Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan Negara kepulauan tempat dimana tiga lempeng besar
dunia bertemu, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Proses
dinamika lempeng yang cukup intensif telah membentuk relief permukaan
bumi yang khas dan cukup bervaiasi, dari wilayah yang landai sepanjang
sepanjang pantai dengan potensi ancaman banjir, penurunan tanah dan tsunami
hingga wilyah pegunungan dengan lereng-lereng yang curam yang berpotensi
longsor yang tinggi.
Longsor merupakan perpindahan masa tanah secara alami, longsor terjadi
dalam waktu singkay dan dengan volume yang besar. Pengangkutan massa
tanah terjadi sekaligus, sehingga tingkat kerusakan yang ditimbulkan besar.
Suatu daerah dinyatakan memiliki potensi longsor apabila memenuhi tiga
syarat, yaitu : 1) lereng cukup curam, 2) memiliki bidang luncur berupa
lapisan di bawah permukaan tanah yang semi permeable dan lunak dan 3)
terdapat cukup air untuk memenuhi tanah di atas bidang luncur
Seperti halnya banjir, tanah longsor merupakan bencana alam yang dapat
diramalkan kedatangannya, karena bencana longsor berhubungan dengan
tingginya curah hujan yang tinggi. Daerah potensi longsor umumnya
merupakan daerah di tepi pegunungan terjal maupun daerah aliran sungai,
yaitu disekitar tebing sungai. Adapun elemen-elemen lain yang berpengaruh
terhadap terjadinya tanah longsor adalah jenis tanah, faktor geologi, penutupan
lahan, faktor kegempaan dan kemiringan lahan. (Purnamasari 2007)
Muntohar (Republika Online, 2010) menyatakan bahwa setidaknya
terdapat 918 lokasi rawan longsor di Indoesia dan kerugian yang ditanggung
akibat bencana tanah longsor sekitar Rp 800 Miliar, sedangkan jiwa yang
terancam sekitar 1 juta setiap tahunnya”. Dari tahun ke tahun, frekuensi
bencana longsor yang terjadi di Indonesia semakin meningkat. Salah satunya
Provinsi Jawa Barat, menurut BNPD (Badan Nasional Penanggulangan
Bencana) tahun 2011 halaman 199-206 menyebutkan terdapat 11 kabupaten di
Jawa baratyang masuk kategori rawan longsor, yaitu Kabupaten Garut,
Tasikmalaya, Cianjur, Bandung, Bogor, Majalengka, Cirebon, Ciamis,
Kuningan, Purwakarta, Sukabumi, Kota Cimahi, dan Sumedang.Jawa Barat
memiliki zona merah rawan longsor nomor satu di Indonesia, dengan kondisi
geografis yang rata-rata terbukti di lembah (PVMBG dalam National
Geograpic Indonesia, 27 Maret 2013)
Tercatat pada data BNPB (2011, hlm. 199) bahwa “Kabupaten
Tasikmalaya menduduki rangking nasional ke 16 indeks rawan bencana
longsor di Indonesia, sedangkan di Provinsi Jawa Barat, kabupaten
Tasikmalaya menduduki peringkat kedua setelah Kabupaten Garut”. Salah
satu faktor yang menyebabkan Kabupaten Tasikmalaya rawan terhadap
bencana longsor adalah kondisi topografi yang sebagian besar curam.
Sebagaimana yang dikemukakan BPS Kabupaten Tasikmalaya (2013) bahwa
“sebagian besar bentang alam Kabupaten Tasikmalaya didominasi oleh bentuk
permukaan bumi yang agak c uram sampai dengan sangat curam, yaitu sebesar
78,47% dari luas Kabupaten Tasikmalaya”. Menurut data laporan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Tasikmalaya tahun
2013, sepanjang tahun 2013 Kabupaten Tasikmalaya tercatat 165 kali kejadian
bencana longsor, dan 161 kali kejadian longsor pada tahun 2014 sampai akhir
bulan Agustus. Beberapa kecamatan yang rawan longsor diantaranya
Bojonggambir, Taraju, Karangnunggal, Culamega, Sodong Hilir, Sukahening,
Cikatomas, Salopa, Puspahiang, Salawu, dan Jatiwaras. Daerah tersebut
masuk ke dalam zona merah rawan longsor, namun hingga saat ini belum bisa
didata secara detail titik longsor yang ada di kecamatan tersebut.
Hasil analisis tingkat kerentanan bencana longsor ini akan
diinterpretasikan ke dalam bentuk peta agar mudah dipahami. Peta kerentanan
bencana longsor merupakan bagian dari sistem peringatan dini dari bahaya
longsor sehingga akibat dari bencana tersebut dapat diperkirakan. Dalam hal
ini teknologi Sistem Informasi Geografis sangat tepat dalam memetakan
daerah rentan longsor di Kecamatan Sukahening secara efektif, efisien, dan
berakurasi tinggi. Saat ini, lembaga pemerintah di bidang kebencanaan belum
menyediakan peta kerentanan bencana longsor dalam cakupan wilayah
kabupaten atau kecamatan, melainkan hanya tersedia peta kerentanan bencana
longsor tingkat nasional. Dengan demikian, sangat penting dan perlu untuk
membuat peta analisis kerentanan bencana longsor dalam cakupan kecamatan.
Analisis kerentanan tersebut merupakan bagian dari upaya mitigasi bencana
yang diharapkan bisa menjadi
Hasil analisis tingkat kerentanan bencana longsor ini akan
diinterpretasikan ke dalam bentuk peta agar mudah dipahami. Peta kerentanan
bencana longsor merupakan bagian dari sistem peringatan dini dari bahaya
longsor sehingga akibat dari bencana tersebut dapat diperkirakan. Dalam hal
ini teknologi Sistem Informasi Geografis sangat tepat dalam memetakan
daerah rentan longsor di Kabupaten Tasikmalaya secara efektif, efisien, dan
berakurasi tinggi. Setelah melihat fakta tersebut, maka penting dan perlu
dilakukannya penelitian penulis tertarik mengambil penelitian dengan judul
“ZONASI RAWAN BENCANA TANAH LONGSOR DENGAN METODE
ANALISIS GIS: STUDI KASUS DAERAH TASIKMALAYA DAN
SEKITARNYA”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dikemukakan
rumusan masalah penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana potensi longsor di Kecamatan Sukahening Kabupaten
Tasikmalaya?
2. Bagaimana tingkat kerentanan bencana longsor di Kecamatan
Sukahening Kabupaten Tasikmalaya?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis potensi longsor di Kecamatan Sukahening Kabupaten
Tasikmalaya.
2. Menganalisis tingkat kerentanan bencana longsor di Kabupaten
Tasikmalaya.

1.4 SISTEMATIS PENELITIAN


Struktur organisasi dari karya ilmiah yang dibuat ini disusun dari
lima bab, masing- masing bab tersebut memiliki konten yang berbeda
yang disusun secara sistematis dan terpadu.
BAB I terdiri dari latar belakang penelitian, identifikasi masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, dan sistematis penelitian
BAB II atau kajian pustaka memuat teori-teori yang sesuai dengan
tema penelitian. Karena tema penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah mitigasi bencana maka teori yang ditulis dalam karya tulis ini
diantaranya adalah definisi
BAB III atau Metode Penelitian yang memuat lokasi penelitian,
waktu penelitian, metode pelaksanaan, populasi, variabel penelitian, teknik
analisis data, instrument data dan kerangka berpikir.
BAB IV merupakan jawaban dari rumusan masalah yang ada pada
bab I. Pada bab ini memuat informasi tentang gambaran umum mengenai
kondisi fisik dari lokasi penelitian. Kemudian pada bab ini terdapat
identifikasi faktor penyebab bencana longsor berdasarkan setiap
parameternya.
BAB V merupakan bab terakhir dari karya tulis ini. Pada bab ini
terdapat kesimpulan dari penelitian yang dilakukan dan saran yang bisa
disampaikan penulis terkait dengan tema penelitian yang diambil
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bencana Tanah Longsor

2.1.1 Definisi
Quarantelli diacu dalam Alhasanah [11] memberikan pengertian
bencana sebagai suatu kejadian aktual, lebih dari suatu ancaman yang
potensial atau dengan diistilahkan sebagai realisasi dari bahaya. Bencana
pada dasarnya merupakan fenomena sosial yang terjadi ketika suatu
komunitas mengalami kerugian akibat bencana tersebut. Secara lebih rinci,
definisi bencana difokuskan pada ruang dan waktu ketika suatu komunitas
menghadapi bahaya yang besar dan hancurnya berbagai fasilitas penting
yang dimilikinya, jatuhnya korban manusia, kerusakan harta benda dan
lingkungan, sehingga berpengaruh pada kemampuan komunitas tersebut
untuk mengatasinya tanpa bantuan dari pihak luar.

Bencana tanah longsor adalah istilah umum dan mencakup ragam yang
luas dari bentuk-bentuk tanah dan proses-proses yang melibatkan gerakan
bumi, batu-batuan atau puing-puing pada lereng bawah di bawah pengaruh
gravitasi. Biasanya, terjadinya tanah longsor didahului oleh fenomena
alam lainnya, yaitu seperti hujan lebat, gempa bumi, banjir dan gunung
berapi. Kerusakan yang disebabkan oleh tanah longsor pada selang waktu
tertentu dapat menyebabkan kerugian properti yang lebih banyak
dibandingkan dengan kejadian geologi lain.

Bencana dapat terjadi karena saling bertemu dua faktor, yakni bahaya
(hazard) dan kerentanan (vulnerability). Oleh karena itu harus saling
diketahui faktor-faktor bahaya dan kerentanan yang terdapat disuatu
daerah, agar daerah tersebut dapat terbebas atau terhindarkan dari
bencana. Istilah bahaya atau hazard mempunyai kemungkinan
terjadinya bahaya dalam suatu periode tertentu pada suatu daerah yang
berpotensi terjadinya bahaya tersebut. Bahaya berubah jadi bencana
apabila telah mengakibatkan korban jiwa, kehilangan atau kerusakan
harta dan kerusakan lingkungan.

2.1.2 Tanah longsor (landslide)


Gerakan tanah atau lebih dikenal dengan istilah tanah longsor
atau landslide adalah suatu produk dari proses gangguan
keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan
batuan ke tempat yang lebih rendah. Gaya yang menahan massa tanah
di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik tanah dan
sudut dalam tahanan geser tanah yang bekerja disepanjang lereng.
Perubahan gaya-gaya tersebut ditimbulkan oleh pengaruh
perubahan alam maupun tindakan manusia. Perubahan kondisi alam
dapat diakibatkan oleh gempa bumi, erosi, kelembaban lereng karena
penyerapan air hujan dan perubahan aliran permukaan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah antara lain: tingkat
kelerengan, karakteristik tanah, keadaan geologi, curah hujan/hidrologi
dan aktivitas manusia di wilayah tersebut [12]. Cruden [13]
mengemukakan longsoran (landslide) sebagai pergerakan suatu massa
batuan, tanah, atau bahan rombakan material penyusun lereng (yang
merupakan pencampuran tanah dan batuan) menuruni lereng.
Terjadinya longsoran pada umumnya disebabkan oleh batuan hasil
pelapukan yang terletak pada topografi yang mempunyai kemiringan
terjal sampai sangat terjal dan berada di atas batuan yang bersifat
kedap air (impermeable) sehingga berfungsi sebagai bidang luncur.
Secara teoritis, tanah longsor terjadi disebabkan adanya gaya gravitasi
yang bekerja pada suatu massa (tanah dan atau batuan). Dalam hal ini,
besarnya pengaruh gaya gravitasi terhadap massa tersebut, ditentukan
oleh besarnya sudut kemiringan lereng terhadap bidang horizontal
(kelerengan). Semakin besar kelerengan, akan semakin besar
kemungkinan terjadinya gerakan massa, begitu juga sebaliknya.
Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa
tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng
alam atau batuan. Kondisi tersebut sebenarnya merupakan fenomena
alam, yaitu alam mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan
atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya
pengurangan kekuatan geser serta peningkatan tegangan geser tanah.
Besarnya gaya penahan material pembentuk lereng atau disebut juga
sebagai kekuatan geser (shear strength) menjadi berkurang karena
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari alam itu sendiri. Hal
ini berkaitan erat dengan kondisi geologi sebagaimana dikemukakan
Sutikno [12], yaitu sebagai berikut:

2. Komposisi dan tekstur material.


3. Jenis material lempung, daya ikat antar butir lemah, bentuk
butiran halus dan seragam.
4. Reaksi kimia.
5. Perubahan ion, hidrasi lempung dan pengeringan lempung.
6. Pengaruh tekanan air pori.
7. Perubahan struktur material karena pengaruh pelapukan
8. Vegetasi/tutupan lahan yang berubah.

Selanjutnya, Sutikno [12] juga menjelaskan bahwa peningkatan


tegangan geser dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain:

1. Hilangnya penahan lateral; karena aktifitas erosi, pelapukan,


penambahankemiringan lereng, dan pemotongan lereng.
2. Kelebihan beban; karena air hujan yang meresap ke tanah,
pembangunan diatas lereng dan genangan air di atas lereng.
3. Getaran; karena gempa bumi atau mesin kendaraan.
4. Hilangnya tahanan bagian bawah lereng; karena pengikisan air,
penambangan batuan, pembuatan terowongan dan eksploitasi
air tanah berlebihan.
5. Tekanan lateral; karena pengisian air di pori-pori antar butiran
tanah dan pengembangan tanah.
6. Struktur geologi; yang berpotensi mendorong terjadinya
longsor adalah kontak antar batuan dasar dengan pelapukan
batuan, adanya retakan, patahan, rekahan, sesar dan perlapisan
batuan yang terlampau miring.

7. Sifat batuan; pada umumnya komposisi mineral dari pelapukan


batuan vulkanis yang berupa lempung akan mudah
mengembang dan bergerak. Tanah dengan ukuran batuan yang
halus dan seragam, kurang padat atau kurang kompak.
8. Air; adanya genangan air, kolam ikan, rembesan, susut air
cepat. Saluran air yang terhambat pada lereng menjadi salah
satu sebab yang mendorong munculnya pergerakan tanah atau
longsor.

9. Vegetasi/tutupan lahan; peranan vegetasi pada kasus longsor


sangat kompleks. Jika tumbuhan tersebut memiliki perakaran
yang mampu menembus sampai lapisan batuan dasar maka
tumbuhan tersebut akan sangat berfungsi sebagai penahan masa
lereng. Di sisi lain meskipun tumbuhan memiliki perakaran
yang dangkal tetapi tumbuh pada lapisan tanah yang memiliki
daya kohesi yang kuat sehingga menambah kestabilan lereng.
Pada kasus tersebut tumbuhan yang hidup pada lereng dengan
kemiringan tertentu justru berperan sebagai penambah beban
lereng yang mendorong terjadinya longsor.
2.1.3 Faktor penyebab longsor

Terjadinya longsor ditandai dengan bergeraknya sejumlah massa


tanah secara bersama-sama dan terjadi sebagai akibat meluncurnya
satu volume tanah di atas satu lapisan agak kedap air yang jenuh air.
Lapisan yang terdiri dari tanah liat atau mengandung kadar tanah
liat tinggi setelah jenuh air akan bertindak sebagai peluncuran [14].
Karnawati diacu dalam Febriana [15]-[16] menyatakan salah satu
faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor adalah air hujan.
Air hujan yang telah meresap ke dalam tanah lempung pada lereng
akan tertahan oleh batuan yang lebih kompak dan lebih kedap air.
Derasnya hujan mengakibatkan air yang tertahan semakin
meningkatkan debit dan volumenya dan akibatnya air dalam lereng
ini semakin menekan butiran-butiran tanah dan mendorong tanah
lempung pasiran untuk bergerak longsor. Batuan yang kompak dan
kedap air berperan sebagai penahan air dan sekaligus sebagai bidang
gelincir longsoran, sedangkan air berperan sebagai penggerak massa
tanah yang tergelincir di atas batuan kompak tersebut. Semakin
curam kemiringan lereng maka kecepatan penggelinciran juga
semakin cepat. Semakin gembur tumpukan tanah lempung maka
semakin mudah tanah tersebut meloloskan air dan semakin cepat air
meresap ke dalam tanah. Semakin tebal tumpukan tanah, maka
semakin besar volume massa tanah yang longsor. Tanah yang
longsor dengan cara demikian umumnya dapat berubah menjadi
aliran lumpur yang pada saat longsor sering menimbulkan suara
gemuruh.

Pengaruh hujan dapat terjadi di bagian lereng-lereng yang


terbuka akibat aktivitas makhluk hidup terutama berkaitan dengan
budaya masyarakat saat ini dalam memanfaatkan alam berkaitan
dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan), kurang memperhatikan
pola-pola yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Penebangan
hutan yang seharusnya tidak diperbolehkan tetap saja dilakukan,
sehingga lahan-lahan pada kondisi lereng dengan geomorfologi
yang sangat miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi rawan
longsor. Menurut Arsyad [14] longsoran akan terjadi jika terpenuhi
tiga keadaan sebagai berikut:

1. Adanya lereng yang cukup curam sehingga massa tanah dapat


bergerak atau meluncur ke bawah.
2. Adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah yang agak
kedap air dan lunak, yang akan menjadi bidang luncur.
3. Adanya cukup air dalam tanah sehingga lapisan massa tanah
yang tepat di atas lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh.
Lapisan kedap air dapat berupa tanah liat atau mengandung
kadar tanah liat tinggi atau dapat juga berupa lapisan batuan,
seperti napal liat (clay shale).

Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi


faktor alam dan faktor manusia merupakan salah satu pemicu
terjadinya tanah longsor. Faktor alam meliputi lereng terjal yang
diakibatkan oleh patahan dan lipatan kulit bumi, erosi dan pengikisan,
daerah longsoran lama, ketebalan tanah pelapukan bersifat lembek.

2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG)

2.2.1 Definisi

Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu sistem


berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan
memanipulasi informasi-informasi geografis. SIG dirancang untuk
mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis objek-objek dan
fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang
penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan
sistem komputer yang memiliki empat kemampuan untuk menangani
data bereferensi geografis, yaitu pemasukan data, pengelolaan atau
manajemen data (menyimpan atau pengaktifan kembali), analisis dan
manipulasi data serta keluaran data. Pemasukan data ke dalam SIG
dilakukan dengan cara digitasi dan .

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem berbasis


komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware),
perangkat lunak (software), data geografis dan sumberdaya manusia
(brainware) yang mampu merekam, menyimpan, memperbaharui,
menampilkan dan menganalisis informasi yang bereferensi geografis

[18]. Kelebihan SIG terutama berkaitan dengan kemampuannya


dalam menggabungkan berbagai data yang berbeda struktur, format
dan tingkat ketepatan. Sehingga memungkinkan integrasi berbagai
disiplin keilmuan yang sangat diperlukan dalam pemahaman fenomena
bahaya longsoran, dapat dilakukan lebih cepat. Salah satu kemudahan
utama penggunaan SIG dalam pemetaan bahaya longsoran adalah
kemampuannya menumpang-tindihkan longsoran dalam unit peta
tertentu sehingga dapat dianalisis secara kuantitatif [19].

2.2.2 Komponen SIG

Menurut Lo [20], SIG paling tidak terdiri dari subsistem


pemprosesan, subsistem analisis data dan subsistem menggunakan
informasi. Subsistem pemprosesan data mencakup pengambilan data,
input dan penyimpanan. Subsistem analisis data mencakup perbaikan,
analisis data dan keluaran informasi dalam berbagai bentuk. Subsistem
yang memakai informasi memungkinkan informasi relevan diterapkan
pada suatu masalah. Dalam rancangan SIG komponen input dan output
data memiliki peranan dominan membentuk arsitektur suatu sistem. Hal
tersebut penting untuk memahami kedalam prosedur yang dipakai
dalam kaitannya dengan masalah input/output data, juga organisasi data
dan pemprosesan data. Ada tiga kategori data secara luas untuk input
pada suatu sistem, yaitu: Alfanumerik, Piktorial atau grafik dan data
penginderaan jauh dari bentuk digital. Gistut diacu dalam Prahasta [21]
menyatakan bahwa SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya
terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain
ditingkat fungsional dan jaringan. Sistem ini terdiri dari beberapa
komponen, yaitu: perangkat keras, perangkat lunak, data geospasial,
dan sumber daya manusia.

A. Perangkat keras (hardware)

SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras mulai


dari PC (personal computer) desktop, workstation, hingga
multiuser host yang dapat digunakan oleh banyak orang secara
bersamaan dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan
tinggi, memiliki ruang penyimpanan (harddisk) yang besar, dan
mempunyai kapasitas memori (RAM) yang besar. Walaupun
demikian, fungsionalitas SIG tidak terikat secara ketat terhadap
karakteristik-karakteristik fisik perangkat keras ini sehingga
keterbatasan memori pada PC pun dapat diatasi. Adapun
perangkat keras yang sering digunakan untuk SIG adalah
komputer (PC), mouse, keyboard, digitizer, printer, scanner dan
CD-Writer.

B. Perangkat lunak (software)

SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun


secara modular dimana basis data memegang peranan kunci.
Setiap subsistem diimplementasikan dengan menggunakan
perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul sehingga tidak
mengherankan jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratusan
modul program yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri.
Saat ini terdapat banyak sekali perangkat lunak SIG baik yang
berbasis vektor maupun yang berbasis raster. Nama perangkat
lunak SIG yang berbasis vektor antara lain ARC/INFO, Arc VIEW,
Map INFO, CartaLINX dan AutoCAD Map. Sedangkan perangkat
lunak SIG yang berbasis raster antara lain ILWIS, IDRISI, ERDAS
dan sebagainya.

C. Data geospasial

SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi


yang diperlukan baik secara tidak langsung dengan cara
menurunkannya dari perangkat-perangkat lunak SIG yang lain
maupun secara langsung dengan cara mendigitasi data spasialnya
dari peta dan memasukkan data atributnya dari tabel-tabel dan
laporan dengan menggunakan keyboard.

D. Manajemen

Komponen terakhir yang tak terelakan dari SIG adalah


sumberdaya manusia yang terlatih. Peranan sumberdaya manusia
ini adalah untuk menjalankan sistem yang meliputi pengoperasian
perangkat keras dan perangkat lunak, serta menangani data
geografis dengan kedua perangkat tersebut. Sumberdaya manusia
juga merupakan sistem analis yang menerjemahkan permasalahan
riil di permukaan bumi dengan bahasa SIG, sehingga
permasalahan tersebut bisa teridentifikasi dan memiliki
pemecahannya.
E. Cara kerja SIG

SIG dapat mempresentasikan real world (dunia nyata) di atas


monitor komputer yang kemudian mempresentasikan keatas kertas.
Tetapi, SIG memiliki kekuatan lebih dan fleksibilitas daripada
lembaran peta kertas. Obyek-obyek yang dipresentasikan diatas
peta disebut unsur peta atau map features (contohnya taman,
sungai, kebun, jalan dan lain-lain). Peta yang ditampilkan bisa
berupa titik, garis dan poligon serta juga menggunakan simbol-
simbol grafis dan warna untuk membantu mengidentifikasi unsur-
unsur berikut deskripsinya. SIG menyimpan semua informasi
deskriptif unsur-unsurnya sebagai atribut-atribut basis data.
Kemudian, SIG membentuk dan menyimpannya dalam tabel-tabel.
Setelah itu SIG menghubungkan unsur-unsur diatas dengan tabel-
tabel yang bersangkutan. Dengan demikian, atribut-atribut dapat
diakses melalui lokasi-lokasi unsur peta dan sebaliknya unsur-
unsur peta juga dapat diakses melalui atributnya. Oleh karena itu,
unsur itu bisa dicari dan dapat ditemukan berdasarkan atribut-
atributnya. SIG menghubungkan sekumpulan unsur-unsur peta
dengan atributnya di dalam satuan-satuan yang disebut layer.
Sungai, bangunan, jalan, laut, batas-batas administratif,
perkebunan dan hutan merupakan contoh layer. Kumpulan layer
tersebut membentuk basis data SIG. Dengan demikian,
perancangan basis data akan menentukan efektifitas dan efisiensi
proses-proses masukan, pengelolaan dan keluaran. SIG memiliki
kemampuan untuk keperluan analisis keruangan. Beberapa macam
analisis keruangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Klasifikasi/reklasifikasi, digunakan untuk mengklasifikasikan


atau reklasifikasi data spasial atau data atribut menjadi data
spasial baru dengan memakai kriteria tertentu.
2. Penumpukan (overlay), digunakan untuk mengetahui hasil
interaksi atau gabungan dari beberapa peta. Overlay beberapa
peta akan menghasilkan satu peta yang menggambarkan luasan
atau polygon yang terbentuk dari irisan dari beberapa peta.
Selain itu, overlay juga menghasilkan gabungan data dari
beberapa peta yang saling beririsan.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian


Kondisi fisik dasar Kabupaten Tasikmalaya secara geografis
terletak antara 7°02'29" - 7°49'08" Lintang Selatan dan 107°54'10" -
108°26'42" Bujur Timur. Secara administratif Kabupaten Tasikmalaya
memiliki batas wilayah sebagai berikut:

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kota Tasikmalaya, dan Kab.


Ciamis;
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia.
 Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Garut; dan
 Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Ciamis.
Kabupaten Tasikmalaya mempunyai luas wilayah sebesar
2.708,81 km2 atau 270.881 ha, secara administratif terdiri dari 39
Kecamatan, 351 desa.Tiga kecamatan merupakan kecamatan yang
mempunyai wilayah pesisir dan lautan yaitu Kecamatan Cikalong,
Cipatujah dan Karangnunggal, dengan panjang garis pantai 56 km.

Wilayah Kabupaten Tasikmalaya memiliki ketinggian berkisar


antara 0 – 2.500 meter di atas permukaan laut (dpl). Secara umum
wilayah tersebut dapat dibedakan menurut ketinggiannya, yaitu :
bagian Utara merupakan wilayah dataran tinggi dan bagian Selatan
merupakan wilayah dataran rendah dengan ketinggian berkisar antara 0
– 100 meter dpl.

Kondisi kemiringan lahan di Kabupaten Tasikmalaya berturut-


turut yaitu: Sangat Curam (> 40 %) sebesar 1,39 % dari luas
Kabupaten Tasikmalaya, Agak Curam (15 % - 40 %) sebesar 25,35 %,
Curam (5 % - 15 %) sebesar 27,11 %, Landai (2 % - 5 %) sebesar
13,27 %, dan Datar ( 0 % - 2 %) sebesar 32,87 % dari luas Kabupaten
Tasikmalaya. Dari data kemiringan lahan terlihat bahwa sebagian besar
bentang alam Kabupaten Tasikmalaya didominasi oleh bentuk
permukaan datar sampai dengan agak curam, dengan kondisi
kemiringan lahan tersebut kurang menguntungkan untuk
pengembangan prasarana dan sarana wilayah.

Kondisi hidrologi di wilayah Kabupaten Tasikmalaya terdiri


dari Daerah Aliran sungai-besar dan sungai kecil yang merupakan
bagian dari sistem drainase yang dipengaruhi oleh kondisi topografi
dan struktur fisiografinya di Kabupaten Tasikmalaya terdapat 6 daerah
aliran sungai besar atau sungai utama, yaitu Sungai Cilangla,
Cimedang, Cisanggiri, Cipatujah, Citanduy, dan Sungai Ciwulan. Pola
aliran daerah aliran sungai umumnya berpola radial, karena lebih
dipengaruhi dominansi vulkanik. Pada daerah tektonik pola aliran
berubah menjadi tidak teratur (irregular), tergantung pada bentuk dan
arah proses tektonik yang terjadi.
3.2

Waktu pelaksanaan
Waktu penelitian ini akan dilaksanakan mulai dari bulan
februari 2018 sampai dengan bulan April 2018.

3.3 Metode Pelaksanaan


Menurut Arikunto (2006, hlm. 149) “Metode penelitian
adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam menggunakan data
penelitiannya”. Berdasarkan pengertian tersebut, metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif
dengan prosedur analisis software Geographic Information
System (GIS) berupa tumpang tindih faktor–faktor yang
berpengaruh terhadap sebaran gerakan tanah. Hasil yang diperoleh
berupa zonasi daerah yang rentan oleh gerakan tanah pada daerah
Tasikmalaya dan sekitarnya, sehingga diharapkan dapat bermanfaat
bagi pemerintah dan masyarakat dalam menanggulangi dan
mengantisipasi adanya bahaya dari gerakan tanah tersebut.

Dalam pelaksanaan penelitian, dilakukan beberapa tahapan,


yaitu tahap akuisisi, analisis laboratorium, sistesis, dan analisis
GIS. Tahap akuisisi merupakan tahapan perolehan data awal atau
bahan-bahan yang dipakai sebagai dukungan penelitian.Penelitian
ini menggunakan data sekunder (Peta Geologi Lembar
Tasikmalaya, Jawa skala 1 : 25.000, Peta Topografi ,Peta
Tataguna Lahan Kabupaten Tasikmalaya, data curah hujan,) dan
data primer yang didapatkan langsung di lapangan. (Tara Shinta ,
2017)

Tahap analisis dilakukan dengan membagi satuan


bentuklahan, satuan batuan, analisis struktur, dan petrografi.
Adapun tahap sintesis dilakukan dengan menggabungkan data–
data yang ada, baik data primer maupun data sekunder.
Pembuatan peta zonasi rawan bencana longsor menggunakan
software Arc GIS 10.2.2.

Software ini digunakan untuk menghitung persentase


kemiringan lereng, dan mengevaluasi parameter-parameter yang
berpengaruh terhadap gerakan tanah. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini mengacu pada Lampiran Keputusan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No.1452
K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pemetaan Zona
Kerentanan Gerakan Tanah.Pembagian zonasi rawan longsor.
3.4 Populasi
“Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas
objek/ subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh penliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya” (Sugiyono, 2011, hlm. 61). Berdasarkan
pengertian tersebut maka yang menjadi populasi wilayah dalam
penelitian ini adalah seluruh wilayah di Kabupaten Tasikmalaya
yang terdiri dari 39 Kecamatan, 351 desa. Dengan penduduk

3.5 Variabel Penelitian

Menurut Sugiyono (2011, hlm. 2), “variabel penelitian adalah


suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan
yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya ”. Adapun variabel
dalam penelitian ini terkait dengan hal- hal yang perlu dianalisis
dalam menentukan daerah potensi longsor di Kecamatan dan
tingkat kerentanan bencana longsor di Kecamatan Sukahening.
Variabel dalam penelitian ini untuk lebih jelasnya, dapat dilihat
pada tabel 3.1

Tabel 3.1
Variabel Penelitan Kerentanan Bencana Longsor

Variabel Indikator

1. Daerah potensilongsordi a. Faktor tanah


Kecamatan Sukahening b. Faktor geologi
c. Faktor penggunaan lahan
d. Faktor curah hujan
e. Faktor lereng
3.6 Teknik Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis


data kuantitatif. Analisis kuantitatif adalah pengamatan yang yang
melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu, ciri yang
dimaksud adalah mencakup setiap penelitian yang didasarkan atas
perhitungan presentase, rata-rata dan perhitungan statistik.
Berdasarkan pengertian tersebut analisis kuantitatif dalam
penelitian ini berupa pengukuran untuk menentukan skor terhadap
masing- masing wilayah pada beberapa parameter yang telah
ditetapkan menjadi indikator penelitian.

Dalam menentukan daerah potensi longsor terdapat 5


faktor utama yang digunakan yaitu faktor curah hujan (tipe
iklim), faktor tanah, faktor geologi, faktor penggunaan lahan, dan
faktor lereng. Urutan pemberian skor berdasarkan dari peranan
masing- masing variabel terhadap terjadinya longsor dimana
semakin tinggi nilai skor maka semakin besar pengaruhnya
terhadap kejadian longsor. Hasil skoring juga dapat menunjukkan
tingkat potensi suatu daerah terhadap bencana longsor. Sampel
penelitian untuk menentukan daerah potensi longsor yaitu
menggunakan analisis peta satuan lahan daerah penelitian.

Perincian penetapan skor dan bobot dapat dilihat pada tabel 3.4.

Tabel 3.4
Bobot dan skor parameter penyebab longsor

PARAMETER SKOR BOBOT

FAKTOR TANAH

JENIS TANAH
Aluvial 1

Andosol 2

0,2
Regosol 3

KEPEKAAN EROSI

Tidak peka 1

Peka 2

Sangat Peka 3

FAKTOR PENGGUNAAN LAHAN

TUTUPAN VEGETASI

Hutan 1

0,15
Semak belukar 2

Kebun, tegalan 3

Pemukiman 4

Pesawahan 5

FAKTOR LERENG

KEMIRINGAN LERENG

0-8% (Datar) 1

0,15
>8%-15% (Landai) 2

15-25% (Agak Curam) 3

25-40% (Curam) 4

>40% (Sangat Curam) 5

FAKTOR GEOLOGI
0,2

JENIS BATUAN
Bahan Vulkanik (Qvk, Qvsl, Qvu, Qvt dll) 1

Bahan Sedimen (Tmn, Tmj, Tmb, Tmbl, Tmtb) 2

FAKTOR CURAH HUJAN (TIPE IKLIM)

Tipe iklim kering (CH 1.000 – 2.000 mm/tahun) 1


0,3

Tipe iklim sedang (CH 2.000 – 2.500 mm/tahun) 2

Tipe iklim basah (CH 2.500 – 3.000 mm/tahun) 3

Tipe iklim sangat basah (CH >3.000 mm/tahun) 4


Sumber: Effendi, 2008 dan hasil modifikasi 2015

Berdasarkan yang ditunjukkan pada tabel 3.4 didapat suatu


persamaan yang digunakan untuk menghitung skor daerah potensi
longsor yang mengacu pada parameter faktor penyebab bencana
longsor di suatu kawasan yaitu:

Skor = (30% x faktor kelas curah hujan) + (20% x faktor

kelas geologi) + (20% x faktor kelas tanah) + (15% x faktor

kelas penggunaan lahan) + (15% x faktor kelas lereng)

Hasil skor daerah potensi longsor tersebut dibagi ke dalam 3 kelas,


yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Potensi longsor ini dapat digunakan
untuk menentukan indeks ancaman longsor di suatu wilayah. Kelas
zona ancaman longsor dapat dilihat pada tabel 3.5 berikut ini.

Tabel 3.5
Kelas Indeks Ancaman Longsor

Daerah Potensi Longsor Skor Kelas Indeks


Ancaman

Potensi longsor rendah <2,85 Rendah

Potensi longsor sedang 2,85-3,3 Sedang

Potensi longsor tinggi >3,3 Tinggi

3.7 Instrumen Data


Adapun bahan yang diperlukan untuk melakukan analisis
tingkat kerentanan bencana longsor Kecamatan Sukahening adalah
sebagai berikut

a. Peta Topografi Kabupaten Tasikmalaya


b. Peta Administrasi Kabupaten Tasikmlaya
c. Peta Curah Hujan Kabupaten Tasikmalaya (BAPPEDA
Kabupaten Tasikmalaya).
d. Peta Geologi Kabupaten Tasikmalaya (BAPPEDA Kabupaten
Tasikmalaya).
e. Peta Tanah Kabupaten Tasikmalaya (BAPPEDA Kabupaten
Tasikmalaya).
f. Peta Kemiringan Lereng Kabupaten Tasikmalaya (BAPPEDA
Kabupaten Tasikmalaya).
g. Data curah hujan tahun 2004-2014 sumber stasiun hujan
Lanud Wiriadinata Tasikmalaya.
3.8 Kerangka Berpikir

BPBD Kab
Tasikmalaya

Laporan Peta
Kejadian Bencana

identifikasi daerah potensial


longsor

1. Jenis tanah
Faktor tanah 2. Tekstur tanah
3. Ketebalan tanah
4. Kepekaan erosi

Faktor Penggunaan Jenis penggunaan lahan

Faktor Lereng Kemiringan lereng

Faktor Geologi Jenis bebatuan

Faktor Curah Hujan 1. Tipe iklim


2. Jumlah Curah Hujan

Anda mungkin juga menyukai