,
(4) pengembangan kemitraan antar organisasi keswadayaan, orcanisasi
masyarakat setempat, dan pemerintah,
(5) pengurangan hambatan regulasi dan iklim yang menyangkut keberadaan
peran organisasi keswadayaan.
Sumber: http://3.bp.blogspot.com/
37
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. 1998. Aplikasi Teknik Konservasi Tanah Pada Lahan Kritis di Indonesia.
Kumpulan Makalah Ekspose Hasil Penelitian Teknik Rehabilitasi dan
Reboisasi Lahan Kritis. Wanariset II Kuok, Balai Penelitian Kehutanan
Pematang Siantar.
Agus, F. A, Abdurachman, A, Rachman, S. H, Talaoohu, A, Dariah, B. R,
Prawiradiputra, B, Hafif, dan Wiganda, S, (1999), Teknik Konservasi Tanah
dan Air, Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan Reboisasi
Pusat. Departemen Kehutanan.
Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air, Departemen Ilmu-Ilmu Tanah, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Asdak, C, 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Dahal, R. J, Hasegawa, S, Nonomura, A, Yamanaka, M, Dhakal, S, and Paudyal, P.
2008. Predictive Modelling of Rainfall-Induced Landslide Hazard in The
Lesser Himalaya of Nepal Based on Weights-of-Evidence, Geomorphology,
Vol. 102, pp. 496 - 510.
Dai, F. C, Lee, C. F, Li, J, and Z.W. Xu. 2001. Assessment of Landslide Susceptibility
on The Natural Terrain of Lantau Island, Hong Kong, Environmental
Geology, Vol. 40, pp. 381 - 391.
Dayusita, D, Sugiarto B, A. Dwi. 2008. Arahan Pemanfaatan Lahan Kawasan Rawan
Bencana Longsor SSWP Ngantang Kabupaten Malang, Thesis, Jurusan
Perencanaan Wilayah Kota, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, Malang.
Departemen Kehutanan. 2001. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai, Departemen Kehutanan, Jakarta. Departemen Kehutanan,
(2008), Implementasi Kebijakan Program Pengelolaan DAS Brantas,
Konsultasi Publik Pengelolaan DAS Terpadu, BP DAS Brantas, Direktorat
Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Kehutanan Sosial, Departemen Kehutanan,
Jakarta.
Departemen Pertanian. 1993. Laporan Inventarisasi/ Identifikasi Lahan Marginal/
Kritis pada Kawasan Lahan Usahatani Seluruh Indonesia, Direktorat Bina
Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Departemen Pertanian. 2007. Teknologi Budidaya pada Sistem Usaha Tani
Konservasi, Sosialisasi Pedum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan,
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Direktorat Pengelolaan DAS. 2008. Pola Umum Kriteria dan Standar Pengelolaan
DAS Terpadu, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial,
Direktorat Pengelolaan DAS, Jakarta.
Hardiyatmo, H. R. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Hawkins, Sembiring, R. H, Lubis, D, dan Suwardjo, (1991), The Potensial of Alley
Cropping in The Uplands of East and Central Java, Upland and Agriculture
Conservation Project-Farming System Research, Agency for Agriculture
Research and Development, Salatiga.
38
39