Abrasi adalah erosi pada material masif seperti batu atau karang
Bencana ulah manusia adalah peristiwa bencana yang disebabkan oleh ulah manusia seperti
kebakaran, kecelakaan massal di darat/laut/udara, pencemaran lingkungan oleh limbah manusia
dan industri, wabah penyakit manusia/hewan/tumbuhan, pembangunan infrastuktur yang tidak
memperhatikan dampak lingkungan, dan lain-lain.
Penanggulangan Bencana (Disaster Management) adalah suatu proses yang dinamis, terpadu
dan berkelanjutan untuk meningkatkan langkah-langkah yang berhubungan dengan
penanganan, merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi pencegahan (preventive), mitigasi
(mitigation), kesiapsiagaan (preparedness), tanggap darurat (response), rehabilitasi
(rehabilitation) atau evakuasi (evacuation) dan pembangunan kembali (development).
Tanggap Darurat adalah suatu atau serangkaian kegiatan dan upaya pemberian bantuan kepada
korban bencana berupa bahan makanan, obat-obatan, penampungan sementara, serta mengatasi
kerusakan secara darurat supaya dapat berfungsi kembali. Tanggap darurat ekologi adalah
serangkaian kegiatan untuk memantau kondisi ekologis setempat serta memberikan gambaran
kerusakan ekologi yang ada.
Mikrozonasi (Risk Mapping) adalah serangkaian kegiatan untuk mendukung pengkajian resiko
bencana baik fisik maupun ekologis suatu kawasan secara rinci termasuk didalamnya kegiatan-
kegiatan pengumpulan data (sekunder maupun survei di lapangan), analisa dan penyajian dalam
bentuk peta resiko.
Kebijakan, Strategi dan Landasan Operasional
Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir
Ring of Fire merupakan rangkaian pegunungan Sirkum Pasifik atau Cincin Api adalah sebuah area di
cekungan Samudera Pasifik. Area ini membentang sejauh 40.000 km dan membentuk tapal kuda.
Sebagian besar wilayah Indonesia terletak pada jalur gempa bumi aktif di dunia akibat pertemuan tiga
lempeng tektonik (lempeng samudera Indo-Autralia, lempeng Benua Eurasia dan Lempeng Samudera
Pasifik). Wilayah Asia merupakan wilayah yang cukup rawan terhadap berbagai bencana alam (Center
for Research on the Epidemiology of Disaster (CERD)).
Tujuan :
• Mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya bagi
penduduk di wilayah pesisir, seperti korban jiwa, kerugian ekonomi dan
kerusakan sumberdaya alam.
• Mengurangi dampak negatif terhadap kualitas keberlanjutan ekologi dan
lingkungan di wilayah pesisir akibat bencana alam maupun buatan.
• Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan wilayah pesisir.
• Meningkatkan pengetahuan masyarakat pesisir dalam menghadapi serta
mengurangi dampak/resiko bencana.
• Meningkatkan peran serta pemerintah baik pusat maupun daerah, pihak swasta
maupun masyarakat dalam mitigasi bencana di wilayah pesisir.
Strategi Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir
a. Pola protektif, yaitu dengan membuat bangunan pantai secara langsung “menahan
proses alam yang terjadi”.
b. Pola adaptif, yakni berusaha menyesuaikan pengelolaan pesisir dengan perubahan
alam yang terjadi
c. Pola mundur (retreat) atau do-nothing, dengan tidak melawan proses dinamika alami
yang terjadi, tetapi “mengalah” pada proses alam dan menyesuaikan peruntukan
sesuai dengan kondisi perubahan alam yang terjadi.
Landasan Operasional
Kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia didasarkan pada asas - asas sebagai berikut :
a. Kebersamaan dan kesukarelaan
b. Preventif dan kuratif
c. Koordinasi, kontinuitas dan Integrasi
d. Kemandirian
e. Cepat dan tepat
f. Prioritas
g. Kesiapsiagaan
h. Kesemestaan
Prinsip - prinsip pengelolaan kawasan pesisir bertujuan untuk (Intergoverment Panel of Climate
Change, 1990) :
a. Menghindari pengembangan di daerah ekosistem yang rawan dan rentan,
b. Mengusahakan agar sistem perlindungan alami tetap berfungsi dengan baik
c. Melindungi keselamatan, harta benda dan kegiatan ekonominya dari bahaya yang datang dari
laut, dengan tetap memperhatikan aspek ekologi, kultur, sejarah, estetika dan kebutuhan
manusia akan rasa aman serta kesejahteraan.
Pendekatan Pengelolaan Pesisir Terpadu (PPT)
Lingkungan biofisik
Habitat dan infrastruktur penting, seperti mangrove, pulau-pulau kecil,
estuari, terumbu karang, dan industri minyak lepas pantai
Aspek sosial ekonomi, yaitu populasi penduduk dan tenaga kerja, profil
kelembagaan dan hukum, kegiatan perekonomian dan pembangunan
Aspek pembangunan, seperti pembangunan dermaga, pelabuhan, dan
lain-lain
Aktivitas ekonomi, seperti industri migas, perikanan budidaya dan
tangkap, hutan produksi (mangrove), pertambangan, wisata, dan
perhubungan
Bencana alam, seperti erosi pantai, badai, pasang tinggi, gempa, tsunami,
dan banjir.
Tujuan pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu ini, yaitu :
Melindungi integritas ekologi dari ekosistem pesisir. Beberapa ekosistem berada dalam
kondisi ekstrim seperti hempasan angin, konsentrasi salinitas yang tinggi, dan kisaran
perubahan temperatur air yang tinggi. Namun demikian, pada saat yang sama, suatu
ekosistim juga mendapatkan suplai nutrisi yang cukup banyak dari aliran air sungai,
kecukupan sinar matahari pada perairan dangkal yang mendukung produktivitas perairan.
Mengurangi dampak negatif pembangunan prasarana fisik di daerah pesisir yang dapat
merusak/mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir.
Instansi/kelembagaan yang terkait dengan upaya mitigasi bencana struktural dan non struktural
antara lain:
• Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
• Departemen Perhubungan, Kementerian Informasi dan Komunikasi
• Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal)
• LAPAN
• Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
• LIPI
• Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)
• Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Perencanaan mitigasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada tingkat
nasional dapat dilakukan melalui:
1. Identifikasi daerah bencana melalui pengumpulan data dan informasi,
2. Kelayakan program ditinjau dari segi analisis dampak lingkungan,
3. Keterpaduan program antar sektor dalam pengembangan daerah pesisir
skala besar,
4. Pengaturan tingkat keamanan hunian masyarakat pesisir,
5. Memprioritaskan faktor keamanan dalam pengembangan program di
wilayah pesisir dengan meminimalkan resiko, dan
6. Prioritas penggunaan ruang sesuai dengan karakteristik lokasi (lingkungan
dan masyarakat).
Bencana Erosi Pantai
Erosi pantai diakibatkan:
• Gerakan gelombang pada pantai terbuka
• Proses alami (angin, gelombang, arus, pasang surut dan sedimentasi),
• Aktivitas manusia (pembangunan pelabuhan, reklamasi pantai untuk permukiman, pelabuhan
udara dan industri serta penambangan pasir
Tujuan : untuk mengidentifikasi lokasi yang akan terkena erosi. Erosi biasanya terjadi dalam waktu
yang relatif lama dengan beberapa faktor penyebab yang dominan, antara lain:
• Gelombang
• Arus
• Angin dan panas
• Kondisi topografi dan geologi pantai
Pembuatan peta bahaya erosi harus meliputi informasi tentang profil garis pantai serta tingkat erosinya,
faktor dominan penyebab erosi, kondisi topografi dan geologi garis pantai dan karakteristik gumuk
pasir, serta sumber sedimen yang berasal dari aliran sungai.
Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Erosi Pantai
Tujuan : untuk mengidentifikasi dampak terjadinya erosi, berupa kerugian ekonomi, baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang diakibatkan rusak/hancurnya kawasan
pemukiman, sarana dan prasarana serta kegiatan ekonomi lainnya seperti pariwisata, industri,
pertanian, perikanan dan lain-lain.
Upaya mitigasi bencana erosi memerlukan biaya yang cukup besar, baik dalam proses
pembangunan maupun dalam operasional serta pemeliharaannya. Untuk itu pelibatan
masyarakat serta dunia usaha yang mengelola kawasan pantai untuk ikut serta dalam
upaya mitigasi bencana erosi, khususnya dalam operasional dan pemeliharaan, sangat
diperlukan.
Tujuan : menjaga keseimbangan proses transpor sedimen di sepanjang garis pantai melalui
upaya antara mengurangi/menahan energi gelombang yang mencapai garis pantai, memperkuat
struktur geologi garis pantai, maupun menambah suplai sedimen.
Merupakan upaya non teknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang
kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun
upaya lainnya. Upaya mitigasi bencana erosi non struktural adalah sebagai berikut :
1. Peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana alam
2. Pembuatan standarisasi dan metoda perlindungan pantai
3. Penyusunan sempadan garis pantai
4. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Erosi
5. Pantai
Bencana Tsunami
Tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu tsu = pelabuhan dan nami = gelombang.
Jadi tsunami berarti pasang laut besar di pelabuhan.
Secara singkat tsunami dapat dideskripsikan sebagai gelombang laut dengan periode
panjang yang ditimbulkan oleh suatu gangguan impulsif yang terjadi pada medium
laut, seperti gempa bumi, erupsi vulkanik atau longsoran (land-slide).
Gangguan impulsif pembangkit tsunami biasanya berasal dari tiga sumber utama,
yaitu :
• Gempa didasar laut
• Letusan gunung api didasar laut
• Longsoran yang terjadi di dasar laut.
Proses terjadinya Tsunami
Di Indonesia terdapat beberapa kelompok pantai yang rawan bencana tsunami, yaitu:
Pantai Barat Sumatera
Pantai Selatan Pulau Jawa
Pantai Utara dan Selatan pulau-pulau Nusa Tenggara
Pulau-pulau di Maluku
Pantai utara Irian Jaya
Hampir seluruh pantai di Sulawesi
Tsunami yang terjadi di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh gempa-gempa tektonik di
sepanjang daerah subduksi dan daerah seismik aktif lainnya. Selama kurun waktu 1600–1999
terdapat 105 kejadian tsunami dimana 90% disebabkan oleh gempa-gempa tektonik, 9 %
disebabkan oleh letusan gunung api dan 1 % disebabkan oleh longsoran. Rata-rata interval
waktu kejadian tsunami adalah 10 tahun.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh gelombang tsunami dikelompokan menjadi beberapa tipe :
Kerusakan struktural bangunan akibat gaya hidrodinamik gelombang
Keruntuhan struktur bangunan karena fondasinya tergerus air laut yang amat deras
Kerusakan struktural bangunan akibat hantaman benda-benda keras, seperti kapal dan
semacamnya yang terbawa oleh gelombang.
Identifikasi Daerah Rawan Tsunami C
Mensimulasikan hubungan antara pembangkit tsunami (gempa bumi, letusan gunung api,
longsoran dasar laut) dengan tinggi gelombang tsunami. Dari hasil simulasi tinggi gelombang
tsunami tersebut kemudian disimulasikan/dioverlay lebih lanjut dengan kondisi tata guna,
topografi, morfologi dasar laut serta bentuk dan struktur geologi lahan pesisir.
Memetakan hubungan antara aktivitas gempa bumi, letusan gunung api dan longsoran dasar laut
dengan terjadinya gelombang tsunami berdasarkan sejarah terjadinya tsunami. Dari hasil analisa
tersebut kemudian diidentifikasi dan dipetakan lokasi yang terkena dampak gelombang tsunami.
Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Tsunami
Tujuan : mengidentifikasi dampak terjadinya tsunami berupa jumlah korban jiwa dan kerugian ekonomi,
baik dalam jangka pendek berupa hancurnya pemukiman infrastruktur, sarana dan prasarana serta
bangunan lainnya, maupun jangka panjang berupa terganggunya roda perekonomian akibat trauma
maupun kerusakan sumber daya alam lainnya.
Aspek analisa kerentanan antara lain :
• Tingkat kepadatan pemukiman di daerah rawan tsunami
• Tingkat ketergantungan perekonomian masyarakat pada sektor kelautan,
• Keterbatasan akses transportasi untuk evakuasi maupun penyelamatan
• Keterbatasan akses komunikasi
• Komposisi usia masyarakat
• Tingkat pendidikan
Tujuan : mengidentifikasi kemampuan Pemerintah serta Masyarakat pada umumnya untuk merespon
terjadinya bencana tsunami sehingga mampu mengurangi dampaknya.
Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari aspek : (i) jumlah tenaga kesehatan
terhadap jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan,
dan (iii) ketersediaan peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.
Mitigasi Bencana Tsunami
Merupakan upaya teknis yang bertujuan untuk meredam/mengurangi energi gelombang tsunami
yang menjalar ke kawasan pantai. Upaya yang dilakukan:
1. Alami, seperti penanaman green belt (huran pantai atau mangrove), di sepanjang kawasan
pantai dan perlindungan terumbu karang
2. Buatan
a. Pembangunan breakwater, seawall, pemecah gelombang sejajar pantai untuk menahan
tsunami
b. Memperkuat desain bangunan serta infrastruktur lainnya dengan kaidah teknik bangunan
tahan bencana tsunami dan tata ruang akrab bencana, dengan mengembangkan beberapa
insentif, antara lain:
Retrofitting: agar kondisi bangunan permukiman memenuhi kaidah teknik bangunan tahan
tsunami
Relokasi: salah satu aspek yang menyebabkan daerah rentan bencana adalah kepadatan
permukiman yang cukup tinggi sehingga tidak ada ruang publik yang dapat dipergunakan
untuk evakuasi serta terbatasnya mobilitas masyarakat. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah memindahkan sebagian pemukiman ke lokasi lain, dan menata kembali
pemukiman yang ada yang mengacu kepada konsep kawasan pemukiman yang akrab
bencana.
Upaya Mitigasi Bencana Tsunami Non Struktural
Kondisi kota-kota pantai yang umumnya terletak di dataran pantai yang cukup landai dan
dilalui oleh sungai-sungai sehingga ketika pasang naik sebagian wilayah tersebut akan berada
di bawah permukaan air laut.
Curah hujan yang cukup tinggi dan fenomena kenaikan paras muka air laut (sea level rise)
Pengembangan kota yang sangat cepat, namun belum sempat/mampu membangun sarana
drainase ramah lingkungan
Bangunan-bangunan liar di dalam sungai
Sampah yang dibuang di saluran sungai
Penggundulan di daerah hulu
Perkembangan kota di daerah hulu yang menyebabkan kurangnya daerah resapan tanah
Reklamasi pantai di daerah rawa-rawa di wilayah pesisir mengakibatkan hilangnya fungsi
sebagai daerah tampungan sehingga memperbesar aliran permukaan. Reklamasi juga akan
mengakibatkan aliran sungai makin lambat, sehingga menyebabkan laju sedimentasi di muara
bertambah sehingga terjadi pendangkalan muara
Penggunaan air tanah yang berlebihan mengakibabkan penurunan tanah (land subsidence)
Identifikasi Daerah Rawan Banjir
Tujuan : untuk mengidentifikasi dampak terjadinya banjir berupa jatuhnya korban jiwa maupun
kerugian ekonomi baik dalam jangka pendek yang terdiri dari hancurnya permukiman
infrastruktur, sarana dan prasarana serta bangunan lainnya, maupun kerugian ekonomi jangka
panjang yang berupa terganggunya roda perekonomian akibat trauma maupun kerusakan
sumberdaya alam lainnya.
Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Banjir
Pembangunan tanggul di pinggir titik-titik daerah rawan banjir serta waduk pada daerah genangan
air
Pembangunan kanal-kanal untuk menurunkan ketinggian air di daerah aliran sungai dengan
menambah dan mengalihkan arah aliran sungai sekaligus untuk irigasi
Membangun river side conservation area di daerah tengah dan hulu, bertujuan untuk menahan air
tidak segera menuju muara
Pembangunan poulder, bertujuan untuk mengumpulkan dan memindahkan air dari tempat yang
mempunyai elevasi lebih tinggi dengan menggunakan pompa
Normalisasi secara selektif sungai bertujuan untuk melancarkan dan mempercepat aliran air sungai
secara proporsional, dan
Pembangunan pintu-pintu air pengendali banjir di ruas-ruas sungai sehingga debit sungai
akan sesuai dengan kapasitas sungai
Penghijauan (reboisasi) daerah-daerah yang rawan banjir
Desain komplek permukiman yang “akrab bencana”, dengan memperhatikan beberapa
aspek:
a. bangunan permukiman yang sesuai di daerah dataran banjir
b. mobilitas dan akses masyarakat pada saat terjadi bencana
c. ruang fasilitas umum untuk keperluan evakuasi
d. aspek sosial ekonomi masyarakat
e. pembangunan permukiman kembali yang sesuai dengan kaidah teknik bangunan tahan
bencana banjir dan tata ruang akrab bencana dengan beberapa insentif yang perlu
dikembangkan antara lain :
• Retrofitting: agar kondisi bangunan permukiman memenuhi kaidah teknik bangunan sesuai
di dataran banjir
• Relokasi: salah satu aspek yang menyebabkan daerah rentan bencana adalah kepadatan
permukiman yang cukup tinggi sehingga tidak ada ruang publik yang dapat dipergunakan
untuk evakuasi serta terbatasnya mobilitas masyarakat.
Upaya mitigasi bencana banjir non struktural
Tujuan : untuk mengidentifikasi lokasi yang sering mengalami gejala gempa bumi baik yang
disebabkan oleh gempa tektonik maupun gempa vulkanik.
Faktor penyebab :
• terjadinya patahan yang apabila terjadi di daerah lautan yang dapat menyebabkan
terjadinya tsunami
• adanya gerakan-gerakan magma di daerah gunung berapi aktif.
Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Gempa Bumi
Tujuan : untuk mengidentifikasi kemampuan Pemerintah serta masyarakat pada umumnya untuk
merespon terjadinya bencana gempa bumi sehingga mampu mengurangi dampaknya.
Meliputi :
1. membangun bangunan baru tahan gempa bumi (engineered building)
2. meningkatkan kualitas bangunan non-engineered di suatu wilayah sehingga memenuhi
persyaratan tahan gempa, baik terhadap bangunan baru maupun bangunan lama, melalui
peningkatan kualitas material yang digunakan, kualitas sistem strukturnya dan kualitas
pengerjaan serta ketrampilan para tukang/pekerja bangunan di wilayah tersebut.
Upaya Mitigasi Bencana Gempa Bumi Non Struktural
Meliputi:
1. peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana alam
2. membuat pedoman konstruksi bangunan baru yang tahan gempa khusus untuk non-
engineered buildings yang sesuai untuk wilayah pesisir pantai dengan penyajian yang
sederhana, praktis, informatif dan mudah diikuti
3. membuat pedoman cara pengkuatan dan retrofitting bangunan yang sudah ada agar
tahan gempa khusus untuk non-engineered buildings yang sesuai untuk wilayah pesisir
pantai
4. menyelenggarakan penyuluhan pada masyarakat dan petugas terkait secara intensif dan
berkesinambungan mengenai butir 2 dan 3 serta mengakrabkan masyarakat dengan
permasalahan bencana alam yang mungkin terjadi di wilayah yang ditempatinya berikut
cara penyesuaian diri dan mempersepsinya secara positif
5. menyelenggarakan pelatihan bagi para konsultan perencana/pengawas, kontraktor dan
staf teknis mengenai butir 2 dan 3
6. penyediaan Peta Zonasi Gempa yang digunakan sebagai dasar perencanaan dan
pengembangan daerah
7. penyediaan layanan evaluasi gratis (oleh instansi yang berwenang) kondisi struktural
bangunan yang telah ada dan konsultasi teknis cara-cara penguatannya
8. menyelenggarakan program sertifikasi dan lisensi untuk pembangun dan kontraktor,
9. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Gempa Bumi
Bencana Angin Topan/Badai
Angin topan adalah suatu badai tropikal yang hebat dari pelepasan banyak energi dalam satu
hari sebanyak satu megaton bom hydrogen. Angin topan/badai ini dapat mencapai kecepatan
200 km/jam dengan tekanan tiup mencapai 200 kg/m²
Merupakan upaya teknis yang bertujuan untuk mencapai lingkungan yang lebih tahan bencana
angin topan/badai.
Upaya :
1. peraturan perundangan yang mengatur bencana alam
2. pemetaan bahaya sentakan badai,
3. lifeline vulnerability audits untuk mempromosikan kesiagaan masyarakat terhadap bencana
4. sosialisasi peraturan pembangunan dan cara-cara konstruksi yang baik dan aman dan lain-lain
5. pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Angin Topan/Badai
Meliputi :
1. peraturan perundangan yang mengatur bencana alam
2. penyusunan kebijakan untuk pemerintah terkait dan stakeholder tentang sistem perlindungan
pantai
3. pengembangan garis pantai (shoreline setback), seperti penyusunan kebijakan yang mengatur
ijin bangunan terhadap lahan yang terkena erosi akibat SLR
4. pengembangan Sistem Peringatan Dini Kenaikan Paras Muka Air Laut
Bencana Kekeringan
Bencana kekeringan diakibatkan oleh iklim. Jika terjadi musim kemarau panjang akan
menyebabkan kesulitan air untuk kebutuhan air bersih.
Tujuan : untuk mengidentifikasi lokasi yang sering mengalami bencana kekeringan. Bahaya
kekeringan dapat diketahui dari perkiraan iklim yang terjadi di wilayah pesisir.
Upaya :
1. Pembangunan waduk.
2. Pembuatan sumur-sumur resapan.