Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana (disaster) adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Indonesia dengan kondisi alamnya yang tidak hanya menyimpan potensi kekayaan
yang melimpah tetapi juga terdapat potensi bencana.Indonesia yang terdiri dari gugusan
kepulauan mempunyai potensi bencana yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari
aspek jenis bencana. Kondisi alam terseut serta adanya keanekaragaman penduduk dan
budaya di Indonesia menyebabkan timbulnya risiko terjadinya bencana alam, bencana ulah
manusia dan kedaruratan kompleks, meskipun disisi lain juga kaya akan sumberdaya alam.
Pada umumnya risiko bencana alam meliputi bencana akibat faktor geologi (gempabumi,
tsunami dan letusan gunung api), bencana akibat hydrometeorologi (banjir, tanah longsor,
kekeringan, angin topan), bencana akibat faktor biologi (wabah penyakit manusia, penyakit
tanaman/ternak, hama tanaman) serta kegagalan teknologi (kecelakan industri, kecelakaan
transportasi, radiasi nuklir, pencemaran bahan kimia). Bencana akibat ulah manusia terkait
dengan konflik antar manusia akibat perebutan sumberdaya yang terbatas, alasan ideologi,
religius serta politik. Sedangkan kedaruratan kompleks merupakan kombinasi dari situasi
bencana pada suatu daerah konflik.
Bencana secara serius dapat mengganggu inisiatif-inisiatif pembangunan dalam
beberapa cara, termasuk: hilangnya sumber-sumber daya, gangguan terhadap program-
program, pengaruh pada iklim investasi, pengaruh pada sektor non-formal,dan destabilisasi
politik. Tercatat BNPB di tahun 2019 dari 1 Januari sampai dengan 31 Agustus telah terjadi
1,989 kejadian bencana, yang menimbulkan korban jiwa 445 meninggal dan hilang, 1,431
luka-luka dan 977,695 terdampak dan mengungsi. Kejadian bencana di Indonesia semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Sebanyak 95% merupakan bencana hidrometeorologi, yaitu
bencana yang dipengaruhi cuaca, seperti: longsor, kekeringan, puting beliung, kebakaran
hutan dan lahan, dan cuaca ekstrem. Di lain pihak, ada jutaan masyarakat yang tinggal di
daerah rawan bencana. Jumlah masyarakat yang tinggal di daerah rawan banjir, zona sedang
hingga merah, mencapai 63,7 juta jiwa. Dan kerugian ekonomi akibat bencana di Indonesia
diperkirakan sedikitnya mencapai Rp 30 triliun selama 2017.

1
Kompleksitas dari permasalahan bencana tersebut memerlukan suatu penataan atau
perencanaan yang matang dalam penanggulangannya, sehingga dapat dilaksanakan secara
terarah dan terpadu. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana mengamanatkan pada pasal 35 dan 36 agar setiap daerah dalam upaya
penanggulangan bencana, mempunyai perencanaan penanggulangan bencana. Secara lebih
rinci disebutkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 Bab IV
Pasal 18 tentang Penanggulangan Bencana, maka dibentuklah suatu badan pada tingkat
kabupaten/kota yang memiliki beberapa tugas, salah satu 3 tugasnya adalah memberikan
pedoman dan pengarahan penanggulangan bencana. Upaya yang dilakukan oleh BPBD
dimulai dari tahap pra bencana, tanggap darurat, dan yang terakhir tahap pemulihan atau
tahap pasca bencana. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah penanggulangan bencana di
Indonesia telah dilaksanakan dengan tepat dan terarah? Itulah mengapa laporan ini dibuat
untuk mengkaji Penanggulangan Bencana salah satu Lokasi Bencana di Indonesia.
1.2 Maksud dan Tujuan
1. Mengetahui dan memahami ancaman bencana tanah longsor dan faktor dominan yang
menyebabkan tingkat bahaya tanah longsor di lokasi yang ditinjau
2. Menganalisis risiko bencana tanah longsor dan tindakan pengurangannya
3. Mengetahui mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana tanah longsor
4. Mengetahui dan memahami keterlibatan setiap lapisan masyarakat dalam
penganggulangan bencana
1.3 Lingkup Kajian
Jenis bencana yang akan dikaji dalam laporan ini adalah Tanah longsor atau sering
disebut gerakan tanah yaitu suatu peristiwa geologi yang terjadi karena pergerakan masa
batuan atau tanah dengan berbagai tipe dan jenis seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan
besar tanah. Yang utama akan bahas dalam laporan ini adalah terkait:
1. Analisis terjadinya longsor dan Kajian Risiko Bencana Tanah Longsor
2. Peran Masyarakat dalam upaya penanggulangan Bencana

2
1.4 Lokasi
Bencana Tanah longsor yang akan di tinjau adalah Longsor Tenjolaya yang terjadi pada 23
Februari 2010 di Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasirjambu, Bandung, Jawa Barat. Lokasi
longsor meliputi 3 RT dari 15 RT di RW 18.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar refleksi
fenomena alam yang secara geografis sangat khas untuk wilayah tanah air kita. Indonesia
merupakan negara kepulauan tempat dimana tiga lempeng besar dunia bertemu, yaitu
Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Interaksi antar lempeng-
lempeng tersebut lebih lanjut menempatkan Indonesia sebagai wilayah yang memiliki
aktivitas kegunungapian dan kegempaan yang cukup tinggi. Lebih dari itu, proses dinamika
lempeng yang cukup intensif juga telah membentuk relief permukaan bumi yang khas dan
sangat bervariasi, dari wilayah pegunungan dengan lereng-lerengnya yang curam dan seakan
menyiratkan potensi longsor yang tinggi hingga wilayah yang landai sepanjang pantai dengan
potensi ancaman banjir, penurunan tanah, dan tsunaminya. Bencana yang akan dibahas yaitu
Tanah Longsor.
KAJIAN RISIKO
Longsor atau sering disebut gerakan tanah adalah suatu peristiwa geologi yang terjadi
karena pergerakan masa batuan atau tanah dengan berbagai tipe dan jenis seperti jatuhnya
bebatuan atau gumpalan besar tanah. Secara umum kejadian longsor disebabkan oleh dua
faktor yaitu faktor pendorong dan faktor pemicu. Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang
memengaruhi kondisi material sendiri, sedangkan faktor pemicu adalah faktor yang
menyebabkan bergeraknya material tersebut. Meskipun penyebab utama kejadian ini adalah
gravitasi yang memengaruhi suatu lereng yang curam, namun ada pula faktor-faktor lainnya
yang turut berpengaruh:
1. Erosi yang disebabkan aliran air permukaan atau air hujan, sungai-sungai atau
gelombang laut yang menggerus kaki lereng-lereng bertambah curam
2. lereng dari bebatuan dan tanah diperlemah melalui saturasi yang diakibatkan hujan
lebat
3. gempa bumi menyebabkan getaran, tekanan pada partikel-partikel mineral dan bidang
lemah pada massa batuan dan tanah yang mengakibatkan longsornya lereng-lereng
tersebut
4. gunung berapi menciptakan simpanan debu yang lengang, hujan lebat dan aliran
debu-debu
5. getaran dari mesin, lalu lintas, penggunaan bahan-bahan peledak, dan bahkan petir
6. berat yang terlalu berlebihan, misalnya dari berkumpulnya hujan atau salju

4
Gejala umum
 Muncul retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing
 Muncul air secara tiba-tiba dari permukaan tanah di lokasi baru
 Air sumur di sekitar lereng menjadi keruh Tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan
Wilayah-wilayah yang rawan akan tanah longsor
 Pernah terjadi bencana tanah longsor di wilayah tersebut
 Berada pada daerah yang terjal dan gundul Merupakan daerah aliran air hujan
 Tanah tebal atau sangat gembur pada lereng yang menerima curah hujan tinggi
Dampak
 Tanah dan material lainya yang berada di lereng dapat runtuh dan mengubur manusia,
binatang, rumah, kebun, jalan dan semua yang berada di jalur longsornya tanah.
 Kecepatan luncuran tanah longsor, terutama pada posisi yang terjal, bisa mencapai 75
kilometer per jam.
 Sulit untuk menyelamatkan diri dari tanah longsor tanpa pertolongan dari luar.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Bencana gerakan tanah atau
dikenal sebagai tanah longsor merupakan fenomena alam yang dikontrol oleh kondisi
geologi, curah hujan dan pemanfaatan lahan pada lereng. Dalam beberapa tahun terakhir,
intensitas terjadinya bencana gerakan tanah di Indonesia semakin meningkat, dengan sebaran
wilayah bencana semakin luas. Hal ini disebabkan oleh makin meningkatnya pemanfaatan
lahan yang tidak berwawasan lingkungan pada daerah rentan gerakan tanah, serta intensitas
hujan yang tinggi dengan durasi yang panjang, ataupun akibat meningkatnya frekuensi
kejadian gempa bumi.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2016) mencatat sebanyak 2.425 kejadian
bencana gerakan tanah sepanjang tahun 2011 hingga 2015, dengan lokasi kejadian tersebar di
berbagai wilayah di Indonesia. Kejadian gerakan tanah terbanyak dijumpai di Propinsi Jawa
Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat dan Kalimantan Timur. Bencana gerakan
tanah tersebut telah mengakibatkan 1.163 jiwa meninggal, 112 orang hilang, 973 orang
terluka dan sekitar 48.191 orang mengungsi.
Berdasarkan hasil kajian risiko bencana yang disusun oleh BNPB pada tahun 2015,
terlihat bahwa jumlah jiwa terpapar risiko bencana tanah longsor tersebar terutama di Pulau
Jawa dan Nusa Tenggara dengan jumlah seluruh Indonesia melebihi 14 juta jiwa dan nilai
aset terpapar melebihi Rp. 78 Triliun. Secara rinci, hasil kajian risiko bencana tanah longsor
dapat terlihat dalam tabel berikut :

5
ALOKASI DAN PERAN PELAKU KEGIATAN PENANGGULANGAN BENCANA
A. Peran dan Fungsi Instansi Pemerintahan Terkait
Dalam melaksanakan penanggulangan becana di daerah akan memerlukan koordinasi
dengan sektor. Secara garis besar dapat diuraikan peran lintas sektor sebagai berikut :
1. Sektor Pemerintahan, mengendalikan kegiatan pembinaan pembangunan daerah
2. Sektor Kesehatan, merencanakan pelayanan kesehatan dan medik termasuk obat-
obatan dan para medis
3. Sektor Sosial, merencanakan kebutuhan pangan, sandang, dan kebutuhan dasar
lainnya untuk para pengungsi
4. Sektor Pekerjaan Umum, merencanakan tata ruang daerah, penyiapan lokasi dan jalur
evakuasi, dan kebutuhan pemulihan sarana dan prasarana.
5. Sektor Perhubungan, melakukan deteksi dini dan informasi cuaca/meteorologi dan
merencanakan kebutuhan transportasi dan komunikasi

6
6. Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, merencanakan dan mengendalikan upaya
mitigatif di bidang bencana geologi dan bencana akibat ulah manusia yang terkait
dengan bencana geologi sebelumnya
7. Sektor Tenaga Kerja dan Transmigrasi, merencanakan pengerahan dan pemindahan
korban bencana ke daerah yang aman bencana.
8. Sektor Keuangan, penyiapan anggaran biaya kegiatan penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada masa pra bencana
9. Sektor Kehutanan, merencanakan dan mengendalikan upaya mitigatif khususnya
kebakaran hutan/lahan
10. Sektor Lingkungan Hidup, merencanakan dan mengendalikan upaya yang bersifat
preventif, advokasi, dan deteksi dini dalam pencegahan bencana.
11. Sektor Kelautan merencanakan dan mengendalikan upaya mitigatif di bidang bencana
tsunami dan abrasi pantai.
12. Sektor Lembaga Penelitian dan Peendidikan Tinggi, melakukan kajian dan penelitian
sebagai bahan untuk merencanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada
masa pra bencana, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.
13. TNI/POLRI membantu dalam kegiatan SAR, dan pengamanan saat darurat termasuk
mengamankan lokasi yang ditinggalkan karena penghuninya mengungsi.
B. Peran dan Potensi Masyarakat
1. Masyarakat Masyarakat sebagai pelaku awal penanggulangan bencana sekaligus
korban bencana harus mampu dalam batasan tertentu menangani bencana sehingga
diharapkan bencana tidak berkembang ke skala yang lebih besar.
2. Swasta Peran swasta belum secara optimal diberdayakan. Peran swasta cukup
menonjol pada saat kejadian bencana yaitu saat pemberian bantuan darurat. Partisipasi
yang lebih luas dari sektor swasta ini akan sangat berguna bagi peningkatan ketahanan
nasional dalam menghadapi bencana.
3. Lembaga Non-Pemerintah Lembaga-lembaga Non Pemerintah pada dasarnya
memiliki fleksibilitas dan kemampuan yang memadai dalam upaya penanggulangan
bencana. Dengan koordinasi yang baik lembaga Non Pemerintah ini akan dapat
memberikan kontribusi dalam upaya penanggulangan bencana mulai dari tahap
sebelum, pada saat dan pasca bencana.
4. Perguruan Tinggi / Lembaga Penelitian Penanggulangan bencana dapat efektif dan
efisien jika dilakukan berdasarkan penerapan ilmupengetahuan dan teknologi yang

7
tepat. Untuk itu diperlukan kontribusi pemikiran dari para ahli dari lembaga-lembaga
pendidikan dan penelitian.
5. Media Media memiliki kemampuan besar untuk membentuk opini publik. Untuk itu
peran media sangat penting dalam hal membangun ketahanan masyarakat menghadapi
bencana melalui kecepatan dan ketepatan dalam memberikan informasi kebencanaan
berupa peringatan dini, kejadian bencana serta upaya penanggulangannya, serta
pendidikan kebencanaan kepada masyarakat.
6. Lembaga Internasional Pada dasarnya Pemerintah dapat menerima bantuan dari
lembaga internasional, baik pada saat pra bencana, saat tanggap darurta maupun pasca
bencana. Namun demikian harus mengikuti peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku.

8
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bencana tanah longsor di Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten


Bandung, Provinsi Jawa Barat yang terjadi pada tanggal 23 Februari 2010 mengakibatkan 50
rumah milik buruh, satu pabrik pengolahan teh, satu gedung olahraga, satu koperasi
karyawan, satu puskesmas pembantu, dan satu masjid tertimbun tanah longsor. Jumlah
korban jiwa, akibat longsor berjumlah 45 orang, terdiri dari 12 orang lakilaki, 21 orang
perempuan, dan 12 orang anak-anak berdasarkan dari data pengaduan dari masyarakat yang
kehilangan anggota keluarga kepada posko penanganan bencana longsor.
Data Analisis menurut Nanik Suryo Haryani (Peneliti LAPAN):
Kondisi Fisik Daerah Bandung
Kondisi Fisik Daerah Bandung dan sekitarnya meliputi letak geografis, morfologi, geologi
dan tanah. Letak Geografis Daerah Bandung dan sekitarnya terletak diantara perbukitan dan
dikelilingi gunung-gunung, diantaranya: gunung Tangkuban Perahu (2076m), gunung Bukit
Tunggul (2209 m), gunung Manglayang (1812 m), gunung Madalawangi (1663 m), gunung
Windu (2054 m), gunung Wayang (2128 m), gunung Patuha (2434 m), dan gunung Kencana
(2182 m). Secara astronomis letak daerah Bandung berada antara 107º 29’ – 107 º 52’ Bujur
Timur dan 6 º 50’ – 7 º 07’ Lintang Selatan. Keadaan morfologi daerah Bandung menurut
Young (1972) dibagi menjadi 3 satuan bentang alam berdasarkan kemiringan lereng atau
slope, antara lain:
1. Daerah dengan kondisi lereng datar sampai dengan landai, dengan ketinggian antara 600
meter hingga 700 meter, kemiringan lereng antara 0 % sampai dengan 5 %.
2. Daerah dengan kondisi lereng landai, dengan ketinggian antara 700 meter hingga 1150
meter, kemiringan lereng antara 5 % sampai dengan 15 %.
3. Daerah dengan kemiringan lereng antara curam hingga terjal, dengan ketinggian lebih
besar 1150 meter, kemiringan lereng lebih besar dari 15 %. Geologi daerah Bandung dan
sekitarnya secara umum dicirikan oleh batuan hasil aktivitas gunung berapi Tangkuban
Perahu, kompleks Sunda, dan sedimen laut berumur Miosen hingga Resen.
Berdasarkan ciri-ciri litologi yang membedakan batuan penyusunnya, maka dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Endapan Tertier merupakan satuan tertua yang tersingkap, terdiri atas breksi gunung
api, lava, batu pasir tufaan, konglomerat, napal, lempung, dan batu pasir kuarsa.

9
2. Hasil gunung api tua, satuan ini terdiri dari perselingan antara breksi gunung api,
lahar, dan lava. Penyebaran di daerah Bandung dikenal sebagai formasi Cikapundung
berumur Plistosen, dengan ketebalan 0 meter hingga 350 meter.
3. Hasil gunung api muda, satuan ini terdiri dari breksi gunung api lapili, lava dan tufa,
penyebaran di daerah Bandung dikenal dengan formasi Cibeureum dan formasi
Cikidang.
4. Formasi Cibeureum terdiri dari perulangan uruturutan breksi gunung api dan tufa,
ketebalan kurang dari 180 meter dan berumur Plistosen atas – Holosen.
5. Formasi Cikidang, batuannya terdiri dari lelehan lava basal, konglomerat gunung api,
tufa kasar, dan breksi gunung api. Umur formasi diperkirakan Holosen, dengan
ketebalan berkisar antara 8 meter hingga 16 meter.
6. Formasi Kosambi/dikenal sebagai endapan danau, batuannya terdiri dari batu
lempung tufaan, batu lanau tufaan, dan batu pasir tufaan. Ketebalan formasi berkisar
antara 0 meter hingga 125 meter.
7. Kolovium, satuan ini terbentuk dari reruntuhan gunung api, dengan material berupa
bongkah batuan beku, batu pasir tufaan, dan lempung tufaan.
Berdasarkan Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Barat skala 1:250.000 tahun 1966 oleh
Lembaga Penelitian Tanah (LPT) Bogor, bahwa jenis tanah di Daerah Bandung dan
sekitarnya adalah Asosiasi Glei humus rendah dan Aluvial kelabu, Latosol coklat kemerahan,
Aluvial coklat kekelabuan, Grumusol kelabu tua, dan Asosiasi Aluvial Kelabu dan Aluvial
Coklat Kekelabuan. Untuk mengetahui jenis tanah, bahan induk dan fisiografi seperti pada
tabel 1 berikut.

Analisis Data Curah Hujan


Analisis data curah hujan dari hasil pengolahan data MTSAT-1R (Meteorological Satellite)
kanal infra merah 1R di daerah Jawa Barat khususnya di Desa Tenjolaya, Kecamatan Jambu,
Kabupaten Bandung dan sekitarnya dapat dilihat pada Gambar 1a, 1b, dan 1c. Curah hujan

10
pada tanggal 17 Februari 2010 jam 10 UTC seperti pada Gambar 1a, terlihat bahwa adanya
peluang hujan yang lebat (dalam gambar terlihat warna kuning) dan peluang hujan sangat
lebat (dalam gambar telihat warna merah), sedangkan peluang hujan yang terjadi pada
tanggal 22 Februari 2010 jam 11 UTC seperti pada Gambar 1c, terlihat adanya peluang hujan
lebat (dalam gambar terlihat warna kuning). Analisis data curah hujan dari hasil pengolahan
data Qmorph (Q Morphing) di daerah Jawa Barat khususnya di Wilayah Bandung dan
sekitarnya dapat dilihat pada Gambar 1b. Sebagai contoh curah hujan sebelum terjadinya
longsor pada tanggal 17 Februari 2010 (Gambar 1b), terlihat bahwa curah hujan cukup besar
berkisar antara 35 mm - 45 mm/jam (dalam Gambar 1b terlihat warna kuning). dan bahkan
curah hujan terjadi lebih dari 45 mm/jam (dalam Gambar 1b terlihat warna merah). Curah
hujan yang cukup tinggi pada tanggal 17 Februari 2010, apabila terjadi berturut-turut selama
beberapa hari atau terakumulasi (dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 22 Februari 2010)
maka akan sangat memicu terjadinya longsor di wilayah tersebut. Curah hujan yang
terakumulasi selama beberapa hari tersebut, akhirnya terjadi tanah longsor di Desa Tenjolaya,
Kabupaten Bandung pada tanggal 23 Februari 2010.

11
Analisis Citra Satelit
Berdasarkan citra DEM-SRTM (Digital Elevation Model-Shuttle Radar Topographic Mision)
pada tahun 2000 seperti pada Gambar 2, dapat dianalisis bahwa dari citra DEM–SRTM tahun
2000 di daerah Jawa Barat khususnya Desa Tenjolaya, Kabupaten Bandung terlihat lokasinya
bervariasi antara dataran rendah di bagian selatan dan semakin ke utara merupakan dataran
tinggi, yang mempunyai ketinggian antara 0 sampai 1000 m di atas permukaan air laut. Citra
DEM–SRTM menunjukkan daerah Tenjolaya sebagian besar merupakan daerah yang
bergelombang, berbukit hingga bergunung (dalam citra Gambar 2 terlihat bahwa semakin ke
utara daerahnya semakin tinggi), sehingga daerahnya mudah terjadi longsor, apabila terjadi
hujan yang lebat hingga sangat lebat dalam waktu beberapa hari dan kondisi tanahnya
gembur. Berdasarkan citra ALOS AVNIR2 hasil perekaman tanggal 30 Juni 2009 sebelum

12
terjadinya tanah longsor (Gambar 3a) dan tanggal 27 Februari 2010 sesudah terjadinya tanah
longsor (Gambar 3b) dapat dianalisis sebagai berikut:
1. Lokasi tanah longsor merupakan daerah perkebunan dan mempunyai topografi
yang merupakan daerah perbukitan.
2. Daerah sekitar terjadinya tanah longsor masih banyak dijumpai daerah
perbukitan dengan lereng yang lebih curam digunakan untuk daerah
perkebunan
3. Secara morfologi lokasi terjadinya tanah longsor dan daerah sekitarnya
merupakan daerah rawan longsor.
Berdasarkan citra IKONOS hasil perekaman tanggal 3 Juli 2007 sebelum terjadinya
tanah longsor (Gambar 3c) dan tanggal 2 Maret 2010 sesudah terjadinya tanah longsor
(Gambar 3d) dapat dianalisis sebagai berikut: Pada citra IKONOS terlihat jelas lokasi
sebelum dan sesudah terjadinya tanah longsor, dimana daerah terjadinya tanah longsor
merupakan daerah perkebunan dan daerah permukiman penduduk. Lokasi terjadinya tanah
longsor terlihat dengan kondisi topografi berupa daerah perbukitan, dengan kemiringan
lereng landai, terjal hingga curam. Kondisi daerah tersebut apabila terjadi hujan yang lebat
hingga sangat lebat kemungkinan besar akan terjadi tanah longsor.
Analisis Data Tanah
1. Asosiasi Glei humus rendah dan Aluvial kelabu; Jenis tanah ini mempunyai bahan
induk endapan liat, terdapat di daerah yang datar yang merupakan tanah yang cukup
banyak mengandung hara tanaman, daerah ini diperlukan sekali pengaturan terhadap
tata air termasuk perlindungan terhadap banjir, drainase dan irigasi.
2. Latosol coklat kemerahan; Jenis tanah ini mempunyai bahan induk Tuf volkan
intermedier, dengan fisiografi volkan. Jenis tanah latosol coklat kemerahan
mempunyai batas-batas horison yang relatif jelas, bertekstur lempung, dengan struktur
remah sampai pejal, konsistensi bervariasi dan gembur sekali.
3. Aluvial coklat kekelabuan; Jenis tanah Aluvial coklat kekelabuan mempunyai bahan
induk endapan liat, terdapat di daerah yang datar yang sering digenangi air, sehingga
warna tanah kelabu tua atau kehitamhitaman, sifat tanah lekat tanpa struktur.
4. Grumusol; Jenis tanah ini merupakan bahan induk batu kapur dan napal dengan
fisiografi bukit lipatan. Jenis tanah ini perkembangannya ditentukan oleh susunan dan
struktur batu kapur.
5. Asosiasi Aluvial kelabu dan Aluvial coklat kekelabuan; Jenis tanah ini terdapat di
daerah dataran yang sering digenangi air, sehingga warna tanah kelabu tua, dengan

13
bahan induk endapan liat berpasir. Penyebarannya mempunyai sifat fisika yang
kurang baik sampai dengan sedang.
Analisis team PTLWB-BPPT (Heru SN, Iwan Tejakusuma, Nana Sudiana, Hasmana S)
 Jawa Barat termasuk salah satu provinsi yang mempunyai tingkat risiko bencana
tanah longsor paling tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.
 Faktor topografi tinggi terutama di bagian selatan Jawa Barat, material volkanik yang
kurang kompak, iklim tropis basah yang menyebabkan tingkat pelapukan sangat
tinggi à menyebabkan potensi longsor tinggi
 Perkembangan pembangunan dan jumlah penduduk yang sangat pesat di Jawa Barat
menyebabkan perambahan permukiman penduduk ke daerah kritis yang rawan
terhadap longsor.
 Kejadian longsor pada hari Selasa 23 Februari 2010 jam 08.00 WIB
 Lokasi longsor di permukiman penduduk di perkebunan PT Dewata milik PT Kabepe
Cakhra
 Pusat titik longsor berasal dari hutan Cagar Alam Gunung Tilu yang relatif tidak
terganggu
 Dari tahun 1932 (sejak pertama kali perkebunan teh didirikan) tidak pernah terjadi
longsor (dalam skala besar) di daerah Tenjolaya, Kec. Pasir Jambu. Kab Bandung ,
kenapa tanggal 23 Februari 2010 terjadi ?
Faktor Utama Terjadinya Tanah Longsor
1. Topografi
 Daerah bencana terletak pada perbukitan terjal sampai sangat terjal
 Titik asal longsor berupa tebing curam (70-80 derajad) berbentuk ketiak yang
muncul mata air dan berbatasan dengan lembah sungai
2. Jenis Batuan
 Perselingan breksi dan tuf bersusunan andesit
 Soil tebal
 Tanah (soil hasil pelapukan batuan) ukuran pasir sangat rapuh
 Kontak antara batuan dasar dan tanah (soil) sebagai bidang gelincir longsor
3. Curah hujan
Tanggal 1-23 Februari curah hujan sudah mencapai 960 mm (info dari
pegawai PT Cakhra Dewata yang menangani dara pengamatan curah hujan, rata2 di
daerah tersebut 200 mm/bulan)

14
4. Mata air yang keluar dari titik longsor, menyebabkan tingkat kejenuhan tanah, tanah
menjadi labil
5. Vegetasi hutan sekunder jarang (akar tanaman menggantung dalam tanah)
Penyebab Utama
 Curah hujan sangat tinggi
 Adanya mataair yang mempercepat proses kejenuhan dan menurunkan kestabilan
tanah
Penyebab Pendukung
 Topografi terjal
 Soil tebal, rapuh
 Hutan sekunder jarang
Rekomendasi
 Relokasi ke tempat aman
 EWS longsor berbasis curah hujan
 Kesiapsiagaan longsor berbasis masyarakat
Analisis dari Yunara Dasa Triana, Imam A. Sadisun, Hery Purnomo1 (Geologi
Terapan, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, ITB)
Hasil Penelitian
Tanah longsor di Perkebuna Teh Dewata Melalui pengamatan lapangan yang dilakukan
diperoleh data bahwa secara administratif lokasi tanah longsor dengan tipe rotasi ini terletak
di Desa Tenjolaya, Kec. Pasirjambu, Kab. Bandung. Jarak lokasi bencana dari Bandung ± 60
km dan ditempuh dalam waktu ± 3.5 jam. Sedangkan secara geografis lokasi tanah longsor
terletak pada koordinat 7° 12’ 53.1” LS dan 107° 28’ 36.3” BT pada ketinggian lebih dari
1300 mdpl (Gambar 1).

15
Morfologi di sekitar lokasi tanah longsor berupa perbukitan yang bergelombang
dengan kemiringan 15º - > 40º dengan tata guna lahan berupa hutan lebat, kebun teh dan
permukiman yang terletak pada bagian lembah. Menurut van Bemmelen (1949), secara
fisiografi lokasi tanah longsor termasuk ke dalam Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat dan
Gunungapi Kuarter. Batuan penyusun di lokasi tanah longsor ini adalah breksi tuf. Menurut
Koesmono, dkk (1996), batuan penyusun daerah ini adalah Lahar dan Lava dari G. Kendeng
yang tersusun oleh breksi andesit dan breksi tuf (Ql).
Kejadian tanah longsor ini, berdasarkan data yang diperoleh dari tim evakuasi sampai
dengan hari terakhir evakuasi, telah menyebabkan 44 orang meninggal dunia tertimbun
material longsoran dan sembilan orang diantaranya tidak ditemukan. Selain korban jiwa,
tanah longsor ini juga menyebabkan 20 buah rumah tertimbun material longsoran, lima buah
rumah dan sekitar dua hektare kebun teh rusak. Jalur jalan yang menghubungkan kampung-
kampung di sekitar lokasi tanah longsor tidak bisa dilalui karena tertimbun material
longsoran, sehingga mengganggu aktivitas dan perekonomian di wilayah ini.
Data lain yang diperoleh dan penting untuk dipahami adalah adanya tanda-tanda yang
menunjukkan gejala awal akan terjadinya tanah longsor. Gejala yang timbul sebelum
terjadinya tanah longsor adalah adanya getaran, terjadinya perubahan fisik pada air yang
berasal dari mata air dan munculnya mata air baru.
Kondisi tanah longsor
Tanah longsor terjadi pada lereng G. Waringin, dengan bidang longsor N 20°E ,
kemiringan lereng antara 15° sampai > 45°, arah longsoran menghadap ke arah N 215°E.
Lebar mencapai 50 m, dan tinggi 75 m sedangkan panjang landaan material longsoran
mencapai 800 meter dengan lebar mencapai 80 meter. Longsoran ini terjadi pada tanah hasil
pelapukan dari breksi vulkanik pada perbukitan yang berupa hutan lebat dengan tipe
rotational sliding yang kemudian berubah menjadi aliran bahan rombakan. Pada bagian badan
longsoran terdapat mata air dan terlihat adanya scarp baru yang berpotensi untuk meluncur
kembali. Kondisi sebelum dan setelah terjadinya tanah longsor dapat dilihat pada gambar 2.

16
Pembahasan
Tanah longsor terjadi karena adanya peningkatan kandungan air pada lapisan tanah
pelapukan yang bersifat porous seiring dengan curah hujan yang tinggi sehingga terjadi
penjenuhan pada tanah pelapukan dan batuan permukaan. Penjenuhan ini mengakibatkan
bertambahnya bobot masa tanah dan meningkatnya tekanan pori sehingga tahanan geser
menjadi berkurang. Kemiringan lereng yang terjal (>45°) semakin memperkuat untuk
terjadinya keruntuhan. Kontak antara tanah pelapukan yang cukup tebal dengan breksi tufa
bertindak sebagai bidang gelincir.
Material longsoran bergerak mengikuti lembah dan menggerus tebing lembah yang dilaluinya
sehingga semakin meningkatkan volume material rombakan yang dibawa. Banyaknya
volume material rombakan yang kemudian tercampur dengan air sungai yang dilaluinya
mengakibatkan viskositas semakin meningkat sehingga aliran bahan rombakan ini
menjangkau areal yang cukup jauh dan merusak serta menimbun sarana dan prasarna yang
dilaluinya. Peta situasi tanah longsor dapat dilihat pada gambar 3.

17
Besarnya jumlah korban jiwa dan kerusakan yang ditimbulkan oleh tanah longsor ini
berhubungan dengan mekanismenya. Tanah longsor yang terjadi berkembang menjadi aliran
bahan rombakan dan mengalami peningkatan jumlah material sepanjang alur yang dilaluinya.
Dinamika yang terjadi selama pengaliran bahan rombakan yang berasal dari longsoran tanah
dimulai dari titik awal longsoran (source area) yang ditandai oleh terbentuknya mahkota
longsoran, sepanjang alur alirannya (flow track) sampai ke tempat material longsoran itu
terendapkan (depositional toe) seperti pada gambar 4. Selama dalam perjalanannya melalui
flow track, terjadi pengerosian samping sehingga jumlah material longsoran meningkat.
Aliran bahan rombakan ini juga membawa serta pohon pohon dan material lainnya yang
berada di sekitar longsoran. Kondisi ini mengakibatkan daya rusak yang ditimbulkan menjadi
lebih besar. Daerah pegunungan merupakan lokasi yang rentan untuk terjadinya aliran bahan
rombakan (debris flow) yang mempunyai daya rusak tinggi sepanjang jalur yang dilaluinya.
Kecepatan aliran debris flow tergantung materialnya, kandungan air, dan kondisi topografi
atau lintasan alirannya.

Beberapa hal yang harus diperhatikan


Tanah longsor sepertinya sudah menjadi hal yang biasa terjadi di Indonesia, terutama
pada musim hujan. Tetapi sudah begitu pahamkah masyarakat, terutama yang tinggal di
daerah rawan bencana tanah longsor, terhadap tandatanda awal (precursor) akan terjadinya
tanah longsor.

18
Berdasarkan hasil penyelidikan melalui dialog dengan masyarakat sekitar dan saksi mata
yang menyaksikan secara langsung peristiwa ini, diperoleh beberapa informasi menarik yang
sudah sepatutnya menjadi perhatian bagi kita yang peduli bencana, terutama tanah longsor.
Masyarakat merasakan adanya getaran semacam gempa yang terjadi secara lokal beberapa
jam sebelum terjadinya tanah longsor.
a. Mahkota longsoran (source area)
b. Pengerosian samping (flow track)
c. Perubahan arah alir (flow track)
d. Total landaan (Deposotional toe)
Getaran ini dirasakan pada dinihari menjelang pagi setelah sebelumnya turun hujan
dengan intensitas tinggi dan berlangsung lama. Hal lain yang dijumpai oleh masyarakat
adalah munculnya mata air baru pada beberapa titik di bagian bawah lereng yang sebelumnya
tidak ada. Kondisi lain yang menjadi penciri awal sebelum terjadinya tanah longsor yang
dijumpai dan dirasakan oleh masyarakat adalah terjadinya perubahan fisik air pada mata air
yang terdapat di sekitar kaki lereng. Air yang muncul pada mata air ini sebelumnya bersih
dan bening, namun kemudian mengalami perubahan warna menjadi keruh dan kotor.
Retakan-retakan sebelumnya juga dijumpai oleh beberapa masyarakat yang melewati bagian
atas lereng.
Apabila kita telaah maka beberapa kondisi ini merupakan pesan alam yang diberikan
kepada masyarakat akan terjadinya tanah longsor yang pada beberapa waktu kemudian
menimbulkan korban jiwa yang banyak dan kerugian harta yang besar. Apabila kita lebih
jauh memahami kondisi alam yang menjadi petunjuk awal akan terjadinya gerakan
tanah/tanah longsor, maka ada kemungkinan jatuhnya korban jiwa akan dapat dihindari.

19
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Curah hujan di daerah Bandung dan sekitarnya dapat dianalisis menggunakan data
penginderaan jauh yaitu data MTSAT - 1R (Meteorological Satellite) dan data
Qmorph (Q Morphing), dimana sebelum kejadian longsor di Desa Tenjolaya-
Kabupaten Bandung terjadi hujan yang lebat sampai dengan sangat lebat yaitu berisar
antara 35 sampai 45 mm/ jam, sehingga curah hujan ini akan memicu terjadinya tanah
longsor.
2. Kondisi fisik daerah khususnya di daerah Tenjolaya kecamatan Jambu merupakan
daerah yang berbukit (berdasarkan citra DEM-SRTM) sehingga mendukung untuk
terjadinya tanah longsor di daerah tersebut apabila WIDYA 59 Tahun 29 Nomor 318
Maret 2012 TEKNOLOGI terjadi hujan yang lebat hingga sangat lebat.
3. Daerah yang berbukit dengan kemiringan lereng yang terjal sampai curam dengan
penutup lahan dan penggunaan lahan perkebunan dan permukiman (sangat jelas
terlihat dari citra IKONOS), apabila terjadi hujan yang lebat selama beberapa hari
maka akar tanaman di daerah perkebunan tidak lagi kuat menahan air maka akan
berpotensi terjadinya tanah longsor.
4.1 Saran
Tanah longsor yang terjadi pada pagi hari di Perkebunan Teh Dewata yang berada
pada wilayah pegunungan dengan udara yang sejuk serta pemandangan yang indah telah
menyentak semua pihak akan terulangnya kembali bencana akibat tanah longsor. Sebagai
bangsa yang berada pada wilayah yang rawan bencana geologis, seperti gerakan tanah, maka
sudah sepatutnya kita memahami kondisi alam kita dan selalu meningkatkan kewaspadaan
terhadap ancaman gerakan tanah yang dapat menimbulkan bencana.
1. Pemahaman mengenai petunjuk awal (precursor) terjadinya gerakan tanah merupakan
hal yang penting dalam mendukung keberhasilan mitigasi gerakan tanah dan akan
sangat menguntungkan sehingga dapat menghindarkan diri sebelum bencana datang
sebagai langkah yang baik dalam menghadapi bencana, karena alam bukan untuk
dilawan.
2. Perlu dibentuknya suatu badan pengamat bencana di wilayah kecamatan, yang
diharapkan dapat memberikan infomasi secara cepat kepada masyarakat di wilayah
yang rawan terjadinya bencana

20
3. Perlu diwaspadai potensi longsor di sekitar daerah kejadian tanah longsor (di Desa
Tenjolaya) yang mempunyai kesamaan atau ciri-ciri dalam hal morfologi dan penutup
lahannya, dengan mempunyai ciri-ciri yang sama kemungkinan potensi terjadinya
tanah longsor semakin besar
4. Perlu adanya penanggulangan Bencana yang melibatkan setiap lapisan masyarakat
dengan sistem yang terarah dan terpadu karena setiap lapisan masyarakat mempunyai
porsi dan tugas tersendiri, tidak hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun.

21

Anda mungkin juga menyukai