Anda di halaman 1dari 57

EKOBIOLOGI DAN ASOSIASI TERIPANG PADA EKOSISTEM

LAMUN DI KABUPATEN MALUKU TENGAH DAN


KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

YUNITA LUHULIMA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Ekobiologi dan Asosiasi
Teripang pada Ekosistem Lamun di Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten
Seram Bagian Barat”adalah benar karya saya dengan arahan daridosen pembimbing
tesis dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2019

Yunita Luhulima
NIM C551160171
RINGKASAN

YUNITA LUHULIMA. Ekobiologi dan Asosiasi Teripang pada Ekosistem Lamun


di Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat Dibimbing oleh
NEVIATY P. ZAMANI dan DIETRIECH G. BENGEN.

Teripang terdistribusi di seluruh samudera dan hidup pada daerah perairan


dangkal. Teripang memiliki peran ekologis sebagai deposit feeder dan
dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan sertabahan obat-obatan, akibatnya
populasi teripang di alam semakin berkurang dari tahun ke tahun akibat eksploitasi.
Teripang memanfaatkan lamun sebagai habitat karena lamun sangat kaya akan
kandunganbahan organik. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji karakteristik
lingkungan, biologi populasi, serta asosiasi teripang dengan lamun di kabupaten
Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat. Penelitian ini dilakasanakan
pada bulan Oktober sampai November 2017 di Kabupaten Maluku Tengah (Suli
dan paperu), dan Kabupaten Seram Bagian Barat (Pulau Osi dan Pulau Marsegu),
pengambilan sampel dilakukan pada pada 3 stasiun yang mewakili masing-masing
lokasi dengan menggunakan kuadran 1m2.
Hasil penelitian menunjukkan karakteristik lingkungan perairan pada setiap
lokasi sangat beragam dimana lokasi Suli dipengaruhi oleh kandungan TOM, fosfat,
dan pasir yang tinggi, lokasi Paperu dan Osi memiliki suhu, pH, kandungan debu
dan liat yang tinggi dan Marsegu lebih dipengaruhi oleh kandungan BOD, nitrat
dan C-organik yang tinggi. Total jenis lamun yang ditemukan pada keempat lokasi
penelitian adalah 8, dimana jenisThalassia hemprichii, Cymodocea
serrulata,Enhalus acoroides,dan Halodule uninervisdapat ditemukan pada keempat
lokasi. Total jenis teripang yang ditemukan adalah 16 jenis, 13 jenis ditemukan di
Kabupaten Maluku Tengah dan 9 jenis ditemukan di kabupaten Seram Bagian Barat.
Kepadatan jenis teripang tertinggi pada lokasi Suli dan Marsegu adalah jenis
Holothuriaatra, sedangkan lokasi Paperu adalah jenis Bohadschia bivittata, dan
lokasi Osi adalah jenis Holothuria leucospilota. Komposisi jenis teripang yang
dominan adalah jenis Holothuria scabra,Holothuriaatra, danBohadschia
marmoratadengan pola pertumbuhan yang bersifat allmotrik negatif dimana
pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan berat dan faktor
kondisi >1. Keanekaragaman teripang tertinggi ditemukan pada lokasi Suli, dan
rendah pada lokasi Marsegu. Hasil koresponden analisis (CA) antara jenis teripang
dengan lamun menunjukkan bahwa adanya pengaruh jenis lamun terhadap jenis
teripang dimana ditemukan 8 jenis teripang A. echinites,
Actinopygalecanora,Bohadschia argus, Bohadschia vitiensis, H. atra, H. forskali,
H. leucospilota,dan H. scabra berasosiasi dengan lamun jenis T. hemprichii, jenis
A. miliaris berasosiasi dengan jenis lamun C. serrulata,H. pinifolia, dan H. ovalis,
H. edulis, A. lecanora, Bohadschia argus, Bohadschia vitiensis, H. atra, dan H.
forskali berasosiasi dengan C. rotundata, dan S. isoetifolium, jenis B. bivittata, B.
marmorata, H. edulis, S. horrens berasosiasi dengan lamun jenis E. acoroides dan
B. similis, dengan H. uninervis.

Kata kunci: Kepadatan, Thalassia hemprichii, Holothuriaatra, Ambon, Saparua


SUMMARY

YUNITA LUHULIMA.Ecobiology and Association of Sea Cucumber in Seagrass


Ecosystem at Central Maluku District and West of Seram District Supervised
byNEVIATY P. ZAMANIand DIETRIECH G. BENGEN.

Sea cucumbers are distributed throughout the ocean and live in shallow water
areas which has an ecological role as deposit feeders and can be used as a source of
food ingredients and pharmaceutical product, consequently, the population of sea
cucumbers in nature decreases annualy caused of exploitation. Sea cucumbers use
sea grass as a habitat area which containing plenty organic content. The purpose of
this study was to examine the environmental characteristics, biology of population,
and the association of sea cucumbers and sea grass in the districts of Central Maluku
and West Seram Regency. This research was conducted betwen October until
November 2017 in Central Maluku District (Suli and Paperu), and West Seram
District (Osi Island and Marsegu Island), sampling was carried out at 3 stations
representing each location by using a 1m2 quadrant.
The results showed that the environmental water characteristics were very
diverse in each location. Suli location was influenced by highly content of TOM,
phosphate, and sand, Paperu and Osi locations have a temperature, pH, high dust
and clay content and Marsegu was more influenced by BOD content, nitrate and
high C-organic. The total types of seagrass found at the four study locations were 8
spesies, there were Thalassi hemprichii, Cymodocea serrulata,
Enhalus acoroides and Halodule uninervis, were found in all four locations. The
total types of sea cucumbers were found 16 species, 13 species were found in
Central Maluku Regency and 9 species were found in West Seram District. The
highest density of sea cucumber species at Suli and Marsegu locations was type of
Holothuriascabra, while Bohadschia bivittata can be found in Paperu, and
Holothurialeucospilota in Osi. The dominant composition of sea cucumber species
were the type of Holothuria scabra, Holothuria atra,
andBohadschia marmorata with a negative allmotric growth pattern which long
growth was faster than weight growth and condition factors> 1. The highest variety
of sea cucumbers was found in Suli, and the lower variety in Marsegu.
Correspondence analysis (CA) results betwen sea cucumber and seagrass species
showed that there was an influence of seagrass species on sea cucumber species
which found 8 types of sea cucumber, there were Actinopyga echinites, A.
lecanora, B. argus, B. vitiensis, H. atra,H. forskali, H leucospilota, and
H. scabra associated with seagrass spesies of T. hemprichii. The type of
A. miliaris associated with C. serrulata, H. pinifolia, and H. ovalis, H. edulis, A.
lecanora, B. argus, B. vitiensis, H. atra, and H. forskali are associated with
C. rotundata, and S. isoetifolium, type B. bivittata, B. marmorata, H. edulis,
S. horrens associated with seagrass species E. acoroides and B. similis, with
H. uninervis.

Keywords: Density, Thalassia hemprichii, Holothuriaatra, Ambon, Saparua


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2019
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EKOBIOLOGI DAN ASOSIASI TERIPANG PADA EKOSISTEM
LAMUN DI KABUPATEN MALUKU TENGAH DAN
KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

YUNITA LUHULIMA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
Penguji luar komisi pada ujian : Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
kasih dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul tesis
penelitian ini adalah ”EKOBIOLOGI DAN ASOSIASI TERIPANG PADA
EKOSISTEM LAMUN DI KABUPATEN MALUKU TENGAH DAN
KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT”
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir.
Neviaty P. Zamani, MSc dan Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA selaku
pembimbing yang telah memberikan saran dan bimbingan dalam penelitian dan
penyusunan tesis ini, semoga Ibu dan Bapak berserta keluarga sehat selalu dan
dalam lingdungan Tuhan Yang Maha Esa. Disamping itu, ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Maluku yang telah memberikan
beasiswa kepada penulis untuk melanjutkan sekolah pascasarjana.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Steven Lawalata
(alm), ibu Agustina, kedua kakak (Oldrin dan Merel berserta usi Emi, ponakan
terkasih Is, Riko, Vano, Jan dan keluarga Luhulima serta semua keluarga atas segala
doa, dukungan dan kasih sayangnya kepada penulis. Terima kasih juga disampaikan
kepada teman-teman program studi Ilmu Kelautan pascasarjana Tahun 2016 (Ncha,
Karin, Ines, Ijah, Tita, Raisa, Buyung, Aris, Yudho, Pak Teddy, Mba Ani, Mba
Priska, Dewa, Bang Santos, Yola, Santi, Baim, dan Intan, teman- teman
persekutuan Mahasiswa Maluku, kelompok PA Oikumene kampus IPB
Dramaga,teman Jelien, Sandi, Brian, Ewin, yang telah membantu dalam
pengambilan data penelitian. Terima kasih yang sama juga disampaikan kepada
Ariyanto Latupeirissa dan keluarga untuk dukungan dan doanya kepada penulis.

Bogor, Januari 2019

Yunita Luhulima
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Kerangka Pikir 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 4
2METODE PENELITIAN 4
Lokasi dan Waktu Penelitian 4
Alat dan Bahan 5
Penentuan Titik Stasiun 6
Pengambilan Data Lamun dan Teripang 6
Pengambilan Data Kualitas Perairan dan Substrat 7
Analisis Data 8
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Sebaran Karakteristik Fisik Kimia Linngkungan 12
Sebaran Spasial Lamun 15
Komposisi dan Kepadatan Teripang 18
Keanekaragaman Keseragaman dan Dominansi Teripang 22
Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi 22
Asosiasi Lamun dan Teripang 27
4SIMPULAN DAN SARAN 29
Simpulan 29
Saran 29
DAFTAR PUSTAKA 30
DAFTAR LAMPIRAN 36
RIWAYAT HIDUP 45
DAFTAR TABEL

1 Parameter kualitas lingkungan perairan 4


2 Parameter lingkungan perairan pada lokasi penelitian 12
3 Jenis spesies lamun di lokasi penelitian 15
4 Jenis teripang yang ditemukan pada lokasi penelitian 18
5 Nilai b R2r dan Kn 23

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 3


2 Peta lokasi penelitian 4
3 Pemasangan line transcek quadrat 6
4 Transek plot pengambilan contoh lamun dan teripang 7
5 Pengukuran panjang teripang 7
6 Hasil analisis komponen utama (PCA) kualitas lingkungan 14
7 Hasil analisis komponen utama (PCA) kualitas substrat 15
8 Kerapatan rata-rata jenis lamun 16
9 Presentase komposisi jenis teripang 19
10 Jenis dan kepadatan teripang yang ditemukan dalam penelitian 20
11 Keanekaragaman, keseragaman dan dominansi teripang 22
12 Hubungan panjang dan berat H. atra, H. scabra dan B. marmotara 24
13 Hasil analisis regresi H. atra dengan lamun 25
14 Analisis regresi H. scabra dengan lamun 26
15 Analisis regresi B. marmorata dengan lamun 26
16 Hasil koresponden analisi teripang dengan stasiun penelitian 27
17 Hasil koresponden analisis jenis lamun dengan stasiun penelitian 28

DAFTAR LAMPIRAN
1 Foto-foto teripang yang ditemukan pada lokasi penelitian 37
2 Hasil analisis substrat 40
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Teripang tergolong kedalam filum Echinodermata kelas Holothuridae dengan


nama lain beche-de-mer, gamat, dan timun laut (Morgan 1999; Hamel et al. 2001;
Ridwan 2007). Teripang tergolong hewan laut yang mendiami dasar perairan dan
masuk kedalam kategori Appendix CITES (Convention on International Trade in
Endangered Species) karena populasi yang terus menurun setiap tahunnya
diseluruh dunia. Teripang terdistribusi di seluruh samudera dan hidup pada perairan
dangkal yang dekat dengan lamun, rumput laut dan terumbu karang mulai dari zona
intertidal sampai pada kedalaman 20 meter dengan kondisi lingkungan perairan
yang tidak tercemar (Higgins 2000). Teripang dikenal memiliki peran ekologi
dalam penyuburan substrat deposit feeder dan suspensi feederkarena memiliki
kebiasaan mengaduk sedimen untuk mendapatkan makanan berupa kandungan
bahan organik yang terkandung didalamnyaberupa telur-telur larva dan juvenil bagi
biota laut seperti moluska, krustasea dan ikan (Darsono 2007; Lamp 2013).
Aktivitas tersebut menyebabkan terjadinya proses oksigenisasi pada lapisan atas
sedimen sehingga dapat mencegah penumpukan bahan organik pada substrat. Sisa-
sisa bahan organik, bakteri, dan mikroalga didaur ulang oleh sistem pencernaan
teripang sehingga menjadi gembur dan mengandung bahan organik yang
bermanfaat bagi komunitas hewan dan tumbuhan dalam ekosistem (Purwati dan
Syahailatua 2008). Teripang memiliki pergerakan yang lambat dengan jumlah
teripang di seluruh dunia lebih dari 1 200 jenis dan 350 jenis dapat ditemukan di
Indonesia.
Lamun merupakan tumbuhan akuatik yang telah beradaptasi untuk bertahan
hidup dalam lingkungan perairan.Teripang memanfaatkan ekosistem lamun sebagai
daerah habitat karena ekosistem lamun sangat kaya akan bahan organik yang
berkisar dari 900 hingga 4650 g C/m2 (Bengen 2001) dan mampu melindungi
teripang dari predator sehingga habitat lamun sangat penting untuk teripang.
Serasah dari daun lamun dapat menjadi sumber bahan makanan bagi teripang.
Sebaran lamun dapat menutupi hingga 600 000 km2 pesisir laut (Duart et al. 2010)
namun Waycott et al. (2009) menyatakan bahwa sebaran padang lamun global telah
menghilang sekitar 29% sejak abad ke 19 dengan penyebab utamanya adalah
peningkatan masukan sedimen ke perairan pesisir akibat pembalakan hutan di
daratan dan penebangan mangrove di pesisir yang bersamaan dengan tingginya
aktivitas manusiadalam memanfaatkan wilayah perairan yang berdampak pada
penurunan dan berpengaruh terhadap populasi teripang didalamnya (Hernawan et
al. 2017).Tingginya tingkat eksploitasi menyebabkan populasi teripang semakin
berkurang di alam (Conand 2000; Purcell et al. 2013; Purcell et al. 2014)
Pentingnya peran eksosistem perairan serta biota yang berasosiasi
didalamnya khususnya teripang, keberadaan teripang di Maluku belum mempunyai
data informasi mengenai studi ekologi teripang sehingga dirasakan penelitian ini
sangat penting untuk dilakukan, dimana Maluku merupakan provinsi kepulauan
yang luas lautanya lebih besar dibandingkan luas daratnya dengan perbandingan
9:1. Tahun 2009 Dinas Perikanan Maluku melaporkan bahwa produksi teripang
semakin meningkat pada tahun 2008 sebesar 563 ton jauh lebih tinggi dari tahun-
2

tahun sebelumnya dengan penjualan senilai Rp58300500000, mayoritas


masyarakat Maluku sebagian besar adalah nelayan pesisir sehinggaturut
mempengaruhi keberadaan sumberdaya teripang di alam kabupaten Maluku
Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat. Penelitian teripang telah dilakukan
oleh Yusron (2001), (2004); Uneputty et al.(2014); Selanno et al.(2014); Natan
(2016), namun masih kurangnya informasi tentangekobiologidan asosiasi teripang
pada ekosistem lamun di Kabupaten Maluku tengah, dan Kabupaten Seram Bagian
Barat sehingga penelitian ini sangat penting untuk dilakukan.

Perumusan Masalah

Kehadiran teripang sangat ditentukan oleh adanya vegetasi lamun, yang


didukung oleh karakteristik lingkungan perairan dan karakteristik substrat di daerah
pesisir. Karakteristik lingkungan yang berpengaruh adalah suhu, pH, kekeruhan air,
arus laut, salinitas, nitrat, fosfat, TOM, dan zat padat tersuspensi. Selain itu tekanan
dan perubahan lingkungan juga turut mempengaruhi kelimpahan dan pertumbuhan
teripang. Jika habitat lamun terjaga dengan baik maka ketersedian teripangdi
dalamnya juga akan baik, begitupun sebaliknya sebab teripang akan mencari lamun
dan habitat yang baik dan sesuai untuk pertumbuhannya (Gambar 1). Permasalahan
yang terlihat adalah meningkatnya kebutuhan ekonomi dan tingginya kebutuhan
pasar global menjadi ancaman punahnya teripang di berbagai lokasi akibat
eksploitasi yang berlebihan, pencemaran, berubahnya ekosistem lamun,maupun
kerusakan fisik seperti penambangan di darat dan pesisir, pembangunan resort, serta
pembangunan perumahan penduduk menjadi ancaman bagi habitat teripang dan
biota lainnya di perairan.
Kerusakan habitat teripang dan populasi biota laut akibat aktifitas manusia
memberikan dampak yang serius. Dampak kerusakan ini akan berpengaruh
terhadap kelimpahan teripang yang merupakan salah satu jenis Ekhinodermata
dengan jumlah gizi tinggi serta mempunyai nilai tambah yang cukup tinggi bagi
perekonomian masyarakat pesisir khususnya nelayan.Teripang memiliki harga jual
yang tinggijuga di Maluku, hal ini menjadi penyebabmeningkatnya eksploitasi.
Tekanan lingkungan yang diterima mengakibatkan berkurangnya populasi teripang
di alam serta penurunan dalam hal ukuran.Jika kondisi tersebut terus menerus
terjadi dalam kurung waktu tertentu maka akan mengakibatkan hilangnya teripang
di Maluku.Sebagai salah satu sumber daya penopang ekonomi masyarakat
penelitian terhadap sumber daya teripang ini lebih diarahkan kepada pemulihan
habitat dan populasi teripang.Informasi tentang ekobiologi dan asosiasi teripang
pada ekosistem lamun sangat diperlukan untuk memulihkan kondisi teripang di
Maluku.

Kerangka Pikir Penelitian


3

Ekobiologi

Kualitas Perairan
Vegetasi Biota
lamun teripang

Suhu Salinitas
Nitrat, Fosfat Air, TOM
Jenis, dan Jenis,
Kerapatan Kelimpahan,
Karakter
morfometrik pH Nitrat, Fosfat Bahan
sedimen sedimen organik total

Biologi
Tekstur Redoks
populasi
sedimen Potensial

Mempengaruhi Asosiasi
Asosiasi
teripang
dan lamun
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:


1. Mengkajiekobiologi teripangdan lamun
2. Mengkajiasosiasi teripang dengan lamun di kawasan pesisir Kabupaten
Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat.

Manfaat Penelitian
4

Manfaat penelitian ini adalah:


Tersedianya informasi ilmiah tentang ekologi dan biologi teripang dan
lamun di Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat
yang dapat dijadikan dasar bagi pembudidayaan sumberdaya teripang
secara berkelanjutan

2 METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dariBulan Oktober sampai Bulan November


2017 pada ekosistem lamun perairan pesisir Kabupaten Maluku Tengah yang
diwakili oleh Suli di Pulau Ambon dan Paperu di Pulau Saparua), serta Kabupaten
Seram Bagian Barat (Pulau Osi dan Pulau Marsegu)Provinsi Maluku(Gambar 2).

Gambar 2Lokasi penelitian Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat
provinsi Maluku

Suli terletak di Kecamatan Salahutu,Kabupaten Maluku Tengah. Suli


memiliki topografi pantai yang landai dimana terdapat ekosistem perairan tropis
yang lengkap dan memiliki tipe substrat yang sangat beragam yaitu pasir, kerikil
dan karang. Stasiun pengamatan di lokasi Suli terletak berdekatan dengan aliran
sungai, beberapa rumah masyarakat, dan ekosistem mangrove. Lokasi kedua yaitu
Paperu terletak di Pulau Saparua Kecamatan Saparua,Kabupaten Maluku Tengah.
Tipe substrat pada lokasi ini adalah berpasir dan berkarang. Lokasi penelitian di
Paperu berdekatan dengan kolam air tawar, dan kawasan bekas tambak. Lokasi
ketiga adalah Pulau Osi yang terletak di Kabupaten Seram Bagian Barat, lokasi ini
memiliki ekosistem mangrove yang terkenal dan dijadikan jembatan panjang oleh
masyarakat pada lokasi tersebut sebagai objek wisata, selain itu lokasi ini memiliki
5

resort diatas laut milikmasyarakat, dan dibangun diatas laut. Tipe substrat pada
lokasi ini adalah pasir dan karang, stasiun penelitian di lokasi ini berdekatan dengan
rumah-rumah apung masyarakat. Lokasi keempat adalah Pulau Marsegu, pulau ini
merupakan kawasan hutan lindung seluas 10240.2 ha dengan luas 240.20 ha dan
wilayah lautnya 10000 ha.

Alat dan Bahan

Metode, Alat, dan bahan analisis yangdigunakan dalam penelitian ini


disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1Parameter kualitas lingkungan perairan


No. Kualitas Satuan Alat/ Metode Bahan Analisis
Lingkungan Analisis
1. Kualitas Air
0
Suhu (in situ) C Termometer Air
Salinitas (in situ) Ppt Refraktometer Air
Fosfat (PO4) mg/L Spektrofotometer Air
Total organik mg/L Titrimetri Air
matter (TOM)
BOD mg/L BOD5 Air
Nitrat (NO3) mg/L Spektrofotometer Air

2 Kualitas substrat
pH - Sampel sedimen
C-organik (%) Spektrofotometer Sampel sedimen
Nitrat (NO3) mg/L Spektrofotometer Sampel sedimen
Fosfat (PO4) mg/L Sampel sedimen
Tekstur sedimen (%) Fraksinasi Sampel sedimen
Redoks Potensial mV Eh meter Sampel sedimen
(Eh)

3 Biologi
Lamun Ind/ha Roll meter, transek Area lamun
kuadran 1m2,
kantong plastik,
kamera, buku
identifikasi, GPS,
perlengkapan
snorkling
Teripang Panjang Transek Teripang
(cm) berat kuadran1m2, mistar,
(g) dan timbangan
digital
6

PenentuanStasiun

Setiap lokasi penelitian ditetapkan sebanyak 3 stasiun penelitian yang


mewakilimasing-masing lokasi. Setiap stasiun dibagi menjadi 3 substasiun
(Gambar 3). Substasiun ditempatkan tegak lurus (line transek) dari pesisir pantai
menuju laut sampai pada daerah atau kedalaman dimana lamun tidak dapat
ditemukan. Jarak antara sub stasiun adalah 50 m, dan jarak antara kuadran adalah
20 m.
Pengambilan data dilakukan dengan metode survei, dimana data yang
diambil berupa data primer yaitudata yang diperoleh dan dikumpulkan secara
langsung di lapangan berupa pengamatan parameter fisik dan kimia perairan,
substrat, lamun,teripang,dan wawancara nelayan serta masyarakat di Kabupaten
Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat.

Gambar 3 Pemasangan Line transect quadrat

Pengambilan Data Lamun dan Teripang

Pada setiap transek garis dibentangkan kuadran (1m2) (English et al. 1994)
untuk pengambilan sampel lamun dan pada transek yang sama pula dilakukan
pengambilan data teripang (Gambar 4). Pengamatan dilakukan dengan cara berjalan
kaki pada saat air surut, dan untuk memudahkan pengamatan digunakan
perlengkapan snorkelling.Setiap lokasi penelitian memiliki total kuadran yang
beragam yang dipengaruhi oleh morfologi pantai dan luasan pesisir. Jumlah
kuadran pada lokasi Suli adalah 82, Paperu 47, Osi 68, dan Marsegu 51 kuadran.
Pengamatan sampel lamun di lokasi penelitian meliputi identifikasi jenis
lamun dan menghitung jumlah tegakkan.Jenis lamun selanjutnya diidentifikasi
dengan menggunakan buku identifikasi den Hartog (1970).
7

Gambar 4Transek Plot Pengambilan contoh lamun(A) dan teripang (B)

Teripang yang ditemukan dalam kuadran diambil dari permukaan substrat


dan dimasukan kedalam wadah yang telah diisi air laut dan telah diberi label atau
kode substasiun, selanjutnya dilakukan identifikasi jenis berdasarkan bentuk
morfologi dan warna tubuh yang mengacu pada Purcell et al. (2012) dan dilanjutkan
dengan pengukuran morfometrik yaitu panjang tubuh (Gambar 5) yang diukur dari
anterior sampai ke posteriordan berat tubuh yang diukur dengan timbangan digital.

Gambar 5Pengukuran panjang teripang

Pengambilan Data Kualitas Perairan dan Substrat

Pengukuran kualitas air dilakukan secara langsung pada setiap stasiun


penelitian, meliputi parameter suhu, salinitas dan pH. Pengukuran suhu dan
salinitas dilakukan pada kedalaman perairan (0-1m). (0-1m). Analisis pH dilakukan
menggunakan water quality checker. Pengukuran nitrat dan fosfat dilakukan
menggunakan metode spektofotometrik, sedangkan TOM menggunakan metode
titrasi dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)menggunakan BOD5 yang dilakukan
pengujian di Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon.
8

Pengambilan sampel sedimen dilakukan dengan menggunakan sedimen core.


Sampel sedimen diambil secara sistematik dengan kedalam 10cm sampai dengan
30cm. selanjutnya masing-masing sampel dimasukan kedalam plastik, diberi label,
dan disimpan didalam cool box. Sampel sedimen selanjutnya dianalisis di
laboratoriumilmu tanah, Institut Pertanian Bogor. Kualitas sedimen yang diukur
meliputi pH substrat, C-organik, NO3,NO4, fraksi sedimen danEh.

Analisis Data

Kerapatan Jenis Lamun


Kerapatan jenis (Ki)lamun dihitung dengan menggunakan rumus (English et
al. 1997)
Ʃni
Ki = …………… (1)
A
keterangan: Ki adalah kerapatan jenis i;
Ʃni adalah jumlah total individu ke i;
A adalah luas total area pengambilan contoh (m2)

Komposisi Jenis Teripang


Komposisi jenis teripang merupakan perbandingan antara jumlah individu
suatu jenis terhadap jumlah individu secara keseluruhan. Dihitung dengan
menggunakan rumus (Odum 1998):
ni
pi = x 100% ………………(2)
N

keterangan:pi adalah komposisi jenis ke-i;


ni adalah jumlah individu spesies ke i;
N adalah jumlah keseluruhan spesies.

Kepadatan
Kepadatan teripang dihitung dengan menggunakan rumus menurut (Krebs
1978):

Ʃni
N= ...........................(3)
A

keterangan: N adalah kepadatan teripang (ind/m2);


Ʃni adalah jumlah total jenis-i (ind);
A adalah luas area (m2).

Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman teripang dihitung dengan menggunakan rumus
(Lagendre dan Lagendre 1983; Krebs 1989):
n n
H’= − ∑i=1(pi log 2 pi ) ; pi = i ..................(4)
N
9

keterangan: H’ adalah indeks keanekaragaman;


pi adalah proporsi frekuensi jenis ke-i terhadap jumlah total;
ni adalah jumlah individu setiap spesies;
N adalah jumlah individu total.
Kriteria penentuan keanekaragaman:
H’ < 1 = Keanekaragaman jenis rendah, tekanan ekologis sangat kuat
1 < H’ <3 = Keanekaragaman jenis sedang, tekanan ekologis sedang
H’ > 3 = Keanekaragamanjenis tinggi, terjadi keseimbangan ekosistem

Keseragaman
Keseragaman teripang dihitung dengan menggunakan rumus (Ludwig dan
Reynold 1988):
H′
E= ...............................(5)
H′ maks

keterangan: E adalah indeks keseragaman;


H’ adalah indeks keanekaragaman;
H’ maks adalah nilai keanekaragaman maksimum.
Nilai E berkisar antara 0 sampai dengan 1. Jika E = 1 berarti jenis teripang memiliki
kelimpahan yang sama (Magurran 1988). Semakin kecil nilai indeks keseragaman
jenis menunjukkan bahwa jumlah jenis antar spesies tidak menyebar merata, dan
sebaliknya semakin besar nilai indeks keseragaman berarti jumlah spesies semakin
menyebar merata.

Dominansi
Dominansi jenis teripang dihitung dengan menggunakan rumus indeks
dominansi (Odum 1971) :
n 2
C = ∑si=1 ( i ) ........................(6)
N

keterangan: C adalah indeks dominansi simpson;


ni adalah jumlah individu ke-i;
N adalah jumlah total individu;
S adalah jumlah jenis.
Nilai C berkisar antara 0 sampai 1. Jika nilai C mendekati 0 berarti hampir tidak
ada individu yang mendominansi dan jika nilai C mendekati 1 berarti ada salah satu
individu yang mendominasi (Odum 1971).

Hubungan Panjang dan Berat


Pola pertumbuhan teripang dapat diketahui melalui hubungan panjang
teripang dengan berat teripang (berat basah) yang diukur ketika pada keadaan surut
dengan rentang waktu pukul 19.00 WIT sampai 05.00 WIT, dalam keadaan
teripang yang mengembang,selanjutnya dianalisis melalui hubungan persamaan
regresidengan menggunakan rumus (Ricker 1975):

W = aLb..........................(7)
keterangan: W adalah berat basah teripang (g);
10

a adalah intersep (perpotongan kurva hubungan panjang berat


dengan sumbu –y);
L adalah panjang teripang (cm);
b adalah koefisien hubungan panjang berat.
Jika persamaan di atas ditransformasikan ke dalam persamaan linier dengan
melogaritmakan persamaan tersebut akan menjadi (Ricker 1975):

log W = log a + b log L……………(8)

Nilai b selanjutnya akan dibandingkan sesuai dengan petunjuk Effendie


(2002) jika nilai b= 3, maka pertumbuhan bersifat isometrik, dimana pertumbuhan
panjang dan berat adalah sama; b≠ 3 maka pertumbuhan bersifat allometrik, dimana
pertumbuhan panjang dan berat tidak sama; b< 3 maka pertumbuhan bersifat
allometrik negatif dimana pertumbuhan panjang lebih cepat dari pertumbuhan
berat; b> 3 maka pertumbuhan bersifat allometrik positif dimana pertumbuhan berat
lebih cepat dari pertumbuhan panjang.

Faktor Kondisi
Faktor kondisi (Kn) atau kemontokan teripang dihitung dengan menggunakan
rumus (Effendie 1997):

Wb ........................(9)
K n=
a Lb

keterangan: Kn adalah faktor kondisi relatif;


Wb adalah berat teripang yang teramati;
L adalah panjang teripang (cm);
b adalah konstanta;
a adalah intersep.

Sebaran karakteristik lingkungan


Sebaran karakteristik lingkungan pada keseluruhan lokasi penelitian
dianalisis menggunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis,
PCA) (Bengen 2000). PCA merupakan metode statistik deskriptif, yang bertujuan
untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi maksimum yang
terdapat dalam satu matriks. Matriks data yang digunakan terdiri dari stasiun
sebagai baris dan data parameter kimia-fisik lingkungan sebagai kolom. PCA akan
mereduksi suatu gugus variabel yang berukuran besar dan saling berkolerasi,
menguji kesamaan tempat dalam ruang jenis dan variabel lingkungan dengan cara
menentukan aksis ortogonal melalui pemaksimalan keragaman (Rumus 110-13)
Data parameter biofisik dan kimia lingkungan yang diperoleh tidak memiliki unit
pengukuran yang sama, untuk itu sebelum dianalisis data tersebut dinormalisasikan
melalui pemusatan dan pereduksian, sehingga parameter mempunyai unit
keragaman dan terbentuklah matriks baru. Penentuan hubungan antara dua
parameter menggunkan pendekatan matriks korelasi. Untuk menormalisasikan data
mengunakan rumus menurut Lagendre dan Lagendre 1983; Ludwig and Reynods,
1988; Bengen 2000 (Rumus 10-13):
C= Ni – x…………..(10)
11

dimana C adalah nilai pemusatan, Ni adalah nilai asli variabel dan x adalah
nilai rata-rata variabel. Sementara itu untuk melakukan pereduksian data
menggunakan rumus:
R=C/S .…………(11)

dimana R adalah nilai pereduksian, C adalah nilai pemusatan dan S adalah


nilai simpangan baku variabel. Untuk menentukan hubungan antara dua variabel
digunakan suatu pendekatan matriks korelasi dari indeks sintetik yaitu:

Rsxs=AsxnAtnxs ……..(12)

dimana R s x s adalah matriks korelasi r ij, A s x n adalah matriks indeks


sintesis r ij dan At n x s adalah matriks transposes (pertukaran baris dan kolom) dari
matriks A. Analisis Komponen utama menggunakan pengukuran jarak Euclidean
(jumlah kuadrat perbedaan antara individu untuk variabel yang berkoresponden)
pada data. Jarak Euclidean menggunakan rumus sebagai berikut:

d2 (i, i’) = ( X ij - X i’ j )2…….(13)

dimana i, i; adalah dua baris dan j adalah indeks kolom (bervariasi dari 1
hingga p). semakin kecil jarak Euclidean antara dua stasiun, maka semakin mirip
karakteristik parameter lingkungan dari kedua stasiun tersebut. Demikian pula
sebaliknya semakin besar jarak Euclidean antara kedua stasiun, semakin berbeda
karakteristik lingkungannya.

Asosiasi Teripang dan Lamun


Analisis Faktoral Koresponden (Correspondence Analysis, CA) digunakan
untuk menggambarkan sebaran spasial teripang dengan lamun pada lokasi
penelitian. CA merupakan salah satu bentuk analisis statistik multivariabel. Analisis
ini didasarkan pada matriks data i (kerapatan lamun dan kepadatan teripang) dan j
kolom (stasiun) dimana kepadatan teripang dan kerapatan lamun yang ditemukan
ataupun vegetasi i untuk stasiun ke-j pada baris ke-i dan kolom ke-j. Dengan
demikian matriks data ini merupakan tabel kontigensi stasiun pengamatan x
kepadatan masing-masing jenis teripang dan stasiun pengamatan x sebaran
kerapatan lamun. Selanjutnya dilakukan pengukuran kemiripan antara dua elemen
i dan elemen j dengan rumus (Legendre dan Legendre 1983; Bengen 2000)
∑(Xij /Xi −Xi′ j /Xjr )2
d2 (i, i′ ) = .............(14)
Xj

Keterangan: Xi adalah jumlah baris I untuk kolom j;


Xj adalah jumlah kolom j untuk semua baris i.
Analisis ini merupakan suatu analisis komponen utama ganda dengan
pengukuran jarak khi-kuadrat. CAtidak menghasilkan dua grafik yang independen
tetapi hanya satu grafik unik dimana baris dan kolom dipresentasikan pada grafik
yang sama.
12

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Karakteristik Fisika Kimiawi Lingkungan


Ekosistem lamun di Kabupaten Maluku Tengah (Suli; Paperu) dan Kabupaten
Seram Bagian Barat (Pulau Osi; Pulau Marsegu) dipengaruhi oleh karakteristik
lingkungan perairan dan substrat. Purvaja et al. (2017) menyatakan bahwa
karakteristik lingkungan merupakan faktor penting dalam menentukan distribusi
dan kelimpahan lamun pada suatu perairan. Selain itu Mey (2014) juga
menambahkan bahwa perbedaan tipe substrat dapat mempengaruhi perbedaan jenis
lamun. Kemampuan setiap jenis lamununtuk tumbuh, dan mentoleransi perubahan
lingkungan berbeda-beda. Beberapa parameter perairan dan substrat memiliki
pengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap ekosistem lamun karena
memiliki peran penting dalam mempertahankan keberadaan lamun.Adapun nilai-
nilai parameter fisik dan kimia perairan dan substrat di perairan pesisir lokasi
penelitian disajikan dalam Tabel 2:

Tabel 2 Parameter lingkungan perairan pada stasiun penelitian


Parameter
Suli Paperu Osi Marsegu
lingkungan
Perairan
Suhu (°C) 30.00 ± 1.73 31.67 ± 1.52 32.67 ± 1.15 31.67 ± 1.52
Salinitas (ppm) 33.00 ± 2.64 28.67 ± 2.51 34.00 ± 1.00 33.33 ± 0.57
Nitrat (mg/L) 0.05 ± 0.00 0.05 ± 0.00 0.05 ± 0.00 0.05 ± 0.00
Fosfat (mg/L) 0.01 ± 0.00 0.01 ± 0.00 0.01 ± 0.00 0.01 ± 0.00
TOM (mg/L) 124.26 ± 19.71 65.30 ± 12.78 55.80 ± 7.94 60.00 ± 19.20
BOD (mg/L) 55.00 ± 4.58 42.67 ± 3.05 48.67 ± 7.02 58.00 ± 1.73
Substrat
pH 8.50 ± 0.10 8.57 ± 0.11 8.57 ± 0.11 8.32 ± 0.05
C-organik (mg/L) 0.49 ± 0.08 0.39 ± 0.13 0.39 ± 0.13 0.59 ± 0.05
Nitrat (mg/L) 103.62 ± 10.16 90.60 ± 10.53 90.60 ± 10.53 108.80 ± 41.55
Fosfat (mg/L) 232.49 ± 24.91 202.44 ± 26.76 202.44 ± 26.76 180.32 ± 28.88
Pasir (%) 94.08 ± 1.97 92.38 ± 2.34 92.38 ± 2.34 93.07 ± 1.32
Debu (%) 3.40 ± 1.34 3.80 ± 1.48 3.80 ± 1.48 3.17 ± 1.06
Liat (%) 2.51 ± 0.66 3.89 ± 1.07 3.89 ± 1.07 3.75 ± 0.38
eH (mV) 40.33 ± 52.83 39.78 ± 8.39 39.78 ± 8.39 64.66 ± 14.53

Suhu merupakan faktor penting dalam pertumbuhan lamun khususnya dalam


fisiologi (Lee et al. 2007; Qiu et al. 2017; Bai et al. 2018). Collier et al.(2014)
melaporkan bahwa suhu optimum untuk proses fotosintesis lamun berkisar pada
suhu230C sampai dengan 350C, Hartati et al. (2017) juga menambahkan suhu
maksimal untuk pertumbuhan dan reproduksi teripang adalah 34 0C.
Salinitas suatu perairan dipengaruhi oleh pola sirkulasi air,evaporasi, curah
hujan dan run off. Umumnya nilai salinitas pada setiap perairan akan berbeda-
berbeda, untuk daerah pesisir nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukkan air
tawar. Salinitas perairan berpengaruh secara langsung terhadap kerapatan dan
13

biomassa lamun yang berhubungan dengan produktivitas primer(Hartati et al.


2012).Nilai salinitas optimum untuk pertumbuhan lamun adalah 35.00‰ (Koch et
al. 2001; Rahman et al. 2016) dan 37.30‰ (Purvaja et al. 2017).
BOD yang terukur pada lokasi pengamatan sebesar 42.00-59.00 mg/L. Nilai
BOD umumnya dipengaruhi oleh suhu, densitas, plankton, keberadaan mikroba,
dan kandungan bahan organik.
TOM merupakan kandungan bahan organik total suatu perairan yang terdiri
dari bahan organik terlarut, tersuspensi dan koloid. Nilai TOM yang terukur pada
keseluruhan stasiun berkisar antara 55.80 sampai124.26 mg/L. Nilai Kandungan C-
organik pada substrat ditemukan berkisar dari 0.39 sampai 0.59 mg/L, dan tertinggi
ditemukan dilokasi Marsegu. Kandungan C-organik substrat menunjukkan
banyaknya kandungan bahan organik hasil dekomposisi maupun bahan organik
yang terbawa arus dan mengendap ke substrat.
Derajat keasaman suatu perairan (pH) merupakan salah satu faktor pembatas
bagi biota laut untuk tetap hidup. Martoyo (1994) menyatakan kisaran pH yang baik
untuk kehidupan organisme adalah 7.50 sampai 8.50 hal ini juga sejalan dengan
nilai baku mutu KEPMEN LH No. 51 tahun 2004. pH substrat berkisar dari 7.34
sampai 8.46dan masih tergolong baik untuk pertumbuhan lamun dan teripang.
Pescod (1973) menyatakan bahwa perairan yang bersifat alkali atau basa lebih
produktif dibandingkan perairan asam.
Nilai kadar nitrat perairan secara keseluruhan<0.05 mg/L sedangkan kadar
fosfat <0.01 mg/L. Menurut baku mutu nilai fosfat di perairan yang baik bagi
pertumbuhan biota adalah 0.015 mg/L dan nitrat 0.008 mg/L. Effendi (2003)
menyatakan bahwa konsentrasi nitrat di perairan dipengaruhi oleh proses nitrifikasi,
reduksi nitrat, laju pengambilan nitrat oleh organisme dan suplai nitrat ke perairan.
Kandungan nitrat dalam substrat berkisar dari 90.60 mg/L sampai 108.80 mg/L.
Nilai kandungan fosfat pada substrat berkisar antara 180.32 mg/L sampai 232.49
mg/L. Hasil ini menunjukkan kandungan nitrat dan fosfat pada substrat jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan di kolom perairan, hal ini disebabkan karena dasar
sedimen kaya akan kandungan nutrien yang berasal dari proses pengendapan
organisme dan tumbuhan yang telah mati (Edward dan Taringan 2003), sedangkan
nitratdan fosfat pada kolom perairan dimanfaatkan oleh fitoplankton. Hasil ini
sesuai dengan pendapat Patty (2015) yang menyatakan bahwa secara alamiah fosfat
terdistribusi mulai dari permukaan sampai ke dasar perairan dimana semakin ke
dasar semakin tinggi konsentrasinya dan semakin kearah laut konsentrasinya akan
semakin rendah. Kandungan nitrat tertinggi ditemukan pada lokasiMarsegu dan
terendah ditemukan pada lokasi Paperu dan Osi.
Tipesubstrat ditentukan oleh perbandingan kandungan pasir, liat, dan debu
yang sangat mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan lamun. Rata-rata
fraksi sedimen pada semua stasiun penelitian didominasi oleh pasir dengan
presentase berkisar antara 92.38% hingga 94.08%. Kandungan pasir halus tertinggi
ditemukan pada lokasi Suli dan terendah adalah lokasi Paperu dan Osi. Kandungan
debu ditemukan tinggi pada lokasiPaperu dan Osi sebesar 3.80%. Kandungan liat
ditemukan tinggi pada lokasi Osi dan Paperu 3.89% dan terendah pada lokasi
Marsegu 1.75%. Sedimen juga dikenal sangat membantu mengurangi stres dalam
tingkat pertumbuhan teripang yang disebabkan karena fluktuasi parameter
lingkungan sehingga pada siang hari teripang akan menguburkan dirinya didalam
sedimen (Hartati et al. 2017).
14

Nilai Eh yang tertinggi ditemukan pada lokasi Marsegu sebesar yaitu 64.66
mV dan terendah di lokasi Paperu dan Osi 39.78 mV. Patrick dan Delaune (1997)
menyatakan bahwa nilai Eh yang negatif menunjukkan kondisi yang reduktif.
Odum (1993) menyatakan bahwa sedimen dapat dibagi ke dalam 3 zona
berdasarkan nilai redoks potensialnya, yaitu zona oksidasi yang ditandai dengan
nilai Eh > 200 mV, zona transisi dengan Eh 0 sampai 200 mV dan zona reduksi
dengan nilai Eh < 0.
Hasil analisis PCA kualitas perairan (Gambar 6) menunjukkan adanya
kontribusi dua komponen utama. Sumbu 1 (F1) sebesar 50.37% dan sumbu 2 (F2)
sebesar 22.46 % dengan ragam total mencapai 73.83% (Lampiran 1)
F1 dan F2: 73.83 %)
4
TOM
3 Nitrat
Suli 3
2 Paperu 3
F2 (23.46 %)

1
Paperu2 Paperu 1 BOD
0
Suli 1 Suli 2 Marsegu 3
Marsegu 1
-1 Osi 2 Osi 3
Marsegu 2
Osi 1
-2
Suhu Salinitas
-3
-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4
F1 (50.37 %)

Gambar 6Hasil analisis komponen utama (PCA) kualitas lingkungan

Sumbu F1 (positif) dicirikan oleh dua variabel utama, yaitu salinitas dan BOD
yang tinggi pada stasiun Suli 2, Marsegu 1 dan Marsegu 3, sebaliknya pada sumbu
yang sama F1 (negatif) dicirikan oleh variabel suhu dan nitrat yang tinggi pada
stasiun Suli 1, Paperu 1, Paperu 3, namun memiliki salinitas dan BOD yang rendah.
Pada sumbu F2 (positif) dijumpai nilai variabel TOM yang tinggi pada stasiun Suli
3.
Hasil analisis PCA kualitas sedimen (Gambar 7) menunjukkan kontribusi tiga
komponen utama. Sumbu 1 (F1) 37.63 %, sumbu 2 (F2) 22.13 % dan sumbu 3 (F3)
17.59 %, dengan ragam total mencapai 77.35%. Sumbu F1 (positif) dicirikan oleh
variabel pasir yang tinggi pada stasiun Suli 2, sumbu F1 (negatif) dicirikan oleh
variabel pH, debu, dan liat yang tinggi pada stasiun Paperu 2 dan Osi 2. Sumbu F2
(positif) dicirikan oleh variabel eH yang tinggi pada stasiun Marsegu 2, dan
Marsegu 3, sedangkan sumbu F2 (negatif) dicirikan oleh variabel fosfat yang tinggi
pada stasiun Suli 1 dan Suli 3 sedangkan sumbu F2 positif dicikan oleh variabel c-
organik yang tinggi pada stasiun Marsegu 1 (Lampiran 2).
15

F1 and F2: 59.76 %) F1 and F3: 55.22 %)


4
4 C-organik
eH
3 3

Liat Marsegu 3 Marsegu 2


2 Marsegu 1 2
Osi 1 Debu Marsegu 1
Nitrat

F3 (17.59 %)
Paperu 1 Marsegu 3
F2 (22.13 %)

1 Marsegu 2 1 Suli 3
Osi 2 Liat Fosfat
Paperu 2 Osi 2 Paperu 3eH
0 Paperu 3 Paperu 2
Osi 3 0
Nitrat Pasir Osi 3
-1 Debu pH C-organik
Suli 1 Suli 2
-1
-2 Suli 2 Pasir
Suli 1
-2 Osi 1
Suli 3 Paperu 1
-3 Fosfat pH
-3
-4
-4 -2 0 2 4
-4 -2 0 2 4
F1 (37.63 %) F1 (37.63 %)

Gambar 7Hasil analisis komponen utama (PCA) kualitas substrat

Sebaran Spasial Lamun


Jenis lamun yang ditemukan pada keempat lokasi penelitian adalah 8 jenis,
yaituThalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Enhalus
acoroides, Halophila pinifolia, Syringodium isoetifolium, Halodule uninervis, dan
Halophila ovalis, dimana perairan pesisir Suli terdiri dari enam jenis, Paperu lima
jenis, Osi lima jenis dan Marsegu tujuh jenis (Tabel 3).

Tabel 3 Jenis spesies lamun di lokasi penelitian


No. Jenis Lamun Suli Paperu Osi Marsegu
1 T. hemprichii + + + +
2 C. serrulata + + + +
3 C. rotundata + + - +
4 E. acoroides + + + +
5 H. pinifolia - - - +
6 S. isoetifolium + - - -
7 H. uninervis + + + +
8 H. ovalis - - + +
Sumber : Data Primer (2017).
Keterangan : +Ada jenis lamun.
-Tidak ada jenis lamun.

Padang lamun memiliki kerapatan jenis yang berbeda-beda setiap


spesiesdengan penyebaran yang sangat dipengaruhi oleh topografi dasar pantai, dan
kandungan nutrien pada substrat atau sedimen (Manikandan et al. 2011).De Silva
dan Amarasinghe (2007) menyatakan bahwa karakteristik substrat sangat
berpengaruh terhadap struktur dan kelimpahan lamun, sehingga setiap jenis lamun
memiliki karakteristik substrat yang sangat disukai. Newmaster et al. (2011)
menyatakan bahwa lamun menyukai substrat berlumpur, berpasir, tanah liat, karang
serta celah-celah batu. Menurut Erftemeijer dan Middleburg (1993) lamun
mengambil kurang lebih 90% nutrien untuk pertumbuhannya melalui sistem akar
sehingga akan sangat mempengaruhi jenis serta kerapatan lamun. Jenis lamun yang
16

ditemukan pada keseluruhan lokasi penelitian adalahT. hemprichii, C.serrulata,E.


acoroides, dan H. uninervis.
Hasil analisiskerapatan lamunmenunjukkan total nilai yang tertinggi
ditemukan pada lokasi Suli dengan nilai 68 410 ind/100m2 dan terendah pada lokasi
Paperu yaitu 11 074 ind/100m2(Gambar 8), dimana lokasi Suli sangat berdekatan
dengan ekosisitem mangrove. Fahruddinet al. (2017) menyatakan bahwa ekosistem
lamun yang lokasi ataustasiun pengamatannya berdekatan langsung dengan
ekosistem mangrove akan memiliki kerapatan yang tinggi dikarenakan
karakteristik habitat dan arusnya cenderung lebih tenang.

40000 Suli Paperu Osi Marsegu


35000
Kerapatan (Ind/100 m2 )

30000

25000

20000

15000

10000

5000

0
Th Cs Cr Ea Si Hu Hp Ho

Jenis lamun
Keterangan
Th: T. hemprichii Cr: C. rotundata Si: S. isoetifolium Hp: H. pinifolia
Cs: C. serrulata Ea: E. acoroides Hu: H. uninervis Ho: H. ovalis
Gambar 8 Kerapatan rata-rata jenis lamun

Jenis T. hemprichiimemiliki kerapatan tertinggi hampir pada seluruh lokasi


yang berkisar antara 5 654 sampai 27 451 ind/100m2 dengan jumlah total seluruh
stasiun sebesar 64 407 ind/100m2. Tingginya nilai kerapatan ini diduga karena
T.hemprichiimemiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap semua tipe
substrat, hal ini didukung oleh pernyataan den Hartog (1970) bahwa T.
hemprichiihidup pada semua jenis substrat yang bervariasi dari pecahan karang
hingga substrat lunak, dan biasanya membentuk padang lamun yang padat (Short
dan Coles 2001). Yunitha et al. (2014) juga menyatakan bahwa T. hemprichii
mampu hidup dengan baik pada substrat pasir dengan diameter yang besar. Jenis
C.serrulata, E. acoroidesdan H. uninervis ditemukan juga pada setiap stasiun, hal
ini diduga dipengaruhi oleh kondisi substrat yang sesuai dimana hampir seluruh
stasiun pengamatan didominasi oleh substrat pasir. Hasil ini sejalan dengan laporan
Tomscik et al.(1997) bahwa H. uninervislebih banyak hidup pada substrat pasir
halus hingga kasar di zona intertidal dan subtidal. C.serrulata hidup pada daerah
dangkal yang tertutup pasir dan memiliki toleransi yang tinggi pada daerah terbuka,
sehingga ketiga jenis lamun tersebut mampu mentoleransi berbagai karakteristik
17

lingkungan perairan. C.serrulataditemukan tinggi pada lokasi Marsegu sebesar 28


301 ind/100m2 dimana kandungan nitrat dan BOD yang tinggi.
Jenis lamun E. acoroidesumumnya memiliki kemampuan beradaptasi
terhadap berbagai tipe substrat (Ismet 2016),sehingga dapat ditemukan pada
keseluruhan lokasi.Menurut Short dan Coles (2001) E. acoroidesmerupakan jenis
lamun yang biasanya ditemukan di perairan yang lebih dalam pada substrat
berlumpur dan penyebarannya terbatas pada daerah intertidal dan perairan dangkal.
Kerapatan jenis ini ditemukan rendah di lokasi Paperu yang hanya sebesar 2 017
ind/100m2, hal ini diduga karena dilokasi Paperu ditemukan karang-karang keras
sehingga E. acoroides sulit untuk tumbuh.
C. rotundataumumnya memiliki toleransi yang tinggi pada daerah terbuka
dan hidup pada perairan dangkal yang tertutup pasir dan karang (den Hartog 1970).
Hasil analisis kelimpahan jenis C. rotundataberkisar dari 155ind/100m2 sampai 2
521ind/100m2danditemukan tinggi pada lokasi Suli dimana substrat pada lokasi
tersebut adalah pasir bercampur karang keras, sedangkan pada lokasi Pulau Osi
tidak ditemukan jenis C. rotundata.
S. isoetifoliummerupakan jenis lamun yang ditemukan dengan jumlah
kerapatan yang rendah dan hanya ditemukan pada lokasi Suli yaitu sebesar 7
160ind/100m2. S. isoetifoliumjuga ditemukan berasosiasi dengan jenis lamun yang
lain. Short dan Coles (2001) menyatakan bahwa S. isoetifolium merupakan jenis
lamun dengan penyebaran yang terbatas. Rendahnya kerapatan jenis S.
isoetifoliumjuga disebabkan karena toleransinya yang sempit terhadap kekeringan.
Philips dan Menez (1998) menjelaskan bahwaS. isoetifolium hanya mampu
mentoleransi kekeringan dalam waktu singkat. Kuriandewa (2009) menambahkan
bahwa S. isoetifoliumdapat dijumpai pada substrat berlumpur sampai pasir dan tidak
ditemukan pada tempat-tempat yang mengalami pemaparan jangka panjang saat
surut rendah, selain itu bentuk morfologi daun S. isoetifoliumtidak memungkinkan
air terperangkap diantara daun. Hal ini berbeda dengan lamun yang memiliki daun
tipis dan sering saling melekat dan memerangkap air diantara daun tersebut,
sehingga dapat bertahan terhadap pemaparan matahari yang lebih lama (Tomascik
et al. 1997).
H. ovalis memiliki kerapatan yang sangat rendah dengan nilai kerapatan
hanya 860 ind/100 m2di lokasi Marsegu dan 1 413 ind/100m2di Osi, hal ini
dikarenakan H. ovalis memiliki penyebaran yang sempit, dan terbatas di dekat
daratan dengan substrat berpasir, dibandingkan lamun jenis lain yang memiliki
penyebaran yang lebih luas. Nienhuis et al. (1989) manyatakan bahwa H.
ovalissering terlihat sebagai spesies pembuka yang mendiami substrat pasir. Short
dan Coles (2001) juga menjelaskan bahwa Halophila dan Halodule merupakan
spesies pioner yang biasanya ditemukan di pesisir pantai. Jenis ini juga merupakan
jenis lamun dengan ukuran yang paling kecil jika dibandingkan dengan jenis
lainnya, sehingga memberikan keuntungan untuk dapat bertahan hidup pada daerah
intertidal atau tepian pantai yang selalu terpapar cahaya matahari ketika surut
dibandingkan dengan jenis lain, dan spesies ini selalu terendam didalam air
walaupun dalam keadaan surut, sehingga dari 8 jenis lamun yang ditemukan jenis
lamun H. pinifoliamemiliki nilai kerapatan terendah yaitusebesar 900 ind/100m2
dan hanya ditemukan pada lokasi Marsegu.

Komposisi dan Kepadatan Teripang


18

Teripang yang ditemukan pada keseluruhan lokasi penelitian terdiri dari 3


genus, Actinopyga yaitu Actinopyga echinites, Actinopygalecanora,
Actinopygamiliaris, Bohadschia yaitu Bohadschia bivittata, Bohadschia
marmorata, Bohadschia similis, Bohadschia vitiensis, Holothuria yaitu Holothuria
arenicola, Holothuriaatra, Holothuria endulis, Holothuria forskali, Holothuria
leucospilota, Holothuria scabra, dan Holothuria spiniferadan kelas Sticopus yaitu
Sticopus horrens. Jenis yang ditemukan pada setiap stasiun penelitian sangat
beragam seperti yang ditampilkan pada Tabel 4 (Lampiran 3).

Tabel 4Jenis teripang dan jumlah yang ditemukan pada lokasi penelitian
No. Jenis Teripang Suli Paperu Osi Marsegu
1 A. echinites 10 0 0 0
2 A. lecanora 9 0 0 0
3 A. miliaris 0 0 0 14
4 B. argus 11 0 0 0
5 B. bivittata 0 7 2 0
6 B. marmorata 19 4 20 0
7 B. similis 0 0 13 13
8 B. vitiensis 15 10 0 0
9 H. arenicola 7 0 0 0
10 H. atra 18 18 12 17
11 H. edulis 0 13 2 0
12 H. forskali 10 0 0 0
13 H.leucospilota 0 0 10 0
14 H. scabra 68 12 30 20
15 H. spinifera 0 0 6 0
16 S. horrens 0 3 0 0
Sumber : Data Primer (2017).

Komposisi jenis teripang yang di Kabupaten Maluku Tengah(Suli dan


Paperu) menunjukkan bahwa jenis H. atra ditemukan dengan komposisi 25% pada
lokasi Paperu dan H. scabra ditemukan 41% di lokasi Paperu kedua jenis ini lebih
tinggi dibandingkan jenis lainnya, sedangkan jenis A. echinites, A. lecnora,B. argus,
H. forskali, dan H. arenicola hanya ditemukan pada lokasi Suli untuk jenisH. edulis,
H. leucospilota, B. bivittata dan S. horrnes hanya ditemukan pada lokasi Paperu.
Perbedaan jenis ini diduga karena adanya perbedaan kualitas lingkungan serta jenis
lamun pada masing-masing lokasi.
Komposisi jenis teripang di Kabupaten Seram Bagian Barat didominasi oleh
H. scabrasebesar 32% (Gambar 9), namun beberapa jenis teripang hanya
ditemukan pada lokasi Osi yaitu B. bivittata, B. marmorata, H. leucospilota, dan H.
spinifera, sebaliknya untuk jenis A. miliaris hanya ditemukan pada lokasi Marsegu,
hal ini diduga karena adanya perbedaan jenis dan kerapatan lamun, dimana jenis
lamun C. rotundata dan H. pinifolia hanya ditemukan pada stasiun Marsegu, dan
total jenis lamun yang ditemukan adalah 7 jenis sedangkan Osi hanya 5 jenis tetapi
perbedaan yang sangat signifikan ditemukan pada jumlah kerapatan jenis lamun
dimana kerapatan jenis lamun di Osi lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi
Marsegu, hanya jenis C. serrulatayang ditemukan jauh lebih tinggi pada lokasi
19

Marsegu dimana kerapatan jenis pada lokasi Marsegu ditemukan mencapai 28


301ind/100m2 sedangkan stasiun Osi hanya 5 317 ind/100m2, sehinggatotal jenis
teripang di Marsegu jauh lebih sedikit yaitu 4 jenis dibandingkan pada lokasi Osi
ditemukan total 8 jenis.
A.
Suli B.
A.
Paperu lecanora
S. Horrens bivittata 6%
echinites
4% 10%
B. 6%
B. argus
marmorat 6%
H. scabra
a
21%
5%
B. vitiensis H. scabra B.
H.
13% 41% marmorat
leucospilo
a
ta
11%
3%

B. vitiensis
H. edulis H. atra 9%
19% H.
25%
H. forskali H. atra arenicola
6% 11% 4%

Osi B. bivittata Marsegu


H. spinifera
6% 2%

B.
marmorata H. scabra
21% 32% A. miliaris
22%
H. scabra
32%
B. similis
14%
B. similis
20%
H. H. atra
leucospilota H. edulis 12% H. atra
11% 2% 26%

Gambar 9Persentase komposisi teripang di Suli, Paperu, Osi, dan Marsegu

Kepadatan setiap spesies teripang sangat bervariasi antara setiap lokasi atau
perairan (Dissanayake dan Stefasson 2012). Hasil analisis kepadatan masing-
masing lokasi ditemukan jenis H. scabramemiliki kepadatan tertinggi pada lokasi
Suli dan Marsegu dengan nilai kepadatan masing-masing 19.84 ind/100 m2dan
15.30 ind/100 m2, jenis B. bivittataditemukan memiliki kepadatan tertinggi pada
lokasi Paperu sebesar 16 ind/100 m2, dan jenis H.leucospilotaditemukan tertinggi
di lokasi Osi 25 ind/100 m2 akan tetapi kepadatantotal tertinggi teripang di
Kabupaten Maluku Tengah (Gambar 10) dan Kabupaten Seram Bagian Barat
ditemukan pada jenis H. scabra, H. atra dan B. marmoratalebih tinggi
dibandingkan dengan jenis-jenis lainnya (Lampiran 4).
20

Perbedaan jenis dan penyebaran ini diduga karena adanya perbedaan kualitas
lingkungan dan jenis lamun yang mendukung untuk kehidupan dan kelimpahan
teripang di alam. Purcell et al. (2009) menyatakan bahwa H. atra adalah spesies
yang paling banyak dalam setiap penelitian kelimpahannya dapat mencapai 2.50
ind/25 m2. Namun dalam penelitian ini ditemukan total kepadatantertinggi adalah
H. scabrayang mencapai 66.40 ind/100m2, disusul oleh H. atra 56.40 ind/100m2
dan B. marmorata 41.40 ind/100m2.

Gambar 10 Jenis dan kepadatan teripang yang ditemukan pada lokasi


penelitian

Kepadatan tertinggi H. scabra diduga karena teripang ini memiliki


10

8
Kepadatan ind/100 m2

0
Suli Paperu Osi Marsegu
Lokasi Penelitian
A. echinites A. lecanora A. miliaris B. argus
B. bivittata B. marmorata B. similis B. vitiensis
H. arenicola H. atra H. edulis H. forskali
H. leucospilota H. scabra H. spinifera S. horrens

kemampuan untuk hidup pada berbagai habitat sehingga memiliki banyak


kesempatan untuk berkembang, sedangkan kepadatanteripang yang
rendahdisebabkan karena kurangnya kemampuan bersaing untuk menempati
habitat dan eksploitasi berlebih.Hasan (2005) menyatakan bahwa daerah berpasir
merupakan habitat yang paling cocok untuk H. scabra.Uthicke (2001)
menambahkan bahwa H. atra adalah spesies paling melimpah dengan distribusi
yang sangat luas dan sebagian besar pada wilayah Indo-Pasifik serta tergolong
dalam kelompok fissiparous bersama dengan H. leucospilota yaitu jenis teripang
yang mampu bereproduksi dengan cara membelah diri. Hyman (1995), Kamarudi
et al. (2009), Jontila et al. (2014) juga mengemukakan bahwa daerah Indo-Pasifik
bagian barat merupakan daerah yang sangat kaya akan teripang jenis Actinopya,
Holothuria dan sctihopus, hal ini juga sejalan dengan Yusron (2004) yang
menemukan bahwa teripang jenis holothuria dengan frekuensi kehadiran tertinggi
yaitu H. scabra sebesar 60%, H. atra 36.24% dan B. marmorata sebesar 16.14%.
Marsegu merupakan lokasi penelitian dengan kelimpahan terendah dimana
hanya empat jenis teripang yang ditemukan yaitu A. miliaris, B. similis, H. atra,
dan H. scabra. Hal ini diduga karena Pulau Marsegu adalah pulau yang tak
berpenduduk, dan hanya dikelilingi oleh hutan, sehingga hasil pengukuran
21

kandungan fosfat pada substrat lebih rendah dibandingkan dengan lokasi lainnya,
dimana ortofosfat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
keanekaragaman teripang dan sangat berguna dalam daur siklus fosfor (Komala
2015), sehingga hanya jenis-jenis tertentu saja yang dapat ditemukan pada lokasi
ini. Didalam siklus fosfat hewan laut akan melepaskan sebagian besar fosfor dalam
bentuk kotoran yang akan terlarut, fosfor yang dilepaskan bersamaan dengan
kotoran hewan akan mengendap pada substrat dan dimanfaatkan sebagai makanan
bakteri dan plankton (Romimahtarto dan Juwana 2007). Kondisi ini berbanding
terbalik dengan lokasi Suli yang ditemukan 9 jenis, Paperu 7 jenis, dan Pulau Osi 7
jenis. Hal ini diduga karena adanya pengaruh sungai pada lokasi Suli dan Paperu
yang turut mempengaruhi kandungungan nutrien dan fosfat yang masuk ke perairan
sehingga kandungan nutrien dan fosfat pada kedua lokasi tersebut sangat tinggi.
Selain itu ditemukan juga ekosistem mangrove padalokasi Sulidan Osi yang
mendukung kehidupan dan kelimpahan jenis teripang sehingga jenis teripang pada
lokasi ini lebih tinggi dibandingkan dengan tiga lokasi lainnya. Tinggi rendahya
kelimpahan teripang di suatu perairan juga dipengaruhioleh eksploitasi, predator,
dan substrat. Purwati et al. (2008) menjelaskan bahwa tinggi rendahnya kelimpahan
teripang pada suatu wilayah juga dipengaruhi oleh faktor alam yaitu daya dukung
lingkungan dan cara hidup yang soliter. Lee et al. (2008) juga menambahkan bahwa
densitas alami teripang sangat berhubungan dengan adanya daya dukung
lingkungan.Yanti et al. (2014) dan Namukose et al. (2016) menyatakan bahwa
predator dari teripang adalah kepiting, bintang laut dan bulu babi berukuran besar
sehingga dapat menjadi salah satu faktor menurunnya kelimpahan teripang. Hal ini
dikarenakan hewan-hewan tersebut menempel pada tubuh teripang sehingga
mengakibatkan luka yang besar pada tubuh teripang dan menyebabkan gangguan
fisiologis serta pertumbuhan dan menyebabkan kematian teripang. Lison de loma
et al. (2000) menyatakan bahwa daerah dengan kehadiran bulu babi yang tinggi
dapat mengubah 70% dari konsumsi alga dalam detritus sebagai feses. Mustaqim
(2013) juga menyatakan bahwa Diadema setasumbanyak ditemukan pada
ekosistem lamun dan daerah berpasir.Selama proses penelitian dilakukan hewan
bintang lautditemukan sebanyak 30 hingga 75 individu danbulu babi Diadema
setasum25 hingga 63 individu pada lokasi Paperudan Marsegu, sehingga jenis
teripang lebih banyak ditemukan pada lokasi Suli dan Osi karena kurangnya
predator dan persaingan makanan, serta ruang atau habitat. Selain faktor ekologis,
faktor sosial juga berpengaruh terhadap kepadatan teripang, dimana tekanan
lingkungan dari masyarakat, dan pengambilan teripang yang tidak ramah
lingkungan juga dapat merusak ekosistem teripang sekaligus mengurangi jumlah
stok teripang di alam (Nirwana et al. 2016; Madduppa et al. 2017). Selain itu lokasi
Marsegu ditemukan memiliki tekanan lingkungan yangsangat tinggi, walaupun
Marsegu merupakan lokasi hutan, namun dimanfaatkan oleh masyarakat yang
beradapada pulau-pulau tetangga (Buano, Osi, Waisal) secara berlebihan untuk
semua sumberdaya yang dimilikinnya, termasuk teripang. Kurang adanya
pengawasan pemerintah menjadikan pulau ini di eksploitasi secara berlebih
sehingga semakin berkurangnya segala sumberdaya yang ada didalamnya.
22

Keanekaragaman Keseragaman dan Dominansi Teripang


Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) spesies
merupakan kajian indeks yang sering digunakan untuk menduga kondisi suatu
perairan berdasarkan komposisi biologi. Keanekaragaman merupakan sifat
komunitas yang ditentukan oleh banyaknya jenis serta kemerataan kelimpahan
individu tiap jenis yang diperoleh (Odum 1993) (Gambar 11).

1,85 H' E C
1,77
1,69

1,31

1,01
0,91 0,95
0,87

0,24 0,19 0,22 0,28

Suli Paperu Osi Marsegu

Gambar 11 Keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dominansi (C)

Gambar 11 menunjukkan keanekaragam teripang yang ditemukan pada


keseluruhan lokasi berkisar dari 1.31 sampai 1.85, dimana keanekaragam tertinggi
ditemukan pada lokasi Sulidan terendah ditemukan di lokasi Marsegu
Keanekaragaman jenis teripang pada keseluruhan lokasi penelitian masih tergolong
dalam kategori keanekaragaman sedang (Krebs 1989) dengan tekanan ekologis
sedang.Namun untuk lokasi Marsegu harus menjadi perhatiaan karena
keanekaragamnnya yang paling rendah.
Indeks keseragaman ditemukan tinggi di Suli yang artinya bahwa jenis
teripang yang di stasiun tersebut memiliki kelimpahan yang sama, berbeda dengan
keseragaman jenis teripang pada lokasi-lokasi yang lainnya baik Paperu, Osi,
maupun Marsegu, dimana nilainya berkisar dari 0.87 sampai 0.95 yang
menunjukkan bahwa kelimpahan jenis teripang tidaklah sama.
Hasil analisis indeks dominansi teripang menunjukkan bahwa tidak ada jenis
yang mendominasi di kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian
Barat dimana nilai indeksnya hanya berkisar dari 0.19 sampai dengan 0.28.

Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi


Analisis hubungan panjang dan berat merupakan faktor yang
menggambarkan pola pertumbuhan. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi
(Kn) dilakukan pada jenis teripang yang total keseluruhan lokasiditemukan tinggi
yaitu H. atra, H. scabra dan B.marmorata(Gambar 12). Jenis H. atra memiliki
ukuran panjang yang berkisar dari 9.50-27.00cm dan berat 50.00-270.00g, H.
scabra memiliki ukuran panjang 8.10-28.50 cm dan berat 30.00-320.00 g,
23

sedangkan jenis B. marmorata memiliki kisaran ukuran panjang dari 8.40-34.00cm


dan berat 30.00-390.00 g.

Tabel 5Nilai b, R2 , r dan Kn


Jenis Jumlah (N) B R2 R Kn
H. atra 65 1.60 0.60 0.77 1.11
H. scabra 132 1.59 0.56 0.74 1.10
B. marmorata 43 2.07 0.67 0.81 1.11
Sumber : Data primer (2017).
Keterangan:
b: koefisien hubungan panjang berat
R2: Koefisien determinasi
r: korelasi
Kn: Faktor Kondisi

Hubungan panjang berat teripang H. atra, H. scabra, dan B.


marmoratamenunjukkan pola pertumbuhan allometrik negatif yaitu pertumbuhan
panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan berat yang ditunjukkan
dengan nilai b < 3. Keterkaitan antara variabel panjang berat dapat terlihat dari nilai
korelasi (r) sebesar 0.74-0.81 (Tabel 5) hasil ini menunjukkan bahwa pertambahan
panjang berpengaruh terhadap pertumbuhan berat, hal ini dikarenakan teripang
lebih banyak mengandung air sehingga bentuk tubuhnya semakin panjang, namun
apabila air dikeluarkan dari tubuhnya maka tubuh teripang akan semakin kecil atau
mengerut (Uneputty et al. 2014). Besarnya kesesuian pengaruh panjang tubuh
terhadap berat total teripang dapat dilihat berdasarkan besarnya nilai koefesien
determinasi (R2). Keseluruhan nilai koefisien determinasi dari persamaan antara
panjang dan berat total teripang berkisar dari 0.56 hingga 0.67 yang menunjukkan
bahwa 56% sampai 67% fluktuasi data pertumbuhan berat total dapat terlihat atau
tergambarkan oleh model pertumbuhan panjang teripang H. atra, H. scabra dan B.
marmorata. Hasil ini sesuai dengan penelitian Gultom (2004), Uneputty et al.
(2014), Kaenda et al. (2016) dan Fagetti dan Villalobos (2016).
Hubungan pertumbuhan panjang dan berat teripang juga dipengaruhi oleh
karakteristik lingkungan perairan dimana ketika terjadi tekanan lingkungan maka
akan sangat mengganggu keseimbangan, akibatnya sebagian besar energi
dimanfaatkan untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi yang kurang mendukung
sehingga dapat merusak sistem pencernaan serta transportasi zat-zat makanan
dalam darah (Kaenda at al. 2016).
Pertumbuhan teripang dapat dipengaruhi oleh faktor dari dalam individu
(internal) dan faktor dari lingkungan (eksternal). Faktor internal yang
mempengaruhi pertumbuhan teripang adalah umur, dan jenis kelamin, sedangkan
faktor eksternalnya yaitu suhu, makanan, pH, kandungan oksigen terlarut, dan
kompetitor.
24

a b

Gambar 12Hubungan panjang berat H.atra(a), H.scabra(b) dan B. marmorata(c)

Faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan optimal teripang adalah


suhu perairan berkisar 27-34°C (Hartati et al. 2017) suhu sangat berpengaruh
terhadap reproduksi sedangkan pH 6.5–8.5 (Martoyo 1994). Makanan teripang
umunya adalah diatom, protozoa, nematoda, copepoda, ostrakoda, filamen alga dan
lamun (Aziz 1996). Teripang mencari makanan pada malam hari (Kerr 2006), dan
umumnya untuk jenis Holothuria seperti H. atra dan H. scabra akan bergerak atau
keluar dari tempat persembunyiannya didalam substrat pada saat matahari terbenam,
yaitu sekitar pukul 19.00 WIT dan akan terus bergerak sampai pukul 03.00 WIT
sebelum matahari terbit dan akan kembali masukkedalam substrat (Navarro 2013).
Teripang cendrung untuk memodifikasikan perilaku makan dan kemampuan
pencernaannya untuk mengoptimalkan asupan nutrisi dari perairan dan substrat
(Zamora dan Jeffs 2011). Tingkat pertumbuhan teripang juga dipengaruhi oleh
persaingan untuk memperoleh makanan dan ruangan (Davies et al. 2011). Ketika
makanan berkurang maka kepiting dan isopoda akan memakan teripang.
Berdasarkan hubungan pajang dan berat teripang yang telah dilakukan
ditemukan faktor kondisi H. atra dan B. marmorata adalah sama 1.11 sedangkanH.
scabra 1.10.Hasil ini menunjukkan Kn >1, yang mengindikasikan bahwa kondisi
teripang pada perairan Suli, Paperu, Osi, dan Marsegu tergolong sangat baik
terutama untuk tingkat kemontokannya. Effendie (1997) menjelaskan bahwa faktor
kondisi menunjukkan suatu keadaan yang baik dari suatu biota yang dilihat dari
kapasitas fisik secara biologi untuk survival dan bereproduksi dan secara komersial
memiliki arti bahwa kondisi ini menunjukkan kualitas dan kuantitas daging teripang
yang baik dan gemuk. Faktor kondisi disebabkan oleh pengaruh makanan, umur,
jenis kelamin dan kematangan gonadnya (Effendie 2002), sehingga dapat
diasumsikan bahwa makan yang tersedia pada keempat lokasi tersebut masih
25

tergolong baik untuk mendukung kelangsungan hidup teripang dengan jenis dan
kelimpahan yang berbeda-beda yang dapat terlihat dari nilai TOM, dan kandungan
C-organik (Tabel 2) ditemukan pada keseluruhan lokasi, hasil ini menunjukan juga
bahwa teripang yang ditemukan sedang dalam tahap pertumbuhan.
Analisis regresi yang dilakukan antara teripang H. scabra, H. atra, dan B.
marmorata dengan 8 jenis lamun yang dikelompokkan kedalam dua kategori yaitu
kelompok lamun besar yaitu jenis T. hemprichii dan E. acoroides sedangkan
kelompok lamun kecil adalah C. serrulata, C. rotundata, S. isoetifolium, H.
pinofolia,H. uninevisdan H. ovalis.

7 12
y = 0.0001x + 1.025
6

H. scabra ( ind/100 m2 )
R² = 0.86 10 y = 6E-05x + 1.4727
H. scabra ( ind/100 m2 )

5 R² = 0.14
8
4
3 6

2 4
1 2
0
0
0 20000 40000 60000
0 20000 40000 60000 80000
Kerapatan jenis lamun besar (ind/100 m2 ) Kerapatan jenis lamun kecil (ind/100 m2 )

Gambar 13Hasil analisis regresi antara H.scabra dengan jenis lamun

Lamun yang ditemukan pada keseluruhan lokasimenunjukkan bahwa


jenisH. scabra memiliki hubungan erat dengan jenis lamun berukuran besar sebesar
(R2= 0.86) (Gambar 13)sedangkan memiliki hubungan yang sangat kecil dengan
jenis lamun berukuran kecil hanya sebesar (R2= 0.14). Hal ini mengindikasikan
bahwa H. scabradipengaruhi oleh lamun dari jenis berukuran besar (T. hemprichii
dan E. acoroides) yang menghasilkan banyak serasah sebagai pakan bagi H. scabra
yang memakan serasah

4
y = 6E-05x + 0.5518 5
R² = 0.58 y = 3E-05x + 0.7714
H.atra ( ind/100 m2 )

H. atra ( ind/100 m2 )

3 4 R² = 0.41

3
2
2
1
1
0 0
0 20000 40000 60000 0 20000 40000 60000 80000
Kerapatan jenis lamun besar (ind/100 m2 ) Kerapatan jenis lamun kecil (ind/100 m2 )

Gambar 14Hasil analisi regresi H. atradengan jenis lamun


26

Jenis H. atra memiliki hubungan erat baik dengan lamun kelompok ukuran
besar maupun jenis lamun kelompok ukuran kecil, dimana hasil regresi
menunjukkan hubungan yang erat(R2= 0.58) dengan kelompok lamun ukuran besar
(Gambar 14) dan (R2= 0.41) dengan kelompok jenis lamun berukuran kecil. Jenis
B. marmorata ditemukan memiliki regresi yang lebih besar dengan jenis lamun
ukuran besar yaitu sebesar 0.64 dibandingkan jenis lamun ukuran kecil yang hanya
0.34 (Gambar 15). Hasil ini menunjukkan kehadiran jenis teripang H. scabra, H.
atra dan B. marmoratadapat ditemukan lebih besar atau tinggi pada jenis lamun
berukuran besar dibandingkan jenis lamun kecil, hal ini dikarenakan jenis lamun
besar memiliki umur hidup yang panjang sehingga memiliki ukuran kanopi daun
yang lebih besar dan dapat dimanfaatkan oleh teripang sebagai tempat berlindung
dari predator maupun melindungi diri perubahan suhu yang terjadi, selain itu jenis
lamun besar juga memiliki kandungan nutrient yang lebih banyak dibandingkan
jenis lamun kecil yang memiliki umur pendek dan jumlah kandungan nutrient yang
lebih sedikit.

3 4 y = 3E-05x + 0.4343
y = 5E-05x + 0.2118
B. marmorata ( ind/100 m2 )

R² = 0.64
B. marmorata ( ind/100 m2 ) R² = 0.38
3
2
2
1
1

0 0
0 20000 40000 60000 0 20000 40000 60000 80000
Kerapatan jenis lamun besar (ind/100 m2 ) Kerapatan jenis lamun kecil (ind/100 m2 )

Gambar 15Hasil analisis regresi B. marmorata dengan lamun

Asosiasi Teripang dengan Lamun

Hasil analisis CA (Gambar 16) (Lampiran 5) menunjukkan bahwa sebaran


teripang pada stasiun penelitian terpusat pada 3 sumbu utama. F1 sebesar 40.18%,
F2 28.17% dan F3 21.02% dengan ragam total sebesar 89.37%, dengan korelasi
yang membentuk 5 kelompok.Kelompok pertama mengasosiasikan teripang jenis
A. echinites, A. lecanora, B. argus,B. vitiensis, H. arenicola, dan H. forskali pada
stasiun Suli 1, Suli 2, dan Suli 3. Kelompok kedua B. similis pada stasiun Osi 1 dan
Osi 3. Kelompok ketiga A. miliaris dan H. scabra pada stasiun Marsegu 1, Marsegu
2 dan Marsegu. Kelompok 4 adalah B. bivittata, B. marmorata, H. edulis, S.
horrens pada stasiun Paperu 1, Paperu 2 dan Paperu 3. Kelompok kelima H.
leucospilota, H. spinifera pada stasiun Osi 2 dan kelompok H.atra.
27

Gambar 16Hasil koresponden analisis (CA) antara teripang dengan stasiun


penelitian pada sumbu F1, F2, dan F3

Hasil CA (Gambar 15 dan Gambar 16) tersebut menunjukkan adanya asosiasi


berbeda antara jenis teripang dengan jenis lamun pada lokasi penelitian dengan
terbentuknya 5 kelompok asosiasi. Kelompok pertama menjelaskan teripang jenis
A. echinites, A. lecanora, B. argus, B. vitiensis, H. atra, H. forskali,
H.leucospilota,dan H. scabra berasosiasi dengan lamun jenisT. hemprichii yang
berada pada lokasi Suli (stasiun 1 dan stasiun 2), dan Pulau Osi (stasiun 2).
Mengelompoknya jenis 8 teripang diduga karena jenis lamun T.
hemprichiimerupakan jenis lamun ukuran besar yang memiliki umur hidup yang
panjang dan ukuran daun yang besar sehingga dapat dijadikan tempat berlindung
dari predator dan perubahan suhu yang terjadi, karena teripang merupakan
oraganisme nokturnal yang tidak menyukai cahaya matahari, selain itu pada lokasi
Suli ditemukan juga kandungan pasir halus yang tinggi dimana nitrat dan fosfat
yang ditemukan tinggi dapat tertahan dengan baik dan dimanfaatkan oleh teripang
untuk proses pertumbuhan dan fisiologi.Kelompok kedua menjelaskan teripang
teripang jenis A. miliarisdanH. scabraberasosiasi dengan jenis lamun C. serrulata
, H. pinifolia, dan H. ovalispada lokasi Marsegu stasiun 1, stasiun 2, dan stasiun 3.
Kelompok ketiga menjelaskan teripang jenis H. edulis, A. lecanora, B. argus, B.
vitiensis, H. atra, danH. forskali berasosiasi denganjenis lamun C. rotundata, dan
S. isoetifoliumpada Suli stasiun 3. Kelompok keempatteripang jenisB. bivittata, B.
marmorata, H. edulis, S. horrens berasosiasi dengan lamun jenis E. acoroidesdi
lokasi Paperu stasiun 3 Kelompok kelima menjelaskan teripang jenis B. similis, A.
miliaris, dan H. scabraberasosiasi dengan lamun jenis H. uninervisdi lokasi Pulau
Osi stasiun 1 dan Pulau Marsegu 3 (lampiran 6) Perbedaan sebaran tersebut diduga
akibat perbedaan preferensi dari jenis lamun yang dipengaruhi oleh substrat,
kandungan nutrien, aktifitas manusia atau penduduk yang berada di sekitar lokasi
penelitian (Kiswara dan Winardi 1994) Menurut Dissnayake dan Stefansson (2012),
kebanyakan teripang adalah pemakan deposit dan akan berkumpul pada lamun yang
rapat serta memiliki pola penyebaran yang mengelompok dengan jenis yang lainnya
atau dalam jumlah 5 sampai 6 jenis.Skewes et al. (2000) menyatakan bahwa
kelimpahan teripang sangat berhubungan erat dengan kerapatan lamun. Aziz (1987)
juga menyatakan berkumpulnya teripang tertentu pada suatu habitat menunjukkan
bahwa keberadaan teripang tersebut dipengaruhi oleh ketersedian sumber bahan
28

makanan pada habitat tersebut, dimana pada daerah lamun yang rapat kaya
akanakumulasi partikel dan detritus yang menjadi makanannya.Kerapatan jenis
lamun T. hemprichii merupakan jenis yang paling tinggi dibandingkan dengan jenis
yang lain. Dahuri (2003) menjelaskan bahwa lamun jenis ini memiliki jumlah yang
cukup berlimpah dan sering dominan pada padang lamun campuran, selain itu
tingginya kerapatan juga berdampak pada jenis teripang yang hidup berasosiasi
dengannya.

Gambar 17Hasil koresponden analisis (CA) antara lamun dengan stasiun penelitian
pada sumbu F1, F2, dan F3

Lamun jenis T. hemprichi dan E. acoroides tergolong dalam kategori lamun


yang berukuran besar, memiliki toleransi yang luas dibandingkan lamun yang
berukuran kecil seperti H. uninervis, C. rotundata, C. serulata,H. ovalis, H.
pinifolia, S. isoetifolium, serta memiliki kerapatan lebih tinggi dibandingkan
dengan jenis lamun yang lain.Jenis lamun berukuran besar menghasilkan bahan
organik lebih besar dibandingkan jenis lamun berukuran kecil sehingga menjadi
daya tarik bagi teripang sebagai tempat berlindung yang aman dari ancaman
predator dan sebagai sumber bahan makanan, karena lamun yang berukuran besar
juga mampu memerangkap sedimen yang mengandung bahan organik yang berasal
dari laut dan daratan melalui ketebalan daunnya dan sistem perakaran yang kuat.
Slater et al. (2011) menjelaskan bahwa teripang cendrung berkonsentrasi di
daerah dengan tingkat bahan organik yang tinggi. Hasil pengukuran kandungan
organik dari keempat lokasi ditemukan tinggi pada lokasi Pulau Marsegu,
sedangkan kandungan fosfat tertinggi ditemukan pada lokasi Suli, pada kedua
lokasi ini juga ditemukan kandungan nitrat yang tinggi sehingga sangat berdampak
pada keberadaan jumlah teripang dan jenisnya. Fosfat dibutuhkan semua organisme
untuk sintesis energi (ATP), asam nukleat, pembentukan protein dan asam amino,
serta senyawa penting lainnya.
Secara umum lamun jenis T. hemprichii,E. acoroides, H. uninervis C.
rotundata, C. serrulata merupakan habitat yang baik bagi kehidupan teripang
karena diduga substrat pada jenis lamun tersebut menyediakan serasa atau bahan
29

organik yang lebih banyak sebagai makanan teripang dibandingkan dengan jenis
lamun lainnya.Teripang juga memiliki kemampuan untuk mengubah habitat
penting di dalam ekosistem lamun. Menurut Costa et al .(2014) melalui aktivitas
makannya, teripang berperan dalam mempercepat degradasi bahan organik dan
mempengaruhi ketersedian bahan organik atau mentransfer bahan organik yang
berasal dari serasah lamun.

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Karakteristik kondisi lingkungan pada ekosistem lamun di Kabupaten


Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat sangat beragam. Lokasi Suli dipengaruhi
oleh TOM, salinitas dan kandungan fosfat yang tinggi dengan enam jenis lamun,
lokasi Paperu dan Osi lebih dipengaruhi oleh suhu dan nitrat yang tinggi dengan
lima jenis lamun sedangkan lokasi Marsegu lebih dipengaruhi dicirikan oleh
kandungan nitrat C-organik dan eH yang tinggi dengan enam jenis lamun.
Kepadatan teripang tertinggi ditemukan pada lokasi Suli dan terendah pada lokasi
Marsegu, dengan pola pertumbuhan jenisH. atra, H.scabra, dan B. marmorata
adalah allometrik negatif dengan faktor kondisi teripang yang gemuk
Aosiasi teripang dan lamun pada keseluruhan lokasi memiliki kesukaan pada
jenis lamun yang berbeda-beda dimana ditemukan 8 jenis teripang A. echinites, A.
lecanora, B. argus, B. vitiensis, H. atra, H. forskali, H.leucospilota,dan H. scabra
berasosiasi dengan jenis lamunT. Hemprichii. Jenis teripang A. miliarisberasosiasi
dengan jenis lamun C. serrulata, H. pinifolia, dan H. ovalis. Jenis teripangH. edulis,
A. lecanora, B. argus, B. vitiensis, H. atra, danH. forskali berasosiasi dengan jenis
lamunC. rotundata, dan S. isoetifolium. Jenis teripangB. bivittata, B. marmorata,
H. edulis, S. horrens berasosiasi dengan lamun jenis E. acoroidesdan B. similis,
denganjenis lamun H. uninervis.

Saran

Sebaiknya penelitian ekobiologi dan asosiasi teripang selanjutnya dilakukan


pada ekosistem lamun dengan lokasi yang lebih banyak.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz A, Darsono P. 1987. Beberapa catatan mengenai fauna ekhinodermata di


daerah rataan terumbu karang bagian Selatan Gugus Pulau Pari, pulau-pulau
Seribu. Balitbang Biologi, Puslitbang oseanologi LIPI, Jakarta.
30

Aziz A. 1996. Makanan dan cara makan berbagai jenis teripang. Oseana. 21(4):43-
59
Bai Y, Chen Y, Pan Y. Zang L, Liu S, Ru X, Xing L, Zhang T, Yang H, Li J. 2018.
Effect of temperature on growth energy budget and physiological
performance of green white and purple color morphs of Sea cucumber
Apostichopus japonices. World aquaculture society. 49(3):625-637.doi:
10.1111/jwas.12505.
Bengen DG. 2000. Sinopsis teknik pengambilan contoh dan analisa data biofisik
sumberdaya pesisir. Bogor (ID); Pusat kajian sumberdaya pesisir dan lautan,
Fakultas Perikanan dan Imu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Bengen. 2001. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut.Bogor
(ID): PKSPL Bogor
Colier C, Waycott M. 2014. Temperature extremes reduce seagrass groth and
induce mortality. Mar Pull Bull. 83(2):483-
490.doi:10.1016/j.marpolbul.2014.03.050
Conand C. 2000. Overview of sea cucumbers fisheries over the last decade – what
possibilities for durable management? In Echinoderms 2000. Proceedings of
the 10th International Conference, Dunedin, 31 January–4 February 2000,
Barker M (ed.). Swets and Zeitlinger; 339–344.
Costa V, Mazzola A, Vizzini S. 2014. Holothuria tubulosa Gmelin 1791
(holothuroidea, echinodermata) enhances organic matter recycling in
Posidonia oceanica meadows. Journal of Experimental Marine Biology and
Ecology. 461:226-232.doi:10.1016/j.jembe.2014.08.008
Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati, laut dan aset pembangunan
berkelanjutan. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. 196 p
Darsono P. 2007. Teripang (Holothuroidea): Kekayaan alam dalam keragaman
biota laut. Oseana 32 (2): 1-10.
Davis BM, Stead SM, Jiddawi NS, Muumin A, Slater MJ. 2011. A novel
polyculture system for the sea cucumber, Holothuria scabra and seaweeds
(Eucheuma denticulatum and Kappaphycus alverenzii) in Tanzanian lagoons.
Research report. Newcastle University.
Den Hartog C.1970. Seagrass of the world. Nort Holland Publishing Amsterdam
(NL). 272pp
De Silva KHWL, Amarasinghe MD. 2007. Substrate characteristics and species
diversity of marine angiosperms in a micro-tidal basin estuary on west coast
of Sri Lanka. J Aquat Sci. 12:103-114.doi:10.4038/sljas.v12io.2217
Dissanayake DCT, Stefansson G. 2012. Habitat preference of sea cucumbers:
Holothuria atra and Holothuria edulis in the coastal waters of Sri Lanka.
Jounal of the marine biological association of the united kigdom. 92(3):581-
590.doi:10.1017/S0025315411000051
Duarte CMN, Marbà E, Gacia JW, Fourqurean J, Beggins C, Barrón, Apostolaki
ET. 2010. Seagrass community metabolism: Assessing the carbon sink
capacity of seagrass meadows.Global Biogeochem Cycles. 24:1-
8.doi:10.1029/2010GB003793
Edward, Taringan Ms. 2003. Pengaruh musim terhadap fluktuasi kandungan fosfat
dan nitrat di laut Banda. Makara sains. 7(2):82-89
Effendie MI. 1979. Metode Biologi Perikanan.Bogor (ID): Yayasan Dewi Sri 112
p
31

Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan.Yogyakarta(ID)Yayasan Pustaka Nusantara.

Effendi H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumber daya dan
lingkunganperairan.Yogyakarta (ID) Cetakan Kelima. Yogjakarta (ID)
Kanisius
English SC, Wilkinson, Baker V. 1994. Survey manual for tropical Marine
resources. Australia. ASEAN-Australia Marine Science Project.
English S, Wilkinson C, Baker V. 1997. Survey manual for tropical marine
resources 2nd edition. Townsville: Australian Institute of marine science. 390
p
Erftemeijer PLA, Middelburg JJ. 1993. Sediment-nutrien interaction in tropical
evironmental in South Sulawesi (Indonesia). Mar Ecol Prog Ser. 95(1):187-
189.doi:10.3354/meps095187
Fahruddin M, Yulianda F, Setyobudiandi I. 2017. Kerapatan dan penutupan
ekosistem lamun di pesisir desa Bohai Sulawesi Utara. Jurnal ilmu dan
kelautan tropis. 9(1):375-383
Fagetti AG, Villalobos FB. 2016. Spatio-temporal variation in density and size
structure of the endangered sea cucumber Isostichopus fuscus in Huatulco
National Park, Mexico. Mar ecol. 38(1):1-11.doi:10.1111/maec.12386
Gultom CPW. 2004. Laju pertumbuhan dan beberapa aspek bio-ekologi teripang
pasir (Holothuria scabra) dalam kolom pembesaran di laut pulau Kongsi,
Kepulauan Seribu, Jakarta Utara.
Hamel JF, Conand C, Pawson DL, Mercier A. 2001. The sea cucumber Holothuria
scabra (Holothuroidea Echinodermata).Marine Biology. 41:129-
223.doi:10.1016/S0065-2881(01)41003-0.
Hartati R, Djunaedi A, Haryadi, Mujianto. 2012. Struktur komunitas padang lamun
di perairan Pulau Kumbang, Kepulauan Karimunjawa. IJMS. 17(4):217-
225.doi:10.14710/ik.ijms.17.4.217-225
Hartati R, Trianto A, Widianingsih. 2017. Habitat characteristic of two selected
locations for sea cucumber ranching purposes. IOP Conf. Series. Earth and
Environmental Science. 55(1):012041.doi: 10.1088/1755-1315/55/1/012041.
Hasan MH.2005. Destruction of a Holothuria scabra population by overfishing at
Abu Rhamada Island in the Red Sea. Marine enveironmental research 60:
489-511. doi:10.1016/j.marenvres.2004.12.007
Hernawan UE, Sjafrie NDM, Supriyadi IH, Suyarso, Iswari MY, Anggraini K,
Rahmat. 2017. Status padang lamun Indonesia. LIPI. Jakarta
Higgins M. 2000. Sea cucumbers in a deep pickle environmental News Network,
Hyman LH. 1955. The Invertebrates: Echinodermata, the coelomate bilateral. New
York (US) 763 p
Jontila JB, Balisco RAT, Matillano JA. 2014. The sea cucumbers (Holothuroidae)
of Palawan Philippines. AACL Bioflux. 7(3):194-206
Kaenda H, Ishak E, Afu LOA. 2016. Hubungan panjang berat teripang di perairan
Tanjung Tiram Konawe Selatan. Manajemen sumber daya perikanan (2):
171-177
Kamarudi KR, Rehan AM, Lukman AL, Ahmad HF, Anua MH, Nordin NFHN,
Hashim R, Hussin R, Usup G. 2009. Coral reef sea cucumber in Malaysia.
Malaysian Journal of science 28(2):171-186
32

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan menteri Lingkungan


Hidup No 51 Tahun 2004, tentang baku mutu air laut
Kementrerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Statistik eksport hasil perikanan 2011.
Dirjen pengelolahan dan pemasaran hasil perikanan. Jakarta
Kerr AM, Netchy K, Gawel AM. 2006. Survey of the shallow-water sea cucumbers
of the central Philippines.
Kiswara W. winardi. 1994. Keanekaragaman dan sebaran lamun di Teluk Kuta dan
Teluk Gerupuk, Lombok Selatan. Jakarta LIPI
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Statistik perikanan tangkap Indonesia.
Jakarta (ID)
Koch MS, Erskine JM. 2001. Sulfide as a Phytotoxin to the tropical
Seagrass thalassia testudinum: Interactions with Light, Salinity and
temperature. Marine Biologi. 266 (1):81–95. doi: 10.1016/S0022-
0981(01)00339-2.
Komala R. 2015. Keanekaragaman teripang pada ekosistem lamun dan terumbu
karang di Pulau Bira Besar, Kepulauan Seribu, Jakarta. Biodiversity
Indonesia.1(2): 2407-8050.
Krebs CJ. 1978 Ecology methodology. New York. Harper and kow publisher
Kreb CJ. 1989. Ecology the experiment analysis of distribution and abundance.
Harper and Row Publisher, new York.89p
Kuriandewa TE. 2009. Tinjauan tentang lamun di Indonesia. Loka karya nasional
I pengelolaan ekosistem lamun: Peran ekosistem lamun dalam produktivitas
hayati dan meregulasi perubahan iklim. Jakarta, 18 November 2009.
Lagendre L, Lagendre P. 1983. Numerical ecology. Elsevier scientific publishing
company. New York. 419p
Lamp K. 2013. Holothurian density distribution and diversity comparing sites with
different degress of exploitation in the shallow lagoons of Mauritius. SPC
Beche-demer information Bulletin 33:23-29
Lee J, Byme M, Uthicke S. 2008. The influence of population density on fission
and growth of Holothuria atra in Natural Mesocosm. Mar Bio Ecol.
(363):126-135.
Lee KS, Park SR, Kim YK. 2007. Effects of irradiance, temperatur, and nutrients
on growth dynamics of seagrasses. Experimental marine biologi and ecology.
350(1-2):144-175.doi:10.1016/j.jembe.2007.06.016.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical ecology. A Primer on Methods and
computing. A Willey interscience Publish. New York. 337p
Maduppa H, Taurusman AA, Subhan B, Anggraini NP, Fadilolah R, Tarman K.
2017. Short communication: DNA barcoding reveals vulnerable and not
evaluated spesies of sea cucu,bers (Holothuria and Stichopodidae) from
Kepulauan Seribu rees, Indonesia. Biodiversitas. 18(3):893-898.
doi:10.13057/biodiv/d180305
Manikandan S, Ganesapandian S, Singh M, Kumaraguru AK. 2011. Seagrass
diversity and associated Flora and Fauna in the coral reef ecosystem of the
Gulf Manar, Southeast Coast of India. J Environ. Earth Sci. 3(4):321-326
Magurran AE. 1988. Ecological diversity and its measurement Princeton University
Press. New Jersey.
Martoyo J, Aji N, Winanto T. 1994. Budidaya Teripang. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya. 69 p
33

Morgan A, Archer J. 1999. Overview: Aspects of Sea cucumber industry research


and development in the South Pacific. SPC beche-de-Mer information
Bulletin, 12: 15–17.
Mustaqim MM, Ruswahyuni, Suryanti. 2013. Kelimpahan jenis bulu babi
(Echinoidea, Leske 1778) di rataan dan tubir terumbu karang di perairan si
jago-jago Tapanuli Tengah. Management of Aquatic Resources. 2(4):61-70
Namukose M, Msuya FE, Ferse SCA, Slater MJ. 2016. Growth performance of the
sea cucumber Holothuria scabra and the seaweed Eucheuma denticulatum:
integrated mariculture and effects on sediment organis characteristics.
Aquacult Environ Interact.8:179-189. doi:10.3354/aei00172
Natan Y, Tetelepta JMS, Uneputty PA. 2016. Sustainability of sea cucumber fishery
at central Maluku and Southeast Maluku Regency Indonesia. Bioflux 9(1):34-
41
Navarro PG, Garcia SS, Barrio JM, Tuya F. 2013. Feeding and movement patterns
of the sea cucumber Holothuria sanctore. Mar Bio.doi:10.1007/s00227-013-
2286-5
Newmaster AF, Berg KJ, Ragupathy S, Palanisamy M, Sambandan K, Newmaster
SG. 2011. Local knowladge and conservation of seagrass in the Tamil Nadu
State of India. Ethnobiology and Ethnomedicine. 7(1): 37.doi:10.1186/1746-
4269-7-37
Nienhuis PH, Coosen J, Kiswara W. 1989. Community structure and biomass
distribution af seagrasses and macrofauna in the flores sea Indonesia. Sea
research. 23(2):197-215.doi:10.1016/0077-7579(89)90014-8
Nirwana E, Sadarun B, Aru LOA. 2016. Studi struktur komunitas teripang
berdasarkan kondisi substrat di perairan desa Sawapudo Kabupaten Konawe.
Sapa laut. 1(1):17-32
Odum EP. 1971. Fundamentals of ecology W.B Saunders company:Philadelphia.
97p
Odum EP. 1998. Dasar-dasar ekologi. Terjemahan. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta(ID)
Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan Tjahjono Samingan. Edisi
Ketiga. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Patty SI. 2015. Karakteristik fosfat nitrat dan oksigen terlarut di perairan Selat
Lembeh Sulawesi Utara. Jurnal pesisir dan laut tropis.2(1):1-7
Pescod MB. 1973. Investigation of Ratinal Effluent and streams standards for
tropical counties. Bangkok (Th): Asean Institut of Technology.
Philips RS, Menez EG. 1998. Seagrasses. Washington DC Smithsonian Institute
Press.104 p
Purcell SW, Gossuin H, Agudo NS. 2009. Changes in weight and length of sea
cucumbers during conversion to processed beche-de-mer: Filling gaps for
some exploited tropical species. SPC Beche-de-mer Inf. Bull. 29; 3–8.
Purcell SW. Samyn Y, Conand, Chantal. 2012. Commercially important sea
cucumber of the word Fao Rome p 190. Fao spesies catalogue for fishery
purposes no 6
Purvaja R, Robin Rs, Ganguly R, Hariharan G, Singh G, Raghuraman R, Ramesh
R. 2017. Seagrass meadows as proxy for assessment of ecosystem health.
Ocea and coastal management. 159:34-
45.doi:10.1016/j.ocecoaman.2017.11.026
34

Purwati P, Syahailatua A (eds). 2008. Timun Laut Lombok Barat. ISOI, Jakarta.
(ID)
Qiu G, Short FT, Fan H, Liiu G. 2017. Temporal Variation of intertidal seagrass in
southern China (2008-2014). Ocean science. 52(3):397-
410.doi:10.1007/s1260-017-0039-y
Rahman AA, Nur AI, Ramli M. 2016. Studi laju pertumbuhan lamun (Enhalus
acroides) di perairan pantai Desa Tanjung Tiram Kabupaten Konawe Selatan.
1(1)10-16
Romimohtarto, K dan Sri Juwana, 2007. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang
Biota Laut. Djambatan, Jakarta. 540 p.
Ricker WE. 1975. Computation and interpretation of biological statistics of fish
populations. Bull fish Res Board can. 19:191-381
Ridzwan H. 2007. Sea cucumbers A Malaysia heritage Pahang Malaysia.
International Islamic University Malaysia.
Sellano DAJ, Natan YL. Uneputty A, Lewerissa YA. 2014. Ecological Study of
Sea Cucumber Central Moluccas. JAVS. 7(1):21-28.doi:10.9790/2380-
07122128
Short FT, Coles RG. 2001. Global seagrass research methods. Amsterdam (NL)
Elsevier Science BV. 506 p.
Skewes T, Dnnis D, Burridge C. 2000. Survey of Holothuria scabra on WarriorReef
Torres Strait. CISRO Division of Marine Research
Slater MJ, Jeffs AG, Sewell MA. (2011) Organically selective movement and
deposit-feeding in juvenile seacucumber,Australostichopus mollis
determined in situ and in the laboratory. Marine Biology and Ecology. 409(1-
2) 315–323.doi:10.1016/j.jembe.2011.09.010
Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The ecology of the Indonesian
seas. Singapore (SG): Periplus Edition (HK) Ltd. 552 p.
Unepputy PA, Selanno DAJ, Tuhumury SF. 2014. Distribusi ukuran teripang pada
perairan pantai Negeri Ihamahu. Triton10 (2): 11-115
Uthicke S. 2001. Influence of asexual reproduction on the structure and dynamics
of Holothuria atra and Stichopus chloronotus populations of The Great
Barrier Reef. Marine and Freshwater Research. 52(2):205-
215.doi:10.1071/IMF00064
Waycott MCM, Duarte TJB, Carruthers RJ, Orth WC, Dennison S, Olyarnik A,
Calladine JW, Fourqurean KL, Heck JAR, Hughes GA, Kendrick WJ,
Kenworthy FT, Short SL, Williams. 2009. Accelerating loss of seagrasses
across the globe threatens coastal ecosystems. Proceedings of the National
Academy ofSciences 106 (30): 12377–12381.doi:10.1073/pnas.0905620106
Yanti NPM, Subagio JN. Wiryatno J. 2014. Jenis dan kepadatan teripang
(Holothuridae) di Pantai Bali Selatan. Simbiosi. 2(1):158-172
Yunitha A, Wardiatno Y, Yulianda F. 2014. Diameter substrat dan jenis lamun di
pesisir Bahoi Manihasa Utara: sebuah analisis korelasi. Ilmu pertanian
Indonesia. 19(3):130-135
Yusron E. 2001. Struktur komunitas teripang (holothuridea) di rataan terumbu
karang perairan pantai Morela, Ambon. Dalam pesisir dan pantai Indonesia
VI. Pusat penelitian dan pengembangan Oseanologi LIPI. Jakarta Seri II. 8 p
Yusron E, Widiansari P. 2004. Struktur komunitas teripang (Holothuroidea) di
beberapa perairan Maluku Tenggara. Makara Sains. 8(1):15-20
35

Zomara LN, Jeffs AG. 2011. Feeding selection digestion and absorption of organic
matter from mussel waste by juveniles of deposit-feeding sea cucumber
Australosti chopus mollis. Aquaculture. 317(1-4):223-
228.doi:10.1016/j.aquaculture.2011.04.011
36

LAMPIRAN

Lampiran 1Hasil analisis komponen utama (PCA) kualitas lingkungan

Eigenvalues:
F1 F2 F3 F4 F5
Eigenvalue 2.5187 1.1730 0.7208 0.4315 0.1560
37

Variability (%) 50.3745 23.4601 14.4153 8.6310 3.1191


Cumulative % 50.3745 73.8347 88.2500 96.8809 100.0000

Correlation matrix (Pearson (n)):


Variables Suhu Salinitas Nitrat TOM BOD
Suhu 1 -0.3155 0.2956 -0.5543 -0.3901
Salinitas -0.3155 1 -0.7198 0.2121 0.5961
Nitrat 0.2956 -0.7198 1 -0.1195 -0.2195
TOM -0.5543 0.2121 -0.1195 1 0.3127
BOD -0.3901 0.5961 -0.2195 0.3127 1

Lampiran 2Hasil analisis komponen utama (PCA) kualitas substrat

Eigenvalues:
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8
Eigenvalue 3.011 1.771 1.407 0.865 0.647 0.214 0.086 0.000
Variability
(%) 37.631 22.132 17.587 10.809 8.083 2.677 1.078 0.004
Cumulative % 37.631 59.763 77.350 88.159 96.241 98.918 99.996 100.000

Correlations between variables and factors:


F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7
pH -0.628 -0.170 -0.606 0.094 0.337 0.294 0.012
C-organik 0.184 -0.131 0.853 -0.280 0.321 0.193 -0.058
Nitrat 0.497 -0.119 0.306 0.789 -0.068 0.120 0.065
Fosfat -0.319 -0.786 0.072 0.188 0.418 -0.254 0.000
Pasir 0.934 -0.141 -0.285 -0.104 0.125 0.000 0.003
Debu -0.877 -0.188 0.323 -0.122 -0.208 0.024 0.178
Liat -0.762 0.518 0.160 0.307 0.029 -0.050 -0.165
eH 0.099 0.877 0.044 0.027 0.437 -0.091 0.139

Squared cosines of the variables:


F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7
pH 0.394 0.029 0.368 0.009 0.113 0.087 0.000
C-organik 0.034 0.017 0.727 0.078 0.103 0.037 0.003
Nitrat 0.247 0.014 0.094 0.622 0.005 0.014 0.004
Fosfat 0.102 0.618 0.005 0.035 0.175 0.065 0.000
38

Pasir 0.873 0.020 0.081 0.011 0.016 0.000 0.000


Debu 0.770 0.035 0.104 0.015 0.043 0.001 0.032
Liat 0.581 0.268 0.026 0.094 0.001 0.003 0.027
eH 0.010 0.769 0.002 0.001 0.191 0.008 0.019

Squared cosines of the observations:


F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7
S1 0.000 0.710 0.070 0.002 0.073 0.145 0.000
S2 0.476 0.245 0.055 0.047 0.073 0.101 0.003
S3 0.004 0.607 0.069 0.011 0.305 0.000 0.003
P1 0.103 0.211 0.598 0.049 0.036 0.002 0.001
P2 0.925 0.001 0.001 0.042 0.023 0.007 0.000
P3 0.006 0.004 0.000 0.808 0.034 0.031 0.117
O1 0.103 0.211 0.598 0.049 0.036 0.002 0.001
O2 0.925 0.001 0.001 0.042 0.023 0.007 0.000
O3 0.006 0.004 0.000 0.808 0.034 0.031 0.117
M1 0.068 0.254 0.365 0.119 0.070 0.043 0.081
M2 0.477 0.027 0.246 0.233 0.010 0.000 0.006
M3 0.017 0.445 0.126 0.184 0.204 0.021 0.002

Lampiran 3 Jenis-jenis teripang yang ditemukan di Kabupaten Maluku Tengah dan


Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku
39

Bohadschia vitiensis Bohadschia marmorata

Actinopyga echinites Bohadschia argus

Holothuria atra Holothuria scabra


40

S. horrens Holothuria edulis

Holothuria forskali Actinopyga lecanora

Bohadschia bivittata Holothuria spinifera


41

Actinopyga miliaris Holothuria leucospilota

Holothuria arenicola

Predator yang ditemukan pada lokasi penelitian

Diadema setosum Diadema setosum


42

Lampiran 4 Tabel kepadatan teripang dan matriks data koresponden analisis


kerapatan Teripang (ind/100m2)
Teripang S S S P P P O O O M M M
St1 St2 St3 St1 St2 St3 St1 St2 St3 St1 St2 St3
A. echinites 4 4 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0
A. lecanora 4 4 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0
A. miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 4.6 4
B. argus 4 4 5.3 0 0 0 0 0 0 0 0
B. bivittata 0 0 0 6 6 4 4 0 4 0 0 0

B. marmorata 5.3 4 6 4 4 4 4.5 4.8 4.8 0 0 0


B. similis 0 0 0 0 0 0 4 6.6 6.6 7.2 4 4
B. vitiensis 4 4 5.6 4 8 4 0 0 0 0 0 0
H. arenicola 4 4 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0
H. atra 4.6 4 4 3.2 7 4.6 6.4 4 4 6 4.6 4
H. edulis 0 0 0 4 4 4 4 0 0 0 0 0
H. forskali 4 4 3.2 0 0 0 0 0 0 0 0 0

H. leucospilota 0 0 0 0 4 0 5 16 4 0 0 0

H. scabra 7.44 5.8 6.6 4.8 5.3 4 6.4 6 4.8 4 5.3 6


H. spinifera 0 0 0 0 0 0 6 4 4 0 0 0
S. horrens 0 0 0 0 4 4 0 0 0 0 0 0
43

Lampiran 5 Koresponden Analisis (CA) teripang dengan stasiun penelitian

Eigenvalues and percentages of inertia:


F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7
Eigenvalue 0.539 0.378 0.282 0.077 0.029 0.019 0.007
Inertia (%) 40.181 28.168 21.028 5.768 2.192 1.446 0.523
Cumulative % 40.181 68.349 89.377 95.145 97.337 98.783 99.305

Squared cosines (rows):


F1 F2 F3 F4 F5
A. echinites 0.878 0.080 0.039 0.000 0.001
A. lecanora 0.878 0.080 0.039 0.000 0.001
A. miliaris 0.168 0.550 0.260 0.007 0.006
B. argus 0.866 0.077 0.038 0.000 0.001
B. bivittata 0.072 0.642 0.121 0.116 0.010
B. marmorata 0.163 0.466 0.186 0.058 0.001
B. similis 0.579 0.349 0.003 0.004 0.017
B. vitiensis 0.389 0.312 0.167 0.060 0.029
H. arenicola 0.878 0.080 0.039 0.000 0.001
H. atra 0.295 0.147 0.448 0.001 0.026
H. edulis 0.033 0.647 0.193 0.033 0.008
H. forskali 0.858 0.080 0.038 0.000 0.002
H. leucospilota 0.291 0.035 0.549 0.106 0.017
H. scabra 0.049 0.472 0.173 0.015 0.077
H. spinifera 0.306 0.026 0.426 0.152 0.052
S. horrens 0.002 0.402 0.233 0.232 0.128

Squared cosines (columns):


F1 F2 F3 F4 F5
S St1 0.903 0.067 0.022 0.000 0.000
S St2 0.900 0.067 0.023 0.000 0.001
S St3 0.917 0.042 0.018 0.000 0.000
P St1 0.002 0.465 0.209 0.150 0.163
P St2 0.011 0.664 0.175 0.126 0.001
P St3 0.001 0.547 0.336 0.038 0.060
O St1 0.404 0.124 0.130 0.233 0.014
O St2 0.330 0.000 0.572 0.085 0.010
O St3 0.471 0.004 0.203 0.158 0.049
M St1 0.279 0.526 0.141 0.000 0.008
M St2 0.212 0.542 0.221 0.003 0.005
M St3 0.219 0.547 0.207 0.002 0.005
44

Lampiran 6Koresponden Analisis (CA) lamun dengan stasiun penelitian

Eigenvalues and percentages of inertia:


F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7
Eigenvalue 0.267 0.152 0.084 0.048 0.025 0.018 0.002
Inertia (%) 44.799 25.547 14.091 8.104 4.149 3.033 0.277
Cumulative % 44.799 70.347 84.438 92.542 96.691 99.723 100.000

Chi-square
distances (rows):
Th Cs Cr Ea Hp Si Hu Ho
Th 0 1.124 1.764 0.751 3.393 1.449 0.709 1.851
Cs 1.124 0 1.635 1.190 2.624 1.777 1.244 1.403
Cr 1.764 1.635 0 1.717 3.478 1.616 1.825 2.460
Ea 0.751 1.190 1.717 0 3.395 1.295 1.121 2.077
Hp 3.393 2.624 3.478 3.395 0 3.668 3.403 2.002
Si 1.449 1.777 1.616 1.295 3.668 0 1.438 2.536
Hu 0.709 1.244 1.825 1.121 3.403 1.438 0 1.713
Ho 1.851 1.403 2.460 2.077 2.002 2.536 1.713 0

Chi-square distances (columns):


S S S P P P O O O M M M
St1 St2 St3 St1 St2 St3 St1 St2 St3 St1 St2 St3
S St1 0 0.446 1.120 0.849 0.938 1.106 0.753 0.681 0.847 1.803 1.297 1.054
S St2 0.446 0 0.950 0.801 0.764 0.863 0.958 0.698 0.820 1.658 1.101 0.869
S St3 1.120 0.950 0 1.146 1.004 1.440 1.349 1.237 1.242 1.662 1.169 1.348
P St1 0.849 0.801 1.146 0 0.311 1.031 0.640 0.512 0.284 1.444 0.921 1.142
P St2 0.938 0.764 1.004 0.311 0 0.882 0.809 0.560 0.452 1.486 0.938 1.094
P St3 1.106 0.863 1.440 1.031 0.882 0 1.186 0.737 1.015 1.962 1.404 0.770
O St1 0.753 0.958 1.349 0.640 0.809 1.186 0 0.458 0.517 1.734 1.367 1.276
O St2 0.681 0.698 1.237 0.512 0.560 0.737 0.458 0 0.438 1.698 1.202 0.933
O St3 0.847 0.820 1.242 0.284 0.452 1.015 0.517 0.438 0 1.405 1.001 1.133
M St1 1.803 1.658 1.662 1.444 1.486 1.962 1.734 1.698 1.405 0 0.970 1.684
M St2 1.297 1.101 1.169 0.921 0.938 1.404 1.367 1.202 1.001 0.970 0 1.056
M St3 1.054 0.869 1.348 1.142 1.094 0.770 1.276 0.933 1.133 1.684 1.056 0
45

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Yunita Luhulima, lahir pada tanggal 20


Januari 1994 di Ambon. Penulis merupakan anak dari dari
Bapak Steven Lawalata (alm) dan Ibu Agustina Sahetapy.
Pendidikan penulis diawali dengan bersekolah di SDN 3
Tomalima Passo pada tahun 1999-2005. Pada tahun 2005-2008
penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 9 Ambon dan
pada tahun 2008-2011 melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 5 Ambon.
Penulis kemudian menempuh pendidikan di Universitas Pattimura Ambon pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Program Studi Ilmu Kelautan pada tahun
2011-2015 untuk memperoleh gelar sarjana. Pada tahun 2016 penulis melanjutkan
pendidikan pascasarjana di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu
Kelautan dengan beasiswa pendidikan Pemerintah Daerah Provinsi Maluku.
Penulismelakukan penelitian mengenai “Ekobiologi dan Asosiasi Teripang di
kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat” untuk
menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains dari Sekolah
Pascasarjana IPB.

Anda mungkin juga menyukai