ANALISIS SPASIAL TINGKAT BAHAYA LONGSOR LAHAN DENGAN PEMETAAN MULTI TINGKAT DI KOTA AMBON Ketua Peneliti : Steves. W.J. Louhenapessy, SP., M.Si NIP. Anggota : 1. M.Amin Lasaiba., S.Pd.,M.Sc 2. Drs.E.E.H.Woersok/S, M.Pd 3. Ishaka Lalihun, S.Sos., M.A UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON NOVEMBER 2011 2 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Longsor lahan adalah salah satu bencana alam yang paling merusak bentang lahan dan banyak menimbulkan korban jiwa dan kerugian material yang sangat besar di seluruh dunia setiap tahunnya (Cendreroand Dramis, 1996; Hovius et al., 1997; Gerrard dan Gardner, 2000; Mather et al., 2003; Ng, 2009). Di seluruh dunia sekitar 600 kematian per tahun terjadi akibat bencana ini terutama dilingkaran Pasifik. Di Amerika Serikat saja di perkirakan 25 jiwa melayang tiap tahun akibat kelongsoran lebih besar dibanding tingakt kematian akibat gempa. Longsoran besar dapat menyebabkan jumlah korban tewas lebih besar lagi, seperti tanah longsor di lereng-lereng Huascaran, Peru, akibat gempa bumi tahun 1970 yang memakan korban lebih dari 18.000 orang (Wang dan Sassa, 2006). Sementara itu, di HongKong, sebanyak 26.780 longsor lahan telah terjadi selama 50 tahun antara 1945-1994 dengan frekuensi longsor rata-rata lebih dari 300 per tahun (Dymond et al., 2006). Bencana longsor lahan di Indonesia, menurut laporan data hasil kerjasama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) - SCDRR BAPPENAS dan UNDP (2009), menunjukan bahwa bencana longsor lahan yang terjadi di Indonesia antara tahun 2002 2008, terjadi sebanyak 2212 kejadian dan sebagian besar terjadi pada daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah, masing-masing 394 dan 339 kejadian. Sementara itu untuk Provinsi Maluku sebanyak 5 kali kejadian. Selanjutya data korban jiwa yang dilansir Kompas, 2006 dalam Burhanudin, (2009), menyebutkan daerah Kabupaten Banjarnegara mengalami korban jiwa terbesar yaitu sebanyak 100 jiwa dan kerusakan lahan pertanian lebih dari 4 ha. Sebaran penggunaan lahan di Kota Ambon yang sebagian meliputi daerah pertanian, perkebunan, permukiman dan tempat 3 penduduk melakukan aktivitas kehidupannya. Jika terjadi longsor lahan maka akan mempengaruhi kualitas kehidupan penduduk. Berdasarkan alasan tersebut perlu diadakan penelitian mengenai gerakan massa, untuk mengetahui berbagai faktor yang mempengaruhi, sehingga dapat diketahui besar luas persebarannya. 1.2. Tujuan Khusus Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Memetakan sebaran bentuklahan, kemiringan lereng dan penggunaan lahan dalam penyusunan satuan lahan berdasarkan Citra penginderaan jauh 2. Mendekripsikan distribusi satuan lahan berdasarkan faktor-faktor pemicu terjadinya longsor lahan 3. Menganalisis tingkat bahaya longsor lahan di daerah penelitian 1.3. Urgensi (Keutamaan) Penelitian Studi ini mempunyai dua macam keutamaan yang penting, yaitu kegunaan ilmiah dan kegunaan pragmatis praktis. Keutamaan ilmiah terlihat pada upaya pengembangan diskusi yang berkaitan dengan gejala longsor lahan dan aspek- aspeknya pada daerah perkotaan dalam hubungannya dengan pengembangan kota Kota Ambon. Pembandingan dengan topik serupa yang dikemukakan oleh beberapa pakar akan memperluas cakrawala tinjauan dalam pembahasannya.. Keutamaan pragmatis praktis berkaitan dengan pengembangan perencanaan penggunaan lahan dengan kondisi keterbatasan lahan di Kota Ambon sebagai Ibukota Provinsi Maluku, dimana Kota Ambon dengan kondisi bentanglahan perbukitan yang dominan dan hampir meliputi seluruh wilayah kota dan menjadi dilema yang sangat sulit untuk dipecahkan 4 oleh pemerintah daerah seiring dengan tuntutan penduduk terhadap lahan dengan ketersediaan lahan yang terbatas untuk dikembangkan, sementara itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan proses longsor lahana dalam mengembangkan Kota Ambon dengan pengkajian yang mendalam sebagai masukan bagi pemerintah daerah dalam penetapan aturan-aturan secara tegas dalam alokasi penggunaan lahan yang sesuai dengan kondisi dan daya dukung wilayah, sekaligus mengoptimalkan daerah resapan (catchment area) sebagai zona basis dalam penetapan kawasan lindung yang perlu dilestarikan, dan kawasan budidaya dalam perencanaan penggunaan lahan yang berbasis ekologis.. BAB II. STUDI PUSTAKA 2.1. Konsepsi Longsor Lahan Tanah longsor atau dalam bahasa Inggris disebut Landslide, adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai berikut: air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng. Longsor lahan merupakan proses perpindahan massa batuan dan tanah yang merupakan salah satu proses geomorfologi yang disebabkan oleh gaya gravitasi. Pengumpulan air pada lapisan tanah atas, yang berada di atas lapisan yang tidak tembus air, karena lapisan tanah atas telah jenuh air, sedangkan lapisan di bawahnya tidak dapat menyerap air, maka gaya geser melebihi kekuatan geser tanah 5 sehingga massa tanah lapisan atas tersebut secara bersama- sama bergerak (Worosuprojo, 2002). 2.2. Jenis-jenis Longsor Lahan Menurut Subowo (2003), ada 6 (enam) jenis tanah longsor, yaitu 1) Longsoran Translasi (2) Longsoran Rotasi, (3) Pergerakan Blok (4) Runtuhan Batu, (5) Rayapan Tanah dan (6) Aliran Bahan Rombakan yang terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Dari keenam jenis longsor tersebut, jenis longsor translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia, hal tersebut dikarenakan tingkat pelapukan batuan yang tinggi, sehingga tanah yang terbentuk cukup tebal. Sedangkan longsor yang paling banyak menelan korban harta, benda dan jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan, hal tersebut dikarenakan longsor jenis aliran bahan rombakan ini dapat menempuh jarak yang cukup jauh yaitu bisa mencapai ratusan bahkan ribuan meter, terutama pada daerah-daerah aliran sungai di daerah sekitar gunungapi. 2.3. Tingkat Kerawanan Longsor Lahan Longsor lahan merupakan bencana yang predictable disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor alam dan kegiatan manusia serta terkait dengan upaya pemanfaatan sumberdaya daya alam (Comfort, 2005). Longsor Lahan terjadi karena adanya perubahan-perubahan secara tiba-tiba ataupun perlahanlahan / bertahap dalam komposisi, struktur, daur hidrologi atau kondisi vegetasi disuatu lereng (Genderen, 1970). Perubahan-perubahan tersebut menurut Crozier dan Michael (1973) disebabkan karena : (1) Getaran-getaran bumi karena gempa, (2) perubahan-perubahan kadar air dalam tanah (3) Hilangnya penopang tanah permukaan bumi (4) Peningkatan beban pada tanah yang disebabkan oleh hujan 6 deras dan (5) Pengairan atau tindakan fisik / kimiawi lainnya. Biasanya longsor lahan terjadi sebagai dampak sekunder dari hujan badai yang lebat, gempa bumi serta letusan gunungapi (Dymond et al, 2006). Bahan-bahan yang membentuk tanah longsor terbagi menjadi dua jenis lapisan batu atau lapisan tanah (yang terdiri atas tanah dan berbagai sisa bahan organik (Clark, 2003). Berdasarkan corak gerakannya,tanah longsor bisa digolong-golongkan menjadi guguran/runtuhan, longsoran/luncuran sejumlah besar bahan, robohan, persebaran lateral dan aliran rombakan Ng (2009). 2.4. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi Menurut Lillesand dan Kiefer (1979) bahwa pengideraan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Perolehan data dengan penginderaan jauh yang cepat, memiliki cakupan luas, dan dalam bentuk data digital yang compatible, kini telah digunakan secara bersamaan dengan teknologi Sistem Informasi Geografi (Hartono, 2003). Pada perkembangannya sebagai suatu sistem informasi spasial, aplikasi SIG telah berkembang ke berbagai bidang, misalnya sistem informasi sumberdaya alam, sistem informasi sensus, sistem evaluasi lahan hutan, sistem informasi penanggulangan bencana, sistem informasi pertanahan, dan sebagainya (Hartono, 2003). 2.5. Penelitian Sebelumnya Longsor alam ini sebagian besar telah diteliti menggunakan analisis statistik berbasis GIS (Daiand Lee, 2001, 2002). Selai itu dengan pemetaan geomorfologi dengan menggunakan pendekatan morfometri juga telah digunakan dalam mengkaji bahaya tanah longsor (Ng et al., 2002; Parry dan 7 Ruse, 2002; Ng et 2009). Penelitian longsorlahan dapat dilakukan dengan cara pengukuran indek morfometri longsoran seperti dilakukan oleh Crozier et al., (1973). Soeters et al., (1988) melakukan penelitian gerakan massa di Kolumbia dengan cara interpretasi foto udara, demikian juga Genderen (1970). Dengan penekanannya pada unsur vegetasi, Fransen, 1996; Crozier, 196; Dymond et al, 1999; Dymond et al, 2008) telah mengkaji longsor lahan di Selandia Baru yan menunjukan bahwa daerah semak belukar (scrub) lebih banyak terjadi longsor lahan dibandingkan dengan daerah hutan. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini mengkaji bencana longsor lahan dengan unit lahan sebagai satuan analisisnya dengan menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial (parameter penentu rawan longsor) untuk menghasilkan unit pemetaan baru (unit lahan) yang akan digunakan sebagai unit analisis serta menggunakan purposive sampling yang merupakan suatu teknik pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu berdasarkan karakter populasi. Metode yang digunakan adalah metode survei yang merupakan suatu metode dalam menkaji objek penelitian melalui observasi lapangan. Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif berdasarkan semua parameter lahan dan pemberian harkat merupakan suatu cara untuk menilai potensi lahan dengan memberikan nilai pada masing-masing parameter lahan sehingga dapat dihitung nilainya dan dapat ditentukan harkatnya. Data spasial dalam penelitian ini diperoleh dari interpretasi citra satelit multi tingkat (Landsat, dan DEM SRTM). Data penggunaan lahan diperoleh dari interpretasi Citra SPOT, data kedalaman material lepas yang merupakan 8 hasil deduksi dari peta geomorfologi hasil interpretasi Citra Landsat data struktur batuan hasil deduksi peta geologi, kemiringan lereng dari hasil deduksi peta RBI dan DEM SRTM, tekstur tanah hasil deduksi dari peta tanah, dan peta curah hujanyang selanjutnya dianalisis untuk mengkaji tipe dan karaktersitik serta tingkat kerawanan longsor lahan di daerah penelitian Untuk mendapatkan data di lapangan dihampiri dengan pendekatan bentang lahan (pendekatan geomorfologi), disertai dengan data hasil pengamatan lapangan dan data sekunder dari hasil-hasil penelitian terdahulu dari instansi terkait. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan keruangan (spatial aproach) dengan tema spatial Patttern Analysis dan spatial Structure Analysis, yang mana penekanan utama dari spatial Pattern Analysis adalah pada sebaran elemen-elemen pembentuk ruang (Hadi Sabari, 2006). Yang dimaksud dengan elemen pembentuk ruang dalam penlitian ini adalah sebaran satuan lahan yang disusun berdasarkan kesamaan sifat yang dimiliki masing-masing satuan lahan. Hal ini merupakan identifikasi awal mengenai aglomerasi sebaran satuan lahan yang dikaitkan dengan upaya untuk menjawab geographic question, sedangkan spatial Structure Analysis menekankan pada analisis susunan elemen-elemen pembentuk ruang di dalam mengidentifikasi susunan keruangan yang ada dan dikaitkan dengan upaya menjawab geographic question. Identifikasi susunan keruangan pada satuan lahan berdasarkan karakteristik lahan yang dapat menentukan tingkat degradasi lahan. 3.2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Ambon yang secara administratif terdiri dari lima kecamatan yaitu Kecamatan Nusaniwe, Kecamatan Sirimau, Kecamatan Teluk Ambon Baguala, Kecamatan Teluk Ambon dan Kecamatan Leitimur Selatan 9 3.3. Satuan Analisis Satuan analisis (unit of anaysis) dalam penelitian ini adalah satuan lahan yang terdiri dari 18 unit lahan yang tersebar pada bentuklahan fluvial, denudasional dan solusional dan juga meliputi karakterisitik lereng dan tipe penggunaan lahan. 3.4. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini menekankan pada seluruh land unit yang berbeda yang diperoleh dari hasil overlay dan penentuan sampel berdasarkan pada area sampling dan purposive sampling 3.5. Bahan dan Alat Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Citra Landsat dan Dem SRTM, Peta geologi, Peta RBI, Peta tanah, Peta DAS, Peta lereng dan Peta satuan lahan. Alat yang digunakan stereoskop cermin, plastik transparan, spidol lap, kertas kalkir, pena teknik, rapidograf, penggaris, GPS merk Garmin, Kompas geologi tipe Benenton, Rolmeter, tali nilon, Bor tanah, Bor, ring permeabilitas, Sekop Ring, Kantong plastik, Lup, Pisau lapang, Yalon,Kamera, gelas ukur, penyaring dan kran air, dan program Arc/viuw. 3.6. Tahapan-tahapan Penelitian Pada tahap pra-kerja lapangan kegiatannya adalah Studi kepustakaan, Orientasi lapangan, dan mengumpulkan bahan penelitian berupa citra satelit, dan peta penunjang, Pembuatan peta satuan lahan dan Pembuatan titik sampel. Pada tahap pekerjaan lapangan yang dilakukan adalah Mencocokkan dan membetulkan informasi pada peta penggunaan lahan dan bentuklahan, Mengamati dan mengukur parameter-longor lahan, Pengambilan sampel tanah dan data curah hujan. Pada tahap pasca kerja lapangan ini pekerjaan yang dilakukan adalah 10 revisi Citra, Analisis sampel tanah dan tabulasi data lapang dan data laboratorium. 3.7. Variabel Penelitian Variabel yang diamati adalah tekstur tanah, permeabilitas tanah, daya dukung tanah, kembang kerut, erodibiltas tanah, kelas kelerengan, tingkat pelapukan batuan, struktur perlapisan batuan, kedalaman tanah dan penggunaan lahan. 3.8. Teknik Pengumpulan Data Data faktor penyebab longsoran diidentifikasi dan dievaluasi berdasarkan data primer (citra Landsat dan DEM SRTM) dan sekunder (peta geologi, peta geomorfologi, data curah hujan) dan pengamatan lapangan. Pengamatan dilakukan pada daerah yang telah mengalami longsoran dan daerah yang belum mengalami longsoran. 3.9. Teknik Pengolahan Data Secara garis besar terdiri dari 4 tahap, yaitu (a) tahap tumpangsusun data spasial, (b) tahap editing data atribut, (c) tahap analisis tabuler, dan (d) presentasi grafis (spasial) hasil analisis. Metode yang digunakan dalam tahap analisis tabuler adalah metode scoring. 3.10. Teknik Analisis Data Cara evaluasi tingkat bahaya longsoran dilakukan dengan metode penjumlahan dari hasil pengharkatan parameter fisik yang relevan. Analisis data dilakukan dengan metode skoring, yaitu menjumlahkan skor seluruh parameter dalam tiap poligon. Penjumlahan skor tersebut menggunakan metode Sturges dalam Sartohadi (2005). 11 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengolahana Citra Landsat ETM dan Pemetaan Bentuk Lahan dan Penggunaan Lahan Pengolahan data digital Landsat ETM pada penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Ermapper 7.0. Koreksi Radiometri pada citra diperoleh nilai piksel minimum dan maksimum yang diasumsikan ideal pada citra hasil. Koreksi Geometri menunjukkan tingkat ketelitian hasil koreksi dengan besarnya nilai ambang Sigma atau nilai ambang RMS error total lebih kecil dari 0.05.Penyusunan Citra Komposit Warna dalam penelitian ini adalah komposit 457, 572, dan 432, dengan visualisasi yang lebih ekspresif Pemetaan bentuklahan menggunakan pilihan komposit pada saluran 457 dan ketelitian interpretasi yaitu 87,05, dan diperoleh luasan terbesar pada bentuklahan asal denudasional dengan luas 5914,88 hektar, sedangkan terkecil terdapat pada bentuklahan asal struktural seluas 7,04 hektar. Untuk penggunaan lahan menggunakan klasifikasi dari Malingreau (1978) dan Pilihan komposit yang digunakan pada saluran 432 serta uji ketelitian yaitu 84,44 dan diperoleh luasan terbesar yaitu pada kebun campuran seluas 11950 hektar, dan terkecil pada hutan bakau seluas 49,391 hektar. Selanjutnya untuk permukiman dan lahan terbangun seluas 2554,164 hektar. Gambar 01. Peta Bentuk Lahan dan Peta Penggunaan Lahan Kota Ambon 12 4.3. Pengolahan Citra DEM SRTM Berdasarkan hasil analisis DEM SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) dengan resolusi 30 meter yang dikeluarkan oleh NASA tahun 2011 dengan liputannya pada wilayah penelitian yaitu S04E127 dan S04E128. Dari hasil pengolahan diperoleh luasan wilayah Kota Ambon didominasi oleh fisiografi berbukit hingga bergunung (80,66%). Sementara itu, kemiringan lereng sangat terjal sekitar 33,39%. miring sekitar 29,14%, agak miring sekitar 21,66%. dan datar hingga agak datar sebesar 15,80%. Sedangkan untuk ketinggian sebagian besar tersebar pada ketinggian 25 - 75 mdpl sekitar 36,39%, dan pada ketinggian lahan > 250 mdpl hanya sekitar 3,17% yang tersebar pada pegunungan nona, Pegunungan Sirimau maupun Pegunungan Leihitu. Gambar 02. Peta Lereng dan Ketinggian Lahan Kota Ambon 4.4. Pemetaan Satuan Lahan Daerah Penelitian Pemerian satuan lahan di daerah penelitian di susun berdasarkan tiga unsur utama yakni bentukahan, kemiringan lereng dan penggunaan lahan. Klasifikasi satuan lahan yang memiliki luasan terbesar yaitu pada satuan lahan D3 III Tp dan D3 III H dengan luas masing-masing yaitu 9506,10 hektar (25,20%) dan 7787,76 hektar (20,65%). Sementara itu, satuan lahan dengan luasan terkecil hampir sebagian besar tersebar pada dataran alluvial dan daerah rawa dengan lereng landai dan penggunan lahan tegalan dan hutan bakau. 13 Tabel 01. Klasifikasi Satuan Lahan daerah Penelitian No Satuan lahan Bentuklahan Lereng Penggunaan lahan Luas 1 F1 I Pm Dataran Aluvial 2 % Permukiman 1364.445 2 F1 I Tg Dataran Aluvial 2 % Tegalan 1109.363 3 F7 I Hb Rawa 2 % Hutan Bakau 49.391 4 D1 I Kc Perbukitan Denudasional 8 % Kebun Campuran 2014.466 5 D1 I Pm Perbukitan Denudasional 6 % Permukiman 367.277 6 D1 I Sb Perbukitan Denudasional 8 % Semak Belukar 64.341 7 D1 I Tg Perbukitan Denudasional 7 % Perkebunan 39.736 8 D2 II H Perbukitan Denudasional 15 % Hutan 1721.966 9 D2 II Kc Perbukitan Denudasional 12 % Kebun Campuran 2500.914 10 D2 II Tp Perbukitan Denudasional 12 % Perkebunan 1583.157 11 D2 II Pm Perbukitan Denudasional 10 % Permukiman 822.441 12 D2 II Sb Perbukitan Denudasional 15 % Semak Belukar 299.973 13 D3 III H Perbukitan Denudasional 30% Hutan 7356.116 14 D3 III Kc Perbukitan Denudasional 25% Kebun Campuran 7434.665 15 D3 III Tp Perbukitan Denudasional 30% Perkebunan 4572.384 16 D3 III Sb Perbukitan Denudasional 30% Semak Belukar 666.896 17 S7 III H Gawir Sesar 35% Hutan 47.451 18 S7 III Sb Gawir Sesar 35% Semak Belukar 25.706 Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2011 4.5. Faktor-Faktor Pemicu Terjadinya Longsor Lahan Berdasarkan data curah stasiun meteorologi Pattimura Ambon memiliki curah hujan rata-rata tahunan yang cukup tinggi yaitu berkisar antara 1.000 3.000 mm dari tahun 2001 hingga tahun 2009 dan meningkat hingga mencapai 5.661 mm pada tahun 2010 dan curah hujan dalam 10 tahun rata-rata sekitar 2616,2 mm, dengan jumlah hari hujan sekitar 230,9 hari dan rata-rata terdapat 10,4 bulan basah dan 1,5 rata- rata bulan kering, sehingga dalam setiap tahun, curah hujan yang terjadi di daerah penelitian cukup intensif walaupun pada musim kemarau sehingga daerah penelitian mempunyai Hasil analisis laboratorium Geografi Tanah Fakultas Geografi UGM (2011) lapisan permukaan bertekstur geluh, geluh debuan, geluh lempungan. Lempung berpasir dan pasir berlempung. Kondisi jenis tanah di Kota Ambon. Untuk kelas permeabiltas, cukup bervariasi yaitu: sangat cepat, agak cepat, sedang dan sangat lambat. Untuk daya dukung tanah sebagian besar satuan lahan dengan daya daya dukung 1,4 Kg/cm 2 . Untuk kembang kerut tanah tersebar pada nilai cole 14 antara 0.017 -0,168, Nilai erodibilitas berkisar dari rendah sangat tinggi dan sebagian besar tersebar pada kategori sangat tinggi dengan nilai 0,48-0,50. Pada daerah penelitian dengan kelerengan yang bervariasi dan sebagian besar pada kelas miring-sangat miring. Sementara itu, tingkat pelapukan secara keseluruhan tersebar pada kondisi pelapukan lanjut. Struktur perlapisan batuan pada daerah penelitian yang diwakili oleh sepuluh sampel menyilang arah lereng. Keadaan seperti tersebut yang membuat material lereng sering terjadi gerakan massa, walaupun kelerengannya juga terjal. Kedalaman tanah di daerah penelitian yang diwakili oleh sampel bervariasi dari sedang dan sangat dalam. Sedangkan bentuk penggunaan lahan di daerah penelitian adalah permukiman, tegalan, perkebunan, kebun campuran, semak belukar, hutan, dan hutan bakau. Tanaman perkebunan, kebun campuran dan hutan 4.6. Tingkat Bahaya Longsor lahan Penentuan tingkat bahaya longsor lahan di daerah penelitian, berdasarkan hasil pengharkatan terhadap 10 parameter yang terdiri dari kelas Tinggi, sedang dan rendah dan tersebar pada bentuklahan asal proses fluvial, denudasional dan struktural. Satuan lahan memiliki harkat terendah yaitu dengan total skor 17 dengan kategori rendah dan harkat tertinggi yaitu dengan total skor 35 dengan kategori tinggi. Kategori rendah sebagian besar tersebar pada dataran alluvial sementara kategori tinggi tersebar pada bentuklahan denudasional dn struktural. Penentuan kelas bahaya longsor lahan ini berdasarkan penjumlahan seluruh parameter karakteristik lahan yang terdiri dari kemiringan lereng, erodibilitas, tekstur, kembang kerut tanah, daya dukung tanah, permiabilitas, daya dukung tanah, kembang kerut tanah, pelapukan batuan perlapisan batuan dan kedalaman tanah dan penggunaan lahan. 15 Tabel 02. Penentuan Tingkat Bahaya Longsor lahan pada Satuan Lahan Daerah Penelitian Satuan Lahan Parameter Skor Kelas Tekstur Permiab D_Duku Kemb_K erodib lereng pelapuk Perlap Kedalam P_lahan D1_I_Kc 4 4 2 3 4 2 3 2 3 3 30 Sedang D1_I_Pm 4 4 1 3 4 2 3 2 3 4 30 Sedang D1_I_Sb 2 4 1 3 4 2 3 3 4 2 28 Sedang D1_I_Tg 2 4 2 3 4 2 3 2 4 2 28 Sedang D2_II_H 2 4 2 3 5 3 3 3 4 3 32 Sedang D2_II_Kc 1 3 2 2 5 3 3 3 5 3 30 Sedang D2_II_Pk 2 4 2 3 5 3 3 3 4 3 32 Sedang D2_II_Pm 2 4 2 3 5 3 3 3 4 4 33 Sedang D2_II_Sb 2 4 1 3 5 3 3 3 4 2 30 Sedang D3_III_H 1 3 3 2 5 4 3 5 5 3 34 Tinggi D3_III_Kc 2 4 2 2 5 4 3 4 4 3 33 Sedang D3_III_Pk 1 3 2 2 5 4 3 4 5 3 32 Sedang D3_III_Sb 2 4 2 2 5 4 3 4 4 2 32 Sedang F1_I_Pm 4 5 1 1 1 1 3 1 2 4 23 Rendah F1_I_Tg 4 5 1 1 1 1 3 1 2 2 21 Rendah F7_I_Hb 1 2 1 1 1 1 3 1 3 3 17 Rendah S1_III_H 1 3 3 2 5 5 3 5 5 2 34 Tinggi S1_III_Sb 1 3 3 2 5 5 3 5 3 35 Tinggi 16 Pembahasan masing-masing kelas serta luasannya tersaji pada Tabel berikut. Tabel 03. Tingkat Bahaya Longsor lahan di Kota Ambon. Tingkat bahaya longsor lahan Satuan lahan Luas (Ha) (%) Rendah F1_I_Pm 1364.445 4.2589 F1_I_Tg 1109.363 3.4627 F7_I_Hb 49.391 0.1542 Luas 2523.199 7.8758 Sedang D1_I_Kc 2014.466 6.2879 D1_I_Pm 367.277 1.1464 D1_I_Sb 64.341 0.2008 D1_I_Tg 39.736 0.1240 D2_II_H 1721.966 5.3749 D2_II_Kc 1751.248 5.4663 D2_II_Pk 1583.157 4.9416 D2_II_Pm 822.441 2.5671 D2_II_Sb 299.973 0.9363 D3_III_H 302.382 0.9438 D3_III_Kc 7434.665 23.2062 D3_III_Pk 3585.148 11.1905 D3_III_Sb 666.896 2.0816 Luas 20653.696 64.4674 Tinggi D3_III_H 7053.734 22.0172 D3_III_Kc 746.309 2.3295 D3_III_Pk 987.236 3.0815 S1_III_H 47.451 0.1481 S1_III_Sb 25.706 0.0802 Luas 8860.436 27.6565 Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2006 Berdasarkan Tabel tersebut, maka uraian atau penjelasan mengenai tingkat bahaya longsor lahan lahan untuk permukiman pada setiap satuan lahan sebagai berikut. Satuan lahan yang dikategorikan rendah terhadap bahaya longsor lahan terdapat 3 satuan lahan, dari 18 satuan lahan yang dievaluasi. Satuan lahan ini terdapat pada bentuklahan asal fluvial dengan satuan lahannya F1 I Pm dengan luasan 1364.445 ha atau 4.26%, F1 I Tg dengan luasan 1109.363 ha atau 3.46 %, dan F7 I Hb dengan luasan 49.391 atau 0.15%. Luas 17 keseluruhan satuan lahan yang dikategorikan sangat sesuai untuk permukiman yaitu 2523,199 ha atau 7,876%. Satuan lahan dengan kategori sedang terhadap bahaya longsor lahan di daerah penelitan terdapat 13 satuan lahan, dari 18 satuan lahan yang dievaluasi. Satuan lahan yang dikategorikan sedang tersebut, terdapat pada bentuklahan denudasional dengan satuan lahan D1_I_Kc seluas 2014.466 ha, D1_I_Pm seluas 367.277 ha, D1_I_Sb seluas 64.341 ha, D1_I_Tg seluas 39.736 ha, D2_II_H seluas 1721.966 ha, D2_II_Kc seluas 1751.248 ha, D2_II_Pk seluas 1583.157 ha, D2_II_Pm seluas 822.441 ha, D2_II_Sb seluas 299.973 ha, D3_III_H seluas 302.382 ha, D3_III_Kc seluas 7434.665 ha, D3_III_Pk seluas 3585.148 ha dan D3_III_Sb seluas 666.896 ha. Satuan lahan dengan kategori tinggi terhadap bahaya longsor lahan di daerah penelitan terdapat 5 satuan lahan, dari 18 satuan lahan yang di evaluasi. Satuan lahan yang dikategorikan tersebut, dengan satuan lahannya adalah D3_III_H seluas 7053.734 ha atau 22.017%, D3_III_Kc seluas 746.309 ha atau 2.3295%, D3_III_Pk seluas 987.236 ha atau 3.0815%, S1_III_H seluas 47.451 ha atau 0.1481%, dan S1_III_Sb seluas 25.706 ha atau 0.0802%. Gambar 03. Peta Satuan Lahan dan Peta Tingkat Bahaya Longsor lahan di Kota Ambon 18 DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Pemantauan Bencana Alam (Banjir, Lngsor dan Gempa Bumi. Laporan. Pusat Pengembangan dan Teknologi Penginderaan Jauh. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Jakarta. Anonim, 2009. Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana http:// www.bakornaspbp. go.id/new/ Anonim, 2009. Hasil Kerjasama : Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) - SCDRR BAPPENAS DAN UNDP. Anonim, 2008. Laporan Harian Posko BNPB. http://www.bakornaspb.go.id Blong, R.J., 1974. Lanslide Form And Hill Slope Mophology: An Example from new zeeland, The Australian Geographer, 12,5, pp. 439-444 Clark, G. (2003) A historic viewpoint on insurability. Paper presented at the Challenging Insurability deeting, 5 December, Centre for the Analysis of Risk and Regulation, London School of Economics. Comfort, L. K. 2005. Risk, security and disaster management. Annual Review of Political Science 8 (June): 335356. Crozier, Michael, J., 1973. Techniques For The Morphometric Analysis Of Landslips, Zeitschrift Fur Geomorphologie, 17,1, pp. 78-101 Dymond, J. R., A. G. Ausseil ., J. D. Shepherd ., L. Buettner., 2006. Validation of a region-wide model of landslide susceptibility in the ManawatuWanganui region of New Zealand. Geomorphology 74.70 79 Elsevier Publishing Company, Amsterdam. Genderen, J.L. Van, 1970. The Morphodinamic Of The Crati River Basin-Calabria Italy, ITC No.56 Hermanto, D.A, 2006. Kebijakan Penataan Ruang dalam Pengelolaan Kawasan Rawan Bencana Longsor. Makalah, disampaikan dalam Lokakarya Penataan Ruang Sebagai Wahana Untuk Meminimalkan Potensi Kejadian Bencana Longsor, kerjasama Ditjen. Penataan Ruang Dep. Pekerjaan Umum dengan Badan Kejuruan Sipil Persatuan Insinyur Indonesia, Jakarta, 7 Maret 2006. Lasaiba, (2006). Evaluasi Lahan Untuk Permukiman di Kota Ambon, Tesis S2 Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Mileti, D. 1999. Disasters by design. Washington, DC: Joseph Henry. 19 Ng, K.Y., 2009. Landslide locations and drainage network development: A case study of Hong Kong. Geomorphology 76.229239. Elsevier Publishing Company, Amsterdam Pariourno, (2009), Modul Manajemen Bencana Pengenalan Longsor untuk Penanggulangan Bencana. http://www.abdet.com/maps/map_france.gif. Sutikno, Jamulya dan Gunadi, 1992. Dampak Penggunaan Lahan terhadap Bencana Alam akibat Gerakan Massa Tanah/Batuan di Daerah Temanggung Jawa Tengah. Hasil Penelitian, Fak. Geografi. UGM. Yogyakarta. Wang, H. B. and K. Sassa., 2006. Rainfall-induced landslide hazard assessment using artificial neural networks Earth Surf. Process. Landforms 31, 235247. Published online 21 September 2005 in Wiley InterScience (www.interscience.wiley.com). Weno, L.F., 1991. Potensi, Permasalaan dan Pengelolaan Teluk Ambon dan Teluk Binnen, Maluku, Penyunting Ongkosongo, O.S.R. Badan Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ambon. Worosuprojo, 2002. Studi Erosi Parit dan Longsoran dengan Pendekatan Geomorfologi di Daerah Aliran Sungai Oyo Jawa : Desertasi Program Pasca Sarjana UGM.
Studi Pemberian Air Irigasi Sebagai Usaha Menghemat Penggunaan Air Irigasi Pada Daerah Irigasi Kedungkandang Di Kota Dan Kabupaten Malang GAURI ASIH KARTIKA 0910640042 PDF