PENDAHULUAN
1.4. PERISTILAHAN
Bencana : adalah suatu peritiwa yang terjadi secara tiba – tiba / perlahan
– lahan akibat alam, ulah manusia dan / atau keduanya yang menimbulkan
korban penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan,
kerusakan sarana prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan
terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Bencana Alam : adalah peristiwa alam yang menimbulkan kerusakan
maupun korban baik harta jiwa akibat letusan gunung berapi, gempa bumi,
tanah longsor, gelombang pasang, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, angin
kencang / topan / badai, tsunami, hama hutan, kerusakan flora, dan fauna
( kerusakan ekologi ), dan lain – lain.
Adapun hal – hal yang terkait dengan lingkungan dan kegiatan pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan laut ang perlu untuk dikelola dengan baik adalah :
1. Lingkungan biofisik,
2. Habitat dan imfrastruktur penting,seperti mangrove, pulau – pulau
kecil, estuari, terumbu karang, dan industri minyak lepas pantai,
3. Aspek sosial ekonomi, yaitu populasi penduduk dan tenag kerja, profil
kelembagaan dan hukum, kegiatan perekonomian dan pembangunan,
4. Aspek pembangunan, seperti pembangunan dermaga, pelabuhan, dan
lain – lain,
5. Aktifitas ekonomi, seperti industri migas, perikanan budidaya dan
tangkap, huta Produksi ( mangrove ), pertambangan, wisata, dan
perhubungan,
6. Bencana alam, seperti erosi pantai, badai, pasang tinggi, gempa,
tsunami, dan bajir.
Dari komponen – komponen tersebut di atas, maka ada tiga tujuan utama
dari pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu ini, yaitu :
1. Tujuan pertama
Melindungi integritas ekologi dari ekosistem pesisir. Beberapa ekosistem
berada dalam kondisi ekstrim seperti hempsan angin, konsentrasi salinitas
yang tinggi, dan kisaran perubahan temperatur air yang tinggi. Namun
demikian, pada saat yang sama, suatu ekosistem juga mendapatkan suplai
nutrisi yang cukup banyak dari aliran air sungai, kecukupan sinar matahari
pada perairan dangkal mendukung produktivitas perairan. Dengan kondsi
– kondisi seperti itu, maka pelaksanaan pengelolaan pesisir harus
memperhatikan nuansa – nuansa ekolagis dari ekosistem pesisir tersebut.
2. Tujuan kedua
Mencegah, kelebihan material – material yang sifatnya merusak dan
mencegah hilangnya sumbfrdaya akibat bencana seperti pasang yang
ekstrim, ombak besar, badai, banjir, gempa bumi, tsunami, dan abrasi
pantai.
3. Tujuan ketiga
Mengurangi dampak negatif pembangunan prasarana fisik di daerah
pesisir yang dapat merusak / mengganggu keseimbangan ekositem pesisir.
4. Tujuan keempat
Membantu dalam menentukan kelayakan kegiatan pembangunan dan
pemafaatan wilayah dan sumberdaya pesisir dan laut bagi kepentingan
manusia seperti perikanan, budidaya, pelabuhan, industri, perumahan,
dan kawasan rekreasi.
Pembuatan peta bahaya erosi harus meliputi imformasi tentang profil garis
pantai serta tingkat erosinya, faktor dominan penyebab erosi, kondisi
topografi dan geologi garis pantai dan karakteristik gumuk pasir. Sumber
sedimen yang berasal dari aliran sungai juga perlu digambarkan dalam peta
tersebut. Hal ini diperlukan sebagai bahan analis proses tranportasi sedimen
secara makro.
m = 2,61 M – 18,44
.
Suatu gempa yang terjadi di dasar laut dengan magnitudo M = 9,0,akan
menghasilkan magnitudo tsunami m = 5,0 dengan tinggi gelombang tsunami
pantai sebesar > 32 meter dengan energi gelombang sebesar 25,6 x 10 23 erg.
5 25,6 >32
4,5 12,8 24-32
4 6,4 16-24
3,5 3,2 12-16
3 1,6 8-12
2,5 0,8 6-8
2 0,4 4-6
1,5 0,2 3-4
1 0,1 2-3
0,5 0,05 1,5-2
0 0,025 1-1.5
-0,5 0,0125 0,75-1
-1 0,006 0,50-0,075
-1,5 0,003 0,30-0,50
-2 0,0015 <0,30
.
3.2.1. Identifikasi Daerah Rawan Tsunami
Informasi lain dari Peta Bahaya Tsunami tersebut meliputi antara lain :
karakteristik pembangkit yang dapat menimbulkan gelombang tsunami,
kecepatan tinggi dan arah gelombang, pola arus energi gelombang tsunami
serta jenis ancaman tsunami (jarak dekat/ jarak jauh).
Informasi kejadian gempa bumi, letusan gunung api serta longsor dasar
laut yang dapat menimbulkan bencana tsunami perlu dikaji lebih lanjut
mengingat tidak semua kejadian gempa bumi, letusan gunung api maupun
longsoran dasar laut dapat menimbulkan tsunami. Selain itu mengingat
ancaman tsunami ada yang jarak dekat maupun jarak jauh maka informasi
tentang potensi terjadinya gempa bumi di negara lain
Yang dapat memicu terjadinya gelombang tsunami di Indonesia juga perlu
dikaji lebih mendalam.
2. Buatan,
a) Pembangunan breakwater, seawall, pemecah gelonbang sejajar
pantai untuk menahan tsunami,
b) Meperkuat desain bangunan serta infrastrutur lainnya dengan
kaidah teknik bangunan tahan bencan tsunami dan tata ruang
akrab bencana, dengan mengembangkan beberapa insentif,
antara lain :
Retroritting: agar kondisi bangunan pemukiman
memenuhi kaidah teknik bangunan tahan tsunami,
Relokasi: salah satu aspek yang menyebabkan daerah
rentan bencana adalah kepadatan pemukiman yang
cukup tinggi sehingga tidak ada ruang publik yang
dapat dipergunakan untuk evakuasi serta terbatasnya
mobilitas masyarakat. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah mrmindahkan sebagian pemukiman
ke lokasi lain, dan menata kembali pemukuman yang
ada yang mengacu kepada konsep kawasan pemukiman
yang akrab bencana.
Informasi tsunami dan gempa bumi pada sistem monitoring terdiri dari
beberapa proses sbelum menjadi peringatan yaitu proses deteksi, perhitungan
hypocenter, perkiraan tsunami, perkiraan resiko dan peringatan. Sistem
pengamatan Badan Meteorologi dan Geofísika (BMG) Semarang ini
memerlukan waktu 30 menit sampai 3 jam untuk menyelesaikan data diatas.
Saat ini BMG yang menpunyai tugas memantau aktivitas grmpa bumi dan
tsunami mengoperasikan jeringan pemantau gempa bumi yang terdiri dari 58
sensor. Sistem pemantauan tersebut dibagi menjadi 5 (lina) Wilayah Jaringan
Regional yang berpusat di Medan, Ciputat (Jakarta), Denpasar, Macasar dan
Jayapura. Walau demikian tidak tertutup kemungkinan bahwa Pemerintah
Daerah maupun Perguruan Tinggi memiliki jeringan seisnograf.
Sistem peringatan dini untuk tsunami lokal akan efektif jika mekanisme
komunukasi dan diseminasi hasil pemantauan terjadinya aktifitas gempa
bumi, longsoran dasar laut serta letusan gunung api yang dapat memicu
terjadinya gelombang tsunami dapat secara langsung diterima masyarakat.
Problem banjir secara garis besar disebabkan oleh keadaan alam dan
ulah cambur tangan manusia sehingga dalam pemecahannya tidak hanya
dihadapkan pada masalah – masalah teknik saja tetepi juga oleh masalah –
masalah yang berhubungan dengan kepadatan penduduk yang melampaui
batas. Yang dimaksut dengan keadaan alam disini adalah kondisi kota – kota
pantai yang umumnya terletak didataran pantai yang cukup landai dan dilalui
oleh sungai – sungai sehingga ketika pasang naik sebagian wilayah itu akan
berada dibawah permukaan air laut. Selain itu curah hujan yan cukup tinggi
dan fenomena paras muka air laut ( sea level eise ) juga merupakan sebab –
sebab yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas banjir.
Sistem peringatan dini secara garis besar terdiri dari komponen sebagai
berikut:
d. Perangkat Lunak Hukum berupa SOP dan RTD. Perangkat ini mengatur
informasi apa yang harus disampaikan, kapan dan kepada siapa.
Pada saaat terjadi gempa bumi, tanah dibawah fondasi bangunan akan
bergetar hebat secara random dalam arah 3 dimensi selama 0,5 s/d 1,5 menit
dan getaran tersebut akan menjalar kebangunan diatasnya sambil mengalami
amplifkasi. Komponen percepatan getaran arah vertikal lazimnya relatif lebih
kecil dibanding komponen harizontalnya. Akhibatnya elemen – elemen
pembentuk sreuktur bangunan apabila tidak disambung dengan baik,
cenderung akan saling terpisahkan. Tipikal kerusakan non-engineered
buildings akibat gempa, yang menjadi pemicu keruntuhan dan lazimnya
mengakibatkan korban jiwa karena tertimpa reruntuhan bangunan, umumnya
dapat dikategorikan menjadi sebagai berikut :
gempa maupun bencana alam lainnya yang terjadi pada masa lalu telah
banyak menghancurkan maupun merusak sarana dan prasarana kota dan desa
serta menyebabkan kehilangan jiwa, harta dan benda, selain tentunya telah
menyebabkan pederitaan bagi masyarakat yang terkena bencana. Beberapa
faktor penyebab banyaknya korban jiwa serta kerugian harta benda terutama
adalah kurangnya kemampuan pemahaman mengenai bencana serta kesiapan
dalam mengantisipasi bencana. Hal lainnya adalah pembangunan infrastruktur
yang tidak mengikuti kaedah-kaedah bangunan tahan gempa.
Dari peta zonasi kegempaan Indonesia terlihat bahwa sekitar 290 kota
atau 60 % dari 481 kota di Indonesia terletak pada wilayah yang cukup rawan
terhadap gempa dan sebagian besar dari kota – kota tersebut berada pada
daerah pesisir.
Low cost roof retrofitting, terutama struktur atapnya yang rentan terhadap
kerusakan akibat angin topan/badai
b. Upaya Mitigasi Bencana Angin Topan / Badai Non Struktural
Intrusi air laut ke darat juga merupakan masalah serius bagi kota-kota
pantai. Adanya pemanfaatan air tanah yang tidak memperhitungkan
keseimbangan, mengakibatkan turunnya permukan air tanah yang selanjutnya
memberikan tingkat kemudahan bagi terjadinya intrusi air laut ke darat.
Dengan adanya SLR juga mengakibatkan vulume air laut yang mendesak ke
dalam sungai akan semakin besar. Air laut yang mendesak masuk jauh ke
darat melalui sungai ini merupakan masalah bagi kota-kota pantai yang
mengantungkan air bakunya dari sungai.
Bencana kenaikan muka air laut (SLR) maupun bencana alam lainnya
yang terjadi pada masa lalu telah banyak menghancurkan maupun merusak
sarana dan prasarana kota dan desa serta menyebabkan kehilanan jiwa, harta
dan benda, selain tentunya telah menyebabkan penderitaan bagi masyarakat
yang tertimpa bencana. Beberapa faktor penyebab banyaknya korban jiwa
serta kerugian harta benda terutama adalah kurangnya kemampuan
pemahaman memgenai bencana serta kesiapan dalam mengantisipasi bencana.
Gelombang angin dari laut, baik yang berupa gelombang sea maupun
swell yang menuju pantai akan pecah pada kedalaman laut kira-kira 1,25 kali
tinggi gelombang. Pada waktu gelombang pecah, akan terjadi penurunan
elevasi muka air laut diam di sekitar lokasi gelombang pecah. Kemudian dari
titik dimana gelombang itu pecah, permukaan air laut merata miring keatas ke
arah pantai. Naiknya muka air laut di pantai ini disebut wave set-up.
Secara non fisik (non struktural), beberapa upaya mitigasi yang bisa
ditempuh meliputi:
1. Membuat peta daerah rawan gelombang pasang. Dari peta ini bisa
diketahui daerah mana saja yang rawan terhadap bencana gelombang
pasang.
2. Memberikan penyuluhan dan penyadaran kepada masyarakat pesisir
mengenai berbagai aspek terkait dengan bencana gelombang pasang.
3. Mengembangkan sistem peringatan dini terhadap bencana gelombang
pasang.
Kekeringan maupun bencana alam lainnya yang terjadi pada masa lalu
telah banyak menghancurkan maupun merusak sarana dan prasarana kota dan
desa serta menyebabkan kehilangan jiwa, harta dan benda, selain tentunya
telah menyebabkan penderitaan bagi masyarakat yang tertimpa bencana.
Beberapa faktor penyebab banyaknya korban jiwa serta kerugian harta benda
terutama adalah kurangnya kemampuan pemahaman mengenai bencana serta
kesiapan dalam mengantisipasi bencana.
1. Pembangunan waduk.
2. Pembuatan sumur-sumur resapan.
Longsor merupakan suatu gerakan tanah dimana satu masa tanah, batu,
dan material campuran yang bergerak disepanjang lereng gunung terutama di
wilayah pulau-pulau kecil. Bencana longsor di Indonesia tersebar mengikuti
penyebaran jalur gempa, patahan dan sebaran gunung api baik gunung api
aktif maupun tidak aktif. Karena daerah tersebut bergunung-gunung berlereng
terjal dengan batuan yang umumnya kurang kuat dan tanah penutupnya
lembek dan tebal sehingga berpotensi untuk terjadi longsor terutama bila
terjadi hujan dan gempa.
a. Hujan
b. Lereng Terjal
c. Tanah tebal dan lembek serta batuan kurang kuat
d. Lahan basah
e. Getaran
f. Susut muka air danau atau bendungan
g. Adanya beban tambahan sepewrti beban bangunan
h. Pengikisan / erosi
i. Adanya material timbunan pada tebing
j. Bekas longsoran lama
Bencana longsor maupun bencana alam lainnya yang terjadi pada masa
lalu telah banyak menghancurkan maupun merusak sarana dan prasarana kota
dan desa serta menyebabkan korban jiwa, harta dan benda, selain tentunya
telah menyebabkan penderitaan bagi masyarakat yang tertimpa bencana.
Beberapa faktor penyebab banyaknya korban jiwa serta kerugian harta benda
terutama adalah kurangnya kemampuan pemahaman mengenai
bencana serta kesiapan dalam mengantisipasi bencana.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 September 2004
WIDI A. PRATIKTO
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih dan penghargaan ini juga saya sampaikan kepada
berbagai pihak yang karena keterbatasan kami tidak dapat menyebutkan satu
per satu sebagaimana di atas.
Tersusunnya Pedoman ini tidak lepas dari partisipasi aktif berupa kritik
maupun saran-saran yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan materi
yang telah di berikan oleh saudara-saudara sekalian. Semoga usaha dan kerja
keras saudara dapat bermafaat bagi terlaksananya progam pengembangan
pesisir dan pantai di Indonesia dan membantu dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat pesisir.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 19 Mei 2003
WIDI A. PRATIKTO
KEPUTUSAN
DIREKTUR JENDERAL PRSISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
NOMOR : SK – 25 A / P3K / V /2003
TENTANG
PEMBENTUKAN TIM
PENYUSUN PEDOMAN UMUM
MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR
MEMUTUSKAN
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 19 Mei 2003
Widi A. Pratikto
Lampiran Keputusan Direktur Jenderal
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Nomor : SK- 25A/P3K/V/2003
Tanggal : 19 Mei 2003
PENGARAH
Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
TIM TEKNIS
Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 19 Mei 2003
Widi A. Pratikto