PENDAHULUAN
Gerakan tanah atau yang lebih dikenal dengan tanah longsor merupakan salah satu
potensi geologi yang bersifat negatif yang sering terjadi di Indonesia, Gerakan
tanah merupakan suatu peristiwa alam yang pada saat ini frekuensi kejadian nya
semakin meningkat. Fenomena alam ini berubah menjadi bencana alam ketika
gerakan tanah tersebut menimbulkan korban baik berupa korban jiwa maupun
kerugian harta benda dan hasil budaya manusia. Indonesia yang sebagian
wilayahnya berupa daerah perbukitan dan pegunungan, menyebabkan sebagian
wilayah Indonesia menjadi daerah yang rawan kejadian gerakan tanah. Intensitas
curah hujan yang tinggi dan kejadian gempa yang sering muncul, secara alami
akan dapat memicu terjadinya bencana alam gerakan tanah.
berbagai faktor yang saling berkaitan serta memberikan bobot yang hasilnya
di konversikan kedalam peta.
6
Letak geografis lokasi penelitian (DD) -7.771361, 110.123521
Berikut ini merupakan lokasi penelitian yang akan saya lakukan pembobotan dan
saya bagi zona/kelasnya berdasarkan pembobotan tersebut peta yang digunakan
adalah peta administrasi Kabupaten Kulonprogo
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
II.1 DASAR TEORI
Gerakan tanah adalah suatu peristiwa alam yang pada saat ini frekuensi
kejadiannya semakin meningkat. Fenomena alam ini berubah menjadi bencana
alam ketika gerakan tanah tersebut menimbulkan korban baik berupa korban jiwa
maupun kerugian harta benda dan hasil budaya manusia. Indonesia yang sebagian
wilayahnya berupa Daerah perbukitan dan pegunungan, menyebabkan sebagian
wilayah Indonesia menjadi Daerah yang rawan kejadian gerakan tanah. Intensitas
curah hujan yang tinggi dan kejadian gempa yang sering muncul, secara alami
akan dapat memicu terjadinya bencana alam gerakan tanah (Subowo, 2003).
Gerakan tanah terjadi karena proses alami dalam perubahan struktur muka
bumi, yakni adanya gangguan kestabilan pada tanah atau batuan penyusun lereng.
Gangguan kestabilan lereng ini dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi terutama
faktor kemiringan lereng, kondisi batuan ataupun tanah penyusun lereng, dan
kondisi hidrologi atau tata air pada lereng. Meskipun gerakan tanah merupakan
gejala fisik alami, namun beberapa hasil aktifitas manusia yang tidak terkendali
dalam mengeksploitasi alam juga dapat menjadi faktor penyebab ketidakstabilan
lereng yang dapat mengakibatkan terjadinya longsor, yaitu ketika aktifitas
manusia ini beresonansi dengan kerentanan dari kondisi alam yang telah
disebutkan di atas. Faktor-faktor aktifitas manusia ini antara lain pola tanam,
pemotongan lereng, pencetakan kolam, drainase, konstruksi bangunan, kepadatan
penduduk dan usaha mitigasi. Dengan demikian dalam upaya pembangunan
berkelanjutan melalui penciptaan keseimbangan lingkungan diperlukan pedoman
penataan ruang kawasan rawan bencana longsor.
8
Ketersediaan informasi yang lengkap dan akurat mengenai zona kerentanan
gerakan tanah beserta kebijakan yang bisa dijadikan dasar dalam setiap aktivitas
pengembangan merupakan hal yang sangat diperlukan demi mencegah dan
meminimalkan korban jiwa dan dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh bencana
alam gerakan tanah, dan lebih jauh sebagai masukan bagi penyusunan tata ruang
berdasarkan zona kerentanan gerakan tanah. Bertolak dari pemikiran tersebut di
atas, maka dilakukan Penelitian pembagian zona kerentanan gerakan tanah
Didaerah Bruno Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah.
9
II.1.3 Faktor Penyebab Longsor
Tanah longsor akan terjadi jika terpenuhi tiga keadaan, yaitu:
1) Lereng cukup curam,
2) Terdapat bidang peluncur (batuan) di bawah permukaan tanah yang kedap
air.
3) Terdapat cukup air (hujan) yang masuk ke dalam pori-pori tanah di atas
lapisan batuan kedap sehingga tekanan tanah terhadap lereng meningkat
(Brook et al., 1991).
Faktor penyebab terjadinya gerakan pada lereng tergantung pada
kondisi batuan dan tanah penyusun lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi
penutup dan penggunaan lahan pada lereng tersebut, namun secara garis besar
dapat dibedakan sebagai faktor alami dan manusia.
Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005),
tanah longsor dapat terjadi karena faktor alam dan faktor manusia sebagai pemicu
terjadinya tanah longsor, yaitu :
a. Faktor Alam
Kondisi alam yang menjadi faktor utama terjadinya longsor antara
lain:
1. Kondisi geologi: batuan lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan
batu lempung, lereng yang terjal yang diakibatkan oleh struktur sesar
dan kekar (patahan dan lipatan), gempa bumi, stratigrafi dan gunung
api, lapisan batuan yang kedap air miring ke lereng yang berfungsi
sebagai bidang longsoran, adanya retakan karena proses alam
(gempa bumi, tektonik).
2. Keadaan tanah: erosi dan pengikisan, adanya daerah longsoran lama,
ketebalan tanah pelapukan bersifat lembek, butiran halus, tanah
jenuh karena air hujan.
3. Iklim: curah hujan yang tinggi, air (hujan di atas normal)
4. Keadaan topografi: lereng yang curam.
5. Keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa
air, erosi dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika, susut air cepat,
banjir, aliran bawah tanah pada sungai lama).
10
6. Tutupan lahan yang mengurangi tahan geser, misal lahan kosong,
semak belukar di tanah kritis.
b. Manusia
Ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam dan dapat
menimbulkan terjadinya tanah longsor antara lain:
1. Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal.
2. Penimbunan tanah urugan di daerah lereng.
3. Kegagalan struktur dinding penahan tanah.
4. Perubahan tata lahan seperti penggundulan hutan menjadi lahan
basah yang menyebabkan terjadinya pengikisan oleh air permukaan
dan menyebabkan tanah menjadi lembek.
5. Adanya budidaya kolam ikan dan genangan air di atas lereng.
6. Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman.
7. Pengembangan wilayah yang tidak diimbangi dengan kesadaran
masyarakat, sehingga Rencana Untuk Tata Ruang (RUTR) tidak
ditaati yang akhirnya merugikan sendiri.
8. Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik yang menyebabkan
lereng semakin terjal akibat penggerusan oleh air saluran di tebing.
9. Adanya retakan akibat getaran mesin, ledakan, beban massa yang
bertambah dipicu beban kendaraan, bangunan dekat tebing, tanah
kurang padat karena material urugan atau material longsoran lama
pada tebing.
10. Terjadinya bocoran air saluran dan luapan air saluran
II.2 GEOLOGI
11
selatan Jawa Tengah sedangkan dibagian Utara dibatasi oleh dataran Magelang
dan rangkaian Gunung api muda pulau Jawa.
Berdasarkan data peta geologi sistematik Lembar Kebumen (Asikin drr., 1992)
dan Jogjakarta (Rahardjo drr., 1977), batuan tertua di Jawa Tengah adalah satuan
batuan bancuh (campur aduk) yang berumur Pra-Tersier (> 68 jtl.) dan tersingkap
di daerah Karangsambung, Kebumen. Di atas batuan bancuh itu secara tidak
selaras diendapkan batuan sedimen non gunung api pada lingkungan laut yang
berumur Eosen (40 jtl.). Di Pegunungan Kulon Progo satuan batuan ini bernama
Formasi Nanggulan, sedangkan di Pegunungan Serayu Selatan disebut Formasi
Karangsambung dan Formasi Totogan.
Sejak Kala Oligosen atau sekitar 36 juta tahun yang lalu, di daerah Jawa Tengah
selatan mulai terjadi kegiatan vulkanisme yang kemudian membentuk satuan
batuan gunung api Tersier atau lebih dikenal dengan sebutan Formasi Andesit Tua
(van Bemmelen, 1949) atau Formasi Waturondo (Asikin drr., 1992). Formasi
batuan gunung api tua ini menjadi penyusun utama Pegunungan Serayu Selatan
12
dan Pegunungan Kulonprogo, yang terdiri atas batuan beku andesit, breksi gunung
api, dan tuf. Kegiatan gunung api Tersier ini kemudian melemah dan diikuti
dengan penurunan daerah menjadi laut, sehingga diendapkan Formasi Sentolo dan
Formasi Jonggrangan di Pegunungan Kulonprogo pada Kala Miosen (13 - 5 jtl).
Formasi Sentolo tersusun oleh campuran bahan klastika gunung api dan material
karbonat berukuran butir halus - sedang. Di daerah Purworejo, Formasi Sentolo
tersingkap sangat ter-batas di antaranya di sebelah utara kota Purworejo dan di
kaki barat Pegunungan Kulon Progo. Formasi Jonggrangan berupa batugamping
masif yang tersingkap baik di wilayah Kecamatan Kaligesing, Kabupaten
Purworejo.
Berdasarkan analisis citra landsat regional Jawa Tengah, struktur geologi yang
cukup menonjol di kawasan ini adalah sesar Kulon Progo, yang dimulai dari
muara Kali Bogowonto ke utara - timur laut memotong sumbu Pegunungan Kulon
Progo dan Kali Progo di sebelah utaranya. Sesar ini diperkirakan masih menerus
sampai Semarang Barat dan bahkan Laut Jawa. Sesar utama kedua adalah sesar
Serayu yang berarah barat barat daya – timur timur laut, mulai dari Kali Serayu,
memotong Pegunung-an Dieng dengan Gunung Api Sindoro, menerus ke timur
laut yang diperkirakan bersatu dengan Sesar Lasem di sebelah selatan Gunung Api
Muria. Pada Pegunungan Serayu Selatan di wilayah utara Kabupaten Purworejo
struktur kelurusan berarah utara - selatan.
13
Proses tektonik yang terjadi di sebagian besar Pulau Jawa dipengaruhi
oleh pergerakan Lempeng Indo Australia yang menujam ke bawah Lempeng
Mikro Sunda. Berdasarkan penelitian lapangan, foto udara dan citra satelit,
Pulau Jawa memiliki tiga arah kelurusan struktur yang utama. Tiga arah
kelurusan itu adalah Pola Meratus, Pola Sunda dan Pola Jawa.
Pola dengan arah timur laut – barat daya disebut sebagai Pola Meratus.
Pola Meratus merupakan pola struktur yang dominan di Pulau Jawa (Pulunggono
dan Martodjodjo, 1994). Pola ini diperkirakan terbentuk sekitar 53 – 80 juta tahun
yang lalu. Pola Meratus ini berumur Kapur Akhir sampai Eosen Awal.
Pola struktur dengan arah utara – selatan disebut sebagai Pola Sunda.
Pola ini diwakili oleh sesar yang membatasi Cekungan Asri, Cekungan Sunda
dan Cekungan Arjuna. Pola Sunda terbentuk sekitar 32 – 53 juta tahun yang
lalu. Pola Sunda ini berumur Eosen Awal – Oligosen Awal.
Pola struktur dengan arah barat – timur disebut sebagai Pola Jawa. Pola
Jawa ini diwakili oleh sesar baribis dan sesar – sesar dalam Zona Bogor yang
berupa sesar naik (van Bemmelen, 1949).
1.Struktur Dome
14
bentuk kubah tersebut adalah akibat selama pleistosen didaerah tersebut
mempunyai puncak yang relatif datar dan sayap – sayap yang miring dan terjal.
2.Unconformity
Daerah lokasi penelitian ini dikenal sebagai salah satu lokasi yang
berpotensi cukup tinggi dalam terjadinya gerakan tanah. Hal ini terbukti dari
banyaknya lokasi gerakan tanah yang ditemukan dan telah menimbulkan
kerugian.
BAB III
MAKSUD, TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
15
Adapun manfaat penelitian ini yaitu dengan adanya peta zonasi kerawanan
longsor akan menjadi langkah awal dalam usaha mitigasi bencana alam khusnya
bencana tanah longsor serta untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat akan
adanya bahaya bencana tanah longsor di daerah tersebut.
Selain itu dengan adanya peta zonasi kerawanan longsor akan memudahkan bagi
pihak pengembang untuk membangun pemukiman yang aman dari bahaya
bencana tanah longsor.
BAB IV
METODE PENELITIAN
1. Pemetaan langsung.
16
IV.1.1 Pemetaan Langsung
2. Analisa
Dalam tahapan ini dilakukan analisa data yang telah dikumpulkan. Analisa
awal tersebut dijadikan acuan dalam merencanakan pemetaan zona kerentanan
gerakan tanah secara langsung di lapangan.
1. Pengolahan Data
17
memuat data non-grafis (atribut) berupa informasi-informasi tekstual kedalam
database.
2. Analisa
18
IV.2.2 Parameter Kerentanan
a. Parameter Litologi, dapat tersusun oleh batuan atau soil yang merupakan
hasil dari lapukan batuan tersebut. Litologi merupakan faktor yang penting
dalam terjadinya gerakan tanah. Litologi dengan tingkat resistensi yang
tinggi seperti batuan beku mempunyai kemungkinan yang kecil untuk
terjadi gerakan tanah. Sedangkan litologi dengan resistensi yang rendah
seperti soil lebih berpotensi untuk terjadi gerakan tanah. Proses erosi dan
pelapukan juga sangat berperan dalam mengontrol tingkat resistensi suatu
litologi.
Tabel 4.1. Parameter Litologi (Muh. Rusli A).
19
Derajat Nilai Skor
Batuan Vulkanik Sangat Tinggi 4
Batuan Sedimen Tinggi 3
Batuan Metamorf Cukup Tinggi 2
Batuan Beku Rendah 1
20
ketabilan lerang. Beberapa vegetasi dapat meningkatkan kestabilan lereng
karena akarnya dapat mengikat massa batuan sehingga lebih kompak.
Namun sebaliknya beberapa jenis vegetasi yang mempunyai akar yang
lemah justru dapat mengurangi tingkat kestabilan dari suatu lereng yang
dapat berdampak pada terjadinya gerakan tanah.
21
BAB V
Dalam sub-bab data dan hasil analisis ini ada beberapa data yang akan
dianalisis seperti yang telah dijabarkan dalam bab metode penelitian. Data
tersebut diantaranya peta faktor kerentanan gerakan tanah dan peta zona
kerentanan gerakan tanah.
1. Peta Litologi
22
Gambar 5.1. Peta Litologi.
Berdasarkan peta litologi (gambar 5.1.), daerah Penelitian disusun oleh Satuan
Batuan Breksi Andesit, Satuan Batupasir Gampingan, Satuan Batuan Kalkarenit.
Berdasarkan tabel klasifikasi Muh. Rusli A (Tabel 4.1.)
23
Gambar 5.2. Peta faktor kemiringan lereng.
24
Gambar 5.3. Peta faktor Tata Guna Lahan
25
Gambar 5.4. Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah
Berdasarkan peta zona kerentanan gerakan tanah (Gambar 5.4.), daerah penelitian
mempunyai tiga kelas zona kerentanan gerakan tanah yaitu :
26
namun dengan kemiringan lereng 140-180 dan dimanfaatkan oleh
penduduk sekitar sebagai tata guna lahan berupa tempat wisata,
pemukiman dan perkebunan
Zona kerentanan rendah yang berwarna hijau dengan litologi batu
kalkarenit yang terlapukan dan sebagian telah menjadi tanah residu
dengan kemiringan lereng 1°-13° dan dimanfatkan sebagai tataguna lahan
berupa pemukiman dan perkebunan
Cara pembobotan untuk mencari atau menemukan peta zona kerentanan gerakan
tanah berdasarkan data dari peta faktor kerentanan bencana dan hasil overlay
adalah sebagai berikut :
1. Parameter Litologi Daerah Penelitian
Parameter Litologi Intensitas Kepentingan
warna Skor
Satuan Batuan Coklat 4
Breksi Andesit
Satuan Batupasir Kuning 3
gampingan
Satuan Batuan Kalkarenit Biru 3
27
rumus yang sudah saya bahas di bab IV tentang metode penelitian dan inilah
rumus atau formulanya.
H (BOBOT) = (3xA) + (2xB) + (1xC)
Dan ini merupakan Kriteria zona kerentanan gerakan tanah modifikasi dari
Permen PU No.22/PRT/M/2007 oleh Muh. Rusli A. adalah sebagai berikut ;
28
Tataguna Lahan Perkebunan =1*4= 4
TOTAL = 21
Kesimpulan, dari data pembobotan mempunyai hasil 21 yang menandakan bahwa
daerah penelitian pada (Gambar 5.4.) zona berwarna merah memenuhi kriteria
zona kerentanan gerakan tanah tinggi.
II. Warna kuning (Zona Kerentanan Sedang)
Rumus : H (BOBOT) = (3xA) + (2xB) + (1xC)
Kelerengan 15 - 30⁰ =3*2= 6
Litologi Batupasir Gampingan =2*3= 6
Tataguna Lahan Perkebunan =1*4 = 4
TOTAL = 16
Kesimpulan, dari data pembobotan mempunyai hasil 16 yang menandakan bahwa
daerah penelitian pada (Gambar 5.4.) zona berwarna kuning memenuhi kriteria
zona kerentanan gerakan tanah Sedang.
III. Warna kuning (Zona Kerentanan Sedang)
Rumus : H (BOBOT) = (3xA) + (2xB) + (1xC)
Kelerengan 0 - 15⁰ =3*1= 3
Litologi Kalkarenit =2*3= 6
Tataguna Lahan Perkebunan =1*4 = 4
TOTAL = 13
Kesimpulan, dari data pembobotan mempunyai hasil 13 yang menandakan bahwa
daerah penelitian pada (Gambar 5.4.) zona berwarna hijau memenuhi kriteria zona
kerentanan gerakan tanah rendah.
V.2. Pembahasan
Dalam sub-bab pembahasan ini ada beberapa hasil yang akan dibahas
seperti yang telah dijabarkan dalam sub-bab data dan hasil analisis. Pembahasan
tersebut diantaranya adalah tentang zonasi kerawanan longsor di daerah
Penelitian.
29
Proses pengolahan data sampai ke tahap zona kerentanan gerakan tanah
dengan menggunakan Metode modifikasi dari Permen PU No.22/PRT/M/2007
oleh Muh. Rusli A. sebagai acuan zonasi dan SIG sebagai metode pengolahan data
telah dilakukan dengan seksama, dan telah didapatkan peta kerawanan longsoran
daerah penelitian.
Dari peta kerawanan longsoran yang dihasilkan terdapat tiga jenis zona
kerentanan gerakan tanah yaitu kerawanan tinggi dan sangat tinggi yang diuraikan
sebagai berikut:
Zona ini memiliki luas ±35 % dari daerah Penelitian. Secara umum
daerah ini dikontrol oleh Litologi breksi andesit, kemiringan lereng antara 15 0
– 230, tingkat pelapukan batuan yang tinggi, dan di pakai sebagai daerah yang
mempunyai tataguna berupa Perkebunan.
Zona ini meemiliki luas ±45 % dari daerah penelitian. Secara umum
daerah ini dikontrol oleh jenis litilogi Batupasir Gampingan , mempunyai
kemiringan lereng antara 140 - 180, dan mempunyai tingkat pelapukan batuan
yang tinggi, serta mempunyai tataguna lahan daerah Perkebunan dan
pemukiman.
3. Zona kerentanan gerakan tanah rendah
Zona ini meemiliki luas ±20 % dari daerah penelitian. Secara umum
daerah ini dikontrol oleh jenis litilogi batuan kalkarenit, mempunyai
kemiringan lereng antara 10 - 130, dan mempunyai tingkat pelapukan batuan
yang tinggi, serta mempunyai tataguna lahan daerah Perkebunan dan
Pemukiman.
30
longsor jika memiliki faktor – faktor yang mendukung, diantaranya nilai
kemiringan lereng yang tinggi, jenis batuan yang lunak, dan ditunjang oleh
faktor-faktor lain seperti tingkat pelapukan yang tinggi dan tataguna lahan
yang berbeda.
Untuk zona dengan tingkat kerawanan longsor yang rendah , faktor-
faktor yang mendukung diantaranya kemiringan lereng yang landai, tingkat
pelapukan yang tinggi karena tataguna lahanya sebagai perkebunan dan
kondisi litologinya adalah endapan.
Pada pembobotan nilai yang signifikan atau tinggi pada salah satu
faktor belum tentu menunjukkan apakah daerah tersebut rawan longsor
karena tingkat kerawanan longsor ini dikontrol oleh 4 faktor. Sebagai salah
satu acuan, daerah dengan litologi yang lunak belum bisa dikatakan rawan
longsor jika memiliki nilai kemiringan lereng yang rendah atau landai, atau
memiliki tingkat pelapukan yang tinggi.
BAB VI
VI. 1. Kesimpulan
Berdasarkan pengolahan data, analisis , dan verifikasi lapangan yang telah
dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
31
3. Pembagian zona kerentanan gerakan tanah di daerah penelitian dibagi
menjadi tiga zona berdasarkan Kriteria Zona Kerentanan dari nilai data
yang sudah diolah di Arcgis (Tabel 5.2.), yaitu zona kerentanan tinggi, zona
kerentanan sedang, zona kerentanan rendah.
4. Pengolahan data dalam zonasi kerawanan longsor yang digunakan adalah
software SIG (Sistem Informasi Geografis) ArcGis versi 10.4.1.
VI. 2. Saran
Diharapkan ada studi ataupun tinjauan lanjutan yang membahas tentang
pembagian zona kerentanan gerakan tanah secara detail, khususnya pada daerah
yang mempunyai tingkat kerawanan tinggi sampai sangat tinggi supaya dapat
berguna dan bermanfaat serta memberi informasi kepada masyarakat tentang zona
kerentanan gerakan tanah agar upaya mitigasi dapat dilaksanakan atau dicapai
dengan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Asikin, S., 1974, Evolusi Geologi Jawa Tengah dan Sekitarnya Ditinjau dari Segi
Teori Tektonik Dunia Yang Baru, Disertasi Doktor, Departemen Teknik
Geologi ITB,Tidak Dipublikasikan.
Badan Standardisasi Nasional, 2005, Penyusunan Peta Zona Kerentanan Gerakan
Tanah, SNI 13-7124-2005, Jakarta.
Baja, S. (2012). Perencanaan Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah:
Pendekatan Spasial dan Aplikasinya. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Bemmelen, R. W. Van, 1949. The Geology of Indonesia, Vol IA. General Geology
Netherland.
GLCF, 2001. Global Land Cover Facility, www.glcf.umiacs.umd.edu. Dilihat
pada tanggal 18 september 2017.
Rusli, M. A. Identifikasi Zona Kerentanan Gerakan Tanah Di Kab. Sidrap
Berbasis Sistem Informasi Geografi. PascaUH Bapenas, Makasar.
32
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007 Tentang Pedoman
Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor. Departemen
Pekerjaan Umum. Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Jakarta.
Peta Rupa Bumi Indonesia, Lembar purworejo (1408-232), Skala 1:25000,1999,
Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional.
Subowo, E. (2003). Pengenalan Gerakan Tanah. Bandung: Pusat Volkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi DESDM.
Sutikno Bronto, Jurnal Geologi Indonesia Pusat Survei Geologi, Jl. Diponegoro
57 Bandung
Wikipedia, 2008. Geographic Information System,
http://en.wikipedia.org/wiki/GIS. Dilihat pada tanggal 03 Agustus 2017.
LAMPIRAN
33
34