Anda di halaman 1dari 28

ISBN: 978-602-71759-2-1

EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL


PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERAIRAN
BIOTEKNOLOGI KELAUTAN DAN PERIKANAN
BUDIDAYA PERAIRAN
PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN
KEMARITIMAN
SOSIAL EKONOMI PERIKANAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN


UNIVERSITAS HASANUDDIN
Jl. Perintis Kemedekaan Km. 10 Tamalanrea
Makassar 90245, Sulawesi Selatan
PROSIDING
SIMPOSIUM NASIONAL III KELAUTAN DAN PERIKANAN 2016

DEWAN REDAKSI

Pengarah:
Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

Penanggung jawab:
Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

Penyunting (Editor):
Dr. Inayah Yasir, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Joeharnani Tresnati, DEA
Dr. Ir. Siti Aslamyah, MP.
Moh. Tauhid Umar, S.Pi., MP.
Firman, S.Pi., M.Si.

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan


Universitas Hasanuddin
Makassar, 30 September 2016
Prosiding Simposium Nasional III Kelautan dan Perikanan 2016

Penyunting: Inayah Yasir, Joeharnani Tresnati, Siti Aslamyah, Moh. Tauhid Umar,
dan Firman

ISBN: 978-602-71759-2-1

Diterbitkan oleh: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas


Hasanuddin, Makassar, 30 September 2016

@ Hak Cipta dilindungi Undang-undang


All rights reserved

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin dari
penyunting.
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah, akhirnya prosiding Simposium Nasional Kelautan dan
Perikanan telah dapat diselesaikan. Tujuan diadakannya simposium ini adalah agar
dapat dijadikan ajang pertukaran informasi dari setiap ilmuwan dan praktisi dalam
bidang kelautan dan perikanan guna meningkatkan potensi, pengembangan dan
pemanfaatan secara berkelanjutan sumberdaya kelautan dan perikanan di Indonesia.
Tema simposium ini adalah “Mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia
melalui Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan”.
Simposium ini telah diikuti oleh para peneliti, praktisi, mahasiswa, juga
pemerhati kelautan dan perikanan yang berasal dari berbagai perguruan tinggi,
lembaga penelitian, instansi pemerintah, juga LSM yang terkait. Makalah yang
dipresentasikan merupakan hasil penelitian yang meliputi beberapa bidang, yang
dikelompokkan menjadi 7 bidang yaitu kelompok: A. Ekosistem Laut, Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, B. Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, C. Pengelolaan
Sumberdaya Perairan, D. Budidaya Perairan, E. Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan, F. Sosial Ekonomi Perikanan, G. Kemaritiman.
Presentasi makalah dan poster ini diikuti oleh peserta dari seluruh Indonesia
yang berasal dari berbagai lembaga penelitian dan perguruan tinggi di Indonesia.
Lembaga penelitian dan perguruan tinggi tersebut adalah: Universitas Brawijaya,
Universitas Riau, Balai Pengelolaan Pesisir dan Lautan (BPSPL), Universitas
Khairun-Ternate, Universitas Mataram, Universitas Tadulako, Universitas Nusa
Cendana, Universitas Yapis-Papua, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya
Air Payau-Maros, Universitas Negeri Makassar, STIP Muna Raha, Universitas
Teuku Umar, Universitas Halu Uleo, Universitas Borneo, Universitas Muslim
Indonesia, Universitas Sulawesi Barat, Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan-
Palu, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Balai Besar Karantina Ikan Pengendalian
Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Makassar, Universitas Diponegoro,
Universitas Bosowa, Balai Perikanan Budidaya Air Payau-Situbondo, Politeknik
Perikanan Negeri-Tual, Institut Pertanian Bogor, Unismuh-Luwuk Banggai,
Universitas Batanghari, Universitas Muhammadiyah Makassar, Politeknik
Pertanian Negeri Pangkep, Universitas Bung Hatta, Universitas Balik Diwa,
Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Universitas Lambung Mangkurat,
Universitas Muhammadiyah Pare-Pare, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya-
Jakarta, dan Universitas Hasanuddin.
Panitia memohon maaf apabila terjadi kesalahan, baik disengaja ataupun
tidak, yang mengurangi rasa puas dan nyaman para peserta simposium. Panitia
juga menyampaikan terima kasih atas semua bantuan dan kerjasama yang diberikan
oleh seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan simposium ini.
Makassar, 17 September 2016
Ketua Panitia,

Prof. Dr. Ir. Joeharnani Tresnati, DEA


KATA SAMBUTAN
Indonesia sebagai sebuah negara maritim terbesar di dunia memerlulan
dukungan kuat dan nyata dalam berbagai dimensi. Dukungan tersebut terutama
dalam hal penguasaan Ipteks, sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi yang
unggul, keberpihakan pemerintah dan partisipasi dari seluruh masyarakat. Unhas
sebagai sebuah perguruan tinggi dengan visi Pusat unggulan dalam pengembangan
insani, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya berbasis Benua Maritim
Indonesia sangat relevan dengan kebutuhan dukungan tersebut.
Unhas sangat sadar bahwa penguasaan Ipteks sangat penting bagi
pengelolaan potensi laut Indonesia yang sangat besar, mengingat pemanfaatannya
belum maksimal dan umumnya masih dikelola secara tradisional. Pengembangan
dan diseminasi teknologi untuk pengelolaan potensi laut Indonesia merupakan
tantangan yang harus menjadi perhatian utama dan sesegera mungkin
dikembangkan dan diwujudkan.
Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III (SIMNASKP III) tahun
2016, dengan tema “Mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia melalui
Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan” merupakan sarana membagi
informasi dan mendiskusikan berbagai topik dan tantangan yang dihadapi saat ini
dan masa yang akan datang bagi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut
Indonesia. Output dari SIMNASKP III berupa prosiding yang diharapkan dapat
menjadi referensi dan sumber informasi tentang pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya laut Indonesia dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai Poros
Maritim Dunia yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-
pulau kecil.
Terimakasih bagi semua pihak yang telah bekerja keras menyelenggarakan
simposium dan mewujudkan buku Prosiding SIMNASKP III ini. Semoga dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Makassar, 17 September 2016
Dekan FIKP Unhas

Prof.Dr.Ir. Jamaluddin Jompa, MSc.


ISBN: 978-602-71759-2-1

DAFTAR ISI halaman

KATA PENGANTAR

SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

MAKALAH EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Kelimpahan Ikan dan Moluska Pada Kerapatan Lamun yang Berbeda 6


D. Arfiati, B.D. Putra, L. Suprestika, P.Wijanarko, U. Zakiyah dan Nuriyani

Analisis Kandungan Total Hidrokarbon, Nitrat, Fosfat, Silikat dan Kelimpahan


Diatom di Perairan Pantai Pulau Rupat Provinsi Riau 12
Bintal Amin, Irvina Nurrachmi, Al Usman dan Areza Maulana

Analisis Zonasi dan Densitas Vegetasi Mangrove serta Pengaruhnya Terhadap


Kelimpahan Spesies Dominan di Pesisir Pantai Kabupaten Sinjai, Sulawesi
Selatan 23
Budiman Yunus dan Amran Saru

Pemetaan Distribusi Terumbu Karang Sulawesi Tenggara Menggunakan Landsat


8 Citra Satelit 31
Muhammad Banda Selamat & Kris Handoko

Dampak Kegiatan Wisata Bahari Terhadap Ekosistem Terumbu Karang Di


Pulau Kapoposang, Kab. Pangkep dan Pulau Hoga, Kab. Wakatobi 42
Ahmad Bahar, Aidah A. Husain, Rahmadi Tambaru

Aspek Biologi Kerang Hijau (Perna viridis Linnaeus, 1789) di Perairan Mandalle
Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan 51
Farida Gassing, Abdul Rahim Hade, dan Andi Alfianita Arum Sari

Penyakit Karang Keras Scleractinian di Kepulauan Spermonde Kabupaten


Pangkep 59
Arniati Massinai , Akbar Tahir, Jamaluddin Jompa, Alexander Rantetondok

Kondisi Terumbu Karang di Gugusan Gosong Karang Utama Blok Migas Toili,
Teluk Tolo, Provinsi Sulawesi Tengah 70
Kasim Mansyur

Konektivitas Struktur Vegetasi Mangrove dengan Keasaman dan Bahan Organik


Total pada Sedimen di Kecamatan Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar 85
Amran Saru , Mardi dan Khairul Amri

Klasifikasi Citra Berbasis Objek Untuk Deteksi Perubahan Habitat Terumbu


Karang di Pulau Morotai 96
Nurhalis Wahidin dan Surahman

Jenis dan Kandungan Metabolit Sekunder Makroalga yang Ditemukan di


Perairan Teluk Kupang 110
Yuliana Salosso dan Yudiana Jasmanindar

Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh dan SIG Untuk Pemetaan Kualitas


Tanah Tambak di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara 118
Hasnawi1, Akhmad Mustafa1 dan Dody Dharmawan Trijuno2

Identifikasi Keterhubungan Klorofil-a Fitoplankton dan Komunitas Zooplankton


dengan Berbagai Parameter Berpengaruh di Estuari Sungai Tallo Makassar 132
Rahmadi Tambaru, Abdul Haris & Albida Rante Tasak

Keanekaragaman dan Kondisi Padang Lamun Berdasarkan Zona Perairan yang


Berbeda di Kabupaten Mamuju Sulawesi Bara 140
Supriadi Mashoreng, Chair Rani, Parman Parakkasi, Abdul Haris, Ahmad Faisal
dan Sutia Budi

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 1
Kepadatan Kerang Lumpur Anodontia edentula Linnaeus, 1758 Kaitannya
Dengan Parameter Lingkungan di Kabupaten Muna 149
Rochmady, Sharifuddin Bin Andy Omar dan Lodewyck S. Tandipayuk

MAKALAH BIOTEKNOLOGI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Isolasi dan Identifikasi Bakteri Black Band Disease (BBD) pada Pachyseris sp. 161
Rahmi, Jamaluddin Jompa, Akbar Tahir dan Alexander Rantetondok

Identifikasi Fukosantin Alga Coklat (Sargassum filipendula) Dari Desa Padike


Kecamatan Talango, Kabupaten Sumenep Kepulauan Madura Menggunakan
Nuclear Magnetic Resonance (NMR) 172
Kartini Zailanie dan Hari Purnomo

Fraksinasi Senyawa Antibakteri Dari Isolat Kapang TP6 Yang Diisolasi Dari
Tumbuhan Pesisir Terong Pungo 180
Nabila Ukhty, Kustiariyah Tarman, Iriani Setyaningsih

Pengaruh Ekstrak Rumput Laut Coklat Sargassum sp. Terhadap Kadar Glukosa,
Berat Badan, Polyphagia, Polydipsia, Polyuria Tikus Diabetes Mellitus 188
Shandy Nur Fachrurazi, Muhamad Firdaus and Anies Chamidah

Steroid Dari Spons Xestospongia sp.: Aspek Kemotaksonomi dan Sifat


Antibakteri 198
Sahidin I., Baru Sadarun, Irvan Anwar, Muhammad Adha, Hasriyani, Wa Ode
Intiyani, Wahyuni1 dan Rini Hamsidi

Uji Daya Simpan Prototype Kit Vibriosis “RICA” 207


Ince Ayu K.Kadriah* & BR Tampangallo

Analisis Keragaman Genetik Lima Populasi Meretrix spp. Berdasarkan Penanda


Inter Simple Sequence Repeats 216
Mohammad F. Akhmadi dan Niken S. N. Handayani

MAKALAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Biologi Reproduksi dan Pengendalian Perikanan Rajungan (Protunus pelagicus)


di Perairan Sulawesi Tenggara, Indonesia 228
La Sara, Wellem H. Muskita, Oce Astuti, and Safilu

Analisis Populasi Menggunakan Model Pertumbuhan Allometri dan Indeks


Kondisi Udang Harpiosquilla raphidea Perairan Utara Pulau Tarakan 240
Gazali Salim; Dhimas Wiharyanto

Analisis Morfologi Tingkat Kematangan Gonad Ikan Endemik Pirik (Lagusia


micracanthus Bleeker, 1860) di Sungai Pattunuang, Sulawesi Selatan 249
Muhammad Nur, Sharifuddin Bin Andy Omar, Joeharnani Tresnati, Muh. Arifin
Dahlan & Suwarni

Tingkat Kematangan Gonad Ikan Layang (Decapterus macrosoma Bleeker, 1841)


Secara Histologi di Perairan Teluk Bone 254
Muh. Arifin Dahlan, Sharifuddin Bin Andy Omar, Joeharnani Tresnati, &
Muhammad Nur

Status dan Ancaman terhadap Biota Laut Prioritas Konservasi di Kepulauan


Togean (2002-2015) 260
Abigail Moore, Samliok Ndobe, Yeldi Adel, Roni Hermawan

Reproduksi Ikan Bungo (Glossogobius giuris Hamilton–Buchanan, 1822) di


Danau Tempe, Sulawesi Selatan 269
Athira Rinandha E., Yunizar Ernawati, M. Mukhlis Kamal

Dinamika Populasi Udang Api-Api (Metapenaeus monoceros) di Perairan Selat


Makassar 278
Suwarni, Moh. Tauhid Umar, Sarah Sukma Amir & Muhammad Nur

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


2 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

Ukuran Panjang Glass Eel (Anguilla sp.) yang Beruaya ke Sungai Palu 287
Samliok Ndobe1*, Novalina Serdiati1 & Abigail Moore

Konsentrasi Ekdisteroid Hemolimfa Rajungan (Portunus pelagicus Linneus, 1758)


Kaitannya Dengan Fase Bulan 295
Andi Tamsil

Inventarisasi dan Penyebaran Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPIK) di


Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2015 302
Herfiani* dan Astina Sartika

Distribusi Ukuran dan Pola Pertumbuhan Rajungan (Portunus pelagicus) di


Pulau Salemo Kabupaten Pangkajene Kepulauan 314
Muh. Saleh Nurdin, Syamsu Alam Ali, dan Dewi Yanuarita Satari

Pengelolaan Perikanan Karang dengan Pendekatan Ekosistem: Studi kasus


dimensi kelembagaan Wppnri 572 di Aceh Jaya 323
Edwarsyah

Fase Perkembangan Gonad dan Laju Degradasi Rajungan (Portunus spp.) di


Teluk Lasongko, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara 334
Nila Nikmatia Bugis, Syamsu Alam Ali, Dewi Yanuarita

Dependensi Kelimpahan Fitoplankton Terhadap Konsentrasi Nitrat, Posfat, TSS


dan Beberapa Faktor Lingkungan Lainnya Di Sungai Banjir Kanal, Semarang,
Jawa Tengah 343
Haeruddin, Churun Ain dan Anggita W. Tungka

Kerusakan Ekologis Hutan Lindung dan Dampaknya Terhadap Sektor Perikanan


di Pantai Clungup, Desa Tambakrejo Kabupaten Malang Selatan 351
Harsuko Riniwati, Nuddin Harahab, Zainal Abidin

MAKALAH BUDIDAYA PERAIRAN

Pengaruh Pemberian Enzim Papain pada Pakan Buatan Terhadap Derajat


Hidrolisis Protein dan Aktivitas Enzim Protease Larva Ikan Bawal Bintang
Trachinotus bloochii, Lacepede 1801 367
Haryati, Harisa Hamzah, Edison Saade

Penggunaan Ekstrak Lantana camara Untuk Meningkatkan Laju Pertumbuhan


Kappaphicus alvarezii dan Pencegahan Penyakit Ice-Ice 374
Rahmat Sofyan Patadjai* dan Syamsul Kamri

Uji Efek Antibakteri Ekstrak Biji Jintan Hitam (Nigella sativa Linn.) Terhadap
Bakteri Streptococcus agalactiae Pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus Linn.)
Secara In Vivo 383
Gustiana, Alexander Rantetondok, Elmi Nurhaidah Zainuddim

Pengaruh Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Pada Jarak Tanam Dan
Kedalaman Yang Berbeda Terhadap Kandungan Karaginan 391
Sri Mulyani, Ambo Tuwo, Rajuddin Syamsuddin and Jamaluddin Jompa

Penggunaan Metode Elektroporasi Dalam Transfer Vaksin DNA VNN (Viral


Nervous Necrosis) Pada Ikan Kerapu 396
Wiwien Mukti A., Sri Murtini, Surachmi, Alimuddin

Potensi Limbah Padat Tambak Udang Super Intensif sebagai Bahan Baku Pupuk
Organik 406
Hidayat Suryanto Suwoyo, Mat Fahrur dan Rachman syah

Pertumbuhan dan Sintasan Post Larva Udang Kaki Putih (Penaeus vannamei)
Pada Penurunan Salinitas yang Berbeda 416
Krismawan, Nasmia and Rusaini

Uji Patogenisitas Edwardsiella tarda Pada Ikan Celebes Rainbow (Telmatherina


celebensis) 426
Harlina dan Januarsih

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 3
Pertumbuhan Eksplan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Pada Lama
Perendaman Berbeda Dalam Larutan Pupuk Urea dan TSP 434
Mukhlis, Zakirah Raihani Ya’la and Rusaini

Prevalensi dan Insidensi White Spot Syndrome Virus Calon Induk Udang Windu
(Penaeus monodon) dari Perairan Aceh, Sulawesi Selatan dan Tenggara 447
B.R. Tampangallo, A. Tenriulo dan Agus Nawang

Hubungan Antara Konsentrasi Ekdisteroid Hemolimfa Kepiting Bakau (Scylla


olivacea HERBS, 1796) dan Kualitas Air Disekitarnya 453
Hasnidar

Kualitas Caulerpa sp. yang Dibudidayakan di Berbagai Jarak dan Kedalaman 461
Darmawati, Andi Niartiningsih, Rajuddin Syamsuddin and Jamaluddin Jompa

Analisis Prevalensi Parasit yang Menginfeksi Benih Ikan Nila (Oreochromis


niloticus) pada Pembenihan di Wilayah Kabupaten Banggai 469
Sri Sukari Agustina* dan Marlan

Penggunaan Tepung Kulit Manggis Garcinia mangostana untuk Meningkatkan


Pertumbuhan, Indeks Hematokrit dan Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Mas
Koi Cyprinus Carpio 479
Dahlifa*, Sutia Budi dan Amal Aqmal

Penggunaan Asam Lemak Omega 3 HUFA Dan Hormon Ecdyson Dalam


Peningkatan Larval Stage Indeks dan Sintasan Hidup Larva Kepiting Bakau
Scylla olivacea 487
Sutia Budi, M. Yusri Karim, Dody. D. Trijuno, M. Natsir Nessa, Gunarto dan
Herlinah

Optimasi Lama Waktu Fermentasi Limbah Sayur dengan Cairan Rumen


terhadap Peningkatan Kualitas Pakan Udang Vannamei 499
Murni, Haryati, Aslamyah, Herry Sonjaya

Pertumbuhan, Sintasan dan Produksi Polikultur Udang Windu (Penaeus


monodon) dan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) dengan Komposisi Padat
Tebar dan Waktu Penebaran yang Berbeda 507
Muhammad Nur Syafaat & Abdul Mansyur

Pengaruh Konsentrasi Tepung Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) dalam


Makanan Buatan Terhadap Kolesterol dan Komposisi Kimia Udang Windu
(Penaeus monodon) 515
Nur Insana Salam, Siti Aslamyah, Edison Saade

Aerasi Sebagai Salah Satu Treatment untuk Mengurangi Bahan Organik Limbah
Tambak Udang Vaname (Lithopenaeus vannamei) Super Intensif 525
Makmur, Mat Fahrur, Muhammad Chaidir Undu

MAKALAH PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Komposisi Hasil Tangkapan Utama, Sampingan, dan Buangan pada Bagan


Perahu di Perairan Gorontalo 532
Dewi Shinta Achmad dan Muh. Saleh Nurdin

Manajemen Usaha Penangkapan Ikan dengan Menggunakan Alat Tangkap Purse


Seine di Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar 539
Muhammad Jamal, Andi Asni1, dan Setiawan R

Persentase Ikan Cakalang Layak Tangkap Hasil Tangkapan Nelayan di Perairan


WPP RI 713 547
Achmar Mallawa

Respon Umpan dan Waktu Penangkapan Terhadap Hasil Tangkapan Ikan


Kakap (Lutjanus sp.) di Perairan Bonerate Kabupaten Selayar 555
Wayan Kantun dan Askaman

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


4 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

Studi Pengoperasian Pancing Ulur Laut Dalam untuk Menangkap Ikan Escolar
(Lepidocybium flavobrunneum) pada Musim Angin Muson Barat di Perairan
Pesisir Timur Pulau Selayar 562
Andi Assir dan Mahfud Palo

Hubungan antara Produksi dan Produktivitas Cakalang dengan Suhu


Permukaan Laut dan Klorofil-A di Wilayah Perairan Kota Ternate 567
Amirul Karman dan Surahman

Kondisi Oseanografi yang Disukai Tuna Madidihang (Thunnus albacares) di


Teluk Bone dengan Menggunakan Satelit Penginderaan Jauh 577
Safruddin, Risnawati B., Alfa Nelwan, Mukti Zainuddin

Prospek Industrialisasi Perikanan Tangkap di Pengambengan, Kabupaten


Jembrana, Bali 586
Mustaruddin, Mulyono S Baskoro, dan Ibnu Hajar

Penangkapan Udang Lobster Laut (Panulirus spp) dengan Jaring Lobster


(Bottom Gill Net Monofilament) di Perairan Pantai Selatan Kabupaten
Bulukumba 599
Musbir, Sudirman dan M. Ridwan Bohari

Analisis Hubungan Suhu Permukaan Laut, Salinitas, dan Arus dengan Hasil
Tangkapan Ikan Tuna di Perairan Bagian Barat Pulau Halmahera 605
Umar Tangke, John W. Ch. Karuwal, Achmar Mallawa, Mukti Zainuddin

MAKALAH SOSIAL EKONOMI PERIKANAN

Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi Akibat Pencemaran di Perairan Pesisir


Mahakam 620
Hamzah* & Bachrianto Bahtiar

Potensi Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya


Perikanan Berkelanjutan di Kawasan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Sinjai 632
Aris Baso

Pengaruh Modal,Pengalaman Kerja, Harga dan Hasil Tangkapan Terhadap


Pendapatan Nelayan di Sawang Ba’u Kabupaten Aceh Selatan 642
Yasrizal

Analisis Finansial Produk Inovasi Olahan Rumput Laut Produksi Unit


Agribisnis, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin 651
Sri SuroAdhawati dan Firman

Analisis Rantai Pemasaran Kepiting Bakau Scylla spp. di Desa Pallime,


Kecamatan Cenrana, Kabupaten Bone 658
Sitti Fakhriyyah, Firman & Andi Dirpan

MAKALAH KEMARITIMAN

Kapal Ferry Cepat Penumpang dan Barang sebagai Kendaraan Transportasi


Laut antar Pulau Kepulauan Indonesia 667
Frederikus Wenehenubun

MAKALAH POSTER

Jenis dan Kelimpahan Plankton di Perairan Pesisir Kabupaten Berau Kalimantan


Timur 682
Erfan A. Hendrajat*, Akhmad Mustafa dan Tarunamulia

Analisis Kualitas Air Sungai Borongkaluku sebagai Pendukung Budidaya


Tambak di Desa Borimasunggu Kabupaten Maros 690
Andi Sahrijanna dan Erfan A. Hendrajat

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 5
MAKALAH EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


6 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
Identifikasi Keterhubungan Klorofil-a Fitoplankton dan
Komunitas Zooplankton dengan Berbagai Parameter
Berpengaruh di Estuari Sungai Tallo Makassar
Identification Connectedness Chlorophyll-a Phytoplankton and
Zooplankton Communities with Influential Parameters in Tallo River
Estuary of Makassar
Rahmadi Tambaru, Abdul Haris & Albida Rante Tasak
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar

ABSTRACT
The quality of the water is changed by time. It gives effect to a variety of organisms. Call such
Tallo River estuary waters of Makassar. These waters are receiving a lot of waste from various
anthropogenic sources and industry. The important phenomenon is influence on changes in
chlorophyll-a concentration of phytoplankton and zooplankton communities. Identification of
connectedness is purpose of this study. The experiment was conducted in December 2011 until
April 2012 around Tallo River estuary waters of Makassar by using the method of analysis PCA
(Principal Components Analysis). Based on PCA analysis, identification of environmental factors
that most influence the concentration of chlorophyll-a is nitrate, salinity, and pH, sementera that
the zooplankton community that salinity, temperature, flow and turbidity.
Keywords: Chlorophyll-a, Zooplankton, environmental parameters, Tallo River Estuary

Pendahuluan
Kualitas suatu perairan dapat mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Berbagai faktor penyebab perubahan itu menciptakan berbagai fenomena
lingkungan yang penting dicermati. Hal ini memberikan pengaruh terhadap
organisme yang hidup didalamnya. Suatu badan perairan yang rentang
mengalami perubahan adalah perairan estuari/muara sungai (May et al. 2003).
Dari waktu ke waktu, badan perairan menerima beban dari daratan baik bersumber
dari kegiatan antropogenik (Kennish 1994 dan Jassby et al. 2002) maupun
industri. Perairan estuari Sungai Tallo Makassar sebagai salah contoh menerima
banyak pasokan limbah dari kegiatan pertanian dan perikanan serta rumah tangga
maupun industri di sekitarnya.
Pada sektor pertanian, buangan sisa pupuk dan pestisida dapat memicu
kesuburan yang tinggi pada lingkungan perairan (Savenkoff et al. 1996 dan
Cebrian 2002) seperti halnya estuari Sungai Tallo Makassar. Demikian pula pada
sektor perikanan, buangan sisa penggunaan pupuk dan pestisida serta pakan
ikan/udang dapat menyebabkan fungsi perairan mengalami penurunan. Tidak
kalah pentingnya, aktivitas rumah tangga dan industri di sepanjang bantaran
Sungai Tallo (BPS, 2012) menyebabkan perairan mengakumulasi logam dalam
konsentrasi yang tinggi akibat buangan limbah yang ditengarai sudah melampaui
ambang batas.
Beberapa contoh kasus yang dapat dideteksi sehubungan dengan penjelasan
diatas adalah pengaruhnya terhadap perubahan konsentrasi klorofil-a fitoplankton
dan kepadatan komunitas zooplankton pada perairan estuari Sungai Tallo.
Sebagaimana fungsinya sebagai perairan estuari yang mampu menjebak nutrien-

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


132 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

nutrien dari daratan untuk mempersubur perairan, maka pertumbuhan organisme


seperti fitoplankton dan zooplankton akan memperlihatkan dinamika tersendiri
pada perairan ini.
Perubahan parameter fisika dan kimia perairan akan terjadi akibat pengaruh
daratan seperti yang dijelaskan sebelumnya. Seberapa kuatnya pengaruh
parameter itu terhadap perubahan klorofil-a fitoplankton dan kelimpahan
zooplankton akan terjelaskan dengan melakukan penelitian menyangkut hal
tersebut. Parameter fisika dan kimia perairan yang dimaksud antara lain adalah
nutrien (jenis nitrat dan fosfat), arus, suhu, pH, salinitas, dan kekeruhan. Untuk
itu, telah dilakukan penelitian menyangkut identifikasi keterhubungan klorofil-a
fitoplankton dan komunitas zooplankton dengan berbagai parameter berpengaruh
di estuari Sungai Tallo Makassar. Diharapkan hasil penelitian ini dapat
memberikan informasi sehubungan dengan keterhubungan yang dimaksud untuk
pemanfaatan perairan di masa yang akan datang.

Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai April 2012 di
estuari Sungai Tallo pada enam stasiun (Tallo 1, 2, 3, 4, 5, dan 6). Stasiun Tallo 1
berada di bagian dalam muara Sungai Tallo dan stasiun berikutnya ditarik garis
tegak lurus ke arah laut (Gambar 1). Identifikasi dan análisis sampel dilakukan di
Laboratorium Oseanografi Kimia, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan
dan Perikanan dan Laboratorium Kualitas Lingkungan Laut LP3K Gedung Pusat
Kegiatan Penelitian (PKP), Universitas Hasanuddin.

Gambar 1. Lokasi penelitian di daerah estuari Sungai Tallo, Makassar, Sulawesi Selatan
Pada setiap stasiun dilakukan pengukuran parameter fisika dan kimia
perairan seperti suhu, salinitas, pH, kecepatan arus, dan kekeruhan. Untuk

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 133
pengukuran kandungan hara (nitrat dan ortofosfat) dilakukan pula pengambilan
contoh air di setiap stasiun penelitian. Contoh air ini disimpan dalam cold box
sebelum dianalisis di laboratorium.
Pengambilan sampel air untuk pengukuran kandungan klorofil-a diambil
sebanyak 1 liter pada masing-masing stasiun dan dimasukkan ke dalam botol
sampel lalu diawetkan dengan larutan MgCO3. Kemudian untuk pengambilan
sampel air untuk pengukuran kepadatan zooplankton dilakukan dengan cara
penarikan plankton net secara horizontal pada perairan sepanjang 10 m di setiap
stasiun. Hasil penarikan ini selanjutnya ditampung ke dalam botol sampel dengan
volume 100 ml, kemudian diawetkan dengan lugol 1% (Vollenweider, 1968).
Sampel untuk sementara ditempatkan dalam cool box yang diberi es dengan suhu
sekitar 4 oC sampai dianalisis di laboratorium. Dalam penghitungan kepadatan
zooplankton dilakukan berdasarkan metode “Lackley drop microstransek
counting” (APHA, 1998).
Sebanyak 1 liter sampel air di saring dengan saringan Millipore (Tipe HA,
diameter 47 mm dan porositas 0.45 m). Kemudian, vacuum pump (tekanan 200
mm Hg) dijalankan untuk memulai penyaringan. Setelah penyaringan, saringan
tersebut dibungkus dengan aluminium foil kemudian disimpan dalam freezer (-
20oC). Penyaringan dilakukan 5 jam setelah pengambilan sampel. Metode yang
digunakan dalam penentuan konsentrasi klorofil adalah metode spektrofotometer
dari Parsons et al. (1992). Dalam metode tersebut, saringan diekstrak dengan 15
ml aceton 90% dan dihancurkan sampai saringan itu hancur, kemudian disentrifug
pada 3600 rpm selama 5 menit. Supernatan dituangkan ke dalam kuvet
spektrofotometer 10 cm dan absorbans sampel diukur dengan panjang gelombang
750, 664, 647 dan 630 nm.
Pencacahan dan metode perhitungan kepadatan zooplankton adalah
penyapuan (sensus) dengan menggunakan Sedgwick Rafter Cell (SRC) (APHA
1998). Analisis PCA digunakan untuk menganálisis keterhubungan antara
klorofil-a dan komunitas zooplankton dengan parameter fisika kimia. Analisis
dilakukan secara deskriptif yang ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar.

Hasil dan Pembahasan


Parameter Fisika dan Kimia Perairan
Hasil pengukuran parameter fisika kimia di estuari Sungai Tallo dapat dilihat pada
Tabel 1. Suhu air mempunyai peranan dalam kecepatan laju metabolisme dan
respirasi biota perairan (Boumen et al. (2003). Berdasarkan hasil pengukuran,
suhu terdeteksi berkisar antara 28–31oC (Tabel 1 dan Gambar 1). Secara umum,
suhu mengalami peningkatan seiring dengan semakin jauhnya stasiun dari
daratan. Suhu terendah ditemukan di stasiun-stasiun muara (stasiun 1 dan 2) dan
tertinggi sebesar 31oC pada stasiun 5. Kisaran suhu di estuari Sungai Tallo masih
dalam ambang yang dapat ditoleransi oleh biota air termasuk plankton (Ray dan

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


134 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

Rao, 1964). Suhu optimum untuk kehidupan organisme perairan berkisar 27-31
0
C (Nontji, 2007).
Tabel 1. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan
Suhu Salinitas Arus pH Nitrat Fosfat Kekeruhan
Stasiun
(0C) (‰) (m/dtk) (mg/L) (mg/L) (NTU)
Tallo 1 29 2 0,2 7 0,2 0,5 17,4
Tallo 2 30 3 0,2 7 0,3 0,8 20,9
Tallo 3 28 3 0,5 7 0,4 0,5 21,3
Tallo 4 30 27 0,2 7 0,1 0,6 37,3
Tallo 5 31 31 0,1 7 0,2 0,8 7,41
Tallo 6 29 31 0,09 8 0,1 0,5 1,45
Hasil pengukuran salinitas di estuari Sungai Tallo dapat dikelompokkan
dalam dua kelompok yaitu kelompok dengan salinitas yang rendah berkisar antara
2–3 ppt (ditemukan pada stasiun Tallo 1 dan 2), dan kelompok dengan salinitas
yang tinggi berkisar antara 27–31 ppt (ditemukan pada stasiun Tallo 5 dan 6)
(Tabel 1 dan Gambar 1). Sachlan (1982) menjelaskan bahwa plankton yang
tumbuh dan berkembang pada kisaran salinitas 0–10 ppt dikategorikan sebagai
plankton air tawar dan payau, kemudian plankton yang tumbuh dan berkembang
pada kisaran salinitas lebih besar dari 20 ppt dikategorikan plankton laut.

Gambar 2. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan lokasi penelitian
Hasil pengukuran kecepatan arus di estuari Sungai Tallo berkisar 0,09–0,5
m/dtk (Tabel 1 dan Gambar 1). Kecepatan arus terendah dengan nilai 0.1 m/dtk
tercatat pada stasiun Tallo 5 dan tertinggi sebesar 0,5 m/dtk pada stasiun Tallo 3.
Berdasarkan penjelasan Mason (1981), kecepatan arus di perairan ini tergolong
dalam perairan yang berarus lambat sampai sedang (perairan berarus lambat
sebesar 0,1-0,25 m/dtk, dan berarus sedang sebesar 0,25-0,5 m/dtk).

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 135
Secara umum, hasil pengukuran tingkat keasaman (pH) menunjukkan nilai
yang hampir seragam pada keenam stasiun. Nilai pH yang diperoleh berkisar
antara 7-8 (Tabel 1 dan Gambar 1). Kisaran pH yang tercatat selama penelitian
masih bersesuaian dengan pertumbuhan plankton. Omori dan Ikeda (1984)
menyatakan bahwa nilai pH dengan kisaran antara 7 –8,5 merupakan kisaran yang
sesuai dengan pertumbuhannya.
Selanjutnya, hasil pengukuran kekeruhan di estuari Sungai Tallo berkisar
antara 1,45–37,3 NTU (Tabel 1 dan Gambar 1). Secara umum, nilai kekeruhan
lebih tinggi di stasiun-stasiun dekat muara jika dibandingkan dengan yang jauh
dari muara.Dari hasil pengukuran, kekeruhan perairan ini secara umum tergolong
sangat keruh. Hal ini tentunya berdampak pada pertumbuhan plankton yang
diduga tidak dalam kondisi optimal.
Berdasarkan hasil pengukuran, konsentrasi nitrat di estuari Sungai Tallo
berkisar antara 0,1–0,4 mg/L (Tabel 1 dan Gambar 1). Nilai terendah sebesar 0,1
mg/l tercatat pada stasiun 4 dan 6 mg/L, sementara itu nilai tertinggi sebesar 0,4
mg/L terdapat pada stasiun 4. Nilai konsentrasi nitrat seperti ini menunjukkan
bahwa perairan tersebut memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Wetzel (1983)
menjelaskan bahwa perairan dengan kandungan nitrat 0–1 mg/L merupakan
perairan dengan tingkat kesuburannya rendah. Walau nilai konsentrasi nitrat
seperti itu, plankton masih dapat tumbuh dan berkembang namun tidak optimal.
Secara umum, konsentrasi nitrat yang terdeteksi lebih tinggi di stasiun-stasiun
dekat muara (stasiun 1, 2 dan 3) jika dibandingkan dengan yang jauh dari muara
(stasiun 4, 5, dan 6).
Berdasarkan hasil pengukuran konsentrasi orthofosfat selama penelitian
menunjukkan bahwa konsentrasi parameter ini berkisar antara 0,5–0,8 mg/L
(Tabel 1 dan Gambar 1). Konsentrasi fosfat terendah sebesar 0,5 mg/L tercatat
pada stasiun 1, 3, dan 6, sementara itu tertinggi sebesar 0,8 mg/L terdapat pada
stasiun 2 dan 5. Konsentrasi fosfat seperti ini sangat sesuai dengan pertumbuhan
plankton. Menurut Wardoyo (1975), kandungan orthofosfat yang optimum untuk
pertumbuhan plankton khususnya fitoplankton berkisar antara 0,09 mg/L–1,80
mg/L. Apabila kandungan orthofosfat melebihi kebutuhan normalnya maka
terjadi keadaan lewat subur (eutrofikasi).
Hasil pengukuran kandungan klorofil-a fitoplankton berkisar antara 0,50–
0,85 mg/L. Kandungan klorofil-a fitoplankton terendah ditemukan pada stasiun 2
sebesar 0.50 mg/L dan tertinggi pada Stasiun 4 sebesar 0.85 mg/L (Gambar 1).
Namun, secara umum kandungan klorofil-a fitoplankton mengalami peningkatan
seiring dengan semakin jauhnya stasiun dari muara sungai.

Jika dicermati kandungan klorofil-a fitoplankton pada penelitian ini dapat


dikategorikan sebagai perairan dengan tingkat kesuburan yang rendah. Hal ini
sesuai yang dijelaskan oleh Smith (1999) bahwa perairan dikategorikan memiliki
tingkat kesuburan yang rendah (oligotrofik) jika kandungan klorofil-a
fitoplankton kurang dari 1 mg/L. Kepadatan zooplankton terdeteksi antara 43–

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


136 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

1310 ind/L (Gambar 1) dengan kepadatan tertinggi tercatat pada stasiun 5 dan
terendah pada stasiun 3.

Keterhubungan klorofil-a fitoplankton dan komunitas zooplankton dengan


berbagai parameter berpengaruh
Untuk melihat keterhubungan antara klorofil-a dan komunitas zooplankton
dengan dengan berbagai parameter berpengaruh digunakan metode Principal
Components Analysis (PCA) dengan bantuan perangkat lunak Biplot. Terlihat
dalam Gambar 2, persentase keragaman yang dapat dijelaskan adalah sebesar
72,14 % cukup untuk menggambarkan parameter penciri/berpengaruh pada
berbagai stasiun dengan hanya sedikit kehilangan informasi yaitu sekitar 27.86 %.
Dengan demikian, dalam mendeteksi keterhubungan klorofil-a fitoplankton dan
komunitas zooplankton dengan berbagai parameter berpengaruh cukup dengan
menggunakan dua sumbu utama (F1 dan F2).

Gambar 2. Hasil Analisis sumbu 1-2 Komponen Utama (PCA)


Berdasarkan hasil analisis PCA (Gambar 2), klorofil-a fitoplankton
memiliki hubungan positif dengan salinitas dan pH, sementara itu hubungan
negatif terjadi dengan nitrat khususnya pada stasiun Tallo 4, 6, dan 2.
Penggambaran hubungan ini adalah tepat sebab kisaran pH dan salinitas
bersesuaian dengan kehidupan fitoplankton. Nilai pH antara 7–8 merupakan
kisaran nilai yang cocok dan mendukung pertumbuhan fitoplankton (Omori dan
Ikeda, 1984) baik fitoplankton air tawar/payau maupun laut, demikian pula
dengan kisaran salinitas antara 2–31 ‰ (Gambar 1). Tentunya dengan adanya
kesesuaian itu mengakibatkan penyerapan nutrien menjadi semakin cepat. Hal ini
terjadi pada nitrat, konsentrasinya menjadi rendah akibat proses penyerapan itu,
dengan demikian hubungan antara klorofil-a fitoplankton dengan nitrat dapat saja
ditemukan negatif seperti pada kasus penelitian ini.
Selanjutnya pada Gambar 2, penggambaran hubungan kepadatan
zooplankton dengan berbagai parameter berpengaruh tercermin pada hubungan
yang positif dengan suhu dan sebaliknya hubungan negatif dengan arus dan

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 137
kekeruhan khususnya pada stasiun Tallo 5. Berdasarkan hasil pengukuran suhu,
besarnya parameter ini pada stasiun Tallo 5 memang masih berada dalam batas
kelayakan pertumbuhan zooplankton (Ray dan Rao, 1964). Disamping itu,
pertambahan kepadatan zooplankton pada stasiun Tallo 5 ini terjadi karena nilai
kekeruhan dan kecepatan arus dalam kategori yang rendah, hal ini mengakibatkan
zooplankton menjadi lebih aktif melakukan aktifitas.

Kesimpulan
Keterhubungan klorofil-a fitoplankton dengan berbagai parameter
berpengaruh tergambarkan pada hubungan yang positif dengan pH dan salinitas,
sementara itu hubungan negatif tergambarkan dengan nitrat. Keterhubungan
komunitas zooplankton dengan berbagai parameter berpengaruh tercermin dalam
hubungan positif dengan suhu, sementara itu hubungan negatif dengan kekeruhan dan
kecepatan arus.

Daftar Pustaka
APHA. 1998. Standart Metohds of Water and Wastewater. Edition. APHA-
AWWA_WPFC. Pulb., Public Health Association, Wasington DC.

BPS, 2012. Makassar Dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Kota Makassar. Sul-Sel.

Bouman, H. A., T. Platt, S. Sathyendranath, W. K. W. Li, V. Stuart, C. Fuentes-Yaco, H.


Maass, E. P. W. Horne, O. Ulloa, V. Lutz, and M. Kyewalyanga. 2003.
Temperature as Indicator of Optical Properties and Community Structure of
Marine Phytoplankton: Implications for Remote Sensing. Mar Ecol Prog Ser. Vol.
258: 19-30.

Cebrian, J. 2002. Variability and Control of Carbon Consumption, Export, and


Accumulation in Marine Communities. Limnol.Oceanogr. 47(1):11–22.

Jassby, A.D, J.E. Cloern and B.E. Cole. 2002. Annual Primary Production: Patterns and
Mechanisms of Change in A Nutrient-Rich Tidal Ecosystem. Limnol. Oceanogr.,
47(3), 698–712.

Kennish, M.J. 1994. Practical Handbook of Marine Science. Second Edition. CRC Press.

Mason, C.F. 1981. Biology ofFreshwater Pollution. Longman Group. Great Britain.

May, C.L, J.R. Koseff, L.V. Lucas, J.E. Cloern, and D.H. Schoellhamer. 2003. Effects of
Spatial and Temporal Variability of Turbidity on Phytoplankton blooms.
Mar.Ecol.Prog.Ser. 254:111–128.

Nontji A.2007. Laut Nusantara. Jambatan.Jakarta.

Omori, M and T. Ikeda. 1984. Methods In Marine Zooplankton Ecology. A Wiley-


Interscience Publication. New York

Parsons, T. R., Y. Maita, C.M. Lalli. 1992. A Manual of Chemical and Biological
Methods for Seawater Analysis. Pergamon Press, Offord-New York-Toronto-
Sydney-Paris-Frankfurt.

Ray, P and N. G. S. Rao. 1964. Density of Fresh Water Diatoms in Relation to Some
Physico-Chemical Condition of Water. Indian J. Fish.

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


138 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Correspondence Course Centre. Direktorat Jenderal


Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Savenkoff, C., A.F. Vézina, T.T. Packard, N. Silverberg, J.C. Therriault, W. Chen, C.
Bérubé, A. Mucci, B. Klein, F. Mesplé, J.E. Tremblay, L. Legendre, J. Wesson,
and R.G. Ingram. 1996. Distributions of Oxygen, Carbon, and Espiratory Activity
in The Deep Layer of The Gulf of St. Lawrence and Their Implications for The
Carbon Cycle. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 53: 2451–2465.

Smith, G.M., 1999. The Freswater Algae of The United States. McGraw-Hill Book
Company Inc. New York.

Vollenweider, R.A. 1968. Scientific Fundamentals of the Euthrophication of Lakes and


Flushing Waters, with Particular Influence to Nitrogeneous ang Phosphorous as
Factors in Euthrophication. OECD, Technical Report, Paris.

Wardoyo, S. T. H., 1975. Kriteria Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan.
Departemen Tata Produksi Perikanan. Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.

Wetzel, R. G. 1983. Limnology. W.B. Sounders Company, Philadelphia.

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 139
Keanekaragaman dan Kondisi Padang Lamun
Berdasarkan Zona Perairan yang Berbeda di Kabupaten
Mamuju Sulawesi Barat
Diversity and Condition of Seagrass Beds Based on Difference in
Water Zone in Mamuju Regency, West Sulawesi
Supriadi Mashoreng1, Chair Rani1, Parman Parakkasi2, Abdul Haris1, Ahmad
Faisal1 dan Sutia Budi3
1
Faculty of Marine Sciences and Fisheries, Hasanuddin University, Makassar
2
Marine and Fisheries Service, West Sulawesi Province
3
Bosowa University, Makassar
Email : supriadi112@yahoo.com

ABSTRACT
Seagrass beds are found grow flourishly in shallow waters. Vertically, their growth are restricted
to particular depths due to their requirements to adequate sunlight for their growth and
development. Besides the sunlight, various environmental factors such as nutrients, substrate type,
and salinity are also affect the development and distribution of seagrass. These environmental
factors could differ spatially according to their distance from the mainland and also be affected by
the anthropogenic activities in this area. This study was aimed to analyze the distribution and
condition of seagrass beds at different coastal zones based on differences in their distances from
the mainland and the surrounding activities. Sampling was conducted at three different zones, i.e.
coastal waters of the mainland, the Karampuang Island that located close to the mainland and
Balabalakang Archipelago that situated farther from the mainland. Sampling using plots was
applied systematically with distances among plots were 10-20 meter suited to the thickness and
homogenity of the seagrass. Results of this study showed that there were six seagrass species
found in Balabalakang Archipelago. This number is lower than those found in the coastal areas of
the mainland and Karampuang Island having eight seagrass species. The highest seagrass
coverage was found in Karampuang Island i.e. 61.3%, followed by the coastal waters of the
mainland 55.3% and the lowest was observed in Balabalakang Archipelago 34.3%. The seagrass
diversity at several stations in Balabalakang Archipelago were also in particular lower compared
to the coastal mainland and Karampuang island.
Keywords: seagrass diversity, seagrass distribution, seagrass bed condition, water zone of
Mamuju Regency

Pendahuluan
Padang lamun di Perairan Kabupaten Mamuju merupakan salah satu
ekosistem perairan dangkal yang cukup penting, tersebar mulai dari perairan
pesisir sampai pada pulau-pulau yang lokasinya sangat jauh dari daratan.
Beberapa aktifitas masyarakat yang bermukim di pesisir dan pulau-pulau
dilakukan pada ekosistem ini, seperti menangkap ikan, budidaya rumput laut dan
sebagainya. Selain itu, padang lamun juga dapat berkontibusi terhadap
minimalisasi dampak gelombang dan arus terhadap pantai. Beberapa aktifitas
masyarakat di padang lamun seperti menangkap ikan, sangat terkait dengan
keanekaragaman dan kondisi padang lamunnya. Padang lamun menjadi tempat
berlindung, mencari makan dan mengasuh anak-anaknya bagi ikan dan biota
lainnya.
Kondisi padang lamun dapat mengalami penurunan, baik akibat alam
maupun akibat aktifitas manusia (secara langsung maupun tidak langsung).
Keanekaragaman dan kondisi padang lamun di Perairan Kabupaten Mamuju

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


140 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

diduga sangat bervariasi menurut lokasinya. Berdasarkan kedua kenyataan


tersebut di atas, distribusi yang luas dan kondisi padang lamun yang bervariasi,
maka perlu dilakukan penelitian untuk melihat keanekaragaman dan kondisi
padang lamun di Perairan Kabupaten Mamuju. Diharapkan hasil penelitian ini
menjadi salah satu bahan informasi yang dapat dimanfaatkan oleh stakeholder
untuk berbagai kepentingan.

Metode Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan April-Mei 2015 di wilayah Perairan
Kabupaten Mamuju. Penentuan stasiun didasarkan pada zona perairan yang
berbeda dan dikelompokkan menjadi tiga zona. Zona 1 merupakan perairan pesisir
daratan utama, Zona 2 Pulau Karampuang yang relatif dekat dengan daratan utama
dan Zona 3 kawasan Kepulauan Bala-balakang yang cukup jauh dari daratan
utama. Deskripsi singkat masing-masing stasiun pada ketiga zona penelitian
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Deskripsi singkat masing-masing stasiun pada ketiga zona penelitian
Jumlah Sub
Zona Stasiun Karakteristik Lokasi
Stasiun
Sumare 2 Jauh dari pemukiman, pantai terbuka dan landai
Daerah pemukiman, relatif terlindung, terdapat
Bukutakkang 2
vegetasi mangrove yang tipis pada bagian dalam
Rangas 2 Daerah pemukiman padat, relatif terlindung
1 Daerah budidaya rumput laut, terdapat vegetasi
Tadui 2
mangrove di pesisir
Bone-Bone 2 Vegetasi mangrove di pesisir
Teluk kecil, daerah tambatan kapal penangkap ikan,
Labuang 4
daerah mangrove, substrat pasir berlumpur
Jarak sekitar 1,8 km dari daratan utama, pulau
Pulau
2 3 berbatu, berpenghuni, daerah wisata, pada beberapa
Karampuang
bagian ditumbuhi vegetasi mangrove yang tebal
Berpenghuni, luas 13,03 ha, kepadatan penduduk 38
Salissingang 4
orang/ha, daerah mencari makan penyu
Kamariang Tidak berpenghuni, luas 2,85 ha, daerah mencari
4
Besar makan penyu
Berpenghuni, luas 22,33 ha, kepadatan penduduk 9
3 Saboeang 4
orang/ha, daerah mencari makan penyu
Berpenghuni, luas 12,83 ha, kepadatan penduduk 8
Samataha 4
orang/ha, daerah mencari makan penyu
Berpenghuni, luas 34,35 ha, kepadatan penduduk 10
Popoongan 4
orang/ha, daerah mencari makan penyu
Tidak berpenghuni. Luas 7,67 ha, daerah mencari
Sumare Besar 4
makan penyu

Prosedur Penelitian
Pengambilan data kerapatan dan tutupan jenis dilakukan dengan
menggunakan transek garis dan plot berukuran 50 cm x 50 cm (McKenzie dan
Campbell, 2002). Transek garis menggunakan roll meter ditarik tegak lurus garis
pantai dari arah daratan menuju laut sepanjang zona padang lamun. Plot
ditempatkan setiap 10 atau 20 meter pada transek garis tersebut disesuaikan

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 141
dengan homogenitas dan luas lamunnya. Data kerapatan dan persen tutupan
lamun dilakukan pada lamun yang ada di dalam plot. Jumlah tegakan tiap jenis
lamun dihitung untuk mengetahui kerapatannya, sedangkan pengamatan persen
tutupan dilakukan dengan mengacu pada standar McKenzie dan Campbell (2002).
Frekuensi kemunculan jenis dihitung dari nisbah jumlah plot dimana suatu jenis
ditemukan terhadap total plot yang diamati. Nilai frekuensi kemunculan
mengindikasikan luas tidaknya sebaran lamun. Pada zona 1 (pesisir daratan
utama), setiap stasiun dilakukan pengamatan terhadap 2-3 ulangan garis transek.
Pada zona 2 (Pulau Karampuang) pengamatan dilakukan pada 3 sisi pulau dan
pada zona 3 (Kepuluan Bala-balakang) dilakukan pada 4 sisi semua pulau.
Formula yang digunakan untuk menghitung frekuensi kemunculan dan
kerapatan lamun didasarkan pada Khouw (2009). Kerapatan lamun dihitung
berdasarkan rumus :
∑ ni
Di = Ai

Di = kerapatan lamun jenis-i (tunas/m2)


∑ni = jumlah tunas lamun jenis-i (tunas)
Ai = jumlah luas transek dimana lamun jenis-i ditemukan (m2)
Frekuensi kemunculan lamun dihitung berdasarkan rumus :

∑ ti
Fi = x 100%
T

Fi = frekuensi jenis-i (%)


∑ti = jumlah transek dimana jenis-i ditemukan
T = total transek yang digunakan

Untuk melihat pengelompokan stasiun berdasarkan penutupan jenis lamun,


data dianalisis menggunakan analisis multivariate (analisis klaster hirarki dan
analisis koresponden).

Hasil Dan Pembahasan


Distribusi Lamun
Jumlah jenis lamun yang ditemukan selama sampling sebanyak 9 jenis yaitu
Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, H. minor, Cymodocea
rotundata, C. serrulata, Halodule uninervis, H. pinifolia dan Syringodium
isoetifolium. Setiap stasiun pada ketiga zona perairan mempunyai jumlah jenis
bervariasi. Secara umum ditemukan total 8 jenis lamun masing-masing pada zona
1 dan zona 2, sementara pada zona 3 hanya ditemukan 6 jenis lamun. Berdasarkan
stasiun, Pulau Kamariang Besar mempunyai jumlah jenis lamun paling sedikit
yaitu 2 jenis, terdiri dari Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata,
sedangkan Pulau Karampuang mempunyai jumlah jenis terbanyak yaitu 8 jenis.
Hanya jenis H. pinifolia yang tidak ditemukan di Pulau Karampuang dari 9 jenis
yang ada (Tabel 2).

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


142 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

Berdasarkan frekuensi jenis yang mengindikasikan distribusi lamun, jenis


yang mempunyai sebaran luas adalah Thalassia hemprichii, H. ovalis dan C.
rotundata. Ketiga jenis tersebut mempunyai frekuensi kemunculan lebih dari
75%.
Tabel 2. Distribusi lamun pada masing-masing stasiun penelitian
Jenis Lamun
Zona Stasiun
Th Ea
Ho Hm Cr Cs Hu Hp Si
Sumare √ √√ √ √ √
Bulutakkang √ √√ √ √ √
Rangas √ √ √ √ √ √
1
Tadui √ √√ √ √ √
Bone-Bone √ √√ √
Labuang √ √√ √ √ √
2 P. Karampuang √ √√ √ √ √ √ √
P. Salissingan √ √ √ √ √ √
P. Kamariang Besar √ √
P. Saboeang √ √ √ √
3
P. Samataha √ √ √
P. Popoongan √ √ √ √
P. Sumanga Besar √ √ √
Keterangan: Ea: Enhalus acoroides; Th: Thalassia hemprichii; Ho: Halophila ovalis; Hm: H.
minor; Cr: Cymodocea rotundata, Cs: C. serrulata; Hu: Halodule uninervis; Hp: H.
pinifolia; Si: Syringodium isoetifolium. Notasi √ menunjukkan ditemukan jenis lamun
pada stasiun sampling.
Sementara H. minor dan C. serrulata merupakan jenis yang sebarannya
relatif terbatas dengan frekuensi kemunculan kurang dari 25% (Gambar 2). Hal
berbeda ditemukan di Pulau Barranglompo dimana sebaran padang lamun
didominasi oleh E. acoroides, T. hemprichii dan C. rotundata (Supriadi et al.
2012). Sementara di Singapura, E. acoroides dan H. ovalis ditemukan lebih luas
distribusinya di antara 12 jenis yang ditemukan (Yaakub et al. 2013).

100
90
Frekuensi Kemunculan (%)

80
70
60
50
40
30
20
10
0

Jenis

Gambar 2. Frekuensi kemunculan lamun (%) di daerah penelitian

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 143
Hal yang menarik adalah tidak ditemukannya jenis Enhalus acoroides pada
semua stasiun di zona 3, walaupun pada zona 1 dan zona 2 ditemukan pada semua
stasiun. Jenis lamun E. acoroides merupakan salah satu lamun yang termasuk
mempunyai penyebaran yang luas dengan daya adaptasi yang tinggi (Kuriandewa
2009). Menurut informasi dari penduduk di Kepulauan Bala-balakang, sejak dulu
sepanjang ingatan mereka, jenis E. acoroides tidak pernah ditemukan tumbuh,
walaupun kondisi lingkungan yang didasarkan pada Rani et al. (2014) dan
pengamatan secara langsung, sangat memungkinkan untuk tumbuh. Salah satu
kemungkinan karena lokasinya yang relatif jauh dari sumber benih E. acoroides.
Hal ini berbeda dengan jenis-jenis lain yang dari awal sudah tumbuh di lokasi
tersebut. Penyebaran biji E. acoroides hanya bisa mencapai 3,7 km, sedangkan
buahnya dapat menyebar sampai 63,5 km dari sumber benih (Lacap et al. 2002).
Pola arus di Selat Makassar, lokasi Kepulauan Bala-balakang sangat kecil
kemungkinan mendistribusikan benih E. acoroides dari pesisir daratan utama,
baik Pulau Sulawesi maupun Pulau Kalimantan karena pola arus utama bergerak
dari arah utara menuju ke selatan.

Penutupan Lamun
Penutupan lamun menunjukkan adanya variasi antar stasiun sampling.
Kisaran penutupan lamun 21-71% dengan penutupan terendah di Pulau Sumanga
Besar dan tertinggi di Pesisir Tadui. Merujuk pada Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup (Kepmen LH) Nomor 200 tahun 2004, maka 7 stasiun dari
total 13 stasiun mempunyai kondisi padang lamun berkategori kurang
kaya/kurang sehat, atau penutupan 60% ke atas (Gambar 3a). Ketujuh stasiun
tersebut tersebar pada Zona 1 (Sumare, Rangas, Bone-Bone dan Labuang) dan
Zona 3 (P. Salissingan, P, Kamariang Besar dan P. Saboeang). Kondisi lamun
yang berkategori miskin (penutupan kurang dari 30%) terdiri dari 3 stasiun yaitu
Pulau Samataha, Pulau Popoongan dan Pulau Sumanga Besar. Ketiga stasiun
tersebut termasuk pada zona 3. Sementara kategori kaya/sehat ditemukan pada 3
stasiun yaitu Pesisir Bulutakkang dan Tadui (Zona 1) dan Pulau Karampuang
(Zona 2).

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


144 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

100
90
80
a

Penutupan (%)
70
60
50
40
30
20
10
0

Bone-Bone
Sumare

Rangas

Tadui

P. Salissingan

P. Samataha

P. Popoongan

P. Sumanga Besar
Bulutakkang

Labuang

P. Kamariang Besar

P. Saboeang
P. Karampuang
PD PDD PJD

100
90 b
80
70
Penutupan (%)

60
50
40
30
20
10
0
PD PDD PJD
Kategori

100%
90%
c
S. isoetifolium
80%
Penutupan Relatif

70% H. pinifolia
60%
H. uninervis
50%
40% C. serrulata
30%
20% C. rotundata
10% H. minor
0%
P. Kamariang…

H. ovalis
P. Popoongan
Bone-Bone

P. Samataha
Sumare
Sumare

Tadui

P. Salissingan

P. Saboeang

P. Sumanga Besar
Bulutakkang

Labuang
P. Karampuang

T. hemprichii
E. acoroides

Gambar 3. Penutupan lamun (%). (a) berdasarkan stasiun sampling, (b) berdasarkan
Zona Perairan, dan (c) penutupan relatif. PD = pesisir daratan, PDD = pulau
dekat daratan dan PJD = pulau yang jauh dari daratan
Berdasarkan zona perairan, rata-rata penutupan lamun antara Zona 1 dan
Zona 2 tidak jauh berbeda, yakni masing-masing 55% dan 61%, sedangkan Zona
3 relatif lebih rendah yakni 34% (Gambar 3b). Umumnya jenis yang mempunyai
kontribusi penutupan lamun yang tinggi pada Zona 1 dan Zona 2 adalah E.
acoroides, T. hemprichii dan C. rotundata. Sedangkan pada Zona 3, penutupan
lamun umumnya disumbangkan oleh T. hemprichii, H. ovalis dan C. rotundata
(Gambar 3c).
Sedikitnya terdapat 3 penyebab perbedaan tutupan lamun tersebut. Pertama,
berhubungan dengan nutrien. Zona 1 dan Zona 2 mempunyai lokasi perairan yang
memungkinkan untuk menerima limpahan nutrien dari daratan. Nutrien sangat
dibutuhkan oleh lamun untuk pertumbuhannya. Sementara pada Zona 3 yang jauh
dari daratan, konsentrasi nutriennya relatif lebih rendah (DKP Sulbar, 2016).
Kedua, semua stasiun di Kepulauan Bala-balakang juga merupakan daerah
feeding ground (tempat mencari makan) penyu. Penyu memakan daun-daun
Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III
Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 145
lamun sehingga menjadi salah satu penyebab rendahnya penutupan lamun. Ketiga,
kondisi secara umum padang lamun di Zona 3 banyak yang tertimbun pasir.
Diduga timbunan pasir tersebut akibat sedimen yang terbawa dari hasil pecahan-
pecahan karang yang hancur sebagai akibat aktifitas masyarakat pada masa lalu
yang menangkap ikan tidak ramah lingkungan.
Analisis hirarki klaster menunjukkan adanya 4 pengelompokan berdasarkan
penutupan jenis lamun (Gambar 4). Kelompok pertama terdiri dari 7 stasiun yang
terdiri dari semua stasiun pada Zona 1 dan Zona 2. Kelompok kedua terdiri dari 3
stasiun yaitu Pulau Saboeang, Pulau Kamariang Besar dan Pulau Sumanga Besar.
Ketiga pulau tersebut berada pada bagian tengah gugusan Kepulauan Bala-
Balakang. Dua pulau terakhir dari ketiga pulau tersebut juga tidak berpenghuni.
Kelompok ketiga terdiri dari Pulau Salissingan, dan kelompok keempat terdiri dari
Pulau Popoongan dan Pulau Samataha.

Gambar 4. Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan penutupan jenis lamun


Analisis koresponden menunjukkan jenis lamun yang menjadi penciri pada
masing-masing kelompok yang terbentuk (Gambar 5). Pada analisis ini yang
didasarkan pada kontribusi pembentukan sumbu, juga didapatkan 4 kelompok
pada 3 sumbu utama pertama (F1, F2 dan F3). Namun dari empat kelompok
tersebut, hanya terdapat dua kelompok yang kontribusinya terhadap pembentukan
sumbu cukup besar yaitu kelompok Stasiun Pulau Karampuang, Bone-Bone dan
Tadui yang dicirikan oleh jenis lamun T. hemprichii dan E. acoroides. Kelompok
lainnya adalah Stasiun Pulau Samataha dan Pulau Popoongan yang dicirikan oleh
jenis H. ovalis. Kelompok Pulau Karampuang, Tadui dan Bone-Bone merupakan
daerah pesisir daratan utama yang mempunyai substrat yang didominasi oleh pasir
kasar dengan campuran pecahan-pecahan karang. Ketiga stasiun itu juga berada
di depan vegetasi mangrove. Kondisi substrat seperti itu disukai oleh jenis lamun
T. hemprichii dan E. acoroides.

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


146 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016
ISBN: 978-602-71759-2-1

Stasiun Pulau Samataha dan Popoongan berada di Zona 3 dengan substrat


yang didominasi oleh substrat pasir halus, terutama pada bagian intertidal.
Substrat yang demikian merupakan preferensi jenis lamun H. ovalis.

Kerapatan Lamun
Total kerapatan lamun berkisar antara 594-2750 tegakan/m2, terendah di
Stasiun Labuang dan tertinggi di Pulau Salissingan. Kerapatan lamun di Zona 3
relatif lebih tinggi dibanding pada Zona 1 dan Zona 2. Tingginya kerapatan lamun
di Zona 3 tersebut disebabkan karena jenis lamun yang mendominasi adalah jenis
lamun yang secara morfologi berukuran kecil seperti H. uninervis dan H.ovalis.

Walaupun mempunyai kerapatan yang relatif tinggi, namun kedua jenis


lamun ini memberikan kontribusi yang relatif kecil terhadap penutupannya. Hal
ini terkait dengan morfologi lamun tersebut yang kecil.

Kesimpulan
Keanekaragaman lamun yang ditemukan di perairan pesisir dan pulau dekat
daratan lebih tinggi dibanding perairan pulau yang jauh dari daratan. Disamping
itu, kondisi padang lamun berdasarkan penutupan di perairan pesisir daratan dan
pulau dekat daratan juga lebih baik dibanding padang lamun yang tumbuh di
perairan pulau yang jauh dari daratan.

Daftar Pustaka
Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Barat (DKP Sulbar). 2016. Laporan
Akhir Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Propinsi Sulawesi
Barat. DKP Sulbar. Mamuju.

Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 200 Tahun 2004 tentang Kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan
status padang lamun. Jakarta.

Khouw, A.S. 2009. Metode dan Analisa Kuantitatif dalam Bioekologi Laut. Jakarta: Pusat
Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut.

Kuriandewa, T.E. 2009. Tinjauan tentang lamun di Indonesia. Lokakarya Nasional I


Pengelolaan Ekosistem Lamun: Peran Ekosistem Lamun dalam Produktivitas
Hayati dan Meregulasi Perubahan Iklim. Jakarta, 18 November 2009.

Lacap, C.D.A., J.E. Vermaat, R.N. Rollon dan H.M. Nacorda. 2002. Propagule dispersal
of the SE Asian seagrasses Enhalus acoroides and Thalassia hemprichii. Mar.
Ecol. Prog. Ser. Volume 235:75-80.

McKenzie, L.J. dan S.J. Campbell. 2002. Seagrass-Watch: Manual for Community
(citizen) Monitoring of Seagrass Habitat. Western Pacific Edition (QFS, NFC,
Cairns) 43pp.

Rani, C., P. Parakkasi, A. Faisal, A. Haris, F. Samawi, A. Bahar, F. Amir, I. Yasir, D.


Priosambodo dan S. Budi. 2014. Profil Pulau-Pulau Kecil Sulawesi Barat.
Masagena Press. Makassar.

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016 147
Supriadi, R.F. Kaswadji, D.G. Bengen dan M. Hutomo. 2012. Komunitas lamun di Pulau
Barranglompo Makassar: Kondisi dan karakteristik habitat. Maspari Journal 4 (2):
148-158.

Yaakub, S.T., R.L.F. Lim, W.L. Lim dan P.A. Todd. The diversity and distribution of
seagrass in Singapore. Nature in Singapore. Volume 6: 105-111.

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III


148 Universitas Hasanuddin. Makassar, 7 Mei 2016

Anda mungkin juga menyukai