Anda di halaman 1dari 19

60

PENGEMBANGAN MODEL SIG PENENTUAN KAWASAN RAWAN


LONGSOR
SEBAGAI MASUKAN RENCANA TATA RUANG
Studi Kasus: Kabupaten Tegal
Oleh: Joko Susilo
ABSTRACT. Indonesia has physical nature which it sensitive to hazard like as
earthquake, tsunami, and landslide. Most of them, natural hazard which it
always happen in Indonesia is landslide, because about 45% of wide area in
Indonesia is mountain area which it has hill steep and dangerous to be
landslide hazard. A model to identified landslide area is very important as
simplified from fact. With this model, the landslide area can be identified
which it can be used as input in spatial planning in the next time.
Tegal Regency as one of region wich it has mountain area and also has many
people so the model of landslide will be applied in Tegal Regency. GIS
(Geographic Information System) as a tool will be help to make easy in
process and applicated.
Output from execute identification landslide model is a landslide area map,
which it has three categories; very dangerous area, rather dangerous area,
and safety area. A model is scoring system which has mean 1 until 5 scor and
weighted system from 7 (seven) variabel are slope, geology,
rainfall,
hidrogeology,infilltration rate, sesar area, and land cover.
After the model applicated in Tegal Regency, it has output landslide area map
which it about 4% area in Tegal Regency or 3600 ha is very dangerous
category. In the next time, that map can used as input spatial planning in
Tegal Regency.
Keywords: Landslide, model, GIS
PENDAHULUAN
Keberadaan suatu wilayah tidak
bisa terlepas dari adanya potensi
bencana alam, sehingga harus siap
pula untuk menghadapi bencana
tersebut.
Indonesia
memiliki
kondisi alam yang tergolong rawan
terhadap bencana-bencana seperti
gempa, tsunami, dan longsor.
Namun bencana yang hampir
terjadi pada setiap wilayah
di
Indonesia adalah bencana longsor,
karena sekitar 45% luas lahan di
Indonesia
adalah
lahan
pegunungan berlereng yang peka
terhadap longsor dan erosi. Hal ini

merupakan hambatan sekaligus


tantangan
bagi
perencanaan
wilayah mengingat sebagaian besar
wilayah kabupaten atau kota di
Indonesia
memiliki
kawasan
pegunungan. Namun kelerengan
bukanlah penyebab utama longsor
di Indonesia, secara umum faktorfaktor
yang
mempengaruhi
terjadinya longsor dan erosi adalah
faktor alam dan faktor manusia.
Faktor alam yang utama adalah
kelerengan, curah hujan, dan
geologi. Sedangkan faktor manusia
adalah semua tindakan manusia
yang
dapat
mempercepat
terjadinya erosi dan longsor.

TABEL 1

61

SEBARAN DAN LUAS LAHAN PERBUKITAN-PEGUNUNGAN DI


INDONESIA

Pulau

Perbukitan
(500 m dpl)
tipe A

Luas lahan (000 ha)


PerbukitanPerbukitanpegunungan
pegunungan
(> 500 mdpl)
(> 500 mdpl)
tipe B
tipe C

Sumatera

4.432

814

9.992

Jawa, Madura

3.576

1.250

1.646

Kalimantan

3.992

8.055

10.471

Sulawesi

2.596

3.337

7.996

Maluku dan Nusa


Tenggara

4.047

4.500

2.437

Papua

3.141

12.287

3.605

Total

21.784

30.243

36.147

Total

15.23
8
6.472
22.51
8
13.92
9
10.98
4
10.03
3
88.1
74

Keterangan: Tipe A sangat terpencar; Tipe B bersambung tetapi dipisah oleh batas yang agak jelas;
Tipe C bersambung tetapi dipisah oleh batas yang sangat jelas.
Sumber: Statistik Sumberdaya Lahan Pertanian (Puslit Tanah dan Agroklimat, 1997)

PERUMUSAN MASALAH
Sebagian besar peristiwa longsor
terjadi di daerah pegunungan yang
memiliki kelerengan curam dan
juga curah hujan yang tinggi.
Keberadaan daerah rawan longsor
selalu
menjadi
ancaman
bagi
kehidupan di sekitarnya, terutama
masyarakat yang tinggal di daerah
pegunungan.
Ironisnya,
tidak
sedikit pula masyarakat yang
memilih untuk tinggal di daerah
pegunungan karena potensi alam
yang dimilikinya.
Identifikasi kawasan rawan longsor
sangat diperlukan sebagai langkah
awal untuk perencanaan tata ruang
di masa mendatang. Keberadaan
kawasan rawan longsor harus
menjadi
pertimbangan
dalam
proses penyusunan rencana tata
ruang. Identifikasi kawasan rawan
longsor dengan menggunakan SIG
akan lebih mudah dan cepat dalam
prosesnya. Selain itu juga lebih
mudah untuk dilakukan suatu
perubahan
apabila
terdapat
pembaruan data, sehingga dapat

dihasilkan
akurat.

informasi

yang

lebih

TUJUAN
Penelitian
ini bertujuan untuk
mengembangkan
model
SIG
penentuan kawasan rawan longsor
yang akan dipergunakan untuk
mengidentifikasi kawasan rawan
longsor sebagai
masukan dalam
rencana tata ruang dengan studi
kasus Kabupaten Tegal.
SASARAN
1. Mengidentifikasi
faktor-faktor
yang terkait dengan bencana
longsor
2. Membangun model SIG
3. Mengaplikasikan
model
SIG
untuk
identifikasi
kawasan
longsor.
4. Memetakan tingkat kerawanan
longsor pada wilayah studi
5. Memetakan kesesuaian lahan
pada kawasan rawan longsor
6. Memberikan masukan untuk
rencana tata ruang.
LANDASAN TEORITIS

62

Pemodelan penentuan kerawanan


longsor dibuat dengan membagi
masing-masing faktor ke dalam
lima kriteria dengan nilai atau skor
minimal 1 dan skor maksimal 5.
Sedangkan
untuk
pembobotan
faktor
kelerengan, geologi dan
curah hujan masing-masing 20%,
sedangkan faktor lainnya seperti
kedalaman air tanah, laju infiltrasi,
zona patahan dan penutup lahan
yaitu 10%. Pembobotan tersebut
didasarkan
pada
besarnya
pengaruh
terhadap
terjadinya
longsor di beberapa wilayah.
1. Kelerengan / Kemiringan
Menurut Deptan, makin curam
lereng makin besar pula volume
dan kecepatan aliran permukaan
yang
berpotensi
menyebabkan
erosi. Selain kecuraman, panjang
lereng juga menentukan besarnya
longsor dan erosi. Makin panjang
lereng, erosi yang terjadi makin
besar. Adapun skoring dari faktor
kelerengan dapat dilihat pada tabel
berikut;
TABEL 2
SKORING FAKTOR
KELERENGAN
Kelereng
Keterangan
an (20%)
< 2%
datar
2 - 15%
berombak
15 - 25%
bergelombang
25 45%
berbukit
Bergunung,
>45%
curam

Skor
1
2
3
4
5

Sumber: Kepmentan no.837 Th 1980

(rocks). Tanah dapat terdiri atas


bongkah, kerakal, kerikil, pasir
(sand), lanau (silt), lempung (clay).
Sedangkan
jenis-jenis
batuan
(rocks) dapat meliputi breksi,
konglomerat,
sandstone
(batupasir), siltstone (batulanau),
dan claystone (batulempung) yang
terbentuk dari unsur-unsur tanah
(soils). Jenis-jenis batuan lainnya
yaitu:
Aluvium

Aluvium
Pantai:
lempung,
mengandung
material
organik,
mudah
digali, pemeabilitas rendah,
jenuh air.

Aluvium
Sungai:
lempung,
pasir,
kerikil,
kerakal, dengan komposisi
andesitik - basaltik, lepaslepas,
mudah
digali,
permabilitas tinggi.

Aluvium
Lembah:
lempung tufan, pasir, lepaslepas,
mudah
digali/permeabilitas sedangtinggi,
muka
air
tanah
dangkal.
Endapan Pematang Pantai
Pasir halus dengan komposisi
andesitik, mengandung fragmen
cangkang, lepas-lepas, mudah
digali,
air
tanah
dangkal,
terdapat air tanah segar.
Endapan Vulkanik Muda
Lempung tufan, pasir tufan,
konglomerat, endapan lahar,
pelapukan dalam, muka air
tanah dalam.

2. Geologi
Ilmu
geologi
mencakup
studi
tentang tanah (soils) dan batuan

Klasifik
asi
Geologi

Periode
Pemben
tukan

TABEL 3
SKORING FAKTOR GEOLOGI
Deskripsi
Unsur Geologi

Sko
r

63

Qs
(Batuan
Sedime
n)

Pleistose
n

Qv
(Batuan
Gunung
Api)

Holosen

QTv
(Batuan
Gunung
Api)

Pleistose
nPliosen

Tmv
(Batuan
Gunung
Api)

Miosen
Tengah

Endapan Danau dan


Sungai Tua :
pasir, lanau dan
lempung
Batuan Gunung Api
Muda :
lava. bom, lapili, dan
abu
Tuf, tuf lapili, breksi
dan lava bersifat
andesit banyak
mengandung
pecahan batu apung
Breksi,aglomerat, tuf
dan lava,
bersifat andesit
basalt, mengandung
sisipan batupasir,
batulanau serpih dan
batugamping.

Aluvium muda
(berasal dari campuran
endapan muara dan
endapan sungai)
Aluvium, endapan kipas
aluvial
(Aluvium muda berasal
dari endapan gunung)
Tefra berbutir halus
Aluvium muda
(berasal dari endapan
gunung berapi)

Tefra berbutir halus,


tefra berbutir kasar

Andesit,basalt, tefra
berbutir halus, tefra
berbutir kasar

Andesit, Basalt

Sumber : Putra, 2006 dan modifikasi penyusun

3. Curah Hujan
Hujan adalah peristiwa di mana
titik air yang semula berupa uapuap air yang berkumpul di udara
yang jatuh ke permukaan bumi
berupa cair atau pun padat. Curah
hujan adalah salah satu unsur iklim
yang besar perannya terhadap
kejadian longsor dan erosi. Air
hujan yang terinfiltrasi ke dalam
tanah
dan
menjenuhi
tanah
menentukan terjadinya longsor,
sedangkan pada kejadian erosi, air
limpasan permukaan adalah unsur
utama penyebab terjadinya erosi.
Menurut Fornier (1972), diantara
faktor
energi
yang
paling
berpotensial sebagai faktor utama
terkait dengan terjadinya erosi
tanah longsor
adalah energi
kinetik air hujan dan limpasan
permukaan.

Adapun skoring dari faktor curah


hujan dapat dilihat pada tabel
berikut;
TABEL 4
SKORING FAKTOR CURAH
HUJAN
Curah hujan
Skor
(20%)
<2000mm/th
1
20002
3000mm/th
30003
4000mm/th
40004
5000mm/th
>5000mm/th
5
Sumber: Fornier,
penyusun

1972

dan

modifikasi

4. Kandungan Air Tanah


Menurut Tolman (1937) dalam
Wiwoho (1999:26), ditinjau dari

64

kedudukannya
terhadap
permukaan,
air
tanah
dapat
disebut:
(i) air tanah dangkal (air bawah
tanah tak tertekan), umumnya
berasosiasi dengan akifer tak
tertekan, yakni yang tersimpan
dalam akuifer dekat permukaan
hingga kedalaman 15 - 40 m.
(ii) air tanah dalam (air bawah
tanah
tertekan),
umumnya
berasosiasi
dengan
akifer
tertekan, yakni tersimpan dalam
akuifer pada kedalaman lebih
dari 40 m.
Adapun
skoring
dari
faktor
kedalaman air tanah dapat dilihat
pada tabel berikut;
TABEL 4
SKORING FAKTOR
KEDALAMAN AIR TANAH
Kedalama
n Air
Sko
Keterangan
Tanah
r
(10%)
Air tanah
akifer
1
dalam
tertekan
(>40m)
(air tanah
produktif
sedanglangka)
Air tanah
akifer tak
5
dangkal
tertekan
(<40m)
(air tanah
produktif sangat
produktif)
Sumber: Wiwoho, 1999 dan modifikasi penyusun

5. Laju Infiltrasi
Menurut Asdak (1995), infiltrasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti tekstur tanah, struktur
tanah, kelembaban awal, kegiatan
biologi,
dan vegetasi. Namun
secara
umum
laju
infiltrasi
dipengaruhi oleh jenis tanah, dan
penggunaan lahan.
Jenis Tanah
Perbedaan jenis tanah sangat
berpengaruh
terhadap
laju

infiltrasi suatu daerah. Tanah


bertekstur geluh lebih tinggi
infiltrasinya disbanding tekstur
lempung. Menurut Siradz dkk
dan Purnama (2004), jenis tanah
yang memiliki laju infiltrasi
tercepat sampai dengan paling
lambat secara berurutan yaitu
alluvial (cepat), Litosol (cepat),
Latosol-Litosol
(sedang),
Mediteran
(sedang),
dan
Grumosol (lambat).
Penggunaan Tanah
Menurut
Purnomo
(2004),
penggunaan
lahan
tegalan
memiliki laju infiltrasi paling
besar
(cepat)
karena
intensitasnya yang jarang dilalui
oleh manusia maupun hewan,
sehingga tingkat pemampatan
tanah juga rendah. Sedangkan
Permukiman
memiliki
laju
infiltrasi lebih rendah (sedang)
dibandingkan dengan tegalan.
Hal
tersebut
dikarenakan
permukiman
lebih
tinggi
kemampatannya. Laju infiltrasi
terendah adalah pada areal
persawahan (lambat), karena
memiliki
kelembaban
tinggi
akibat pengairan secara terusmenerus.
Adapun skoring dari faktor laju
infiltrasi dapat dilihat pada tabel
berikut;
TABEL 5
SKORING FAKTOR LAJU
INFILTRASI
Laju Infiltrasi
(10%)
Lambat

Sedang

Cepat

Keterangan
Air hujan
tidak mudah
meresap ke
dalam tanah
Air hujan
mudah
meresap ke
dalam tanah
Air hujan
sangat mudah
meresap

Sk
or
1

Sumber: Asdak, 1995 dan modifikasi penyusun

65

6. Zona Gempa
Menurut Kelarestaghi (2003), jarak
optimal yang terpengaruh oleh
adanya
sesar/patahan
dalam
terjadinya longsor adalah sejauh
5.000 m. Artinya suatu wilayah
dengan jangkauan luasan kurang
lebih
5000
m
dari
garis
sesar/patahan merupakan daerah
yang rawan atau berpotensi untuk
terjadi gempa. Adapun skoring
zona patahan/gempa dapat dilihat
pada tabel berikut;

Metode Pengumpulan Data


Survai primer
Observasi
visual,
meliputi
pemetaan,
dan
foto
terhadap
kawasan studi.
Survai Sekunder
Survai
sekunder
meliputi
pengumpulan datadata berupa
literatur melalui instansiinstansi
yang terkait dengan identifikasi
kawasan longsor, yaitu BAPEDA,
BPN, BMG dan Dinas Lingkungan
Hidup dan Sumberdaya Air.

TABEL 6
SKORING FAKTOR ZONA
PATAHAN/GEMPA

Metode Analisis
Metode yang digunakan adalah
kuantitatif yang meliputi:
1.
Analisis Scoring
Analisis scoring dilakukan dengan
pemberian
skor
berdasarkan
karakteristik kriteria yang ada pada
tiap variabel.
2.
Simulasi Model (Model
Builder)
Simulasi model dalam penelitian ini
merupakan sebuah model analisis
berwujud sebuah aplikasi yang
dibuat
melalui
software
SIG
(Sistem Informasi Geografis) yaitu
ArcView,
Spatial
Analist
2.0
khususnya ektension model builder.
Kelebihan
dari
model
builder
adalah lebih mudah dipahami,
dieksekusi,
disimpan,
dan
dimodifikasi oleh pengguna.
3.
Deskriptif Output Model
Untuk Masukan Rencana Tata
Ruang
Analisis
selanjutnya
berupa
deskripsi dari output arithmetic
overlay (evaluasi kesesuaian lahan),
dengan tujuan untuk memberikan
masukan dalam rencana tata ruang
secara umum pada wilayah studi,
khususnya
di
daerah
yang
teridentifikasi rawan longsor.

Zona Gempa
(10%)
Kawasan dalam
jarak < 5000 m dari
garis patahan
Kawasan dalam
jarak >5000 m dari
garis patahan

Keterangan
Zona rawan
gempa
Zona
bebas/aman
gempa

Sumber: Kelarestaghi, 2003 dan


penyusun

Sk
or
5
1

modifikasi

7. Penutup Lahan (Land Cover)


Penutupan lahan menurut Sven
Theml (2006) dapat dibedakan
menjadi permukiman dan tempat
kegiatan, persawahan, perkebunan,
tegalan/ladang,
semak
belukar,
tanah kosong/gundul, bukit pasir,
hutan, dan daerah perairan.
Adapun
skoring
dari
faktor
penutupan lahan dapat dilihat pada
tabel berikut;
TABEL7
SKORING FAKTOR PENUTUPAN
LAHAN
Penutupan Lahan (10%)
Hutan
Permukiman, Sawah, Perkebunan
Tegalan/ladang
Semak belukar
Bukit pasir, Tanah kosong

Sko
r
1
2
3
4
5

Sumber: Theml ,2006 dan modifikasi penyusun

METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS
PENYUSUNAN
MODEL
SIG
PENENTUAN
KAWASAN RAWAN LONGSOR

66

SEBAGAI MASUKAN RENCANA


TATA RUANG
Analisis Skoring Karakteristik
Fisik Alam Terkait Longsor
Analisis
Kelerengan
/
Kemiringan
Pada
wilayah
bagian
selatan
Kabupaten
Tegal
memiliki
kelerengan yang curam. Sekitar 8%
dari seluruh wilayah Kabupaten
Tegal adalah kawasan dengan
kelerengan lebih dari 45% yaitu
sebagian
wilayah
Kecamatan
Bumijawa dan Kecamatan Bojong.
Kawasan tersebut juga berada pada
ketinggian lebih dari 750 mdpl.
Keadaan demikian menjadi salah
satu
pendorong
terjadinya
peristiwa longsor. Kawasan dengan
kelerengan
lebih
dari
45%
diberikan skor paling tinggi karena
sifatnya yang rentan terhadap
longsor. Hampir seluruh peristiwa
longsor terjadi pada kawasan yang
berlereng curam, seperti pada
daerah pegunungan atau daerah
sempadan sungai. Sedangkan skor
terendah diberikan pada kawasan
yang memiliki topografi datar atau
kelerengan kurang dari 2% seperti
pada sebagian Kecamatan Kramat,
Kecamatan
Suradadi,
dan
Kecamatan
Warurejo.
Skor
tertinggi yang diberikan adalah 5
(lima) sedangkan skor terendah
adalah 1 (satu).
Analisis Geologi
Keberadaan geologi di wilayah
Kabupaten Tegal pada bagian utara
seperti
Kecamatan
Kramat,
Kecamatan
Suradadi,
dan
Kecamatan Warurejo serta bagian
barat seperti Kecamatan Margasari
dan Kecamatan Pagerbarang terdiri
atas aluvium, dimana pada jenis ini
bersifat stabil atau tidak rentan
terhadap longsor. Aluvium terdiri
atas lempung, lanau, pasir dan
kerikil.
Lapisan
ini
mudah
menyerap air dan berada pada

kawasan
pantai
yang
dimana
morfologinya datar sehingga skor
untuk
lapisan
geologi
ini
merupakan terendah yaitu 1 (satu)
karena sifatnya yang paling stabil
terhadap longsor.
Sedangkan lapisan dengan skor
tertinggi yaitu 5 (lima) adalah
lapisan hasil gunung api kwarter
muda yang terdapat pada wilayah
selatan Kabupaten Tegal yaitu
Kecamatan bojong dan Bumijawa.
Lapisan ini terdiri atas breksi, lava,
tufa, aliran lava andesit batu pasir,
dan bongkahan batuan gunung api.
Formasi
pada
lapisan
ini
merupakan formasi labil, karena
terdiri atas batupasir dan tanah
berbutir halus. Sifatnya mudah
menyerap air sehingga mudah
jenuh
air
yang
menyebabkan
lapisan ini mudah labil dan terjadi
longsor. Selain itu lapisan jenis ini
juga terdapat pada daerah dengan
kelerengan curam yang lebih dari
45%, sehingga semakin membuat
labil terhadap longsor.
Analisis Curah Hujan
Suatu wilayah dengan curah hujan
yang relatif besar namun terjadi
dalam waktu yang singkat tidak
berpengaruh
besar
dalam
terjadinya
peristiwa
longsor.
Sebaliknya juga, suatu wilayah
dengan waktu hujan yang lama,
namun curah hujan yang terjadi
kecil tidak berpengaruh besar
terhadap
terjadinya
peristiwa
longsor. Curah hujan yang dapat
mendorong terjadinya peristiwa
longsor adalah curah hujan yang
besar yang terjadi dalam waktu
yang relatif lama. Sehingga data
yang diperlukan untuk menentukan
kerawanan longsor adalah curah
hujan tahunan yang merupakan
rata-rata hujan yang terjadi dalam
waktu satu tahun.
Untuk wilayah Kabupaten Tegal,
curah hujan yang tertinggi berada
pada
wilayah
selatan
yaitu

67

Kecamatan Bojong dan Kecamatan


Bumijawa
dimana
merupakan
daerah kaki Gunung Slamet. Curah
hujan tahunan pada daerah ini
mencapai lebih dari 5000 mm.
Hampir setiap hari terjadi hujan
pada
kawasan
tersebut
dan
waktunya
juga
relatif
lama.
Sehingga
pada
kawasan
ini
diberikan skor tertinggi yaitu 5
(lima). Curah hujan semakin rendah
menuju
wilayah
bagian
utara
Kabupaten Tegal. Curah hujan
terendah adalah pada wilayah
pantai Kabupaten Tegal seperti
Kecamatan Kramat, Kecamatan
Suradadi, dan Kecamatan Warurejo
yaitu kurang dari 2000mm/th. Oleh
sebab itu pada kawasan tersebut
skor
yang
diberikan
adalah
terendah.
Analisis
Kandungan
Air
Tanah
Sebagian besar wilayah Kabupaten
Tegal
bagian
utara
memiliki
kandungan air tanah yang dangkal.
Air tanah dangkal tersebut terdiri
atas jenis akuifer dengan tingkat
produktifias sampai dengan tinggi.
Tingkat produktivitas yang tinggi
tersebut dapat dilihat dari debit
sumur antara 5-10 liter/detik.
Tingkat produktivitas yang tinggi
tersebut dapat berpengaruh pada
kestabilan tanah terhadap longsor.
Pada
umumnya
tanah
yang
memiliki kandungan air tanah
dengan
kedalaman
<
40m
(dangkal), cenderung jenuh air.
Sehingga pada saat terjadi hujan,
maka tingkat kejenuhan akan
mencapai
puncaknya
sehingga
tanah mudah labil dan mudah pula
untuk terjadi longsor terutama
pada daerah yang berkelerengan
curam. Sehingga pada kawasan
yang memiliki kandungan air tanah
dangkal diberikan skor paling
tinggi yaitu 5 (lima). Sedangkan
kawasan air tanah dalam berada
pada wilayah bagian timur sampai

dengan selatan. Pada kawasan ini


memiliki jenis akuifer dengan
tingkat
produktivitas
rendah.
Tingkat produktivitas yang rendah
berarti debit sumur yang ada juga
rendah
yaitu
<5
liter/detik.
Sehingga pada kawasan ini bersifat
mudah menyerap air. Apabila tejadi
hujan maka sebagian besar air
yang jatuh terserap (terinfiltrasi) ke
dalam tanah. Keadaan demikian
menyebabkan kawasan ini bersifat
stabil dan tidak rentan longsor
sehingga sekor yang diberikan
adalah terendah yaitu 1 (satu).
Analisis Laju Infiltrasi
Untuk menentukan laju infiltrasi
dapat dilihat dari jenis tanah dan
penggunaan lahan. Berdasarkan
jenis tanah di Kabupaten Tegal,
maka wilayah bagian utara dan
selatan seperti Kecamatan Kramat,
Kecamatan
Suradadi,
dan
Kecamatan Warurejo, Kecamatan
Tarub,
Kecamatan
Talang,
Kecamatan
Dukuhturi,
dan
Kecamatan
Adiwerna
memiliki
tingkat infiltrasi yang paling tinggi
karena merupakan jenis tanah
alluvial dan litosol. Sedangkan
tingkat infiltrasi lambat sampai
dengan
sedang
berada
pada
wilayah tengah Kabupaten Tegal
karena merupakan tanah jenis
grumosol dan regosol. Skor untuk
kategori lambat adalah 1 (satu),
sedangkan kategori sedang 3 (tiga),
dan untuk kategori cepat 5 (lima).
Sedangkan
berdasarkan
penggunaan
lahannya,
maka
wilayah Kabupaten Tegal yang
memiliki tingkat infiltrasi tinggi
adalah pada wilayah bagian selatan
khususnya
kecamatan
Bojong
karena penggunaan lahanya berupa
tegalan,
dimana
kerapatan
tanahnya sangat kurang sehingga
sangat mudah dan cepat menyerap
air.
Penggunaan
lahan
yang
memiliki tingkat infiltrasi rendah
adalah areal persawahan karena

68

sifatnya yang jenuh air sehingga


sukar untuk menyerap air. Kawasan
ini berada pada wilayah utara dan
barat
kabupaten
Tegal
yaitu
sebagian
Kecamatan
Kramat,
Kecamatan
Suradadi,
dan
Kecamatan Warurejo, Kecamatan
Tarub,
Kecamatan
Talang,
Kecamatan Dukuhturi, Kecamatan
Adiwerna,
Kecamatan
Slawi,
Kecamatan Lebaksiu, Kecamatan
Pagerbarang
dan
Kecamatan
Margasari. Pada wilayah tersebut
sebagain
besar
penggunaan
lahannya
didominasi
oleh
persawahan. Skor untuk kategori
lambat adalah 1 (satu), sedangkan
kategori sedang 3 (tiga), dan untuk
kategori cepat 5 (lima).
Dari kedua faktor tersebut maka
dapat dibuat data mengenai tingkat
infiltrasi di wilayah Kabupaten
Tegal. Langkah yang dilakukan
untuk menghasilkan data tersebut
adalah dengan mengoverlay kedua
peta tersebut dengan berdasarkan
skor pengaruh terhadap infiltrasi
yang terbagi menjadi lambat,
sedang dan cepat. Dari hasil
overlay tersebut maka didapat peta
dengan informasi baru berupa peta
tingkat infiltrasi di Kabupaten
Tegal.
Jenis Tanah
Kriteria skor
(lambat, sedang,
cepat)

Laju Infiltrasi

Guna Lahan

Untuk laju infiltrasi di Kabupaten


Tegal berdasarkan overlay kedua
peta diatas maka kawasan dengan
tingkat infiltrasi tinggi berada pada
sebagian wilayah utara kabupaten
Tegal dan juga wilayah bagian
selatan yaitu Kecamatan Bojong.
Kawasan dengan tingkat infiltrasi
tinggi
maka
diberikan
skor
tertinggi yaitu 5 (lima) karena
pengaruhnya terhadap terjadinya
longsor semakin kuat. Sedangkan
skor terendah 1 (satu) diberikan
untuk kawasan dengan tingkat

infiltrasi rendah seperti pada


sebagian besar wilayah Kecamatan
Kedungbanteng,
Kecamatan
Margasari,
dan
Kecamatan
Jatinegara.
Analisis
Zona
Gempa/Patahan
Daerah
patahan
atau
sesar
terdapat di Kecamatan Kedung
Banteng dan Kecamatan Jatinegara
yang membujur dengan
arah
utara-selatan.
Selain
itu
juga
terdapat di Kecamatan Bumijawa
dan Kecamatan Balapulang yang
membujur ke arah Kecamatan
Bojong. Keberadaan garis sesar ini
mengakibatkan
pada
kawasan
tersebut rentan terjadinya gerakan
tanah sewaktu-waktu, sehingga
mudah
untuk
membangkitkan
terjadinya longsor.
Untuk mengetahui kawasan yang
berada dalam bahaya sesar atau
patahan maka perlu dilakukan
zonasi kawasan patahan gempa.
Menurut Kelarestaghi (2003), jarak
optimal yang terpengaruh oleh
adanya patahan dalam terjadinya
longsor adalah sejauh 5.000 m.
Demikian juga dengan penentuan
jarak gempa vulkanik. Berdasarkan
karakteristik kasus yang pernah
terjadi rata-rata jarak maksimal
yang dijangkau oleh gempa akibat
aktifitas vulkanik adalah antara
3000-5000m (studi kasus: Gempa di
G.Dieng, Th.2002). Jadi dapat
ditentukan zona gempa di wilayah
Kabupaten Tegal dengan cara membuffer sejauh 5000m dari garis
patahan dan dari titik puncak
gunung itu sendiri.
Dari hasil zonasi sejauh 5000 meter
dari garis patahan tersebut maka
wilayah yang termasuk dalam zona
rawan gempa meliputi Kecamatan
Bumijawa,
Kecamatan
Bojong,
Kecamatan Balapulang, Kecamatan
Lebaksiu,
Kecamatan
Pangkah,
Kecamatan Jatinegara, Kecamatan
Kedung Banteng, dan Kecamatan

69

Suradadi.
Sehingga
untuk
penentuan skor maka wilayah
tersebut berada pada skor tertinggi
yaitu 5 (lima), sedangkan daerah
diluar zona gempa merupakan zona
aman sehingga skor yang diberikan
1 (satu).
Analisis Penutup Lahan
Penutup lahan berupa tegalan pada
bagian selatan wilayah Kabupaten
Tegal seperti Kecamatan Bojong
semakin meningkatkan kerawanan
terjadinya
longsor
disamping
faktor-faktor
lainnya.
Penutup
lahan berupa semak belukar dan
tegalan yang mendominasi dapat
mendorong terjadinya terjadinya
ketidakstabilan tanah. Hal tersebut
karena penutup lahan berupa
tegalan dapat dengan mudah
menyerap air yang mengakibatkan
tanah
jenuh
air
dan
labil..
Sedangkan penutup berupa semak
belukar
memiliki
kemampuan
mengikat tanah yang tidak kuat
sehingga
tanah
mudah
labil.
Sehingga untuk kawasan bagian
selatan Kabupaten Tegal yang
memiliki penutup lahan berupa
semak
belukar
memiliki
skor
tertinggi
yaitu
4
(empat).
Sedangkan pada beberapa wilayah
yang
memiliki
penutup
lahan
berupa hutan semakin memperkuat
daya tahan dari terjadinya longsor.
Analisis Model GIS Penentuan
Kawasan Rawan Longsor
Analisis Weighted Overlay
Untuk Penentuan Kawasan
Longsor
Proses
overlay
dengan
menggunakan
fungsi
weighted
overlay dilakukan dengan input
data spasial terlebih dahulu yang
dilengkapi
dengan
atribut
keterangan dari masing-masing
data
spasial
berupa
variabel
penentu rawan longsor. Weighted
overlay dilakukan dengan cara
memberikan
pembobotan
pada

masing-masing
variabel
yang
dianggap berpengaruh terhadap
longsor. Pembobotan ini dilakukan
untuk
menunjukkan
besarnya
pengaruh dari tiap jenis variabel
terhadap terjadinya longsor. Dalam
weighted
overlay
pembobotan
dinyatakan dalam persen (%)
dimana jumlah total adalah 100%.
Sistem Pembobotan Variabel
Pembobotan
pada
tujuh
jenis
variabel penentu rawan longsor
adalah sebagai berikut;
1. Kelerengan (slope) memiliki
bobot 30%
Pada setiap peristiwa longsor
yang terjadi selalu berada
pada
kawasan
yang
berkelerengan curam. Suatu
kawasan dengan faktor-faktor
selain kelerengan yang sangat
rentan longsor tidak begitu
berpotensi
terjadi
longsor
apabila berada pada wilayah
yang datar. Namun sebaliknya,
walaupun
suatu
kawasan
dengan faktor-faktor selain
kelerengan
tidak
rentan
terhadap
longsor
(stabil),
namun
bila
kelerengan
kawasan
tersebut
sangat
curam maka akan sangat
berpotensi terhadap terjadinya
longsor.
Sehingga
dalam
melakukan pembobotan maka
kelerengan
memiliki
nilai
tertinggi yaitu sebesar 30%.
2. Curah hujan dan Geologi
masing-masing memiliki bobot
20%
Pemicu
utama
terjadinya
longsor biasanya adalah hujan
deras yang terjadi dalam
selang waktu cukup lama.
Dalam
beberapa
peristiwa
longsor yang terjadi sebagian
besar didahului oleh hujan
deras dan juga keberadaan
formasi geologi yang bersifat
labil
dan
mendukung
terjadinya
longsor.
Namun

70

dilihat
dari
pengaruhnya,
faktor ini masih tetap dibawah
peringkat kelerengan yang
memiliki bobot paling tinggi,
sehingga pembobotan untuk
variabel curah hujan dan
geologi adalah 20%.
3. Laju Infiltrasi dan penutup
lahan (land cover) memiliki
bobot 10 %
Laju
infiltrasi
memiliki
pengaruh yang cukup besar
bagi terjadinya longsor karena
terkait
dengan
kejenuhan
tanah akan kandungan air.
Demikian
juga
dengan
penutup lahan yang turut
memberikan pengaruh bagi
terjadinya longsor. Perlakuan
yang kurang baik pada suatu
lahan
dapat
semakin
meningkatkan potensi longsor
yang terjadi. Namun pengaruh
yang ditimbulkan tidak begitu
besar
seperti
kelerengan,
curah hujan
dan geologi
sehingga pembobotan untuk
variabel laju infiltrasi dan
penutup lahan lebih kecil dari
ketiganya yaitu sebesar 10%.
4. Zona gempa dan kandungan
air tanah memiliki bobot 5%
Keberadaan
zona
gempa
menyebabkan adanya potensi
gangguan
kestabilan
pada
suatu kawasan yang rentan
terjadi longsor. Apabila zona
tersebut
aktif
(terjadi
pergeseran/ pergerakan) maka
sangat
berpotensi
mengakibatkan longsor bagi
kawasan yang memang sudah
rentan terjadi longsor. Dari
beberapa peristiwa longsor
yang terjadi, zona gempa dan
kandungan air tanah juga
turut berpengaruh walaupun
kecil. Kandungan air tanah
tidak begitu berpengaruh kuat
sebagai
pemicu
longsor,
namun
apabila
ditambah
dengan
variabel
pemicu

longsor yang lainnya akan


sangat
berpengaruh
bagi
timbulnya
longsor.
Kedua
faktor tersebut bersifat pasif,
artinya tidak setiap saat dapat
menimbulkan
kerawanan,
sehingga pembobotan untuk
kedua variabel ini adalah
sebesar 5%.

GAMBAR 5
TAMPILAN MODEL GIS PENENTUAN
KAWASAN RAWAN LONGSOR

TABEL 9
KLASIFIKASI TINGKAT
KERAWANAN LONGSOR
SKOR KATEGORI
1
Aman
2
Aman
3
Agak Rawan
4
Sangat
Rawan
5
Sangat
Rawan
Sumber: Hasil Analisis Penyusun

GAMBAR 6
PETA TINGKAT KERAWANAN
LONGSOR KABUPATEN TEGAL

Sumber: Hasil Analisis Penyusun

Evaluasi Model
Evaluasi model dilakukan melalui
dua cara yaitu observasi lapangan
secara langsung (pengambilan
gambar kawasan bekas longsor)
dan
juga
dengan
mengkaji
peristiwa-peristiwa
bencana
longsor
yang
telah
terjadi
sebelumnya di Kabupaten Tegal.
Dari hasil observasi lapangan
yang
dilakukan,
beberapa
kawasan
bekas
longsor
merupakan daerah yang termasuk
dalam zona sangat rawan longsor
sesuai
dengan
hasil
model.
Kawasan bekas longsor yang
diobservasi langsung yaitu di
Desa Guci-Kecamatan Bumijawa,
Desa
Bukateja-Kecamatan
Balapulang, dan Desa DanasariKecamatan Jatinegara.
Sedangkan dari hasil kajian
peristiwa longsor yang telah
terjadi
sebelumnya
sebagian
besar daerah-daerah yang terjadi
longsor termasuk dalam kawasan
sangat rawan longsor sesuai
dengan yang dihasilkan model.
Seperti peristiwa longsor yang
terjadi
di
Desa
kalibakungKecamatan
Balapulang,
Desa
Padasari-Kecamatan
Jatinegara,
dan Desa Batumirah-Kecamatan
Bumijawa.
Selain
itu
juga
dilakukan kajian peristiwa longsor
yang terjadi di daerah sekitar
perbatasan, yang secara geografis
merupakan
satu
kesatuan
kawasan dengan daerah yang
dianggap sangat rawan longsor.

Kejadian-kejadian longsor di Kab.Tegal:


Kejadian-kejadian longsor di Kab.Tegal:
Sumber: SUARA MERDEKA
Sumber:
LongsorSUARA
di DesaMERDEKA
Kalibakung, Kecamatan
Longsor
di
Desa Kalibakung,
Kecamatan
Balapulang
(Rabu, 04 Februari
2004)
Balapulang
(Rabu,
04 Februari
2004)
Longsor
di Desa
Padasari,
Kecamatan
Longsor
di Desa(Rabu,
Padasari,
Kecamatan
Jatinegara
09 Januari
2008)
Jatinegara
(Rabu,
09 Januari 2008)
Longsor
di Ds.
Rembul,
Longsor
di Ds. Rembul,
Ds.Danasari,Ds.Kedawung,
Ds.Danasari,Ds.Kedawung,
Ds.Sangkanayu, Kecamatan Bojong
Ds.Sangkanayu,
Bojong
(senin 16 JanuariKecamatan
2006)
(senin
16
Januari
2006)
Sumber: NUSANTARA
Sumber:
LongsorNUSANTARA
di Desa Guci dan Desa
Longsor
di Desa Kecamatan
Guci dan Desa
Batumirah,
Bumijawa
Batumirah,
Kecamatan
(Senin 05 Februari 2007)Bumijawa
(Senin 05 Februari 2007)

Kejadian-kejadian longsor di sekitar


Kejadian-kejadian
longsor di sekitar
Kab.Tegal:
Kab.Tegal:

1
3

Longsor di Desa Moga dan Desa


Longsor
di Desa Moga
dan Desa
Banyumudal,
Kec.Moga,
Banyumudal,
Kec.Moga,
Kab.Pemalang
Kab.Pemalang
(Sumber: Data Inventaris Jateng)
(Sumber:diData
Longsor
DesaInventaris
Mendala,Jateng)
Kecamatan
Longsor
di DesaKab.Brebes
Mendala, Kecamatan
Sirampog,
(NUSANTARA,
Sirampog,
(NUSANTARA,
Selasa, 14Kab.Brebes
Desember 2004)
Selasa, 14 Desember 2004)

5
5
3

3
3
4
6
4

Sumber: Hasil survey penyusun Th.2008

GAMBAR 7
EVALUASI HASIL MODEL

82

Validasi Model

an
Longsor

TABEL 10
UJI VALIDASI MODEL
NO

METODE
EVALUASI
Survey
Lapangan
(pengambi
lan
gambar)
Media
Surat
Jumlah

JML
SAMPE
L

KATEGORI
Ben
Sala
ar
h

14

12

Rencana
Tata
Ruang

=
=

Jumlah sampel dengan kategori benar


Jumlah total sampel

Permukiman,
tegalan, lahan
kosong,
penambangan
Hutan,
perkebunan,
sawah, dan
penggunaan
lainnya

1
5

Sumber: Hasil Analisis Penyusun

Sumber: Hasil Analisis Penyusun

Aman

GAMBAR 8
PETA HASIL EVALUASI
RENCANA TATA RUANG
(RTR)

12/14 x 100%
0.86

Dapat disimpulkan bahwa nilai


validasi model adalah 0.86, yang
berati dapat diterima. Semakin
mendekati angka 1, maka model
dapat
dikatakan
mendekati
sempurna.
Analisis Arithmetic Overlay
Untuk Evaluasi Rencana Tata
Ruang (RTR)
Arithmathic overlay digunakan
untuk mengoverlay peta kawasan
rawan
longsor
yang
telah
dihasilkan dari weighted overlay
dengan rencana tata ruang yang
ada. Pada analisis ini tidak perlu
dilakukan
pembobotan
pada
variabelnya karena hanya bersifat
membandingkan.
TABEL 11
SKORING TINGKAT
KERAWANAN LONGSOR
JENIS
SKO
KETERANGAN
PETA
R
Tingkat
Sangat Rawan
5
Kerawan
Agak Rawan
3

Sumber: Hasil Analisis Penyusun

Dari hasil overlay tersebut


dapat
diketahui
bahwa
terdapat beberapa zona yang
tidak
sesuai
dengan
keberadaan
daerah
rawan
longsor. Rencana penggunaan
lahan
yang
tidak
sesuai
tersebut berupa permukiman
atau kampung. Permukiman
tersebut berada pada kawasan
yang
rawan
longsor.
Ketidaksesuaian
tersebut
terjadi karena memang sudah

83

terdapat
beberapa
kawasan
permukiman pada wilayah yang
rawan longsor.
Kawasan
Rawan
Longsor
Sebagai
Masukan
Rencana
Tata Ruang
Penanganan untuk daerah dengan
kategori sangat rawan longsor
khususnya
kawasan
yang
memiliki
ketidaksesuaian
penggunaan
lahan
dapat
dilakukan melalui rekayasa fisik
bangunan dan juga rekayasa
vegetatif.
a.
Rekayasa Bangunan Fisik
Kawasan
dengan
kategori
sangat
rawan
longsor
memerlukan adanya rekayasa
fisik untuk perencanaannya,
sehingga pemanfaatan lahan
seperti permukiman yang telah
ada dapat diminimalisir tingkat
kerawanan bencananya.

GAMBAR 9
CONTOH REKAYASA FISIK
BANGUNAN PENAHAN
LONGSOR

Sumber: ( Foto: F. Agus dan Widianto) dalam


Pedoman Umum Budidaya Pertanian di Lahan
Pegunungan

b.
Rekayasa vegetatif
Keberadaan vegetasi dengan
struktur dan komposisinya
yang
beragam
dapat
bermanfaat bagi kehidupan
manusia
yaitu
sebagai
pengendali
daur
air.
Mengurangi beban mekanik
pohon-pohon yang besar-besar

yang berakar dangkal dari


kawasan yang curam dan
menumpang di atas lapisan
impermeabel.
GAMBAR 10
CONTOH REKAYASA
VEGETATIF
PENGENDALIAN LONGSOR

Sumber: Suryatmojo, 2001

KESIMPULAN
Dari pembahasan yang dilakukan
sebelumnya maka dapat diambil
beberapa
kesimpulan
dari
penelitian ini, antara lain
a. Model penentuan kawasan
rawan
longsor
mencakup
beberapa
variabel
yaitu
kelerengan, geologi, curah
hujan, kandungan air tanah,
laju infiltrasi, zona gempa,
dan penutup lahan.
b. Output
model
merupakan
hasil
overlay
dari
tujuh
variabel skoring yang terdiri
dari atas variabel kelerengan,
geologi,
curah
hujan,
kandungan air tanah, tingkat
infiltrasi, zona gempa dan
penutup lahan. Besarnya nilai
skoring
untuk
tiap-tiap
variabel
adalah
berkisar
antara 1 sampai dengan 5,
dengan ketentuan semakin
besar skor maka semakin
besar
pula
tingkat
pengaruhnya
terhadap
bencana. Selain skoring juga
dilakukan
pembobotan
terhadap
masing-masing
variabel
berdasarkan
pengaruhnya
terhadap

84

KATEGO
RI
KAWASAN SANGAT RAWAN

N
O
1

KECAMAT
AN
Bojong

Bumijawa

DESA
Dukuh
Tengah,
Rembul,
Tuwel,
Kedawung,
Gunung
Jati,
Kalijambu,
Cikura,
dan
Danasari.
Carul,
Cawitari,
Soka
Tengah,
Sokasari,

Jatinegara

Margasari
2

KAWASAN AGAK RAWAN

TABEL 12
PEMBAGIAN KAWASAN
MENURUT TINGKAT
KERAWANAN LONGSOR
DI KABUPATEN TEGAL

Balapulang

3
KAWASAN AMAN

terjadinya bencana. Pembobotan


paling besar diberikan pada
variabel
kelerengan
yaitu
sebesar 30%, kemudian untuk
variabel geologi dan curah hujan
sebesar 20%, variabel tingkat
infiltrasi dan penutup lahan
sebesar 10% dan variabel zona
gempa dan kandungan air tanah
sebesar 5%.
c. Dari hasil uji validasi model
didapatkan nilai validasi yaitu
0.86 dalam skala 0-1, dimana
semakin mendekati 1 maka
semakin sempurna.
d. Berdasarkan
aplikasi
model
yang diterapkan di Kabupaten
Tegal, dihasilkan peta tingkat
kerawanan longsor, diketahui
bahwa
4%
lahan
dari
keseluruhan
luas
wilayah
Kabupaten Tegal merupakan
kawasan yang rawan longsor
dengan kategori sangat rawan.
Kawasan rawan longsor dengan
kategori sangat rawan tersebut
kurang lebih memiliki luasan
3.600 Ha. Kawasan tersebut
meliputi:

Warureja
Kedungban
teng
Jatinegara
Balapulang
Margasari
Bojong

Bumijawa
Bojong
Pangkah
Slawi
Dukuhwaru
Adiwerna
Dukuhturi
Talang
Tarub
Kramat
Lebaksiu
Warureja

Sumbaga,
Pager
Kasih,
Jejeg,
Gunung
Agung,
Cempaka,
Dukuh
Benda,
Batumirah,
Sigedong,
Guci, dan
Bumijawa
Bukateja,
Kalibakun
g,
Cilongok,
dan
Tembongw
ah.
Padasri,
Kedungwu
ngu, Setail
dan
Gantungan
.
Desa
Danaraja
Hampir
seluruh
desa di
Kecamatan
Warurejo
dan
Kecamatan
Kedungba
nteng
merupaka
n kategori
agak
rawan

Hampir
seluruh
desa
merupaka
n kategori
aman

REKOMENDASI
Rekomendasi
yang
dihasilkan dalam penelitian ini
antara lain

85

a. Peranan data sangatlah penting


disamping faktor kriteria dan
pembobotan yang dilakukan.
b. Rencana
tata
ruang selalu
dibuat
dengan
mempertimbangkan
berbagai
faktor salah satunya adalah
kawasan rawan bencana.
c. Penelitian ini sebagai awal dari
penelitian yang perlu dilakukan
selanjutnya seperti menentukan
tingkat infiltrasi suatu kawasan
yang lebih akurat, sehingga data
yang menjadi input juga semakin
akurat dan menghasilkan output
yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Amri, A. 2001. Sistem Informasi
Geografis (SIG). Makalah
RAKOR
SIGNAS
VI.
Bandung. 3 hlm.
Atie Puntodewo, Sonya Dewi dan
Jusupta Tarigan .2003.
Sistem Informasi Geografis
Untuk Pengelolaan
Sumberdaya Alam, CIFOR,
Jakarta.
Brimicombe, Allan. 2003. GIS,
Environmental
Modelling
and Engineering. London :
Taylor & Francis Ltd.
Cousins, Green dan Haines-Young.
1994. Landscape Ecology
and GIS. London : Taylor &
Francis Ltd
Darmawan, mulyanto dan Sven
Theml.
2006.
Katalog
Methodologi
Untuk
Pembuatan
Peta
GeoHazard.dalam
workshop
banda aceh,14-15 desember
2006.

E-Learning Geografi lingkungan.


2006. Geografi, Geografi
Lingkungan, dan Proses
Hidrologis. Universitas
Negeri Malang
ESRI, 1997. ArcView.
Environmental Systems Research Institute, Inc., Redlands,
USA.
ESRI, 1997. ArcView Spatial
Analyst. Environmental
Systems Research
Institute, Inc., Redlands,
USA.
Goodchild, Michael F., Bradley O.
Parks
dan
Louis
T.
Steyaert.
1993.
Environmental Modelling
with
GIS.
Oxford
Univercity Press, Inc.
Hardoyo, dan Sutikno 1989.
Evaluasi
Lahan
Untuk
Permukiman,
Fakultas
Geografi
UGM,
Yogyakarta.
Lelono, Kabul Basah. 2004.
Bencana
alam
tanah
longsor Perspektif Ilmu
Geoteknik, dalam Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru
Besar
Fakultas
Teknik
UGM,2004,Yogyakarta.
Langs, Lisa.A,dkk. 2005.
Application of Southwest
ReGAP Data to the forest
stewardship programs
Spatial Analysis Project in
Utah dalam National GAP
Conference, Reno, NV
Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional. 2007.
Laporan pemantauan
bencana alam (banjir dan
longsor) dalam
www.pirba.ristek.go.id.
diakses pada april 2007.
M.S.D. Hadian dkk. 2006.
Sebaran akuifer dan pola
aliran
air
tanah
di
Kecamatan Bacuceper dan

86

Benda
Kota
Tangerang,
Propinsi
Banten
dalam
Jurnal Geologi Indonesia, Vol.
1 No. 3 September 2006:
115-128.
Niccolas Chrisman .2002.
Exploring Geographic
Information Systems. Second
Edition, John Wiley & Sons,
New York
Pacione, Michael.1999. Applied
Geography: principles and
practice. Routledge, New
York
Prahasta, Eddy. 2004. Sistem
Informasi Geografis. Informatika,
Bandung.
Puntodewo, Atie dkk. 2003. Sistem
Informasi Geografis Untuk
Pengelolaan Sumber Daya
Alam. CIFOR, Jakarta.
Priyantari, Nurul dan Cahyo
Wahyono. Penentuan Bidang
Gelincir Tanah Longsor
Berdasarkan Sifat Kelistrikan
Bumi. dalam Jurnal ILMU
DASAR Vol. 6 No. 2, 2005 :
137-141
Rotinsulu,
Wiske.
2003.
Pemanfaatan
Data
Penginderaan Jauh untuk
Penanggulangan
Bencana
Tanah Longsor (4) dalam
Kompas, April 2003.
Sitorus, R.P, Santun. 1998. Evaluasi
Sumberdaya
Lahan,
Bandung:
Tarsito.
Suara Merdeka. 2006. Sembilan
Kecamatan Rawan Bencana
Alam dalam Suara Merdeka
Selasa 28 November 2006,
Semarang.
Sumiyattinah. 2000. Permodelan
SIG
untuk
Menentukan
Daerah Rawan Erosi Akibat
Longsoran di Propinsi Jawa
Barat.
Forum
Ilmiah
Tahunan Ikatan Surveyor
Indonesia. Bandung. 266
hlm (Proceeding).

Tomlin,
Dana
C.
1990.
Geographic Information
Systems and Cartpgraphic
Modelling. Frentie-Hall,
Inc.
North
Carolina
Divison
of
Coastal Planning. 2005.
Land Suitablity Analysis
USER Guide. available at
www.dcm2.ehnr.state.nc.u
s/Planning/user_guide_lsa
2005.pdf
diakses
pada
tanggal 17 Oktober 2007
BPS. 2007. Kabupaten Tegal
dalam Angka 2006. Kantor
Statistik Kota Semarang
BAPEDA. 2006. RTRW
Kabupaten Tegal 2007-2016.
Laporan Geologi Lingkungan
BWK X Semarang. 2005. tidak
diterbitkan
Statistik Sumberdaya Lahan
Pertanian (Puslit Tanah dan
Agroklimat, 1997)
Penyusunan
Arahan
Pemanfaatan Ruang DAS
Bahorok.
Bappeda
Kabupaten Langkat, 2005.
UU No 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang

Anda mungkin juga menyukai