Anda di halaman 1dari 49

KARAKTERISTIK BIOEKOLOGI GASTROPODA PADA

EKOSISTEM MANGROVE DI PERAIRAN KABUPATEN


BELU PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

SUSANTI MARIA YOSEFA SALU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Bioekologi


Gastropoda pada Ekosistem Mangrove di kabupaten Belu Provinsi Nusa tenggara
Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2019

Susanti M Y Salu
NIM C251160111
RINGKASAN

SUSANTI M Y SALU. Karakteristik Bioekologi Gastropoda pada Ekosistem


Mangrove di Kabupaten Belu Provinsi Nusa tenggara Timur. Dibimbing oleh
ISDRADJAD SETYOBUDIANDI dan YUSLI WARDIATNO.

Gastropoda merupakan kelas terbesar dari filum moluska. Beberapa spesies


gastropoda memiliki daging yang lezat dan bernilai ekonomi tinggi seperti
Abalone haliotis, Achatina fulica serta memiliki warna cangkang yang indah dapat
digunakan sebagai bahan baku kerajinan tangan, memiliki fungsi secara ekologis,
yaitu dapat dijadikan bioindikator logam berat disuatu perairan. Gastropoda
merupakan salah satu jenis siput yang hidup di kawasan ekosistem mangrove.
Ekosistem mangrove memiliki banyak peran secara fisik maupun biologi.
Fungsi fisik dan biologis pada ekosistem mangrove memperbaiki kualitas air
dengan menyaring dan mengasimilasi polutan, menstabilkan dan memperbaiki
tanah dan melindungi garis pantai dari erosi, memelihara keanekaragaman hayati
dan sumber daya genetik, menyediakan tempat makan, reproduksi, tempat tinggal
dan pembibitan ke beberapa spesies terestrial dan perairan, mengatur proses
penting siklus kimia dan menangkap karbon dioksida. Studi mengenai habitat
mangrove menunjukkan produktivitas biologinya yang tinggi dan kaya akan
keanekaragaman hayati pada daerah tropis dan subtropis.
Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk menganalisis karakteristik
gastropoda dan menganalisis hubungan antara jenis dan kerapatan mangrove
dengan komunitas gastropoda pada ekosistem mangrove Kabupaten Belu.
Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Maret 2018. Pengambilan sampel
dilakukan di tiga stasiun dimana stasiun 1 dan stasiun 2 berdekatan dengan
pelabuhan sedangkan stasiun 3 ke arah timur.
Gastropoda yang ditemukan sebanyak 20 famili 48 spesies. Stasiun yang
memiliki kepadatan tertinggi terdapat pada stasiun 3 (634 individu/m2), sedangkan
kepadatan terendah terdapat pada stasiun 1 (335 individu/m2). Mangrove yang
terdapat pada tiga stasiun terdiri dari 6 spesies dan 2 famili. Kategori pohon
dengan kerapatan tertinggi terdapat pada stasiun 3 jenis Sonneratia alba
sedangkan kerapatan terendah terdapat pada stasiun 2 pada jenis mangrove
Ceriops tagal. Kategori pancang dengan kerapatan tertinggi terdapat pada stasiun
3 jenis Rhizophora stylosa sedangkan kerapatan terendah terdapat pada stasiun 2
jenis Avicennia alba. Kategori semai dengan kerapatan tertinggi terdapat pada
stasiun 3 jenis mangrove Rhizophora stylosa sedangkan kerapatan terendah
terdapat pada stasiun 2 dan 3 jenis Rhizophora stylosa dan Avicennia alba.

Kata kunci: Gastropoda, mangrove, karakteristik


SUMMARY

SUSANTI M Y SALU. Characteristics Bioecology Gastropods on Mangrove


Ecosystems in the Waters of Belu Regency East Nusa Tenggara Province.
Supervised by ISDRADJAD SETYOBUDIANDI and YUSLI WARDIATNO.

Gastropods are the largest class of mollusc phyla. Some gastropod species
have delicious meat and high economic value such as Abalone haliotis, Achatina
fulica and have beautiful shell colors that can be used as raw material for
handicrafts, have ecological functions, which can be used as bioindicators of
heavy metals in a waters. Gastropoda is one type of snail that lives in the
mangrove ecosystem.
Mangrove ecosystems have many roles both physically and biologically.
The physical and biological functions of mangrove ecosystems improve water
quality by filtering and assimilating pollutants, stabilizing and repairing land and
protecting coastlines from erosion, maintaining biodiversity and genetic resources,
providing food, reproduction, shelter and nurseries to several terrestrial species
and waters, regulate important chemical cycle processes and capture carbon
dioxide. Studies of mangrove habitat show high biological productivity and are
rich in biodiversity in tropical and subtropical regions.
The purpose of this study was to analyze the characteristics of gastropods
and analyze the relationship between the type and density of mangroves and the
gastropod community in the mangrove ecosystem of Belu District. Sampling was
carried out in March 2018. Sampling was carried out at three stations where
station 1 and station 2 were adjacent to the port while station 3 was to the east.
Gastropods found as many as 20 families 48 species. Stations that have the
highest density are at station 3 (634 individuals / m2), while the lowest density is
at station 1 (335 individuals / m2). Mangroves found on three stations consist of 6
species and 2 families. The highest density tree category is found at station 3 of
the Sonneratia alba type while the lowest density is in station 2 in the Ceriops
tagal mangrove species. The highest density sapling category was found in station
3 of the Rhizophora stylosa type while the lowest density was found in station 2
of type Avicennia alba. The highest density seedling category was found at station
3 of mangrove Rhizophora stylosa while the lowest density was found in stations
2 and 3 of Rhizophora stylosa and Avicennia alba.

Keywords: Gastropods, mangroves, characteristics


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2019
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK BIOEKOLOGI GASTROPODA PADA
EKOSISTEM MANGROVE DI PERAIRAN KABUPATEN
BELU PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

SUSANTI MARIA YOSEFA SALU

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Nurlisa A Butet, MSi
Judul Tesis : Karakteristik Bioekologi Gastropoda pada Ekosistem Mangrove di
Kabupaten Belu Provinsi Nusa tenggara Timur
Nama : Susanti Maria Yosefa Salu
NIM : C251160111

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc Prof Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Pengelolaan Sumberdaya
Perairan

Dr Ir Mohammad Mukhlis Kamal, MSc Prof Dr Ir Anas Miftah Fauzi, M.Eng

Tanggal Ujian: 7 Januari 2019 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Ucapan puji dan syukur penulis panjatkan kepada Bunda Maria dan Tuhan
Yesus Kristus atas kasih karunia, segala rahmat dan penyertaan yang diberikan
kepada penulis, sehingga penulisan Tesis dengan judul Karakteristik Bioekologi
Gastropoda pada Ekosistem Mangrove di Perairan Kabupaten Belu Provinsi Nusa
Tenggara Timur dapat diselesaikan. Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh
studi di Program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, FPIK.
2. Direktur Lembaga Pengelola Dana Pendidikan, Kementerian Riset, Teknologi
dan Pendidikan Tinggi Beasiswa Unggulan Dosen Indonesia (BUDI) Dalam
Negeri atas biaya pendidikan selama masa studi.
3. Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku ketua komisi pembimbing dan Prof
Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, masukan dan saran selama penyusunan tesis.
4. Dr Ir Mohammad Mukhlis Kamal, MSc selaku Ketua Program Studi
Pengelolaan sumberdaya Perairan pada ujian tesis atas saran yang diberikan
untuk penyempurnaan tulisan ini.
5. Dr Ir Nurlisa A Butet, MSc sebagai dosen penguji luar komisi pembimbing
pada ujian tesis yang telah banyak membantu serta memberikan masukan dan
saran dalam penyempurnaan tulisan ini.
6. Keluarga; Bapak Benediktus Salu dan Ibu Sista Sila serta saudara-saudara
tercinta Adrianus Salu, Maria bernadina Salu, Kornelia Salu atas doa, kasih
sayang dan dukungan yang diberikan dalam penyelesaian perkuliahan.
7. Staf TU Program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan (Mas Muchlis) yang
telah memberikan serta membantu penulis dalam berbagai keperluan
administrasi.
8. Seluruh rekan SDP 2016 dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan
satu per satu atas dukungan yang telah diberikan.

Bogor, Januari 2019

Susanti M Y Salu
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 3
3 METODE 3
Waktu dan lokasi 3
Bahan dan Alat 4
Pengumpulan Data 4
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 10
Hasil dan Pembahasan 10
5 SIMPULAN DAN SARAN 24
Simpulan 24
Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 24
LAMPIRAN 29
RIWAYAT HIDUP 36
DAFTAR TABEL
1 Rerata hasil pengukuran kualitas perairan pada tiga lokasi penelitian 12
2 Kepadatan spesies gastropoda pada ketiga stasiun 13
3 Nilai Korelasi korelasi sperman antara kepadatan rata-rata gastropoda
dengan kerapatan jenis mangrove 22

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran penelitian 3
2 Lokasi Penelitian 4
3 Desain penarikan contoh pada setiap sub stasiun pengamatan 5
4 Point-centered Quarter method yang digunakan dalam penelitian 5
5 Pengukuran panjang dan lebar gastropoda 6
6 Kepadatan Gastropoda berdasarkan stasiun 16
7 Kepadatan Gastropoda berdasarkan spesies stasiun 1 16
8 Kepadatan Gastropoda berdasarkan spesies stasiun 2 16
9 Kepadatan Gastropoda berdasarkan spesies stasiun 3 17
10 Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener, Kemerataan, Dominasi
Simpson 18
11 Kerapatan mangrove pada lokasi penelitian 19
12 Hubungan Panjang Bobot siput Terebralia sulcata 21
12 Hubungan Panjang Bobot siput Terebralia palustris 21

DAFTAR LAMPIRAN
1 Stasiun Pengamatan 29
2 Pengukuran parameter lingkungan di lapangan 30
3 Perhitungan C-Organik dan hasil perhitungan 30
4 Spesies Gastropoda di Perairan Kabupaten Belu 31
5 Jenis mangrove pada lokasi penelitian 35
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mangrove merupakan komponen penting dalam mendaur ulang nutrisi dan


melestarikan energi dalam bentuk karbon dan nitrogen dengan menghancurkan
serasah daun (Nordhaus et al. 2009). Mangrove memiliki keanekaragaman yang
tinggi dan tumbuh sepanjang zona intertidal maupun muara pada daerah tropis dan
subtropis (Giri et al. 2011; Zhang et al. 2007). Studi mengenai habitat mangrove
menunjukkan produktivitas biologinya yang tinggi dan kaya akan
keanekaragaman hayati pada daerah tropis dan subtropis (Lindegarth & Hoskin
2001; Valiela et al. 2001; Ashton & Macintosh 2002; Macintosh et al. 2002).
Fungsi fisik dan biologis pada ekosistem mangrove yaitu (1) memperbaiki
kualitas air dengan menyaring dan mengasimilasi polutan; (2) menstabilkan dan
memperbaiki tanah dan melindungi garis pantai dari erosi; (3) memelihara
keanekaragaman hayati dan sumber daya genetik; (4) menyediakan tempat makan,
reproduksi, tempat tinggal dan pembibitan ke beberapa spesies terestrial dan
perairan; (5) mengatur proses penting siklus kimia dan (6) menangkap karbon
dioksida (Ronnback 1999; Sydenham & Thomas 2003; Kathiresan & Rajendran
2005).
Gastropoda merupakan kelas terbesar dari Filum Mollusca (Poppe & Tagaro
2006). Salah satu organisme bentik yang sebagian diantaranya hidup pada
ekosistem mangrove adalah gastropoda (Wells 2003; Wells & Lalli 2003).
Gastropoda pada ekosistem mangrove dapat hidup sebagai epifauna (permukaan
substrat), infauna (dalam substrat), tree fauna (menempel pada akar, batang daun
mangrove) sedangkan dalam penyebarannya, gastropoda di ekosistem mangrove
dapat menyebar secara menegak dan mendatar. Beberapa spesies gastropoda
dikenal memiliki daging yang lezat dan bernilai ekonomi tinggi, seperti: Abalone
(Haliootis sp.), bekicot Achatina fulica, dan lain-lain. Selain dagingnya yang lezat,
bentuk, tekstur dan warna cangkang yang indah dari gastropoda menjadi daya
tarik sendiri untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan tangan. Namun,
beberapa jenis gastropoda seperti Triton Charonia tritonis, Kepala kambing
Cassis cornuta sudah jarang ditemukan sehingga populasinya kini dilindungi oleh
Undang- Undang (Lampiran PP No.7 Tahun 1999 tentang pengawetan hewan dan
tumbuhan)
Posisi trofik dari gastropoda bervariasi di habitat mangrove. Penghuni
sedimen organik (misalnya, Assiminea spp. dan Cerithidae cingulata.) (Bouillon
et al. 2004), siput epifit ganggang pada batang pohon (Christensen et al. 2001;
Lee et al. 2001; Bouillon et al. 2004) (misalnya, Onchidium spp. dan Littoraria
spp.) dan beberapa spesies lain memakan sampah mangrove (misalnya, Melampus
coffeus dan Terebralia palustris) (Proffitt & Devlin 2005). Spesies predator dan
mengais-ngais seperti Thais spp. dan Nassarius spp. lebih berlimpah
(Nagelkerken et al. 2008). Distribusi spesies gastropoda di ekosistem mangrove
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti cahaya, elevasi pasang surut, salinitas,
tekstur sedimen dan tipe hutan (Nagelkerken et al. 2008).
Pemanfaatan gastropoda umumnya oleh masyarakat sebagai salah satu
sumber protein sudah dikenal sejak lama. Bagian tubuh gastropoda yang
2

umumnya dimanfaatkan adalah daging dan cangkangnya. Daging gastropoda


dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani dan cangkangnya digunakan sebagai
bahan baku dalam industri dan perhiasan.
Jenis siput yang dimanfaatkan di Kabupaten Belu terdiri dari dua jenis siput
yaitu Terebralia palustris dan Terebralia sulcata sebagai bahan makanan dan
penunjang faktor ekonomi. Sedangkan spesies yang sudah dibudidaya yaitu siput
Terebralia palustris yang terdiri dari 12 buah tambak. Kelimpahan dan
keberadaan gastropoda sangat ditentukan oleh adanya vegetasi mangrove yang
ada di daerah pesisir yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kondisi
lingkungan, ketersediaan makanan, pemangsaan dan kompetisi tekanan dan
perubahan lingkungan dapat mempengaruhi jumlah jenis dan perbedaan struktur
dari gastropoda. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penelitian mengenai
karakteristik bioekologi gastropoda pada ekosistem mangrove perlu dilakukan
untuk melestarikan keberadaan gastropoda.

Perumusan Masalah

Gastropoda adalah jenis siput yang sering ditemukan pada ekosistem


mangrove. Aspek biologi (kepadatan, ukuran dan sebaran) suatu organisme
dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Berbagai elemen dari ekosistem
mangrove yang dapat mempengaruhi gastropoda diantaranya adalah vegetasi
mangrove (kepadatan, komposisi dan sebaran), kualitas perairan dan substrat.
Kajian mengenai pola penyebaran, kelimpahan dan jenis gastropoda di Kabupaten
Belu belum dilakukan.
Pemanfaatan biota gastropoda yang tidak didukung dengan upaya
pelestarian akan mengakibatkan berkurangnya populasi ataupun ukuran
gastropoda yang semakin mengecil. Jika hal ini dibiarkan terus berlangsung akan
berakibat juga pada implikasi terhadap penurunan kegiatan perekonomian
masyarakat Kabupaten Belu khususnya Terebralia palustris. Berdasarkan hal
tersebut, muncul pertanyaan yang harus dijawab karena merupakan akar
permasalahan yang ada yaitu :
1. Jenis-jenis Gastropoda apa saja yang terdapat pada ekosistem mangrove di
Kabupaten Belu?
2. Bagaimana kelimpahan dan keragaman Gastropoda pada ekosistem mangrove
di perairan Kabupaten Belu?
3. Bagaimana pengelolaan gastropoda di kabupaten Belu

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :


1. Menganalisis karakteristik bioekologis gastropoda pada ekosistem mangrove
di perairan Kabupaten Belu
2. Menganalisis hubungan antara jenis dan kerapatan mangrove dengan
komunitas gastropoda
3. Menganalisis pengelolaan gastropoda di kabupaten Belu
3

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan


mengenai gastropoda yang berdistribusi di daerah Kabupaten Belu.

- Kepadatan
- Kelimpahan
- Biomassa
- Hubungan panjang dan
bobot
- Kerapatan jenis
gastropoda - Hubungan kerapatan
mangrove dengan
gastropoda

Fisika : suhu
Kekayaan Kimia :
salinitas, pH,
fauna
C-organik,
tekstur, DO

Kerapatan
mangrove mangrove
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Gastropoda di ekosistem
mangrove Kabupaten Belu

2 METODE

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan contoh gastropoda di


Kecamatan Kakuluk Mesak (Desa Jenilu dan Desa Kenebibi) dan Kecamatan
Tasifeto Timur (Desa Silawan) Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur
(Gambar 2). Pengambilan contoh dilakukan pada bulan Maret tahun 2018 dan
kemudian dilanjutkan analisis gastropoda di Laboratorium Biologi Perikanan,
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
4

Gambar 2 Lokasi penelitian

Bahan dan Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian meliputi cool box, plastik sampel,
botol sampel, refraktometer, pH meter, DO meter, roll meter, sekop, petak kuadrat
1 m x 1 m, buku identifikasi, furnace, desikator, oven, timbangan digital dengan
skala terkecil 0.01 gram, GPS, jangka sorong digital dengan ketelitian 0.005 mm
dan skala 0.01 gram untuk penimbangan bobot gastropoda dan cangkangnya, alat
tulis, kamera digital. Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi gastropoda,
mangrove, sedimen, aquades, formalin 10 %.

Pengumpulan data di Lapangan

Pengambilan Sampel Gastropoda dan Pengukuran Kualitas Perairan


Pengambilan contoh di lapangan di lakukan dengan metode transek kuadran
Pengambilan sampel gastropoda dilakukan saat surut terendah dengan teknik line
transek yang di tarik tegak lurus kearah laut memotong garis pantai pada setiap
stasiun. Pemilihan ketiga stasiun berdasarkan purpose sampling artinya dipilih
sesuai keberadaan mangrove. Stasiun 1 sebanyak 5 transek garis, stasiun 2
sebanyak 3 transek garis dan stasiun 3 sebanyak 10 transek garis dengan jarak
antar transek garis ± 200 meter ke arah kiri dan kanan sedangkan jarak masing-
masing antar plot sebesar 50 meter.
5

200 m
mm
50 m Kuadran

Garis transek

...................................................................................................
Garis pantai
-------------------------------------------------------------------------
Gambar 3 Desain penarikan contoh pengambilan gastropoda pada setiap sub
stasiun pengamatan
Pada masing-masing stasiun pengamatan dilakukan pengukuran faktor
lingkungan seperti suhu, salinitas, pH, DO sedangkan tekstur sedimen di ambil
pada kedalaman ±20 cm di bagian tengah pada tiga stasiun pengamatan untuk
selanjutnya diuji di laboratorium. Contoh biota diambil dengan menggunakan
sekop (infauna) dan tangan (epifauna), selanjutnya biota tersebut dimasukkan
kedalam plastik sampel yang telah diberi larutan formalin 10% dan disertakan
juga label keterangan lokasi stasiun, transek, plot dan tanggal pengambilan sampel
dan selanjutnya diidentifikasi di laboratorium. Pengambilan data gastropoda
dilakukan dengan membuat kuadran 1 m x 1 m.

Pengamatan Mangrove
Mangrove yang diukur adalah mangrove yang berada di titik Point Centered
Quarter (Gambar 4) dimana dipilih mangrove yang paling dekat di setiap kuarter
(Mitchell 2001). Mengukur mangrove yang termasuk di dalam kuadran sesuai
ukuran plot yaitu 10 m x 10 m untuk kelompok pohon (diameter >10 cm), 5 m x 5
m untuk kelompok pancang (diameter 2-10 cm) dan 1 m x 1 m untuk kelompok
semai (diameter < 2 cm) (English et al. 1994).

Gambar 4 Point-centered Quarter method yang digunakan untuk menghitung


kerapatan mangrove (Mitchell 2001)
6

Pengamatan Laboratorium

Pengukuran Panjang (mm) dan Bobot (gr) Gastropod


Pada molusca, ciri morfometrik yang umumnya diamati yaitu panjang,
lebar dan tebal cangkang (Ferreira et al. 2006). Pengukurun morfometrik
gastropoda menggunakan jangka sorong digital dengan ketelitian 0,005 mm
cangkang diukur secara horizontal dari tepi ujung anterior hingga tepi ujung
posterior cangkang, lebar cangkang diukur secara vertikal pada bagian dorsal ke
bagian ventral cangkang. Pengukuran bobot tubuh total dilakukan dengan cara
menimbang keseluruhan dari tubuh gastropoda beserta cangkangnya
menggunakan timbangan Ohauss dengan ketelitian 0,01 gr.

Gambar 5 Pengukuran panjang dan lebar gastropoda

Analisis C-organik
Pengamatan C-organik dilakukan di laboratorium Proling Institut Pertanian
Bogor dengan perhitungan :
( )
Keterangan:
Ppm kurva =
Cara kerja :
1. Dilakukan penimbangan sampel tanah dengan ukuran pori < 0,5 mm
sebanyak 0,5 gram kemudian dimasukan ke dalam labu ukur 100 mL
2. Dilakukan penambahan K2Cr2O7 2 N sejumlah 5 mL, lalu dikocok
3. Dilakukan penambahan H2SO4 pekat sejumlah 7,5 mL, lalu dikocok
4. Dilakukan pemanasan dalam penangas air suhu 120-135°C selama 30
menit
5. Setelah dingin dilakukan pengenceran dengan air suling hingga tanda tera
6. Dilakukan pengukuran absorbansi larutan jernih dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 561 nm

Analisis Biomassa
Pengukuran biomassa dilakukan pada spesies yang dimanfaatkan sebagai
bahan makanan. Analisis biomassa gastropoda yang ditimbang adalah berat basah,
berat kering dan berat abu menggunakan timbangan analitik ketelitian 0,01 gram.
7

Untuk menentukan berat kering gastropoda dilakukan dengan cara mengeringkan


jaringan lunak dari gastropoda di dalam oven pengering dengan suhu 105°C
selama 24 jam hingga mencapai berat konstan. Setelah kering dimasukkan ke
dalam desikator untuk mendinginkan sampel dan selanjutnya ditimbang. Sampel
gastropoda yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam crucible dan dibakar di
dalam furnace 550°C selama 6 jam. Setelah itu dimasukkan ke dalam desikator,
lalu ditimbang berat abu dengan menggunakan timbangan analitik. Berat material
organik dari gastropoda adalah nilai berat kering dikurangi nilai berat abu (Brower
et al. 1990).

Identifikasi Gastropoda dan Mangrove


Jenis-jenis mangrove yang terdapat pada sub stasiun diidentifikasi
berdasarkan pedoman Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove (Bengen
2003). Jenis gastropoda diidentifikasi menggunakan buku pedoman Siput dan
Kerang Indonesia (Dharma 1992) dan The Encyclopedia of Shells (Dance 1977)

Analisis Data

Analisis Biomassa
Berat material organik = Wd-Wf
Di mana : Wd = berat kering (g/m2)
Wf = berat abu (g/m2)
Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel lalu dianalisis secara
statistik dan diinterprestasikan secara deskriptif.

Kepadatan Gastropoda
Kepadatan adalah jumlah individu persatuan luas atau volume (Brower et al.
1990) dihitung dengan rumus :
D=
Keterangan :
D = Kepadatan jenis (ind/m2)
= Jumlah individu jenis gastropoda pada kuadran yang diukur (ind)
m = Luas kuadran pengambilan contoh (m2)

Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener


Keanekaragaman spesies dapat menggambarkan struktur komunitas dengan
perhitungan (Krebs 1989) sebagai berikut :

Keterangan :
= Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
= Jumlah spesies ke-i per jumlah total (ni/N)
n = Jumlah spesies
N = Jumlah total individu
Log 2 = 3.321928
Penentuan kriteria :
H’ < 3.32 = Keanekaragaman rendah
8

3.32 < H’ < 9.97 = Keanekaragaman sedang


H’ > 9.97 = Keanekaragaman tinggi

Indeks Keseragaman
Keseragaman dapat dikatakan sebagai keseimbangan yaitu komposisi
individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Rumus indeks
keseragaman (Krebs 1989) sebagai berikut :

Keterangan :
= Indeks keseragaman
= Indeks Shanon
= S
S = Jumlah taksa/spesies
Log 2 S = Log 2 x Log S = 3,321928 x Log (S)

Indeks keseragaman berkisar antara 0-1. Jika nilai indeks keseragaman


mendekati 0 (nol), menunjukkan bahwa penyebaran individu tiap spesies tidak
sama dan dalam ekosistem tersebut ada kecenderungan terjadinya dominansi
spesies disebabkan oleh adanya ketidakstabilan faktor-faktor lingkungan dan
populasi. Jika indeks keseragaman mendekati 1, maka hal ini menunjukkan bahwa
ekosistem tersebut dalam kondisi yang relatif baik, yaitu jumlah individu tiap
spesies relatif sama (Brower et al. 1990)

Indeks Dominansi Simpson


Untuk mengetahui ada tidaknya dominansi dari spesies tertentu digunakan
indeks dominansi Simpson (Odum 1993) yaitu :

( )

Keterangan :
C = Indeks dominansi Simpson
= Jumlah individu spesies ke - i
N = Jumlah individu total semua spesies
Nilai indeks dominansi berkisar antara 0-1; indeks 1 menunjukan dominansi
oleh satu spesies sangat tinggi (hanya terdapat satu spesies pada satu stasiun),
sedangkan indeks 0 menunjukan bahwa diantara spesies-spesies yang ditemukan
tidak ada yang mendominasi.

Kerapatan Jenis Mangrove


Untuk mengetahui kerapatan jenis mangrove dengan menggunakan rumus
(English et al. 1994)
Di=
Keterangan :
Di = kerapatan jenis
ni = jumlah total tegakan jenis ke-i
A = luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot)
9

Hubungan Panjang Bobot


Analisis data panjang bobot Model allometric linear (LAM) digunakan
untuk menghitung parameter a dan b melalui pengukuran perubahan bobot dan
panjang dengan persamaan allometric berikut (De Robertis & William 2008):

W = aLb

W adalah bobot ikan (gr), a adalah intersep (perpotongan kurva hubungan


panjang bobot dengan sumbu y), L adalah panjang total ikan (mm), dan b adalah
penduga pola pertumbuhan panjang bobot. Untuk menduga a dan b digunakan
persamaan regresi linear sederhana.
Y = b0 + b1X

Y sebagai Log W dan X sebagai Log L. Sedangkan b1 dan b0 masing-masing


dihitung dengan rumus sebagai berikut.

∑ ∑ ∑
∑ (∑ )

dan b0 = - b1 sehingga a = dan b = b1.


Pola pertumbuhan dapat diduga melalui nilai b yang diuji terhadap nilai 3, dengan
hipotesis
 H0: b=3, yaitu pola petumbuhan bersifat isometrik (pertumbuhan panjang
sama dengan pertumbuhan bobot)
 H1: b≠3 yaitu pola pertumbuhan bersifat alometrik dengan dua
kemungkinan. Jika nilai b>3, maka pertumbuhan bobot lebih dominan atau
alometrik positif. Jika nilai b<3, maka pertumbuhan panjang lebih
dominan atau alometrik negatif.
Hipotesis di atas kemudian diuji menggunakan uji t-student sebagai berikut.
thitung = | |

sb adalah galat baku dugaan dari nilai b yang merupakan akar dari S2b. Nilai S2b
dihitung menggunakan rumus sebagai berikut.

S2b =
∑ (∑ )
Selanjutnya nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabel pada selang kepercayaan
95%. Pengambilan keputusan jika thitung > ttabel maka tolak hipotesis nol (H0) dan
jika thitung < ttabel gagal tolak atau terima hipotesis nol (H0) (Walpole 1995).

Hubungan antara Kerapatan Mangrove dengan Komunitas Gastropoda


Untuk melihat dan mengetahui hubungan kerapatan mangrove dengan
kepadatan gastropoda digunakan korelasi Spearmen (Agresti 1984) dengan rumus
sebagai berikut :
( )
𝜌= ( )
10

Keterangan :
𝜌 : nilai korelasi rank spearman
b : jumlah kuadrat selisih ranking variabel x dan y
n : jumlah sampel
Berikut merupakan deskripsi nilai 𝜌 :
0,00 : Tidak ada hubungan
0,01-0,30 : Hubungan lemah
0,31-0,60 : Hubungan moderat
0,61-0,90 : Hubungan kuat
>0,90 : Hubungan mendekati sempurna

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi penelitian

Kabupaten Belu adalah salah satu kabupaten dari lima Kabupaten/Kota di


Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang terletak di daratan Timor. Posisi
geografis Kabupaten Belu dalam daratan Timor Provinsi NTT adalah di bagian
paling timur dan berbatasan langsung dengan Negara Republik Demokratik Timor
Leste (RDTL). Sedangkan dalam posisi astronomis, wilayah Kabupaten Belu
terletak antara koordinat 124º 38’ 33” BT– 125º 11’ 23” BT dan 08º 56’ 30” LS
– 09º 47’ 30” LS.
Secara Klimatologi daerah Kabupaten Belu berada di daerah beriklim tropis.
Kondisi iklim umumnya berubah–ubah tiap setengah tahun, berganti dari
musim kemarau dan musim penghujan dengan musim kemarau yang lebih
dominan. Musim hujan yang sangat singkat dimulai dari bulan Januari sampai
dengan bulan Mei. Letak geografis yang lebih dekat dengan Australia dibanding
Asia, membuat Kabupaten Belu memiliki curah hujan yang rendah. suhu rata-rata
di Kabupaten Belu ± 27,6ºC dengan kisaran antara 24-34 ºC.
Ekosistem mangrove di Kabupaten Belu secara umum masih terjaga, tidak
terdapat pencemaran baik air, udara maupun tanah. Luasan Mangrove di
Kabupaten Belu, masing-masing di Desa Jenilu ± 29.66 Ha, Desa Kenebibi ±
12.00 Ha, sedangkan Desa Silawan ± 181,81 Ha. Gastropoda yang memiliki
habitat hidup di wilayah mangrove masih cukup banyak ditemukan di perairan ini.
Wilayah penyebaran gastropoda dapat diketahui dengan membagi lokasi
pengambilan contoh menjadi tiga stasiun. Stasiun 1 dengan sub stasiun (A, B, C,
D, E) berada di sebelah barat, mewakili wilayah mangrove yang berdekatan
dengan pelabuhan Atapupu dan tidak jauh menjorok ke dalam. Stasiun 2 dengan
sub stasiun (A, B, C) mewakili wilayah yang ketebalan mangrovenya menjorok ke
dalam dan terdapat dua buah tambak gastropoda khususnya jenis Terebralia
palustris yang dimanfaatkan di sebagai bahan makanan. Stasiun 3 dengan sub
stasiun (A, B, C, D, E, F, G, H, I, J) berada di sebelah timur mewakili wilayah
yang ketebalan mangrovenya menjorok ke daratan dengan panjang transek
mangrove masing-masing dan terdapat 12 buah tambak yaitu terdapat 3 buah
tambah yang dijadikan untuk budidaya Terebralia palustris.
11

Kualitas Perairan

Berdasarkan hasil penelitian, kualitas fisik dan kimia habitat mangrove di


Desa Jenilu, Desa Kenebibi dan Desa Silawan dapat dilihat pada Tabel 1. Rata-
rata pH pada stasiun 1, 2 dan 3 berkisar antara 6.63-6.97. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pH perairan masih berada pada kisaran baik bagi vegetasi
mangrove dan biota perairan. Menurut Koch (2001) pH berhubungan erat dengan
aktivitas dekomposer. Pada pH asam aktivitas dekomposer sangat rendah
sehingga perombakan bahan organik menjadi anorganik menjadi lamban.
Lambannya proses dekomposisi sangat menghambat pertumbuhan vegetasi karena
kurangnya pasokan hara dan mineral. Selain itu, nilai pH 6.0-6.5 dapat
menurunkan keanekaragaman jenis plankton dan bentos (Effendi 2003).
Pada stasiun 1, 2 dan 3 memiliki nilai salinitas rata-rata yang tergolong
baik berkisar antara 30.2-30.7 ‰. Meskipun menunjukkan nilai yang cukup tinggi
tetapi salinitas yang terdapat di perairan tersebut cukup sesuai untuk tempat
tumbuh mangrove. Salinitas terendah terdapat pada stasiun I yaitu 30.2 ‰.
Tingkat salinitas dan suhu yang ekstrim menyebabkan efek pada aspek fisiologis
organisme laut serta keragaman, kelimpahan dan distribusi spasial organisme laut.
Organisme yang hidup di zona intertidal, pasang surut, atau daerah pantai dangkal
sering terkena fluktuasi salinitas lingkungan (Amado et al. 2011; Toro & Winter
1983). Mengurangi laju makan bisa menjadi pendorong utama untuk mengurangi
tingkat pertumbuhan pada salinitas rendah karena beberapa spesies menutup diri
sepenuhnya dengan menjepit ke substrat ketika salinitas turun sangat signifikan
misalnya gastropoda Crepipatella dilatata (Chaparro et al. 2008a). Salinitas yang
rendah memiliki efek yang sangat kuat pada distribusi, perilaku dan kelangsungan
hidup di lingkungan (Berger & Kharazova 1997; Bodinier et al. 2009; Sameoto &
Metaxas 2008), karena efek perubahan konsentrasi zat terlarut pada efisiensi
proses metabolisme.
Rata-rata suhu perairan pada stasiun 1, 2 dan 3 berkisar antara 28.2-
28.5°C. Kisaran suhu tersebut merupakan kisaran normal untuk daerah tropis dan
masih dalam rentang toleransi untuk biota laut sesuai standar baku mutu yang
ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (2004) antara 28°C - 32°C. Suhu
tersebut juga termasuk baik untuk pertumbuhan mangrove. Alongi et al. (2009)
menyatakan bahwa konduktansi stomata dan laju asimilasi pada daun mangrove
yang maksimal berkisar pada suhu 25-30°C dan akan mengalami penurunan yang
cepat pada suhu di atas 35°C. Organisme yang hidup di daerah perairan intertidal
atau dangkal secara berkala terkena fluktuasi suhu, konsentrasi oksigen terlarut,
salinitas dan ketersediaan makanan (Allen et al. 2012; Amado et al. 2011;
Dahlhoff et al. 2002; Diederich & Pechenik 2013).
Rerata Oksigen terlarut/DO (Dissolved oxygen) berkisar 6.1 mg/l – 6.9
mg/l. Kandungan oksigen terlarut yang optimum untuk kehidupan moluska
berkisar antara 4.1 – 6.6 ppm dengan batas minimum 4 ppm, sehingga secara
umum keseluruhan nilai ini masih dalam batas toleransi untuk kehidupan
gastropoda. DO tertinggi pada stasiun 1, hal ini berkaitan dengan kecepatan arus
dan gelombang yang tinggi sehingga memungkinkan terjadinya difusi oksigen ke
kolom air. Sedangkan nilai DO terendah pada stasiun 3 yang berarus lemah dan
relatif tenang sehingga konsentrasi oksigen yang terdifusi ke kolom air cenderung
rendah. Oksigen terlarut di perairan berasal dari difusi udara, fotosintesis
12

fitoplankton dan tumbuhan air (lamun) serta dari limpasan air permukaan (runn
off) maupun dari air hujan. Oksigen merupakan salah satu persyaratan utama
kehidupan yang tanpanya, mustahil organisme aerobik dapat bertahan hidup.
Untuk organisme heterotrofik air, oksigen terlarut (DO) adalah satu-satunya
sumber oksigen dan bertindak sebagai faktor dalam mengatur aktivitas metabolik
dan trofinamika berikutnya. Konsentrasi DO yang menurun menyebabkan
hilangnya keanekaragaman biotik.
Karakteristik substrat yang menjadi faktor penentuan keberlangsungan
hidup komunitas mangrove adalah bahan organik. Hasil uji kandungan C-organik
disajikan pada Tabel 1. Stasiun 1 memiliki kandungan C-organik sebesar 2.67 %,
stasiun 2 sebesar 2.64% sedangkan pada stasiun 3 sebesar 1.75. Hasil pengamatan
didapati bahwa tekstur substrat pada stasiun 1 dan 2 cenderung halus sedangkan
stasiun 3 cenderung kasar sehingga kadar C-organik lebih rendah. Adanya
perbedaan kandungan C-organik pada setiap stasiun ini karena adanya perbedaan
struktur komunitas vegetasi mangrove di ketiga stasiun ini. Tingginya kandungan
C-organik pada substrat karena substrat menerima sumbangan dari perakaran
mangrove yang mati, daun dan ranting yang berguguran. Diketahui bahwa
kerapatan mangrove yang bagus dapat memproduksi serasah yang tinggi sehingga
aktivitas dekomposisi dapat terjadi. Hasil dekomposisi serasah ini mampu
menyumbangkan C-organik yang lebih besar ke substrat yang ada di daerah
habitat mangrove disekitarnya. Ferreira et al. (2006) mengatakan bahwa
dekomposisi bahan organik pada lahan mangrove sangat dipengaruhi oleh
frekuensi dan lama perendaman serta distribusi ukuran partikel substratnya.
Kandungan C-organik pada substrat mangrove berhubungan dengan kerapatan
mangrove pada lokasi pengamatan. Ketiga lokasi pengamatan menunjukkan nilai
kerapatan mangrove yang rendah pada kategori semai dan pancang. Rendahnya
kerapatan mangrove menyebabkan sedikitnya produksi serasah yang berperan
penting sebagai penghasil C-organik. Menurut Brown (1996) sumber utama bahan
organik di perairan ekosistem mangrove adalah serasah yang dihasilkan oleh
tumbuhan mangrove seperti daun, ranting, buah dan bunga. Serasah dari vegetasi
mangrove yang telah terurai melalui proses dekomposisi, sebagian akan
digunakan oleh vegetasi mangrove itu sendiri sedangkan yang lainnya menjadi
masukkan bahan organik bagi sub ekosistem perairan estuari disekitarnya.
Total biomassa dari dua jenis siput yaitu 224.55 ± 48.334 g/m2. Biomassa
jenis Terebralia sulcata memiliki kandungan biomassa terbesar (116.31 ± 22.046
g/m2) daripada Terebralia palustris (108.24 ± 26.288 g/m2) (Tabel 1). Hal
tersebut dikarenakan jenis Terebralia sulcata paling banyak diperoleh saat di
lapangan meskipun memiliki morfologi jenis yang kecil dibandingkan Terebralia
palustris. Ketersediaan sumber makanan yang lebih tinggi biasanya secara positif
mempengaruhi biomassa yang menghuni mikrohabitat tertentu.

Tabel 1 Rerata hasil pengukuran kualitas perairan pada ketiga lokasi penelitian di
Desa Jenilu, Desa Kenebibi, Desa Silawan.
No Parameter Satuan Stasiun pengamatan
1 2 3
1 pH - 6,63±0,15 6,73±0,11 6,97±0,20
2 Salinitas ‰ 30,2±1,04 30,7±0,57 30,3±0,57
3 Suhu °C 28,5±0,50 28,3±0,28 28,2±0,76
13

Tabel 1 (Lanjutan)
4 Oksigen terlarut mg/l 6,9±0,03 6,2±0,11 6,1±0,05
(DO)
5 C-organik % 2,67±1,06 2,64±0,83 1,75±0,17
6 Biomassa
Terebralia sulcata g/m2 33,70±9,36 35,55±5,55 47,06±7,12
Terebralia 35,67±9,89 45,59±5,99 26,98±10,39
palustris

Kepadatan Gastropoda

Jumlah gastropoda yang ditemukan pada stasiun 1, 2 dan 3 sebanyak 1359


individu dan bervariasi. Jumlah individu pada stasiun 1 sebanyak 335 individu,
stasiun 2 sebanyak 390 individu dan stasiun 3 sebanyak 634 individu yang terdiri
dari 20 famili dan 49 spesies. Komposisi dan kepadatan (ind/m2) gastropoda pada
stasiun 1, 2 dan 3 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kepadatan spesies gastropoda pada ketiga stasiun di Desa Jenilu, Desa
Kenebibi, Desa Silawan
Stasiun
Spesies gastropoda
1 2 3 Total
Familia Potamididae
Terebralia palustris 7 49 45 101
Terebralia sulcata 114 67 60 241
Telescopium telescopium 32 28 11 71
Subtotal 153 144 116 413
Familia Cerithiidae
Cerithidae weyersi 44 16 49 109
Clypeomorus inflata 33 25 38 96
Cerithium kobelti 12 27 24 63
Subtotal 89 68 111 268
Familia Thiaridae
Melanoides maculata 4 9 2 15
Subtotal 4 9 2 15
Familia Littorinidae
Littoraria scabra 4 45 67 116
Subtotal 4 45 67 116
Familia Nassariidae
Nassarius acuticostus - 3 - 3
Nassarius semisulcatus 3 5 9 17
Hebra corticata 21 23 97 141
Nassarius olivaceus - 9 11 20
Nassarius dorsatus 5 14 4 23
Nassarius pullus - - 8 8
Subtotal 29 54 129 212
Familia Ellobiidae
Cassidula sulculosa - - 16 16
14

Tabel 2 (Lanjutan)
Cassidula vespertilionis - - 14 14
Cassidula aurisfelis - - 3 3
Cassidula nucleus - - 3 3
Subtotal 0 0 36 36
Familia Cypraeidae
Cypraea annulus - - 2 3
Cypraea moneta - 1 - 4
Subtotal 0 1 2 3
Familia Ranellidae
Gyrineum natator 13 9 27 49
Subtotal 13 9 27 49
Familia Turridae
Lophiotoma polytropa 8 16 6 30
Subtotal 8 16 6 30
Familia Volutidae
Cymbiola vespertilio - 1 - 1
Subtotal 0 1 0 1
Familia Muricidae
Muricodrupa fenestrata - - 14 14
Chicoreus capucinus - 6 1 7
Morula anaxeres - - 1 1
Subtotal 0 6 16 22
Familia Calliostoma Tidae
Calliostoma katherina 5 - - 5
Subtotal 5 0 0 5
Familia Trochidae
Monodonta canalifera - - 2 2
Subtotal 0 0 2
Familia Pyramidellidae
Otopleura auriscati 3 - - 3
Subtotal 3 0 0 3
Familia Conidae
Conus zebra - 2 - 2
Conus frigidus 2 - 2 4
Conus consors 1 - - 1
Conus ebracus 1 - - 1
Conus artoptus - - 1 1
Subtotal 4 2 3 9
Familia Costellariidae
Vexillum coloreum - 2 - 2
Subtotal 0 2 0 2
Familia Neritidae
Nerita chamaeleon - 16 - 16
Nerita undata 22 7 88 117
Nerita insculpta 16 16
Nerita signata - 1 - 1
15

Tabel 2 (Lanjutan)
Subtotal 22 24 104 150
Familia Strombidae
Strombus mutabilis 1 2 2 5
Laevistrombus canarium - - 1 1
Strombus microurceus - - 1 1
Subtotal 1 2 4 7
Familia Mitridae
Pterygia crenulata - - 1 1
Domiporta praestantissima - - 1 1
Subtotal 0 0 2 2
Familia Naticidae
Polinices duplicatus - - 3 3
Subtotal 0 0 3 3
Familia Neritidae
Vittoida aquatilis - - 4 4
Clithon oualaniense - 6 - 6
Vittina turrita - 1 - 1
Subtotal 0 7 10 17
Total 335 390 634 1359
Keterangan : (-); tidak ditemukan.

Kepadatan individu tertinggi terdapat pada famili Potamididae sebanyak


413 individu/m2 sedangkan kepadatan terendah ada pada famili Volutidae yaitu 1
individu/m2, hal ini dikarenakan spesies dari Famili Potamididae ini merupakan
penghuni asli hutan mangrove dan memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan
lingkungan. Famili Potamididae mengkonsumsi makanan seperti daun mangrove
jenis Rhizophora mucronata yang jatuh pada saat pasang tinggi (Fratini et al.
2004). Semakin padat sistem perakaran mangrove semakin efektif menjadi
sampah sehingga meningkatkan kandungan organik tanah dan akan menciptakkan
sedimen yang lebih berlumpur (Robertson & Alongi 1992; Hogarth 2007).
Distribusi spesies gastropoda di ekosistem mangrove dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti cahaya (sebagai faktor utama yang menentukan
pertumbuhan alga dan sebagai faktor yang mempengaruhi kelembaban), elevasi
pasang surut, salinitas, tekstur sedimen dan tipe hutan (Nagelkerken et al. 2008).
Misalnya, mangrove Rhizophora lebih tinggi nitrogen total daripada zona
Avicennia dan sedimen yang mengandung salinitas yang lebih tinggi dapat
mengurangi ketersediaan nutrisi untuk organisme (Kathiresan et al. 1996). Hampir
semua gastropoda dikategorikan sebagai pendaki pohon, bergerak naik dan turun
mengikuti arus untuk menghindari pasang (Tee 1982). Gastropoda sering
memiliki preferensi habitat spesies dan toleransi seperti kedalaman tertentu atau
struktur vegetasi (Lodge 1986; Thomas 1990). Namun, gastropoda memiliki
kelimpahan dan distribusi yang tinggi di ekosistem mangrove karena karakteristik
cangkang yang dimiliki (Irma & Sofyatuddin 2012).
16

700
600
Kepadatan (ind/m2)

500
400
300
200
100
0
2 1 3
Stasiun
Gambar 6 Kepadatan Gastropoda berdasarkan Stasiun di Desa Jenilu, Desa
Kenebibi, Desa Silawan

140
Stasiun 1
120
Kepadatan (Ind/m2)

100
80
60
40
20
0
Cw
Ci
Ck

Ce

Sm
Mm

Cf
Tp
Ts
Tt

Lp
Ls
Ns

Lc
Hc
Nd
Gn

Oa

Nu

Spesies gastropoda
Gambar 7 Kepadatan Gastropoda berdasarkan spesies di Desa Jenilu

stasiun 2
80
70
Kepadatan (Ind/m2)

60
50
40
30
20
10
0
Cw
Ci
Ck

Cv
Cm

Cz

Sm

Co
Mm
Tp

Lp
Ts
Tt

Ls

Ns

Vc

Ns

Lc
Na

Hc
No
Nd

Gn

Nc
Nu

Vt

Spesies gastropoda
Gambar 8 Kepadatan Gastropoda berdasarkan spesies di Desa Kenebibi
17

Stasiun 3
120

100

80
Kepadatan (ind/m2)

60

40

20

Ma
Mc
Tp

Mm
Ts
Tt

Lp
Mf

Sm
Sc
Sm
Pc

Pd
Ci
Ck

Ls

Cv
Ca
Cn
Ca

Cc

Ca
Cw

Ns
Hc

Cs
No
Nd
Np

Gn

Cf

Nu
Ni

Dp

Va
Gambar 9 Kepadatan Gastropoda berdasarkan spesies di Desa Silawan

Keterangan :

Tp : Terebralia palustris Mf : Muricodrupa fenestrata


Ts : Terebralia sulcata Cc : Chicoreus capucinus
Tt : Telescopium telescopium Ma : Morula anaxeres
Cw : Cerithidae weyersi Ck : Calliostoma katherina
Ci : Clypeomorus inflata Mc : Monodonta canalifera
Ck : Cerithium kobelti Oa : Otopleura auriscati
Mm : Melanoides maculata Cz : Conus zebra
Ls : Littoraria scabra Cf : Conus frigidus
Na : Nassarius acuticostus Cc : Conus consors
Ns : Nassarius semisulcatus Ce : Conus ebracus
Hc : Hebra corticata Ca : Conus artoptus
No : Nassarius olivaceus Vc : Vexillum coloreum
Nd : Nassarius dorsatus Nc : Nerita chamaeleon
Np : Nassarius pullus Nu : Nerita undata
Cs : Cassidula sulculosa Ni : Nerita insculpta
Cv : Cassidula vespertilionis Ns : Nerita signata
Ca : Cassidula aurisfelis Sm : Strombus mutabilis
Cn : Cassidula nucleus Lc : Laevistrombus canarium
Ca : Cypraea annulus Sm : Strombus microurceus
Cm : Cypraea moneta Pc : Pterygia crenulata
Gn : Gyrineum natator Dp : Domiporta praestantissima
Lp : Lophiotoma polytropa Pd : Polinices duplicatus
Cv : Cymbiola vespertilio Va : Vittoida aquatilis
Vt : Vittina turrita Ca : Clithon oualaniense
18

Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominasi Spesies

Indeks keanekaragaman dapat digunakan untuk menduga kondisi suatu


perairan berdasarkan komponen biologisnya. Kondisi perairan dikatakan baik
apabila memiliki keanekaragaman tinggi, jumlah biota yang banyak dan tidak
terjadi dominasi dari salah satu atau beberapa jenis biota. Indeks keanekaragaman,
kemerataan dan dominasi berdasarkan sub stasiun untuk gastropoda dapat dilihat
pada Gambar 6.

2,5

1,5

0,5

0
1 2 3
H 3,24 3,95 4,02
E 0,75 0,83 0,78
C 0,75 0,79 0,72

Gambar 10 Indeks Keanekaragaman (H'), indeks kemerataan (E'), indeks


dominansi (C')

Nilai indeks keanekaragaman (H’) jenis gastropoda yang diperoleh dalam


pengamatan yaitu stasiun 1 sebesar 3.24 stasiun 2 sebesar 3.95 dan stasiun 3
sebesar 4.02. Stasiun 1 termasuk dalam kategori keanekaragaman rendah
sedangkan stasiun 2 dan 3 termasuk dalam kategori keanekaragaman sedang
sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Shanon Wiener. Tinggi rendahnya nilai
indeks keanekaragaman jenis dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu jumlah
jenis yang diperoleh, adanya individu yang diperoleh lebih mendominasi dari
individu lainnya dan kondisi ekosistem mangrove sebagai habitat dari fauna.
Nilai indeks keseragaman pada stasiun 1 sebesar 0.75, stasiun 2 sebesar
0.83, stasiun 3 sebesar 0.78. ketiga stasiun menunjukan indeks keseragaman
mendekati 1, maka hal ini menunjukkan bahwa ekosistem tersebut dalam kondisi
yang relatif baik yaitu jumlah individu tiap spesies relatif sama (Brower et al.
1990).
Nilai indeks dominansi berkisar antara 0-1. Semakin besar nilai indeks,
maka semakin besar adanya kecenderungan salah satu spesies yang mendominasi
populasi. Indeks dominansi di perairan Kabupaten Belu relatif seragam yaitu
berkisar antara 0.72-0.79. Apabila dibandingkan dengan penelitian yang sama
ditempat yang berbeda, maka kekayaan spesies gastropoda pada area yang diteliti
cukup beragam terutama dalam jumlah spesies. Muhammad (2015) menemukan
19

gastropoda yang ditemukan di Pulau Nusalaut sebanyak 40 individu yang terbagi


menjadi 22 spesies dari 14 famili. Asthon et al. (2003) menemukan 44 spesies
moluska yang didominasi gastropoda pada area mangrove di Sarawak, Malaysia

Kerapatan Jenis Mangrove

Mangrove yang terdapat pada tiga stasiun terdiri dari 6 spesies dan 2
famili. Kategori pohon dengan kerapatan tertinggi terdapat pada stasiun 3 jenis
Sonneratia alba (1340 individu/10m2), sedangkan kerapatan terendah terdapat
pada stasiun 2 pada jenis mangrove Ceriops tagal (85 individu/10m2).

2000
Individu/hektar

1500

1000 pohon
Pancang
500
semai
0
Sa Bg Rs Ao Ct Aa Sa Bg Rs Ao Ct Rs Sa Ao Bg Aa
1 2 3
Gambar 11 Kerapatan mangrove pada lokasi penelitian di Desa Jenilu, Desa
Kenebibi, Desa Silawan

Keterangan :
Bg = Bruguiera gymnorrhiza
Ao = Avicennia officinalis
Sa = Sonneratia alba
Ct = Ceriops tagal
Aa = Avicennia alba
Rs = Rhizophora stylosa

Kategori pancang dengan kerapatan tertinggi terdapat pada stasiun 3 jenis


Rhizophora stylosa (631 individu/5m2) sedangkan kerapatan terendah terdapat
pada stasiun 2 jenis Avicennia alba (21 individu/5m2). Kategori semai dengan
kerapatan tertinggi terdapat pada stasiun 3 jenis mangrove Rhizophora stylosa
(179 individu/1m2) sedangkan kerapatan terendah terdapat pada stasiun 2 dan 3
jenis Rhizophora stylosa dan Avicennia alba (0 individu/1m2).
Tingginya kerapatan mangrove sebanding dengan nilai kepadatan
gastropoda. Faktor yang mempengaruhi adalah terkait ketersediaan sumber
makanan dan kondisi fisik kimia lingkungan sebagai habitat gastropoda.
Kerapatan tinggi, akan menghasilkan serasah yang lebih banyak yang kemudian
akan diurai oleh mikroorganisme menjadi mineral, sehingga kandungan bahan
organik semakin meningkat. Stasiun 1 dan 2 memiliki tipe substrat liat sedangkan
20

stasiun 3 memiliki tipe substrat liat berpasir. Perbedaan jenis substrat tersebut
berkaitan dengan proses pencucian air laut.
Stasiun 1 mempunyai kandungan liat yang tinggi dikarenakan lokasi yang
terlindung dan pencucian kurang maksimal. Menurut Duursma & Caroll (1996),
partikel pasir dapat berpindah tempat karena arus yang kuat, sedangkan partikel
liat akan menumpuk pada lokasi yang terlindung. Kepadatan moluska berkorelasi
positif dengan kepadatan mangrove (Vilardy & Polania 2002; Ashton et al. 2003;
Fujioka et al. 2007;) dan menemukan 44 spesies moluska yang didominasi
gastropoda pada area mangrove di Sarawak, Malaysia. Beasley et al. (2005)
menemukan 19 spesies gastropoda di kawasan mangrove utara Brazil dengan
kepadatan yang lebih tinggi ditemukan pada kerapatan mangrove yang lebih
tinggi pula. Lebih lanjut dari hasil penelitian Macinthos et al. (2002)
menunjukkan bahwa gastropoda jenis Littoraria memiliki kepadatan dan
keragaman yang lebih tinggi pada komunitas mangrove yang lebih muda dan
gastropoda jenis pulmonata (famili Ellobiidae) diketahui berasosiasi dengan
mangrove yang lebih tua.
Asthon et al. (2003) juga menemukan kepadatan gastropoda yang lebih
tinggi pada mangrove jenis anakan. Hal ini kemungkinan pohon yang muda
menyediakan sumber makanan dan habitat yang lebih baik dibandingkan pohon
yang lebih tua. Linse (1999) menyatakan bahwa perbedaan kepadatan dapat pula
disebabkan oleh pemilihan sumber pakan yang disukai tergantung dari jenis
moluska yang ada, sehingga ketersediaan pakan di lokasi tersebut menjadi faktor
penting yang berhubungan dengan tingkat kepadatan. Selain itu, kisaran
kedalaman perairan umumnya berkaitan pula dengan cara hidup dan mencari
makan dari beberapa famili gastropoda.

Hubungan Panjang dan Bobot

Hasil perhitungan panjang bobot Terebralia sulcata diperoleh persamaan


W=0.013054L1.5497 dengan nilai R²=47.67% (Stasiun I), W = 0.11701L1.0043
dengan nilai R²=30.53% (Stasiun II) dan W = 0.87L0.4311dengan nilai R²= 75.99%
(Stasiun III) (Gambar 7). Berdasarkan hasil uji-t pada stasiun 1, 2 dan 3 memiliki
nilai thit>ttabel dengan nilai masing-masing sebesar 9.4524>2.2719;
10.6225>2.2945 dan 5.9547>2.3010.
30 30
W = 0,013054614L1,5497 W = 0,117012212L1,0043
25 R² = 47,67% 25 R² = 30,53%
N = 114 N = 67
20
Bobot (gr)

20
Bobot (gr)

15 15

10
10

5
5

0
0 20 40 60 80 100 120 0
0 20 40 60 80 100 120
Panjang (mm) Panjang (mm)
stasiun 1 stasiun 2
21

25 W = 0,871929129L0,4311
R² = 75,99%
20 N = 60

Bobot (gr)
15

10

0
0 20 40 60 80 100
Panjang (mm)
stasiun 3
Gambar 12 Hubungan panjang dan bobot siput Terebralia sulcata di Desa Jenilu,
Desa Kenebibi, Desa Silawan

Hasil perhitungan panjang bobot Terebralia palustris diperoleh persamaan


W=1.24604L0.9924 dengan nilai R²=89.27% (Stasiun I), W=2.41865L0.8284 dengan
nilai R²=91.08% (Stasiun II) dan W=1.12267L1.0181 dengan nilai R²=93.52%
(Stasiun III) (Gambar 8). Berdasarkan hasil uji-t pada stasiun 1, 2 dan 3 memiliki
nilai thit>ttabel dengan nilai masing-masing sebesar 6.4489>3.1633;
57.4373>2.3154 dan 48.5283>2.3226.

140 100
W = 1,246046831L0,9924 W = 2,418654793L0,8284
120 R² = 89,27% 90 R² = 91,08%
N = 114 N = 49
100 80
Bobot (gr)
Bobot (gr)

80 70

60 60

40 50

40
20
30
0
30 40 50 60 70 80
0 20 40 60 80 100
Panjang (mm)
Panjang (mm)
stasiun 2
stasiun 1

90
W = 1,122678891L1,0181
80 R² = 93,52%
N = 45
Bobot (gr)

70

60

50

40

30
30 40 50 60 70
Panjang (mm)
stasiun 3
Gambar 13 Hubungan panjang dan bobot siput Terebralia palustris di Desa
Jenilu, Desa Kenebibi, Desa Silawan
22

Analisis hubungan antara panjang dan bobot siput Terebralia sulcata dan
Terebralia palustris dilakukan perstasiun. Berdasarkan hasil yang didapat
Terebralia sulcata pada ketiga stasiun ditemukan koefisien b adalah masing-
masing sebesar 1.549 pada stasiun 1; 1.004 pada stasiun 2; dan 0.431 pada stasiun
3. Sedangkan Terebralia palustris pada ketiga stasiun ditemukan koefisien b
adalah masing-masing sebesar 0.992 pada stasiun 1; 0.8282 pada stasiun 2; dan
1.018 pada stasiun 3. Nilai koefisien b pada ketiga stasiun yang didapat
menunjukkan bahwa nilai tersebut adalah kurang dari 3, sehingga disimpulkan
pada ketiga stasiun, pola pertumbuhan siput Terebralia sulcata dan Terebralia
palustris adalah alometrik negatif, dimana pertambahan panjang lebih cepat
daripada pertambahan berat. Hal ini diduga, faktor lingkungan dapat
mempengaruhi pertumbuhan cangkang pada gastropoda, seperti pH dan
kandungan kalsium yang terdapat pada substrat mangrove. Marshall (2008)
menyatakan bahwa pembentukan cangkang dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor lain selain tersedianya nutrisi, di antaranya pH dan kandungan kalsium
yang terdapat pada substrat. Keasaman yang tinggi dalam substrat akan
menyebabkan erosi pada cangkang dan kandungan kalsium yang rendah akan
mempercepat pembentukan cangkang.

Hubungan antara kerapatan mangrove dengan komunitas gastropoda

Ditinjau dari segi kerapatan mangrove per jenis, kepadatan rata-rata


gastropoda memiliki korelasi sebesar 0.83 dengan kerapatan mangrove jenis
Sonneratia alba (Tabel 3). Nilai korelasi yang tinggi disebabkan oleh setiap
peningkatan kerapatan Sonneratia alba diikuti dengan peningkatan kepadatan
gastropoda.

Tabel 3 Nilai korelasi sperman antara kepadatan rata-rata gastropoda dengan


kerapatan jenis mangrove.
Parameter lingkungan Kepadatan gastropoda
Total Tingkat Tingkat Tingkat
Pohon pancang Semai
Mangrove
Kerapatan Total 0.49
Tegakan Pohon 0.63
Tegakan Pancang 0.68
Tegakan Semai 0.41
Kerapatan Sonneratia alba 0.83
Kerapatan Bruguiera gymnorrhiza 0.70
Kerapatan Avicennia alba -0.60
Kerapatan Ceriops tagal -0.11
Kerapatan Rhizophora stylosa 0.49
Kerapatan Avicennia officinalis -0.13

Hubungan parameter lingkungan dengan kepadatan gastropoda


berdasarkan hasil perhitungan korelasi Spearmen menunjukkan bahwa kerapatan
total mangrove di lokasi penelitian memiliki korelasi yang moderate terhadap
23

kepadatan total gastropoda dengan nilai korelasi 0.49. Nilai tersebut muncul
karena setiap peningkatan kerapatan mangrove tidak selalu diikuti dengan
kepadatan gastropoda. Kerapatan mangrove hanya menjadi stimulan pembentukan
lingkungan yang ideal bagi gastropoda. Menurut Tis’in (2008) Kerapatan
mangrove tidak berpengaruh secara langsung terhadap kepadatan individu
melainkan berpengaruh langsung terhadap kandungan bahan organik di daerah
mangrove yang akan berpengaruh langsung terhadap kepadatan moluska. Hasil
penelitian Vilardy dan Polania 2002; Ashton et al. 2003; Fujioka et al. 2007
menunjukkan bahwa kepadatan moluska berkorelasi positif dengan kepadatan
mangrove.
Kerapatan mangrove jenis Sonneratia alba, Bruguiera gymnorrhiza dan
Rhizophora stylosa memiliki nilai korelasi 0.83, 0.70 dan 0.49 dengan kepadatan
gastropoda. Nilai korelasi yang tinggi disebabkan oleh setiap peningkatan
kerapatan Sonneratia alba diikuti dengan peningkatan kepadatan gastropoda.
Jenis mangrove S. alba banyak ditemukan pada tiga stasiun pengamatan. Substrat
berpasir pada stasiun 3 cocok bagi S. alba. Jesus (2012) menyatakan bahwa
Bruguiera gymnorrhiza banyak ditemukan pada zona yang menjorok ke arah
daratan dan substratnya berliat.

Rekomendasi Strategi Pengelolaan Terebralia palustris dan Terebralia sulcata

Siput Terebralia palustris dan Terebralia sulcata dimanfaatkan oleh


masyarakat lokal di perairan Kabupaten Belu sebagai sumber makanan dan
sumber mata pencarian penduduk lokal dengan harga Rp 5.000/kg. Semakin
tingginya permintaan konsumen di khawatirkan akan berdampak pada
meningkatnya upaya tangkap nelayan. Selama ini aspek pengelolaan tangkapan
siput Terebralia palustris dan Terebralia sulcata tidak terdata sama sekali. Hal ini
menyebabkan terjadinya eksploitasi siput secara berlebihan guna memenuhi
permintaan pasar, sehingga populasi siput di alam menurun drastis.
Berdasarkan informasi yang di dapat dari penelitian ini, dapat dibuat upaya
pengelolaan terkait sumberdaya siput di wilayah perairan Belu. Berdasarkan data
ukuran tangkap siput Terebralia palustris dan Terebralia sulcata memiliki
panjang 20-99 mm. Siput Terebralia palustris dan Terebralia sulcata yang
tertangkap tergolong masih muda dan dewasa.
Strategi pengelolaan yang dapat dilakukan adalah: 1) Memanfaatkan
kemampuan adaptasi Terebralia palustris dan Terebralia sulcata yang baik
terhadap berbagai tipe substrat, sehingga akan sangat membantu dalam usaha
budidaya maupun restorasi di alam, 2) menentukan daerah atau tempat tertentu
sebagai panti benih Terebralia palustris dan Terebralia sulcata yang sesuai untuk
kehidupan dan pertumbuhan conus, serta bebas dari aktivitas penangkapan, 4)
sosialisasi dan edukasi tentang keberadaan gastropoda di alam kepada masyarkat
Belu dan sekitarnya akan peranan Terebralia palustris dan Terebralia sulcata
secara ekonomi maupun ekologi, 5) menentukan dan membuat aturan yang jelas
tentang lokasi, musim, waktu penangkapan dan ukuran yang layak tangkap.
24

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kondisi habitat di


perairan Kabupaten belu masih tergolong baik tetapi komunitas siput Terebralia
palustris terganggu akibat aktivitas penangkapan yang dilakukan secara terus-
menerus pada semua ukuran yang menyebabkan populasi siput Terebralia
palustris di perairan Belu mulai menurun. Strategi pengelolaan sangat diperlukan
untuk memperbaiki struktur komunitas gastropoda khususnya siput Terebralia
palustris melalui pengaturan ukuran tangkap, waktu penangkapan dan budidaya.

Saran

Kegiatan penangkapan siput khususnya siput Terebralia palustris dan


Terebralia sulcata harus dikurangi sesuai dengan kapasitas populasinya,
penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan pengambilan contoh siput
Terebralia palustris dan Terebralia sulcata pada lokasi yang sama dengan waktu
pengamatan pada bulan yang berbeda, sehingga didapatkan ukuran kelompok
panjang yang lebih bervariasi selama satu tahun di lokasi yang sama.

DAFTAR PUSTAKA
Agresti. 1984. Analysis of ordinal categorical data. John Wiley and Sons. New
York
Allen B, Arne T, Corine ET, Martin AN. 2012. How mutation affects
evolutionary games on graphs. Jorunal of Theoretical Biology. 299:97-105
Alongi DM, Perillo GME, Wolanski E, Cahoon DR & Brinson MM. 2009.
Paradigm shifts in mangrove biology. Coastal Wetlands: An integrated
ecosystem approach. Elsevier, Londres, Inglaterra.60(4):615-640
Amado LL, Rosa CE, Castro MR, Votto AP, Santos LC, Marins LF, Trindade GS,
Fraga DS, Dame RC, Barros DM, Geracitano LA, Bianchini A, de la Torre
FR, Monserrat JM. 2011. Integrated biological responses of zebrafish
(Danio rerio) to analyze water quality in regions under anthropogenic
influence. Chemosphere. 82(11): 1563-1570
Ashton EC, Macintosh DJ. 2002. Preliminary assessment of the plant diversity
and community ecology of the Sematan mangrove forest, Sarawak,
Malaysia. Forest Ecology and Management. 166(1):111-129
Ashton EC, Hogarth PJ, Macintosh DJ. 2003. A comparison of brachyuran crab
community structure at four mangrove locations under different
management systems along the Melaka Straits-Andaman Sea coast of
Malaysia and Thailand. Estuaries. 26:1461-1471
Beasley CR, Fernandes CM, Gomes CP, Brito BA, Santos SML, Tagliaro CH. 2005.
Molluscan diversity and abundance among coastal habitats of northern Brazil.
Ecotropica. 11:9-20
25

Bengen DG. 2003. Pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. PKSPL-


IPB. Bogor
Berger VY, Kharazova AD. 1997. Mechanisms of salinity adaptions in marine
molluscs. Hydrobiologia. 355:115-26
Bodinier C, Boulo V, Lorin-Nebel C, Charmantier G. 2009. Influence of salinity
on the localization and expression of the CFTR chloride channel in the
ionocytes of Dicentrarchus labrax during ontogeny. Jurnal Anatomy.
214:318-329
Bouillon S, Moens T, Overmeer I, Koedam N, Dehairs F. 2004. Resource
utilization patterns of epifauna from mangrove forests with contrasting
inputs of local versus imported organic matter. Marine Ecology Progress
Series. 278:77–88
Brower JJZar, Von Ende C. 1990. Field and Laboratory Methods for General
Ecology. Third edition. Wm. C. Brown Publishers, Dubuque, Iowa. p 45-
183
Brown S, Sathaye J, Cannell M, Kauppi PE. 1996. Mitigation of carbon emissions
to the atmosphere by forest management. The Commonwealth Forestry.
75(1):80-91
Chaparro OR, Cubillos VM, Montiel YA, Paschke KA, Pechenik JA. 2008a.
Embryonic encapsulation and maternal incubation requirements for survival
of the early stages of the estuari gastropod Crepipatella dilatata. Jurnal
Marine Biology Ecology. 365:38-45
Christensen JT, Sauriau PG, Richard P, Jensen PD. 2001. Diet in mangrove snails:
preliminary data on gut contents and stable isotope analysis. Journal of
Shellfish Research. 20(1):423–426
Dahlhoff EP, Stillman JH, Menge BA. 2002. physiological community ecology:
variation in metabolic activity of ecologically important rocky intertidal
invertebrates along environmental gradients. Integration and Comp arisson
Biology. 42:862-871
Dance P. 1977. The Encyclopedia of Shells. Branford Press. London. ISBN 0-
7137-0698-8
De Robert A and William K. 2008. Weight length relationship in fisheries studies:
the standard allometric model should be applied with caution. Transaction
of the American Fisheries Society. 137(1): 707-719
Dharma. 1992. Siput dan kerang Indonesia (Indonesian Shells II). PT. Sarana
Graha. Jakarta
Diederich CM, Pechenik JA. 2013. Thermal tolerance of Crepidula fornicata
(Gastropoda) life history stages from intertidal and subtidal subpopulations.
Marine Ecology Progress Series. 486:173-187
Duursma EK, Carroll JL. 1996. Environmental Compartments, Equilibria and
Assessment of Processes Between Air, Water, Sediments and Biota.
Springer Verlag. Berlin.
Effendi H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan
perairan. Jurusan Maajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan IPB. Bogor
English SC. Wilkinson, Baker V. 1994. Survey manual for tropical marine
resources. australian marine institut of marine science. Townsvilie (AU). p
119-196
26

Fratini S, Vigiani V, Vannini M, Cannicci S. 2004. Terebralia palustris


(Gastropoda; Potamididae) in a Kenyan mangal: size structure, distribution
and impact on the consumption of leaf litter. Marine Biology. 144(6):1173-
Ferreira MAP, Paixao LF, Alcantara-Neto CP, Santos SSD, Rocha RM. 2006.
Morphological and morphometric aspects of Crassostrea rhizophorae
(Guilding, 1828) Oocytes in three stages of the gonadal cycle. Jurnal
Morphol. 24(3):437-442
Fujioka Y, Shimoda, Srithong C. 2007. Diversity and community struc-ture of
macrobenthic fauna in shrimp aquaculture ponds of the Gulf of Thailand.
Jarq. 41(2):163-172
Giri C, Ochieng E, Tieszen LL, Zhu Z, Singh A, Loveland T, Masek J, Duke N.
2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth
observation satellite data. Global Ecology and Biogeography. 20(1):154-159
Hogarth PJ. 2007. The Biology of Mangroves and Seagrasses. Oxford University
Press, New York. 273 pp
Irma D, Sofyatuddin K. 2012. Diversity of Gastropods and Bivalves in mangrove
ecosystem rehabilitation areas in Aceh Besar and Banda Aceh districts,
Indonesia. Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation.
International Journal of the Bioflux Society. 5:55-59
Jesus A. 2012. Kondisi ekosistem mangrove di Sub District Liquisa Timor-Leste.
Depik. 1(3):136-143
Kathiresan K, Rajendran N, Thangadurai G. 1996. Growth of mangrove seedlings
in intertidal area of Vellar estuary southeast coast of India. Indian Journal of
Marine Sciences. 25:240–243
Kathiresan K, Rajendran N. 2005. Coastal mangrove forests mitigated tsunami.
Estuarine, Coastal and Shelf Science. 65:601–606
Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor : 201 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku dan Pedoman
Kerusakan Hutan Mangrove. Jakarta
Kinne O. 1966. Physiological aspects of animal life in estuaries with special
reference to salinity. Netherlands Journal of Sea Research. 3:222-241
Kristensen E. 2008. Mangrove crabs as ecosystem engineers; with emphasis on
sediment processes. Journal of Sea Research. 59(1):30-43
Koch EW. 2001. Beyond light: physical, geological, and geochemical parameters
as possible submersed aquatic vegetation habitat requirements. Estuaries.
24(1):1-17
Krebs, C.J. 1989. Experimental Analysis of Distribution and Abundanc. Third
Edition. New York
Lee OHK, Williams GA, Hyde KD. 2001. The diets of Littoraria ardouiniana and
Littoraria melanostoma in Hong Kong mangroves. Journal of the Marine
Biological Association of the UK. 81:967–973
Lindegarth M, Hoskin M. 2001. Patterns of distribution of macrofauna in different
types of estuarine, soft sediment habitats adjacent to urban and non-urban
areas. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 52(2):237-247
Linse K. 1999. Abundance and diversity of Mollusca in the Beagle Channel.
Scientia Marina. 63(1):391-397
Lodge DM. 1986 Selective grazing on periphyton: a determinant of
freshwater gastropod micro distribution. Freshwater Biology. 16:831-841
27

Macintosh DJ, Ashton EC, Havanon S. 2002. Mangrove rehabilitation and


intertidal biodiversity: a study in the Ranong mangrove ecosystem,
Thailand. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 55(3):331-345
Marshall DJ, Santos H, Leung KMY, Chak WH. 2008. Correlations between
Gastropod Shell Dissolution and Water Chemical Properties in a Tropical
Estuary. Marine Environmental Research. 66(4):422 – 429
Mitchell K. 2001. Quantitative analysis by the Point-centered Quarter method.
http://people.hws.edu/mitchell/PCQM.pdf
Muhammad MI. 2015. Distribution of gastropoda and its relation with
environmental characteristics in coastal waters of nusalaut island central
maluku. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB. Jurnal Ilmu Dan
Teknologi Kelautan Tropis. 7(1) p. 365-378
Nagelkerken I, Blaber SJM, Bouillon S, Green P, Haywood M, Kirton LG,
Meynecke JO, Pawlik J, Penrose HM, Sasekumar A, Somerfield PJ. 2008.
The habitat function of mangroves for terrestrial and marine fauna: A
review. Aquatic Botany. 89:155-185
Nordhaus I, Diele K, Wolff M. 2009. Activity patterns, feeding and burrowing
behaviour of the crab Ucides cordatus (Ucididae) in a high intertidal
mangrove forest in North Brazil. Journal of Experimental Marine Biology
and Ecology. 374(2):104-112
Odum EP. 1993. Dasar-dasar ekologi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press
Pope GT, Tagaro SP. 2006. The new classification of gastropods according to
Bouchet & Rocroi, 2005. Visaya Feb. 2006: 1-10
Proffitt CE, Devlin DJ. 2005 Grazing by the intertidal gastropod Melampus
coffeus greatly increases mangrove litter degradation rates. Marine Ecology
Progress Series. 296:209–218
Robertson AI, Alongi DM. 1992 Tropical mangrove ecosystems. American
Geophysical Union. 330 pp
Ronnback P. 1999. The ecological basis for economic value of seafood production
supported by mangrove ecosystems. Ecological Economics. pp 235–252
Sameoto JA, Metaxas A. 2008. Can salinity-induced mortality explain larval
vertical distribution with respect to a halocline. Marine Biological. 214:329-
338
Sydenham S, Thomas R. 2003. Mangroves in Australia. Available online at:
http://www.kidcyber.com.au
Tee GAC. 1982. Some aspect of the mangrove forest at Sungai Buloh, Selangor
II. Distribution pattern and population dynamics of tree-dwelling fauna.
Malayan Natural. 35:267-277
Tis’in M. 2008. Tipologi mangrove dan keterkaitannya dengan populasi gastropoda
Littorina neritoides (LINNE,1758) di Kepulauan Tankeke, Kabupaten Takalar,
Sulawesi Selatan [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Thomas JD. 1990. Mutualistic interactions in freshwater modular systems
with molluscan components. Advances in Ecological Research. 20:125-178
Toro JE, Winter JE. 1983. Studies in the oyster culture Quempillen, an estuary of
the South of Chile. Part I. The determination of the abiotic factors and the
quantification of seston as a food supply and its use by Ostrea chilensis.
Aquaculture. 5(2):129-144
28

Valiela I, Bowen JL, York JK. 2001. Mangrove forests: one of the world’s
threatened major tropical environments. BioScience. 51(10):807-815
Vilardy S, Polania J. 2002. Mollusc fauna of the mangrove root-fouling community at
the Colombian Archi-pelago of San Andr´es and Old Pro-vidence. Wetlands
Ecology and Management. 10:273-282
Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama
Wells FE. 2003. Ecological separation of the mudwhelks Terebralia sulcata (Born,
1778) and T. semistriata (Mörch, 1852) (Gastropoda: Potamididae) from
northern Australia. The Nautilus. 117(1):1-5
Wells FE, Lalli CM. 2003. Aspects of the ecology of the mudwhelks Terebralia
palustris and T. semistriata in northwestern Australia. In: Wells, F.E., D.I.
Walker and D.S. Jones (eds.) 2003. The Marine Flora and Fauna of
Dampier, Western Australia. Western Australian Museum, Perth. pp 193-
208
Zhang CG, Leung IKK, Wong YS, Tam NFY. 2007. Germination, growth and
physiological responses of mangrove plant (Bruguiera gymnorrhiza) to
lubricating oil pollution. Environmental and Experimental Botany. 60:127-
136
29

Lampiran 1 Stasiun Pengamatan

Stasiun 1 Desa Jenilu

Stasiun 2 Desa Kenebibi

Stasiun 3 Desa Silawan


30

Lampiran 2 Pengukuran parameter lingkungan pada tiga stasiun

Parameter Stasiun I Stasiun II Stasiun III


pH 6.6 6.8 7.2
6.8 6.8 6.9
6.5 6.6 6.8
Salinitas 30.5 31 30
29 31 31
31 30 30
DO 6.16 6.12 6.28
6.11 6.35 6.25
6.17 6.26 6.35
Suhu 28.5 28.5 28
29 28 27.5
28 28.5 29
C-organik 2.04 3.58 1.57
3.9 2.01 1.77
2.06 2.32 1.91

Lampiran 3 Perhitungan C-Organik dan hasil perhitungan


31

Lampiran 4 Spesies Gastropoda di Perairan Kabupaten Belu

Laevistrombus canarium Terebralia palustris Terebralia sulcata

Vittina turrita Cypraea moneta Cassidula nucleus


32

Clithon (Pictoneritina) Cassidula aurisfelis Polinices duplicatus


oualaniense

Nassarius semisulcatus Calliostoma katherina Nassarius acuticostus

Conus consors Cypraea annulus Nerita signata

Pterygua crenulata Conus ebraeus Conus ortoptus


33

Domiporta Vexillum coloreum Chicoreus capucinus


praestantissima

Morula anaxeres Strombus microurceus Otopleura auriscati

Melanoides maculata Conus frigidus Cassidula sulculosa

Gyrineum natator Cymbiolo vespertilio Muricodrupa fenestrata


34

Nassarius pullus Conus zebra Cassidula vespertilionis

Strombus mutabilis Lophiotoma polytropa Cerithium kobelti

Monodonta canalifera Nassarius dorsatus Nerita chamaeleon

Cerithidae weyersi Hebra corticata Littoraria scabra

Nassarius olivaceus Clypeomorus inflata Telescopium


telescopium
35

Nerita insculpta Nerita undarta

Lampiran 5 Jenis Mangrove pada lokasi penelitian

Bruguiera gymnorrhiza Avicennia officinalis Sonneratia alba

Ceriops tagal Avicennia alba Rhizophora stylosa


36

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sasi Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa


Tenggara Timur, tanggal 18 Maret 1992 dari pasangan Bapak Benediktus Salu
dan Ibu Sista Sila. Pendidikan sarjana ditempuh diprogram studi Biologi Fakultas
Sains dan Teknik Undana, lulus pada tahun 2016. Pada tahun 2016 penulis
berkesempatan untuk melanjutkan studi ke program Magister pada program
studi Pengelolaan Sumberdaya Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Beasiswa
pendidikan pascasarjana diperoleh dari Beasiswa Unggulan Dosen Indonesia
Dalam Negeri (BUDI-DN).
Artikel yang berjudul Karakteristik Bioekologi Gastropoda pada Ekosistem
Mangrove di Perairan Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur sedang
dalam proses review jurnal di Media Konservasi IPB untuk diterbitkan.

Anda mungkin juga menyukai