Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bencana alam merupakan salah satu fenomena yang dapat terjadi setiap saat,
dimanapun dan kapanpun sehingga menimbulkan risiko atau bahaya terhadap
kehidupan manusia, baik kerugian harta benda maupun korban jiwa manusia.
Tanah longsor adalah gerakan tanah yang berkaitan langsung dengan berbagai
sifat fisik alami seperti struktur geologi, bahan induk, tanah, pola drinase,
lereng/bentuk lahan, hujan maupun sidat-sifat non-alami yang bersifat dinamis
seperti pnggunaan lahan dan infrastruktur (Barus, 1999). Menurut Suripin (2002)
tanah longsor merupakan bentuk erosi dimana pengangkutan atau gerakan masa
tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang tentunya relatif besar. Bencana
tanah longsor merupakan salah satu bencana alam geologi yang dapat
menimbulkan terjadinya pendangkalan serta penimbunan, terganggunya jalur lalu
lintas, rusaknya lahan pertanian, permukiman, jembatan, saluran irigasi dan
prasarana fisik lainnya (Nugroho. Dkk, 2009). Bencana ini sering terjadi di
Indonesia dan umumnya terjadi di wilayah pegunungan serta pada musim hujan.
Menurut Sartohadi (2008), jumlah kejadian tanah longsor tertinggi di Indoneisa
terjadi pada wilayah yang memiliki topografi yang curam dan memiliki curah
hujan 2000mm/tahun. Tentunya bencana ini berkaitan erat dengan kondisi alam
seperti jenis tanah, jenis batuan, curah hujan, kemiringan lereng dan penutup
lahan. Selain itu adanya faktor manusia yang juga sangat berpengaruh terhadap
terjadinya bencana tanah longsor, seperti alih fungsi lahan hutan yang tidak
mengikuti aturan dan semena-mena, penerbangan hutan tanpa melakukan tebang
pilih, perluasan pemukiman di daerah dengan topografi yang curam. Tingginya
tingkat kerugian yang dialami oleh masyarakat yang diakibatkan karena terjadinya
bencana alam disebabkan karena kurangnya informasi yang diperoleh masyarakat
akan kemungkinan-kemungkinan bencana yang terjadi disekitarnya, sehingga
kesadara masyarakat akan tanggap bencana menjadi sangat minim. Oleh karena
itu informasi awal mengenai potensi dan risiko bencana merupakan salah satu
media informasi yang dapat digunakan sebagai pendidikan dasar tanggap bencana
bagi masyarakat (Damanik, 2012).
Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak tanah longsor
adalah dengan mengenali karakteristik daerah rawan terjadinya longsor tersebut,
yang mana untuk mengenali karakteristik daerah terjadinya benana tanah longsor
maka diperlukan sebuah pemetaan daerah rawan bencana tanah longsor. Pemetaan
daerah rawan bencana tanah longsor. Pemetaan daerah rawan bencana tanah
longsor dapat ilakukan dengan pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG).
Dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis dapat dimuat berbagai
informasi geospasial yang berkaitan dengan berbagai faktor penyebab tanah
longsor. Pemetaan daerah rawan bencana tanah longsor ini dapat dilakukan
dengan mengguanakn berbagai aplikasi atau sofware pemetaan pada SIG, seperti
dengan menggunakan ArcGIS dengan berbagai typenya. Dengan pemetaan daerah
rawan bencana tanah longsor di Kabupaten Gowa, maka dampak dari bencana
dapat diminimalisir dan dapat dilakukan tindakan yang bersifat preventif terhadap
daerah dengan kategori tingkat kerawanan tinggi.
Terdapat beberapa pencapaian yang ingin diperoleh mengenai pemetaan
kerawanan longsor. Rahman (2010) menggunakan parameter intensitas curah
hujan, kemiringan lereng, geologi, penggunaan lahan, permeabilitas tanah, tekstur
tanah serta kedalaman tanah dalam menentukan kerawanan longsor. Penelitian
serupa juga dilakukan oleh Zakaria (2010). Stabilitas dan rancang bangun lereng
terpadu(Starlet) yang dirumuskan oleh Zakaria (2010) merupakan suatu usulan
dalam penanganan lereng rawan longsor yang melibatkan keterpaduan antara
sistem pemetaan longsoran dan lereng rawan longsor, analisis kestabilan lereng
sebagai peringatan dini maupun utnuk stabilitas, simulasi rancang bangun lereng
stabil, dan arahan manajemen lingkungan yang disertai dengan monitoring
lingkungan, dengan melibatkan peran para ilmuwan, aparat pemerintah,
masyarakat, dan pengusaha dalam menghadapi bencana longsor ini. Dalam
penelitian Faizana et al. (2015), pembuatan peta risiko bencana tanah longsor
dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu pemodelan peta ancaman, pemodelan
kerentanan, pemodelan kapasitas, serta pemodelan risiko. Pemodelan ancaman
dihasilkan dari pembobotan menggunakan overlay.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat ancaman longsor di Kabupaten Gowa berdasarkan faktor-
faktor yang mempengaruhi terjadinya tanah longsor?
2. Bagaimana pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat digunakan
dalalm pemetaan tingkat kerawanan terjadinya bencana longsor di
Kabupaten Gowa?

1.3 Tujuan
1. Mendeskrisikan tingkat ancaman longsor di Kabupaten Gowa berdasarkan
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tanah longsor.
2. Mendeskripsikan pemanfaatan SIG dalam pemetaan tingkat kerawanan
terjadinya bencana longsor di Kabuapten Gowa.
1. Eutric Cambisols: Eutric Cambisols umumnya memiliki tingkat kerawanan
longsor yang sedang hingga rendah. Ini karena tanah ini memiliki tekstur yang
cenderung kasar dan struktur yang baik, sehingga memiliki kemampuan infiltrasi
dan drainase yang lebih baik.
2. Eutric Fluvisols: Eutric Fluvisols dapat memiliki tingkat kerawanan longsor
yang tinggi, terutama jika mereka terletak di daerah dataran rendah yang rentan
terhadap banjir. Tanah ini terbentuk dari endapan aluvial dan sering kali memiliki
tekstur halus, yang dapat menyebabkan penumpukan air dan meningkatkan risiko
longsor.
3. Chromic Luvisols: Chromic Luvisols umumnya memiliki tingkat kerawanan
longsor yang rendah hingga sedang. Tanah ini memiliki horison liat yang
terakumulasi dan struktur tanah yang baik. Namun, tingkat kerawanan dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti lereng, curah hujan, dan erosi tanah.
4. Orthic Luvisols: Orthic Luvisols juga umumnya memiliki tingkat kerawanan
longsor yang rendah hingga sedang. Tanah ini memiliki horison liat yang
terakumulasi dan struktur tanah yang baik. Namun, seperti jenis tanah lainnya,
penilaian yang akurat juga mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan dan
geografis lainnya.
5. Distric Nitosols: Distric Nitosols memiliki tingkat kerawanan longsor yang
rendah hingga sedang. Tanah ini kaya akan bahan organik dan nutrisi, serta
memiliki struktur tanah yang baik. Namun, kerawanan dapat dipengaruhi oleh
faktor topografi dan drainase di wilayah tersebut.
6. Humic Andosol: Humic Andosol umumnya memiliki tingkat kerawanan
longsor yang rendah hingga sedang. Tanah ini terbentuk dari material vulkanik
dan memiliki struktur tanah yang baik. Namun, seperti jenis tanah lainnya, faktor-
faktor seperti lereng, curah hujan, dan kondisi hidrologi tetap harus
dipertimbangkan dalam penilaian kerawanan.
Jenis Tanah
Jenis tanah di lokasi penelitian berdasarkan Peta Tanah lokasi penelitian erdiri dari
tanah Eutric Cambisols, Eutric Fluvisols, Chromic Luvisols, Orthic Luvisols,,
Distric Nitosols, dan Humic Andosol. Berdasarkan klasifikasi Puslittanak
berdasrkan kepekaan terhadap erosi, maka jenis anah di lokasi penelitian terbagi
menjadi kelas Sangat Peka Erosi/Permeabilitas sangat Lambat, Peka
Erosi/Permeabilitas Lambat, Agak Peka Erosi/Permeabilitas Cepat, dan Tidak
Peka Erosi/Permeabilitas Sangat Cepat. Distribusi spasial jenis tanah di
Kabupaten Gowa dapat dilihat pada
Tabel Jenis Tanah Kaupaten Gowa

Desa Jenis Tanah Skor


Bajeng Je, lc
Tombolopao Lo, be, Th
Bontonompo
Bontonompo Selatan
Bontomarannu
Palangga
Barombong
Somba Upu
Pattallassang
Biringbulu
Tompobullu
Bungaya
Manuju
Parangloe
Bontolempaneng
Parigi
Tinggimoncong
Bajeng Barat

Anda mungkin juga menyukai