Anda di halaman 1dari 18

PAPER MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

REHABILITASI PADANG LAMUN, MANGROVE, DAN TERUMBU KARANG

Oleh Kelompok 2
Herjon Hutajulu

(1314521002)

I Made Mahendra Putra

(1341521016)

Yulihatul Meisaroh

(1314521023)

Desak Made Goldyna Rarasari

(1314521028)

I Nyoman Sastra Adi Putra

(1314521029)

Ni Made Putri Handayani

(1314521038)

Ni Desak Putu Ida Suryani

(1314521039)

I Made Suma Krisna Sravishtha

(1314521042)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alamnya, baik
itu sumber daya alam di darat maupun di perairan. Dengan garis pantai Indonesia yang
terpanjang keempat didunia setelah Amerika, Kanada, dan Rusia yaitu 95,181 km, membuat
Indonesia memiliki sumber daya perairan yang memiliki ciri khas dan beragam. Wilayah
pesisir dan lautan Indonesia dikenal dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati laut
terbesar di dunia yang memiliki ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang (coral
reefs) dan padang lamun (sea grass beds) (Dahuri et al. 1996).
Padang lamun merupakan salah satu ekosistem pesisir yang sangat produktif dan
bersifat dinamik. Faktor-faktor lingkungan yaitu faktor fisik, kimia, dan biologi secara
langsung berpengaruh terhadap ekosistem padang lamun. Padang lamun menyediakan
habitat bagi banyak hewan laut dan bertindak sebagai penyeimbang substrat (McKenzie,
2008 dalam Dwi Wulandari, 2013). Potensi lamun di Indonesia memiliki luas sekitar 30.000
Km2 dengan keragaman 13 spesies. Di setiap padang lamun hidup berbagai biota lainnya
yang berasosiasi dengan lamun, yang keseluruhannya terkait dalam satu rangkaian fungsi
ekosistem. Padang lamun secara fisik juga berfungsi sebagai stabilisator substrat dasar
pesisir.
Ekosistem Lamun merupakan ekosistem yang sangat rentan mengingat sekali rusak
atau terganggu, ekosistem ini tidak akan baik kembali seperti tanaman darat (Fonseca,
1987). Ekosistem lamun sudah banyak terancam termasuk di Indonesia baik secara alami
maupun oleh aktifitas manusia. Hilangnya padang lamun terutama merupakan akibat dari
dampak langsung kegiatan manusia termasuk kerusakan secara mekanis (pengerukan dan
jangkar), eutrofikasi, budidaya perikanan, pengendapan, pengaruh pembangunan konstruksi
pesisir. Hilangnya padang lamun ini diduga akan terus meningkat akibat tekanan
pertumbuhan penduduk di daerah pesisir (Kiswara, 2009). Ancaman-ancaman alami
terhadap ekosistem lamun dapat berupa angin topan, siklon (terutama di Philipina),
gelombang pasang, kegiatan gunung berapi bawah laut, interaksi populasi dan komunitas
(pemangsa dan persaingan), pergerakan sedimen, hama dan penyakit serta vertebrata
pemangsa lamun.

Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan khas
merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial. Mangrove memiliki banyak
fungsi dan manfaat yang sudah diketahui, sebagai tempat memijahnya ikan-ikan di perairan,
pelindung daratan dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring
instrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan,
tempat singgah migrasi burung, dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat lainnya bagi
manusia. Faktor penyebab kerusakan mangrove antara lain adalah tekanan populasi

manusia, eksploitasi produk kayu dan konversi lahan menjadi tambak (Ong 2002) . Ancaman
lain adalah terkait perubahan iklim, yaitu ke-naikan permukaan air laut, perubahan
hidrologi, tem-peratur, dan konsentrasi CO2 (Kusmana 2010a).
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau dan
luas laut sekitar 3,1 juta km2. Salah satu potensi sumber data alam yang melimpah di
Indonesia adalah terumbu karang. Luasan terumbu karang Indonesia mencapai 51% dari
luasan di Asia Tenggara, namun presentasenya mengalami penurunan dari tahun ke tahun,
dimana 30,96% yang masih dalam keadaan baik, sedangkan 69,04% dalam kondisi buruk
(Coremap, 2008).
Dewasa ini dengan berubahnya alur kebijaksanaan pemerintah yang melihat sektor
maritim sebagai pemasok sumber devisa mau tidak mau hal ini akan mengakibatkan
meningkatnya aktivitas pembangunan di wilayah pesisir. Dan pada gilirannya akan
mengakibatkan terganggunya lingkungan pesisir, diantaranya ekosistem terumbu karang,
mangrove maupun padang lamun. Oleh karena kerusakan-kerusakan tersebut diakibatkan
oleh aktivitas manusia perlu diadakannya rehabilitaso pada ketiga ekosistem terpenting
diperairan tersebut agar ketiga ekosistem tersebut tetap lestari dan terus memberikan
manfaat bagi semua komponen makhluk hidup yang terkait di dalamnya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat ditarik beberapa rumusan masalah, diantaranya:
1. Bagaimana Cara Rehabilitasi Padang Lamun?
2. Bagaimana Cara Rehabilitasi Mangrove?
3. Bagaimana Cara Rehabilitasi Terumbu Karang?
1.3 Tujuan
Tujuan disusunnya paper ini adalah agar mampu memahami potensi dan kondisi
keberadan padang lamun, mangrove, dan terumbu karang saat ini di Indonesia. Serta mampu

mengaplikasikan cara merehabilitasi padang lamun, mangrove dan terumbu karang agar
keberadaan ekosistem perairan tetap terjaga dan lestari.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Rehabilitasi Padang Lamun
Indonesia memiliki potensi lamun dengan luas sekitar 30.000 Km2 dengan
keragaman 13 spesies. Di setiap padang lamun hidup berbagai biota lainnya yang
berasosiasi dengan lamun, yang keseluruhannya terkait dalam satu rangkaian fungsi
ekosistem. Lamun memiliki peranan penting bagi perikanan hal ini dikarekan banyak
ikan yang memiliki nilai ekonomis yang hidup di lamun. Lamun memiliki fungsi sebagai
tempat berlindung, tempat memijah dan mengasuh anaknya. Jika dilihat dari segi
pertahanan pantai. Padang lamun dengan akar-akarnya yang mencengkeram dasar laut
dapat meredam gerusan gelombang laut hingga padang lamun dapat mengurangi dampak
erosi. Padang lamun juga dapat menangkap sedimen hingga akan membantu menjaga
kualitas air.
Meskipun lamun mempunyai banyak manfaat, namun pada kenyataan lamun
mengalami banyak masalah.Gangguan pada lamun pada umunnya diakibatkan oleh hal
umum yaitu:
1. Gangguan Alam
Fenomena alam seperti tsunami, letusan gunung api dapat menimbulkan
kerusakan pantai yang pada akhirnya berdampak pada lamun.seperti contoh tsunami yang
terjadi di aceh (2004), gempa bumi, seperti gempa di nias (2005) dan lainnya. Selain itu
siklontropis dapat menimbulkan banyak kerusakan pantai terutama di lintang 10 0-200
LU/LS. Selain kerusakan fisiky yang diakibatkan oleh aktifitas kebumian. Kerusakan
dapat juga diakibatkan oleh aktivitas hayati seperti aktivitas biota herbivor. Yang dapat di
temukan bahwa banyak biota yang memakan lamun seperti: penyuhijau, dan lainnya.
2.Gangguan Aktivitas Manusia
Pada dasarnya ada empat jenis kerusakan lingkungan perairan pantai yang
disebabkan oleh kegiatan manusia, yang bisa memberikan dampak pada lingkungan
lamun:
a

Kerusakan fisik yang menyebabkan degrades lingkungan, seperti penebangan


mangrove, perusakan terumbukarang dan atau rusaknya habitat padang lamun;

a) Pencemaran laut, baik pencemaran asal darat, maupun dari kegiatan di laut;
a) Penggunaan alat tangkap ikan yang tak ramah lingkungan; Tangkap lebih, yakni
eksploitasi sumberdaya secara berlebihan hingga melewati kemampuan daya
pulihnya

Rehabilitasi padang lamun


Merujuk pada kenyataan bahwa padang lamun mendapat tekanan gangguan
utama dari aktivitas manusia maka untuk rehabilitasinya dapat dilaksanakan melalui
dua pendekatan yakni:

1. Rehabilitasi Lunak
a. Kebijakan dan strategi pengelolaan. Dalam pengelolaan lingkungan diperlukan
kebijakan dan strategi yang jelas untuk menjadi acuan pelaksanaan oleh para
pemangku kepentingan (stake holders).
b

Penyadaran masyarakat (Public awareness).

Penyadaran masyarakat

dapat dilaksanakan dengan berbagai pendekatan seperti:

Kampanye

penyadaran

lewat

media

elektronik

(televisi,

radio),

ataupun lewat media cetak (koran, majalah, dll)


Penyebaran berbagai materi kampanye seperti: poster, sticker, flyer,

booklet, dan lain-lain


Pengikut-sertaan tokoh masyarakat (seperti pejabat pemerintah, tokoh
agama, tokoh wanita, seniman, dll) dalam penyebar-luasan bahan
penyadaran.

c)

Pendidikan.

Pendidikan

mengenai

lingkungan

termasuk

pentingnya

melestarikan lingkungan padang lamun. Pendidikan dapat disampaikan lewat


jalur pendidikan formal dan non-formal
d

Pengembangan riset. Riset diperlukan untuk mendapatkan informasi yang


akurat untuk mendasari pengambilan keputusan dalam pengelolaan
lingkungan.

Mata pencaharian alternatif. Perlu dikembangkan berbagai kegiatan untuk


mengembangkan mata pencaharian alternatif yang ramah lingkungan yang
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Masyarakat yang lebih

sejahtera lebih mudah diajak untuk menghargai dan melindungi lingkungan.


f

Pengikutsertaan masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan

lingkungan dapat member motivasi yang lebih kuat dan lebih menjamin
keberlanjutannya. Kegiatan bersih pantai dan pengelolaan sampah misalnya
merupakan bagian dari kegiatan ini.
g

Pengembangan Daerah Pelindungan Padang Lamun (segrass sanctuary)


berbasismasyarakat.

Daerah

Perlindungan

Padang

Lamun

(DPPL)

merupakan bank sumberdaya yang dapat lebih menjamin ketersediaan


sumberdaya ikan dalam jangka panjang. DPPL berbasis masyrakat lebih
menjamin keamanan dan keberlanjutan DPPL.
h

Peraturan perundangan. Pengembangan pengaturan perundangan perlu


dikembangkan dan dilaksanakan dengan tidak meninggalkan kepentingan
masyarakat luas. Keberadaan hokum adat, serta kebiasaan masyarakat local
perlu dihargai dan dikembangkan.

Penegakan hokum secara konsisten.

Segala peraturan perundangan tidak

akan ada manfaatnya bila tidak dapat ditegakkan secara konsisten. Lembagalembaga yang terkait dengan penegakan hokum perlu diperkuat, termasuk
lembaga-lembaga adat.
2. Rehabilitasi keras
Rehabilitasi keras menyangkut kegiatan langsung perbaikan lingkungan di
lapangan. Ini dapat dilaksanakan misalnya dengan rehabilitasi lingkungan atau
dengan transplantasi lamun di lingkungan yang perlu direhabilitasi. Kegiatan
transplantasi lamun belum berkembang luas di Indonesia. Berbagai percobaan
transpalantasi lamun telah dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI yang
masih dalam taraf awal. Pengembangan transplantasi lamun telah dilaksanakan di
luar negeri dengan berbagai tingkat keberhasilan.

Gambar 2.1. Transplantasi Lamun Buatan


2.2 Rehabilitasi Mangrove

Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan
khas merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial. Mangrove memiliki banyak
fungsi dan manfaat yang sudah diketahui, sebagai tempat memijahnya ikan-ikan di perairan,
pelindung daratan dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring
instrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan,
tempat singgah migrasi burung, dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat lainnya bagi
manusia. Tetapi ada banyak faktor yang menyebabkan kerusakan pada mangrove antara lain
tekanan populasi manusia, eksploitasi produk kayu dan konservasi lahan menjadi tambak
(Ong 2002). Acaman lain juga timbul dari terkait perubahan iklim, yaitu kenaikan permukaan
air laut, perubahan hidrologi, temperatur, dan konsentrasi CO2 (Kusmana 2010). Salah satu
ekosistem mangrove yang terdegradasi terletak di kawasan pesisisr Jakarta, Muara Angke,
dengan luasan mencapai 264.65 ha. Kerusakan tersebut diakibatkan oleh aktivitas
pembangunan perumahan, pembangunan jalan tol, fasilitas pembangkit listrik, insfratruktur
bandara dan tambak.
Dengan terjadinya hal tersebut perlu dilakukan rehabilitasi. Banyak yang bisa
dilakukan untuk rehabilitasi hutan mangrove, tergantung tingkat kerusakan dan daerah
ataupun area posisi mangrove. Upaya rehabilitasi bertujuan bukan saja untuk mengembalikan
nilai estetika namun yang paling utama adalah mengembalikan fungsi ekologis kawasan
hutan mangrove.
Secara umum ada beberapa langkah-langkah yang digunakan untuk rehabilitasi
mangrove yaitu;
1. Langkah pertama Rapat pendahuluan
Langkah pertama yang harus dilakukan untuk mulai melakukan pekerjaan rehabilitasi
mangrove adalah membentuk tim inti yang akan bertugas sebagai tenaga pendamping
masyarakat dalam melaksanakan program rehabilitasi mangrove di suatu kawasan
mangrove.
2. Langkah kedua penelitian awal
Setelah proposal dibuat, maka kegiatan selanjutnya adalah mencoba menawarkan
proposal tersebut kepada beberapa lembaga donor dan atau penyandang dana yang
sekiranya memiliki kesepahaman dan tujuan yang sama dalam menyelamatkan pesisir
pantai di program rehabilitasi mangrove.
3. Langkah ketiga Sosialisasi ke masyarakat

Setelah melakukan tahapan penelitian di lapangan, hasil, kesimpulan dan rekomendasi


yang didapatkan berupa data dan angka serta permasalahan yang terjadi di lokasi program
pelaksanaan rehabilitasi mangrove kita, mulai disosialisasikan kepada masyarakat dengan
melaksanakan sebuah sarasehan mangrove.
4. Langkah keempat pembuatan bedeng
Setelah tahapan sosialisasi ke masyarakat selesai dilaksanakan, tahapan selanjutnya
adalah mulai menjalankan tahapan teknis rehabilitasi mangrove yang pertama, yaitu
pembuatan bedeng persemaian mangrove. Pembuatan bedeng dilaksanakan secara
bersama dengan masyarakat sebagai pelaksana program. Lokasi bedeng, dipilih yang
berdekatan dengan lokasi penanaman mangrove. Hal ini, bertujuan untuk mempermudah
distribusi bibit mangrove pada saat penanaman. Selain itu, harus diperhatikan juga
tentang kondisi lingkungan, seperti tipe pasang surut di lokasi bedeng.
5. Langkah kelima survei lokasi buah mangrove dan pengambilan buah mangrove
Berdasarkan survei yang telah dilakukan, kemudian diidentifikasi beberapa lokasi dan
titik yang bisa dijadikan sumber bibit mangrove.
6. Langkah keenam perlakuan buah
Secara sederhana, buah mangrove yang ditemukan di lapangan, biasanya terdiri dari dua
tipe, yaitu tipe propagul dan tipe buah bulat. Tipe propagul berbentuk bulat-lonjongmemanjang dan tipe buah bulat berbentuk bulat, dengan variasi bulat-lancip seperti pada
jenis Avicennia dan bulat penuh yang terdapat pada Sonneratia. Kedua tipe buah
mangrove ini mendapatkan perlakukan yang sama setelah dipetik dari lapangan, yaitu
direndam kurang lebih dua hari atau menyesuaikan dengan jarak waktu antara pembibitan
dan penanaman, sebelum kemudian disemaikan di bedeng.
7. Langkah ketujuh pembibitan
Sebagai informasi, polibek terdiri dari dua tipe, yaitu polibek kecil untuk buah berukuran
kecil, seperti Avicennia spp, Sonneratia spp dan Ceriops spp dan polibek besar untuk
buah Rhizophora spp dan Bruguiera spp. Polibek memiliki lubang di bagian samping dan
bawahnya, yang berguna untuk sirkulasi air dan udara. Selanjutnya, lumpur yang
digunakan pada tahap pembibitan ini, sebaiknya diambil dari sekitar lokasi penanaman.
Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan kelulushidupan buah sewaktu dibibitkan.
8. Langkah kedelapan penanaman
Sebelum melakukan tahapan penanaman mangrove, maka lokasi penanaman mangrove
harus sudah disepakati bersama antara tenaga pendamping, para mitra kerja dan
masyarakat. Tenaga pendamping bisa menyampaikan sebuah rekomendasi tentang letak

lokasi penanaman mangrove yang tepat, berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan
pada tahap penelitian awal. Kesepakatan letak lokasi penanaman ini sangat penting,
mengingat keberhasilan program rehabilitasi memerlukan waktu yang lama.
9. Langkah kesembilan penyulaman
Penyulaman adalah tahapan paling penting karena bertujuan untuk memelihara bibit-bibit
mangrove yang telah ditanam agar mendapatkan kelulushidupannya yang maksimal.
Penyulaman dilakukan dengan cara mengganti bibit-bibit mangrove yang telah mati
dengan bibit-bibit mangrove yang baru. Bibit mangrove untuk penyulaman, diambil dari
bibit mangrove yang telah disisihkan pada saat tahap penanaman. Penyulaman diadakan
pada jangka waktu tertentu, bisa menyesuaikan dengan kondisi dan situsi di lapangan.
10. Langkah kesepuluh pemeliharaan
Hal yang harus dilakukan pada tahapan ini adalah program penjarangan, yaitu berupa
penebangan beberapa buah batang pohon mangrove muda, jika ditengarai bibit mangrove
yang berhasil tumbuh memiliki kepadatan yang sangat tinggi. Hal ini penting dilakukan
untuk memaksimalkan pertumbuhan pohon mangrove lainnya. Hal seperti ini, biasa
dilakukan oleh kelompok tani mangrove di Pasar Banggi Rembang, sehingga
menyebabkan pertumbuhan pohon mangrove mereka bisa tumbuh secara optimal.

Gambar 2.2 Rehabilitasi Mangrove


2.3 Rehabilitasi Terumbu Karang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai
lebih dari 81.000 km dengan 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir
dan lautan Indonesia dikenal dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati laut terbesar di
dunia yang memiliki ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang (coral reefs) dan
padang lamun (sea grass beds) (Dahuri et al. 1996). Salah satu potensi sumber data alam
yang melimpah di Indonesia adalah terumbu karang. Luasan terumbu karang Indonesia
mencapai 51% dari luasan di Asia Tenggara, namun presentasenya mengalami penurunan

dari tahun ke tahun, dimana 30,96% yang masih dalam keadaan baik, sedangkan 69,04%
dalam kondisi buruk (Coremap, 2008). Oleh karena itu, dibutuhkan upaya rehabilitasu agar
kondisi terumbu karang dapat pulih kembali.
Ada berbagai teknik yang dapat digunakan untuk merehabilitasi terumbu karang
dengan tekonologi transplantasi terumbu karang buatan, yaitu:
1. Terumbu Karang Buatan
Terumbu karang yang telah mengalami kerusakan membutuhkan waktu yang
sangat lama untuk pemulihannya. Karena itu, pemulihan ekosistem terumbu karang terus
di cari dan diujicobakan, salah satunya adalah pengadaan dan pengembangan terumbu
karang buatan. Terumbu karang buatan berupa suatu struktur bangunan yang
ditenggelamkan di dasar laut. Tujuan penggunaan terumbu karang buatan adalah
mengembalikan peran terumbu karang dalam ekosistem dan menggantikan habitat
terumbu karang yang rusak. Dalam jangka waktu yang lama, terumbu karang buatan
membantu tumbuhnya terumbu karang di lokasi tersebut, sehingga dapat mengembalikan
fungsinya sebagai tempat memijah, pengasuhan, pembesaran, mencari makan dan
sebagainya (Ghufron H., Kordi.K,M. 2010).
Bahan yang digunakan untuk pembuatan terumbu karang buatan mulai dari bahan
beton, batu gamping, logam-logam bekas hingga ban-ban bekas. Dua material terumbu
karang buatan yang sejauh ini telah berhasil diujicobakan di perairan Indonesia adalah
terumbu karang dari susunan ban bekas dan beton. Terumbu karang buatan dari susunan
ban bekas disusun tiga modul dari 3 ban mobil berbentuk segitiga. Selanjutnya dibentuk
piramida yang tersusun dari 14 modul, sehingga datu piramida terdapat 42 ban bekas.
Sedangkan terumbu karang buatan dari keranjang beton berbentuk kubus dengan panjang
sisi 60 cm. Satu unit keranjang beton buatan ini tersusun atas 30 buah keranjang beton
(Ghufron H., Kordi.K,M. 2010).

Gambar 2.3. Terumbu Karang Buatan Dari

Gambar 2.4. Terumbu karang buatan dari

Modul Ban Bekas


beton
Sayangnya, ternyata ban bekas lama kelamaan akan rapuh karena hantaman
gelombang atau berbagai benturan lain, yang kemudian akan mengeluarkan racun dioksin
yang membahayakan ikan. Dioksin dapat menyerang saraf ikan. Residu dioksin yang ada
pada tubuh ikan akan membahayakan manusia yang mengonsumsi ikan tersebut. Karena
dampaknya yang besar itulah, sejak akhir tahun 2005, Amerika Serikat dan juga
Pemerintah Indonesia telah melarang penggunaan ban bekas dan melakukan
pengangkatan ban bekas yang telah diterjunkan ke laut. Oleh karena itu, setelah melewati
berbagai uji coba, substrat yang baik adalah beton (Ghufron H., Kordi.K,M. 2010).
Penggunaan terumbu karang buatan telah meningkatkan produksi perikanan.
Hasil pengamatan menunjukkan kelimpahan dan produksi ikan meningkat pada areal
terumbu karang buatan. Keanekaragaman ikan pada terumbu karang buatan di Kepulauan
Seribu 0,53-0,86 (Suprapto et al., 1993) dan di Amerika Serikat 2,3-2,8 (Bayne dan
Szmant, 1989). Jenis non ikan utama pada terumbu karang buatan adalah Bivalvae,
Crustase, Algae, Coral dan organisme coralit lainnya. Penelitian di Bali pada terumbu
karang buatan dijumpai ada delapan genus binatang karang antara lain Acropora, Porites
dan Favia (Wagiyo, 1996 dalam Ghufron H., Kordi.K,M. 2010).

2. Transplantasi karang
Tujuan transplantasi atau pencangkokan karang tidak berbeda dengan pengadaan
terumbu karang buatan. Transplantasi karang adalah pemotongan karang hidup untuk
ditanam di tempat lain yang mengalami kerusakan diharapkan dapat mempercepat
regenerasi terumbu karang yang telah rusak dan dapat pula dipakai untuk membangun
daerah terumbu karang baru yang sebelumnya tidak ada (Ghufron H., Kordi.K,M. 2010).
Menurut Coremap (2006), ada beberapa ketentuan untuk transplantasi karang, yaitu:

a. Untuk transplantasi karang diperlukan suatu wadah beton sebagai substrat dimana
karang ditanamkan.
b. Jenis karang bercabang lebih cepat pertumbuhannya dan lebih mampu
menyesuaikan dibandingkan karang masif.
c. Semua lokasi perairan pada dasarnya dapat dilakukan transplantasi dengan syarat
kondisi perairan nya masih dalam batas toleransi pertumbuhan terumbu karang.
d. Hasil percobaan pada habitat yang berpasir tetapi dengan kesuburan yang tinggi,
pertumbuhan karang lebih cepat dibandingkan pada daerah yang karangnya rusak.
e. Wadah karang yang ditansplantasi sebaiknya tidak menghalangi aerasi dan arus.
Adapun tahapan dalam transplantasi karang menurut Coremap (2006) antara lain:
a. Penentuan lokasi transplantasi
b. Memberi tanda pada lokasi transplantasi dengan rambu apung
c. Mecari karang yang akan ditransplantasi. Fragmen karang diambil dari induk
koloni yang masih hidup berdiameter >25 cm menggunakan gunting menjadi
ukuran 10 cm lalu di bawa ke lokasi transplantasi karang
d. Memasang rangka besi atau patok pada lokasi transplantasi pada kedalaman 1,3
10m
e. Mengikat fragmen karang ke substrat dengan pengikat kabel
f. Mengukur laju pertumbuhan koloni karang serta parameter fisika-kimia perairan
setiap dua minggu atau setiap bulan.

Gambar 2.5. Tahapan Transplantasi Karang

Gambar 2.6. Sebelum Transplantasi Karang

Gambar 2.7. Sesudah Transplantasi Karang

Di Indonesia tahun 1991 tim peneliti dari Pusat Penelitian Energi Dan Sumber Daya
Alam UNDIP Semarang, melakukan uji coba transplantasi karang jenis Acropora aspera
dan Montipora digitata dengan cara breaking atau mematahkan cabang karang dari
tempat asal dan dipindahkan ke tempat lain. Hasil penelitian menunjukkan banyak
percabangan baru yang berhasil tumbuh bersama-sama percabangan lama. Tiap koloni
rata-rata ada tunas baru sekitar 37-55% pada spesies Acropora aspera dan 0-40% pada
Montipora digitata (Suara Pembaruan, 06/08/1992 dalam Ghufron H., Kordi.K,M. 2010).
Tahun 1998, Sadarun dari Universitas Haluoleo melakukan penelitian transplantasi
karang di selatan gugusan Pulau Pari. Penelitian ini menggunakan sebelas spesies dari
genus Acropora yang terdiri dari A. tenuis, A. austera, A. formosa, A. hyacinthus, A.
divaricata, A. nasuta, A. yongei, A. aspera, A. digitifera, A. valida, dan A. glauca. Hasil
penelitian menunjukkan, selama enam bulan sejak ditransplantasi, karang Acropora
masih hidup normal. Spesies yang memiliki nilai ketahanan hidup 100% yaitu Acropora
formosa, A. hyacinthus, A. divaricata, A. nasuta, A. yongei, A. aspera, A. digitifera, A.
valida, dan A. glauca. Sedangkan Acropora tenuis dan A. austera masing-masing
memiliki nilai ketahanan hidup sebesar 90% dan 83,33%. Hal tersebut diperkirakan
karena spesies-spesies tersebut memiliki cabang yang kecil dan mudah rapuh.
Berdasarkan pertambahan tinggi masing-masing karang tersebut, setelah berumur satu
bulan pertambahan tinggi terbesar dialami oleh Acropora yongei yaitu rata-rata 0,4 cm
sedangkan pertambahan tinggi terkecil dialami Acropora digitifera sebesar 0,1 cm.
Kondisi ini bertahan hingga akhir penelitian yaitu masing-masing menjadi 4,8 cm dan 2,2
cm setelah 5 bulan (Ghufron H., Kordi.K,M. 2010).

3. Biorock
Biorock adalah suatu proses teknologi deposit elektro mineral yang berlangsung di
dalam laut, biasanya disebut juga dengan teknologi akresi mineral. Pada tahun 1974
teknologi ini dikembangkan oleh Prof. Wolf H. Hilbertz, seolang arsitek berkebangsaan
Jerman. Teknologi ini awalnya dikembangkan untuk mendapatkan bahan bangunan jenis
baru. Tetapi pada tahun 1988, Prof. Wolf H. Hilbertz bertemu dengan dengan Dr. Thomas
J. Goreau, seorang ahli ekologi karang dari AS. Mereka mendirikan GCRA (Global Coral
Reef Alliance) dan mulai melakukan riset untuk mengembangkan lagi teknologi biorock
dengan fokus pada perkembangbiakan, pemeliharaan dan restorasi terumbu karang serta
struktur proteksi pesisir.
Biorock bekerja menggunakan proses elektrolisis air laut, yaitu dengan meletakkan
dua elektroda di dasar laut dan dialiri dengan listrik tegangan rendah yang aman sehingga
memungkinkan mineral pada air laut mengkristal di atas elektroda. Biorock dibentuk
dengan menggunakan struktur ram besi non-galvanisasi sebagai katoda dan karbon, timah
atau titanium sebagai anoda. Saat dialiri listrik, struktur biorock ini menimbulkan reaksi
elektrolitik yang mendorong pembentukan mineral di struktur katoda.

Gambar 2.8. Proses Biorock

Mineral yang mengendap adalah kalsium karbonat dan magnesium hidroksida.


Kedua mineral ini penting karena merupakan struktur dasar dari terumbu karang. Karena
pengakresian mineral yang terjadi secara cepat, bibit terumbu karang yang ditanamkan ke
struktur biorock dapat tumbuh secara cepat. Endapan mineral ini juga melekatkan struktur
dengan dasar laut dan memperkuat struktur.
Dilihat dari proses pembentukan deposit mineralnya, akresi mineral bukanlah suatu
reaksi oksidasi langsung seperti elektroplatting, tetapi merupakan suatu proses yang tidak
langsung, dimana pengendapan mineral terjadi karena suatu hasil sampingan dari
perubahan pH di sekitar katoda ketika terjadi proses elektrolisis pada air laut. Ketika
klorin dan oksigen terkumpul di sekitar anoda, maka mineral magnesium dan kalsium
yang melimpah di air laut akan mengendap di katoda.
Ada beberapa alternatif sumber tenaga yang digunakan untuk menjalankan sistem
ini, baik dengan menggunakan pembangkit listrik tenaga matahari (solar cell),
pembangkit listrik tenaga pasang surut, generator, aki maupun listrik rumah tangga.
Tenaga yang digunakan adalah arus DC dengan kisaran antara 1-24 Volt. Pada beberapa
penelitian digunakan tegangan dengan kisaran 6-12 Volt.

BAB III
PENUTUP
3.1.

Simpulan
Padang lamun, hutan mangrove dan ekosistem terumbu karang merupakan
komponen penting dalam suatu ekosistem perairan laut, untuk mencegah kerusakan akibat
alam dan yang paling dominan adalah kerusakan akibat aktivitas manusia maka perlu
diadakannya rehabilitasi agar dapat terus di manfaatkan secara bijak dan berkelanjutan
karena Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan kita sebagai
manusia harus wajib dan turut serta menjaga serta melestarikan alam demi keberlangsungan
hidup makhluk hidup.
Rehabilitasi padang lamun dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu
rehabilitasi lunak berupa kebijakan dan strategi pengelolaan, penyadaran masyarakat (public
awareness), pendidikan, pengembangan riset, mata pencaharian alternative, pengikutsertaan
masyarakat, pengembangan daerah pelindungan padang lamun (segrass sanctuary) berbasis
masyarakat, peraturan perundangan, dan penegakan hukum secara konsisten. Rehabiliatasi
keras dengan menggunakan transplantasi pada ekosistem padang lamun tersebut yang
merupakan kegiatan lapangan langsung.
Pada rehabilitasi mangrove dapat digunakan dengan berbagai macam cara, namun
biasanya rehabilitasi tersebut dilakukan melalui 10 tahapan proses secara umum. Rapat
pendahuluan, penelitian awal, sosialisasi ke masyarakat, pembuatan bedeng, survei lokasi
buah mangrove dan pengambilan buah mangrove, perlakuan buah, pembibitan, penanaman,
penyulaman, dan pemeliharaan. Ada berbagai teknik yang dapat digunakan untuk
merehabilitasi terumbu karang dengan tekonologi transplantasi terumbu karang buatan,
yaitu: terumbu karang buatan, transplantasi karang, dan biorock.

3.2.

Saran
Saran yang bisa diberikan dari rehabilitasi padang lamun, mangrove, dan terumbu
karang adalah peran serta dan kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian dari
ekosistem terbesar diperairan tersebut, tidak menunggu sampai rusaknya ekosistem perairan.
Peran mahasiswa sebagai agent of change perlu dilakukan dengan kegiatan nyata dari
penerapan metode rehabilitasi padang lamun, mangrove, dan terumbu karang.

DAFTAR PUSTAKA
Dahuri, R. et al, 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT.
Pramadya Paramita, Jakarta.
Ghufron H., Kordi.K,M. 2010. Ekosistem Terumbu Karang:Potensi, Fungsi dan
Pengelolaan. Rineka Cipta. Jakarta.
Kusmana, C., 2010. Respon Mangrove Terhadap Perubahan Iklim Global: Aspek Biologi
dan Ekologi Mangrove. Di dalam: Lokakarya Nasional Peran Mangrove dalam
Mitigasi Bencana dan Perubahan Iklim; Jakarta, 14-15 Desember 2010.
Novianty, Riny. dkk. Identifikasi Kerusakan dan Upaya Rehabilitasi Ekosistem
Mangrove di Pantai Utara Kabupaten Subang. Semarang: Universitas Padjajaran
Coremap, 2006. Modul Transplantasi Karang Secara Sederhana. Pelatihan
Ekologi Terumbu Karang. Benteng-Selayar.
Ritniasih, Ita. Endrawati, Hadi. 2013. Pertumbuhan Lamun Hasil Transplantasi Jenis
Cymodocea rotundata di Padang Lamun Teluk Awur Jepara. Buletin Oseanografi
Marina Volume 2 Halaman 34-40. Semarang: Program Studi Ilmu Kelautan FPIK
Universitas Diponegoro.
Wagiyo, K. 1996. Ekosistem Terumbu Karang Buatan untuk Meningkatkan Sumberdaya
Hayati dan Diversifikasi Usaha Masyarakat. Dalam Herunasi, B., I. Mudita dan
Udrekh, 1996. Kumpulan Makalah Seminar Maritim Indonesia 1996. Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan Dewan Pertahanan Keamanan Nasional,
Jakarta.
Wulandari, Dwi. Riniatsih, Ita. Yudiati, Ervia. 2013. Transplantasi Lamun Thalassia
hemprichii dengan Metode Jangkar di Perairan Teluk Awur dan Bandengan,
Jepara. Journal of Marine Research Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman
30-38. Semarang: Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro.
Yanuartanti, Isluyandari Woelan. Kusmana, Cecep. Ismail, Ahyar. 2015. Kelayakan
Rehabilitasi angrove dengan Teknik Guludan Dalam Perspekif Perdagangan
Karbon di Kawasan Hijau Lindung Muara Angke, Provinsi DKI Jakarta. Jurnal
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 5 No. 2 180-186. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai