TABEL 1
61
Pulau
Perbukitan
(500 m dpl)
tipe A
Sumatera
4.432
814
9.992
Jawa, Madura
3.576
1.250
1.646
Kalimantan
3.992
8.055
10.471
Sulawesi
2.596
3.337
7.996
4.047
4.500
2.437
Papua
3.141
12.287
3.605
Total
21.784
30.243
36.147
Total
15.23
8
6.472
22.51
8
13.92
9
10.98
4
10.03
3
88.1
74
Keterangan: Tipe A sangat terpencar; Tipe B bersambung tetapi dipisah oleh batas yang agak jelas;
Tipe C bersambung tetapi dipisah oleh batas yang sangat jelas.
Sumber: Statistik Sumberdaya Lahan Pertanian (Puslit Tanah dan Agroklimat, 1997)
PERUMUSAN MASALAH
Sebagian besar peristiwa longsor
terjadi di daerah pegunungan yang
memiliki kelerengan curam dan
juga curah hujan yang tinggi.
Keberadaan daerah rawan longsor
selalu
menjadi
ancaman
bagi
kehidupan di sekitarnya, terutama
masyarakat yang tinggal di daerah
pegunungan.
Ironisnya,
tidak
sedikit pula masyarakat yang
memilih untuk tinggal di daerah
pegunungan karena potensi alam
yang dimilikinya.
Identifikasi kawasan rawan longsor
sangat diperlukan sebagai langkah
awal untuk perencanaan tata ruang
di masa mendatang. Keberadaan
kawasan rawan longsor harus
menjadi
pertimbangan
dalam
proses penyusunan rencana tata
ruang. Identifikasi kawasan rawan
longsor dengan menggunakan SIG
akan lebih mudah dan cepat dalam
prosesnya. Selain itu juga lebih
mudah untuk dilakukan suatu
perubahan
apabila
terdapat
pembaruan data, sehingga dapat
dihasilkan
akurat.
informasi
yang
lebih
TUJUAN
Penelitian
ini bertujuan untuk
mengembangkan
model
SIG
penentuan kawasan rawan longsor
yang akan dipergunakan untuk
mengidentifikasi kawasan rawan
longsor sebagai
masukan dalam
rencana tata ruang dengan studi
kasus Kabupaten Tegal.
SASARAN
1. Mengidentifikasi
faktor-faktor
yang terkait dengan bencana
longsor
2. Membangun model SIG
3. Mengaplikasikan
model
SIG
untuk
identifikasi
kawasan
longsor.
4. Memetakan tingkat kerawanan
longsor pada wilayah studi
5. Memetakan kesesuaian lahan
pada kawasan rawan longsor
6. Memberikan masukan untuk
rencana tata ruang.
LANDASAN TEORITIS
62
Skor
1
2
3
4
5
Aluvium
Pantai:
lempung,
mengandung
material
organik,
mudah
digali, pemeabilitas rendah,
jenuh air.
Aluvium
Sungai:
lempung,
pasir,
kerikil,
kerakal, dengan komposisi
andesitik - basaltik, lepaslepas,
mudah
digali,
permabilitas tinggi.
Aluvium
Lembah:
lempung tufan, pasir, lepaslepas,
mudah
digali/permeabilitas sedangtinggi,
muka
air
tanah
dangkal.
Endapan Pematang Pantai
Pasir halus dengan komposisi
andesitik, mengandung fragmen
cangkang, lepas-lepas, mudah
digali,
air
tanah
dangkal,
terdapat air tanah segar.
Endapan Vulkanik Muda
Lempung tufan, pasir tufan,
konglomerat, endapan lahar,
pelapukan dalam, muka air
tanah dalam.
2. Geologi
Ilmu
geologi
mencakup
studi
tentang tanah (soils) dan batuan
Klasifik
asi
Geologi
Periode
Pemben
tukan
TABEL 3
SKORING FAKTOR GEOLOGI
Deskripsi
Unsur Geologi
Sko
r
63
Qs
(Batuan
Sedime
n)
Pleistose
n
Qv
(Batuan
Gunung
Api)
Holosen
QTv
(Batuan
Gunung
Api)
Pleistose
nPliosen
Tmv
(Batuan
Gunung
Api)
Miosen
Tengah
Aluvium muda
(berasal dari campuran
endapan muara dan
endapan sungai)
Aluvium, endapan kipas
aluvial
(Aluvium muda berasal
dari endapan gunung)
Tefra berbutir halus
Aluvium muda
(berasal dari endapan
gunung berapi)
Andesit,basalt, tefra
berbutir halus, tefra
berbutir kasar
Andesit, Basalt
3. Curah Hujan
Hujan adalah peristiwa di mana
titik air yang semula berupa uapuap air yang berkumpul di udara
yang jatuh ke permukaan bumi
berupa cair atau pun padat. Curah
hujan adalah salah satu unsur iklim
yang besar perannya terhadap
kejadian longsor dan erosi. Air
hujan yang terinfiltrasi ke dalam
tanah
dan
menjenuhi
tanah
menentukan terjadinya longsor,
sedangkan pada kejadian erosi, air
limpasan permukaan adalah unsur
utama penyebab terjadinya erosi.
Menurut Fornier (1972), diantara
faktor
energi
yang
paling
berpotensial sebagai faktor utama
terkait dengan terjadinya erosi
tanah longsor
adalah energi
kinetik air hujan dan limpasan
permukaan.
1972
dan
modifikasi
64
kedudukannya
terhadap
permukaan,
air
tanah
dapat
disebut:
(i) air tanah dangkal (air bawah
tanah tak tertekan), umumnya
berasosiasi dengan akifer tak
tertekan, yakni yang tersimpan
dalam akuifer dekat permukaan
hingga kedalaman 15 - 40 m.
(ii) air tanah dalam (air bawah
tanah
tertekan),
umumnya
berasosiasi
dengan
akifer
tertekan, yakni tersimpan dalam
akuifer pada kedalaman lebih
dari 40 m.
Adapun
skoring
dari
faktor
kedalaman air tanah dapat dilihat
pada tabel berikut;
TABEL 4
SKORING FAKTOR
KEDALAMAN AIR TANAH
Kedalama
n Air
Sko
Keterangan
Tanah
r
(10%)
Air tanah
akifer
1
dalam
tertekan
(>40m)
(air tanah
produktif
sedanglangka)
Air tanah
akifer tak
5
dangkal
tertekan
(<40m)
(air tanah
produktif sangat
produktif)
Sumber: Wiwoho, 1999 dan modifikasi penyusun
5. Laju Infiltrasi
Menurut Asdak (1995), infiltrasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti tekstur tanah, struktur
tanah, kelembaban awal, kegiatan
biologi,
dan vegetasi. Namun
secara
umum
laju
infiltrasi
dipengaruhi oleh jenis tanah, dan
penggunaan lahan.
Jenis Tanah
Perbedaan jenis tanah sangat
berpengaruh
terhadap
laju
Sedang
Cepat
Keterangan
Air hujan
tidak mudah
meresap ke
dalam tanah
Air hujan
mudah
meresap ke
dalam tanah
Air hujan
sangat mudah
meresap
Sk
or
1
65
6. Zona Gempa
Menurut Kelarestaghi (2003), jarak
optimal yang terpengaruh oleh
adanya
sesar/patahan
dalam
terjadinya longsor adalah sejauh
5.000 m. Artinya suatu wilayah
dengan jangkauan luasan kurang
lebih
5000
m
dari
garis
sesar/patahan merupakan daerah
yang rawan atau berpotensi untuk
terjadi gempa. Adapun skoring
zona patahan/gempa dapat dilihat
pada tabel berikut;
TABEL 6
SKORING FAKTOR ZONA
PATAHAN/GEMPA
Metode Analisis
Metode yang digunakan adalah
kuantitatif yang meliputi:
1.
Analisis Scoring
Analisis scoring dilakukan dengan
pemberian
skor
berdasarkan
karakteristik kriteria yang ada pada
tiap variabel.
2.
Simulasi Model (Model
Builder)
Simulasi model dalam penelitian ini
merupakan sebuah model analisis
berwujud sebuah aplikasi yang
dibuat
melalui
software
SIG
(Sistem Informasi Geografis) yaitu
ArcView,
Spatial
Analist
2.0
khususnya ektension model builder.
Kelebihan
dari
model
builder
adalah lebih mudah dipahami,
dieksekusi,
disimpan,
dan
dimodifikasi oleh pengguna.
3.
Deskriptif Output Model
Untuk Masukan Rencana Tata
Ruang
Analisis
selanjutnya
berupa
deskripsi dari output arithmetic
overlay (evaluasi kesesuaian lahan),
dengan tujuan untuk memberikan
masukan dalam rencana tata ruang
secara umum pada wilayah studi,
khususnya
di
daerah
yang
teridentifikasi rawan longsor.
Zona Gempa
(10%)
Kawasan dalam
jarak < 5000 m dari
garis patahan
Kawasan dalam
jarak >5000 m dari
garis patahan
Keterangan
Zona rawan
gempa
Zona
bebas/aman
gempa
Sk
or
5
1
modifikasi
Sko
r
1
2
3
4
5
METODOLOGI PENELITIAN
ANALISIS
PENYUSUNAN
MODEL
SIG
PENENTUAN
KAWASAN RAWAN LONGSOR
66
kawasan
pantai
yang
dimana
morfologinya datar sehingga skor
untuk
lapisan
geologi
ini
merupakan terendah yaitu 1 (satu)
karena sifatnya yang paling stabil
terhadap longsor.
Sedangkan lapisan dengan skor
tertinggi yaitu 5 (lima) adalah
lapisan hasil gunung api kwarter
muda yang terdapat pada wilayah
selatan Kabupaten Tegal yaitu
Kecamatan bojong dan Bumijawa.
Lapisan ini terdiri atas breksi, lava,
tufa, aliran lava andesit batu pasir,
dan bongkahan batuan gunung api.
Formasi
pada
lapisan
ini
merupakan formasi labil, karena
terdiri atas batupasir dan tanah
berbutir halus. Sifatnya mudah
menyerap air sehingga mudah
jenuh
air
yang
menyebabkan
lapisan ini mudah labil dan terjadi
longsor. Selain itu lapisan jenis ini
juga terdapat pada daerah dengan
kelerengan curam yang lebih dari
45%, sehingga semakin membuat
labil terhadap longsor.
Analisis Curah Hujan
Suatu wilayah dengan curah hujan
yang relatif besar namun terjadi
dalam waktu yang singkat tidak
berpengaruh
besar
dalam
terjadinya
peristiwa
longsor.
Sebaliknya juga, suatu wilayah
dengan waktu hujan yang lama,
namun curah hujan yang terjadi
kecil tidak berpengaruh besar
terhadap
terjadinya
peristiwa
longsor. Curah hujan yang dapat
mendorong terjadinya peristiwa
longsor adalah curah hujan yang
besar yang terjadi dalam waktu
yang relatif lama. Sehingga data
yang diperlukan untuk menentukan
kerawanan longsor adalah curah
hujan tahunan yang merupakan
rata-rata hujan yang terjadi dalam
waktu satu tahun.
Untuk wilayah Kabupaten Tegal,
curah hujan yang tertinggi berada
pada
wilayah
selatan
yaitu
67
68
Laju Infiltrasi
Guna Lahan
69
Suradadi.
Sehingga
untuk
penentuan skor maka wilayah
tersebut berada pada skor tertinggi
yaitu 5 (lima), sedangkan daerah
diluar zona gempa merupakan zona
aman sehingga skor yang diberikan
1 (satu).
Analisis Penutup Lahan
Penutup lahan berupa tegalan pada
bagian selatan wilayah Kabupaten
Tegal seperti Kecamatan Bojong
semakin meningkatkan kerawanan
terjadinya
longsor
disamping
faktor-faktor
lainnya.
Penutup
lahan berupa semak belukar dan
tegalan yang mendominasi dapat
mendorong terjadinya terjadinya
ketidakstabilan tanah. Hal tersebut
karena penutup lahan berupa
tegalan dapat dengan mudah
menyerap air yang mengakibatkan
tanah
jenuh
air
dan
labil..
Sedangkan penutup berupa semak
belukar
memiliki
kemampuan
mengikat tanah yang tidak kuat
sehingga
tanah
mudah
labil.
Sehingga untuk kawasan bagian
selatan Kabupaten Tegal yang
memiliki penutup lahan berupa
semak
belukar
memiliki
skor
tertinggi
yaitu
4
(empat).
Sedangkan pada beberapa wilayah
yang
memiliki
penutup
lahan
berupa hutan semakin memperkuat
daya tahan dari terjadinya longsor.
Analisis Model GIS Penentuan
Kawasan Rawan Longsor
Analisis Weighted Overlay
Untuk Penentuan Kawasan
Longsor
Proses
overlay
dengan
menggunakan
fungsi
weighted
overlay dilakukan dengan input
data spasial terlebih dahulu yang
dilengkapi
dengan
atribut
keterangan dari masing-masing
data
spasial
berupa
variabel
penentu rawan longsor. Weighted
overlay dilakukan dengan cara
memberikan
pembobotan
pada
masing-masing
variabel
yang
dianggap berpengaruh terhadap
longsor. Pembobotan ini dilakukan
untuk
menunjukkan
besarnya
pengaruh dari tiap jenis variabel
terhadap terjadinya longsor. Dalam
weighted
overlay
pembobotan
dinyatakan dalam persen (%)
dimana jumlah total adalah 100%.
Sistem Pembobotan Variabel
Pembobotan
pada
tujuh
jenis
variabel penentu rawan longsor
adalah sebagai berikut;
1. Kelerengan (slope) memiliki
bobot 30%
Pada setiap peristiwa longsor
yang terjadi selalu berada
pada
kawasan
yang
berkelerengan curam. Suatu
kawasan dengan faktor-faktor
selain kelerengan yang sangat
rentan longsor tidak begitu
berpotensi
terjadi
longsor
apabila berada pada wilayah
yang datar. Namun sebaliknya,
walaupun
suatu
kawasan
dengan faktor-faktor selain
kelerengan
tidak
rentan
terhadap
longsor
(stabil),
namun
bila
kelerengan
kawasan
tersebut
sangat
curam maka akan sangat
berpotensi terhadap terjadinya
longsor.
Sehingga
dalam
melakukan pembobotan maka
kelerengan
memiliki
nilai
tertinggi yaitu sebesar 30%.
2. Curah hujan dan Geologi
masing-masing memiliki bobot
20%
Pemicu
utama
terjadinya
longsor biasanya adalah hujan
deras yang terjadi dalam
selang waktu cukup lama.
Dalam
beberapa
peristiwa
longsor yang terjadi sebagian
besar didahului oleh hujan
deras dan juga keberadaan
formasi geologi yang bersifat
labil
dan
mendukung
terjadinya
longsor.
Namun
70
dilihat
dari
pengaruhnya,
faktor ini masih tetap dibawah
peringkat kelerengan yang
memiliki bobot paling tinggi,
sehingga pembobotan untuk
variabel curah hujan dan
geologi adalah 20%.
3. Laju Infiltrasi dan penutup
lahan (land cover) memiliki
bobot 10 %
Laju
infiltrasi
memiliki
pengaruh yang cukup besar
bagi terjadinya longsor karena
terkait
dengan
kejenuhan
tanah akan kandungan air.
Demikian
juga
dengan
penutup lahan yang turut
memberikan pengaruh bagi
terjadinya longsor. Perlakuan
yang kurang baik pada suatu
lahan
dapat
semakin
meningkatkan potensi longsor
yang terjadi. Namun pengaruh
yang ditimbulkan tidak begitu
besar
seperti
kelerengan,
curah hujan
dan geologi
sehingga pembobotan untuk
variabel laju infiltrasi dan
penutup lahan lebih kecil dari
ketiganya yaitu sebesar 10%.
4. Zona gempa dan kandungan
air tanah memiliki bobot 5%
Keberadaan
zona
gempa
menyebabkan adanya potensi
gangguan
kestabilan
pada
suatu kawasan yang rentan
terjadi longsor. Apabila zona
tersebut
aktif
(terjadi
pergeseran/ pergerakan) maka
sangat
berpotensi
mengakibatkan longsor bagi
kawasan yang memang sudah
rentan terjadi longsor. Dari
beberapa peristiwa longsor
yang terjadi, zona gempa dan
kandungan air tanah juga
turut berpengaruh walaupun
kecil. Kandungan air tanah
tidak begitu berpengaruh kuat
sebagai
pemicu
longsor,
namun
apabila
ditambah
dengan
variabel
pemicu
GAMBAR 5
TAMPILAN MODEL GIS PENENTUAN
KAWASAN RAWAN LONGSOR
TABEL 9
KLASIFIKASI TINGKAT
KERAWANAN LONGSOR
SKOR KATEGORI
1
Aman
2
Aman
3
Agak Rawan
4
Sangat
Rawan
5
Sangat
Rawan
Sumber: Hasil Analisis Penyusun
GAMBAR 6
PETA TINGKAT KERAWANAN
LONGSOR KABUPATEN TEGAL
Evaluasi Model
Evaluasi model dilakukan melalui
dua cara yaitu observasi lapangan
secara langsung (pengambilan
gambar kawasan bekas longsor)
dan
juga
dengan
mengkaji
peristiwa-peristiwa
bencana
longsor
yang
telah
terjadi
sebelumnya di Kabupaten Tegal.
Dari hasil observasi lapangan
yang
dilakukan,
beberapa
kawasan
bekas
longsor
merupakan daerah yang termasuk
dalam zona sangat rawan longsor
sesuai
dengan
hasil
model.
Kawasan bekas longsor yang
diobservasi langsung yaitu di
Desa Guci-Kecamatan Bumijawa,
Desa
Bukateja-Kecamatan
Balapulang, dan Desa DanasariKecamatan Jatinegara.
Sedangkan dari hasil kajian
peristiwa longsor yang telah
terjadi
sebelumnya
sebagian
besar daerah-daerah yang terjadi
longsor termasuk dalam kawasan
sangat rawan longsor sesuai
dengan yang dihasilkan model.
Seperti peristiwa longsor yang
terjadi
di
Desa
kalibakungKecamatan
Balapulang,
Desa
Padasari-Kecamatan
Jatinegara,
dan Desa Batumirah-Kecamatan
Bumijawa.
Selain
itu
juga
dilakukan kajian peristiwa longsor
yang terjadi di daerah sekitar
perbatasan, yang secara geografis
merupakan
satu
kesatuan
kawasan dengan daerah yang
dianggap sangat rawan longsor.
1
3
5
5
3
3
3
4
6
4
GAMBAR 7
EVALUASI HASIL MODEL
82
Validasi Model
an
Longsor
TABEL 10
UJI VALIDASI MODEL
NO
METODE
EVALUASI
Survey
Lapangan
(pengambi
lan
gambar)
Media
Surat
Jumlah
JML
SAMPE
L
KATEGORI
Ben
Sala
ar
h
14
12
Rencana
Tata
Ruang
=
=
Permukiman,
tegalan, lahan
kosong,
penambangan
Hutan,
perkebunan,
sawah, dan
penggunaan
lainnya
1
5
Aman
GAMBAR 8
PETA HASIL EVALUASI
RENCANA TATA RUANG
(RTR)
12/14 x 100%
0.86
83
terdapat
beberapa
kawasan
permukiman pada wilayah yang
rawan longsor.
Kawasan
Rawan
Longsor
Sebagai
Masukan
Rencana
Tata Ruang
Penanganan untuk daerah dengan
kategori sangat rawan longsor
khususnya
kawasan
yang
memiliki
ketidaksesuaian
penggunaan
lahan
dapat
dilakukan melalui rekayasa fisik
bangunan dan juga rekayasa
vegetatif.
a.
Rekayasa Bangunan Fisik
Kawasan
dengan
kategori
sangat
rawan
longsor
memerlukan adanya rekayasa
fisik untuk perencanaannya,
sehingga pemanfaatan lahan
seperti permukiman yang telah
ada dapat diminimalisir tingkat
kerawanan bencananya.
GAMBAR 9
CONTOH REKAYASA FISIK
BANGUNAN PENAHAN
LONGSOR
b.
Rekayasa vegetatif
Keberadaan vegetasi dengan
struktur dan komposisinya
yang
beragam
dapat
bermanfaat bagi kehidupan
manusia
yaitu
sebagai
pengendali
daur
air.
Mengurangi beban mekanik
pohon-pohon yang besar-besar
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang dilakukan
sebelumnya maka dapat diambil
beberapa
kesimpulan
dari
penelitian ini, antara lain
a. Model penentuan kawasan
rawan
longsor
mencakup
beberapa
variabel
yaitu
kelerengan, geologi, curah
hujan, kandungan air tanah,
laju infiltrasi, zona gempa,
dan penutup lahan.
b. Output
model
merupakan
hasil
overlay
dari
tujuh
variabel skoring yang terdiri
dari atas variabel kelerengan,
geologi,
curah
hujan,
kandungan air tanah, tingkat
infiltrasi, zona gempa dan
penutup lahan. Besarnya nilai
skoring
untuk
tiap-tiap
variabel
adalah
berkisar
antara 1 sampai dengan 5,
dengan ketentuan semakin
besar skor maka semakin
besar
pula
tingkat
pengaruhnya
terhadap
bencana. Selain skoring juga
dilakukan
pembobotan
terhadap
masing-masing
variabel
berdasarkan
pengaruhnya
terhadap
84
KATEGO
RI
KAWASAN SANGAT RAWAN
N
O
1
KECAMAT
AN
Bojong
Bumijawa
DESA
Dukuh
Tengah,
Rembul,
Tuwel,
Kedawung,
Gunung
Jati,
Kalijambu,
Cikura,
dan
Danasari.
Carul,
Cawitari,
Soka
Tengah,
Sokasari,
Jatinegara
Margasari
2
TABEL 12
PEMBAGIAN KAWASAN
MENURUT TINGKAT
KERAWANAN LONGSOR
DI KABUPATEN TEGAL
Balapulang
3
KAWASAN AMAN
Warureja
Kedungban
teng
Jatinegara
Balapulang
Margasari
Bojong
Bumijawa
Bojong
Pangkah
Slawi
Dukuhwaru
Adiwerna
Dukuhturi
Talang
Tarub
Kramat
Lebaksiu
Warureja
Sumbaga,
Pager
Kasih,
Jejeg,
Gunung
Agung,
Cempaka,
Dukuh
Benda,
Batumirah,
Sigedong,
Guci, dan
Bumijawa
Bukateja,
Kalibakun
g,
Cilongok,
dan
Tembongw
ah.
Padasri,
Kedungwu
ngu, Setail
dan
Gantungan
.
Desa
Danaraja
Hampir
seluruh
desa di
Kecamatan
Warurejo
dan
Kecamatan
Kedungba
nteng
merupaka
n kategori
agak
rawan
Hampir
seluruh
desa
merupaka
n kategori
aman
REKOMENDASI
Rekomendasi
yang
dihasilkan dalam penelitian ini
antara lain
85
86
Benda
Kota
Tangerang,
Propinsi
Banten
dalam
Jurnal Geologi Indonesia, Vol.
1 No. 3 September 2006:
115-128.
Niccolas Chrisman .2002.
Exploring Geographic
Information Systems. Second
Edition, John Wiley & Sons,
New York
Pacione, Michael.1999. Applied
Geography: principles and
practice. Routledge, New
York
Prahasta, Eddy. 2004. Sistem
Informasi Geografis. Informatika,
Bandung.
Puntodewo, Atie dkk. 2003. Sistem
Informasi Geografis Untuk
Pengelolaan Sumber Daya
Alam. CIFOR, Jakarta.
Priyantari, Nurul dan Cahyo
Wahyono. Penentuan Bidang
Gelincir Tanah Longsor
Berdasarkan Sifat Kelistrikan
Bumi. dalam Jurnal ILMU
DASAR Vol. 6 No. 2, 2005 :
137-141
Rotinsulu,
Wiske.
2003.
Pemanfaatan
Data
Penginderaan Jauh untuk
Penanggulangan
Bencana
Tanah Longsor (4) dalam
Kompas, April 2003.
Sitorus, R.P, Santun. 1998. Evaluasi
Sumberdaya
Lahan,
Bandung:
Tarsito.
Suara Merdeka. 2006. Sembilan
Kecamatan Rawan Bencana
Alam dalam Suara Merdeka
Selasa 28 November 2006,
Semarang.
Sumiyattinah. 2000. Permodelan
SIG
untuk
Menentukan
Daerah Rawan Erosi Akibat
Longsoran di Propinsi Jawa
Barat.
Forum
Ilmiah
Tahunan Ikatan Surveyor
Indonesia. Bandung. 266
hlm (Proceeding).
Tomlin,
Dana
C.
1990.
Geographic Information
Systems and Cartpgraphic
Modelling. Frentie-Hall,
Inc.
North
Carolina
Divison
of
Coastal Planning. 2005.
Land Suitablity Analysis
USER Guide. available at
www.dcm2.ehnr.state.nc.u
s/Planning/user_guide_lsa
2005.pdf
diakses
pada
tanggal 17 Oktober 2007
BPS. 2007. Kabupaten Tegal
dalam Angka 2006. Kantor
Statistik Kota Semarang
BAPEDA. 2006. RTRW
Kabupaten Tegal 2007-2016.
Laporan Geologi Lingkungan
BWK X Semarang. 2005. tidak
diterbitkan
Statistik Sumberdaya Lahan
Pertanian (Puslit Tanah dan
Agroklimat, 1997)
Penyusunan
Arahan
Pemanfaatan Ruang DAS
Bahorok.
Bappeda
Kabupaten Langkat, 2005.
UU No 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang