Anda di halaman 1dari 14

I.

DASAR TEORI

1.1 Wilayah Pesisir dan Pantai

Kodoatie (2010), menjelaskan bahwa pesisir merupakan daerah yang berada di tepi

laut dengan batas surut terendah dan pasang tertinggi dimana daerah pantai terdiri atas daratan

dan perairan. Masing – masing wilayah darah pantai masih di pengaruhi oleh aktivitas darat

(daerah perairan) serta marine (daerah daratan), sehingga dapat di simpulkan bahwa kedua

daerah tersebut saling mempengaruhi. Waluyo (2014) mengelompokkan pengertian wilayah

pesisir dari dua sudut panang yaitu sudut pandang akademik keilmuan dan sudut pandang

kebijakan pengelolaan. Dari sudut pandang keilmuan, Muhsoni (2009) mendefinisikan wilayah

pesisir sebagai sabuk daratan yang berbatasan dengan lautan di mana proses dan penggunaan

lahan di darat secara langsung dipengaruhi oleh proses lautan dan sebaliknya. Definisi wilayah

pesisir dari sudut pandang kebijakan pengelolaan meliputi jarak tertentu dari garis pantai ke

arah daratan dan jarak tertentu ke arah lautan. Definisi ini tegantung dari isu yang di angkat dan

faktor geografis yang relevan dengan karakteristik bentang alam pantai (Salim et al., 2011).

Pengelolaan wilayah pesisir menyangkut pengelolaan yang terus menerus mengenai

penggunaan wilayah pesisir dan sumber daya di dalamnya dari area yang ditentukan, dimana

batas – batas secara politik biasanya dihasilkan melalui keputusan legislatif atau eksekutif

(Suhelmi, 2013).

1.2 Banjir Pasang

Banjir Pasang terjadi saat kondisi air laut sedang pasang sehingga menggenangi

kawasan dengan ketinggian lebih rendah dari permukaan air laut pada saat pasang tertinggi.

Tinggi - rendahnya elevasi pasang air laut, dipengaruhi oleh gaya gravitasi. Adanya kenaikan

permukaan air laut dan penurunan muka tanah menyebabkan dampak Banjir Pasang semakin

parah (Habibie et al., 2012). Lama genangan dapat berlangsung berhari-hari bahkan sepanjang
tahun tergantung pada jenuh tidaknya tanah. Pada tanah yang jenuh, genangan dapat terjadi

sepanjang tahun (Chandra et al., 2013). Diposaptono et al (2009) menambahkan bahwa

tingginya Banjir Pasang di akibatnya adanya akumulasi dari tingginya pasang air laut, sea level

rise, winds set-up dan wave set-up. Selain itu, pendangkalan muara menimbulkan efek

pembendungan sehingga meningkatkan frekuensi banjir akibat terlampauinya daya tampung

sungai.

1.3 Faktor Penyebab Banjir Pasang

1.3.1 Pasang Surut

Pasang surut merupakan proses naik turunnya permukaan air laut secara periodik

dalam interval waktu tertentu. Naik turunnya permukaan air laut diakibatkan oleh gaya gravitasi

benda-benda diangkasa, terutama bulan dan matahari. Besaran nilai massa matahari, bumi, dan

bulan diketahui, maka besarnya gaya pembangkit pasang surut oleh matahari dan bulan juga di

ketahui, maka besarnya gaya pembangkit pasang surut oleh matahari dan bulan dapat dihitung.

Perhitungannya dilakukan dengan menguraikan tenaga pembangkit pasang surut ke dalam

sejumlah konstanta harmonik pasang surut (Rampengan, 2013), Meskipun massa bulan lebih

kecil dari massa matahari, namun terhadap bumi jauh lebih dekat. Sehingga pengaruh gaya tarik

bulan bumi 2,2 kali lebih besar daripada matahari (Triadmodjo, 1999).

Periode pasang surut adalah waktu antara puncak atau lembah gelombang ke puncak

atau lembah gelombang berikutnya. Nilai periode pasang surut bervariasi antara 12 jam 15

menit hingga 24 jam 50 menit. pasang purnama (spring tide) terjadi ketika bumi, bulan dan

matahari berada dalam suatu garis lurus. Sehingga menyababkan fenomena pasang tertinggi.

Pasang tersebut terjadi saat bulan baru dan bulan purnama. Sedangkan pasang perbani (neap

tide) terjadi ketika bumi, bulan, dan matahari membentuk sudut tegak lurus. Sehingga

menyebabkan pasang tinggi yang rendah. Pasang surut perbani ini terjadi pada saat bulan ¼ dan

¾ (Musrifin, 2012).
Dilihat dari pola gerakan muka lautnya, Fadhilah et al., (2014) menjelaskan bahwa

pasang surut dibagi menjadi empat jenis yaitu pasang surut harian tunggal (diurnal), harian

ganda (semi diurnal) dan dua jenis campuran (mixed tides). Pada jenis harian tunggal terjadi

satu kali pasang dan satu kali surut dalam sehari, saat spring dapat terjadi dua kali pasang sehari.

Pada jenis harian ganda terjadi dua kali pasang sehari dengan tinggi pasang dan surut yang

relatif sama. Mahamawati et al., (2009) juga menjelaskan bahwa tipe campuran terdapat dua

jenis yaitu campuran tunggal (mixed tide prevalling diurnal) dan campuran ganda (mixed tide

prevalling semi diurnal). Pasang surut campuran tunggal terjadi satu atau dua kali pasang sehari

dengan interval yang berbeda, sedangkan pada campuran ganda terjadi dua kali pasang sehari

dengan perbedaan tinggi dan interval yang berbeda. Dalam sebulan, variasi harian dari rentang

pasang surut berubah secara sistematis terhadap siklus bulan. Rentang pasang surut juga

bergantung pada bentuk perairan dan konfigurasi lantai samudera.

Tabel 1. Komponen Harmonik pasang Surut Utama (Mahatmawati et al., 2009)

Nama Periode
Jenis Fenomena
Komponen (jam)
Gravitasi bulan dengan orbit
M2 12,42
ingkaran
Gravitasi matahari dengan orbit
S2 2,00
lingkaran dan sejajar ekuator bumi
Semi-Diurnal
Perubahan jarak bulan ke bumi
N2 12,66 akibat lintasan yang berbentuk
elips
Deklinasi sistem bulan dan
K1 23,93
matahari
Diurnal
O1 25,28 Deklinasi Bulan
Gambar 2. Tipe- tipe Pasang Surut (Triadmodjo, 1999)

Pasang surut bersifat periodik, data amplitudo dan beda fase dari komponen

pembangkit pasang surut dibutuhkan untuk meramalkan pasang surut. Komponen utama pasang

surut terdiri dari komponen tengah dan harian. Namun demikian, adanya interaksi antara bentuk

morfologi pantai dan superposisi antar gelombang pasang surut komponen utama, terbentuk

komponen-komponen pasang surut yang baru (Fadhilah et al., 2014).

1.3.2 Kenaikan Muka Air Laut

Kenaikan muka air laut merupakan fenomena naiknya muka air laut terhadap rata-rata

muka laut (titik acu benchmark di darat) akibat pertambahan volume air laut. Perubahan tinggi

permukaan air laut dapat di lihat sebagai suatu fenomena alam yang terjadi secara periodik

maupun menerus. Perubahan secara periodik dapat di lihat dari fenomena pasang surut air laut,

sedangkan kenaikan air laut yang menerus adalah kenaikan muka air laut yang terindentifikasi

dengan SLR (sea level rise) yang dominan di pengaruhi oleh pemuaian thermal (thermal

expansion) sehingga volume air laut bertambah. Selain itu, mencairnya es di kutub dan gletser
juga memberikan kontribusi terhadap perubahan kenaikan muka air laut. Beberapa tahun

terakhir ini, perubahan sea level rise di amati dari stasiun pengukuran pasang surut (Nurmaulia

et al., 2005).

Kenaikan muka air laut memberikan dampak bagi wilayah pesisir dan aktifitas yang

ada dialamnya (suprijanto, 2003). Mimura (2000) dalam Suprijanto (2003) menyatakan bahwa

IPCC memperkirakan pada kurun waktu 100 tahun terhitung mulai tahun 2000, permukaan air

laut akan meningkat setinggi 15-90 cm dengan kepastian setinggi 48 cm. Apabila perkiraan

IPCC tentang kenaikan muka air laut terjadi, maka diperkirakan Indonesia akan kehilangan

2.000 pulau. Hal ini pula yang akan menyebabkan mundurnya garis panai di sebagian besar

wilayah Indonesia.

Beberapa peneliti yang pernah dilakukan, telah mengidentifikasi beberapa dampak

langsung dan dampak lanjutan dari kenaikan muka air laut. Dampak langsung yang terjadi

adalah peningkatan erosi, meningkatnya frekuensi dan luasan genangan Banjir Pasang pada

wilayah pesisir, peningkatan intensitas banjir, dan intrusi air laut pada air tanah. Adapun

dampak lanjutannya yaitu menurunnya kesehatan masyarakat dan lingkungn, menurunnya

fungsi saran dan prasarana, terganggunya aktifitas perekonomian, dan perubahan perilaku

kehidupan masyarakat selain itu, dampak dapat terjadi secara permanen antara lain perubahan

kondisi ekosistem pantai, meningkatnya erosi, kerusakan infrastruktur yang tergantung pada

tingkat dan jenis pemanfaatan kawasan tepi pantai (Nicholls et al., dalam Nugroho, 2013).

1.3.3 Penurunan Muka Tanah

Permukaan tanah merupakan salah satu fenomena yang terjadi di beberapa kota di

Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Pekalongan dan Semarang. Terdapat lima jenis penurunan

permukaan tanah yang dapat terjadi di daerah perkotaan berdasarkan penyebabnya, yaitu

penurunan muka tanah yang disebabkan oleh pengambilan air tanah, pergerakan tektonik,
pembebanan oleh bangunan, pelarutan batuan dan penambangan material pada (Nurdin dalam

Meliana, 2005).

Secara garis besar penurunan tanah bisa disebabkan oleh beberapa hal antara lain

(Whittaker and Reddish, 1989 dalam Yuwono et al., 2013), sebagai berikut :

1. Penurunan tanah alami yang disebabkan oleh proses-proses geologi seperti aktifitas

vulkanik dna tektonik, siklus geologi, adanya rongga di bawah permukaan tanah atau

minyak bumi.

2. Penurunan muka tanah yang disebabkan oleh pengambilan bahan cair dari dalam

tanah seperti air tanah atau minyak bumi.

3. Penurunan muka yang disebabkan oleh adanya beban-beban berat di atasnya seperti

struktur bangunan sehingga lapisan-lapisan tanah di bawahnya mengalami

kompaksi/konsolidasi. Penurunan muka tanah ini sering juga disebut settlement.

4. Penurunan muka tanah akibat pengambilan bahan padat dari tanah (aktifitas

penambangan).
II. CONTOH KASUS

2.1 Lokasi

Kabupaten Demak merupakan salah satu wilayah pesisir yang terletak di utara Jawa.

Kabupaten Demak awalnya merupakan salah satu kabupaten yang menjadi lumbung pangan

untuk daerah Jawa Tengah dikarenakan sector pertaniannya yang maju. Sektor pertanian ini

didukung oleh kondisi tanah yang subur dan luasnya lahan pertanian. Akan tetapi telah terjadi

perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi non-pertanian. Letaknya yang

berbatasan langsung dengan Kota Semarang dan berada pada koridor ekonomi Pulau Jawa

menyebabkan perkembangan wilayah ini sangat cepat. Penambahan lahan terbangun ini

memberikan beban tambahan pada tanah, padahal kondisi tanah pada wilayah ini adalah tanah

yang masih muda. Tanah seperti ini masih belum terkonsolidasi dengan baik sehingga

penambahan beban diatasnya menyebabkan terjadinya pemampatan. Selain itu, keberadaan

kawasan permukiman dan industri juga menyebabkan meningkatnya aktivitas pemompaan air

tanah, terutama pada kawasan industry dikarenakan kebutuhan airnya yang cukup banyak.

Adanya beban di atas tanah dan rongga tanah akibat pengambilan air tanah kemudian memicu

terjadinya fenomena penurunan muka tanah. Penurunan tanah di wilayah pesisir ini

menyebabkan meningkatnya tinggi genangan akibat banjir pasang.

2.2 Penyebab

Keberadaan gas rumah kaca (GRK) di atmosfer menyebabkan adanya energi panas

yang terperangkap. Hal ini mengakibatkan menghangatnya suhu di bumi. Pemanasan ini

menyebabkan peningkatan temperature di permukaan laut sebesar 0.4-0.8 0C dalam seabad

terakhir ini. Akibatnya laut mengembang. Ditambah dengan input dari air akibat pencairan es,

tinggi muka air laut meningkat 2 mm setiap tahunnya (IPCC, 2001). Dalam kurun waktu 100

tahun terhitung mulai tahun 2000 permukaan air laut akan meningkat 15-90 cm (Mimura, 2000

dalam Suprijanto, 2003).


Kenaikan muka air laut ini berdampak pada semua wilayah pesisir. Di Indonesia sendiri

kenaikaan muka air laut sudah mencapai 8 mm per tahunnya Perubahan iklim juga

mempengaruhi dinamika kawasan pesisir. Perubahan iklim global ini diakibatkan oleh aktivitas

antropogenik yang menghasilkan emisi gas rumaah kaca (Prasad, et al 2010). Dampak

perubahan iklim yang paling mempengaruhi Kawasan pesisir adalah adanya ffenomena

kenaikan muka air laut. Kenaikan permukaan laut diakibatkan karena meningkatnya suhu laut

sehingga mencairkan gunung es di greenland dan antartica (Prasad, et al. 2010). Peningkatan

permukaan air laut hingga tahun 2010 mencapai rata-rata 3,2mm pertahunnya sejak 1993

(IPCC, 2014). Kenaikan permukaan air laut menyebabkan tergenangnya lahan basah dan lahan

rendah, erosi pantai, intrusi airtanah (Prasad et al, 2010).

2.3 Skala Bencana dan Dampak yang ditimbulkan

Menurut BPN Kabupaten Demak telah terjadi alih fungsi lahan sebesar 83363 m2 pada

tahun 2002 dan terus meningkat hingga tahun 2004. Tahun 2007 tercatat terjadi alih fungsi

lahan sebesar 567.864 m2 Sebagian besar lahan pertanian diubah menjadi Kawasan

permukiman, industri maupun pembangunan infrastruktur. Pembangunan permukiman,

kawasan industry dan lain sebagainya biasanya berlangsung cepat di wilayah bertopografi.

Banjir Pasang telah menyebabkan kerugian yang besar karena menghambat aktivitas

ekonomi yang ada di Kabupaten Demak ini. Lebih dari 1200 rumah tergenang dan ratusan

warga terpaksa direlokasi akibat kehilangan tempat tinggal.


III. MITIGASI BENCANA

3.1 Mitigasi saat Surut


Dilakukannya penambahan tinggi jalan agar terhindar dari rob pasang air laut sehingga

memudahkan akses keluar-masuk desa dan aktivitas warga sekitar. Kemudian ditanam

mangrove berukuran kecil untuk meredam gelombang yang datang. Lalu terdapat informasi

yang diberikan BMKG Jawa Tengah tentang jadwal pasang dan surut disetiap wilayah.

Informasi ini dapat diakses warga sekitar dengan mudah, dan sudah ada jadwal

pengumumannya. Upaya mitigasi struktural yang dilakukan oleh warga setempat yaitu dengan

dibangunnya hybrid dari bambu alat pemecah ombak dari karung yang diisi dengan pasir

maupun alat pemecah ombak yang berasal dari ban bekas serta goin namun, hal tersebut kurang

efektif sehingga tidak begitu membantu menghalangi gelombang yang datang.dan seawall yang

berfungsi melindungi daratan sekaligus menjadi sedimen trap untuk membantu terjadinya

sedimentasi pantai agar daratan dapat terbentuk kembali seperti semula.

3.2 Mitigasi tambahan yang perlu dilakukan


dengan melakukan penyuluhan kepada warga Kabupaten Demak mengenai potensi

bahaya bencana yang ada pada daerah tersebut dan melakukan pembelajaran mengenai

evakuasi saat bencana tersebut terjadi. Selain itu, penambahan Breakwater pada daerah tersebut

juga sangat diperlukan karena masih sedikitnya breakwater di daerah Kabupaten Demak yang

dapat mengakibatkan kuatnya abrasi.

Selain itu juga diperlukan informasi mengenai prediksi wilayah yang terdampak

gelombang pasang yang mengakibatkan banjir pasang di tahun mendatang seperti yang

dilakukan oleh Suyanti dan Marfai (2016) yang memetakan daerah potensi terdampak bahaya

banjir pasang pada gambar (1), (2)., dan (3).


Gambar 1. Kecenderungan Penurunan Tanah
Gambar 2. Peta Multibahaya Kabupaten Demak
Gambar 3. Prediksi Penggunaan Lahan Tergenang
DAFTAR PUSTAKA

Chandra K, R., dan Supriharjo, R. D. 2013. Mitigasi bencana Banjir Pasang di Jakarta Utara.
Jurnal Teknik Pomits. 2(1), C25-C30.

Diposaptono S. B., dan Agung F. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. Bogor: Penerbit Buku Ilmiah Populer

Fadhilah, Suripin dan D. P. Sasongko.2014. Menentkan Tipe Pasang Surut dan Muka Air
Rencana Perairan Laut Kabupaten Bengkulu tengah menggunakan Metode Admiralty.
Maspari-Journal. 6(1) :1-12

Habibie, M.N., Agus H., Nining S.N., Muhammad H., Siswanto., Roni K., Andri R., Rahayu
S.D. 2012.Simulasi Rob Semarang menggunakan Model Hidrdinamika 2D. jjurnal
meteorology dan geofisika. 13(2):103-109.

Kodoatie, Robert J & Sjarief Roestam, 2010. Tata Ruang Air. Penerbit Andi : Yogyakarta

Mahatmawati A, D., M Efendy E., A.D Siswanto. 2009. Perbandingan Fluktuasi Muka Air Laut
Rerata (MLR) di perairan Pantai Utara Jawa Timur denan Perairan Pantai Selatan Jawa
Timur. Jurnal KELAUTAN Universitas Trunojoyo, 2(1)

Meliana, T. 2005. “Studi Daerah Rawan Genangan Akibat Kenaikan Paras Muka Laut dan
Penurunan Muka Tanah di Jakarta Utara”. Bandung: Tugas Akhir Sarjana,
Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Teknologi Bandung.

muhsoni. F.F. 2009. Arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir untuk Pariwisata dengan
memanfaatan Citra Satelit dan Sistem Informasi Geografis di sebagian Bali Selatan.
Jurnal kelautan. 2 (2) ; 1907-9931

Musrifin. 2012. Analisis dan Tipe Pasang Surut Perairan Pulau Jemur Riau. Jurnal Perikanan
dan Kelautan. 40(1).

Nugroho, S. H. 2013. Prediksi Luas Genangan Pasang Surut (Rob) Berdasarkan Analisis Data
Spasial di Kota Semarang, Indonesia. Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi. 4(1)
:71-87

Prasad, N. 2010. Kota Berketahanan Iklim : Pedoman Dasar Pengurangan Kerentanan terhadap
Bencana. Jakarta: Salemba Empat.

Rampengan, R.M. 2013. Tunggang Air Pasang Surut dan Muka Air Laut Rata-rata di Perairan
sekitar Kota Bitung, Sulawesi Utara. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 9(1):17-30

Suhelmi, I. R.2013. Pemetaan Kapasitas Adaptif Wilayah Pesisir Semarang dalam Menghadapi
Genangan Akibat Kenaikan Muka Air Laut dan Perubahan Iklim. Forum Geografi,
27(1):81-92.

Suprijanto, I. 2003. Kerentanan Wilayah Tepi Air terhadap Kenaikan Permukaan Air Laut,
Kasus Wilayah Tepi Air Kota Surabaya. Jurnal Dimensi teknik Arsitektur. 31(1):28-
37
Suryanti, N. W., dan Marfai, M. A. 2016. Analisis Multibahaya di Wilayah kabupaten Demak.
Jurnal Bumi Indonesia. 5(2).

Triadmodjo, B.1999. Teknik Pantai. Beta Offset. Jogjakarta.

Waluyo, A. (2014). Permodelan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Secara
Terpadu yang Berbasis Masyarakat (Studi Kasus Pulau Raas Sumenep Madura). J.
Kelautan. 7 (2):75-85.

Yuwono, B.D., H.Z. Abidin, dan M. Hilmi. 2013. Analisis Geospasial Penyebab Penurunan
Muka Tanah di Kota Semarang. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi.
Semarang

Anda mungkin juga menyukai