Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Presentasi Penanganan Pasca Panen


”Penangkapan Berbasis Akuakultur (Isu keamanan Pangan)”
0
L
E
H

Kelompok XXVI

NAMA:
1. ADE FAUZI ARFANI
2014 – 65 - 017
2. RINA VANDERWAIYDEN
2014 – 65 - 0

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2017
I
PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang

Di Indonesia, beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia


dihadapkan juga pada kondisi over fishing. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap-
Departemen Kelautan dan Perikanan dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut-IPB
membagi kondisi Wilayah Pengelolaan Perikanan ke dalam empat golongan, antara lain:
Pertama, wilayah yang tidak berpeluang untuk di kembangkan lagi, yaitu WPP 1 (Selat
Malaka). Kedua, wilayah yang memiliki peluang pengembangan yang tergolong rendah
antara 1%-20%, yaitu WPP 3 (Laut Jawa dan Selat Sunda), WPP 4 (Laut Flores dan Selat
Makasar) dan WPP 5 (Laut Banda). Ketiga, wilayah yang memiliki wilayah pengembangan
sedang antara 21%-40%, yaitu WPP 9 (Samudera Hindia). Keempat, wilayah yang peluang
pengembangannya tergolong tinggi lebih dari 40%, antara lain WPP 2 (Laut Natuna dan
Laut Cina Selatan) dan WPP 6 (Laut Maluku, Teluk Tomini, dan Laut Seram), WPP 7
(Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik) dan WPP 8 (Laut Arafura).
Kondisi lain yang menambah keterpurukan perikanan tangkap adalah penurunan
tingkat kesejahteraan. Kesejahteraan yang di definisikan sebagai ringkasan dari serangkaian
data statistik yang diturunkan dan disusun untuk menggambarkan suatu keadaan atau
kecenderungan dari keadaan sosial yang menjadi atau akan menjadi pokok pemikiran atau
usaha perkembangan masyarakat. Tingkat kesejahteraan dapat dilihat dari pemenuhan atau
aksestabilitas 3 kebutuhan utama yaitu sandang, pangan dan papan. Salah satu yang dapat
menjadi tolok ukur dari kesejateraan adalah dari pendapatan.
Salah satu program yang dipandang dapat dijadikan alternatif untuk dapat
meningkatkan produksi ikan laut dan mempertahankan kondisi lingkungan laut agar lebih
baik adalah program sea farming. Program ini merupakan program pengalihan kegiatan
dari penangkapan ke budidaya. Sea farming merupakan kegiatan budidaya yang merubah
paradigma masyarakat pesisir tentang pemanfaatan lahan laut dan pengelolaan sumberdaya
ikan secara berkelanjutan.
Awalnya sea farming berupa ranching (berternak) selanjutnya disebut sea ranching
dapat didefinisikan sebagai aktivitas melepas telur, larva, juvenile atau ikan muda ke laut
untuk meningkatkan populasi ikan dan meningkatkan hasil tangkapan. Sea farming sudah
dimulai sejak abad 17 di Jepang, Norwegia dan USA. Di Norwegia dan USA kegiatan
pelepasan larva ikan yang masih mengandung kuning telur dimulai sejak tahun 1887, dan
kegiatan ini terus berlangsung sampai dengan tahun 1967. Kegiatan sea farming di
Norwegia tidak diikuti dengan evaluasi keberhasilan maupun dampak kegiatan tersebut
terhadap populasi ikan dan hasil tangkapan serta dampak ekologis dari aktivitas yang sudah
dilakukan.
Pelepasan bibit ikan dilakukan dengan perlakuakan yang sederhana.dimana bibit
ikan yang dilepas akan dibiarkan tidak ada perlakuan yang khusus. Kegiatan yang
dilakukan ini setelah dievaluasi ternyata banyak sekali mengalami masalah. Salah satunya
adalah sulitnya bertahan dialam terbuka karena banyak predatornya yang menjadi
pemangsa bibit ikan tersebut. Indikator tingkat keberhasilan juga sulit untuk diukur karena
tidak dilakukan kegiatan secara terorganisir.
Kegiatan sea farming di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan konsep dari
awal sea ferming, dimana kegiatan sea farming bukan saja penebaran bibit ikan tapi lebih
kepada peningkatan pendapatan masyarakat dalam usaha ekonomi serta perbaikan ekologi
laut di sekitar wilayah sea farming. Kegitan Manajemen sea farming juga dilakukan untuk
dapat mengembangkan kegiatan ini. Sea farming yang mengembangkan satu kawasan
tertentu yang dibuat khusus dengan menggunakan jaring apung sehingga kegiatan tersebut
dapat mudah di control. Salah satu daerah yang telah mengembangkan kegiatan sea
farming adalah Kabupaten Kepulauan Seribu. Sea farming di Kabupaten Kepuluan Seribu
diperkenalkan pertama sekali pada tahun 2002.
II
TINJUAN PUSTAKA

2.1.Konsep Penangkapan berbasis Akuakultur


2.1.1.Penangkapan Ikan
Kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan umumnya penangkapan ikan karang
(ikan demersal) untuk konsumsi dan ikan hias. Alat yang digunakan untuk kegiatan
penangkapan ikan yaitu jaring muro-ami, bubu, jaring insang, jaring kongsi, bubu, dan jaring
cebur. Sedangkan pengeboman masih digunakan di beberapa tempat, sehingga mengakibatkan
rusaknya hamparan terumbu karang yang merupakan habitat ikan hias dan biota laut lainnya.
Jaring muro-ami (drive-in net) yang bentuknya seperti "trawl" dengan sepasang sayap
panjang dan dilengkapi dengan kantong, dioperasikan di sekitar terumbu karang dengan cara
menempatkan jaring tersebut pada suatu lokasi yang tepat kemudian beberapa orang nelayan
perenang dan penyelam melakukan proses penggiringan ikan menuju ke arah jaring.
Jaring insang, bubu dan pancing juga digunakan untuk menangkap ikan-ikan yang
hidup di sekitar terumbu karang baik ikan konsumsi seperti ekor kuning dan kerapu maupun
ikan hias seperti ikan kepe-kepe (Chaetodon sp.), kakatua (Scarus sp.), dan betok hitam
(Pomacentrus brachianis). Selain alat tangkap tersebut, untuk memanfaatkan sumberdaya ikan
pelagis kecil seperti tembang dan teri, digunakan jenis alat tangkap seperti bagan tancap
(bamboo-flatform liftnet) dan payang (boat-seine).
2.2.2.Konsep Sea Farrming
Menurut PKSPL-IPB (2004), konsep sea farming sudah dimulai sejak abad ke-17 di
Jepang, Norwegia dan Amerika Serikat. Pada awal pengembangnya, teknologi sea farming
merupakan teknologi yang ditujukan kepada aktifitas perikanan berupa ranching, sehingga
pertama kali disebut sebagai sea ranching. Istilah ini didefinisikan sebagai aktivitas
melepas telur, larva, juvenile atau ikan muda ke laut untuk meningkatkan populasi ikan
atau hasil tangkapan. Di Norwegia dan Amerika Serikat, kegiatan pelepasan larvae ikan
yang masih mengandung kuning telur dimulai sejak tahun 1887, dan kegiatan ini terus
berlangsung sampai dengan tahun 1967. Hanya saja di Norwegia kegiatan ini tanpa diikuti
oleh evaluasi keberhasilan maupun dampak kegiatan tersebut terhadap populasi ikan
ataupun hasil tangkapan sehingga tidak diketahui secara pasti dampak ekologis dari
aktivitas yang sudah dilakukan. Strategi yang digunakan untuk melepas larva ke laut pada
saat itu adalah dengan mensinkronkan waktu pelepasan dengan waktu di mana makanan
larva di area pelepasan mencapai kepadatan yang tertinggi agar kelangsungan hidap larva
dapat ditingkatkan. Akan tetap strategi tersebut masih dihadapkan pada beberapa 5ngina
yang mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan di awal kehidupan
larvae ikan yang dilepas seperti pemangsa, pola arus dan sangat sulit sekali menentukan
waktu yang tepat (tekait dengan kelimpahan prey) untuk melepas larva di suatu area.
Sehingga tingkat keberhasilan pelepasan larva ini diperkirakan sangat kecil sekali atau
bahkan mancapi tingkat nol. Dari pengamatan yang dilakukan pada umumnya kematian
total larva ikan yang dilepas pada saat larva umumnya terjadi pada akhir stadia pertama dari
perkembangan larva (pada umunya ikan laut terdiri dari beberapa tahapan perkambangan stadia
pasa saat larva).
Berdasar hal diatas maka dikembangakan suatu teknik baru agar ikan yang dilepas
dapat ditingkatkan kelangsungan hidupnya. Hasil dari teknologi tersebut memberikan suatu
kesimpulan bahwa tingkat keberhasilan atau kelangsungan hidup pelepasan juvenile lebih baik
dibandingkan dengan pelepasan pada stadia larva. Berdasarkan hal tersebut diatas maka
pelepasan ikan pada stadia juvenile atau ikan muda dijadikan landasan dasar dalam proses
kegiatan sea farming. Tentunya dibutuhkan upaya dan biaya untuk mendapatkan juvenile ikan
untuk dilepas 5ngina5ing melepas ikan dalam stadia larva.
Pelepasan ikan pada stadia juvenile diawali atau dipelopori oleh Jepang pada tahun
1965, yang kemudian diikuti oleh Norwegia pada tahun 1976 dan USA pada tahun 1979.
Selanjutnya teknologi pelepasan ikan berkembang dimana metoda evaluasi dan hitungan
ekonomins dan dampak sosialnya terus dikembangkan hingga saat ini. Sampai saat ini hanya
tiga Negara tersebut yang memiliki perhatian yang tinggi terhadap kegiatan sea farming
tersebut dan Jepang menjadi kiblat dari kegiatan ini.
2.2.Pengertian dan Tujuan Sea Farming
Menurut Adrianto (2005), sea farming (dalam istilah Bahasa Jepang) disebut 6ngina
gyogyou adalah salah satu kegiatan perikanan yang memegang peranan cukup penting
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Jepang. Pada dasarnya, konsep sea farming di
Jepang memiliki fungsi sebagai penyedia stok ikan yang akan dilepas kembali ke laut
sehingga sumberdaya ikan yang berkurang akibat kegiatan perikanan tangkap tetap
terpelihara volume stoknya (restocking).
Pada dasarnya tujuan sea farming (pelepasan ikan ke laut) dapat dikatagorikan
menjadi tiga kegiatan berdasar tujuannya, yaitu :
1. Membangun suatu populasi atau meningkatkan populasi ikan disuatu areal yang
rendah.
2. Menopang kegiatan sportfishing dan rekreasi
3. Meningkatkan hasil tangkapan nelayan.
2.3.Potensi Pengembangan Sea Farming di Kepulauan Seribu
Seperti telah didefinisikan di atas kegiatan sea farming/sea ranching adalah suatu
kegiatan melepas ikan ke suatu areal/ kawasan laut dimana Niche atau relung hidup ikan
sebagai pembatas kawasan. Agar kegiatan Sea ranching ini berhasil tentunya tentunya
memiliki beberapa prasyarat yang harus dipenuhi seperti :
1. Teknologi Budidaya ikan yang dijadikan target telah dikuasai
2. Kondisi Fisika, Kimia dan biologi kawasan laut yang menjadi target kegiatan sea
farming harus memenuhi standar persyaratan biologi dari ikan yang dilepas.
3. Lingkungan 6ngina yang kondusif
4. Penerapan Eco-Friendly Sea Farming
Lokasi budidaya laut adalah lingkungan yang terlindung dari 6ngina dan ombak badai
serta memiliki kesesuaian oseanografis dan kualitas air bagi komoditas budidaya. Lokasi
tersebut umumnya berupa teluk, selat dan karang dalam (dimana di dalamnya terdapat reef
flat, laguna/goba dan galer) dari suatu pulau. Oleh karena itu penentuan lokasi
pengembangan budidaya lazimnya menggunakan basis pulau (island-base).
III
PEMBAHASAN

3.1.Penangkapan Berbasis Akuakultur


Selama ini pengembangan bisnis budidaya ikan memiliki kelemahan, yaitu sedikitnya
pelaku bisnis yang hanya terdiri dari pelaku usaha pembenihan dan pelaku usaha pembesaran.
Kelemahan lain bisnis budidaya ikan adalah lamanya waktu pembesaran, yaitu berkisar antara 6
hingga 12 bulan tergantung ukuran bibit dan jenis ikan yang dibudidayakan. Hal ini tentunya
akan sangat mempengaruhi cash flow pelaku usaha karena lamanya masa panen. Apalagi bila
usaha ini akan diintroduksikan kepada nelayan yang umumnya biasa mendapat hasil tangkapan
secara harian. Oleh karena itu banyak sekali kasus kegagalan introduksi usaha
budidaya/pembesaran ikan kepada para nelayan, meskipun tujuan introduksi tersebut sangat
baik, yaitu melakukan alih profesi dari nelayan menjadi pembudidaya, karena potensi
sumberdaya perikanan tangkap yang semakin menurun.
Untuk mengatasi hal seperti yang diuraikan di atas, maka perlu ditumbuhkan dan
diciptakan pelaku-pelaku usaha yang berada diantara pelaku pembenihan dan pembesaran yang
dikenal dengan pelaku pendederan atau raiser. Model bisnis seperti ini sudah banyak terjadi
pada beberapa jenis usaha ikan air tawar seperti ikan lele dan ikan mas atau budidaya udang
dan bandeng.
Usaha pendederan umumnya dilakukan tidak lama, seperti contoh pada ikan kerapu
lama masa pendederan bisa sekitar dua bulan. Sehingga apabila pada bisnis ikan kerapu
diterapkan usaha pendederan, maka hal ini dapat menjadi sumber pendapatan pelaku usaha
dalam jangka pendek, yaitu dua bulanan atau bila dilakukan pola pengaturan jarak musim
tanam, maka pendapatan dapat diperoleh setiap bulan.
Pelaku usaha pendederan bisa dibagi menjadi beberapa segmen usaha berdasarkan
ukuran ikan yang diproduksi, sehingga terdapat pelaku usaha pendederan I, pendederan II,
pendederan III dan seterusnya. Pelaku usaha budidaya ikan tersebut saling mendukung dan
saling membutuhkan. Produk hatchery menjadi input usaha pendederan I yang memproduksi
ikan untuk input usaha pendederan II. Produk usaha pendederan II menjadi input usaha
penderan III dan produk usaha pendederan III menjadi input usaha pembesaran.Pola usaha
masyarakat di wilayah administratif Kepulauan Seribu menjadi salah satu fokus yang penting
mengingat dalam studi ini model pengembangan sea farming akan diletakkan pada koridor
masyarakat sebagai motor utama. Dalam konteks sea farming, tujuan utama model ini adalah
membantu masyarakat nelayan di wilayah Kepulauan Seribu untuk memanfaatkan ekosistem
laut dan pada saat yang sama turut berperan dalam pelestarian ekosistemnya. Secara praktis,
kegiatan sea farming adalah usaha ekonomi berbasis budidaya kelautan (mariculture) yang
meletakkan fungsi intermediasi (pendeder) sebagai tulang punggung aliran usaha sea farming.

System sea farmig

Keuntungan dari sistem ini adalah antara lain adalah (1) resiko yang selama ini cukup
besar apabila menggunakan pendekatan budidaya konvensional akan terdistribusikan kepada
seluruh stakeholder; (2) terdapat potensi quick yield sehingga relatif mudah bagi nelayan yang
sudah terbiasa dengan pola ini; dan (3) mampu memupuk rasa tanggung jawab secara kolektif
karena walaupun berbasis individu tapi karena saling tergantung membuat pelaku perikanan
harus bisa bekerja sama dan saling pengertian satu sama lain (benefits for all).
Untuk mencapai tujuan ini maka beberapa langkah strategis perlu dilakukan mulai dari
identifikasi isu dan permasalahan di lokasi tempat sea farming akan dikembangkan,
pembangkitan motivasi stakeholders hingga implementasi kebijakan dengan menggunakan
perangkat institusi yang diperlukan.

Penerapan Sea farming di kepulauan Seribu.

Dari pengalaman selama ini, pengembangan konsep Sea Farming sebagai suatu konsep
usaha sekaligus konservasi jika dibandingkan dengan kegiatan budidaya yang selama ini
berlangsung, menurut Effendy (2005) memeliki beberapa keunggulan, antara lain:
1. Pelaku usaha pembesaran ditopang oleh banyak pemasok benih, sehingga
kesinambungan kegiatan dapat terjaga
2. Pelaku usaha pembesaran juga mendapatkan benih yang bermutu, karena sudah
adapted dengan lingkungan, hal ini karena proses pendederan berlangsung disekitar
lokasi pembesaran.
3. Usaha pembudidayaan ikan menjadi relatif lebih singkat karena adanya
diversifikasi ukuran panen
4. Memungkinkan keterlibatan dari segenap lapisan masyarakat karena diterapkannya
multi sistem budidaya, sesuai dengan kompetensi dan keinginan masyarakat.
5. Efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam karena diterapkanya multi sistem
budidaya, hampir semua habitat karang dalam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
budidaya dengan memperhatikan daya dukung lingkungan
6. Peluang kesinambungan usaha budidaya relatif lebih tinggi karena banyaknya
pelaku usaha yang terlibat.
7. Peluang pengembangan kegiatan budidaya ikutan lainnya yang dapat bersinergi
dengan konsep sea farming juga lebih besar, seperti budidaya rumput laut serta
budidaya tiram (mutiara/konsumsi).
IV
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan kondisi diatas maka dapat disimpulkan kegiatan sea faming di Kabupaten
Kepulauan Seribu belum efektif meningkatkan pendapata nelayan karena masih belum dapat
memberikan keuntungan yang lebih baik bila dibandingkan dengan kegiatan sebelum sea
faming. Belum efektifnya kegiatan sea faming tersebut disebabkan karena sulit dan mahalnya
mendapatkan bibit. Bibit tersebut merupakan in put yang penting dalam menjalankan kegiatan
sea faming. Sulitnya bibit yang didapat dikarenakan belum adanya teknologi yang dapat
memproduksi sendiri bibit ikan dalam jumlah banyak dan memilki kualitas yang baik. Dengan
demikian maka perlu dilakukan berapa strategi untuk mengatasi kondisi tersebut, salah satu
strategi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pemberdayaan nelayan untuk dapat
menghasilkan bibit sendiri. Cara tersebut dapat dilakukan dengan memperkenalkan metode
hatchery atau pembibitan dengan kolam buatan. Metode ini dapat digunakan dengan
melibatkan perguran tinggi atau lembaga yang dapat memberikan pelatihan tentang metode ini.
Selain itu belum efektifnya kegiatan sea farming juga disebabkan oleh masih belum
jalannya dua kegiatan lain yaitu kegiatan pembenihan dan pemancingan (rekreasi). Kegiatan
pembenihan belum dapat dilakukan karena memiliki tingkat resiko kegagalan yang tinggi,
sehingga harus dilakukan dengan perencanaan yang baik dan diperlukan sumberdaya manusia
yang mampu menerapkan metode ini, untuk itu perlu waktu yang cukup lama dalam
mempersiapkan kegiatan ini. Kegiatan ini juga melibatkan lembaga lain seperti perguruan
tinggi dan lembaga penelitan budidaya ikan untuk dapat melakukan metode ini. Kegiatan
pemancingan (rekreasi) dapat dilakukan bila dua kegiatan sebelumnya sudah dapat berjalan
dengan baik, sehingga dapat mengundang minat pengunjung untuk melakukan pemancingan
atau rekreasi di tempat tersebut.
Dalam rangka pencapaian efektivitas sea farming maka diperlukan melakukan strategi
yang dapat mengatasi masalah dalam kegiatan tersebut. Strategi yang dapat di gunakan adalah
dengan mempelajari teknologi yang dapat memproduksi bibit ikan sendiri agar kebutuhan bibit
dapat terpenuhi. Selain itu perlu dikembangkan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka
mengatasi sulitnya bibit ikan dengan harapan masalah tersebut dapat teratasi. Strategi lain
adalah diperlukannya pelatihan bagi anggota sea faming baik dari segi teknis maupun
menajemen pengelolaan sea farming.

Anda mungkin juga menyukai