Anda di halaman 1dari 19

RINGKASAN LAPORAN AKHIR

PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN I


ANALISIS SPASIAL TINGKAT BAHAYA LONGSOR LAHAN
DENGAN PEMETAAN MULTI TINGKAT
DI KOTA AMBON
Ketua Peneliti :
Steves. W.J. Louhenapessy, SP., M.Si
NIP.
Anggota :
1. M.Amin Lasaiba., S.Pd.,M.Sc
2. Drs.E.E.H.Woersok/S, M.Pd
3. Ishaka Lalihun, S.Sos., M.A
UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON
NOVEMBER 2011
2
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Longsor lahan adalah salah satu bencana alam yang
paling merusak bentang lahan dan banyak menimbulkan korban
jiwa dan kerugian material yang sangat besar di seluruh
dunia setiap tahunnya (Cendreroand Dramis, 1996; Hovius et
al., 1997; Gerrard dan Gardner, 2000; Mather et al., 2003;
Ng, 2009). Di seluruh dunia sekitar 600 kematian per tahun
terjadi akibat bencana ini terutama dilingkaran Pasifik. Di
Amerika Serikat saja di perkirakan 25 jiwa melayang tiap
tahun akibat kelongsoran lebih besar dibanding tingakt
kematian akibat gempa. Longsoran besar dapat menyebabkan
jumlah korban tewas lebih besar lagi, seperti tanah longsor
di lereng-lereng Huascaran, Peru, akibat gempa bumi tahun
1970 yang memakan korban lebih dari 18.000 orang (Wang dan
Sassa, 2006). Sementara itu, di HongKong, sebanyak 26.780
longsor lahan telah terjadi selama 50 tahun antara 1945-1994
dengan frekuensi longsor rata-rata lebih dari 300 per tahun
(Dymond et al., 2006).
Bencana longsor lahan di Indonesia, menurut laporan
data hasil kerjasama Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) - SCDRR BAPPENAS dan UNDP (2009), menunjukan bahwa
bencana longsor lahan yang terjadi di Indonesia antara tahun
2002 2008, terjadi sebanyak 2212 kejadian dan sebagian
besar terjadi pada daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah,
masing-masing 394 dan 339 kejadian. Sementara itu untuk
Provinsi Maluku sebanyak 5 kali kejadian. Selanjutya data
korban jiwa yang dilansir Kompas, 2006 dalam Burhanudin,
(2009), menyebutkan daerah Kabupaten Banjarnegara mengalami
korban jiwa terbesar yaitu sebanyak 100 jiwa dan kerusakan
lahan pertanian lebih dari 4 ha.
Sebaran penggunaan lahan di Kota Ambon yang sebagian
meliputi daerah pertanian, perkebunan, permukiman dan tempat
3
penduduk melakukan aktivitas kehidupannya. Jika terjadi
longsor lahan maka akan mempengaruhi kualitas kehidupan
penduduk. Berdasarkan alasan tersebut perlu diadakan
penelitian mengenai gerakan massa, untuk mengetahui berbagai
faktor yang mempengaruhi, sehingga dapat diketahui besar
luas persebarannya.
1.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini
sebagai berikut :
1. Memetakan sebaran bentuklahan, kemiringan lereng dan
penggunaan lahan dalam penyusunan satuan lahan
berdasarkan Citra penginderaan jauh
2. Mendekripsikan distribusi satuan lahan berdasarkan
faktor-faktor pemicu terjadinya longsor lahan
3. Menganalisis tingkat bahaya longsor lahan di daerah
penelitian
1.3. Urgensi (Keutamaan) Penelitian
Studi ini mempunyai dua macam keutamaan yang penting,
yaitu kegunaan ilmiah dan kegunaan pragmatis praktis.
Keutamaan ilmiah terlihat pada upaya pengembangan diskusi
yang berkaitan dengan gejala longsor lahan dan aspek-
aspeknya pada daerah perkotaan dalam hubungannya dengan
pengembangan kota Kota Ambon. Pembandingan dengan topik
serupa yang dikemukakan oleh beberapa pakar akan memperluas
cakrawala tinjauan dalam pembahasannya..
Keutamaan pragmatis praktis berkaitan dengan
pengembangan perencanaan penggunaan lahan dengan kondisi
keterbatasan lahan di Kota Ambon sebagai Ibukota Provinsi
Maluku, dimana Kota Ambon dengan kondisi bentanglahan
perbukitan yang dominan dan hampir meliputi seluruh wilayah
kota dan menjadi dilema yang sangat sulit untuk dipecahkan
4
oleh pemerintah daerah seiring dengan tuntutan penduduk
terhadap lahan dengan ketersediaan lahan yang terbatas untuk
dikembangkan, sementara itu, hasil penelitian ini diharapkan
dapat mengungkapkan proses longsor lahana dalam
mengembangkan Kota Ambon dengan pengkajian yang mendalam
sebagai masukan bagi pemerintah daerah dalam penetapan
aturan-aturan secara tegas dalam alokasi penggunaan lahan
yang sesuai dengan kondisi dan daya dukung wilayah,
sekaligus mengoptimalkan daerah resapan (catchment area)
sebagai zona basis dalam penetapan kawasan lindung yang
perlu dilestarikan, dan kawasan budidaya dalam perencanaan
penggunaan lahan yang berbasis ekologis..
BAB II. STUDI PUSTAKA
2.1. Konsepsi Longsor Lahan
Tanah longsor atau dalam bahasa Inggris disebut
Landslide, adalah perpindahan material pembentuk lereng
berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran
tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng. Proses
terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai berikut:
air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah.
Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang
berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin
dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti
lereng dan keluar lereng. Longsor lahan merupakan proses
perpindahan massa batuan dan tanah yang merupakan salah satu
proses geomorfologi yang disebabkan oleh gaya gravitasi.
Pengumpulan air pada lapisan tanah atas, yang berada di atas
lapisan yang tidak tembus air, karena lapisan tanah atas
telah jenuh air, sedangkan lapisan di bawahnya tidak dapat
menyerap air, maka gaya geser melebihi kekuatan geser tanah
5
sehingga massa tanah lapisan atas tersebut secara bersama-
sama bergerak (Worosuprojo, 2002).
2.2. Jenis-jenis Longsor Lahan
Menurut Subowo (2003), ada 6 (enam) jenis tanah
longsor, yaitu 1) Longsoran Translasi (2) Longsoran Rotasi,
(3) Pergerakan Blok (4) Runtuhan Batu, (5) Rayapan Tanah dan
(6) Aliran Bahan Rombakan yang terjadi ketika massa tanah
bergerak didorong oleh air. Dari keenam jenis longsor
tersebut, jenis longsor translasi dan rotasi paling banyak
terjadi di Indonesia, hal tersebut dikarenakan tingkat
pelapukan batuan yang tinggi, sehingga tanah yang terbentuk
cukup tebal. Sedangkan longsor yang paling banyak menelan
korban harta, benda dan jiwa manusia adalah aliran bahan
rombakan, hal tersebut dikarenakan longsor jenis aliran
bahan rombakan ini dapat menempuh jarak yang cukup jauh
yaitu bisa mencapai ratusan bahkan ribuan meter, terutama
pada daerah-daerah aliran sungai di daerah sekitar
gunungapi.
2.3. Tingkat Kerawanan Longsor Lahan
Longsor lahan merupakan bencana yang predictable
disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor alam dan kegiatan
manusia serta terkait dengan upaya pemanfaatan sumberdaya
daya alam (Comfort, 2005). Longsor Lahan terjadi karena
adanya perubahan-perubahan secara tiba-tiba ataupun
perlahanlahan / bertahap dalam komposisi, struktur, daur
hidrologi atau kondisi vegetasi disuatu lereng (Genderen,
1970). Perubahan-perubahan tersebut menurut Crozier dan
Michael (1973) disebabkan karena : (1) Getaran-getaran
bumi karena gempa, (2) perubahan-perubahan kadar air dalam
tanah (3) Hilangnya penopang tanah permukaan bumi (4)
Peningkatan beban pada tanah yang disebabkan oleh hujan
6
deras dan (5) Pengairan atau tindakan fisik / kimiawi
lainnya. Biasanya longsor lahan terjadi sebagai dampak
sekunder dari hujan badai yang lebat, gempa bumi serta
letusan gunungapi (Dymond et al, 2006). Bahan-bahan yang
membentuk tanah longsor terbagi menjadi dua jenis lapisan
batu atau lapisan tanah (yang terdiri atas tanah dan
berbagai sisa bahan organik (Clark, 2003). Berdasarkan corak
gerakannya,tanah longsor bisa digolong-golongkan menjadi
guguran/runtuhan, longsoran/luncuran sejumlah besar bahan,
robohan, persebaran lateral dan aliran rombakan Ng (2009).
2.4. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi
Menurut Lillesand dan Kiefer (1979) bahwa pengideraan
jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang
suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang
diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan
obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Perolehan data
dengan penginderaan jauh yang cepat, memiliki cakupan luas,
dan dalam bentuk data digital yang compatible, kini telah
digunakan secara bersamaan dengan teknologi Sistem Informasi
Geografi (Hartono, 2003). Pada perkembangannya sebagai suatu
sistem informasi spasial, aplikasi SIG telah berkembang ke
berbagai bidang, misalnya sistem informasi sumberdaya alam,
sistem informasi sensus, sistem evaluasi lahan hutan, sistem
informasi penanggulangan bencana, sistem informasi
pertanahan, dan sebagainya (Hartono, 2003).
2.5. Penelitian Sebelumnya
Longsor alam ini sebagian besar telah diteliti
menggunakan analisis statistik berbasis GIS (Daiand Lee,
2001, 2002). Selai itu dengan pemetaan geomorfologi dengan
menggunakan pendekatan morfometri juga telah digunakan dalam
mengkaji bahaya tanah longsor (Ng et al., 2002; Parry dan
7
Ruse, 2002; Ng et 2009). Penelitian longsorlahan dapat
dilakukan dengan cara pengukuran indek morfometri longsoran
seperti dilakukan oleh Crozier et al., (1973). Soeters et
al., (1988) melakukan penelitian gerakan massa di Kolumbia
dengan cara interpretasi foto udara, demikian juga Genderen
(1970). Dengan penekanannya pada unsur vegetasi, Fransen,
1996; Crozier, 196; Dymond et al, 1999; Dymond et al, 2008)
telah mengkaji longsor lahan di Selandia Baru yan
menunjukan bahwa daerah semak belukar (scrub) lebih banyak
terjadi longsor lahan dibandingkan dengan daerah hutan.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini mengkaji bencana longsor lahan dengan
unit lahan sebagai satuan analisisnya dengan
menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial (parameter
penentu rawan longsor) untuk menghasilkan unit pemetaan baru
(unit lahan) yang akan digunakan sebagai unit analisis serta
menggunakan purposive sampling yang merupakan suatu teknik
pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tertentu berdasarkan karakter populasi. Metode yang
digunakan adalah metode survei yang merupakan suatu metode
dalam menkaji objek penelitian melalui observasi lapangan.
Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif
berdasarkan semua parameter lahan dan pemberian harkat
merupakan suatu cara untuk menilai potensi lahan dengan
memberikan nilai pada masing-masing parameter lahan sehingga
dapat dihitung nilainya dan dapat ditentukan harkatnya.
Data spasial dalam penelitian ini diperoleh dari
interpretasi citra satelit multi tingkat (Landsat, dan DEM
SRTM). Data penggunaan lahan diperoleh dari interpretasi
Citra SPOT, data kedalaman material lepas yang merupakan
8
hasil deduksi dari peta geomorfologi hasil interpretasi
Citra Landsat data struktur batuan hasil deduksi peta
geologi, kemiringan lereng dari hasil deduksi peta RBI dan
DEM SRTM, tekstur tanah hasil deduksi dari peta tanah, dan
peta curah hujanyang selanjutnya dianalisis untuk mengkaji
tipe dan karaktersitik serta tingkat kerawanan longsor lahan
di daerah penelitian Untuk mendapatkan data di lapangan
dihampiri dengan pendekatan bentang lahan (pendekatan
geomorfologi), disertai dengan data hasil pengamatan
lapangan dan data sekunder dari hasil-hasil penelitian
terdahulu dari instansi terkait.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan keruangan (spatial aproach) dengan tema spatial
Patttern Analysis dan spatial Structure Analysis, yang mana
penekanan utama dari spatial Pattern Analysis adalah pada
sebaran elemen-elemen pembentuk ruang (Hadi Sabari, 2006).
Yang dimaksud dengan elemen pembentuk ruang dalam penlitian
ini adalah sebaran satuan lahan yang disusun berdasarkan
kesamaan sifat yang dimiliki masing-masing satuan lahan. Hal
ini merupakan identifikasi awal mengenai aglomerasi sebaran
satuan lahan yang dikaitkan dengan upaya untuk menjawab
geographic question, sedangkan spatial Structure
Analysis menekankan pada analisis susunan elemen-elemen
pembentuk ruang di dalam mengidentifikasi susunan keruangan
yang ada dan dikaitkan dengan upaya menjawab geographic
question. Identifikasi susunan keruangan pada satuan lahan
berdasarkan karakteristik lahan yang dapat menentukan tingkat
degradasi lahan.
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Ambon yang secara
administratif terdiri dari lima kecamatan yaitu Kecamatan
Nusaniwe, Kecamatan Sirimau, Kecamatan Teluk Ambon Baguala,
Kecamatan Teluk Ambon dan Kecamatan Leitimur Selatan
9
3.3. Satuan Analisis
Satuan analisis (unit of anaysis) dalam penelitian ini
adalah satuan lahan yang terdiri dari 18 unit lahan yang
tersebar pada bentuklahan fluvial, denudasional dan
solusional dan juga meliputi karakterisitik lereng dan tipe
penggunaan lahan.
3.4. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini menekankan pada seluruh
land unit yang berbeda yang diperoleh dari hasil overlay dan
penentuan sampel berdasarkan pada area sampling dan
purposive sampling
3.5. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Citra Landsat dan Dem SRTM, Peta geologi, Peta RBI, Peta
tanah, Peta DAS, Peta lereng dan Peta satuan lahan. Alat
yang digunakan stereoskop cermin, plastik transparan, spidol
lap, kertas kalkir, pena teknik, rapidograf, penggaris, GPS
merk Garmin, Kompas geologi tipe Benenton, Rolmeter, tali
nilon, Bor tanah, Bor, ring permeabilitas, Sekop Ring,
Kantong plastik, Lup, Pisau lapang, Yalon,Kamera, gelas
ukur, penyaring dan kran air, dan program Arc/viuw.
3.6. Tahapan-tahapan Penelitian
Pada tahap pra-kerja lapangan kegiatannya adalah Studi
kepustakaan, Orientasi lapangan, dan mengumpulkan bahan
penelitian berupa citra satelit, dan peta penunjang,
Pembuatan peta satuan lahan dan Pembuatan titik sampel. Pada
tahap pekerjaan lapangan yang dilakukan adalah Mencocokkan
dan membetulkan informasi pada peta penggunaan lahan dan
bentuklahan, Mengamati dan mengukur parameter-longor lahan,
Pengambilan sampel tanah dan data curah hujan. Pada tahap
pasca kerja lapangan ini pekerjaan yang dilakukan adalah
10
revisi Citra, Analisis sampel tanah dan tabulasi data lapang
dan data laboratorium.
3.7. Variabel Penelitian
Variabel yang diamati adalah tekstur tanah,
permeabilitas tanah, daya dukung tanah, kembang kerut,
erodibiltas tanah, kelas kelerengan, tingkat pelapukan
batuan, struktur perlapisan batuan, kedalaman tanah dan
penggunaan lahan.
3.8. Teknik Pengumpulan Data
Data faktor penyebab longsoran diidentifikasi dan
dievaluasi berdasarkan data primer (citra Landsat dan DEM
SRTM) dan sekunder (peta geologi, peta geomorfologi, data
curah hujan) dan pengamatan lapangan. Pengamatan dilakukan
pada daerah yang telah mengalami longsoran dan daerah yang
belum mengalami longsoran.
3.9. Teknik Pengolahan Data
Secara garis besar terdiri dari 4 tahap, yaitu (a)
tahap tumpangsusun data spasial, (b) tahap editing data
atribut, (c) tahap analisis tabuler, dan (d) presentasi
grafis (spasial) hasil analisis. Metode yang digunakan dalam
tahap analisis tabuler adalah metode scoring.
3.10. Teknik Analisis Data
Cara evaluasi tingkat bahaya longsoran dilakukan
dengan metode penjumlahan dari hasil pengharkatan parameter
fisik yang relevan. Analisis data dilakukan dengan metode
skoring, yaitu menjumlahkan skor seluruh parameter dalam
tiap poligon. Penjumlahan skor tersebut menggunakan metode
Sturges dalam Sartohadi (2005).
11
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengolahana Citra Landsat ETM dan Pemetaan Bentuk
Lahan dan Penggunaan Lahan
Pengolahan data digital Landsat ETM pada penelitian
ini, dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Ermapper
7.0. Koreksi Radiometri pada citra diperoleh nilai piksel
minimum dan maksimum yang diasumsikan ideal pada citra
hasil. Koreksi Geometri menunjukkan tingkat ketelitian hasil
koreksi dengan besarnya nilai ambang Sigma atau nilai ambang
RMS
error
total lebih kecil dari 0.05.Penyusunan Citra
Komposit Warna dalam penelitian ini adalah komposit 457,
572, dan 432, dengan visualisasi yang lebih ekspresif
Pemetaan bentuklahan menggunakan pilihan komposit pada
saluran 457 dan ketelitian interpretasi yaitu 87,05, dan
diperoleh luasan terbesar pada bentuklahan asal denudasional
dengan luas 5914,88 hektar, sedangkan terkecil terdapat pada
bentuklahan asal struktural seluas 7,04 hektar. Untuk
penggunaan lahan menggunakan klasifikasi dari Malingreau
(1978) dan Pilihan komposit yang digunakan pada saluran 432
serta uji ketelitian yaitu 84,44 dan diperoleh luasan
terbesar yaitu pada kebun campuran seluas 11950 hektar, dan
terkecil pada hutan bakau seluas 49,391 hektar. Selanjutnya
untuk permukiman dan lahan terbangun seluas 2554,164 hektar.
Gambar 01. Peta Bentuk Lahan dan Peta Penggunaan Lahan Kota
Ambon
12
4.3. Pengolahan Citra DEM SRTM
Berdasarkan hasil analisis DEM SRTM (Shuttle Radar
Topographic Mission) dengan resolusi 30 meter yang
dikeluarkan oleh NASA tahun 2011 dengan liputannya pada
wilayah penelitian yaitu S04E127 dan S04E128. Dari hasil
pengolahan diperoleh luasan wilayah Kota Ambon didominasi
oleh fisiografi berbukit hingga bergunung (80,66%).
Sementara itu, kemiringan lereng sangat terjal sekitar
33,39%. miring sekitar 29,14%, agak miring sekitar 21,66%.
dan datar hingga agak datar sebesar 15,80%. Sedangkan untuk
ketinggian sebagian besar tersebar pada ketinggian 25 - 75
mdpl sekitar 36,39%, dan pada ketinggian lahan > 250 mdpl
hanya sekitar 3,17% yang tersebar pada pegunungan nona,
Pegunungan Sirimau maupun Pegunungan Leihitu.
Gambar 02. Peta Lereng dan Ketinggian Lahan Kota Ambon
4.4. Pemetaan Satuan Lahan Daerah Penelitian
Pemerian satuan lahan di daerah penelitian di susun
berdasarkan tiga unsur utama yakni bentukahan, kemiringan
lereng dan penggunaan lahan. Klasifikasi satuan lahan yang
memiliki luasan terbesar yaitu pada satuan lahan D3 III Tp
dan D3 III H dengan luas masing-masing yaitu 9506,10 hektar
(25,20%) dan 7787,76 hektar (20,65%). Sementara itu, satuan
lahan dengan luasan terkecil hampir sebagian besar tersebar
pada dataran alluvial dan daerah rawa dengan lereng landai
dan penggunan lahan tegalan dan hutan bakau.
13
Tabel 01. Klasifikasi Satuan Lahan daerah Penelitian
No
Satuan
lahan
Bentuklahan Lereng
Penggunaan
lahan
Luas
1 F1 I Pm Dataran Aluvial 2 % Permukiman
1364.445
2 F1 I Tg Dataran Aluvial 2 % Tegalan
1109.363
3 F7 I Hb Rawa 2 % Hutan Bakau 49.391
4 D1 I Kc Perbukitan Denudasional 8 % Kebun Campuran 2014.466
5 D1 I Pm Perbukitan Denudasional 6 % Permukiman
367.277
6 D1 I Sb Perbukitan Denudasional 8 % Semak Belukar
64.341
7 D1 I Tg Perbukitan Denudasional 7 % Perkebunan
39.736
8 D2 II H Perbukitan Denudasional 15 % Hutan
1721.966
9 D2 II Kc Perbukitan Denudasional 12 % Kebun Campuran
2500.914
10 D2 II Tp Perbukitan Denudasional 12 % Perkebunan
1583.157
11 D2 II Pm Perbukitan Denudasional 10 % Permukiman
822.441
12 D2 II Sb Perbukitan Denudasional 15 % Semak Belukar
299.973
13 D3 III H Perbukitan Denudasional 30% Hutan 7356.116
14 D3 III Kc Perbukitan Denudasional 25% Kebun Campuran
7434.665
15 D3 III Tp Perbukitan Denudasional 30% Perkebunan
4572.384
16 D3 III Sb Perbukitan Denudasional 30% Semak Belukar
666.896
17 S7 III H Gawir Sesar 35% Hutan
47.451
18 S7 III Sb Gawir Sesar 35% Semak Belukar 25.706
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2011
4.5. Faktor-Faktor Pemicu Terjadinya Longsor Lahan
Berdasarkan data curah stasiun meteorologi Pattimura
Ambon memiliki curah hujan rata-rata tahunan yang cukup
tinggi yaitu berkisar antara 1.000 3.000 mm dari tahun
2001 hingga tahun 2009 dan meningkat hingga mencapai 5.661
mm pada tahun 2010 dan curah hujan dalam 10 tahun rata-rata
sekitar 2616,2 mm, dengan jumlah hari hujan sekitar 230,9
hari dan rata-rata terdapat 10,4 bulan basah dan 1,5 rata-
rata bulan kering, sehingga dalam setiap tahun, curah hujan
yang terjadi di daerah penelitian cukup intensif walaupun
pada musim kemarau sehingga daerah penelitian mempunyai
Hasil analisis laboratorium Geografi Tanah Fakultas
Geografi UGM (2011) lapisan permukaan bertekstur geluh,
geluh debuan, geluh lempungan. Lempung berpasir dan pasir
berlempung. Kondisi jenis tanah di Kota Ambon. Untuk kelas
permeabiltas, cukup bervariasi yaitu: sangat cepat, agak
cepat, sedang dan sangat lambat. Untuk daya dukung tanah
sebagian besar satuan lahan dengan daya daya dukung 1,4
Kg/cm
2
. Untuk kembang kerut tanah tersebar pada nilai cole
14
antara 0.017 -0,168, Nilai erodibilitas berkisar dari rendah
sangat tinggi dan sebagian besar tersebar pada kategori
sangat tinggi dengan nilai 0,48-0,50.
Pada daerah penelitian dengan kelerengan yang
bervariasi dan sebagian besar pada kelas miring-sangat
miring. Sementara itu, tingkat pelapukan secara keseluruhan
tersebar pada kondisi pelapukan lanjut. Struktur perlapisan
batuan pada daerah penelitian yang diwakili oleh sepuluh
sampel menyilang arah lereng. Keadaan seperti tersebut
yang membuat material lereng sering terjadi gerakan massa,
walaupun kelerengannya juga terjal. Kedalaman tanah di
daerah penelitian yang diwakili oleh sampel bervariasi dari
sedang dan sangat dalam. Sedangkan bentuk penggunaan lahan
di daerah penelitian adalah permukiman, tegalan, perkebunan,
kebun campuran, semak belukar, hutan, dan hutan bakau.
Tanaman perkebunan, kebun campuran dan hutan
4.6. Tingkat Bahaya Longsor lahan
Penentuan tingkat bahaya longsor lahan di daerah
penelitian, berdasarkan hasil pengharkatan terhadap 10
parameter yang terdiri dari kelas Tinggi, sedang dan rendah
dan tersebar pada bentuklahan asal proses fluvial,
denudasional dan struktural. Satuan lahan memiliki harkat
terendah yaitu dengan total skor 17 dengan kategori rendah
dan harkat tertinggi yaitu dengan total skor 35 dengan
kategori tinggi. Kategori rendah sebagian besar tersebar
pada dataran alluvial sementara kategori tinggi tersebar
pada bentuklahan denudasional dn struktural. Penentuan kelas
bahaya longsor lahan ini berdasarkan penjumlahan seluruh
parameter karakteristik lahan yang terdiri dari kemiringan
lereng, erodibilitas, tekstur, kembang kerut tanah, daya
dukung tanah, permiabilitas, daya dukung tanah, kembang
kerut tanah, pelapukan batuan perlapisan batuan dan
kedalaman tanah dan penggunaan lahan.
15
Tabel 02. Penentuan Tingkat Bahaya Longsor lahan pada Satuan Lahan Daerah Penelitian
Satuan
Lahan
Parameter
Skor Kelas
Tekstur Permiab D_Duku Kemb_K erodib lereng pelapuk Perlap Kedalam P_lahan
D1_I_Kc 4 4 2 3 4 2 3 2 3 3 30 Sedang
D1_I_Pm 4 4 1 3 4 2 3 2 3 4 30 Sedang
D1_I_Sb 2 4 1 3 4 2 3 3 4 2 28 Sedang
D1_I_Tg 2 4 2 3 4 2 3 2 4 2 28 Sedang
D2_II_H 2 4 2 3 5 3 3 3 4 3 32 Sedang
D2_II_Kc 1 3 2 2 5 3 3 3 5 3 30 Sedang
D2_II_Pk 2 4 2 3 5 3 3 3 4 3 32 Sedang
D2_II_Pm 2 4 2 3 5 3 3 3 4 4 33 Sedang
D2_II_Sb 2 4 1 3 5 3 3 3 4 2 30 Sedang
D3_III_H 1 3 3 2 5 4 3 5 5 3 34 Tinggi
D3_III_Kc 2 4 2 2 5 4 3 4 4 3 33 Sedang
D3_III_Pk 1 3 2 2 5 4 3 4 5 3 32 Sedang
D3_III_Sb 2 4 2 2 5 4 3 4 4 2 32 Sedang
F1_I_Pm 4 5 1 1 1 1 3 1 2 4 23 Rendah
F1_I_Tg 4 5 1 1 1 1 3 1 2 2 21 Rendah
F7_I_Hb 1 2 1 1 1 1 3 1 3 3 17 Rendah
S1_III_H 1 3 3 2 5 5 3 5 5 2 34 Tinggi
S1_III_Sb 1 3 3 2 5 5 3 5 3 35 Tinggi
16
Pembahasan masing-masing kelas serta luasannya tersaji
pada Tabel berikut.
Tabel 03. Tingkat Bahaya Longsor lahan di Kota Ambon.
Tingkat bahaya
longsor lahan
Satuan lahan
Luas
(Ha) (%)
Rendah
F1_I_Pm 1364.445 4.2589
F1_I_Tg 1109.363 3.4627
F7_I_Hb 49.391 0.1542
Luas 2523.199 7.8758
Sedang
D1_I_Kc 2014.466 6.2879
D1_I_Pm 367.277 1.1464
D1_I_Sb 64.341 0.2008
D1_I_Tg 39.736 0.1240
D2_II_H 1721.966 5.3749
D2_II_Kc 1751.248 5.4663
D2_II_Pk 1583.157 4.9416
D2_II_Pm 822.441 2.5671
D2_II_Sb 299.973 0.9363
D3_III_H 302.382 0.9438
D3_III_Kc 7434.665 23.2062
D3_III_Pk 3585.148 11.1905
D3_III_Sb 666.896 2.0816
Luas 20653.696 64.4674
Tinggi
D3_III_H 7053.734 22.0172
D3_III_Kc 746.309 2.3295
D3_III_Pk 987.236 3.0815
S1_III_H 47.451 0.1481
S1_III_Sb 25.706 0.0802
Luas 8860.436 27.6565
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2006
Berdasarkan Tabel tersebut, maka uraian atau
penjelasan mengenai tingkat bahaya longsor lahan lahan untuk
permukiman pada setiap satuan lahan sebagai berikut. Satuan
lahan yang dikategorikan rendah terhadap bahaya longsor
lahan terdapat 3 satuan lahan, dari 18 satuan lahan yang
dievaluasi. Satuan lahan ini terdapat pada bentuklahan asal
fluvial dengan satuan lahannya F1 I Pm dengan luasan
1364.445 ha atau 4.26%, F1 I Tg dengan luasan 1109.363 ha atau
3.46 %, dan F7 I Hb dengan luasan 49.391 atau 0.15%. Luas
17
keseluruhan satuan lahan yang dikategorikan sangat sesuai
untuk permukiman yaitu 2523,199 ha atau 7,876%.
Satuan lahan dengan kategori sedang terhadap bahaya
longsor lahan di daerah penelitan terdapat 13 satuan lahan,
dari 18 satuan lahan yang dievaluasi. Satuan lahan yang
dikategorikan sedang tersebut, terdapat pada bentuklahan
denudasional dengan satuan lahan D1_I_Kc seluas 2014.466 ha,
D1_I_Pm seluas 367.277 ha, D1_I_Sb seluas 64.341 ha, D1_I_Tg
seluas 39.736 ha, D2_II_H seluas 1721.966 ha, D2_II_Kc seluas
1751.248 ha, D2_II_Pk seluas 1583.157 ha, D2_II_Pm seluas 822.441
ha, D2_II_Sb seluas 299.973 ha, D3_III_H seluas 302.382 ha,
D3_III_Kc seluas 7434.665 ha, D3_III_Pk seluas 3585.148 ha dan
D3_III_Sb seluas 666.896 ha.
Satuan lahan dengan kategori tinggi terhadap bahaya
longsor lahan di daerah penelitan terdapat 5 satuan lahan,
dari 18 satuan lahan yang di evaluasi. Satuan lahan yang
dikategorikan tersebut, dengan satuan lahannya adalah
D3_III_H seluas 7053.734 ha atau 22.017%, D3_III_Kc seluas 746.309
ha atau 2.3295%, D3_III_Pk seluas 987.236 ha atau 3.0815%,
S1_III_H seluas 47.451 ha atau 0.1481%, dan S1_III_Sb seluas
25.706 ha atau 0.0802%.
Gambar 03. Peta Satuan Lahan dan Peta Tingkat Bahaya
Longsor lahan di Kota Ambon
18
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Pemantauan Bencana Alam (Banjir, Lngsor dan
Gempa Bumi. Laporan. Pusat Pengembangan dan Teknologi
Penginderaan Jauh. Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN). Jakarta.
Anonim, 2009. Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana
http:// www.bakornaspbp. go.id/new/
Anonim, 2009. Hasil Kerjasama : Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) - SCDRR BAPPENAS DAN
UNDP.
Anonim, 2008. Laporan Harian Posko BNPB.
http://www.bakornaspb.go.id
Blong, R.J., 1974. Lanslide Form And Hill Slope Mophology:
An Example from new zeeland, The Australian
Geographer, 12,5, pp. 439-444
Clark, G. (2003) A historic viewpoint on insurability. Paper
presented at the Challenging Insurability deeting,
5 December, Centre for the Analysis of Risk and
Regulation, London School of Economics.
Comfort, L. K. 2005. Risk, security and disaster management.
Annual Review of Political Science 8 (June): 335356.
Crozier, Michael, J., 1973. Techniques For The Morphometric
Analysis Of Landslips, Zeitschrift Fur
Geomorphologie, 17,1, pp. 78-101
Dymond, J. R., A. G. Ausseil ., J. D. Shepherd ., L.
Buettner., 2006. Validation of a region-wide model
of landslide susceptibility in the ManawatuWanganui
region of New Zealand. Geomorphology 74.70 79
Elsevier Publishing Company, Amsterdam.
Genderen, J.L. Van, 1970. The Morphodinamic Of The Crati
River Basin-Calabria Italy, ITC No.56
Hermanto, D.A, 2006. Kebijakan Penataan Ruang dalam
Pengelolaan Kawasan Rawan Bencana Longsor. Makalah,
disampaikan dalam Lokakarya Penataan Ruang Sebagai
Wahana Untuk Meminimalkan Potensi Kejadian Bencana
Longsor, kerjasama Ditjen. Penataan Ruang Dep.
Pekerjaan Umum dengan Badan Kejuruan Sipil Persatuan
Insinyur Indonesia, Jakarta, 7 Maret 2006.
Lasaiba, (2006). Evaluasi Lahan Untuk Permukiman di Kota
Ambon, Tesis S2 Fakultas Geografi Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
Mileti, D. 1999. Disasters by design. Washington, DC: Joseph
Henry.
19
Ng, K.Y., 2009. Landslide locations and drainage network
development: A case study of Hong Kong. Geomorphology
76.229239. Elsevier Publishing Company, Amsterdam
Pariourno, (2009), Modul Manajemen Bencana Pengenalan
Longsor untuk Penanggulangan Bencana.
http://www.abdet.com/maps/map_france.gif.
Sutikno, Jamulya dan Gunadi, 1992. Dampak Penggunaan Lahan
terhadap Bencana Alam akibat Gerakan Massa
Tanah/Batuan di Daerah Temanggung Jawa Tengah. Hasil
Penelitian, Fak. Geografi. UGM. Yogyakarta.
Wang, H. B. and K. Sassa., 2006. Rainfall-induced landslide
hazard assessment using artificial neural networks
Earth Surf. Process. Landforms 31, 235247. Published
online 21 September 2005 in Wiley InterScience
(www.interscience.wiley.com).
Weno, L.F., 1991. Potensi, Permasalaan dan Pengelolaan Teluk
Ambon dan Teluk Binnen, Maluku, Penyunting Ongkosongo,
O.S.R. Badan Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ambon.
Worosuprojo, 2002. Studi Erosi Parit dan Longsoran dengan
Pendekatan Geomorfologi di Daerah Aliran Sungai Oyo
Jawa : Desertasi Program Pasca Sarjana UGM.

Anda mungkin juga menyukai