DASAR TEORI
Kodoatie (2010), menjelaskan bahwa pesisir merupakan daerah yang berada di tepi
laut dengan batas surut terendah dan pasang tertinggi dimana daerah pantai terdiri atas daratan
dan perairan. Masing – masing wilayah darah pantai masih di pengaruhi oleh aktivitas darat
(daerah perairan) serta marine (daerah daratan), sehingga dapat di simpulkan bahwa kedua
pesisir dari dua sudut panang yaitu sudut pandang akademik keilmuan dan sudut pandang
kebijakan pengelolaan. Dari sudut pandang keilmuan, Muhsoni (2009) mendefinisikan wilayah
pesisir sebagai sabuk daratan yang berbatasan dengan lautan di mana proses dan penggunaan
lahan di darat secara langsung dipengaruhi oleh proses lautan dan sebaliknya. Definisi wilayah
pesisir dari sudut pandang kebijakan pengelolaan meliputi jarak tertentu dari garis pantai ke
arah daratan dan jarak tertentu ke arah lautan. Definisi ini tegantung dari isu yang di angkat dan
faktor geografis yang relevan dengan karakteristik bentang alam pantai (Salim et al., 2011).
penggunaan wilayah pesisir dan sumber daya di dalamnya dari area yang ditentukan, dimana
batas – batas secara politik biasanya dihasilkan melalui keputusan legislatif atau eksekutif
(Suhelmi, 2013).
Banjir Pasang terjadi saat kondisi air laut sedang pasang sehingga menggenangi
kawasan dengan ketinggian lebih rendah dari permukaan air laut pada saat pasang tertinggi.
Tinggi - rendahnya elevasi pasang air laut, dipengaruhi oleh gaya gravitasi. Adanya kenaikan
permukaan air laut dan penurunan muka tanah menyebabkan dampak Banjir Pasang semakin
parah (Habibie et al., 2012). Lama genangan dapat berlangsung berhari-hari bahkan sepanjang
tahun tergantung pada jenuh tidaknya tanah. Pada tanah yang jenuh, genangan dapat terjadi
tingginya Banjir Pasang di akibatnya adanya akumulasi dari tingginya pasang air laut, sea level
rise, winds set-up dan wave set-up. Selain itu, pendangkalan muara menimbulkan efek
sungai.
Pasang surut merupakan proses naik turunnya permukaan air laut secara periodik
dalam interval waktu tertentu. Naik turunnya permukaan air laut diakibatkan oleh gaya gravitasi
benda-benda diangkasa, terutama bulan dan matahari. Besaran nilai massa matahari, bumi, dan
bulan diketahui, maka besarnya gaya pembangkit pasang surut oleh matahari dan bulan juga di
ketahui, maka besarnya gaya pembangkit pasang surut oleh matahari dan bulan dapat dihitung.
sejumlah konstanta harmonik pasang surut (Rampengan, 2013), Meskipun massa bulan lebih
kecil dari massa matahari, namun terhadap bumi jauh lebih dekat. Sehingga pengaruh gaya tarik
bulan bumi 2,2 kali lebih besar daripada matahari (Triadmodjo, 1999).
Periode pasang surut adalah waktu antara puncak atau lembah gelombang ke puncak
atau lembah gelombang berikutnya. Nilai periode pasang surut bervariasi antara 12 jam 15
menit hingga 24 jam 50 menit. pasang purnama (spring tide) terjadi ketika bumi, bulan dan
matahari berada dalam suatu garis lurus. Sehingga menyababkan fenomena pasang tertinggi.
Pasang tersebut terjadi saat bulan baru dan bulan purnama. Sedangkan pasang perbani (neap
tide) terjadi ketika bumi, bulan, dan matahari membentuk sudut tegak lurus. Sehingga
menyebabkan pasang tinggi yang rendah. Pasang surut perbani ini terjadi pada saat bulan ¼ dan
¾ (Musrifin, 2012).
Dilihat dari pola gerakan muka lautnya, Fadhilah et al., (2014) menjelaskan bahwa
pasang surut dibagi menjadi empat jenis yaitu pasang surut harian tunggal (diurnal), harian
ganda (semi diurnal) dan dua jenis campuran (mixed tides). Pada jenis harian tunggal terjadi
satu kali pasang dan satu kali surut dalam sehari, saat spring dapat terjadi dua kali pasang sehari.
Pada jenis harian ganda terjadi dua kali pasang sehari dengan tinggi pasang dan surut yang
relatif sama. Mahamawati et al., (2009) juga menjelaskan bahwa tipe campuran terdapat dua
jenis yaitu campuran tunggal (mixed tide prevalling diurnal) dan campuran ganda (mixed tide
prevalling semi diurnal). Pasang surut campuran tunggal terjadi satu atau dua kali pasang sehari
dengan interval yang berbeda, sedangkan pada campuran ganda terjadi dua kali pasang sehari
dengan perbedaan tinggi dan interval yang berbeda. Dalam sebulan, variasi harian dari rentang
pasang surut berubah secara sistematis terhadap siklus bulan. Rentang pasang surut juga
Nama Periode
Jenis Fenomena
Komponen (jam)
Gravitasi bulan dengan orbit
M2 12,42
ingkaran
Gravitasi matahari dengan orbit
S2 2,00
lingkaran dan sejajar ekuator bumi
Semi-Diurnal
Perubahan jarak bulan ke bumi
N2 12,66 akibat lintasan yang berbentuk
elips
Deklinasi sistem bulan dan
K1 23,93
matahari
Diurnal
O1 25,28 Deklinasi Bulan
Gambar 2. Tipe- tipe Pasang Surut (Triadmodjo, 1999)
Pasang surut bersifat periodik, data amplitudo dan beda fase dari komponen
pembangkit pasang surut dibutuhkan untuk meramalkan pasang surut. Komponen utama pasang
surut terdiri dari komponen tengah dan harian. Namun demikian, adanya interaksi antara bentuk
morfologi pantai dan superposisi antar gelombang pasang surut komponen utama, terbentuk
Kenaikan muka air laut merupakan fenomena naiknya muka air laut terhadap rata-rata
muka laut (titik acu benchmark di darat) akibat pertambahan volume air laut. Perubahan tinggi
permukaan air laut dapat di lihat sebagai suatu fenomena alam yang terjadi secara periodik
maupun menerus. Perubahan secara periodik dapat di lihat dari fenomena pasang surut air laut,
sedangkan kenaikan air laut yang menerus adalah kenaikan muka air laut yang terindentifikasi
dengan SLR (sea level rise) yang dominan di pengaruhi oleh pemuaian thermal (thermal
expansion) sehingga volume air laut bertambah. Selain itu, mencairnya es di kutub dan gletser
juga memberikan kontribusi terhadap perubahan kenaikan muka air laut. Beberapa tahun
terakhir ini, perubahan sea level rise di amati dari stasiun pengukuran pasang surut (Nurmaulia
et al., 2005).
Kenaikan muka air laut memberikan dampak bagi wilayah pesisir dan aktifitas yang
ada dialamnya (suprijanto, 2003). Mimura (2000) dalam Suprijanto (2003) menyatakan bahwa
IPCC memperkirakan pada kurun waktu 100 tahun terhitung mulai tahun 2000, permukaan air
laut akan meningkat setinggi 15-90 cm dengan kepastian setinggi 48 cm. Apabila perkiraan
IPCC tentang kenaikan muka air laut terjadi, maka diperkirakan Indonesia akan kehilangan
2.000 pulau. Hal ini pula yang akan menyebabkan mundurnya garis panai di sebagian besar
wilayah Indonesia.
langsung dan dampak lanjutan dari kenaikan muka air laut. Dampak langsung yang terjadi
adalah peningkatan erosi, meningkatnya frekuensi dan luasan genangan Banjir Pasang pada
wilayah pesisir, peningkatan intensitas banjir, dan intrusi air laut pada air tanah. Adapun
fungsi saran dan prasarana, terganggunya aktifitas perekonomian, dan perubahan perilaku
kehidupan masyarakat selain itu, dampak dapat terjadi secara permanen antara lain perubahan
kondisi ekosistem pantai, meningkatnya erosi, kerusakan infrastruktur yang tergantung pada
tingkat dan jenis pemanfaatan kawasan tepi pantai (Nicholls et al., dalam Nugroho, 2013).
Permukaan tanah merupakan salah satu fenomena yang terjadi di beberapa kota di
Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Pekalongan dan Semarang. Terdapat lima jenis penurunan
permukaan tanah yang dapat terjadi di daerah perkotaan berdasarkan penyebabnya, yaitu
penurunan muka tanah yang disebabkan oleh pengambilan air tanah, pergerakan tektonik,
pembebanan oleh bangunan, pelarutan batuan dan penambangan material pada (Nurdin dalam
Meliana, 2005).
Secara garis besar penurunan tanah bisa disebabkan oleh beberapa hal antara lain
(Whittaker and Reddish, 1989 dalam Yuwono et al., 2013), sebagai berikut :
1. Penurunan tanah alami yang disebabkan oleh proses-proses geologi seperti aktifitas
vulkanik dna tektonik, siklus geologi, adanya rongga di bawah permukaan tanah atau
minyak bumi.
2. Penurunan muka tanah yang disebabkan oleh pengambilan bahan cair dari dalam
3. Penurunan muka yang disebabkan oleh adanya beban-beban berat di atasnya seperti
4. Penurunan muka tanah akibat pengambilan bahan padat dari tanah (aktifitas
penambangan).
II. CONTOH KASUS
2.1 Lokasi
Kabupaten Demak merupakan salah satu wilayah pesisir yang terletak di utara Jawa.
Kabupaten Demak awalnya merupakan salah satu kabupaten yang menjadi lumbung pangan
untuk daerah Jawa Tengah dikarenakan sector pertaniannya yang maju. Sektor pertanian ini
didukung oleh kondisi tanah yang subur dan luasnya lahan pertanian. Akan tetapi telah terjadi
perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi non-pertanian. Letaknya yang
berbatasan langsung dengan Kota Semarang dan berada pada koridor ekonomi Pulau Jawa
menyebabkan perkembangan wilayah ini sangat cepat. Penambahan lahan terbangun ini
memberikan beban tambahan pada tanah, padahal kondisi tanah pada wilayah ini adalah tanah
yang masih muda. Tanah seperti ini masih belum terkonsolidasi dengan baik sehingga
kawasan permukiman dan industri juga menyebabkan meningkatnya aktivitas pemompaan air
tanah, terutama pada kawasan industry dikarenakan kebutuhan airnya yang cukup banyak.
Adanya beban di atas tanah dan rongga tanah akibat pengambilan air tanah kemudian memicu
terjadinya fenomena penurunan muka tanah. Penurunan tanah di wilayah pesisir ini
2.2 Penyebab
Keberadaan gas rumah kaca (GRK) di atmosfer menyebabkan adanya energi panas
yang terperangkap. Hal ini mengakibatkan menghangatnya suhu di bumi. Pemanasan ini
terakhir ini. Akibatnya laut mengembang. Ditambah dengan input dari air akibat pencairan es,
tinggi muka air laut meningkat 2 mm setiap tahunnya (IPCC, 2001). Dalam kurun waktu 100
tahun terhitung mulai tahun 2000 permukaan air laut akan meningkat 15-90 cm (Mimura, 2000
kenaikaan muka air laut sudah mencapai 8 mm per tahunnya Perubahan iklim juga
mempengaruhi dinamika kawasan pesisir. Perubahan iklim global ini diakibatkan oleh aktivitas
antropogenik yang menghasilkan emisi gas rumaah kaca (Prasad, et al 2010). Dampak
perubahan iklim yang paling mempengaruhi Kawasan pesisir adalah adanya ffenomena
kenaikan muka air laut. Kenaikan permukaan laut diakibatkan karena meningkatnya suhu laut
sehingga mencairkan gunung es di greenland dan antartica (Prasad, et al. 2010). Peningkatan
permukaan air laut hingga tahun 2010 mencapai rata-rata 3,2mm pertahunnya sejak 1993
(IPCC, 2014). Kenaikan permukaan air laut menyebabkan tergenangnya lahan basah dan lahan
Menurut BPN Kabupaten Demak telah terjadi alih fungsi lahan sebesar 83363 m2 pada
tahun 2002 dan terus meningkat hingga tahun 2004. Tahun 2007 tercatat terjadi alih fungsi
lahan sebesar 567.864 m2 Sebagian besar lahan pertanian diubah menjadi Kawasan
kawasan industry dan lain sebagainya biasanya berlangsung cepat di wilayah bertopografi.
Banjir Pasang telah menyebabkan kerugian yang besar karena menghambat aktivitas
ekonomi yang ada di Kabupaten Demak ini. Lebih dari 1200 rumah tergenang dan ratusan
memudahkan akses keluar-masuk desa dan aktivitas warga sekitar. Kemudian ditanam
mangrove berukuran kecil untuk meredam gelombang yang datang. Lalu terdapat informasi
yang diberikan BMKG Jawa Tengah tentang jadwal pasang dan surut disetiap wilayah.
Informasi ini dapat diakses warga sekitar dengan mudah, dan sudah ada jadwal
pengumumannya. Upaya mitigasi struktural yang dilakukan oleh warga setempat yaitu dengan
dibangunnya hybrid dari bambu alat pemecah ombak dari karung yang diisi dengan pasir
maupun alat pemecah ombak yang berasal dari ban bekas serta goin namun, hal tersebut kurang
efektif sehingga tidak begitu membantu menghalangi gelombang yang datang.dan seawall yang
berfungsi melindungi daratan sekaligus menjadi sedimen trap untuk membantu terjadinya
bahaya bencana yang ada pada daerah tersebut dan melakukan pembelajaran mengenai
evakuasi saat bencana tersebut terjadi. Selain itu, penambahan Breakwater pada daerah tersebut
juga sangat diperlukan karena masih sedikitnya breakwater di daerah Kabupaten Demak yang
Selain itu juga diperlukan informasi mengenai prediksi wilayah yang terdampak
gelombang pasang yang mengakibatkan banjir pasang di tahun mendatang seperti yang
dilakukan oleh Suyanti dan Marfai (2016) yang memetakan daerah potensi terdampak bahaya
Chandra K, R., dan Supriharjo, R. D. 2013. Mitigasi bencana Banjir Pasang di Jakarta Utara.
Jurnal Teknik Pomits. 2(1), C25-C30.
Diposaptono S. B., dan Agung F. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. Bogor: Penerbit Buku Ilmiah Populer
Fadhilah, Suripin dan D. P. Sasongko.2014. Menentkan Tipe Pasang Surut dan Muka Air
Rencana Perairan Laut Kabupaten Bengkulu tengah menggunakan Metode Admiralty.
Maspari-Journal. 6(1) :1-12
Habibie, M.N., Agus H., Nining S.N., Muhammad H., Siswanto., Roni K., Andri R., Rahayu
S.D. 2012.Simulasi Rob Semarang menggunakan Model Hidrdinamika 2D. jjurnal
meteorology dan geofisika. 13(2):103-109.
Kodoatie, Robert J & Sjarief Roestam, 2010. Tata Ruang Air. Penerbit Andi : Yogyakarta
Mahatmawati A, D., M Efendy E., A.D Siswanto. 2009. Perbandingan Fluktuasi Muka Air Laut
Rerata (MLR) di perairan Pantai Utara Jawa Timur denan Perairan Pantai Selatan Jawa
Timur. Jurnal KELAUTAN Universitas Trunojoyo, 2(1)
Meliana, T. 2005. “Studi Daerah Rawan Genangan Akibat Kenaikan Paras Muka Laut dan
Penurunan Muka Tanah di Jakarta Utara”. Bandung: Tugas Akhir Sarjana,
Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Teknologi Bandung.
muhsoni. F.F. 2009. Arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir untuk Pariwisata dengan
memanfaatan Citra Satelit dan Sistem Informasi Geografis di sebagian Bali Selatan.
Jurnal kelautan. 2 (2) ; 1907-9931
Musrifin. 2012. Analisis dan Tipe Pasang Surut Perairan Pulau Jemur Riau. Jurnal Perikanan
dan Kelautan. 40(1).
Nugroho, S. H. 2013. Prediksi Luas Genangan Pasang Surut (Rob) Berdasarkan Analisis Data
Spasial di Kota Semarang, Indonesia. Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi. 4(1)
:71-87
Prasad, N. 2010. Kota Berketahanan Iklim : Pedoman Dasar Pengurangan Kerentanan terhadap
Bencana. Jakarta: Salemba Empat.
Rampengan, R.M. 2013. Tunggang Air Pasang Surut dan Muka Air Laut Rata-rata di Perairan
sekitar Kota Bitung, Sulawesi Utara. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 9(1):17-30
Suhelmi, I. R.2013. Pemetaan Kapasitas Adaptif Wilayah Pesisir Semarang dalam Menghadapi
Genangan Akibat Kenaikan Muka Air Laut dan Perubahan Iklim. Forum Geografi,
27(1):81-92.
Suprijanto, I. 2003. Kerentanan Wilayah Tepi Air terhadap Kenaikan Permukaan Air Laut,
Kasus Wilayah Tepi Air Kota Surabaya. Jurnal Dimensi teknik Arsitektur. 31(1):28-
37
Suryanti, N. W., dan Marfai, M. A. 2016. Analisis Multibahaya di Wilayah kabupaten Demak.
Jurnal Bumi Indonesia. 5(2).
Waluyo, A. (2014). Permodelan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Secara
Terpadu yang Berbasis Masyarakat (Studi Kasus Pulau Raas Sumenep Madura). J.
Kelautan. 7 (2):75-85.
Yuwono, B.D., H.Z. Abidin, dan M. Hilmi. 2013. Analisis Geospasial Penyebab Penurunan
Muka Tanah di Kota Semarang. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi.
Semarang