Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejadian bencana alam banyak terjadi dan cenderung meningkat dari tahun
ketahun. Peningkatan ini terjadi di dunia termasuk di Indonesia. Banjir,
kekeringan, longsorlahan, tsunami, gempabumi, dan badai merupakan
bencana alam yang dapat menimbulkan dampak kerugian yang besar bagi
kehidupan manusia. Indonesia merupakan wilayah yang secara geologis,
geomorfologis, meteorologis, klimatologis, dan sosial ekonomi sangat rawan
terhadap bencana (Sudibyakto, 2009).
Bencana alam geologi merupakan kejadian alam ekstrim yang diakibatkan
oleh berbagai fenomena geologi dan geofisika. Aktivitas tektonik di
permukaan bumi dapat menjadi salah satu penyebabnya, demikian halnya
dengan aktivitas vulkanik di bawah permukaan bumi yang juga mungkin
sampai di permukaan. Pemahaman mengenai mitigasi bencana alam geologi
dan mitigasi hazard menjadi menarik dan mendesak untuk diteliti mengingat
dampak yang ditimbulkan bencana tersebut dewasa ini.
Kerugian jiwa, material, dan budaya merupakan aspek utama yang berisiko
menanggung dampak bencana. Kesadaran tentang potensi bencana di
Indonesia dan fakta ilmiah di sekitar bencana yang menimpa negara ini
menjadi alasan utama perlunya dilakukan usaha-usaha ilmiah untuk
mengatasinya. Peran aktif semua pihak yang terkait merupakan sikap terbaik
yang diperlukan untuk menanggulangi masalah bencana
Longsorlahan adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan,
bahan rombakan, tanah, atau material lainnya yang bergerak kebawah atau
keluar lereng (Nandi, 2007).
Longsorlahan umunya disebabkan oleh faktor alam antara lain kondisi
geologi, curah hujan, topografi, jenis penggunaan lahan, jenis tanah, getaran
atau gempabumi dapat mempengaruhi stabilitas lereng yang dapat
mengakibatkan terjadinya longsorlahan. Pemanfaatan lahan yang berlebihan
seperti pembukaan lahan baru dan pemotongan lereng untuk pembuatan jalan
dan permukiman serta pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan kaidah
konservasi telah menyebabkan beban pada lereng semakin berat, sehingga
mengakibatkan terjadinya longsorlahan. Indonesia yang sebagian besar
wilayahnya memiliki topografi berupa pegunungan dengan derajat kemiringan
lereng yang tinggi, menyebabkan bencana longsor menjadi bencana yang
sering terjadi di Indonesia. Berdasarkan data kejadian longsor dari Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2011, dari tahun 2000 –
2011 tercatat telah telah terjadi bencana longsor di seluruh provinsi di
Indonesia sebanyak 1.287 kejadian yang menyebabkan 1.421 orang
meninggal dan 5.966 rumah rusak.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui persebaran tingkat kerawanan longsorlahan di Kota
Semarang, dan
2. Mengetahui dan menganalisis faktor dominan yang menyebabkan
longsorlahan di Kota Semarang.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Bencana

Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu peristiwa
fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor) dan aktivitas manusia.
Karena ketidakberdayaan manusia, akibat kurang baiknya manajemen keadaan
darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan struktural,
bahkan sampai kematian.
Bencana alam juga dapat diartikan sebagai bencana yang diakibatkan oleh gejala
alam. Sebenarnya gejala alam merupakan gejala yang sangat alamiah dan biasa
terjadi pada bumi. Namun, hanya ketika gejala alam tersebut melanda manusia
(nyawa) dan segala produk budi dayanya (kepemilikan, harta dan benda), kita
baru dapat menyebutnya sebagai bencana.
Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau
menghindari bencana dan daya tahan mereka. Pemahaman ini berhubungan
dengan pernyataan: “bencana muncul bila ancaman bahaya bertemu dengan
ketidakberdayaan”. Dengan demikian, aktifitas alam yang berbahaya tidak akan
menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya
gempa bumi di wilayan tak berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah
“alam” juga ditentang karena peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau
malapetaka tanpa keterlibatan manusia. Besarnya potensi kerugian juga
tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran, yang
mengancam bangunan individual, sampai peristiwa tubrukan meteor besar yang
berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia.
Namun demikian pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta
memiliki kerentanan/kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan
member dampak yang hebat/luas jika manusia yang berada disana memiliki
ketahanan terhadap bencana (disaster resilience). Konsep ketahanan bencana
merupakan valuasi kemampuan sistem dan infrastruktur – infrastruktur untuk
mendeteksi, mencegah & menangani tantangan-tantangan serius yang hadir.
Dengan demikian meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah
penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketahanan terhadap bencana yang
cukup.

B. Macam-Macam Bencana di Indonesia


1. Banjir dan Tanah Longsor
Bencana di Bukit Lawang, Kecamatan Bohorok, Kabupaten Langkat,
Sumatera Utara
Bencana lingkungan besar kembali melanda kawasan Bahorok-Langkat,
Sumatera Utara. Peristiwa tragis ini terjadi pada Senin, 3 November 2003. Air
bah yang datangnya dari hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) Bahorok telah
memakan korban jiwa. Teridentifikasi korban yang meninggal 92 orang tewas
dan 154 orang hilang. Menurut saksi mata, dari kejadian di lokasi Bahorok
diperkirakan korban akan bertambah sampai ratusan orang. Karena sejumlah
warga saat ini diidentifikasi telah hilang.
Menurut saksi mata, masyarakat yang tidak mau disebutkan namanya di lokasi
kejadian mengatakan bahwa potongan-potongan kayu tersebut berasal dari
perambahan kayu liar yang dilakukan di dalam TNGL (Taman Nasional
Gunung Leuser) wilayah Bahorok - Langkat dan sebagiannya di sekitar
kawasan hutan Lawe Pakam – Kutacane, Aceh Tenggara.
Sungai Bohorok yang mengalir melalui Desa Bukit Lawang merupakan
bagian dari DAS Sei Wampu. Kerusakan hutan di sub DAS Bohorok
merupakan penyebab utama terjadinya banjir bandang tersebut. Penebangan
yang diikuti dengan tanah longsor pada akhirnya menjadi ‘senjata pemusnah
massal’ (weapon mass destruction) yang sangat mengerikan.
Sementara itu, di wilayah Aceh Tenggara telah berulangkali terjadi perusakan
kawasan hutan melalui kegiatan illegal logging oleh Para Pemegang IPK dan
HGU yang tetap diberikan ijin meskipun letaknya bersebelahan dengan
Taman Nasional Gunung Leuser. Akibat moral buruk pemegang ijin,
perambahan hutan sengaja mencaplok TNGL. Selain itu, pembangunan
infrastruktur jalan jalur pendukung Ladia Galaska antara lain pada ruas jalan
Muara Situlen-Gelombang (Aceh Singkil berbatasan dengan Sumatera Utara)
hingga akan menembus Bukit Lawang dan ruas Jalan Titi Pasir (Lawe
Pakam)-Bahorok (Aceh Tenggara-Langkat). Meskipun dalam rencana Ladia
Galaska sang pemrakarsa (Pemda Provinsi NAD dan Menkimpraswil RI)
menyatakan menunda pembangunan ruas jalan tersebut. Namun, pada tahun
anggaran 2002 lalu telah mulai dikerjakan. Jalan Ladia Galaska telah dan akan
menjadi jalan akses bagi kehancuran lebih lanjut Kawasan Ekosistem Leuser.
2. Bencana di sekitar Kawasan Ekosistem Leuser
Kawasan Ekosistem Leuser yang membentang dari Aceh hingga Sumatera
Utara dengan luas mencapai 2,5 Juta Hektar adalah himpunan kawasan Cagar
Alam, Suaka Margasatwa, Taman Buru, Hutan Lindung dan Taman Nasional
Gunung Leuser yang melintasi 15 Kabupaten/Kota di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Keberadaannya sudah diakui oleh
dunia internasional. Secara nasional Wilayah ini diakomodir melalui Keppres
No. 33 tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser.
Namun, keberadaannya dari waktu ke waktu kian terancam akibat berbagai
ancaman kerusakan dan pembalakan kayu secara ilegal. Bahkan, proyek-
proyek pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan, perkebunan sawit
skala besar, HPH, HTI, dan IPK serta transmigrasi yang salah kaprah telah
menyebabkan kawasan ini makin rusak terdegradasi. Tercatat, saat ini, sekitar
25% dari total Kawasan Ekosistem Leuser telah rusak, atau setara dengan
500.000 Ha.
Akibatnya, sejumlah DAS besar yang hulunya berada di Kawasan Ekosistem
Leuser kini makin kritis. Sehingga di musim hujan sering menimbulkan
kebanjiran dan kekeringan di musim kemarau. Sekitar 2,5 juta penduduk
bergantung dari sumber air DAS di Kawasan Ekosistem Leuser.
Kejadian bencana lingkungan akibat makin terdegradasinya Kawasan
Ekosistem Leuser dan kawasan hutan Seulawah di Provinsi NAD tercatat
sangat meningkat sepanjang tahun 2000-2002. Ada sekitar 790 kali kejadian
banjir, longsor, dan erosi melanda wilayah Aceh yang telah menelan korban
jiwa, harta benda, dan rusaknya infrastruktur ekonomi masyarakat. Sementara
itu, di musim kemarau jutaan hektar sawah kekurangan air.
3. Banjir Bandang di Jateng
Tanggal 1 November 2003, sedikitnya 119 rumah, satu sekolah, dan jalan di
Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen mengalami kerusakan akibat tanah
longsor saat hujan mengguyur kawasan itu. Tanah longsor yang menimpa
rumah penduduk itu terjadi di empat desa, yakni Desa Kalibangkang (62
rumah rusak), Desa Watukelir (37), Desa Srati (11), dan Desa Jintung (5).
Kerugian yang dialami mencapai sedikitnya Rp. 265,3 juta. Selain itu, banjir
terjadi di Jawa Tengah bagian selatan, antara lain Banyumas, Cilacap,
Kebumen, dan Purworejo.
Tanggal 30 Oktober 2003, ribuan rumah dan ratusan hektar sawah di 12 desa
di Kabupaten Banyumas dan Cilacap, Jawa Tengah, baru-baru ini dilanda
banjir. Ini disebabkan beberapa sungai tidak mampu menampung air hujan
yang turun dalam beberapa hari terakhir. Banjir ini melanda sepuluh desa di
Kabupaten Banyumas dan dua desa di Kabupaten Cilacap, yakni
Nusawangkal dan Karangsambung. Kondisi terparah terjadi di Desa
Nusadadi, Kabupaten Banyumas dengan ketinggian air di areal persawahan
mencapai tiga meter.
Di Banyumas dan Purworejo, banjir menggenangi ribuan hektar sawah, dan
sekitar 3.000 keluarga di Desa Nusadadi, Kecamatan Tambak, masih
terkurung air akibat luapan Sungai Ijo dan Sungai Kecepak. Sementara itu,
banjir juga melanda Desa Karangsembung dan Nusawangkal,
Kecamatan Nusawungu, Kabupaten Cilacap di mana air menggenangi 130
rumah dan 1.294 ha sawah.
Sebanyak 360 ha dari 1.294 ha sawah yang tergenang berupa persemaian
dengan kerugian diperkirakan Rp. 28.800.000.
Tanggal 2 Oktober 2003, Hujan deras kembali mengguyur Kabupaten
Banyumas, Jawa Tengah. Hal ini membuat warga di 10 desa di kabupaten itu
khawatir akan adanya banjir susulan. Sebab, genangan air hujan yang lalu
belum seluruhnya surut. Kerugian materi diperkirakan mencapai puluhan juta
rupiah. Genangan terparah terjadi di Desa Nusadadi, Kecamatan Sumpih.
Sementara itu, banjir yang melanda Nusawangkal dan Desa Karangsambung,
Cilacap, Jateng, meluas. Padahal, sebagian besar rumah penduduk dan ratusan
hektar lahan pertanian di 12 desa terendam air.
4. Banjir Bandang di Langkat, Sumatera Utara
Tanggal 7 Oktober 2003, banjir kembali merendam sekitar 600-an rumah di
sepanjang radius 200 meter aliran Sungai Batang Serangan Tanjungpura,
Langkat, Sumatra Utara. Luapan air sungai tak terkendali karena dua unit
mesin pompa penyedot air hujan ke waduk penampung air di Tanjungpura,
rusak.
Tanggal 30 September 2003, banjir setinggi 80 sentimeter melanda Kabupaten
Langkat, Sumatra Utara. Musibah terjadi menyusul meluapnya air Sungai
Batang Serangan akibat guyuran hujan selama sepekan terakhir.
Tak pelak, puluhan rumah di sepanjang sungai terbesar di Langkat ini
terendam air bah. Selain itu, puluhan hektar sawah siap panen juga
dikhawatirkan rusak.
Tanggal 15 September 2003, terjadi musibah tanah longsor di Kampung Ciloa
Desa Wangunjaya Cikalong Wetan Kab. Bandung yang menelan korban jiwa
7 orang dan belasan lainya menderita luka-luka.
Tanggal 20 September 2003, tanah longsor di bukit Pasir Gudang, kampung
Lengkong, desa Pasir Buncir, kecamatan Caringin, Bogor, Jawa Barat yang
menewaskan 9 orang pekerja penambang pasir. Bukit Pasir Gudang yang
luasnya mencapai 10 hektar itu, pasirnya telah ditambang secara besar-
besaran sejak 1998 oleh tiga perusahaan.
Bulan Februari 2003, banjir menimpa daerah Brebes yang sedikitnya
merendam 5.000 rumah. Di samping mengakibatkan sekira 2.000 hektar
tanaman padi puso, juga menggenangi tanaman tebu dan bawang, dan lahan
tambak. Kerugian yang ditimbulkan sedikitnya mencapai Rp. 5 miliar.
5. Longsor di Garut
Awal Januari 2003 bencana Longsor terjadi Mandalawangi di Garut. Bencana
tersebut menewaskan tidak kurang dari 15 orang dan puluhan rumah rusak
berat. Longsor terjadi karena rusaknya hutan sebagai wilayah penyangga.
Tahun 1990 luas hutan di Jabar mencapai 791.519 hektar atau sekitar 22%
dari seluruh luas Jabar, jumlah tersebut menyusut drastis hingga 323.802
hektar tahun 2002 atau sama 9 % dari luas keseluruhan daratan di Prov. Jabar
yang 3.555.502 hektar. Jumlah tersebut diperkirakan terus bertambah, dan
Jabar terus akan rawan terhadap bencana banjir dan tanah longsor.
6. Banjir dan Tanah Longsor di NTT
29 Maret - 2 April 2003, hujan badai terjadi di Ende, Nusa Tenggara Timur.
Hujan deras disertai badai tersebut mmengakibatkan banjir dan tanah longsor.
Korban meninggal sebanyak 42 orang, ratusan rumah dan bangunan hancur.
Korban yang meninggal banyak diakibatkan karena terbawa arus.
7. Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan terbesar tahun ini terjadi di Palangkaraya. Bancana ini
mengakibatkan bandara tertutup asap, dan kota Palangkaraya gelap tertutup
asap pada siang hari. Ketika bencana terjadi dua hari anak-anak sekolah dasar
di palangkaraya diliburkan untuk menghindari asap. Bencana kebakaran hutan
juga terjadi di Riau, Jambi, dan Lampung. Kerugian terjadi bukan hanya
hilangnya hutan ratusan hektar, namun juga penyakit ISPA, macetnya roda
perekonomian serta transportasi.
8. Kekeringan
Musim kemarau ini hampir seluruh Pulau jawa dilanda kekeringan. Wonogiri
adalah salah satu daerah terparah. Daerah ini dari tahun ke tahun mengalami
bencana kekeringan. Dampak yang terjadi bukan hanya rawan pangan karena
tidak adanya panen, namun krisis air bersih kemudian juga melanda berbagai
wilayah yang mengalami kekeringan. Untuk mengatasi kekeringan Bupati
Wonogiri meminta kepada pemerintah pusat untuk menyediakan pengadaan
100 unit sumur pantek dan bantuan 77 unit pompa air. Untuk mengatasi
penyediaan air bersih meminta proyek rehabilitasi embung rakyat senilai Rp.
231,4 miliar. Dan untuk rehabilitasi hutan diperkirakan dana mencapai Rp.
223, 9 miliar.
Kekeringan juga terjadi di Bojonegoro. Kekeringan di kota ini menyerbabkan
areal sawah seluas 1000 hektar tidak bisa penen. Konflik horisontal berebut
air juga terjadi antar warga.
Konflik ini makin meruncing ketika petani yang sudah telanjur menebar benih
tidak teraliri oleh irigasi. Mereka berharap pemerintah bersedia untuk
menaikkan air dari dalam tanah dengan menyedot air dari sungai Bengawan
Solo tidak mendapat tanggapan, hingga akhirnya pipa PDAM Bojonegoro
jebol dan airnya dapat mengaliri sawah. Meski demikian hal ini disesalkan
oleh pihak PDAM karena jebolnya PDAM Bojonegoro sangat merugikan
pendapatan PDAM.
C. Kemungkinan Bencana yang ada di Daerah
1. Tanah Longsor
2. Banjir

D. Penatalaksanaan Bencana secara Umum


1. Pada Pra Bencana
Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu :
• Dalam situasi tidak terjadi bencana
• Dalam situasi terdapat potensi bencana
1) Situasi Tidak Terjadi Bencana Situasi tidak ada potensi bencana yaitu
kondisi suatu wilayah yang berdasarkan analisis kerawanan bencana
pada periode waktu tertentu tidak menghadapi ancaman bencana yang
nyata. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak
terjadi bencana meliputi :
a. perencanaan penanggulangan bencana;
b. pengurangan risiko bencana;
c. pencegahan;
d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
e. persyaratan analisis risiko bencana;
f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
g. pendidikan dan pelatihan; dan
h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
2) Situasi Terdapat Potensi Bencana Pada situasi ini perlu adanya
kegiatan-kegiatan kesiap siagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana
dalam penanggulangan bencana.
a. Kesiapsiagaan
b. Peringatan Dini
c. Mitigasi Bencana
Kegiatan-kegiatan pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector dan multi
stakeholder,oleh karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah fungsi koordinasi.

2. Saat Tanggap Darurat


Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat
meliputi:
a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan
sumber daya;
b. penentuan status keadaan darurat bencana;
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
d. pemenuhan kebutuhan dasar;
e. perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

3. Pasca Bencana Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap


pasca bencana meliputi:
a. rehabilitasi; dan
b. rekonstruksi.
BAB III
STUDI KASUS DAN MANAJEMEN PENANGANAN

A. Tanah Longsor

Tanah longsor adalah tanah yang turun atau jatuh dari tempat yang tinggi ke tempat
yang lebih rendah. Masalahnya jika ada orang atau pemukiman di atas tanah yang
longsor atau di bawah tanah yang jatuh maka sangat berbahaya. Tidak hanya tanah
saja yang longsor karena batu, pohon, pasir, dan lain sebagainya bisa ikut longsor
menghancurkan apa saja yang ada di bawahnya.
Tanah longsor adalah proses perpindahan atau pergerakan massa tanah dengan arah
miring atau vertikal dari kedudukan semula, hal tersebut merupakan akibat dari
adanya gaya dorong. Tanah longsor dapat pula diartikan sebagai proses perpindahan
suatu massa batuan/tanah akibat gaya gravitasi. Intensitas kejadian longsor dan
tingkat bahaya longsor sangat dipengaruhi oleh intensitas curah hujan yang tinggi dan
terjadi terus menerus, kondisi lereng yang miring hingga terjal, penggunaan lahan
yang kurang sesuai dengan kemampuan lahan di daerah tersebut, tanah yang tebal,
serta batuan dan strukur geologi yang bervariasi.
Longsor atau sering disebut gerakan tanah adalah suatu peristiwa geologi yang terjadi
karena pergerakan asa batuan atau tanah dengan berbagai tipe dan jenis seperti
jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah. Secara umum kejadian longsor
disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor pendorong dan faktor pemicu. Faktor
pendorong adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi material sendiri,
sedangkan faktor pemicu adalah faktor yang menyebabkan bergeraknya material
tersebut. Meskipun penyebab utama kejadian ini adalah gravitasi yang mempengaruhi
suatu lereng yang curam, namun ada pula faktor-faktor lainnya yang turut
berpengaruh :
Erosi  yang disebabkan sungai – sungai atau  gelombang laut yang menciptakan
lereng-lereng yang terlalu curam lereng dari bebatuan dan tanah diperlemah melalui
saturasi yang diakibatkan hujan lebat gempa bumi menyebabkan tekanan yang
mengakibatkan longsornya lereng-lereng yang lemah gunung berapi menciptakan
simpanan debu yang lengang, hujan lebat dan aliran debu-debu getaran dari mesin,
lalu lintas, penggunaan bahan-bahan peledak, dan bahkan petir berat yang terlalu
berlebihan, misalnya dari berkumpulnya hujan atau salju.
Karakteristik longsor dapat dibagi menjadi lima macam yaitu :
1. Jatuhan (falls)
Umumnya material longsor baik berupa batu maupun tanah bergerak cepat hingga
sangat cepat. Tipe gerakan ini terjadi pada lereng terjal seperti tebing atau tegak
yang terdiri dari batuan yang mempunyai bidang-bidang tidak menerus.
2. Pergerakan Blok
Pergerakan blok adalah bergeraknya batuan pada bidang gelincir berbentuk rata.
Longsoran ini disebut longsoran translasi blok batu.
3. Longsoran (slides)
Gerakan material pembentuk lereng yang diakibatkan oleh terjadinya kegagalan
geser, disepanjang satu atau lebih bidang longsor. Material longsoran bergerak
lamban dengan bekas longsoran berbentuk tapal kuda. Massa tanah yang bergerak
bisa menyatu atau terpecah- pecah. Berdasarkan geometri bidang gelincirnya,
longsoran dibedakan dalam dua jenis, yaitu longsoran rotasional dan Longsoran
translasional.

• Longsoran rotasional (rotational slides) mempunyai bidang longsor


melengkung ke atas, dan sering terjadi pada massa tanah yang bergerak
dalam satu kesatuan. Longsoran rotasional murni (slump) terjadi pada
material yang relatif homogen seperti timbunan batuan (tanggul).

• Longsoran translasional merupakan gerakan disepanjang diskontinuitas


atau bidang lemah yang secara pendekatan sejajar dengan permukaan
lereng sehingga gerakan tanah secara translasi. Translasi terjadi di
sepanjang lapisan tipis pasir atau lanau pada tanah lempung, khususnya
bila bidang lemah tersebut sejajar dengan lereng yang ada. Longsoran
translasi lempung yang mengandung lapisan pasir atau lanau, dapat
disebabkan oleh tekanan airpori yang tinggi dalam pasir atau lanau
tersebut.
4. Sebaran (spreads)
Termasuk longsoran translasional dan disebut sebaran lateral (lateral speading),
adalah kombinasi dari meluasnya massa tanah dan turunnya massa batuan
terpecah -pecah ke dalam material lunak dibawahnya. Permukaan bidang longsor
tidak berada di lokasi terjadinya geseran terkuat. Sebaran dapat terjadi akibat
liquefaction tanah granuler atau keruntuhan tanah kohesif lunak di dalam lereng.
5. Aliran (flows)
Gerakan hancuran material kebawah lereng dan mengalir seperti cairan kental
dengan kecepaatan tinggi serta bergerak cepat dan mendadak. Aliran sering
terjadi dalam bidang relatif sempit. Material yang terbawa oleh aliran dapat terdiri
dari berbagai macam tanah (termasuk batu-batu besar), kayu-kayuan, ranting, dan
lain-lain.
Pada prinsipnya longsor terjadi karena terganggunya keseimbangan lereng akibat
adanya pengaruh gaya-gaya yang berasal dari dalam lereng (gravitasi bumi dan
tekanan air pori di dalam tanah lereng) dan atau gaya-gaya yang berasal dari luar
lereng (getaran kendaraan dan pembeban yang berlebihan pada lereng).
Menurut Dwikorita (2002, dalam Priyanto 2005), kawasan yang rawan akan
longsor adalah sebagai berikut :
 Kondisi alamiah :
1. Kondisi lereng yang biasanya mempunyai kemiringan lereng dari 20 o.
2. Kondisi tanah atau batuan penyusun lereng, umumnya lereng yang tersusun
oleh :
a. Tumpukan massa tanah gembur/lepas-lepas yang menumpang
diatas permukaan tanah atau batuan yang lebih kedap dan kompak.
b. Lapisan tanah atau batuan yang miring searah dengan kemiringan
lereng.
c. Adanya struktur geologi yang miring searah dengan kemiringan
lereng.
3. Struktur geologi ini dapat merupakan bidang-bidang lemah, sehingga
massa tanah sensitif bergerak disepanjang bidangbidang lemah tersebut.
4. Kondisi hidrologi lereng, terutama kondisi aquifer dan kedudukan muka
air tanah dalam lereng.
 Kondisi non alamiah :
1. Bertambahnya pembeban pada lereng, misal adanya konstruksi bangunan
atau meresapnya air dari permukaan.
2. Hilangnya penahan pada lereng karena penggalian dibawah lereng.
3. Aktivitas manusia, mencakup pola penggunaan lahan yang dilakukan oleh
manusia.
Terdapat ciri-ciri wilayah yang memiliki bahaya terhadap tanah longsor. Ciri-
ciri tersebut dibagi menjadi kondisi alami dan non-alami. Kondisi alami berupa
kondisi alam yang terdapat di wilayah tersebut, yaitu kemiringan lereng,
kondisi tanah, struktur geologi, dan kondisi hidrologi. Kondisi non alami
adalah yang berkaitam dengan berbagai aktifitas manusia. Mengetahui ciri-ciri
wilayah yang memiliki potensi terjadinya tanah longsor dapat meminimalisir
terjadinya kerugian maupun korban jiwa apabila bahaya telah berubah menjadi
bencana tanah longsor.

B. Parameter Bahaya Tanah Longsor


1. Kemiringan lereng
Kemiringan lereng merupakan nilai atau tingkat kemiringan lahan terhadap
bidang datar yang dinyatakan dalam persen atau derajat. Kecuraman lereng,
panjang lereng, dan bentuk lereng akan memengaruhi tingkat bahaya tanah
longsor dan erosi. Semakin curam lereng makatingkat bahaya longsor
semakin tinggi, karena gaya dorong yang ada semakin besar. Bentuk serta
kecuraman lereng yang ada dipengaruhi oleh curah hujan dan erosi yang
terjadi di daerah tersebut.
2. Penggunaan Lahan Klasifikasi tutupan lahan dan klasifikasi penggunaan
lahan digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam proses interpretasi citra
penginderaan jauh untuk tujuan pembuatan peta tutupan lahan maupun peta
penggunaan lahan. Penggunaan lahan merupakan aktifitas manusia dalam
mengolah lingkungan alam sehingga memberikan nilai ekonomis sebagai
sumber penghasilan. Penggunaan lahan juga mempengaruhi dalam proses
terjadinya tanah longsor. Hal tersebut dikarenakan kesesuaian lahan pada
suatu wilayah berbeda-beda. Apabila pada suatu wilayah tidak sesuai untuk
dibangun permukiman, maka hasil dari pembangunan tersebut tidak akan
maksimal dan tidak sesuai keinginan. Daerah yang berpotensi longsor,
apabila dibangun banyak rumah ataupun bangunan-bangunan lainnya akan
mempercepat kerusakan alam dan mempermudah terjadinya tanah longsor.
Terdapat beberapa klasifikasi penentuan jenis penggunaan lahan, yaitu
Darmoyuwono, 1964, I Made Sandy, 1977, Malingreau, USGS, Sutanto
1981, dan Anderson 1970. Klasifikasi yang digunakan pada penelitian ini
adalah klasifikasi menurut Malingreau. Klasifikasi Malingreau dianggap
sesuai karena Malingreau secara sederhana melakukan klasifikasinya
berdasarkan karakteristik penutup lahan dengan tujuan klasifikasi sederhana
tersebut memiliki sifat fleksibel dan terbuka sehingga dapat mengakomodasi
penambahan-penambahan pada masa mendatang dan oleh berbagai
keperluan.
BAB IV
PEMBAHASAN

Anda mungkin juga menyukai