Oleh :
RISKA AMANAH
L2A016001
i
BAB I. PENDAHULUAN
1
BAB II. PEMBAHASAN
2
Kondisi ini menyebabkan armada penangkapan baru tertarik untuk bergabung dalam
eksploitasi sumberdaya ikan tersebut dan mengadopsi teknologi penangkapan baru tersebut.
Semakin banyak armada penangkapan baru bergabung dalam aktivitas penangkapan, semakin
berat tekanan penangkapan terhadap sumberdaya perikanan. Sementara itu sumberdaya
perikanan mempunyai keterbatasan dalam memperbaharui diri. Oleh karena itu kemampuan
daya tangkap atau peningkatan upaya penangkapan hanya akan meningkatkan produksi
sampai mencapai batas tertentu, yaitu nilai MSY, tetapi tahap selanjutnya produktivitas akan
turun karena peningkatan upaya penangkapan tidak diimbangi oleh meningkatnya produksi
yang disebabkan menurunnya jumlah stok ikan (Naamin, 1984). Ini berarti bahwa
perkembangan teknologi penangkapan akan meningkatkan kemampuan daya tangkap dan
produktivitas pada tingkat upaya penangkapan tertentu, namun sebaliknya, perkembangan
teknologi penangkapan juga akan menurunkan kedua-duanya setelah upaya penangkapan
melewati suatu titik yang menghasilkan MSY.
Efek perkembangan teknologi penangkapan terhadap CPUE kurang lebih sama
dengan pengaruhnya terhadap kemampuan daya tangkap dan produktivitas. Pada mulanya,
introduksi teknologi penangkapan baru akan meningkatkan CPUE. Peningkatan CPUE ini
akan terus berlangsung sampai mencapai titik maksimum dari CPUE. Setelah CPUE
mencapai maksimum, aplikasi teknologi baru justru akan menurunkan CPUE karena
kecepatan pertambahan upaya penangkapan lebih tinggi dari pertambahan produksi total.
Pada kondisi sekarang, peran teknologi penangkapan tidaklah dapat diabaikan begitu
saja. Keadaan sumberdaya perikanan yang semakin tertekan oleh karena terus meningkatnya
aktivitas penangkapan yang dipicu oleh bertambahnya permintaan protein hewani oleh
manusia yang terus bertambah jumlahnya mau tidak mau pengelolaan sumberdaya perikanan
harus juga memikirkan kebutuhan generasi berikutnya tanpa mengabaikan kebutuhan
sekarang terhadap sumberdaya perikanan tersebut. Dengan kata lain pengelolaan sumberdaya
perikanan harus berkelanjutan yang ditunjang dengan penggunaan teknologi penangkapan
yang ramah lingkungan sehingga aktivitas penangkapan dapat dipertanggungjawabkan untuk
menjamin keberlanjutan sumberdaya perikanan tersebut.
Beberapa contoh jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan demersal
antara lain adalah :
(1) Alat tangkap arad (minitrawl)
Alat tangkap arad (minitrawl) yang bersifat aktif adalah alat tangkap yang
dioperasikan untuk menangkap udang dengan cara ditarik/ dihela oleh kapal dengan daya
tertentu atau dilingkarkan di perairan, yang bertekstur dasar relatif rata, terdiri dari lumpur
3
atau lumpur berpasir yang diperkirakan banyak udangnya. Unit penangkapan ikan dengan
jaring arad yang digunakan oleh nelayan di perairan Tegal dan sekitarnya meliputi kapal,
jaring arad dan nelayan.
Kapal yang digunakan pada umumnya terbuat dari material kayu dan menggunakan
mesin kapal sebagai motor penggerak pada tiap kapalnya berjumlah 2 buah dengan jumlah
ABK atau nelayan setiap kapalnya berjumlah 3 orang, masing-masing mempunyai fungsi
yang berbeda, yakni satu orang sebagai juru mudi yang bertugas untuk mengendalikan olah
gerak kapal dan menentukan daerah penangkapan ikan, satu orang sebagai juru masak yang
bertugas untuk menyiapkan makanan saat dibutuhkan dan kadang membantu saat setting dan
hauling, dan seorang lagi bertugas menyiapkan segala peralatan saat setting dan hauling dan
menjaga kebersihan kapal (Imron, 2008).
Jaring arad dioperasikan pada daerah pantai dengan tipe dasar perairan lumpur
berpasir. Kedalaman perairan berkisar antara 5 - 10 m dengan topografi dasar perairan yang
relatif datar. Jaring arad dapat dioperasikan sepanjang tahun, namun intensitas
pengoperasianya di pengaruhi oleh musim penangkapan (Puslitbang Perikanan 1991).
Menurut Nontji (1987) pola angin yang sangat berperan di Indonesia adalah angin
muson. Angin ini bertiup secara mantap kearah tertentu pada suatu periode, dan periode
lainnya bertiup kearah yang berlainan secara mantap pula. Pola angin ini erat hubungannya
dengan keadaan iklim muson di Indonesia yang dapat dibagi menjadi 3 periode, yaitu :
musim barat (Desember sampai Maret), musim timur (Juni sampai Agustus), dan musim
peralihan (April sampai Mei dan September sampai November).
Menurut Manadiyanto et al., (2000), musim di bidang perikanan di Indonesia dibagi
menjadi dua, yaitu musim barat dan musim timur. Upaya penangkapan memberikan hasil
terbesar pada musim timur, dimana pada musim ini angin angin yang bertiup terhalang oleh
tanjung sehingga tidak memberikan gelombang yang besar. Sedangkan pada musim barat,
angin bertiup tidak terhalang oleh tanjung, sehingga menimbulkan gelombang yang besar
dengan seringnya disertai hujan lebat.
Manadiyanto et al. (2000) menjelaskan bahwa puncak penangkapan berlangsung pada
musim timur, yaitu antara pertengahan Maret sampai pertengahan Juni. Selanjutnya Sumiono
et al. (1998), diacu dalam Manadiyanto et al., (2000) menjelaskan bahwa udang lebih banyak
tertangkap di perairan yang dangkal. Hal ini dikarenakan muara sungai merupakan tempat
percampuran air sungai dan laut yang kaya akan makanan.
4
(2) Trawl dasar (Bottom trawl)
Pengoperasian alat ini di Indonesia telah dilarang melalui KEPPRES No. 39/1980.
Pada dasarnya alat trawl terdiri dari bagian kantong (cod end), badan (body), sayap (wing),
sewakan (otter board) dan tali tank (warp). Ukuran masing-masing bagian tersebut bervariasi
menurut besar (GT) kapal. Kapal yang digunakan harus mempunyai stabilitas cukup baik
yang angguk dan olengnya (rolling dan pitching) rendah serta mampu bertahan terhadap
ombak besar dan angin kuat. Geladak kapal harus memiliki ruang gerak yang cukup untuk
bekerja serta dilengkapi palka yang baik dan memenuhi syarat bagi penyimpanan udang dan
ikan sehingga mutu tetap terjaga. Kapal yang dioperasikan umumnya mempunyai ukuran
dengan kategori lebih dari 100 GT (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).
Prinsip kerja jaring arad yaitu jaring dihela di dasar perairan selama jangka waktu
tertentu (1-3 jam) per tarikan oleh kapal dengan bobot mati serta kekuatan mesin yang sangat
bervariasi. Mekanisme penarikan jaring sepenuhnya menggunakan tenaga mesin. Alat ini
mempunyai efisiensi daya tangkap yang sangat tinggi. Kegiatan penangkapan berlangsung
baik siang maupun malam, dengan kedalaman penarikan jaring berkisar antara 10-70 meter,
bukaan horizontal mulut jaring dapat mencapai 40 meter. Kekuatan mesinnya harus cukup
kuat untuk menarik pukat atau jaringnya. Satu trip trawler dapat beroperasi selama 35 – 40
hari penangkapan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).
(3) Pukat udang (BED-shrimp net)
Alat tangkap ini hanya diizinkan beroperasi di perairan Indonesia mulai dari bujur
1310 BT ke arah timur. Rancang bangun pukat udang pada prinsipnya sama dengan trawl.
Perbedaannya pada alat ini dilengkapi dengan alat pemisah ikan berupa bingkai jeruji yang
dibuat dari pipa galvanis dan ditempatkan diantara bagian badan dan kantong. Kapal yang
digunakan umumnya berukuran 100-350 GT dengan anak buah kapal lebih dari 10 orang
(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).
Seperti trawl pada umumnya, metode pengoperasian pukat udang, diawali dengan
penurunan jaring bagian kantong (codend) yang akan berada dalam posisi paling belakang.
Setelah itu penurunan bagian lainnya, secara berurutan, yaitu alat pemisah ikan (API), bagian
badan jaring, bridle line, papan (otter board) dan diakhiri dengan penurunan tali penarik
(warp). Panjang tali penarik yang diturunkan disesuaikan dengan kedalaman perairan,
biasanya 4 sampai 5 kali kedalaman perairan. Setelah jaring berada di dalam air, kapal tetap
bergerak sehingga menyeret alat tangkap di dasar perairan pada kecepatan 2,5 - 3,0 knot.
Lama penyeretan jaring ini (towing) biasanya berkisar antara 2 - 3 jam. Sebuah try net selalu
dioperasikan secara bersamaan untuk menduga kelimpahan udang yang akan tertangkap
5
sebelum hauling atau pengangkatan jaring dilakukan (Departemen Kelautan dan Perikanan,
2003).
Penyeretan jaring tersebut diakhiri dengan proses pengangkatan jaring yang disebut
hauling. Dalam proses ini, urutan bagian jaring yang diangkat ke atas geladak kapal adalah
kebalikan dari urutan bagian jaring yang diturunkan menjelang towing. Setelah try net tiba di
atas kapal, anak buah kapal yang mengendalikan winch akan membunyikan bel dan kapal
kemudian diperlambat. Maksud dari penurunan kecepatan ini adalah untuk mengurangi
tahanan air terhadap jaring dan otter board sehingga beban yang dialami winch berkurang.
Warp kemudian ditarik hingga kedua otter board menggantung di ujung rig. Setelah itu
winch segera dikunci dan dimatikan. ABK pemegang galah pengait segera mengait lazy line,
dan kemudian digulung pada head winch setelah lazy line tergantung lewat side block. Winch
bantu dijalankan dan mulai dilakukan penarikan lazy line kemudian tali sling dan hook line
disambung dengan bagian tali untuk mengangkat bagian kantong. ABK di stopper hook
mengaitkan dengan lazy line, lalu gulungan lazy line pada winch bantu dilepas dan kantong
terangkat ke sisi dek. Selanjutnya adalah mengaitkan hook line dengan tali sling yang telah
dilingkarkan pada kantong dan hook line digulung dengan head winch, setelah kantong pada
posisi menggantung tali kantong dilepas dan isi dari kantong (codend) dicurahkan di atas dek.
Penurunan jaring pada operasi dengan menggunakan jaring trawl yang pertama
diturunkan adalah bagian kantong (codend), kemudian diikuti oleh alat pemisah ikan (BED),
bagian badan, bridle line, papan (otter board) dan yang terakhir tali penarik (warp). Tali
penarik (warp) diturunkan sesuai dengan kedalaman perairan. Kecepatan kapal diturunkan
menjadi 3 knot (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).
Hasil tangkapan pukat udang adalah udang windu (Penaeus semisulcatus), udang
windu (Penaeus monodon), udang jerbung (Penaeus merguiensis), udang dogol (Metapenaeu
endeavouri), udang krosok/merah (Solanocera spp), udang ratu (Penaeus latisulcatus), udang
uchiwa (Thenus orientalis), udang kiji (Metapenaeus monoceros) dan udang kembang
(Penaeus japonicus). Selain itu, tertangkap juga ikan-ikan demersal, seperti kerapu
(Ephinephelus sp), kakap merah (Lutjanus spp), bawal putih (Pampus sp), ikan kuwe
(Caranx sp), kakap putih (Lates calcarifer), beloso (Saurida sp), ikan lidah (Cynoglossus sp),
ikan sebelah (Psettodidae), manyung (Arius sp), bawal hitam (Formio niger), gerot-gerot
(Pomadasys sp), gulamah (Sciaenidae), pari (Trigonidae), cucut (Charcharinidae) dan lain-
lain (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).
6
4) Dogol atau cantrang (danish seine)
Prinsip kerja dan konstruksinya hampir sama dengan trawl tetapi berukuran lebih
kecil dan tidak dilengkapi dengan papan pembuka. Perahu tidak memerlukan mesin yang
berukuran besar karena hanya digunakan untuk perjalanan ke daerah penangkapan serta
melingkarkan jaringnya. Cara pengoperasiannya dengan jalan melingkarkan jaring kemudian
ditarik dengan tangan ke arah perahu dimana perahu dalam keadaan tidak bergerak. Alat ini
umumnya beroperasi di kedalaman 10 – 20 meter (Departemen Kelautan dan Perikanan,
2003).
7
BAB III. PENUTUP
8
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Selayar, 2003. Rencana Strategis DKP Kabupaten
Tegal.
Manadiyanto, H, H. Latif dan S. Iriandi. 2000. Status dan Pemanfaatan Udang Penaeid Pasca
Pukat harimau di Perairan Laut Jawa, Jakarta: Balai Penelitian Perikanan laut. 26 hal.
Naamin, 1986. Growth, Mortality, and Recruitment of Commercially Important Fishes and
Penaid Shirmp in Indonesian Waters. Research Institute for Marine Fisheries. 76 hal
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Puslitbang Perikanan. 1991. Perikanan Jaring Trammel dan Jaring Arad. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. 19 Hal.
Uktolseja. J.C.B, Gafa. B, Bahar. S dan Mulyadi. E, 1989. Potensi dan Penyebaran
Sumberdaya Ikan Lut Perairan Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.