Anda di halaman 1dari 21

WISATA HUTAN MANGROVE WONOREJO : POTENSI ECOTOURISM DI

SURABAYA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara geografis, wilayah laut Surabaya merupakan bagian dari Selat
Madura, namun secara substantif wilayah laut adalah kawasan perairan (laut)
sebelah Timur dan Utara Kota Surabaya. Secara administratif batas ke arah
laut mengacu UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Darah, yaitu 4 mil atau
sepertiga dari batas provinsi. Wilayah daratan yang berbatasan langsung
dengan pantai atau laut, terdiri dari 11 kecamatan yang meliputi Kecamatan
Benowo, Asemrowo, Krembangan, Pabean Cantikan, Semampir, Kenjeran,
Bulak, Mulyorejo, Sukolilo, Rungkut, dan Gununganyar.
Pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan merupakan
kebijakan penting Departemen Kelautan dan Perikanan. Kebijakan tersebut
didasarkan pada pemikiran bahwa wilayah pesisir dan laut secara ekologis
dan ekonomis potensial untuk dikembangkan dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan masyarakat. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai
upaya untuk mendorong pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara
berkelanjutan, pola pemanfaatan yang sifatnya merusak dan mengancam
kelestarian sumberdaya pesisir dan laut masih saja terus berlangsung. Hal ini
disebabkan oleh desakan kebutuhan hidup, yang semakin lama semakin
tinggi. Pengembangan ekonomi wisata (ekowisata) merupakan salah satu
alternatif pembangunan yang dapat membantu mengatasi masalah tersebut
(Tuwo, 2011).
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki 17.508 pulau dengan
garis panjang pantai kurang lebih 81.000 km, meliputi sumberdaya pesisir
yang sangat besar baik hayati dan nonhayati. Ekosistem mangrove marupakan
salah satu sumber yang mendapat perhatian di wilayah pesisir. Berdasarkan
UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil serta sumber daya pesisir, bahwa wilayah pesisir terdiri atas sumber
daya hayati (ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan sebagainya),
sumber daya nonhayati (pasir, air laut, mineral dasar laut); sumber daya
buatan (infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan), dan
jasa-jasa lingkungan (berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat
instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi
gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir. Hutan mangrove terluas di
Indonesia yakni sekitar 27% luas mangrove dunia berada di Indonesia dengan
tingkat keaneka ragaman hayati yang sangat tinggi (Hamid, 2013).
Hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas
flora dan fauna yang berada di daerah pantai, hidup sekaligus di habitat
daratan dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Berperan dalam
melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan. Tanaman
mangrove berperan juga sebagai buffer (perisai alam) dan menstabilkan tanah
dengan menangkap dan memerangkap endapan maerial dari darat yang
terbawa air sungai
Di era otonomi saat ini potensi sumberdaya hutan mangrove
merupakan aset daerah yang sangat besar kontribusinya dalam pembangunan
khususnya pembangunan daerah pesisir. Karena itu, salah satu prioritas dalam
pembangunan adalah pelestarian hutan mangrove, dengan tetap
mempertahankan dan melestarikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial, dan
budaya lokal setempat. Hasil studi di beberapa daerah pantai menunjukkan
bahwa keberadaan hutan mangrove sangat memberikan manfaat pada
masyarakat pesisir berupa barang yang didapat melalui peningkatan hasil
tangkapan dan perolehan kayu bakau yang mempunyai nilai ekspor tinggi.
Selain itu, kawasan tersebut menyediakan jasa lingkungan yang sangat besar,
yaitu perlindungan pantai dari badai dan erosi serta pendapatan langsung bagi
masyarakat melaui kegiatan wisata (Krauss, dkk. 2009)
Pengembangan ekowisata merupakan salah satu alternatif
pembangunan yang dapat membantu mengatasi masalah agar menghasilkan
nilai tambah yang nyata dan positif bagi kegiatan konservasi lingkungan dan
budaya setempat sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(Tuwo, 2011). Saat ini aktivitas ekowisata tengah menjadi tren yang menarik
yang dilakukan oleh para wisatawan untuk menikmati bentuk wisata yang
berbeda dari biasanya. Dalam konteks ini wisata yang dilakukkan memiliki
bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya konservasi, pemberdayaan
ekonomi lokal dan mendorong respek yang lebih tinggi terhadap perbedaan
kultur
Masyarakat adalah suatu kebulatan dari pada segala perkembangan
dalam hidup bersama antar manusia dengan manusia. Syarat-syarat yang
harus dipenuhi dalam kehidupan bermasyarakat yaitu : a) harus ada
pengumpulan manusia, dan harus banyak, b) telah bertempat tinggal dalam
waktu yang lama dalam suatu daerah tertentu, c) adanya aturan-aturan atau
undang-undang yang mengatur mereka untuk menuju kepada kepentingan-
kepentingan dan tujuan bersama (Ahmadi, 2009 : 97).
Menurut Isbandi (2007: 27) Partisipasi Masyarakat adalah
keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan
potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan
tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya
mengatasi masalah dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengevaluasi
perubahan yang terjadi. Slamet (1994) menggolongkan tipe partisipasi
masyarakat yaitu : a) partisipasi berdasarkan derajat kesukarelaan, b)
penggolongan berdasarkan pada cara keterlibatan c) penggolongan
berdasarkan pada dalam berbagai tahap proses pembangunan d)
penggolongan berdasarkan tingkat organisasi e) penggolongan berdasarkan
pada intensitas dan frekuensi kegiatan f) penggolongan berdasarkan pada
lingkup kegiatan g) penggolongan berdasarkan pada efektivitas h)
penggolongan berdasarkan pada siapa yang terlibat. i) penggolongan
berdasarkan gaya partisipasi
Kemudian Satria (2009) memberi kritikan terhadap konsep ekowisata
antara lain: 1) rendahnya partisipasi masyarakat dalam Ekowisata. Pentingnya
Partisipasi masyarakat sebagai stakeholder dalam pengembangan kawasan
wisata kadang dilupakan dalam pengembangan wilayah Ekowisata.
Masyarakat sekitar tidak dilibatkan secara aktif, 2) dampak negatif dari
pariwisata terhadap kerusakan lingkungan. Hal ini karena rendahnya
pengetahuan dan kesadaran masyarakat sekitar dan turis tentang konsep
ekowisata, 3) pengelolaan yang salah. Di beberapa wilayah di Indonesia
pengelolaan yang salah dari konsep ekowisata seringkali terjadi, dikarenakan
pemahaman yang rendah dari konsep Ekowisata juga karena lemahnya peran
dan pengawasan pemerintah untuk mengembangkan wilayah wisata secara
baik. Untuk mengembangkan pengelolaan ekowisata, diperlukan koordinasi
antar lembaga untuk menghindari konflik antar pemanfaat wilayah pesisir.
Adanya berbagai pihak yang melakukan aktivitas di kawasan pesisir tanpa
disertai konservasi dan pemulihan akan berdampak terhadap menurunnya
kondisi lingkungan
Aspek suprastruktur merupakan fasilitas penunjang untuk pengunjung
seperti penginapan, restoran, kolam renang. Aspek infrastruktur (ketersediaan
air bersih, pembuangan sampah dan sumber daya listrik, akses ke airport,
jalan, pelabuhan). Tanpa adanya kedua aspek tersebut, maka pariwisata akan
berdampak negatif (Amanah dan Utami, 2009). Selanjutnya Tuwo (2011)
menjelaskan empat prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi
agar dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem pesisir dan laut : (1)
masyarakat dilibatkan secara aktif dalam perencanaan dan pengembangan
ekowisata, (2) mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas
wisatawan terhadap bentang alam dan budaya masyarakat lokal, (3) mendidik
atau menyadarkan masyarakat lokal dan wisatawan akan pentingnya
konservasi, (4) mangatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata, sata
dapat menerima langsung pendapatan.
Menurut Atta dkk (2013) konsep ekowisata lebih baik jika
dikembangkan lagi dengan konsep ekowisata berbasis masyarakat atau
Community Based Ecotourism (CBE). Pengembangan eko-wisata CBE akan
memiliki multiplier effect yang sangat luas dalam upaya mempertahankan
kondisi lingkungan dari sisi ekologis namun tidak melupakan peningkatan
perekonomian masyarakat lokal dari sisi ekonomi.
Jaafar (2012) dalam penelitiannya tentang ―Ecotourism-related
products and activities, and the economic sustainability of small and medium
island chalets‖. Meniliti pada Pulau Redang, Kapas dan Pulau Perhentian
Besar dan Kecil (The Redang Island Marine Park), serta Pulau Tioman (The
Tioman Island Marine Park) di Malaysia. Hasil penelitian menunjukan bahwa
pengembangan wisata telah mencapai batas optimum, dimana jumlah
permintaan wisata melebihi suplai yang tersedia. Untuk mencegah kerusakan
lingkungan, diperlukan upaya pelestarian melalui pengembangan model
pengelolaan yang berorientasi terhadap keberlanjutan lingkungan. Kemudian
Agusriadi (2013) tentang ―Kajian Potensi Ekowisata Bahari di Pulau Balai
Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Aceh‖. Identifikasinya diantaranya
berdasarkan 1) Kunjungan wisatawan 2) Pelaku usaha wisata 3) Peranan
pemerintah lokal / daerah 4) Nilai WTA dan WTP 5) Potensi ekonomi wisata
bahari. Relevansi penelitian sebelumnya dengan kajian ini adalah mengkaji
potensi wisata, faktor internal dan eksternal sebagai dasar strategi, yang
membedakan adalah pembahasan potensi berdasarkan perspektif pariwisata
dengan mengacu kepada pengembangan potensi dan daya tarik wisata
Sedangkan kondisi eksisting di lapangan menunjukkan bahwa
mangrove tengah menghadapi tantangan utama berupa alih fungsi lahan.
Berbagai kepentingan yang seringkali mengorban kan keberadaan mangrove
seperti tambak, pemukiman, perkebunan, industri dan infrastruktur
pantai/pelabuhan. Masalah lain yaitu pemahaman masyarakat tentang
mangrove yang masih rendah dan tumpang tindih kebijakan di tingkat
nasional hingga daerah dan kondisi ini diperburuk dengan pencemaran oleh
limbah plastik, limbah rumah tangga dan tumpahan minyak
(http://ppid.menlhk.go.id//siaran_pers, diakses tanggal 25 Agustus 2017).
Masyarakat Ekowisata (The Ecotourism Society, 1991 dalam Wood,
1996 dalam Lash, 1997) menjelskan bahwa ekowisata sebagai perjalanan
wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi
lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Ekowisata
dalam definisi ini dapat dilihat dari tiga perspektif, yakni sebagai: (1) produk,
merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. (2) pasar,
merupakan perjalanan yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian
lingkungan dan (3) pendekatan pengembangan, merupakan metode
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah
lingkungan (Damanik, 2006)
Dari beberapa pengertian ekowisata, pada dasarnya memiliki prinsip-
prinsip utama yaitu: 1) Model pengembangan wisata yang bertanggung jawab
di daerah yang masih alami, 2) untuk menikmati keindahannya, juga
melibatkan unsur pendidikan (Edu- Tourism), pemahaman dan dukungan
terhadap usaha-usaha konservasi sumberdaya alam, 3) memiliki fungsi sosial
budaya ekonomi seperti peningkatan pengetahuan dan pendapatan masyarakat
sekitar. Dalam skema diatas, maka dikelompokkan kedalam lingkungan sosial
yaitu Cultural, Educational, Scientific dan Adventure dimana kehidupan
masyarakat sekitar obyek wisata dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan
demikian juga halnya dengan lingkungan biotik dan abiotik yang meliputi
Agrotourism. Sehingga dapat disimpulkan, ekowisata (ecotourism)
merupakan kegiatan wisata yang berhubungan dengan lingkungan secara
keseluruhan.
Pemerintah, pemilik modal dan masyarakat memiliki peranan penting
untuk dapat melaksanakan kegiatan ekoturisme yang dapat digunakan sebagai
alternatif solusi dalam memberikan kontribusi pendapatan, terutama bagi
kawasan-kawasan lindung seperti hutan lindung, taman hutan rakyat maupun
kawasan mangrove sekalipun. Permasalahannya adalah bagaimana
pemasukan dari wisatawan tetap mengalir dengan tanpa merusak atau
mengurangi nilai dari lingkungan yang disadari sebagai aset utama obyek
daya tarik wisata dan bagaimana uang dari wisatawa mengalir kembali untuk
proses konservasi lingkungan dan uang itu mengalir kembali ke masyarakat
lokal.
Pemanfaatan ekosistem mangrove untuk konsep wisata
(ekowisata)sejalan dengan pergeseran minat wisatawan dari old tourism yaitu
wisatawan yang hanya datang melakukan wisata saja tanpa ada unsur
pendidikan dan konservasi menjadi new tourism yaitu wisatawan yang datang
untuk melakukan wisata yang di dalamnya ada unsur pendidikan dan
konservasi. Oleh karena itu, diperlukana upaya yang serius untuk mengelola
dan mencari daerah tujuan ekowisata yang spesifik alami dan kaya akan
keanekaragaman hayati serta dapat melestarikan lingkungan hidup (Rutana,
2011).
Batas laut wilayah Kota Surabaya sejarak 4 mil dari garis pantai perlu
ditetapkan menggunakan peta standar yang disepakati baik di tingkat Kota
dan Kabupaten maupun tingkat Propinsi. Untuk wilayah Surabaya belum ada
hasil pemetaan garis pantai sesuai kebutuhan tersebut, oleh karena itu dalam
seluruh kajian ini akan menggunakan dasar Peta Laut No: 96 (1995) skala 1:
75.000, 84 (2002) skala 1 :12.500 yang dikeluarkan oleh Dinas
Hidrooseanografi TNI-AL.
Dari hasil penelitian Ecoton (1996) menunjukan bahwa kawasan
mangrove di Pantai Timur Surabaya mempunyai ketebalan sekitar 5-20 meter
dan menutupi 8,7 km dari 28,5 km panjang garis pantai. Ketebalan kawasan
mangrove telah mengalami penurunan yang drastis di sepanjang pantai
Kenjeran sampai dengan pantai muara sungai Jagir Wonokromo
Garis pantai muara sungai Jagir Wonokromo sampai dengan muara
sungai Wonorejo, ketebalan kawasan mangrove ± 5-10 meter dan didominasi
jenis Avicennia marina, A. alba, Sonneratia ovata, S. caseolaris dan
Rhizophora mucronata. Kondisi hutan relatif baik, pada luasan tertentu hutan
mangrove yang didominasi jenis Avicennia sp tampak rusak, daun
meranggas, kanopi tidak rimbun, batang gundul dan miring. Mendekati muara
sungai Wonorejo, tampak kelompok-kelompok pohon mangrove yang
didominasi oleh jenis Sonneratia ovata dan S. alba di perairan laut, terpisah
dari hutan mangrove di garis pantai
Hasil pengamatan kawasan mangrove dan fauna di kawasan Pantai
Timur Surabaya menunjukkan bahwa di sekitar muara sungai Jagir
Wonokromo terdapat area yang menjadi habitat 36 spesies burung menetap
dan persinggahan 15 spesies burung migran, yang potensial dilestarikan
sebagai kawasan perlindungan satwa burung. Spesies burung yang dijumpai
antara lain kuntul putih kecil (Egretta alba), cerek melayu (Charadius peroni),
trinil hijau (Tringa ochropus) dan dara laut jambul putih (Sterna bengalensis).
1.2 Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana Potensi hutan
mangrove sebagai Eco Tourism
1.3 Tujuan Makalah
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui Potensi hutan mangrove
sebagai Eco Tourism
Potensi hutan mangrove sebagai Eco Tourism

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 POTENSI EKOWISATA MANGROVE WONOREJO SURABAYA

Keterlibatan masyarakat dalam pengembangan wisata bahari dan


wisata hutan di Timur Surabaya khususnya di Wonorejo menjadi sasaran
utama Pemerintah Kota Surabaya, karena masyakat menginkan adanya
wisata yang berbeda dari yang ada sekarang ini terutama wisata alam.
Penulis telah beberapa kali mencoba menggali informasi terkait dengan hal
tersebut dan hasilnya cukup positif untuk dapat dikembangkan dengan
lebih profesional dan mandiri. Hanya saja, ada beberapa informasi yang
perlu ditelaah terkait dengan keseriusan Pemerintah Kota Surabaya jika
ingin benar-benar mengembangkan Hutan mangrove Wonorejo sebagai
salah satu destinasi baru di pesisir timur Surabaya. Pengembangan wisata
di Wonorejo harus menghindari azas Pariwisata massal (Mass Tourism)
seperti yang ada daerah lain, meskipun telah terbukti memberikan
sumbangan pemasukan yang besar bagi perekonomian suatu kawasan atau
daerah

Pengembangan ekowisata dengan keterlibatan masyarakat lokal


relatif mudah dilaksanakan karena memiliki beberapa keunikan :

1) jumlah wisatawan berskala kecil sehingga lebih mudah


dikoordinir dan dampak yang ditimbulkan terhadap alam
relatif kecil dibanding pariwisata massal,

2) ekowisata berbasis masyarakat lokal memiliki peluang dalam


mengembangkan atraksi-atraksi wisata yang berskala kecil,
mudah dikelola dan lebih mudah diterima masyarakat local

3) dengan peluang yang dimiliki masyarakat lokal dalam


mengembangkan obyek-obyek wisata yang ada di sekitarnya
akan memberikan peluang lebih besar pula dalam partisipasi
masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan,

4) memberikan pemahaman pentingnya keberlanjutan budaya


(cultural sustainability) serta meningkatkan penghargaan
wisatawan terhadap kebudayaan local

Hutan mangrove cocok dikembangkan pada kondisi lahan yang


menjadi tempat pelumpuran dan akumulasi bahan organik, yang
memungkinkan beranekaragam kehidupan bertumpu padanya. Hutan
mangrove Wonorejo memiliki kondisi lahan yang cocok untuk hidup dan
berkembangnya beraneka ragam flora dan fauna. Potensi sumberdaya alam
yang mendapat dukungan pemerintah, berupa dukungan modal, dukungan
moral dan dukungan partisipasi, memungkinkan Ekowisata Mangrove
Wonorejo cukup prospektif untuk dikembangkan.
Organisasi masyarakat merupakan salah satu potensi yang dimiliki
Ekowisata Mangrove Wonorejo. Kepengurusan organisasi sudah lama
terbentuk dan mendapat dukungan pemerintah setempat, yaitu Camat
Rungkut dan Lurah Wonorejo yang berkedudukan sebagai pelindung.
Potensi lainnya adalah partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan
ekowisata man- grove dan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung,
seperti jalan beraspal, alat transportasi, tempat parkir, loket pembayaran,
dermaga, warung, toilet umum, mushola, jogging track, kapal penumpang,
kapal patroli, gazebo, resto mangrove dan kolam pancing, serta papan
petunjuk akses terhadap berbagai fasilitas yang tersedia.

2.2 MANFAAT PEMBANGUNAN ECO-TOURISM BAGI MASYARAKAT


WONOREJO.

Pembangunan ekowisata hutan mangrove di Wonorejo, memberikan


banyak manfaat bagi maysrakat setempat baik dari aspek sosial, ekonomi
maupun agribisnis. Ditinjau dari aspek sosial, masyarakat merasakan manfaat
berupa kenyamanan untuk beraktivitas, sekalipun itu di malam hari; kondisi
lingkungan Wonorejo yang semakin lama semakin membaik; dan
meningkatnya kesejahteraan. Secara ekonomi, ekowisata menciptakan
lapangan pekerjaan, berupa kesempatan bagi masyarakat untuk berjualan di
area ekowisata mangrove dengan mengikuti tata tertib yang sudah ditetapkan.
Sementara manfaat yang dirasakan masyarakat dari aspek agribisnis, antara
lain berbagai peluang berusaha, seperti industri sirup man- grove dan kripik
mangrove dengan bahan dasar buah mangrove.

Rencana pemerintah kota Surabaya untuk mengembangkan wisata


bahari dan wisata hutan mangrove di timur Surabaya khususnya di Wonorejo
sebagai salah satu titik kegiatan wisata tersebut sebenarnya sudah ditunggu
masyarakat Surabaya yang “haus” akan keberadaan obyek wisata yang
berbeda dari yang ada sekarang ini terutama yang berbau alam. Hal ini
terlihat dari sejak diberitakannya adanya Hutan Mangrove Wonorejo, cukup
banyak masyarakat dari dengan berbagai motif wisata, telah mengunjungi
hutan mangrove tersebut.Penulis telah beberapa kali mencoba menggali
informasi terkait dengan itu dan hasilnya cukup positif untuk dapat
dikembangkan dengan lebih professional dan mandiri. Hanya saja, ada
beberapa informasi yang perlu ditelaah terkait dengan keseriusan pemerintah
kota Surabaya jika ingin benar benar mengembangkan Hutan mangrove
Wonorejo sebagai salah satu destinasi baru di pesisir timur Surabaya selain
Pantai Ria Kenjeran

Pengembangan wisata di Wonorejo harus menghindari azas Pariwisata


massal ( Mass Tourism) seperti yang ada daerah lain, meskipun telah terbukti
memberikan sumbangan pemasukan yang besar bagi perekonomian suatu
kawasan atau daerah. Permasalahannya adalah bagaimana pemasukan dari
wisatawan tetap mengalir dengan tanpa merusak atau mengurangi nilai dari
lingkungan yang disadari sebagai aset utama obyek daya tarik wisata dan
bagaimana uang dari wisatawan mengalir kembali untuk proses konservasi
lingkungan. Selain itu, bagaimana uang tersebut mengalir juga kepada
masyarakat lokal yang tinggal disekitar kawasan wisata

Suatu kesalahan bila keuntungan yang diserap dari kegiatan wisata


alam tanpa melibatkan penduduk lokal karena mereka merupakan mitra
dalam proses konservasi yang akan dilakukan. Dengan kata lain , perlu
pendekatan yang komprehensif dalam pariwisata untuk dapat
menggabungkan suatu komitmen yang kuat terhadap pelestarian alam serta
tanggung jawab sosial ekonomi yang besar kepada masyarakat lokal, atau
dapat disebut sebagai perjalanan wisata yang bertanggung jawab. Maka
dikenalkannya pada era tahun 80-an, konsep Ecotourism (yang merupakan
kependekan dari Ekologi Wisata, atau ekowisata) sebagai suatu bagian dari
pembangunan pariwisata memiliki pendekatan berkelanjutan, dimana
memiliki pendekatan berbagai disiplin ilmu , perencanaan yang baik baik
fisik maupun non fisik, serta pedoman dan aturan yang tegas sehingga dapat
menjamin pelaksanaan yang berkelanjutan, dan bersifat lintas sektoral.
Ada banyak pemahaman mengenai Ekowisata, The ecotourism society
(1990) memberikan pengertian, ekowisata merupakan suatu bentuk
perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan
mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan
penduduk setempat (Fandeli, 2000). Sedangkan Goodwin (dalam Fennel,
1999)

“..low impact nature tourism which contributes to the maintenance of


species and habitats either directly trough a contribution to conservation
and/or indirectly by providing revenue to the local community sufficient for
local people to value, and therefore protect, their wildlife heritage are as
source of income..”

Dari sekian banyak pengertian ekowisata, pada dasarnya memiliki


prinsip– prinsip utama yaitu:

1. Suatu model pengembangan wisata yang bertanggung jawab di daerah


yang masih alami atau di daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah
secara alam.

2. Untuk menikmati keindahannya, juga melibatkan unsur pendidikan


(EduTourism), pemahaman dan dukungan terhadap usaha-usaha
konservasi sumberdaya alam

3. Memiliki fungsi sosial budaya ekonomi seperti peningkatan pengetahuan


dan pendapatan masyarakat sekitar.

Dalam skema diatas, dapat dikelompokkan kedalam lingkungan sosial


adalah Cultural, Educational, Scientific dan Adventure dimana kehidupan
masyarakat sekitar obyek wisata dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan
demikian juga halnya dengan lingkungan biotik dan abiotik yang meliputi
Agrotourism. Sehingga dapat disimpulkan, ekowisata atau ecotourism
merupakan kegiatan wisata yang berhubungan dengan lingkungan secara
keseluruhan.
Pemerintah, pemilik modal dan masyarakat memiliki peranan penting
untuk dapat melaksanakan kegiatan ekoturisme yang dapat digunakan sebagai
alternatif solusi dalam memberikan kontribusi pendapatan, terutama bagi
kawasankawasan lindung seperti hutan lindung, taman hutan rakyat maupun
kawasan mangrove sekalipun

Pengembangan ekowisata dengan keterlibatan masyarakat lokal relatif


mudah dilaksanakan karena memiliki beberapa keunikan :

1. Jumlah wisatawan berskala kecil sehingga lebih mudah dikoordinir dan


dampak yang ditimbulkan terhadap alam relatif kecil dibanding pariwisata
massal.

2. Ekowisata berbasis masyarakat lokal memiliki peluang dalam


mengembangkan atraksi-atraksi wisata yang berskala kecil sehingga dapat
dikelola dan lebih mudah diterima oleh masyarakat lokal.

3. Dengan peluang yang dimiliki masyarakat lokal dalam mengembangkan


obyek-obyek wisata yang ada di sekitarnya akan memberikan peluang
lebih besar pula dalam partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan
keputusan.

4. Memberikan pemahaman pentingnya keberlanjutan budaya (cultural


sustainability) serta meningkatkan penghargaan wisatawan terhadap
kebudayaan lokal.

Suatu hal yang perlu diingat, bahwa ekowisata tidak hanya


berhubungan dengan kawasan yang dilindungi seperti hutan lindung, cagar
alam, dan taman nasional tetapi juga meliputi kawasan-kawasan alam yang
tidak berstatus dilindungi agar masyarakat sekitar melakukan perlindungan
secara sadar terhadap lingkungan mereka bukan atas desakan dari pihak
luar

2.3 PELUANG PENGEMBANGAN


Dalam penelitian ini strategi pengembangan wilayah ekowisata
mangrove Wonorejo didasarkan pada analisis internal (IFAS) dan
eksternal (EFAS). Hasil identifikasi menunjukkan, ekowisata mangrove di
Wonorejo memiliki 5 (lima) kekuatan, antara lain kesesuaian ekologi
dengan skor tertinggi, diikuti dengan keragaman vegetasi, promosi dan
dukungan pemerintah setempat dengan skor cukup tinggi (Tabel 1).
Sementara itu, diidentifikasi pula beberapa kelemahan, yakni sering terjadi
perangkapan tenaga kerja dengan skor cukup tinggi; kurangnya
keramahan penjaga, kebersihan yang kurang terjaga, dan kurangnya
pengawasan dari pengelola dengan skor sedang. Secara total, skor
kekuatan lebih tinggi dari pada kelemahan, artinya strategi pengembangan
ekowisata mangrove di Wonorejo dapat bertumpu dari kekuatan.

Sedangkan strategi pengembangan yang didasarkan pada kondisi


eksternal diidentifikasi masing-masing lima peluang dan lima ancaman,
dengan skor total peluang lebih tinggi dari skor ancaman Peluang yang
menonjol dengan skor cukup tinggi, terdiri dari kebutuhan rekreasi
masyarakat Surabaya dan sekitarnya, dan dukungan serta partisipasi warga
Wonorejo. Peluang lainnya berupa alternatif pariwisata baru, dukungan
kebijakan pemerintah, serta sarana dan prasarana wisata mendapat skor
sedang. Sementara ancaman dengan skor sedang muncul dari pesaing
usaha sejenis, penebangan hutan mangrove secara liar, kerusakan yang
dilakukan pengunjung dan abrasi pantai. Berdasarkan analisis eksternal,
strategi pengembangan ekowisata mangrove di Wonorejo diarahkan untuk
memanfaatkan peluang untuk menghadapi ancaman.

Prinsip dasar pengembangan obyek wisata baru harus dilihat dari


sisi sumberdaya yang dominan dari sebuah obyek wisata tersebut, dalam
hal ini kawasan hutan mangrove Wonorejo, berorientasi pada dominasi
potensi alam yang cukup memberikan atraksi tertentu bagi calon
wisatawan, atau dapat dikatakan pengembangan hutan mangrove
Wonorejo berdasarkan pada Resources Based Orientation, dimana rencana
pengembangan wisatanya harus dan berdasarkan pada kondisi alam dan
lingkungan biogeofisik dan kultural setempat. Jika ada kebutuhan fasilitas
dan sarana prasarana seperti fasilitas umum seperti toilet atau mushola
juga harus mencerminkan bagunan ramah lingkungan. Berikut beberapa
potensi yang dapat dipertimbangkan dalam pengembangan obyek wisata :

a.Potensi Ekonomi Lokal

Pengembangan wisata hutan mangrove Wonorejo Surabaya


memiliki potensi ekonomi berskala kecil dan local, hal ini terkait dengan
keterlibatan serta peran masyarakat Wonorejo dalam memahami
keberadaan hutan mangrove sebagai bagian dari kehidupan mereka
sebagai masyarakat pesisir. Pemahaman masyarakat sekitar dan dengan
segala aktifitasnya dapat memberika makna yang cukup besar bagi
kelangsungan hidup kawasan pesisir timur Surabaya dimana kawsan ini
memiliki fungsi hidrologis yang berperan mengurangi abrasi dan banjir di
Surabaya. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi yang dapat dimulai dari kecil
seperti berjualan makanan minuman, jasa parkir, pemandu wisata, jasa
perahu dan lainnya dapat memberikan pengakuan lebih bagi masyarakat
local dari sudut pandang ekonomi.

b. Potensi Pendidikan Konservasi

Dengan adanya pemahaman dan peran masyarakat terhadap


keberadaan mangrove di lingkungan mereka, akan memberikan nilai
tambah dalam memaknai kehidupan pesiri itu sendiri maupun peran
penting masyarakat pesisir sebagai bagian dari ekosistem pantai timur
Surabaya. Pemahaman dan kesadaran akan peran masyarakat local dapat
dikenalkan, dilatih dan dipraktekkan dalam sebuah program linier seperti
sosialisasi pemahaman ekowisata, pelatihan pemanduan wisata atau
interpreter ekowisata pemula dengan dibekali materi mengenai mangrove
dan ekosistemnya
Bagi masyarakat luar kawasan hutan mangrove Wonorejo, seperti
siswa sekolah dasar hingga universitas, dan masyarakat umum, dapat
memperoleh informasi dan pedidikan (Edu-Tourism) yang baik mengenai
fungsi dan manfaat mangrove serta kawasan resapan dan dampaknya
terhadap Kota Surabaya. Hal ini akan memberikan paling tidak
pengetahuan dasar dengan harapan munculnya kesadaran akan cinta
lingkungan baik berskala mikro (rumah tinggal) hingga makro (lingkungan
yang lebih luas)

Tourism Conduct

Pengelolaan wisatawan atau pengunjung perlu diperhatikan


mengingat dari berbagai pengalaman pengelolaan wisatawan tidaklah
mudah dan harus dimulai dari awal perencanaan, seperti perlu tidaknya
tourism conduct (tata tertib atau larangan) di kawasan wisata hutan
mangrove Wonorejo, seperti ”Dilarang Berburu”, ”Dilarang Mencoret”
atau sejenisnya (vandalism) Saran untuk membawa Bino/monocular untuk
menikmati aktifitas satwa liar, dan lainnya. Perlu ditegaskan pada calon
wisatawan yang akan berkunjung, baik tata tertib maupun saran tersebut
diatas akan memberikan rasa aman, nyaman serta menjadikan obyek
wisata menjadi lebih enjoyable dengan tetap memperoleh pengalaman
yang unik dan menarik untuk dikenang.

Zonasi

Pada awalnya zonasi diperlukan jika disebuah kawasan wisata


alam memiliki beberapa spot yang perlu diperhatikan oleh wisatawan
seperti ekosistem satwa liar yang rentan terhadap keberadaan wisatawan
selama menikmati aktifitas satwa tersebu(animal disturbance).Oleh karena
itu perlu diberikan beberapa informasi yang dapat disampaikan pada calon
wisatawan di pintu masuk kawasan wisata ini.

3.4 TANTANGAN PENGEMBANGAN EKOEISATA HUTAN MANGROVE


WONOREJO
Dari berbagai manfaat yang dapat diperoleh dalam pengembangan
hutan wisata Mangrove Wonorejo Surabaya, tentunya ada beberapa hal
yang perlu dan penting diperhatikan terkait dengan pengembangannya:

1. Pengukuran daya dukung lingkungan mikro baik ekosistem pantai


maupun lingkungan masyarakat local yang relative dinamis agar tidak
terjadi overload dalam pengelolaanya , yang tentunya akan berdampak
pada kawasan itu sendiri

2. Fungsi kelembagaan masyarakat dalam mengelola kawasan tersebut


nantinya agar mampu mandiri baik dari sisi softskill maupun
kemandirian secara ekonomi.

3. Perlu adanya pembatasan transportasi pribadi yang masuk ke zona inti


hutan mangrove, hal ini selain dapat merusak kondisi jalan masuk juga
mengganggu aktifitas satwa liar disana.Di sisi lain masyarakat melalui
lembaga yang telah dibentuk dapat mengadakan persewaan sepeda
gunung atau sewa lahan parkir sehingga wisatawan diwajibkkan berjalan
kaki untuk menikmati kawasan ini.

Tentunya masih banyak hal yang harus dibenahi untuk


menyempurnakan obyek wisata baru ini sebagai destinasi favorit di
Surabaya Timur, bukankah kita semua ingin memiliki obyek wisata alam
yang lestari untuk anak cucu kita?
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Potensi yang di miliki oleh Ekowisata Mangrove Wonorejo


Surabaya saat ini antara lain: ekologi tempat/kesesuaian tempat, sumber
daya alam yang meliputi flora dan fauna, dukungan pemerintah,
keorganisasian, dukungan masyarakat Wonorejo, serta sarana dan
prasarana.

Kondisi lingkungan internal dan eksternal Ekowisata Mangrove


Wonorejo Surabaya saat ini terdiri dari:

i) kekuatan, yakni berfungsi sebagai penunjang konservasi mangrove,


ekologi tempat/kesesuaian tempat, ketersediaan vegetasi flora dan
fauna, dukungan modal dari pemerintah dan promosi;

ii) kelemahan, yakni sering terjadi perangkapan kerja, pendidikan dan


pengalaman pengelola masih kurang, keramahan pengelola masih
kurang, kurang pengawasan dari pengelola, dan kebersihan yang
kurang terjaga;

iii) peluang, yakni sebagai alternative pariwisata baru, dukungan


kebijakan pemerintah, kebutuhan rekreasi masyarakat Surabaya
dan sekitarnya, sarana dan prasarana wisata, dukungan dan
partisipasi warga Wonorejo;
iv) ancaman, yakni pesaing sejenis, penebangan hutan mangrove
secara liar, abrasi/kerusakan pantai, sampah dan kerusakan yang di
lakukan oleh pengunjung (wisatawan).

Sebagai alternatif kawasan tujuan wisata, pengembangan daerah


ekowisata di Indonesia belum banyak dilakukan oleh pemerintah.
Meskipun sebenarnya, banyak manfaat yang dapat diperoleh, antara lain
untuk kepentingan peningkatan pendapatan masyarakat sekaligus
menjaga kelestarian lingkungan (konservasi)

Kawasan hutan mangrove Wonorejo Surabaya menyimpan potensi


untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata mangrove. Selain
karena kondisi hutan mangrove yang masih sangat alami,
keanekaragaman flora dan fauna yang menjadikan kawasan tersebut
sebagai habitat merupakan daya tarik tersendiri. Lebih lanjut, kawasan
hutan mangrove Wonorejo dapat pula direkomendasikan sebagai sarana
pendidikan bagi kalangan siswa sekolah dan mahasiswa untuk lebih
mengenal keanekaragaman hayati di wilayah pesisir
DAFTAR PUSTAKA

Atmaja, I.B.Y., 2002. Ekowisata Rakyat. Press Wisnu : Bali

Aqla, M.2002. Studi Pengembangan Ekowisata pada Kawasan Hutan Konservasi


di Loksado Kalimantan Selatan: Studi Kasus di Kecamatan Loksado
Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Tesis. Magister Ilmu Lingkungan.
Fakultas Pasca Sarjana UGM.Jogjakarta

Boniface, B.G., and C. Cooper. 1994. The Geography of Travel and Tourism.
Butterworth Heinemann : Oxford. Eagles,

P.F.J., S. F. Mc.Cool., and C. D. Haynes. 2002. Sustainable Tourism in Protected


Areas : Guidelines for Planning and Management. IUCN : United
Kingdom

Fandeli, C., dan Muhklison . 2000. Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan


Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta

Fennel, D. A. 1999. Ecotourism : An Introduction. Routledge: London. Inskeep,E.


1991. Tourism Planning An Integrated and Sustainable Development
Approach. Van Nostrand Reinhold:New York

Kusworo, H.A. 2000. Pengembangan Wisata Pedesaan Tepi Hutan Berbasis


Kerakyatan dalam Pengusahaan Ekowisata, Pengusahaan
Ekowisata.Chafid Fandeli, ed. Fakultas kehutanan Universitas Gadjah
Mada : Yogyakarta.
Smith, N. J.H. 2002. The Amazon River Forest : Natural History of Plant,
Animals and People. Annals of The Association of American
Geographers: Vol. 91 : 127 – 144.

Stark,J.C. 2002. Ethics and ecotourism: connections and conflicts. Philoshophy


and geography,vol.5 : No.1

Whitten, T., R. E. Soeriaatmadja., A.Afif. 2000. The Ecology of Java and Bali.
Periplus : Singapore

Yoeti, O. A. 2002. Perencanaan Strategis Pemasaran Daerah Tujuan Wisata.


Pradnya Paramita : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai