Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Gerakan tanah atau yang lebih dikenal dengan tanah longsor merupakan salah satu
potensi geologi yang bersifat negatif yang sering terjadi di Indonesia, Gerakan
tanah merupakan suatu peristiwa alam yang pada saat ini frekuensi kejadian nya
semakin meningkat. Fenomena alam ini berubah menjadi bencana alam ketika
gerakan tanah tersebut menimbulkan korban baik berupa korban jiwa maupun
kerugian harta benda dan hasil budaya manusia. Indonesia yang sebagian
wilayahnya berupa daerah perbukitan dan pegunungan, menyebabkan sebagian
wilayah Indonesia menjadi daerah yang rawan kejadian gerakan tanah. Intensitas
curah hujan yang tinggi dan kejadian gempa yang sering muncul, secara alami
akan dapat memicu terjadinya bencana alam gerakan tanah.

Ketersediaan informasi yang lengkap dan akurat mengenai zona kerentanan


gerakan tanah beserta kebijakan yang bias dijadikan dasar dalam setiap aktivitas
pengembangan merupakan hal yang sangat diperlukan demi mencegah dan
meminimalkan korban jiwa dan dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh bencana
alam gerakan tanah, dan lebih jauh sebagai masukan bagi penyusunan tata ruang
berdasarkan zona kerentanan gerakan tanah. Bertolak dari pemikiran tersebut
diatas, maka dilakukan Penelitian zona kerentanan gerakan tanah di Daerah Bruno
dan Sekitarnya Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah.

I.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan Permasalahan yang coba
dirumuskan dalam penelitian ini adalah :
- Bagaiman acara meninjau zona pembagian dari gerakan tanah tersebut dalam

berbagai faktor yang saling berkaitan serta memberikan bobot yang hasilnya
di konversikan kedalam peta.

I.3 Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian terletak didaerah barisan perbukitan Menoreh, secara


administrasi sebelah utara berbatasan dengan desa Purwosari sebelah timur desa
Giripurwo sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Pengasih dan kecamatan
Kokap, sebelah barat Kabupaten Purworejo.

6
Letak geografis lokasi penelitian (DD) -7.771361, 110.123521

Berikut ini merupakan lokasi penelitian yang akan saya lakukan pembobotan dan
saya bagi zona/kelasnya berdasarkan pembobotan tersebut peta yang digunakan
adalah peta administrasi Kabupaten Kulonprogo

Gambar 1.1 Lokasi Penelitian

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

7
II.1 DASAR TEORI

II.1.1 Pengertian Gerakan Tanah

Gerakan tanah adalah suatu peristiwa alam yang pada saat ini frekuensi
kejadiannya semakin meningkat. Fenomena alam ini berubah menjadi bencana
alam ketika gerakan tanah tersebut menimbulkan korban baik berupa korban jiwa
maupun kerugian harta benda dan hasil budaya manusia. Indonesia yang sebagian
wilayahnya berupa Daerah perbukitan dan pegunungan, menyebabkan sebagian
wilayah Indonesia menjadi Daerah yang rawan kejadian gerakan tanah. Intensitas
curah hujan yang tinggi dan kejadian gempa yang sering muncul, secara alami
akan dapat memicu terjadinya bencana alam gerakan tanah (Subowo, 2003).

Gerakan tanah terjadi karena proses alami dalam perubahan struktur muka
bumi, yakni adanya gangguan kestabilan pada tanah atau batuan penyusun lereng.
Gangguan kestabilan lereng ini dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi terutama
faktor kemiringan lereng, kondisi batuan ataupun tanah penyusun lereng, dan
kondisi hidrologi atau tata air pada lereng. Meskipun gerakan tanah merupakan
gejala fisik alami, namun beberapa hasil aktifitas manusia yang tidak terkendali
dalam mengeksploitasi alam juga dapat menjadi faktor penyebab ketidakstabilan
lereng yang dapat mengakibatkan terjadinya longsor, yaitu ketika aktifitas
manusia ini beresonansi dengan kerentanan dari kondisi alam yang telah
disebutkan di atas. Faktor-faktor aktifitas manusia ini antara lain pola tanam,
pemotongan lereng, pencetakan kolam, drainase, konstruksi bangunan, kepadatan
penduduk dan usaha mitigasi. Dengan demikian dalam upaya pembangunan
berkelanjutan melalui penciptaan keseimbangan lingkungan diperlukan pedoman
penataan ruang kawasan rawan bencana longsor.

Berdasarkan Undang-Undang No 24 Tahun 2007, tentang penanggulangan


bencana, perlindungan masyarakat terhadap bencana dimulai sejak pra bencana,
pada saat dan pasca bencana, secara terencana, terpadu dan terkoordinasi. Melalui
kebijakan ini maka upaya yang diambil dalam perencanaan wilayah adalah
melalui pelaksanaan ruang berbasis mitigasi bencana alam agar dapat ditingkatkan
keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan masyarakat.

8
Ketersediaan informasi yang lengkap dan akurat mengenai zona kerentanan
gerakan tanah beserta kebijakan yang bisa dijadikan dasar dalam setiap aktivitas
pengembangan merupakan hal yang sangat diperlukan demi mencegah dan
meminimalkan korban jiwa dan dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh bencana
alam gerakan tanah, dan lebih jauh sebagai masukan bagi penyusunan tata ruang
berdasarkan zona kerentanan gerakan tanah. Bertolak dari pemikiran tersebut di
atas, maka dilakukan Penelitian pembagian zona kerentanan gerakan tanah
Didaerah Bruno Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah.

II.1.2 Klasifikasi Longsor


Menurut Subowo (2003), ada enam jenis tanah longsor, yaitu:
longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan
tanah, dan aliran bahan rombakan (lihat Tabel 2.1.). Dari keenam jenis longsor
tersebut, jenis longsor translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Hal
tersebut dikarenakan tingkat pelapukan batuan yang tinggi, sehingga tanah yang
terbentuk cukup tebal.
Tabel 2.1. Klasifikasi tanah longsor (Subowo, 2003).

9
II.1.3 Faktor Penyebab Longsor
Tanah longsor akan terjadi jika terpenuhi tiga keadaan, yaitu:
1) Lereng cukup curam,
2) Terdapat bidang peluncur (batuan) di bawah permukaan tanah yang kedap
air.
3) Terdapat cukup air (hujan) yang masuk ke dalam pori-pori tanah di atas
lapisan batuan kedap sehingga tekanan tanah terhadap lereng meningkat
(Brook et al., 1991).
Faktor penyebab terjadinya gerakan pada lereng tergantung pada
kondisi batuan dan tanah penyusun lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi
penutup dan penggunaan lahan pada lereng tersebut, namun secara garis besar
dapat dibedakan sebagai faktor alami dan manusia.
Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005),
tanah longsor dapat terjadi karena faktor alam dan faktor manusia sebagai pemicu
terjadinya tanah longsor, yaitu :
a. Faktor Alam
Kondisi alam yang menjadi faktor utama terjadinya longsor antara
lain:
1. Kondisi geologi: batuan lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan
batu lempung, lereng yang terjal yang diakibatkan oleh struktur sesar
dan kekar (patahan dan lipatan), gempa bumi, stratigrafi dan gunung
api, lapisan batuan yang kedap air miring ke lereng yang berfungsi
sebagai bidang longsoran, adanya retakan karena proses alam
(gempa bumi, tektonik).
2. Keadaan tanah: erosi dan pengikisan, adanya daerah longsoran lama,
ketebalan tanah pelapukan bersifat lembek, butiran halus, tanah
jenuh karena air hujan.
3. Iklim: curah hujan yang tinggi, air (hujan di atas normal)
4. Keadaan topografi: lereng yang curam.
5. Keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa
air, erosi dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika, susut air cepat,
banjir, aliran bawah tanah pada sungai lama).

10
6. Tutupan lahan yang mengurangi tahan geser, misal lahan kosong,
semak belukar di tanah kritis.
b. Manusia
Ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam dan dapat
menimbulkan terjadinya tanah longsor antara lain:
1. Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal.
2. Penimbunan tanah urugan di daerah lereng.
3. Kegagalan struktur dinding penahan tanah.
4. Perubahan tata lahan seperti penggundulan hutan menjadi lahan
basah yang menyebabkan terjadinya pengikisan oleh air permukaan
dan menyebabkan tanah menjadi lembek.
5. Adanya budidaya kolam ikan dan genangan air di atas lereng.
6. Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman.
7. Pengembangan wilayah yang tidak diimbangi dengan kesadaran
masyarakat, sehingga Rencana Untuk Tata Ruang (RUTR) tidak
ditaati yang akhirnya merugikan sendiri.
8. Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik yang menyebabkan
lereng semakin terjal akibat penggerusan oleh air saluran di tebing.
9. Adanya retakan akibat getaran mesin, ledakan, beban massa yang
bertambah dipicu beban kendaraan, bangunan dekat tebing, tanah
kurang padat karena material urugan atau material longsoran lama
pada tebing.
10. Terjadinya bocoran air saluran dan luapan air saluran

II.2 GEOLOGI

II.2.1 Fisiografi Dan Geomorfologi Regional

Secara fisiografis, Pegunungan Kulonprogo terletak di zona Jawa tengah


Bagian selatan yang merupakan zona plato (menurut Van Bemmelen 1948).
Tinggian Kulonprogo dibatasi oleh sungai bogowonto yang memisahkan dataran
Purworejo pada bagian barat dan pada bagian timur dibatasi oleh sungai progo
yang memisahkan dataran Yogyakarta, bagian selatan dibatasi oleh dataran pantai

11
selatan Jawa Tengah sedangkan dibagian Utara dibatasi oleh dataran Magelang
dan rangkaian Gunung api muda pulau Jawa.

Daerah penelitian terletak di daerah Jatimulyo dan sekitarnya Kecamatan


Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara
fisiografi daerah penelitian merupakan bagian dari Plato Jonggrangan yang
terekspresikan dengan pegunungan dan dataran – dataran tinggi, daerah ini
merupakan daerah uplift yang membentuk dome yang luas. Dome tersebut relatif
berbentuk persegi panjang dengan panjang sekitar 32 km yang melintang dari arah
utara – selatan sedangkan lebarnya sekitar 20 km pada arah barat – timur, oleh
Van Bemmelen Dome tersebut diberi nama Oblong Dome. Sungai mengalir ke
selatan dengan pola paralel di bagian hilir, tetapi sudah berkembang menjadi pola
mendaun di bagian hulu, yakni yang berada di kaki dan lereng selatan - barat daya
Gunung Api Sumbing dan Gunung Api Sindoro di sebelah utara Kabupaten
Purworejo. Aliran sungai utama di daerah ini adalah Kali Luk Ulo di sebelah
barat, Kali Bogowonto di bagian tengah dan Kali Progo di bagian timur. Kali Luk
Ulo terletak di wilayah Kabupaten Kebumen, sedang kedua sungai yang lain
mengapit Pegunungan Kulon Progo di sebelah timur Dataran Purworejo.

II.2.2 Stratigrafi Regional

Berdasarkan data peta geologi sistematik Lembar Kebumen (Asikin drr., 1992)
dan Jogjakarta (Rahardjo drr., 1977), batuan tertua di Jawa Tengah adalah satuan
batuan bancuh (campur aduk) yang berumur Pra-Tersier (> 68 jtl.) dan tersingkap
di daerah Karangsambung, Kebumen. Di atas batuan bancuh itu secara tidak
selaras diendapkan batuan sedimen non gunung api pada lingkungan laut yang
berumur Eosen (40 jtl.). Di Pegunungan Kulon Progo satuan batuan ini bernama
Formasi Nanggulan, sedangkan di Pegunungan Serayu Selatan disebut Formasi
Karangsambung dan Formasi Totogan.

Sejak Kala Oligosen atau sekitar 36 juta tahun yang lalu, di daerah Jawa Tengah
selatan mulai terjadi kegiatan vulkanisme yang kemudian membentuk satuan
batuan gunung api Tersier atau lebih dikenal dengan sebutan Formasi Andesit Tua
(van Bemmelen, 1949) atau Formasi Waturondo (Asikin drr., 1992). Formasi
batuan gunung api tua ini menjadi penyusun utama Pegunungan Serayu Selatan

12
dan Pegunungan Kulonprogo, yang terdiri atas batuan beku andesit, breksi gunung
api, dan tuf. Kegiatan gunung api Tersier ini kemudian melemah dan diikuti
dengan penurunan daerah menjadi laut, sehingga diendapkan Formasi Sentolo dan
Formasi Jonggrangan di Pegunungan Kulonprogo pada Kala Miosen (13 - 5 jtl).
Formasi Sentolo tersusun oleh campuran bahan klastika gunung api dan material
karbonat berukuran butir halus - sedang. Di daerah Purworejo, Formasi Sentolo
tersingkap sangat ter-batas di antaranya di sebelah utara kota Purworejo dan di
kaki barat Pegunungan Kulon Progo. Formasi Jonggrangan berupa batugamping
masif yang tersingkap baik di wilayah Kecamatan Kaligesing, Kabupaten
Purworejo.

Proses geologi di Zaman Tersier tersebut kemudian diikuti oleh aktivitas


volkanisme di darat pada Zaman Kuarter (1,8 - 2 jtl), di antaranya lahir Gunung
Api Sumbing dan Gunung Api Sindoro di sebelah utara Purworejo. Sementara itu,
di dataran pantai selatan Jawa Tengah, termasuk Dataran Pur-worejo, diendapkan
bahan rombakan batuan tua sehingga membentuk Endapan Aluvium. Dari data
pemboran, di bawah endapan pasir pantai mulai kedalaman 64 m terdapat sedimen
lempung pasiran kaya moluska yang mencirikan endapan laut dang-kal sampai
rawa, berumur Plio-Plistosen (Sanyoto, 2007). Posisi stratigrafi sedimen lempung
pasiran itu diperkirakan menumpang di atas Formasi Sentolo.

Berdasarkan analisis citra landsat regional Jawa Tengah, struktur geologi yang
cukup menonjol di kawasan ini adalah sesar Kulon Progo, yang dimulai dari
muara Kali Bogowonto ke utara - timur laut memotong sumbu Pegunungan Kulon
Progo dan Kali Progo di sebelah utaranya. Sesar ini diperkirakan masih menerus
sampai Semarang Barat dan bahkan Laut Jawa. Sesar utama kedua adalah sesar
Serayu yang berarah barat barat daya – timur timur laut, mulai dari Kali Serayu,
memotong Pegunung-an Dieng dengan Gunung Api Sindoro, menerus ke timur
laut yang diperkirakan bersatu dengan Sesar Lasem di sebelah selatan Gunung Api
Muria. Pada Pegunungan Serayu Selatan di wilayah utara Kabupaten Purworejo
struktur kelurusan berarah utara - selatan.

II.2.3 Tatanan Tektonik Dan Struktur Geologi

II.2.3.1 Struktur Geologi Pulau Jawa

13
Proses tektonik yang terjadi di sebagian besar Pulau Jawa dipengaruhi
oleh pergerakan Lempeng Indo Australia yang menujam ke bawah Lempeng
Mikro Sunda. Berdasarkan penelitian lapangan, foto udara dan citra satelit,
Pulau Jawa memiliki tiga arah kelurusan struktur yang utama. Tiga arah
kelurusan itu adalah Pola Meratus, Pola Sunda dan Pola Jawa.
Pola dengan arah timur laut – barat daya disebut sebagai Pola Meratus.
Pola Meratus merupakan pola struktur yang dominan di Pulau Jawa (Pulunggono
dan Martodjodjo, 1994). Pola ini diperkirakan terbentuk sekitar 53 – 80 juta tahun
yang lalu. Pola Meratus ini berumur Kapur Akhir sampai Eosen Awal.

Pola struktur dengan arah utara – selatan disebut sebagai Pola Sunda.
Pola ini diwakili oleh sesar yang membatasi Cekungan Asri, Cekungan Sunda
dan Cekungan Arjuna. Pola Sunda terbentuk sekitar 32 – 53 juta tahun yang
lalu. Pola Sunda ini berumur Eosen Awal – Oligosen Awal.

Pola struktur dengan arah barat – timur disebut sebagai Pola Jawa. Pola
Jawa ini diwakili oleh sesar baribis dan sesar – sesar dalam Zona Bogor yang
berupa sesar naik (van Bemmelen, 1949).

II.2.3.2 Struktur Geologi Daerah Lokasi


Struktur ini dapat dikenal dengan adanya kenampakan pegunungan yang
dikelilingi oleh dataran aluvial, secara umum struktur geologi yang bekerja adalah
sebagai berikut :

1.Struktur Dome

Menurut Van Bemmellen (1948), pegunungan Kulonprogo secara


keseluruhan merupakan kubah lonjong yang mempunyai diameter 32 km dan
lebar 20 km. puncak kubah lonjong ini berupa satu dataran yang luas disebut
jonggrangan plateu.kubah ini memanjang dari utara ke selatan dan terpotong
dibagian utarany aoleh sesar yang berarah tenggara – barat laut dan tertimbun oleh
dataran magelang, sehingga sering disebut oblong dome. Pemotongan ini
menandai karakter tektonik dari zona selatan jawa menuju zona tengah jawa,

14
bentuk kubah tersebut adalah akibat selama pleistosen didaerah tersebut
mempunyai puncak yang relatif datar dan sayap – sayap yang miring dan terjal.

2.Unconformity

Di daerah kulonprogo terdapat kenampakan ketidakselarasan


(disconformity) antara formasi penyusun kulonprogo. Kenampakan telah di
jelaskan dalam stratigrafi daerah penelitian berupa formasi andesit tua yang
diendapkan tidak selaras dengan formasi Nanggulan, formasi jonggrangan
diendapkan secara tidak selaras diatas formasi andesit tua dan formasi sentolo
diendapkan secara tidak selaras diatas formasi jonggrangan.

Daerah lokasi penelitian ini dikenal sebagai salah satu lokasi yang
berpotensi cukup tinggi dalam terjadinya gerakan tanah. Hal ini terbukti dari
banyaknya lokasi gerakan tanah yang ditemukan dan telah menimbulkan
kerugian.

BAB III
MAKSUD, TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

III.1. Maksud Penelitian


Maksud dari penelitian ini adalah :
 Untuk memenuhi kurikulum akademik tingkat sarjana pada Jurusan Teknik
Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta.

 Memetakan daerah-daerah yang berpotensi akan terjadinya bencana tanah


longsor.

III.2. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
 melakukan tinjauan, kajian, evaluasi, dan analisis terhadap kerentanan
gerakan tanah di Daerah Penelitian dan membagi daerah Penelitian
tersebut dalam beberapa zona berdasarkan faktor internal dan eksternal.

 Mitigasi bencana sebagai usaha memperkecil resiko kerugian materiil dan


korban jiwa.

III.3. Manfaat Penelitian

15
Adapun manfaat penelitian ini yaitu dengan adanya peta zonasi kerawanan
longsor akan menjadi langkah awal dalam usaha mitigasi bencana alam khusnya
bencana tanah longsor serta untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat akan
adanya bahaya bencana tanah longsor di daerah tersebut.

Selain itu dengan adanya peta zonasi kerawanan longsor akan memudahkan bagi
pihak pengembang untuk membangun pemukiman yang aman dari bahaya
bencana tanah longsor.

BAB IV
METODE PENELITIAN

IV.1 Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua metode yang digunakan


untuk menyelesaikan penelitian yaitu dengan Metode Pedoman Teknis Pemetaan
Zona Kerentanan Gerakan Tanah, yaitu :

1. Pemetaan langsung.

2. Pemetaan tidak langsung.

Metode langsung adalah pemetaan zona kerentanan gerakan tanah dengan


menggunakan data hasil pemetaan langsung di lapangan dengan
memperhitungkan faktor: litologi, kelerengan, tataguna lahan, tingkat pelapukan.
Sedangkan metode tidak langsung adalah dengan prosedur analisis tumpang tindih
(overlaying) untuk mencari pengaruh faktor-faktor yang terdapat pada peta-peta
parameter terhadap sebaran (distribusi) gerakan tanah, kemudian dengan analisis
menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografis) dapat ditentukan zonasi
kerentanan gerakan tanahnya.

16
IV.1.1 Pemetaan Langsung

1. Tahap pengumpulan data

Dalam tahapan ini dilakukan pengumpulan data-data berupa data geologi,


tataguna lahan, kemiringan lereng dan tingkat pelapukan batuan. Data-data
tersebut umumnya dalam bentuk peta analog.

2. Analisa

Dalam tahapan ini dilakukan analisa data yang telah dikumpulkan. Analisa
awal tersebut dijadikan acuan dalam merencanakan pemetaan zona kerentanan
gerakan tanah secara langsung di lapangan.

3. Pengambilan data lapangan

Kegiatan pengambilan data lapangan meliputi kondisi geologi, kemiringan


lereng, tingkat pelapukan batuan dan tataguna lahan bahkan aktivitas manusia
pada daerah penelitian.

IV.1.2 Pemetaan Tidak Langsung

1. Pengolahan Data

Pengolahan data meliputi pengolahan data lapangan dan konversi peta.


Kegiatan pengolahan data lapangan tersebut akan menghasilkan peta sebaran
gerakan tanah. Sedangakan kegiatan konversi peta dimaksudkan agar peta analog
terkonversi menjadi peta digital yang lazim dinamakan digitasi. Pemberian kode
pada saat digitasi untuk menghindari pemberian kode yang kompleks. Setiap
obyek dalam peta digital baik berupa titik (misalnya : titik ketinggian), unsur garis
(misalnya : jalan, sungai), juga unsur poligon (misalnya : pemukiman, hutan)

17
memuat data non-grafis (atribut) berupa informasi-informasi tekstual kedalam
database.

2. Analisa

Kegiatan ini mencakup proses pembentukan query (perintah pengambilan


dan analisis data) dengan menggunakan fasilitas fungsi yang ada pada sistem
tersebut. Peta-peta tematik hasil digitasi, dianalisis dengan metode tumpang tindih
(overlaying). Tumpang tindih dilakukan antara peta-peta faktor terhadap peta
distribusi gerakan tanah. Dari hasil tumpang tindih tersebut dilakukan perhitungan
nilai bobot (weight value) dengan menggunakan metode kuantitatif (metode
statistik) sebagai metode pendekatan. Hasil perhitungan nilai bobot setiap peta
parameter dijumlahkan untuk mendapatkan nilai boot akhir. Nilai bobot akhir
tersebut diselang untuk mendapatkan batas atas dari setiap zona kerentanan
gerakan tanah. Dari batas atas nilai bobot tersebut, zona kerentanan gerakan tanah
diklasifikasikan menjadi empat zona yaitu zona kerentanan gerakan tanah sangat
tinggi, tinggi, menengah dan rendah.

IV.2 Tahap Penyajian Data

IV.2.1 Analisa Data

Zonasi yang dilakukan pada Daerah ini didasarkan pada empat


paremeter utama yaitu yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah yaitu
kelerengan, litologi, tingkat pelapukan, dan tataguna lahan. Perhitungan dilakukan
dengan melakukan penilaian terhadap faktor – faktor tersebut.

Perhitungan skor dan pembobotan dilakukan dengan menggunakan


formula sebagai berikut:

H (BOBOT) = (3xA) + (2xB) + (1xC)

H = Bobot A = Faktor Kemiringan Lereng

B = Faktor Litologi C = Tataguna Lahan

18
IV.2.2 Parameter Kerentanan

Zona kerentanan gerakan tanah dalam kajian ini didasarkan pada


modifikasi dari Permen PU No.22/PRT/M/2007) oleh Muh. Rusli A., yaitu:

1. Zona kerentanan gerakan tanah sangat tinggi, merupakan Daerah dengan


penjumlahan parameter kemiringan lereng, geologi, tingkat pelapukan, dan
penggunaan lahan yang memiliki nilai skor dan bobot kepentingan
berkisar antara 24 – 29.

2. Zona kerentanan gerakan tanah tinggi, merupakan Daerah dengan


penjumlahan parameter kemiringan lereng, geologi, tingkat pelapukan, dan
penggunaan lahan yang memiliki nilai skor dan bobot kepentingan
berkisar antara 19 – 23.
3. Zona kerentanan gerakan tanah sedang, merupakan Daerah dengan
penjumlahan parameter kemiringan lereng, geologi, tingkat pelapukan, dan
penggunaan lahan yang memiliki nilai skor dan bobot kepentingan
berkisar antara 14 – 18.
4. Zona kerentanan gerakan tanah rendah, merupakan Daerah dengan
penjumlahan parameter kemiringan lereng, geologi, tingkat pelapukan, dan
penggunaan lahan yang memiliki nilai skor dan bobot kepentingan
berkisar antara 1 - 13.

IV.2.3 Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Gerakan Tanah

IV.2.3.1 Faktor Internal

a. Parameter Litologi, dapat tersusun oleh batuan atau soil yang merupakan
hasil dari lapukan batuan tersebut. Litologi merupakan faktor yang penting
dalam terjadinya gerakan tanah. Litologi dengan tingkat resistensi yang
tinggi seperti batuan beku mempunyai kemungkinan yang kecil untuk
terjadi gerakan tanah. Sedangkan litologi dengan resistensi yang rendah
seperti soil lebih berpotensi untuk terjadi gerakan tanah. Proses erosi dan
pelapukan juga sangat berperan dalam mengontrol tingkat resistensi suatu
litologi.
Tabel 4.1. Parameter Litologi (Muh. Rusli A).

Parameter Litologi Intensitas Kepentingan

19
Derajat Nilai Skor
Batuan Vulkanik Sangat Tinggi 4
Batuan Sedimen Tinggi 3
Batuan Metamorf Cukup Tinggi 2
Batuan Beku Rendah 1

b. Parameter Kelerengan, merupakan tingkat kemiringan yang tercermin


dalam morfologi. Semakin besar tingkat kelerengan pada umumnya akan
semakin menambah kemungkinan terjadinya gerakan tanah pada suatu
daerah. Hal ini juga berhubungan dengan adanya gaya gravitasi yang
menarik massa batuan dari atas ke bawah. Semakin tinggi tingkat
kelerengan maka batuan akan semakin mudah tertarik ke bawah sehingga
mengakibatkan terjadinya gerakan tanah.

Tabel 4.2. Parameter Kelerengan (Muh. Rusli A).

Parameter Kelerengan Intensitas Kepentingan


Derajat Nilai Skor
>40° Sangat Tinggi 4
30° - 40° Tinggi 3
15° - 30° Cukup Tinggi 2
0° - 15° Rendah 1

IV.2.3.2 Faktor Eksternal

a. Parameter Pelapukan, Pelapukan batuan dapat memberikan pengaruh pada


gerakan tanah, utamanya kekuatan batuan dalam tujuan potensi terjadinya
gerakan tanah, tingkat pelapukan akan mempengaruhi kestabilan lereng,
sehingga pelapukan batuan yang seluruhnya lapuk akan memperbesar
potensi terjadinya gerakan tanah.
b. Parameter tataguna lahan, adalah hasil budaya yang dihasilkan oleh
manusia. Beberapa diantaranya adalah pemukiman, jalan, sawah dan
sebagainya. Tataguna lahan juga berpengaruh terhadap terjadinya gerakan
tanah.
Tataguna lahan dapat menambah beban yang harus ditanggung suatu
litologi. Apabila beban yang ditanggung lebih besar dari kekuatan litologi
untuk menahan beban, maka akan terjadi pergerakan. Vegetasi adalah
segala jenis tumbuhan yang ada di wilayah terebut. Contohnya adalah
rumput dan semak belukar. Vegetasi juga berpengaruh terhadap tingkat

20
ketabilan lerang. Beberapa vegetasi dapat meningkatkan kestabilan lereng
karena akarnya dapat mengikat massa batuan sehingga lebih kompak.
Namun sebaliknya beberapa jenis vegetasi yang mempunyai akar yang
lemah justru dapat mengurangi tingkat kestabilan dari suatu lereng yang
dapat berdampak pada terjadinya gerakan tanah.

Tabel 4.3. Parameter Tataguna Lahan (Muh. Rusli A).

Parameter Tataguna Intensitas Kepentingan


Derajat Nilai Skor
Lahan
Ladang dan Kebun Sangat Tinggi 4
Pemukiman Tinggi 3
Hutan Dan Semak Cukup Tinggi 2
Belukar
Persawahan Rendah 1

21
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

V.1. Data dan Hasil Analisis

Dalam sub-bab data dan hasil analisis ini ada beberapa data yang akan
dianalisis seperti yang telah dijabarkan dalam bab metode penelitian. Data
tersebut diantaranya peta faktor kerentanan gerakan tanah dan peta zona
kerentanan gerakan tanah.

V.1.1. Peta Faktor Kerentanan Gerakan Tanah


V.1.1.1 Faktor Internal

1. Peta Litologi

22
Gambar 5.1. Peta Litologi.

Berdasarkan peta litologi (gambar 5.1.), daerah Penelitian disusun oleh Satuan
Batuan Breksi Andesit, Satuan Batupasir Gampingan, Satuan Batuan Kalkarenit.
Berdasarkan tabel klasifikasi Muh. Rusli A (Tabel 4.1.)

 Satuan BatuPasir Gampingam mempunyai skor 3


 Satuan Breksi Andesit mempunyai skor 4
 Satuan Batuan Kalkarenit mempunyai skor 3

2. Peta Faktor Kelerengan

23
Gambar 5.2. Peta faktor kemiringan lereng.

Berdasarkan tabel klasifikasi Muh. Rusli A (Tabel 4.2.) faktor kemiringan


lereng daerah penelitian masuk dalam beberapa kategori antara lain

 kategori rendah dengan warna hijau tua yang mempunyai sudut


lereng anatara 0⁰ - 15⁰ mempunyai skor 1,
 kategori tinggi dengan warna hijau muda yang mempunyai sudut
lereng antara 15⁰ - 30 ⁰ mempunyai skor 2
 kategori sangat tinggi dengan warna orange yang mempunyai
sudut lereng anatar 30⁰ - 40⁰ mempunyai skor 3
 kategori sangat tinggi dengan warna merah yang mempunyai
sudut lereng anatar > 40⁰ mempunyai skor 4

V.1.1.2 Faktor Eksternal

1. Peta Faktor Tataguna Lahan

24
Gambar 5.3. Peta faktor Tata Guna Lahan

Berdasarkan tabel klasifikasi Muh. Rusli A (Tabel 4.4.) peta faktor


tataguna lahan (gambar 5.3.) daerah penelitian dapat dibagi menjadi 3 jenis
tataguna lahan yang berbeda, yaitu :

 Lahan Permukiman (warna coklat) dengan skor 3


 Lahan Perkebunan (warna hijau muda) dengan skor 4
 Lahan Persawahan (warna kuning) dengan skor 1
 Lahan Agriladang (warna hijau tua) dengan skor 2

V.1.2 Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah

25
Gambar 5.4. Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah

Berdasarkan peta zona kerentanan gerakan tanah (Gambar 5.4.), daerah penelitian
mempunyai tiga kelas zona kerentanan gerakan tanah yaitu :

 Zona kerentanan tinggi yang Berwarna merah dengan litologi berupa


batuan breksi andesit yang terlapukan tinggi dan sebagian sudah menjadi
tanah residu dengan kemiringan lereng 190-230 dan dimanfaatkan oleh
penduduk sekitar sebagai tata guna lahan berupa perkebunan
 Zona kerentanan sedang yang berwarna kuning dengan litologi batupasir
Gampingan yang terlapukan dan sebagian sudah menjadi tanah residu

26
namun dengan kemiringan lereng 140-180 dan dimanfaatkan oleh
penduduk sekitar sebagai tata guna lahan berupa tempat wisata,
pemukiman dan perkebunan
 Zona kerentanan rendah yang berwarna hijau dengan litologi batu
kalkarenit yang terlapukan dan sebagian telah menjadi tanah residu
dengan kemiringan lereng 1°-13° dan dimanfatkan sebagai tataguna lahan
berupa pemukiman dan perkebunan

V.1.2.1 Metode Pembobotan

Cara pembobotan untuk mencari atau menemukan peta zona kerentanan gerakan
tanah berdasarkan data dari peta faktor kerentanan bencana dan hasil overlay
adalah sebagai berikut :
1. Parameter Litologi Daerah Penelitian
Parameter Litologi Intensitas Kepentingan
warna Skor
Satuan Batuan Coklat 4
Breksi Andesit
Satuan Batupasir Kuning 3
gampingan
Satuan Batuan Kalkarenit Biru 3

2. Parameter Kemiringan Lereng Daerah Penelitian


Parameter Kelerengan Intensitas Kepentingan
Warna Skor
>40° Merah 4
30° - 40° Orange 3
15° - 30° Hijau Muda 2
0° - 15° Hijau Tua 1

3. Parameter Tataguna Lahan Daerah Penelitian


Parameter Tataguna Lahan Intensitas Kepentingan
Warna Skor
Perkebunan Hijau muda 4
Permukiman Coklat 3
Agriladang Hijau tua 2
Persawahan Kuning 1

Dan jika semua faktor kerentanan gerakan tanah di daerah penelitian di


daerah sudah mempunyai bobot masing – masing, lakukanlah subtitusi kedalam

27
rumus yang sudah saya bahas di bab IV tentang metode penelitian dan inilah
rumus atau formulanya.
H (BOBOT) = (3xA) + (2xB) + (1xC)

H = Bobot A = Faktor kemiring lereng


B = Faktor Litologi C = Tataguna Lahan

Dan ini merupakan Kriteria zona kerentanan gerakan tanah modifikasi dari
Permen PU No.22/PRT/M/2007 oleh Muh. Rusli A. adalah sebagai berikut ;

1. Zona kerentanan gerakan tanah sangat tinggi, merupakan Daerah dengan


penjumlahan parameter kemiringan lereng, geologi, tingkat pelapukan, dan
penggunaan lahan yang memiliki nilai skor dan bobot kepentingan
berkisar antara 24 – 29.

2. Zona kerentanan gerakan tanah tinggi, merupakan Daerah dengan


penjumlahan parameter kemiringan lereng, geologi, tingkat pelapukan, dan
penggunaan lahan yang memiliki nilai skor dan bobot kepentingan
berkisar antara 19 – 23.
3. Zona kerentanan gerakan tanah sedang, merupakan Daerah dengan
penjumlahan parameter kemiringan lereng, geologi, tingkat pelapukan, dan
penggunaan lahan yang memiliki nilai skor dan bobot kepentingan
berkisar antara 14 – 18.
4. Zona kerentanan gerakan tanah rendah, merupakan Daerah dengan
penjumlahan parameter kemiringan lereng, geologi, tingkat pelapukan, dan
penggunaan lahan yang memiliki nilai skor dan bobot kepentingan
berkisar antara 1 - 13.
Ketika sudah diketahui rumus dan kriteria tersebut maka saya
langsung dapat men-subtitusikan dengan hasilnya nanti akan
mempengaruhi (Gambar 5.4.) pada peta zona kerentanan gerakan tanah,
Berikut pembobotannya :

I. Warna Merah (Zona Kerentanan Tinggi)


Rumus : H (BOBOT) = (3xA) + (2xB) + (1xC)
Kelerengan 20 - 30° =3*3= 9
Litologi Breksi andesit =2*4= 8

28
Tataguna Lahan Perkebunan =1*4= 4
TOTAL = 21
Kesimpulan, dari data pembobotan mempunyai hasil 21 yang menandakan bahwa
daerah penelitian pada (Gambar 5.4.) zona berwarna merah memenuhi kriteria
zona kerentanan gerakan tanah tinggi.
II. Warna kuning (Zona Kerentanan Sedang)
Rumus : H (BOBOT) = (3xA) + (2xB) + (1xC)
Kelerengan 15 - 30⁰ =3*2= 6
Litologi Batupasir Gampingan =2*3= 6
Tataguna Lahan Perkebunan =1*4 = 4
TOTAL = 16
Kesimpulan, dari data pembobotan mempunyai hasil 16 yang menandakan bahwa
daerah penelitian pada (Gambar 5.4.) zona berwarna kuning memenuhi kriteria
zona kerentanan gerakan tanah Sedang.
III. Warna kuning (Zona Kerentanan Sedang)
Rumus : H (BOBOT) = (3xA) + (2xB) + (1xC)
Kelerengan 0 - 15⁰ =3*1= 3
Litologi Kalkarenit =2*3= 6
Tataguna Lahan Perkebunan =1*4 = 4
TOTAL = 13
Kesimpulan, dari data pembobotan mempunyai hasil 13 yang menandakan bahwa
daerah penelitian pada (Gambar 5.4.) zona berwarna hijau memenuhi kriteria zona
kerentanan gerakan tanah rendah.

V.2. Pembahasan

Dalam sub-bab pembahasan ini ada beberapa hasil yang akan dibahas
seperti yang telah dijabarkan dalam sub-bab data dan hasil analisis. Pembahasan
tersebut diantaranya adalah tentang zonasi kerawanan longsor di daerah
Penelitian.

V.2.1. Zona Kerentanan Gerakan Tanah

29
Proses pengolahan data sampai ke tahap zona kerentanan gerakan tanah
dengan menggunakan Metode modifikasi dari Permen PU No.22/PRT/M/2007
oleh Muh. Rusli A. sebagai acuan zonasi dan SIG sebagai metode pengolahan data
telah dilakukan dengan seksama, dan telah didapatkan peta kerawanan longsoran
daerah penelitian.

Dari peta kerawanan longsoran yang dihasilkan terdapat tiga jenis zona
kerentanan gerakan tanah yaitu kerawanan tinggi dan sangat tinggi yang diuraikan
sebagai berikut:

1. Zona kerentanan gerakan tanah Tinggi

Zona ini memiliki luas ±35 % dari daerah Penelitian. Secara umum
daerah ini dikontrol oleh Litologi breksi andesit, kemiringan lereng antara 15 0
– 230, tingkat pelapukan batuan yang tinggi, dan di pakai sebagai daerah yang
mempunyai tataguna berupa Perkebunan.

2. Zona kerentanan gerakan tanah sedang

Zona ini meemiliki luas ±45 % dari daerah penelitian. Secara umum
daerah ini dikontrol oleh jenis litilogi Batupasir Gampingan , mempunyai
kemiringan lereng antara 140 - 180, dan mempunyai tingkat pelapukan batuan
yang tinggi, serta mempunyai tataguna lahan daerah Perkebunan dan
pemukiman.
3. Zona kerentanan gerakan tanah rendah

Zona ini meemiliki luas ±20 % dari daerah penelitian. Secara umum
daerah ini dikontrol oleh jenis litilogi batuan kalkarenit, mempunyai
kemiringan lereng antara 10 - 130, dan mempunyai tingkat pelapukan batuan
yang tinggi, serta mempunyai tataguna lahan daerah Perkebunan dan
Pemukiman.

Berdasarkan hasil zonasi tingkat kerawanan longsor yang dihasilkan


dari pengolahan data sebelumnya, secara umum suatu daerah rawan terhadap

30
longsor jika memiliki faktor – faktor yang mendukung, diantaranya nilai
kemiringan lereng yang tinggi, jenis batuan yang lunak, dan ditunjang oleh
faktor-faktor lain seperti tingkat pelapukan yang tinggi dan tataguna lahan
yang berbeda.
Untuk zona dengan tingkat kerawanan longsor yang rendah , faktor-
faktor yang mendukung diantaranya kemiringan lereng yang landai, tingkat
pelapukan yang tinggi karena tataguna lahanya sebagai perkebunan dan
kondisi litologinya adalah endapan.
Pada pembobotan nilai yang signifikan atau tinggi pada salah satu
faktor belum tentu menunjukkan apakah daerah tersebut rawan longsor
karena tingkat kerawanan longsor ini dikontrol oleh 4 faktor. Sebagai salah
satu acuan, daerah dengan litologi yang lunak belum bisa dikatakan rawan
longsor jika memiliki nilai kemiringan lereng yang rendah atau landai, atau
memiliki tingkat pelapukan yang tinggi.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

VI. 1. Kesimpulan
Berdasarkan pengolahan data, analisis , dan verifikasi lapangan yang telah
dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Zonasi kerentanan gerakan tanah longsor di Daerah Jatimulyo dan


Sekitarnya Kabupaten Kulonprogo Provinsi D.I.Yogyakarta. Sebagai hasil
metode modifikasi Permen PU No.22/PRT/M/2007 oleh Muh. Rusli A.
serta pengolahaan data di Sistem Informasi Geografis sangat cocok
digunakan untuk studi maupun tinjauan tentang pembagian zona
kerentanan gerakan tanah pada cakupan area yang luas atau skala kecil.
2. Terdapat 4 faktor yang mengontrol terjadinya gerakan tanah pada daerah
penelitian (Tabel 5.1.1), diantaranya adalah faktor litologi, faktor
kemiringan lereng, faktor tataguna lahan dan faktor pelapukan.

31
3. Pembagian zona kerentanan gerakan tanah di daerah penelitian dibagi
menjadi tiga zona berdasarkan Kriteria Zona Kerentanan dari nilai data
yang sudah diolah di Arcgis (Tabel 5.2.), yaitu zona kerentanan tinggi, zona
kerentanan sedang, zona kerentanan rendah.
4. Pengolahan data dalam zonasi kerawanan longsor yang digunakan adalah
software SIG (Sistem Informasi Geografis) ArcGis versi 10.4.1.

VI. 2. Saran
Diharapkan ada studi ataupun tinjauan lanjutan yang membahas tentang
pembagian zona kerentanan gerakan tanah secara detail, khususnya pada daerah
yang mempunyai tingkat kerawanan tinggi sampai sangat tinggi supaya dapat
berguna dan bermanfaat serta memberi informasi kepada masyarakat tentang zona
kerentanan gerakan tanah agar upaya mitigasi dapat dilaksanakan atau dicapai
dengan efisien.

DAFTAR PUSTAKA

Asikin, S., 1974, Evolusi Geologi Jawa Tengah dan Sekitarnya Ditinjau dari Segi
Teori Tektonik Dunia Yang Baru, Disertasi Doktor, Departemen Teknik
Geologi ITB,Tidak Dipublikasikan.
Badan Standardisasi Nasional, 2005, Penyusunan Peta Zona Kerentanan Gerakan
Tanah, SNI 13-7124-2005, Jakarta.
Baja, S. (2012). Perencanaan Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah:
Pendekatan Spasial dan Aplikasinya. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Bemmelen, R. W. Van, 1949. The Geology of Indonesia, Vol IA. General Geology
Netherland.
GLCF, 2001. Global Land Cover Facility, www.glcf.umiacs.umd.edu. Dilihat
pada tanggal 18 september 2017.
Rusli, M. A. Identifikasi Zona Kerentanan Gerakan Tanah Di Kab. Sidrap
Berbasis Sistem Informasi Geografi. PascaUH Bapenas, Makasar.

32
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007 Tentang Pedoman
Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor. Departemen
Pekerjaan Umum. Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Jakarta.
Peta Rupa Bumi Indonesia, Lembar purworejo (1408-232), Skala 1:25000,1999,
Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional.
Subowo, E. (2003). Pengenalan Gerakan Tanah. Bandung: Pusat Volkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi DESDM.
Sutikno Bronto, Jurnal Geologi Indonesia Pusat Survei Geologi, Jl. Diponegoro
57 Bandung
Wikipedia, 2008. Geographic Information System,
http://en.wikipedia.org/wiki/GIS. Dilihat pada tanggal 03 Agustus 2017.

LAMPIRAN

1. PETA FAKTOR LITOLOGI


2. PETA FAKTOR KELERENGAN
3. PETA FAKTOR TATA GUNA LAHAN
4. PETA ZONA GERAKAN TANAH

33
34

Anda mungkin juga menyukai