Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

AKUSTIK
TENTANG

Aplikasi penggunaan fishfinder


dalam mengetahui densitas ikan di perairan

OLEH
KELOMPOK III
NO
1
2
3
4
5

NAMA
ADNAN ILHAM RAHIM
IRSANDI
JUNASTI PRATAMA
RANGGO
VIKTOR

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI KELAUTAN


STITEK BALIK DIWA MAKASSAR
2016

STK

313010

KATA PENGANTAR
Pujih syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat serta perlindunganNya
sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.
Adapun isi dari makalah ini adalah mengetahui aplikasi penggunaan fishfinder dalam
mengetahui densitas ikan di perairan. Dan pada dasarnya sumber yang terkait dalam
makalah ini terkait mengenai PENGUKURAN DENSITAS IKAN MENGGUNAKAN SISTEM
AKUSTIK BIM TERBAGI (SPLIT BEAM) DI LAUT JAWA PADA BULAN MEI 2006.

Penelitian

yang dilakukan oleh Roy Burdah dalam penyusunan Skripsinya pada Tahun 2006.
Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada sodara Roy Burdah yang telah bersusah
paya dalam melakukan suatu penelitian dan menjadi ilmu yang berharga bagi kami.
Dan terimakasih juga kepada Dosen pengampuh Mata kuliah AKUSTIK
yakni Ibu Mesalina Tri Hidayani, S.Pi.,M.Si

yang suda bersusah paya dalam

memaparkan materi atau membagikan ilmu pengetahuan tanpa mengeluh.


Dari segi penyusunan makalah ini penyusun sadar begitu banyak kekurangan
dari makalah ini untuk itu penyusun berharap koreksi dan saran yang dapat
membangun agar kedepannya menjadi salah satu nilai tambah yang bermanfaat bagi
kalangan mahasiswa secara khusus bagi mahasiswa yang bergulat dibidang perikanan
dan kelautan.
Mohon maaf jika ada kesalahan dalam bentuk tulisan atau hal-hal lainnya.
Terimakasih..

1. Pendahuluan

1.1

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang mempunyai wilayah perairan yang lebih luas jika
dibandingkan dengan luas wilayah daratannya. Kira-kira dua pertiga luas wilayah
indonesia adalah perairan laut yang terdiri dari laut pesisir, laut lepas, teluk dan selat.
2
Perairan Laut Indonesia mempunyai luas sekitar 7.900.000 km termasuk ZEEI atau 81 %
luas keseluruhan wilayah Indonesia dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (Direktorat
Wilayah Laut dan PT Suficindo (Persero), 2000).
Potensi sumberdaya ikan laut di seluruh perairan Indonesia diduga sebesar 6.110.000 ton
per tahun, terdiri atas ikan pelagis besar (975,05 ribu ton), ikan damersal (1786,35 ribu ton),
ikan karang konsumsi (63,99 ribu ton), udang peneid (74,00 ribu ton), lobster (4,8 ribu ton),
dan cumi-cumi (28,25 ribu ton). Sementara produksi tahunan ikan laut Indonesia mencapai
2.930.000 ton pertahun. Apabila dilihat dari sifat sumber daya ikan, maka sumber daya ikan
ini termasuk sumber daya yang dapat dipulihkan sehingga dengan sifat dapat dipulihkan ini
pemanfaatan sumber daya ikan harus dilakukan dengan memperhatikan struktur umur ikan dan
rasio kelamin dari populasi ikan yang tersedia atau memperhatikan potensi lestari MSY
(Maximum Sustainable Yield) (Aziz,K. A et.al., 1998 in Dahuri, 2007).
Dalam rangka pemanfaatan sumber daya tersebut maka harus didukung oleh kegiatan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) untuk menentukan
potensi dan metode pemanfaatan yang tepat, efektif, dan efisien serta menunjang usaha
kelestarian sumber daya dan lingkungan hidup. Dari penelitian tersebut akan diperoleh
metode tepat guna yang sangat menunjang perencanaan pembangunan kelautan secara
keseluruhan.
Salah satu metode adalah dengan metode hidroakustik yang cukup efisien untuk
mendapatkan informasi stok ikan dan habitatnya. Metode ini memiliki beberapa keunggulan
yaitu dapat meliputi perairan yang cukup luas, ketelitian cukup tinggi, tidak merusak
kelestarian sumber daya dan lingkungan, dapat mengukur scattering dasar laut dan biota laut
seperti ikan, plankton dan nekton secara simultan (Manik, H. M, 2006). Metode akustik yang
sudah berkembang dan banyak digunakan misalnya split-beam acoustic system (sistem akustik
bim terbagi). Ide bim terbagi pertama kali ditemukan di Amerika, namun untuk penerapan
teknologinya dikembangkan oleh Norwegia dengan diproduksi SIMRAD. Sistem ini
merupakan pengembangan keunggulan teknologi yang dimiliki oleh Norwegia dari SIMRAD
QD-Echo Integrator (digital echo integrator) yang
mempunyai kelemahan dalam mendapatkan nilai in situ target strength. Sistem bim terbagi
dapat mengukur in situ target strength dengan lebih akurat dan satu kelebihan lainnya adalah
dapat mengukur posisi sudut target di dalam bim dari kecepatan renang dari target.

Oleh karena keterbatasan informasi mengenai stok ikan (densitas ikan) beserta sebarannya
di Laut Jawa maka survei dan penelitian mengenai densitas ikan dilakukan untuk mendapatkan
informasi dan gambaran penyebaran densitas ikan yang selanjutnya dapat memudahkan dalam
pemanfaatananya.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Metode Akustik
2.1.1

Prinsip Kerja Metode Akustik

Akustik kelautan merupakan ilmu yang mempelajari tentang gelombang suara dan
perambatannya dalam suatu medium air laut. Pendeteksian objek bawah air menggunakan
sistem sonar yang terdiri dari dua sistem yang active sonar system

(untuk mendeteksi dan menerima echo target bawah air) dan passive sonar system yang
hanya digunakan untuk menerima suara-suara yang dihasilkan oleh objek bawah air.
MacLennan and Simmonds (1992) menerangkan beberapa keunggulan komparatif
metode akustik sebagai berikut :
1)
2)

Berkecepatan tinggi, sehingga sering disebut quick assesment method.


Estimasi stok ikan secara lansung karena tidak tergantung dari statistik perikanan atau
percobaan tagging dan secara lansung dilakukan terhadap target dari survei.

3)

Dapat memperoleh dan memproses data secara real time

4)

Akurasi dan ketepatan yang tinggi

5)

Tidak berbahaya atau merusak objek yang diteliti karena pendeteksian dilakukan dari jarak
jauh dengan menggunakan suara (underwater sound)
Sistem akustik diklasifikasikan menjadi dua sistem pancar, yaitu echosounder

(sistem pancar vertikal) dan sonar (sistem pancar horizontal) (Burczynsky, 1982). Suatu
pulsa listrik dipicu dengan timebase untuk menjalankan pemancar yang menghasilkan
pulsa dengan frekuensi dan waktu tertentu, yang kemudian

dipancarkan melalui tranducer. Energi listrik yang masuk ke transducer diubah menjadi
energi suara/gelombang sinyal sebelum dipancarkan ke medium air. Gelombang sinyal
tersebut akan merambat pada medium air dan apabila mengenai objek/target seperti ikan
atau dasar perairan maka gelombang sinyal tersebut akan dipantulkan sebagai gema. Gema
ini dideteksi oleh transducer dan dikonversikan menjadi energi listrik sebagai sinyal

penerima. Waktu yang diperlukan saat sinyal dipancarkan sampai diterima kembali oleh
transducer penerima dan diperkuat oleh amplifier yang selanjutnya dikirim ke bagian
display dan direkam di recoder. Gambar dari target yang ada di display divisualisasikan
dalam bentuk echogram untuk menunjukan kedalaman atau range sebagai jarak dan nilai
transmisi (Gambar 1).
Recorder

Time Base

Display

Transmitter

Amplifier

Transducer

Receiver

Gambar 1.

Prinsip kerja metode hidroakustik (MacLennan and Simmonds, 1992)

2.1.2

Sistem Akustik Bim Terbagi (Split Beam Acoustic System)

Bim terbagi merupakan metode baru yang dikembangkan untuk memperbaiki kelemahankelemahan dari metode sebelumnya seperti sistem akustik bim tunggal (sinhle beam) dan
sistem akustuk bim ganda (dual beam). Metode untuk mendeteksi kelompok ikan dengan
menggunakan echo integrator pertama kali ditemukan oleh Ehrenberg yang kemudian
dikembangkan di Norwegia

Pada sistem akustik bim tunggal tidak menghasilkan nilai in situ Target Strength (TS)
secara statistik dan akurasi yang dihasilkan rendah. Untuk mengatasi kelemahan ini
dikembangkan sistem akustik bim ganda agar mendapatkan nilai rata-rata in situ TS dan
digital echo integrator yang menghasilkan nilai rata-rata volume backsccatering strength (
SV) (Manik, H.M, 1994). Seiring dengan perkembangan teknologi dan upaya untuk
memperoleh akurasi tinggi maka penelitian-penelitian tentang pendugaan stok ikan
sekarang ini banyak menggunakan sistem akustik bim terbagi.
Perbedaan split beam dengan metode sebelumnya terdapat pada konstruksi transduser
yang digunakan, dimana pada echosounder ini tranducer terbagi dalam empat kuadran
(Gambar 2). Menurut Simrad (1993) pada prinsipnya tranduser split beam terdiri dari empat
kuadran yaitu Fore (bagian depan), Aft

(buritan kapal), Port (sisi kiri kapal), dan Starboard (sisi kanan kapal) yang dipasang pada
towed body yang ditempatkan pada lambung kapal sebelah kiri. Untuk Simrad EK 60 yang
mempunyai frekuensi 38 kHz, 120 kHz, dan 200 kHz mempunyai lebar beam 7 mampu
menentukan posisi target dalam bim suara (Simmonds and MacLennan, 2005).
FORE

F S

PORT

S TARBOARD
A

AS

AFT
Gambar 2. Konfigurasi transduser split beam (simmonds dan Maclennan, 2005)

Gelombang suara dipancarkan dengan bim penuh (full beam) yang merupakan
penggabungan ke empat kuadran secara simultan. Sinyal yang memancar kembali dari target
diterima oleh masing-masing kuadran secara terpisah. Output dari masing-masing kuadran

kemudian digabung lagi untuk membentuk suatu bim penuh. Target tunggal diisolasi dengan
menggunakan output dari bim penuh sedangkan posisi sudut target dihitung dari perbedaan
fase akustik.
Selama pengukuran, fase pada bidang alongship (membujur) didapat dari penjumlahan
sinyal antara bagian Fore port (FP) dengan Fore Starboard (FS) dari transducer, dan jumlah
sinyal antara Aft Port (AT) dengan Aft Starboard

(AS) dari transducer (Gambar 2). Pengukuran fase pada bidang tranverse
(melintang) juga diperoleh dengan cara yang sama. Fase alongship dan fase transverse ini
digunakan untuk menentukan arah target relatif terhadap sumbu pusat dalam bidang bim
suara.
Kelebihan sistem akustik bim terbagi dibanding dengan sistem lainnya adalah lebih
sensitif terhadap gangguan noise karena echo dikompensasi oleh empat beam. Selama
penerimaan berlangsung keempat bagian transducer menerima echo dari target, dimana target
yang terdeteksi oleh tranducer terletak pada pusat bim suara dan echo dari target akan
dikembalikan dan diterima oleh ke empat bagian tranducer pada waktu yang bersamaan.
Target yang terdeteksi apabila tidak terletak tepat pada sumbu pusat dari bim suara, maka echo
yang kembali akan diterima lebih dahulu oleh bagian tranducer yang paling dekat dari target
atau dengan mengisolasi target dengan menggunakan output dari bim penuh.

Sistem akustik bim terbagi modern memiliki fungsi Time Varied Gain (TVG) di dalam
sistem perolehan data akustik yang berfungsi secara otomatis untuk meminimalisasi
pengaruh atenuasi yang disebabkan oleh frekuensi suara yang dikirim, medium yang
digunakan, dan resistansi dari medium yang digunakan maupun absorbsi suara ketika
merambat dalam air.

2.2 SIMRAD EK-60 Scientific Echosounder


EK- 60 merupakan salah satu scientific echosounder modern. EK-60 mempunyai
beberapa keistimewaan dibandingkan dengan echosounder lainnya, yaitu :
1. Sistem lebih fleksibel dan mudah digunakan
2.

3.
4.
5.

Menu pemakai dan fungsi sistem menggunakan mouse sedangkan input data
menggunakan keyboard
Sitem hard disk dapat menyimpan data mentah dan data hasil olahan
Tampilan EK-60 dibuat menyesuaikan dengan cara kerja Microsoft Windows sehingga
lebih mudah
Data output dalam bentuk kertas echogram dapat dikurangi karena data yang

tidak terproses tersimpan secara langsung ke hard disk

Diskripsi detail dari EK-60 meliputi : frekuensi bim terbagi transducer tersedia dari
12~710 kHz, dapat berhubungan dengan sensor lain seperti navigasi, motion, sensor twal
input, datagaram output dan remote control, General Purpose Transciever (GPT) terdiri
dari transmitter dan receiver elektronik dimana receiver didisain rendah terhadap noise
dan meneyediakan dynamic amplitude range pada 160 dB, kabel ethernet yang terhubung
antara GPT dengan komputer bisa lebih dari 100 m, mayoritas fungsi-fungsi pada
echosunder berhubungan dengan software dimana penerapan algoritma pendeteksian dasar
berbeda-beda untuk setiap frekuensi yand dipakai.

2.3

Faktor-faktor Oseanografi yang Mempengaruhi Distribusi Ikan

2.3.1.

Suhu

Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang
o

terkandung dalam suatu benda yang umumnya diukur dalam satuan derajat Celcius ( C).
Di samudera, suhu bervariasi secara horizontal sesuai dengan garis lintang, dan juga
secara vertikal sesuai dengan kedalaman. Suhu merupakan salah satu faktor yang penting
dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken, 1992).
Distribusi suhu air laut di permukaan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu jumlah
bahang yang diterima dari matahari, evaporasi, curah hujan, pemasukan air tawar dari sungai,
dan pembekuan serta pencairan es abadi di kutub (Stewart, 2003). Suhu air permukaan di
o

perairan nusantara kita umumnya berkisar antara 28 31 C dan suhu air di dekat pantai

biasanya lebih tinggi dari pada di lepas pantai (Nontji, 1987).


Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung atau tidak
langsung. Pengaruh tidak langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia
enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikan laju maksimum
fotosintesa (Pmax), sedangkan pengaruh tidak langsung yakni dalam merubah struktur
hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et
al.,1997 in Sutrisno, 2002). Secara umum laju fotosintesa meningkat dengan

meningkatnya suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu

titik suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap spesies fitoplankton selalu beradaptasi
terhadap suatu kisaran suhu tertentu.
Suhu dapat mempengaruhi proses metabolisme yaitu dalam hal pertumbuhan,
perkembangan , daya hidup ikan dan juga mempengaruhi aktifitas yang dilakukan oleh ikan.
o

Ikan dapat merasakan perubahan suhu perairan sampai dengan 0.03 C. Pada perairan laut
o

dalam, suhu relatif stabil yaitu antara 4-8 C sehingga suhu perairan tidak berpengaruh
terhadap distribusi lokal ikan laut dalam (Laevastu dan Hayes, 1981). Pengaruh suhu air laut
terhadap kelimpahan, keberadaan dan distribusi ikan.

2.3.2. Salinitas
Salinitas didefinisikan sebagai jumlah berat semua garam (dalam gram) yang
o

terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan /oo (per mil).
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air,
penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Nilai salinitas akan menurun dengan
bertambahnya pemasukan air tawar dan presipitasi namun akan meningkat jika
terjadi evaporasi (Nontji, 1987).

Gambar 4. Sebaran vertikal salinitas (windows.ucar.edu/.../sm_salinity_depth, 2008)

Perubahan salinitas pada perairan bebas (laut lepas) adalah relatif lebih kecil bila
dibandingkan perairan pantai. Hal ini disebabkan perairan pantai banyak memperoleh
masukan air tawar dari muara-muara sungai terutama pada waktu banyak hujan. Salinitas
juga erat hubungannya dengan penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dari sel-sel
dalam tubuh ikan dengan keadaan salinitas lingkungan. Perubahan salinitas sering
menunjukan perubahan massa air dan keadaan salinitasnya. Ikan cenderung untuk memilih
medium dengan kadar salinitas yang lebih sesuai dengan tekanan osmotik tubuh mereka
masing-masing (Laevastu dan Hayes, 1981).
Salinitas bersifat lebih stabil di perairan terbuka, walaupun di beberapa tempat kadangkadang mereka menunjukan adanya fluktuasi perubahan. Distribusi salinitas rendah di
lapisan permukaan laut-laut Asia Tenggara selama terjadinya angin musim barat ( northeast monsoon) dari bulan Desember sampai Mei. Di bawah kedalaman 1000 m, hanya
terjadi perubahan salinitas yang kecil, dimana nilai perubahan berkisar secara tetap
o

diantara 34.5 /oo dan 35 /oo untuk seluruh daerah lintang (Hutabarat dan Evans, 2000).
Salinitas di perairan terbuka variasinya sangat terbatas, tetapi di perairan estuaria, pada
teluk dan muara sunai sangat bervariasi menurut musimnya. Organisme pada perairan terbuka
biasanya sternohaline (yaitu memiliki batas toleransi yang sangat kecil untuk perubahan
salinitas), sedangkan organisme pada perairan payau dekat pantai biasanya euryhaline.
Organisme lautan kebanyakan memiliki kandungan garam di dalamnya isotonik degan air laut,
sehingga osmoregulasi tidak menjadi masalah, kecuali jika salinitas berubah (Odum, 1971).

Salinitas mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisme, misalnya distribusi


biota akuatik sangat erat kaitannya dengan salinitas. Salinitas pada kedalaman 100 m
pertama dapat dikatakan konstan, walupun terdapat sedikit perbedaan-perbedaan tetapi
tidak mempengaruhi ekologi secara nyata (Nybakken, 1992).

2.4

Kondisi Perairan Laut Jawa


2

Laut Jawa dengan luas permukaan 467.000 km terletak di bagian tenggara paparan
Sunda. Kondisi hidrologi Laut Jawa sangat di pengaruhi adanya dua jenis angin muson,
yaitu angin muson barat dan angin muson timur. Kedua pola angin tersebut menyebabkan
timbulnya perubahan yang sangat nyata pada pola arus dan kecepatan arus, salinitas, serta
produktifitas primer dari perairan ini (Wyrtki, 1961). Selama bertiup angin muson barat, di
Laut Jawa berlangsung musim barat, dan sebaliknya selama berlangsung angin muson
timur, di Laut Jawa sedang berlangsung musim timur.
Puncak musim barat berlangsung sekitar bulan Desember sampai dengan bulan Februari.
Sedangkan puncak musim timur terjadi pada bulan Juni sampai Agustus setiap tahunya.
Selama musim Barat, angin bertiup ke arah barat dengan kecepatan 1.5 knot (Emerly et
.al.,1972). Selanjutnya pada musim Barat juga berlangsung musim penghujan, sehingga
salinitas air Laut Jawa turun menjadi kira-kira 30.0 dari rata-rata sebesar 32.6 .
Penurunan salinitas juga disebabkan oleh banyaknya sungai-sungai besar yang bermuara
di sepanjang pantai Utara Jawa. Menurut Boely dan Linting (1986), salinitas Laut Jawa
bervariasi dari 33 sampai 34 baik pada permukaan maupun pada seluruh kolom air.
Pada saat yang sama produktifitas primer mencapai 1.0 gram C/jam/m yang dijumpai
hampir diseluruh Laut Jawa (Doty et. al., 1963).

Keadaan Laut Jawa tersebut akan mulai berganti pada bulan April/Mei yaitu angin
muson Barat menjadi angin musim Timur dan pada bulan September/Oktober angin
musim Timur menjada angin musim Barat.
Pada umumnya selama musim transisi tersebut,angin bertiup dengan kecepatan rendah
dan arah yang tidak menentu. Akan tetapi pada bulan Juni-Juli angin bertiup begitu
kencang hingga mencapai kekuatan 4 pada skala Beafort (13-18 knot atau 21-21 Km/jam)
terutama dibagian paling timur dari Laut Jawa (Wyrki, 1961).
Arus permukaan akan membalik ke arah barat selama musim Timur berlangsung. Pada
masa itu massa air dengan salinitas 33.8 yang berasal dari Laut Flores dan Selat Makasar
memasuki Laut Jawa dan bergerak ke arah barat (Emerly et al., 1972). Suhu minimum diamati
pada bulan Juni-Agustus dan Desember-Januari (27C) dan maksimum pada bulan April, Mei,
dan Nopember (30) selama musim peralihan. Sedangkan suhu dari permukaan laut sampai ke
seluruh kolom air diatas 29 C (Boely dan Linting, 1986).

3. Perangkat yang digunakan


Peralatan yang digunakan dalam pengambilan dan pengolahan data lapangan

antara lain :
1)

Perangkat akustik berupa:

Split Beam Scientific Echosounder SIMRAD EK-60

(i) (ii)
Gambar 7. Display dan Transduser SIMRAD EK-60
-

Split Beam Transducer (120 kHz)

Personal Computer (PC)

Dongle( hard key)

Eksternal Hard Disk- USB

Gambar 8. Dongle
2)
3)

GPS (Global Positioning System) untuk penentu posisi kapal


Peralatan Oseanografi berupa Curent meter Valeport seri 108/308 yang dilengkapi dengan
CTD

4)

Perangkat lunak analisis data

Sonar Data Echoview 4.0

Microsoft Office Excell

Surfer versi 8.0

Ocean Data View

3.1

Data Oseanografi

Pengambilan data oseanogafi dilakukan dengan menggunakan Current Meter (Valeport seri
108/308) yang dilengkapi dengan CTD ( Conductivity Temperature Depth) yang dilakukan
pada 78 stasiun.
Parameter oseanografi yang diambil pada penelitian ini adalah data suhu dan salinitas. Data ini
diperoleh dengan menggunakan alat CTD yang diukur pada beberapa stasiun yang dapat mewakili
daerah penelitian. CTD diturunkan sampai pada kedalaman 55 m. Data suhu dan salinitas
digunakan untuk mendukung dalam penentuan densitas ikan di perairan tersebut.

3.2

Pola Sebaran Kepadatan Akustik Ikan


Pola sebaran kepadatan akustik ikan ditampilkan secara vertikal dan horizontal. Pola sebaran

vertikal digambarkan dengan persebaran nilai kepadatan ikan pada seluruh strata kedalaman.
Sedangkan pola sebaran horizontal ditunjukan dengan gambar hasil overlay dari track area dengan
kelompok kisaran nilai kepadatan akustiknya dengan menggunakan program perangkat lunak
surfer versi 8.0.

3.3 Pola Sebaran Suhu dan Salinitas


Data Oseanografi hasil pengukuran dengan CTD ( Conductivity Temperature Depth) berupa
data suhu dan salinitas. Data diperoleh dapat dibuka dengan menggunakan spread Excell,
kemudian data disusun sesuai format ODV dan disimpan dengan format text (MS DOS). Setelah
itu, data dapat diolah dengan menggunakan program ODV untuk memperoleh informasi sebaran
suhu dan salinitas secara vertikal dan horizontal dari daerah survei akustik.

3.4 Analisis Data Oseanografi


Data oseanografi yang diperoleh hanya 78 stasiun, untuk memudahkan dalam menganalisis
data oseanografi, khususnya untuk membandingkan kondisi suhu dan salinitas tiap stasiun maka
dilakukan pengelompokan stasiun berdasarkan trek pengambilan data akustik, yaitu dibagi dalam 9
leg yaitu lokasi pengambilan data yang mempunyai posisi lintang atau bujur yang hampir sama
dalam pengambilan data akustik. Data suhu dan salinitas yang didapat dari hasil pengukuran diolah
dengan menggunakan software surfer versi 8.0, ODV dan microsoft excel, sehingga diperoleh profil
suhu dan salinitas secara vertikal dan horizontal untuk setiap leg stasiun. Proses pengolahan data
penelitaian dijelaska

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Nilai dan sebaran Target Strength (TS)


Dalam pemrosesan data akustik untuk perlu diketahui nilai TS-nya terlebih dahulu,
kemudian dilakukan pengukuran nilai densitas ikan dari suatu perairan. Sebaran nilai TS
rata-rata per kedalaman di Laut Jawa disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 13.
TS (dB)

Gambar 13. Sebaran nilai TS rata-rata di Laut Jawa bulan Mei 2006
TS rata-rata terbesar terdapat pada strata kedalaman 16 (85-90 m) yaitu sebesar - 44,05
dB dan nilai TS rata-rata terkecil terdapat pada strata kedalaman 1 (10-15 m) yaitu sebesar
-55,67 dB. Berdasarkan rumus yang digunakan yaitu TS = 20 log L 68.0 ( Foote, 1987),
maka dapat diduga bahwa panjang ikan terbesar sebesar 15,76 cm dan terkecil sebesar 4,14
cm. Nilai TS merupakan indikasi dari ukuran target yang terdeteksi, dimana semakin besar
nilai TS maka ukuran target akan semakin besar dan sebaliknya.
Nilai TS di permukaan dibandingkan dengan dilapisan kolom air yang lebih dalam
diduga karena pada lapisan permukaan banyak terdapat ikan-ikan pelagis berukuran kecil,
dimana dorsal aspect dari ikan tersebut lebih kecil dari pada ikan pelagis besar.

4.2

Nilai dan sebaran Volume Backscattering Strength (SV)


Nilai volume SV menunjukan nilai pantulan dari target suatu kelompok ikan yang
terdeteksi. Semakin besar nilai SV maka pengelompokan target semakin besar. Semakin
kecil nilai SV yang diperoleh maka pengelompokan target yang terdeteksi akan semakin
sedikit.

Gambar 14. Sebaran nilai Sv rata-rata di Laut Jawa bulan Mei 2006.

Gambar 15. Contoh Echogram Sv Laut Jawa bulan Mei 2006.

Pada Gambar contoh echogram Sv laut Jawa pada bulan Mei 2006, mempunyai
4

jumlah ping sebear 350 sampai 2 x 10 ping dan juga mempunyai kedalaman 45 sampai 70
m.

Gambar 16. Densitas rata-rata (ikan/1000 m) per strata kedalaman


Perbedaan strata kedalaman akan mempengaruhi tingkah laku ikan pada suatu
perairan. Hal ini disebabkan tiap spesies ikan mempunyai toleransi yang berbeda terhadap
faktor fisika dan kimia perairan seperti tekanan, suhu dan salinitas sehingga akan
mempengaruhi pengelompokan ikan dan jenis ikan disuatu perairan. Faktor suhu, salinitas
dan ketersediaan plankton sebagai makanan merupakan faktor pembatas bagi organisme
ekosistem perairan yang menentukan nilai dan sebaran densitas ikan.
Gambar 16 terlihat bahwa densitas rata-rata tertinggi berdasarkan strata kedalaman
terdapat pada strata kedalaman 9 (50 55 m) yaitu dengan kepadatan 73 ikan/1000 m
sedangkan densitas rata-rata terendah terdapat pada strata kedalaman 16

(85 90 m) dengan kepadatan 4 ikan/1000 m. Tingginya nilai rata-rata densitas ikan pada
lapisan tercampur adalah karena ikan cenderung mencari tempat dengan fluktuasi yang
rendah sehingga ikan tidak memerlukan usaha yang besar untuk menyesuaikan diri
terhadap lingkungan yang ada.
Nilai densitas ikan rata-rata cenderung menurun seiring dengan bertambahnya
kedalaman. Densitas terendah berdasarkan strata kedalaman adalah pada strata kedalaman
16 (85 90 m) yaitu sebesar 3,4 ikan/1000 m. Hal ini diduga berhubungan semakin
kecilnya tingkat toleransi ikan terhadap faktor suhu, salinitas, intensetas cahaya serta akan
ketersediaan makanan yang semakin berkurang. Hewan laut hidup dalam batas toleransi
suhu tertentu, ada yang mempunyai toleransi tinggi terhadap suhu (euritherm), sebaliknya
ada juga yang tingkat toleransinya rendah (stenotherm) (Nontji, 1993). Perubahan suhu
dapat menyebabkan terjadainya sirkulasi massa air dan stratifikasi air, sehingga dapat
mempengaruhi distribusi organisme.

4.4

Nilai dan sebaran horizontal densitas ikan


Nilai dan sebaran densitas ikan rata-rata di Laut Jawa ditampilkan per strata
kedalaman untuk melihat pola penyebaran dan fluktuasi atau tinggi rendahnya nilai
densitas ikan rata-rata secara horizontal.
Nilai densitas ikan secara horizontal didapatkan dari hasil overlay trek area dengan
sebaran ikan secara horizontal. Nilai densitas ikan ditunjukan melalui bentuk bulatan
(bubble scatter), dimana semakin besar ukuran bulatan nilai densitas ikan semakin besar.

Gambar 17

(a)

Gambar 17 (c)

Gambar 17 (b)

Gambar 17 (d)

Gambar densitas ikan pada strata kedalaman: 17 (a) kedalaman 10 - 15 m


17 (b)

kedalaman 15- 20 m

17 (c)

kedalaman 20 - 25 m

17 (d)

kedalaman 25 - 30 m

Gambar 17 (e)

Gambar 17 (f)

Gambar 17 (g)

Gambar 17 (h)

Gambar densitas ikan pada strata kedalaman: 17 (e) kedalaman 30 -35 m


17 (f)

kedalaman 35 - 40 m

17 (g)

kedalaman 40 - 45 m

17 (h)

kedalaman 45 - 50 m

Gambar 17 (i)

Gambar 17 (k)

Gambar 17 (j)

Gambar 17 (l)

Gambar densitas ikan pada strata kedalaman: 17 (i) kedalaman 50 - 55 m


17 (j)

kedalaman 55 - 60 m

17 (k)

kedalaman 60 - 65 m

17 (l)

kedalaman 65 - 70 m
Gambar 29

Gambar 28

Gambar 17 (m)

Gambar 17 (o)

Gambar densitas ikan pada


strata kedalaman: 17 (m)
kedalaman 70 -75 m
17 (n)
75 - 80 m

kedalaman

17 (o)
80 - 85 m

kedalaman

17 (p)
85 - 90 m

kedalaman

Gambar 17 (p)

Gambar 17 (a) merupakan gambar sebaran dan nilai densitas ikan pada strata kedalaman
10 15 secara horizontal, pada kedalaman tersebut densitas ikan sebesar 9 ikan/1000 m.
Gambar 17 (b) merupakan gambar sebaran dan nilai densitas ikan pada strata kedalaman 15 20 m, pada strata kedalaman ini densitas ikan sebesar 10,1 ikan/1000 m. Gambar 17 (c)
merupakan gambar sebaran dan densitas ikan pada strata kedalaman 20 - 25 m, dimana pada
strata kedalaman ini densitas ikan sebesar 10,3 ikan/1000 m. Gambar 17 (d) adalah gambar
sebaran dan kelimpahan ikan pada strata kedalaman 25 - 30 m, pada kedalaman ini densitas
ikan sebasar 11,4 ikan/1000 m. Gambar 17 (e) merupakan gambar sebaran dan kelimpahan
ikan pada strata kedalaman 30 35 m, dimana pada strata kedalaman ini densitas ikan sebesar
13,2 ikan/1000 m. Gambar 17 (f) merupakan gambar sebaran dan kelimpahan ikan pada strata
kedalaman 35 40 m, pada strata kedalaman ini kelimpahan ikan sebesar 27,4 ikan/1000 m.
Gambar 17 (g) merupakan gambar sebaran dan densitas ikan pada strata kedalaman 40 45 m,
dimana pada strata kedalaman ini densitas ikan sebesar 33,4 ikan/1000 m. Gambar 17 (h)
merupakan gambar sebaran dan densitas ikan pada strata kedalaman 45 50 m, pada
kedalaman ini kelimpahan ikan sebesar 60 ikan/1000 m. Gambar 17 (i) adalah gambar
sebaran dan kelimpahan ikan pada strata kedalaman 50 55 m, dimana pada strata kedalaman
ini mempunyai densitas sebesar 73 ikan/1000 m. Gambar 17 (j) adalah gambar sebaran dan
densitas ikan pada strata kedalaman 55 60 m, pada strata kedalaman 55 60 m mempunyai
densitas sebesar 59,3 ikan/1000 m. Gambar 17 (k) adalah gambar sebaran dan kelimpahan
ikan pada strata kedalaman 60 65 m, pada strata kedalaman 60 65 m ini mempunyai
sebaran densitas ikan sebesar 10 ikan/1000 m. Gambar 17 (l) merupakan gambar sebaran

dan nilai densitas ikan pada strata kedalaman 65 70 m, pada strata kedalaman 65 70 m
ini mempunyai nilai densitas sebesar 10 ikan/1000 m. Gambar 17 (m) adalah gambar
sebaran dan kelimpahan ikan pada strata kedalaman 70 75 m, pada strata kedalaman 70
75 m ini , mempunyai kelimpahan ikan sebesar 4,4 ikan/1000 m. Gambar 17 (n)
merupakan gambar sebaran dan densitas ikan pada strata kedalaman 75 80 m, pada strata
kedalaman 75 80 m ini kelimpahan ikan sebesar 7 ikan/1000 m. Gambar 17 (o)
merupakan gambar sebaran dan nilai densitas ikan yang terdapat pada strata kedalaman 80
85 m, pada strata kedalaman 80 85 m ini nilai densitas ikan sebesar 11 ikan/1000 m.
Gambar 17 (p) merupakan gambar sebaran dan kelimpahan ikan pada strata kedalaman 85
90 m, pada strata kedalaman 85 90 m ini nilai kelimpahan ikan sebesar 3,4 ikan/1000
m.
Secara keseluruhan nilai densitas total ikan yang didapat pada semua strata
kedalaman ialah sebesar 353 ikan/1000 m, kisaran sebaran densitas ikan tertinggi terdapat
pada kedalaman 40 55 m dan kisaran densitas terendah terdapat pada kedalaman 15 30
m. Berdasarkan sebaran nilai TS dan SV yang pada kisaran kedalaman 40 55 m, dimana
nilai TS dan Sv semakin besar maka pengelompokan ikan semakin besar dan sebaliknya..
Sebaran densitas pada kisaran kedalaman 15 30 m lebih kecil bila dibandingkan dengan
lapisan kolom air yang lebih dalam, hal ini diduga karena pada lapisan permukaan banyak
terdapat ikan-ikan pelagis yang berukuran kecil,tidak memiliki gelembung renang, bentuk
ikan, oreantasi akan terhadap tranducer, spesies ikan dan kecepatan renang ikan (MacLennan
and Simmonds, 1992).

4.6

Hubungan antara faktor oseanografi dengan densitas ikan

Hubungan antara ikan dengan lingkungan sangatlah kompleks karena pengaruh


lingkungan pada ikan tergantung dari kondisi ikan tersebut, keadaan kematangan gonad
dan lain-lain. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap
pola migrasi serta musim terdapatnya ikan.
Salinitas sangat erat sekali hubungannya dengan pergerakan ikan, mengingat ikan
memerlukan penyesuaian diri terhadap tekanan osmosis antara sitoplasma sel tubuh ikan
dengan keadaan salinitas lingkungannya. Kisaran nilai salinits di lokasi penelitian berkisar
antara 32,29 psu sampai 33,35 psu. Nilai ini masih dalam kisaran yang normal untuk ikan
yang hidup di daerah tropis dan nilainya pun merata disemua stasiun penelitian.

Gambar 24. Sebaran horizontal densitas terhadap salinitas .

Gambar 25. Sebaran horizontal TS terhadap salinitas .

Pada Gambar 24 dan 25, nilai densitas dan Target strength ikan mempunyai kelimpahan
terbesar pada kisaran salinitas sebesar 32 psu. Menurut Laevastu dan Hayes (1981)
menyatakan bahwa suhu mempengaruhi tingkat proses metabolisme dan modifikasi akifitas
ikan sehingga pertumbuhan dan tingkat makan juga dipengaruhi oleh suhu makanan. Suhu
perairan di lokasi pengambilan data cenderung hampir seragam, yaitu berkisar antara 29,73C
sampai 29,97C, dimana kisaran suhu ini berada pada kisaran optimum untuk melakukan
metabolisme. Perbedaaan suhu yang ekstrim akan mengakibatkan perbedaaan distribusi
organisme

dan juga sebaliknya apabila kondisi suhu perairan cenderung sama maka distribusi ikan
cenderung merata sesuai dengan pola sebaran suhu. Proses metabolisme ikan hanya
berfungsi dalam kisaran suhu yang relatif sempit yaitu 0 - 40C. Ikan termasuk organisme
yang bersifat poikilothermis atau ectothermis, artinya suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu
massa air disekitarnya (Nybakken, 1992). Suhu di laut adalah salah satu faktor yang sangat
penting bagi kelangsungan organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktifitas
metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme tersebut (Hutabarat dan Evans,
1998).

Gambar 26. Sebaran horizontal densitas terhadap suhu .

Gambar 27. Sebaran horizontal TS terhadap suhu .

Pada Gambar 26 dan 27, nilai densitas dan Target strength ikan mempunyai kelimpahan
terbesar pada kisaran suhu sebesar 29

C. Pada waktu pengambilan data akustik dan

oseanografi, di laut Jawa sedang mengalami musim peralihan dari angin muson barat ke
muson timur sehingga nilai suhu dan salinitas belum mengalami perubahan. Kisaran nilai suhu
dan salinitas di lokasi penelitian cenderung memiliki nilai yang seragam sehingga tidak terlalu
berpengaruh terhadap densitas ikan.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1)

Nilai target Strength (TS) rata-rata terbesar terdapat pada strata kedalam 16 (85-90 m)
yaitu sebesar -44,05 dB dan nilai TS rata-rata terkecil terdapat pada strata kedalaman 1
(10-15 m) yaitu sebesar -55,67 dB.

2)

Nilai SV rata-rata terbesar terdapat pada strata kedalaman 16 (85-90 m) yaitu sebesar
-59,16 dB dan nilai terkecil terdapat pada strata kedalam 5 (20-25 m) yaitu sebesar -88,86
dB.

3)

Densitas ikan pada bulan Mei 2006 di Laut Jawa secara vertikal berkisar antara 65,6
620,1 ikan/1000 m dan secara horizontal densitas ikan berkisar antara 3,4 72,5
ikan/1000 m. Sesuai strata kedalaman, densitas ikan tertinggi terdapat pada strata
kedalaman 9 (50 55 m) dan mengalami penurunan seiring bertambahnya kedalaman.

4)

Densitas ikan di lokasi penelitian dipengaruhi oleh kedalaman. Kisaran nilai suhu dan
salinitas di lokasi penelitian cenderung memiliki nilai yang seragam sehingga tidak terlalu
berpengaruh terhadap densitas ikan. Sebaran nilai suhu berkisar antara 28,07 C sampai
29,46 C dan kisaran suhu maksimumnya sebesar 29,68 C sampai 31,01 C dan sebaran
nilai salinitas berkisar antara 32,12 psu sampai 33,74 psu,
5. 2 Saran
Saran yang perlu dilakukan sebagai tindak lanjut dari penelitian ini adalah :

1)
2)

Kalibrasi akan instrumen akustik perlu dilakukan.


Penelitian hendaknya dilakukan secara kontinyu dengan memperhatikan faktor
oseanografi.

DAFTAR PUSTAKA

Boely, T., and Linting. 1986. Prelimenary Report on Phechindon Campaign. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 35.
Balitkanlut. Jakarta : hal 23-29

Burczynski, J. J. 1982. Introduction to Use of Sonar System for Estimating Fish Biomass. FAO. Fisheris
Technical. Paper No. 199 Revision 1.
Coates, R. F. W. 1990. Underwater Acoustic System. Mac Millan Education, ltd. 188p.

Dahuri, R. Otonomi Pengelolaan Sumber daya Laut.


http://www. Ekosistem Pantai. Co.id/berita/otonomi.htm [1 Agustus 2008]
Direktorat Wilayah Laut dan PT Sucofindo (Persero). 2000. Kajian Peningkatan Pengolahan dan Pengembangan
Kelautan Secara Terpadu. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 114 hal.
Doty, M.I., R.E Martadinata and Sugiarto, 1963. Observation The Primery Marine Productivity on North Western
Indonesia water. Mar. Res. In Indonesia.

Emerly, K.O., E. Uchupi, J. Sunderland, H.L. Uktolseja and E.M. Young. 1972. Geological Structure and Some
Water Characteristics of The Java Sea and Adjescent Coontinental Shelf. United Nation ECAFE. CCOP.
Thecnical Bulletin Contribution no. 27 Woodshole Oceanograpic Institution.
Foote, K.G. 1987. Fish Target strength for Use in Echo Integrator Survey. J. A Coust Sea of America (JASA). Page
981-987

Harsono, G. 2005. Studi Karakteristik Massa Air Arus Pantai Selatan Jawa pada Bulan Desember 2003. Tesis
Program Studi Ilmu Kelautan. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan)
Hutabarat, S. dan S. M. Evans, 2000. Pengantar Oseanografi. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

http://jawatengah.go.id. [24 Agustus 2007]

http://images. windows.ucar.edu/.../sm_salinity_depth. 10 September 2008


Johannesson, K. A. dan R. B. Mitson. 1983. Fisheries Acoustics A Practical Manual for Aquatic Biomass
Estimation. FAO Fisheries Technical Paper. Roma. 249

Anda mungkin juga menyukai