Anda di halaman 1dari 46

POTENSI

DAN MITIGASI BENCANA DI LAUT


Kondisi geografis dan geologis Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau berpotensi
mengalami bencana alam diantaranya:
- Gempa bumi tektonik
- Tsunami
- Angin topan/badai
- Banjir
- Gunung berapi
- Tanah longsor
- Faktor non alam seperti berbagai akibat kegagalan teknologi dan ulah manusia.
Istilah-istilah

 Bencana adalah suatu peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba/perlahan-


lahan akibat alam, ulah manusia dan/atau keduanya yang
menimbulkan korban penderitaan manusia, kerugian harta benda,
kerusakan lingkungan, kerusakan sarana prasarana dan fasilitas
umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan
penghidupan masyarakat.

 Mitigasi adalah tindakan-tindakan untuk mengurangi atau


meminimalkan dampak dari suatu bencana terhadap masyarakat.
Mitigasi merupakan investasi jangka panjang bagi kesejahteraan
semua lapisan masyarakat. Mitigasi dapat bersifat struktural ataupun
non struktural.

 Abrasi adalah erosi pada material masif seperti batu atau karang

 Erosi adalah pengurangan daratan atau mundurnya garis pantai


 Bencana alam adalah peristiwa alam yang menimbulkan kerusakan baik harta maupun jiwa
akibat letusan gunung berapi, gempa bumi, tanah longsor, gelombang pasang, banjir,
kekeringan, kebakaran hutan, angin kencang/topan/badai, tsunami, hama hutan, kerusakan flora
dan fauna (kerusakan ekologi), dan lain lain.

 Bencana ulah manusia adalah peristiwa bencana yang disebabkan oleh ulah manusia seperti
kebakaran, kecelakaan massal di darat/laut/udara, pencemaran lingkungan oleh limbah manusia
dan industri, wabah penyakit manusia/hewan/tumbuhan, pembangunan infrastuktur yang tidak
memperhatikan dampak lingkungan, dan lain-lain.

 Penanggulangan Bencana (Disaster Management) adalah suatu proses yang dinamis, terpadu
dan berkelanjutan untuk meningkatkan langkah-langkah yang berhubungan dengan
penanganan, merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi pencegahan (preventive), mitigasi
(mitigation), kesiapsiagaan (preparedness), tanggap darurat (response), rehabilitasi
(rehabilitation) atau evakuasi (evacuation) dan pembangunan kembali (development).

 Kesiapsiagaan adalah segala upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk


menghadapi/mengantisipasi (tanggap darurat) bencana lingkungan yang mungkin terjadi pada
skala nasional, regional dan lokal.
 Pemulihan adalah suatu proses untuk membantu masyarakat yang terkena bencana termasuk sarana
dan prasarana agar segara berfungsi kembali, memulihkan tata kehidupan serta kemampuan
masyarakat dalam menghadapi bencana berdasarkan asas kemandirian agar kembali mampu
melaksanakan fungsi-fungsinya dengan sebaik-baiknya. Rehabilitasi ekologi lingkungan adalah
proses perbaikan habitat ekosistem sehingga ekosistem tersebut dapat kembali berfungsi dengan
baik.

 Rekonstruksi adalah pembangunan kembali yang dilakukan untuk meningkatkan keadaan


kehidupan dan penghidupan masyarakat dalam menghadapi bencana dengan membangun kembali
sarana dan prasarana di lokasi bencana sehingga menjadi lebih baik dari keadaan sebelum
terjadinya. Rekonstruksi ekologi dilakukan untuk menciptakan habitat yang kondusif terhadap
pemulihan kondisi flora (vegetasi) dan fauna.

 Tanggap Darurat adalah suatu atau serangkaian kegiatan dan upaya pemberian bantuan kepada
korban bencana berupa bahan makanan, obat-obatan, penampungan sementara, serta mengatasi
kerusakan secara darurat supaya dapat berfungsi kembali. Tanggap darurat ekologi adalah
serangkaian kegiatan untuk memantau kondisi ekologis setempat serta memberikan gambaran
kerusakan ekologi yang ada.

 Mikrozonasi (Risk Mapping) adalah serangkaian kegiatan untuk mendukung pengkajian resiko
bencana baik fisik maupun ekologis suatu kawasan secara rinci termasuk didalamnya kegiatan-
kegiatan pengumpulan data (sekunder maupun survei di lapangan), analisa dan penyajian dalam
bentuk peta resiko.
Kebijakan, Strategi dan Landasan Operasional
Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir
Ring of Fire merupakan rangkaian pegunungan Sirkum Pasifik atau Cincin Api adalah sebuah area di
cekungan Samudera Pasifik. Area ini membentang sejauh 40.000 km dan membentuk tapal kuda.
Sebagian besar wilayah Indonesia terletak pada jalur gempa bumi aktif di dunia akibat pertemuan tiga
lempeng tektonik (lempeng samudera Indo-Autralia, lempeng Benua Eurasia dan Lempeng Samudera
Pasifik). Wilayah Asia merupakan wilayah yang cukup rawan terhadap berbagai bencana alam (Center
for Research on the Epidemiology of Disaster (CERD)).

Indonesia terletak di jalur Ring of Fire


Kebijakan Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir

Tujuan :
• Mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya bagi
penduduk di wilayah pesisir, seperti korban jiwa, kerugian ekonomi dan
kerusakan sumberdaya alam.
• Mengurangi dampak negatif terhadap kualitas keberlanjutan ekologi dan
lingkungan di wilayah pesisir akibat bencana alam maupun buatan.
• Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan wilayah pesisir.
• Meningkatkan pengetahuan masyarakat pesisir dalam menghadapi serta
mengurangi dampak/resiko bencana.
• Meningkatkan peran serta pemerintah baik pusat maupun daerah, pihak swasta
maupun masyarakat dalam mitigasi bencana di wilayah pesisir.
Strategi Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir

Secara filosofis, penanggulangan bencana di wilayah pesisir dapat ditempuh melalui


strategi sebagai berikut :

a. Pola protektif, yaitu dengan membuat bangunan pantai secara langsung “menahan
proses alam yang terjadi”.
b. Pola adaptif, yakni berusaha menyesuaikan pengelolaan pesisir dengan perubahan
alam yang terjadi
c. Pola mundur (retreat) atau do-nothing, dengan tidak melawan proses dinamika alami
yang terjadi, tetapi “mengalah” pada proses alam dan menyesuaikan peruntukan
sesuai dengan kondisi perubahan alam yang terjadi.
Landasan Operasional

Kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia didasarkan pada asas - asas sebagai berikut :
a. Kebersamaan dan kesukarelaan
b. Preventif dan kuratif
c. Koordinasi, kontinuitas dan Integrasi
d. Kemandirian
e. Cepat dan tepat
f. Prioritas
g. Kesiapsiagaan
h. Kesemestaan

Prinsip - prinsip pengelolaan kawasan pesisir bertujuan untuk (Intergoverment Panel of Climate
Change, 1990) :
a. Menghindari pengembangan di daerah ekosistem yang rawan dan rentan,
b. Mengusahakan agar sistem perlindungan alami tetap berfungsi dengan baik
c. Melindungi keselamatan, harta benda dan kegiatan ekonominya dari bahaya yang datang dari
laut, dengan tetap memperhatikan aspek ekologi, kultur, sejarah, estetika dan kebutuhan
manusia akan rasa aman serta kesejahteraan.
Pendekatan Pengelolaan Pesisir Terpadu (PPT)

Konsep PPT merupakan konsep pembangunan terpadu, yang melibatkan semua


pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat, dan swasta) di kawasan pesisir.
Konsep PPT ini diharapkan para pengambil kebijakan di wilayah pesisir dapat
mengelola pembangunan yang sifatnya multisektor berserta dampak kumulatifnya
dalam batas-batas keseimbangan yang dapat ditoleransi oleh masyarakat dan
lingkungan (daya dukung lingkungan dan sosial).

Keseimbangan dicapai melalui tiga komponen penting yaitu :


1. Keseimbangan ekologis,
2. Keseimbangan pemanfaatan, dan
3. Keseimbangan dalam pencegahan bencana (mitigasi).
Hal-hal yang terkait dengan lingkungan dan kegiatan pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan laut yang perlu untuk dikelola dengan baik adalah :

 Lingkungan biofisik
 Habitat dan infrastruktur penting, seperti mangrove, pulau-pulau kecil,
estuari, terumbu karang, dan industri minyak lepas pantai
 Aspek sosial ekonomi, yaitu populasi penduduk dan tenaga kerja, profil
kelembagaan dan hukum, kegiatan perekonomian dan pembangunan
 Aspek pembangunan, seperti pembangunan dermaga, pelabuhan, dan
lain-lain
 Aktivitas ekonomi, seperti industri migas, perikanan budidaya dan
tangkap, hutan produksi (mangrove), pertambangan, wisata, dan
perhubungan
 Bencana alam, seperti erosi pantai, badai, pasang tinggi, gempa, tsunami,
dan banjir.
Tujuan pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu ini, yaitu :

 Melindungi integritas ekologi dari ekosistem pesisir. Beberapa ekosistem berada dalam
kondisi ekstrim seperti hempasan angin, konsentrasi salinitas yang tinggi, dan kisaran
perubahan temperatur air yang tinggi. Namun demikian, pada saat yang sama, suatu
ekosistim juga mendapatkan suplai nutrisi yang cukup banyak dari aliran air sungai,
kecukupan sinar matahari pada perairan dangkal yang mendukung produktivitas perairan.

 Mencegah kelebihan material-material yang sifatnya merusak dan mencegah hilangnya


sumberdaya akibat bencana seperti pasang yang ekstrim, ombak besar, badai, banjir,
gempa bumi, tsunami, dan abrasi pantai.

 Mengurangi dampak negatif pembangunan prasarana fisik di daerah pesisir yang dapat
merusak/mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir.

 Membantu dalam menentukan kelayakan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan


wilayah dan sumberdaya pesisir dan laut bagi kepentingan manusia seperti perikanan,
budidaya, pelabuhan, industri, perumahan, dan kawasan rekreasi.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan adanya keterpaduan yang mencakup aspek-
aspek :

• Keterpaduan Perencanaan Sektor Secara Horisontal


Memadukan perencanaan dari berbagai sektor, seperti sektor pertanian, sektor kehutanan dan konservasi
yang berada di hulu, sektor perikanan, sektor pariwisata, sektor perhubungan laut, sektor industri maritim,
sektor pertambangan lepas pantai, sektor konservasi laut, dan sektor pengembangan kota, yang berada dalam
satu tingkat pemerintahan yaitu kabupaten/kota, propinsi, atau pemerintah pusat.

• Keterpaduan Perencanaan Secara Vertikal


Meliputi Keterpaduan kebijakan dan perencanaan mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota,
Propinsi, sampai Nasional.

• Keterpaduan Ekosistem Darat dengan Laut.


Perencanaan pengelolaan pesisir terpadu diprioritaskan dengan menggunakan kombinasi pendekatan batas
ekologis misalnya daerah aliran sungai (DAS), dan wilayah administratif Propinsi, Kabupaten/Kota, dan
Kecamatan sebagai basis perencanaan. Sehingga dampak dari suatu kegiatan di DAS, seperti kegiatan
pertanian dan industri perlu diperhitungkan dalam pengelolaan pesisir.

• Keterpaduan Sains dengan Manajemen


Pengelolaan Pesisir Terpadu perlu didasarkan pada input data dan informasi ilmiah yang valid untuk
memberikan berbagai alternatif dan rekomendasi bagi pengambil keputusan dengan mempertimbangkan
kondisi, karakteristik sosial-ekonomi budaya, kelembagaan dan bio-geofisik lingkungan setempat.
Mitigasi Bencana Alam
Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilakukan secara :
– Struktural : upaya teknis, baik secara alami maupun buatan, yang dapat mencegah atau
memperkecil kemungkinan timbulnya bencana dan dampaknya
– Non struktural : upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan
tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural
maupun upaya lainnya.

Instansi/kelembagaan yang terkait dengan upaya mitigasi bencana struktural dan non struktural
antara lain:
• Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
• Departemen Perhubungan, Kementerian Informasi dan Komunikasi
• Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal)
• LAPAN
• Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
• LIPI
• Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)
• Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Perencanaan mitigasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada tingkat
nasional dapat dilakukan melalui:
1. Identifikasi daerah bencana melalui pengumpulan data dan informasi,
2. Kelayakan program ditinjau dari segi analisis dampak lingkungan,
3. Keterpaduan program antar sektor dalam pengembangan daerah pesisir
skala besar,
4. Pengaturan tingkat keamanan hunian masyarakat pesisir,
5. Memprioritaskan faktor keamanan dalam pengembangan program di
wilayah pesisir dengan meminimalkan resiko, dan
6. Prioritas penggunaan ruang sesuai dengan karakteristik lokasi (lingkungan
dan masyarakat).
Bencana Erosi Pantai
Erosi pantai diakibatkan:
• Gerakan gelombang pada pantai terbuka
• Proses alami (angin, gelombang, arus, pasang surut dan sedimentasi),
• Aktivitas manusia (pembangunan pelabuhan, reklamasi pantai untuk permukiman, pelabuhan
udara dan industri serta penambangan pasir

Identifikasi Daerah Rawan Erosi Pantai

Analisis Bahaya Erosi Pantai

Tujuan : untuk mengidentifikasi lokasi yang akan terkena erosi. Erosi biasanya terjadi dalam waktu
yang relatif lama dengan beberapa faktor penyebab yang dominan, antara lain:
• Gelombang
• Arus
• Angin dan panas
• Kondisi topografi dan geologi pantai

Pembuatan peta bahaya erosi harus meliputi informasi tentang profil garis pantai serta tingkat erosinya,
faktor dominan penyebab erosi, kondisi topografi dan geologi garis pantai dan karakteristik gumuk
pasir, serta sumber sedimen yang berasal dari aliran sungai.
Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Erosi Pantai

Tujuan : untuk mengidentifikasi dampak terjadinya erosi, berupa kerugian ekonomi, baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang diakibatkan rusak/hancurnya kawasan
pemukiman, sarana dan prasarana serta kegiatan ekonomi lainnya seperti pariwisata, industri,
pertanian, perikanan dan lain-lain.

Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Erosi Pantai

Tujuan : untuk mengidentifikasi kemampuan Pemerintah serta masyarakat pada umumnya


untuk merespon terjadinya bencana erosi sehingga mampu mengurangi dampaknya.
Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari 3 (tiga) aspek, yaitu (i) jumlah
tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat dalam
evakuasi dan penyelamatan, dan (iii) ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk
evakuasi.
Mitigasi Bencana Erosi Pantai

Upaya mitigasi bencana erosi memerlukan biaya yang cukup besar, baik dalam proses
pembangunan maupun dalam operasional serta pemeliharaannya. Untuk itu pelibatan
masyarakat serta dunia usaha yang mengelola kawasan pantai untuk ikut serta dalam
upaya mitigasi bencana erosi, khususnya dalam operasional dan pemeliharaan, sangat
diperlukan.

Upaya Mitigasi Bencana Erosi Pantai Struktural

Tujuan : menjaga keseimbangan proses transpor sedimen di sepanjang garis pantai melalui
upaya antara mengurangi/menahan energi gelombang yang mencapai garis pantai, memperkuat
struktur geologi garis pantai, maupun menambah suplai sedimen.

Upaya mitigasi struktural tersebut dapat dikelompokkanmenjadi 2 (dua) kelompok yaitu :


1. Secara alami, seperti penanaman green belt (hutan pantai atau mangrove), penguatan
gumuk pasir dengan vegetasi dan lain-lain.
2. Secara buatan, seperti pembangunan dinding penahan gelombang, pembangunan groin
dan lain-lain.
Upaya Mitigasi Bencana Erosi Pantai Non Struktural

Merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang
kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun
upaya lainnya. Upaya mitigasi bencana erosi non struktural adalah sebagai berikut :
1. Peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana alam
2. Pembuatan standarisasi dan metoda perlindungan pantai
3. Penyusunan sempadan garis pantai
4. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Erosi
5. Pantai
Bencana Tsunami

Tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu tsu = pelabuhan dan nami = gelombang.
Jadi tsunami berarti pasang laut besar di pelabuhan.

Secara singkat tsunami dapat dideskripsikan sebagai gelombang laut dengan periode
panjang yang ditimbulkan oleh suatu gangguan impulsif yang terjadi pada medium
laut, seperti gempa bumi, erupsi vulkanik atau longsoran (land-slide).

Gangguan impulsif pembangkit tsunami biasanya berasal dari tiga sumber utama,
yaitu :
• Gempa didasar laut
• Letusan gunung api didasar laut
• Longsoran yang terjadi di dasar laut.
Proses terjadinya Tsunami
Di Indonesia terdapat beberapa kelompok pantai yang rawan bencana tsunami, yaitu:
 Pantai Barat Sumatera
 Pantai Selatan Pulau Jawa
 Pantai Utara dan Selatan pulau-pulau Nusa Tenggara
 Pulau-pulau di Maluku
 Pantai utara Irian Jaya
 Hampir seluruh pantai di Sulawesi

Tsunami yang terjadi di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh gempa-gempa tektonik di
sepanjang daerah subduksi dan daerah seismik aktif lainnya. Selama kurun waktu 1600–1999
terdapat 105 kejadian tsunami dimana 90% disebabkan oleh gempa-gempa tektonik, 9 %
disebabkan oleh letusan gunung api dan 1 % disebabkan oleh longsoran. Rata-rata interval
waktu kejadian tsunami adalah 10 tahun.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh gelombang tsunami dikelompokan menjadi beberapa tipe :
 Kerusakan struktural bangunan akibat gaya hidrodinamik gelombang
 Keruntuhan struktur bangunan karena fondasinya tergerus air laut yang amat deras
 Kerusakan struktural bangunan akibat hantaman benda-benda keras, seperti kapal dan
semacamnya yang terbawa oleh gelombang.
Identifikasi Daerah Rawan Tsunami C

Analisis Bahaya Tsunami

Daerah bahaya tsunami dapat di identifikasi dengan 2 metode :

 Mensimulasikan hubungan antara pembangkit tsunami (gempa bumi, letusan gunung api,
longsoran dasar laut) dengan tinggi gelombang tsunami. Dari hasil simulasi tinggi gelombang
tsunami tersebut kemudian disimulasikan/dioverlay lebih lanjut dengan kondisi tata guna,
topografi, morfologi dasar laut serta bentuk dan struktur geologi lahan pesisir.

 Memetakan hubungan antara aktivitas gempa bumi, letusan gunung api dan longsoran dasar laut
dengan terjadinya gelombang tsunami berdasarkan sejarah terjadinya tsunami. Dari hasil analisa
tersebut kemudian diidentifikasi dan dipetakan lokasi yang terkena dampak gelombang tsunami.
Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Tsunami

Tujuan : mengidentifikasi dampak terjadinya tsunami berupa jumlah korban jiwa dan kerugian ekonomi,
baik dalam jangka pendek berupa hancurnya pemukiman infrastruktur, sarana dan prasarana serta
bangunan lainnya, maupun jangka panjang berupa terganggunya roda perekonomian akibat trauma
maupun kerusakan sumber daya alam lainnya.
Aspek analisa kerentanan antara lain :
• Tingkat kepadatan pemukiman di daerah rawan tsunami
• Tingkat ketergantungan perekonomian masyarakat pada sektor kelautan,
• Keterbatasan akses transportasi untuk evakuasi maupun penyelamatan
• Keterbatasan akses komunikasi
• Komposisi usia masyarakat
• Tingkat pendidikan

Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Tsunami

Tujuan : mengidentifikasi kemampuan Pemerintah serta Masyarakat pada umumnya untuk merespon
terjadinya bencana tsunami sehingga mampu mengurangi dampaknya.

Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari aspek : (i) jumlah tenaga kesehatan
terhadap jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan,
dan (iii) ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.
Mitigasi Bencana Tsunami

Upaya Mitigasi Bencana Tsunami Struktural

Merupakan upaya teknis yang bertujuan untuk meredam/mengurangi energi gelombang tsunami
yang menjalar ke kawasan pantai. Upaya yang dilakukan:

1. Alami, seperti penanaman green belt (huran pantai atau mangrove), di sepanjang kawasan
pantai dan perlindungan terumbu karang
2. Buatan
a. Pembangunan breakwater, seawall, pemecah gelombang sejajar pantai untuk menahan
tsunami
b. Memperkuat desain bangunan serta infrastruktur lainnya dengan kaidah teknik bangunan
tahan bencana tsunami dan tata ruang akrab bencana, dengan mengembangkan beberapa
insentif, antara lain:
 Retrofitting: agar kondisi bangunan permukiman memenuhi kaidah teknik bangunan tahan
tsunami
 Relokasi: salah satu aspek yang menyebabkan daerah rentan bencana adalah kepadatan
permukiman yang cukup tinggi sehingga tidak ada ruang publik yang dapat dipergunakan
untuk evakuasi serta terbatasnya mobilitas masyarakat. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah memindahkan sebagian pemukiman ke lokasi lain, dan menata kembali
pemukiman yang ada yang mengacu kepada konsep kawasan pemukiman yang akrab
bencana.
Upaya Mitigasi Bencana Tsunami Non Struktural

Upaya non struktural meliputi:


 Peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana alam
 Kebijakan tentang tata guna lahan / tata ruang/ zonasi kawasan pantai yang aman bencana
 Kebijakan tentang standarisasi bangunan (pemukiman maupun bangunan lainnya) serta
infrastruktur sarana dan prasarana
 Mikrozonasi daerah rawan bencana dalam skala lokal
 Pembuatan Peta Potensi Bencana Tsunami, Peta Tingkat Kerentanan dan Peta Tingkat
Ketahanan, seingga dapat didesain komplek pemukiman “akrab bencana” yang memperhatikan
beberapa aspek :
- bangunan permukiman tahan terhadap bencana tsunami,
- mobilitas dan akses masyarakat pada saat terjadi bencana,
- ruang fasilitas umum untuk keperluan evakuasi
- aspek sosial ekonomi masyarakat yang sebagian besar kegiatan perekonomiannya
tergantung pada hasil dan budidaya kawasan pantai.
 Kebijakan tentang eksplorasi dan kegiatan perekonomian masyarakat kawasan pantai
 Pelatihan dan simulasi mitigasi bencana tsunami
 Penyuluhan dan sosialisasi upaya mitigasi bencana tsunami
 Pengembangan sistem peringatan dini adanya bahaya tsunami.
Bencana Banjir
Penyebab banjir:

 Kondisi kota-kota pantai yang umumnya terletak di dataran pantai yang cukup landai dan
dilalui oleh sungai-sungai sehingga ketika pasang naik sebagian wilayah tersebut akan berada
di bawah permukaan air laut.
 Curah hujan yang cukup tinggi dan fenomena kenaikan paras muka air laut (sea level rise)
 Pengembangan kota yang sangat cepat, namun belum sempat/mampu membangun sarana
drainase ramah lingkungan
 Bangunan-bangunan liar di dalam sungai
 Sampah yang dibuang di saluran sungai
 Penggundulan di daerah hulu
 Perkembangan kota di daerah hulu yang menyebabkan kurangnya daerah resapan tanah
 Reklamasi pantai di daerah rawa-rawa di wilayah pesisir mengakibatkan hilangnya fungsi
sebagai daerah tampungan sehingga memperbesar aliran permukaan. Reklamasi juga akan
mengakibatkan aliran sungai makin lambat, sehingga menyebabkan laju sedimentasi di muara
bertambah sehingga terjadi pendangkalan muara
 Penggunaan air tanah yang berlebihan mengakibabkan penurunan tanah (land subsidence)
Identifikasi Daerah Rawan Banjir

Analisis Bahaya Banjir

Tujuan : untuk mengidentifikasi daerah yang akan terkena genangan banjir.

Metode yang dapat digunakan yaitu :


1. Mensimulasikan intensitas serta tinggi curah hujan, tataguna lahan, luasan daerah tangkapan
air, debit aliran permukaan, kondisi aliran sungai dan saluran drainase lainnya serta kondisi
pasang surut kemudian di-overlay-kan dengan peta topografi di daerah hilir
2. Memetakan hubungan antara intensitas serta tinggi curah hujan dengan lokasi yang
tergenang berdasarkan sejarah terjadinya banjir.

Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Banjir

Tujuan : untuk mengidentifikasi dampak terjadinya banjir berupa jatuhnya korban jiwa maupun
kerugian ekonomi baik dalam jangka pendek yang terdiri dari hancurnya permukiman
infrastruktur, sarana dan prasarana serta bangunan lainnya, maupun kerugian ekonomi jangka
panjang yang berupa terganggunya roda perekonomian akibat trauma maupun kerusakan
sumberdaya alam lainnya.
Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Banjir

Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat di identifikasi dari 3 aspek yaitu :


1. jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk,
2. kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan
3. ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.

Mitigasi Bencana Banjir

Upaya Mitigasi Bencana Banjir Struktural

 Pembangunan tanggul di pinggir titik-titik daerah rawan banjir serta waduk pada daerah genangan
air
 Pembangunan kanal-kanal untuk menurunkan ketinggian air di daerah aliran sungai dengan
menambah dan mengalihkan arah aliran sungai sekaligus untuk irigasi
 Membangun river side conservation area di daerah tengah dan hulu, bertujuan untuk menahan air
tidak segera menuju muara
 Pembangunan poulder, bertujuan untuk mengumpulkan dan memindahkan air dari tempat yang
mempunyai elevasi lebih tinggi dengan menggunakan pompa
 Normalisasi secara selektif sungai bertujuan untuk melancarkan dan mempercepat aliran air sungai
secara proporsional, dan
 Pembangunan pintu-pintu air pengendali banjir di ruas-ruas sungai sehingga debit sungai
akan sesuai dengan kapasitas sungai
 Penghijauan (reboisasi) daerah-daerah yang rawan banjir
 Desain komplek permukiman yang “akrab bencana”, dengan memperhatikan beberapa
aspek:
a. bangunan permukiman yang sesuai di daerah dataran banjir
b. mobilitas dan akses masyarakat pada saat terjadi bencana
c. ruang fasilitas umum untuk keperluan evakuasi
d. aspek sosial ekonomi masyarakat
e. pembangunan permukiman kembali yang sesuai dengan kaidah teknik bangunan tahan
bencana banjir dan tata ruang akrab bencana dengan beberapa insentif yang perlu
dikembangkan antara lain :

• Retrofitting: agar kondisi bangunan permukiman memenuhi kaidah teknik bangunan sesuai
di dataran banjir
• Relokasi: salah satu aspek yang menyebabkan daerah rentan bencana adalah kepadatan
permukiman yang cukup tinggi sehingga tidak ada ruang publik yang dapat dipergunakan
untuk evakuasi serta terbatasnya mobilitas masyarakat.
Upaya mitigasi bencana banjir non struktural

1. peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana alam


2. kebijakan tentang tata guna lahan di dataran banjir dan daerah tangkapan air
3. kebijakan tentang standarisasi bangunan (permukiman maupun bangunan lainnya) serta
infrastruktur sarana dan prasarana
4. pembuatan Peta Potensi Bencana Banjir, Peta Tingkat Kerentanan dan Peta Tingkat
Ketahanan
5. mikrozonasi daerah rawan bencana dalam skala lokal serta mikrozonasi sistem drainase
perkotaan dan sistem pengelolaan sampah
6. kebijakan tentang penerapan batas sempadan sungai
7. pelatihan dan simulasi serta sosialisasi mitigasi bencana banjir
8. pengendalian curah hujan untuk mengurangi intensitas curah hujan
9. pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Banjir
Bencana Gempa Bumi
Bencana gempa bumi tidak hanya melanda kawasan permukiman, perkantoran
maupun industri didaratan tetapi juga terjadi di daerah-daerah pesisir.

Identifikasi Daerah Rawan Gempa Bumi

Analisis Bahaya Gempa Bumi

Tujuan : untuk mengidentifikasi lokasi yang sering mengalami gejala gempa bumi baik yang
disebabkan oleh gempa tektonik maupun gempa vulkanik.
Faktor penyebab :
• terjadinya patahan yang apabila terjadi di daerah lautan yang dapat menyebabkan
terjadinya tsunami
• adanya gerakan-gerakan magma di daerah gunung berapi aktif.
Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Gempa Bumi

Aspek analisis kerentanan antara lain :


• tingkat kepadatan pemukiman di daerah rawan gempa bumi
• keterbatasan akses transportasi untuk evakuasi maupun penyelamatan
• keterbatasan akses komunikasi
• Kesadaran serta kesiapan masyarakat untuk melakukan tindakan pengamanan

Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Gempa Bumi

Tujuan : untuk mengidentifikasi kemampuan Pemerintah serta masyarakat pada umumnya untuk
merespon terjadinya bencana gempa bumi sehingga mampu mengurangi dampaknya.

Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari 3 aspek, yaitu :


• jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk
• kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan
• ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.
Mitigasi Bencana Gempa Bumi

Upaya Mitigasi Bencana Gempa Bumi Struktural

Meliputi :
1. membangun bangunan baru tahan gempa bumi (engineered building)
2. meningkatkan kualitas bangunan non-engineered di suatu wilayah sehingga memenuhi
persyaratan tahan gempa, baik terhadap bangunan baru maupun bangunan lama, melalui
peningkatan kualitas material yang digunakan, kualitas sistem strukturnya dan kualitas
pengerjaan serta ketrampilan para tukang/pekerja bangunan di wilayah tersebut.
Upaya Mitigasi Bencana Gempa Bumi Non Struktural

Meliputi:
1. peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana alam
2. membuat pedoman konstruksi bangunan baru yang tahan gempa khusus untuk non-
engineered buildings yang sesuai untuk wilayah pesisir pantai dengan penyajian yang
sederhana, praktis, informatif dan mudah diikuti
3. membuat pedoman cara pengkuatan dan retrofitting bangunan yang sudah ada agar
tahan gempa khusus untuk non-engineered buildings yang sesuai untuk wilayah pesisir
pantai
4. menyelenggarakan penyuluhan pada masyarakat dan petugas terkait secara intensif dan
berkesinambungan mengenai butir 2 dan 3 serta mengakrabkan masyarakat dengan
permasalahan bencana alam yang mungkin terjadi di wilayah yang ditempatinya berikut
cara penyesuaian diri dan mempersepsinya secara positif
5. menyelenggarakan pelatihan bagi para konsultan perencana/pengawas, kontraktor dan
staf teknis mengenai butir 2 dan 3
6. penyediaan Peta Zonasi Gempa yang digunakan sebagai dasar perencanaan dan
pengembangan daerah
7. penyediaan layanan evaluasi gratis (oleh instansi yang berwenang) kondisi struktural
bangunan yang telah ada dan konsultasi teknis cara-cara penguatannya
8. menyelenggarakan program sertifikasi dan lisensi untuk pembangun dan kontraktor,
9. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Gempa Bumi
Bencana Angin Topan/Badai
Angin topan adalah suatu badai tropikal yang hebat dari pelepasan banyak energi dalam satu
hari sebanyak satu megaton bom hydrogen. Angin topan/badai ini dapat mencapai kecepatan
200 km/jam dengan tekanan tiup mencapai 200 kg/m²

Identifikasi Daerah Rawan Angin Topan/Badai

Analisis Bahaya Angin Topan/Badai

Tujuan : untuk mengidentifikasi lokasi yang sering mengalami bencana


angin topan/badai. Bahaya angin topan/badai pada suatu daerah dapat diketahui melalui
perkiraan angin topan/badai yang akan terjadi.

Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Angin Topan/Badai

Analisa kerentanan didasarkan beberapa aspek, antara lain :


• tingkat kepadatan pemukiman di daerah rawan angin topan/badai
• keterbatasan akses transportasi untuk evakuasi
• penyelamatan serta keterbatasan akses komunikasi.
Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Angin Topan/Badai

Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari 3 aspek, yaitu :


1. jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk
2. kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan
3. ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.

Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai

Upaya Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai Struktural

Merupakan upaya teknis yang bertujuan untuk mencapai lingkungan yang lebih tahan bencana
angin topan/badai.

Upaya penanggulangan secara fisik yang dapat dilakukan antara lain:


• low cost roof retrofitting, terutama struktur atapnya yang rentan terhadap kerusakan akibat
angin topan/badai
Upaya Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai Non Struktural

Upaya :
1. peraturan perundangan yang mengatur bencana alam
2. pemetaan bahaya sentakan badai,
3. lifeline vulnerability audits untuk mempromosikan kesiagaan masyarakat terhadap bencana
4. sosialisasi peraturan pembangunan dan cara-cara konstruksi yang baik dan aman dan lain-lain
5. pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Angin Topan/Badai

Bencana Kenaikan Paras Muka Air Laut


(Sea Level Rise)
Peningkatan kegiatan manusia

peningkatan efek rumah kaca (green house effect)

terjadinya pemanasan suhu di bumi (global warming) Sea level rise


Identifikasi Daerah Rawan Kenaikan Paras Muka Air
Laut (Sea Level Rise)

Analisis Bahaya Kenaikan Paras Muka Air Laut


(Sea Level Rise/SLR)
Tujuan : mengidentifikasi lokasi yang sering mengalami bencana kenaikan paras muka air laut
(SLR). Hal-hal yang perlu di identifikasi meliputi panjang pantai dan kemiringan pantai, sehingga
diperoleh skenario mundurnya garis pantai dari tahun ke tahun.

Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Kenaikan Paras


Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR)
Analisa kerentanan di dasarkan beberapa aspek, antara lain :
1. tingkat kepadatan penduduk
2. aktivitas yang ada di wilayah pesisir termasuk stakeholder di dalamnya
3. sarana prasarana transportasi
4. pelayaran
5. perikanan dan lain-lain
Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Kenaikan Paras
Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR)
Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat di identifikasi dari 3 aspek, yaitu :
1. jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk
2. kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan
3. ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.
Mitigasi Bencana Kenaikan Paras Muka Air Laut
(Sea Level Rise/SLR)
Upaya Mitigasi Bencana Kenaikan Paras Muka Air Laut
(Sea Level Rise/SLR) Struktural

Upaya penanggulangan secara fisik yang dapat dilakukan antara lain:


1. Membuat sistem pelindung pantai baik yang bersifat statis seperti pembangunan tanggul,
seawall, revetment, groin, dan detached breakwater maupun yang dinamis seperti penanaman
mangrove
2. Mengangkat atau meninggikan segala bentuk fasilitas dan lahan pantai
3. Memindahkan segala bentuk fasilitas dan lahan pantai ke arah darat yang aman dari
jangkauan air laut
4. Penyesuaian sistem drainase.

Upaya Mitigasi Bencana Kenaikan Paras Muka Air Laut


(Sea Level Rise/SLR) Non Struktural

Meliputi :
1. peraturan perundangan yang mengatur bencana alam
2. penyusunan kebijakan untuk pemerintah terkait dan stakeholder tentang sistem perlindungan
pantai
3. pengembangan garis pantai (shoreline setback), seperti penyusunan kebijakan yang mengatur
ijin bangunan terhadap lahan yang terkena erosi akibat SLR
4. pengembangan Sistem Peringatan Dini Kenaikan Paras Muka Air Laut
Bencana Kekeringan
Bencana kekeringan diakibatkan oleh iklim. Jika terjadi musim kemarau panjang akan
menyebabkan kesulitan air untuk kebutuhan air bersih.

Identifikasi Daerah Rawan Kekeringan


di Wilayah Pesisir

Analisis Bahaya Kekeringan

Tujuan : untuk mengidentifikasi lokasi yang sering mengalami bencana kekeringan. Bahaya
kekeringan dapat diketahui dari perkiraan iklim yang terjadi di wilayah pesisir.

Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Kekeringan

Analisa kerentanan didasarkan beberapa aspek, antara lain:


• tingkat kepadatan penduduk
• aktivitas yang ada di wilayah pesisir termasuk stakeholder di dalamnya
• kondisi penutupan lahan
• sumber-sumber air
• tingkat pemanfaatan air baik air permukaan maupun air tanah
Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Kekeringan

Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari 3 aspek, yaitu :


1. jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk
2. kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan
3. Ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.

Mitigasi Bencana Kekeringan di Wilayah Pesisir

Upaya Mitigasi Bencana Kekeringan Struktural

Upaya :
1. Pembangunan waduk.
2. Pembuatan sumur-sumur resapan.

Upaya Mitigasi Bencana Kekeringan Non Struktural

1. Peraturan perundangan yang mengatur bencana alam


2. Mengefisienkan dan melakukan penghematan penggunaan air
3. Menginventarisasi dan mengevaluasi keadaan dan pola iklim
4. Mengidentifikasi wilayah rawan kekeringan
5. Membuat peta wilayah kekeringan
6. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Kekeringan
Bencana Longsor
Longsor merupakan suatu gerakan tanah dimana suatu masa tanah, batu, dan material campuran
yang bergerak di sepanjang lereng gunung terutama di wilayah pulau-pulau kecil.
Tanah longsor dapat terjadi dengan adanya :
a. Hujan
b. Lereng Terjal
c. Tanah tebal dan lembek serta batuan kurang kuat
d. Lahan basah
e. Getaran
f. Susut muka air danau atau bendungan
g. Adanya beban tambahan seperti beban bangunan
h. Pengikisan/erosi
i. Adanya material timbunan pada tebing
j. Bekas longsoran lama

Identifikasi Daerah Rawan Longsor

Analisis Bahaya Longsor

Analisis ini meliputi :


• kondisi alam
• geologi
• Topografi
• aktivitas manusia
Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Longsor

Analisis kerentanan ini meliputi:


• tingkat kepadatan penduduk di sekitar daerah yang berpotensi longsro
• sarana prasarana
• infrastruktur penting
• industri di sekitar lokasi berpotensi longsor
• aksesibilitas terhadap daerah berpotensi longsor,

Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Longsor

Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari 3 aspek, yaitu :


• jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk
• kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan
• Ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi
Mitigasi Bencana Longsor

Upaya Mitigasi Bencana Longsor Struktural

1. Pembangunan tanggul penahan di lokasi-lokasi yang rawan bencana longsor


2. Penataan saluran air yang memadai
3. Reboisasi di daerah-daerah yang rawan longsor.

Upaya Mitigasi Bencana Longsor Non Struktural

1. Peraturan perundangan yang mengatur bencana alam


2. Pembuatan peta rawan bencana longsor
3. Sosialisasi dan Penyadaran kepada masyarakat untuk tidak tinggal di daerah yang rawan
longsor/daerah tebing
4. Pengembangan sistem peringatan dini bencana longsor
5. Perkiraan terjadinya longsor dilakukan oleh instansi terkait yang berwenang menangani
bahaya longsor, seperti Badan Geologi dan Vulkanologi.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai