1,Sept
ember,2016
2 1 1-
108 Sept
ember2016
JURNAL SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Volume 2 Nomor 1 September 2016
PenanggungJawab :
Dr. Kusdi Hi Iksan, SP, MSi
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Program Pascasarjana Unkhair
Pimpinan Redaksi :
Dr Ir Martini Djamhur, M.Si
Dewan Ahli:
Dr Kusdi Hi Iksan, SP, MSi (Manajemen Sumberdaya Perairan)
Dr Irham, SPi, MSi (Manajemen Sumberdaya Perikanan)
Dr Yuliana, SPi, MSi (Manajemen Sumberdaya Perairan)
Dr A. Baksir, SPi, MSi (Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan)
Mitra Bestari :
Prof Dr Ir Dietrie ch G Bengen, DEA (Pengelolaan Sumberdaya PLP2K)
Prof Dr Ir Muhajir K Marsaoli, MSi (Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan)
Prof Dr Ir Mulyono Baskoro, MSc (Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan)
Redaksi Pelaksana :
M Abjan Fabanjo
Suriyati A Sabu
AlamatRedaksi :
Program Pascasarjana Program StudiIlmu Kelautan
Gedung Pascasarjana Unkhair Lantai 1
Jalan Raya Kampus II UnkhairKel. Gambesi Kec.Ternate Selatan
Telp/Faks. (0921) 3121854/081356559009
e-mail : pasca.ik.unkhair@gmail.com
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa Karena
berkat Rahmat_Nya, Jurnal Sumberdaya Kelauatan dan Perikanan yang
merupakan edisi kedua dengan tampilan dan letak yang sederhana dapat
diterbitkan.
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan diterbitkan mulai tahun 2015
dengan frekuensi 2 kali setahun oleh Program Pascasarjana Program Studi Ilmu
Kelautan Unkhair, berisi hasil penelitian dan ulasan ilmiah dalam bidang
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.
Guna peningkatan mutu penulisan, maka pengelola jurnal senantiasa
memperhatikan arahan dan petunjuk Tim Akreditsi Junal Pusat Dekomentasi
Ilmia Indonesia-Lembaga Ilmi Pengehuan Indonesia (PDII LIPI).
Pada edisi September Vol 2, Nomor 1 tahun 2016 menampilkan enam tulisan
yang meliputi : i). Pengelolaan Perikanan Cakalang Berkelanjutan di Provinsi
Maluku Utara, ii). Kapasitas Adaptif Ekosistem Mangrove di Pulau-Pulau Kecil
(Studi di Gugus Pulau Guraici) Kabupaten Halmahera Selatan Propinsi Maluku
Utara, iii). Analisis Pemanfaatan Hutan Mangrove Untuk Pengembangan
Ekowisata Mangrove di Desa Guraping Kecamatan Oba Utara Kota Tidore
Kepulauan, iv). Analisis Kandungan Bahan Organik dan Bakteri Patogen (e. Coli)
Di Pelabuhan Bastiong Dan Pantai Kayu Merah Kota Ternate, v). Pengaruh
Ekstrak Bioaktif Fenolik Kulit Buah Mahkota Dewa (phaleria macrocarpa boerl)
sebagai Immunostimulan Terhadap Jaringan Insang Ikan Mas (cyprinus carpio l)
yang diinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila, vi). Studi Komunitas Ikan Pada
Ekosistem Padang Lamun di Perairan Loleo Kecamatan Weda Selatan
Kabupaen Halmahera Tengah vii). Pengaruh Perbedaan Metode Budidaya
Rumput Laut Kappapycus Alvarezii Terhadap Laju Pertumbuhan di Perairan Obi
Utara Halmahera Selatan, analisis tingkat ancaman dan kerentanan bencana
wilayah pesisir kota ternate dan viii.
Dengan diterbitkannya jurnal ini, diharapkan dapat memberikan informasi hasil
penelitian dibidang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan kepada
para pengguna dan atau pelaku pengelola sumberdaya serta dapat menambah
wawasan ilmu pengetahuan bagi kaum akademisi dan peneliti. Saran dan
masukkan dari pembaca sangat diharapkan guna kesempurnaan penerbitan
jurnal di masa mendatang.
Redaksi
ii
JURNAL SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Volume 2 Nomor 1 September 2016
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
PENGELOLAAN PERIKANAN CAKALANG BERKELANJUTAN 1 – 14
DI PROVINSI MALUKU UTARA
AMIRUL KARMAN, ASMAR HI. DAUD
KAPASITAS ADAPTIF EKOSISTEM MANGROVE DI PULAU- 15 – 31
PULAU KECIL (STUDI DI GUGUS PULAU GURAICI)
KABUPATEN HALMAHERA SELATAN PROPINSI MALUKU
UTARA
RIYADI SUBUR
ANALISIS PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE UNTUK 32 – 49
PENGEMBANGAN EKOWISATA MANGROVE DI DESA
GURAPING KECAMATAN OBA UTARA KOTA TIDORE
KEPULAUAN
IDA BT HANAFI, M. IRFAN, RIYADI SUBUR
ANALISIS KANDUNGAN BAHAN ORGANIK DAN BAKTERI 50 – 59
Patogen (E. coli) DI PELABUHAN BASTIONG DAN PANTAI
KAYU MERAH KOTA TERNATE
INAYAH
PENGARUH EKSTRAK BIOAKTIF FENOLIK KULIT BUAH 60 – 71
MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa Boerl) SEBAGAI
IMMUNOSTIMULAN TERHADAP JARINGAN INSANG IKAN
MAS (Cyprinus carpio L) YANG DIINFEKSI BAKTERI Aeromonas
hydrophila
SUDIRTO MALAN
STUDI KOMUNITAS IKAN PADA EKOSISTEM PADANG 72 – 90
LAMUNDI PERAIRAN LOLEOKECAMATAN WEDA SELATAN
KABUPAEN HALMAHERA TENGAH
SUNARTI, FARJAN KAELI, RINA
PENGARUH PERBEDAAN METODE BUDIDAYA RUMPUT 91 – 107
LAUT KAPPAPYCUS ALVAREZII TERHADAP LAJU
PERTUMBUHAN DI PERAIRAN OBI UTARA HALMAHERA
SELATAN
MUH. ARIS, SURYANI, RUSMAWATI LABENUA
ANALISIS TINGKAT ANCAMAN DAN KERENTANAN BENCANA 108-122
WILAYAH PESISIR KOTA TERNATE
SAHLAN NORAU
iii
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
ABSTRAK
Perikanan pole and line di Provinsi Maluku Utara, dikhususkan untuk menangkap
ikan cakalang. Kegiatan penangkapan ikan cakalang dilakukan dengan intensif dan
hingga saat ini belum ada upaya pengelolaan. Penelitian bertujuan merumuskan
konsep pengelolaan perikanan cakalang berkelanjutan di wilayah perairan barat dan
selatan Provinsi Maluku Utara. Perumusan konsep pengelolaan tersebut dilakukan
melalui pendekatan metode deskriptif berdasarkan kondisi umum perikanan
cakalang dan biologi perikanan cakalang. Hasil penelitian menunjukan trend
produksi hasil tangkapan dan trend produktivitas trip penangkapan (ton/trip/tahun)
selama 10 tahun (2003-2012) di perairan barat meningkat. Perairan selatan trend
produktivitas trip penangkapan cenderung mengalami penurunan, hasil tangkapan
pole and linedi dua daerah penangkapan ikan di dominasi ikan cakalang yang belum
layak tangkap, berdasarkan panjang pertama kali matang gonad (Lm= 43 cm).
Perikanan pole and line harus menerapkan pancing yang selektif terhadap cakalang
layak tangkap, pembatasan operasi penangkapan cakalang pada bulan Januari
ketika cakalang di dominasi oleh individu yang belum layak tangkap, dan
pelarangan operasi penangkapan cakalang pada bulan Maret di perairan barat dan
bulan Juli di perairan selatan untuk memberikan kesempatan cakalang memijah.
Kata Kunci: Pengelolaan perikanan, cakalang,berkelanjutan, Maluku Utara
ABSTRACT
Pole and line fisheries in North Maluku province is specialized for catching
skipjacks. Skipjack fishing activities have been carried out intensively for years
with no management effortsfor their sustainability. The research objective is to
formulate the concept of sustainable management of skipjack fisheries in the
western and southern waters of North Maluku Province. The formulation of the
management concept is done through descriptive method approach which is based
on general conditionsof skipjack fishing efforts and fishery biology.The research
results show that there is rising trend of annual fishing trip productivity
(ton/trip/year) for 10 years period (2003-2012) in the western waters and decreasing
trend in southern waters. Fish catched with pole and line in those two fishing areas
is dominated by undersized skipjack population based on their gonads length at first
maturity time (Lm = 43 cm). It is recommended that pole and line fishery should
implement size selective for skipjack fishing and limitate skipjack fishing activities
1
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
PENDAHULUAN
Pengembangan usaha perikanan cakalang di Maluku Utara, merupakan
salah satu kegiatan ekonomi yang sangat strategis setelah diberlakukan UU
Kelautan No.32/2014, dimana Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya melakukan pengelolaan kelautan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat melalui pemanfaatan dan pengusahaan sumberdaya kelautan
dengan menggunakan prinsip ekonomi biru. Selanjutnya UU Pemeritah Daerah No.
23/2014 mengamanatkan bahwa semua kewenangan termasuk perizinan di wilayah
12 mil dari pesisir menjadi wewenang Provinsi. Pembangunan perikanan pada
hakekatny aterarah pada pemanfaatan sumberdaya secara optimal dan rasional bagi
kesejahteraan masyarakat, tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya ikan itu
sendiri maupun lingkungannya (Wiryawan, et al., 2008).
Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya milik bersama (common
property) yang bersifat open access, artinya setiap orang berhak menangkap ikan
dan mengeksploitasi sumberdaya hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapapun
jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Secara empiris, keadaan ini menimbulkan
dampak negatif, antara lain apa yang dikenal dengan tragedy of common baik
berupa kerusakan sumberdaya kelautan dan perikanan maupun konflik antar orang
yang memanfaatkannya. Oleh karena itu, perlu diatur regulasi dalam pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Sumberdaya perikanan yang bersifat
diperbaharui (renewable) ini menuntut adanya pengelolaan dengan pendekatan
yang bersifat menyeluruh dan hati-hati (Fauzi, 2006).
Pengelolaan perikanan bertujuan untuk menjamin kelestarian sumberdaya
ikan sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat berlanjut dalam jangka
panjang. Selanjutnya UU Perikanan No. 31/2004 mengamanatkan bahwa
pengelolaan perikanan harus dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan,
2
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
3
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
ikan dan perdagangan ikan cakalang yang tidak layak tangkap. Tujuan penelitian
adalah merumuskan konsep pengelolaan perikanan cakalang berkelanjutan di
wilayah perairan barat dan selatan Provinsi Maluku Utara. Perumusan konsep
pengelolaan tersebut dilakukan melalui pendekatan metode deskriptif berdasarkan
kondisi umum perikanan cakalang dan biologi perikanan cakalang di kedua lokasi
tersebut.
KONDISI UMUM PERIKANAN CAKALANG
Kegiatan penangkapan cakalang di perairan barat dan selatan Provinsi
Maluku Utara menggunakan alat tangkap pole and line. Nilai produksi cakalang
yang tertangkap di perairan barat maupun perairan selatan Provinsi Maluku Utara
dalam kurun waktu 10 tahun (2003-2012) meningkat (Gambar 1), sedangakan trend
produktivitas trip penangkapan pole and line di perairan selatan menunjukkan trend
yang cenderung menurun pada tahun 2011 dan 2012 (Gambar 2).
1400
Hasil Tangkapan/catch (ton)
1200
1000
800
600
400
200
0
2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
Tahun (Year)
1.20
Produktivitas/productivity
1.00
(ton/trip/thn)
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
Tahun (Year)
4
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
5
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
selatan Provinsi Maluku Utara diperoleh sebesar 43cm. Nilai Lm cakalang berbeda
pada setiap tempat, namun umumnya lebih besar dari 40cm (Tabel 1). Oleh karena
itu teknologi penangkapan cakalang yang dilakukan oleh armada pole and line di
perairan barat dan selatan Provinsi Maluku Utara harus dapat menyeleksi ikan
cakalang dengan ukuran yang belum layak tangkap. Hal ini dapat dilakukan dengan
memperbesar mata pancing dari ukuran mata pancing yang sekarang digunakan.
Tabel 1. Beberapa nilai Lm cakalang pada lokasi lain
Nilai Lm (cm) Jenis
Negara Lokasi
FL Kelamin Ikan
43,5 – 45,4*) - USA Nort Carolina
40,0 – 45,0*) Betina USA Hawai
40,0*) Betina Cuba Northeast region
43,0*) - Polinesia Marquesas and Tuamotu
Islands
43,0*) - Filipina Bohol Sea
45,0*) - Papua New Papua New Guinea
Guinea
41,0 – 43,0**) - Madagaskar Barat Daya Madagaskar
*
) Collette B.B and C. E. Naeun (1983) diacu dalam Froose and Pauly 2011)
**
) Stequert (1976) diacu dalam Matsumoto (1984)
6
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
20
Frekuensi/Frequency (%)
15
10
5
3
0
Bulan (Month)
20
Fekuensi/Frequency (%)
15
10
Bulan (Month)
7
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
TKG V; pada bulan Oktober terdiri dari 8 % TKG I, 28 % TKG II, 60 % TKG III,
dan 4 % TKG V. Sedangkan pada bulan Desember teridiri dari 39 % TKG II, 50 %
TKG III, dan 11 % TKG V. Selanjutanya menurut Wouthuyzen et al (1990), puncak
pemijahan cakalang di laut Banda dan sekitarnya terjadi pada bulan Juni dan
Desember dengan karakteristik sebagai ikan pemijah majemuk (multi spawner).
Operasi penangkapan ikan cakalang ditutup secara serentak pada waktu
(bulan) musim puncak pemijahan yaitu di perairan barat Provinsi Maluku Utara
pada bulan Maret, dimana pada bulan tersebut merupakan puncak musim pemijahan
di perairan barat. Sedangkan di perairan selatan Provinsi Maluku Utaradilakukan
penutupan operasi penangkapan pada bulan Juli, dimana pada bulan tersebut
merupakan puncak musim pemijahan di perairan selatan. Saat penutupan operasi
penangkapan cakalang yang berkaitan dengan musim puncak pemijahan di perairan
barat pada bulan Maret maka armada pole and line yang beroperasi di perairan barat
diarahkan untuk melakukan penangkapan di perairan selatan, begitupun sebaliknya
sehingga armda pole and line tetap beroperasi walapun salah satu zona ditutup
Persentase/Percentage (% )
100
80
60
40
20
0
Bulan (Month)
100
80
60
40
20
0
Bulan (Month)
8
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Kemudian berdasarkan ukuran ikan belum layak tangkap maka kedua zona
dilakukan penutupan operasi penangkapan pada bulan Januari. Hal ini dapat di
laksanakan dengan jalan dikeluarkan PERDA oleh Pemerintah Provinsi Maluku
Utara yang berkaitan dengan penutupan musim penangkapan cakalang, karena
sesuai dengan UU Pemeritah Daerah No. 23/2014 yang mengamanatkan bahwa
semua kewenangan termasuk perizinan di wilayah 12 mil dari pesisir menjadi
wewenang Provinsi.Daerah penangkapan cakalang di perairan barat dan selatan
Provinsi Maluku Utara disajikan dalam Gambar 7.
Penutupan musim penangkapan ikan merupakan pendekatan pengelolaan
sumberdaya ikan (manajemen) yang umumnya dilakukan di Negara yang sistem
penegakan hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini berdasarkan sifat
sumberdaya ikan yang sangat tergantung pada musim. Pada bulan-bulan tertentu,
ikan mungkin saja melimpah di suatu perairan dan sebaliknya tidak ditemukan sama
sekali di tempat yang sama pada bulan yang lain. Musim ikan juga bergantung pada
siklus hidup ikan yang lahir, besar, dan mati pada waktu tertentu. Dengan
mempertimbangkan musim ikan ini, pengelolaan sumberdaya ikan dengan cara
penutupan musim penangkapan dapat dilakukan. Menurut Beddington & Retting
(1983), bahwa paling tidak ada dua bentuk penutupan musim penangkapan ikan.
Pertama, menutup musim penangkapan ikan pada waktu tertentu untuk
memungkinkan ikan dapat memijah dan berekembang. Kedua penutupan kegiatan
penangkapan ikan karena sumberdaya ikan telah mengalami degradasi dan ikan
yang ditangkap semakin sedikit. Oleh karena itu kebijakan penutupan musim harus
dilakukan untuk membuka peluang pada sumberdaya ikan yang masih tersisa
memperbaiki populasinya.
Menurut Nikijuluw (2002), bahwa penutupan musim penangkapan ikan akan
efektif jika dapat dibedakan dengan jelas antara musim dan bukan musim ikan.
Salah satu indikator yang dapat dipakai untuk menunjukkan waktu penutupan atau
9
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
pembukaan kegiatan penangkapan ikan adalah status siklus hidup dari sumberdaya
ikan itu sendiri.
10
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
11
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
SIMPULAN
Hasil tangkapan pole and line dari dua daerah penangkapan ikan yang
ditelitih di dominasi oleh ikan cakalang yang belum layak tangkap, berdasarkan
panjang pertama kali matang gonad (Lm= 43 cm).Perikananpole and line harus
menerapkan pancing yang selektif terhadap cakalang layak tangkap, pembatasan
operasi penangkapan cakalang pada bulan Januari ketika cakalang di dominasi oleh
individu yang belum layak tangkap, dan pelarangan operasi penangkapan cakalang
pada bulan Maret di perairan barat dan bulan Juli di perairan selatan untuk
memberikan kesempatan cakalang memijah.
12
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
DAFTAR PUSTAKA
13
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
14
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Riyadi Subur
Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Khairun
Email : riyadisubur58@gmail.com
ABSTRACT
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang mampu tumbuh
dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Sebagai salah satu
ekosistem khas diwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, mengrove memiliki
berbagai fungsi diantaranya sebagai pelindung garis pantai dengan mereduksi
kecepatan gelombang dan badai, pelindung pantai dari aberasi, pencegah intrusi air
laut, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air
permukaan. Keberadaan ekosistem tersebut pada suatu suatu wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil berperan penting dalam meningkatkan kapasitas adaptif suatu
pulau terhadap bencana alam karena berperan sebagai pelindung alami. Tujuan
penelitian adalah menghitung dan menilai kapasitas adaptif ekosistem mangrove
yang ditemukan tumbuh pada perairan sekitar pulau-pulau kecil dalam gugus
Guraici. Penelitian ini dilakukan pada 17 pulau yang terdapat dalam gugus pulau
Guraici. Pengukuran kapasitas adaptif ekosistem mangrove dilakukan dengan
menganalisis enam parameter yaitu Indeks Dimensi mangrove (IDMg), Spesies
Mangrove Dominan, Kerapatan pohon per hektar (pohon/ha), Jumlah Genera, Tipe
Substrat, Jarak Ekosistem Mangrove dari Pemukiman. Nilai kapasitas adaptif
ekosistem mangrove berada pada kisaran antara 0.0-1.0, dengan lima kategori
kapasitas yaitu “sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi”. hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa ekosistem mangrove yang ditemukan pada
tumbuh pada pulau-pulau kecil dalam gugus pulau Guraici tergolong kedalam tiga
kategori kapasitas adaptif yaitu “sedang”, “rendah” dan “sangat rendah”, dengan
nilai kapasitas adaptif yang terdistribusi antara 0.0-0.51. Sebanyak tiga belas pulau,
memiliki ekosistem mangrove dengan kapasitas adaptif berkategori “sedang”, dua
pulau berkategori “rendah” dan dua pulau berkategori “sangat rendah”.
Kata Kunci: Kapasitas Adaptif, Ekosistem Mangrove
15
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
ABSTRACT
Mangrove forests is a tropical coastal vegetation communities dominated by several
species of mangrove trees that can grow and thrive in muddy coastal tidal areas.
This vegetation community generally grows in intertidal and supratidal areas have
adequate water flow, and is protected from large waves and strong tidal currents.
As one of the unique ecosystem of the coastal region and small islands, mengrove
has various functions such as shoreline protection by reducing the speed of waves
and storms, coastal protection of the aberration, preventing sea water intrusion,
mudguard and trap sediment transported by the flow of surface water . The
existence of an ecosystem is in a coastal region and small islands play an important
role in enhancing the adaptive capacity of a natural disaster because of the island
serves as a natural protector. The research purpose to calculate and assess the
adaptive capacity of mangrove ecosystems are found growing in the waters around
the small islands in the group Guraici. The research was conducted on 17 islands
located in the island group Guraici. Mangrove ecosystem adaptive capacity
measurements carried out by analyzing the six parameters of the mangrove
Dimension Index (IDMg), Dominant Mangrove Species, density of trees per
hectare (trees / ha), Number of Genera, substrate type, distance of the Mangrove
Ecosystem of Settlement. Value of mangrove ecosystem adaptive capacity in the
range between 0.0-1.0, with a capacity of five categories of "very low, low,
medium, high and very high". These results indicate that mangrove ecosystems are
found on islands grown on a small island in the group Guraici classified into three
categories adaptive capacity that is "medium", "low" and "very low", with the
adaptive capacity of the distributed between 0.0-0.51 . A total of thirteen islands,
has a mangrove ecosystem adaptive capacity categories "medium", the two islands
categorized as "low" and the two islands have category "very low".
PENDAHULUAN
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini
umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat
aliran air, dan terlindung dari gelombang besar serta arus pasang surut yang
kencang (Dahuri 2003; Benge 2004). Hutan mangrove seringkali juga disebut
dengan hutan pasang surut, hutan payau, atau utan bakau. Bakau sebenarnya hanya
salah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove yaitu jenis Rhizophora
spp. (Dahuri 2003). Nybakken (1992) mengemukakan bahwa hutan mangrove
16
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
17
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
yang dimiliki oleh suatu sistem itu rendah, maka sistem tersebut cenderung
memiliki kerentanan yang tinggi.
Dengan kapasitas adaptif tinggi, suatu ekositem dapat mempertahankan
dirinya sendiri dari gangguan dan tekanan. Sebaliknya jika kapasitas adaptif
ekosistem tersebut rendah, akan berdampak pada rendahnya kemampuan ekosistem
tersebut dalam menghadapi setiap tekanan dan perubahan. Ekosistem mangrove
dengan kapasitas adaptif yang tinggi akan memberikan kemampuan bagi ekosistem
tersebut untuk tetap mempertahankan eksistensinya, serta bagi wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil, manfaat yang diperoleh dari tingginya kapasitas ekosistem
mangrove adalah terlindungnya wilayah pesisir dan daratan suatu pulau kecil dari
aksi gelombang serta arus air laut serta mencegah terjadinya erosi, maupun intrusi
air laut.
Pulau-pulau yang terdapat dalam gugus pulau Guraici tergolong sebagai
pulau sangat kecil dan pada dasarnya rentan. Briguglia (1995); Mimura (1999);
Ghina (2003); dan Lewis (2009), bahwa pulau-pulau kecil pada umumnya rentan
dan rapuh. Namun demikian umumnya pada wilayah pesisir pulau-pulau tersebut
memiliki ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem penting diwilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil. Keberadaan ekosistem tersebut apabila memiliki
kapasitas adaptif yang tinggi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya dapat
meningkatkan kapasitas adaptif dari suatu pulau kecil sehingga kerentanan yang
menjadi salah satu ciri dari pulau-pulau kecil dapat berkurang, namun sebaliknya
jika kapasitas adaptif yang dimiliki oleh ekosistem tersebut rendah, maka fungsi
dan peranannya dalam mereduksi kerentanan yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil
tidak akan maksimal. Kajian ini dilakukan guna menghitung dan menganalisis
kapasitas adaptif ekosistem mangrove yang ditemukan pada suatu wilayah perairan
pulau. Terungkapnya kapasitas adaptif dari ekosistem mangrove, akan memberikan
kontribusi yang besar dan penting bagi pengelolaan pulau-pulau kecil secara
bekelanjatan.
18
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
METODE PENELITIAN
Waktu Dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada pulau-pulau kecil yang tedapat dalam gugus
pulau Guraici. Gugusan ini secara administrasi berada dalam wilayah Kabupaten
Halmahera Selatan Propinsi Maluku Utara, dan secara geografis terletak pada posisi
127°9'-127°16' Bujur Timur dan 0°0'-0°8' Lintang Selatan. Penelitian ini dilakukan
terhadap 17 pulau. Pulau terbesar berukuran sekitar 215 ha dan pulau terkecil
berukuran 0.2 ha. Pulau-pulau tersebut adalah P.Daramafala, P. Talimau, P. Salo,
P. Temo, P. Popaco, P. Rajawali, P. Sohomao, P. Ubo-Ubo Kecil, P. Ubo-Ubo
Besar, P. Sonyiha, P. Igo, P. Kelo, P. Joronga, P. Sapang, P. Lelei, P.Tapaya dan P.
Guraici.
Pengumpulan Data
Pengambilan data pada ekosistem mangrove secara umum dilakukan
langsung dilapangan dengan menggunakan metode garis transek (line transect)
dengan teknik sampling kuadrat, dan menggunakan analisis GIS. Pengukuran
kapasitas adaptif ekosistem mangrove, dilakukan dengan mengukur parameter-
parameter yang diasumsikan akan berpengaruh terhadap tinggi atau rendahnya
kapasitas ekosistem tersebut.
Keenam parameter tersebut masing-masing diberi bobot sesuai dengan
peranannya yang dianggap penting dalam ekosistem mangrove. Indeks dimensi
mangrove (IDMg) diberi bobot (5). Spesies Mangrove Dominan diberi bobot (5).
Kerapatan pohon per hektar (pohon/ha) diberi bobot (3). Jumlah Genera diberi
bobot (3). Tipe substrat diberi bobot (1). Jarak ekosistem mangrove dari
pemukiman penduduk (1). Paramter-paramter tersebut tergolong ke dalam 5
kategori berskala ordinal yaitu “sangat rendah (1), rendah (2), sedang (3), tinggi (4),
sangat tinggi (5)”. Nilai maksimal dari semua parameter tersebut diatas adalah 90
(Nmax : 90). Nilai maksimal diperoleh dengan mengalikan bobot dari setiap
parameter dengan nilai skala/ skor tertinggi.
Langkah awal dalam menghitung dan menganalisis kapasitas adaptif
ekosistem mangrove adalah dengan menghitung Indeks dimensi mangrove (IDMg).
Untuk menghitung indeks tersebut, hal pertama yang dilakukan adalah mengukur
19
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
dimensi ketebalan serta dimensi panjang dari hamparan mangrove pada suatu
kawasan pulau. Pengukuran tersebut dibagi kedalam segmen-segmen yang
mencakup dimensi ketebalan serta dimensi panjang tertentu. Dalam penelitian ini
yang dimaksud dengan dimensi ketebalan mangrove adalah ketebalan yang diukur
dari titik pertama kali mangrove ditemukan ke arah laut. Sedangkan yang dimaksud
dengan dimensi panjang adalah diukur sejajar dengan garis pantai. Sedangkan yang
dimaksud dengan “segemen” adalah penggolongan atau pengelompokan mangrove
berdasarkan ukuran dimensi ketebalan serta dimensi panjang dengan ukuran
tertentu. Setiap pertambahan dimensi lebar sebesar 10 meter, maka akan diikuti
dengan pertambahan nilai sebesar 0.01, dan akan mencapai nilai maksimal 1.0 pada
saat dimensi ketebalan mangrove ≥1000 meter dan tersebar secara merata pada
suatu wilayah pulau kecil.
Selanjutnya setiap pertambahan dimensi panjang 120 meter pada dimensi
ketebalan yang sama, maka nilai dimensi panjang juga akan bertambah sebesar
0.01, nilai akan mencapai nilai maksimal 1.0, pada saat panjang hamparan
mangrove mencapai ≥12.000 m. Nilai dimensi lebar berkisar antara 0.0-1.0,
demikian juga dengan nilai dimensi panjang berkisar antara 0.0-1, sehingga dengan
demikian Nilai Indeks Dimensi Mangrove (IDMg) memiliki kisaran antara 0.0-2.0.
Panjang 12.000 meter, digunakan berdasarkan panjang garis pantai pulau terbesar,
dan dalam penelitian ini pulau terbesar adalah pulau Talimau yang panjang garis
pantai sekitar ± 12.000 meter sehingga panjang tersebut juga dijadikan sebagai
kontrol.
Spesies mangrove dominan, diamati dan dicatat langsung dilokasi penelitian
saat sampling (insitu). Dalam penelitian ini spesies dominan yang diasumsikan
memiliki kapasitas adaptif lebih tinggi atau rendah terurai sebagai berikut Spesies
dari genus Ceriops dan Nypa, dikategorikan berkapasitas “sangat rendah”. Spesies
dari genus, Bruguieria, dikategorikan berkapasitas “rendah”. Spesies dari genus
Rhizophora, dikatogorikan berkapasias “sedang”. Spesies Soneratia dikategorikan
berkapasitas “tinggi”, dan Spesies dari genus Avicenia dikategorikan berkapasitas
“sangat tinggi”.
20
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Nila Indeks Dimensi Mangrove (IDMg) berada pada kisaran antara 0,0-2.0,
dan tergolong kedalam lima kategori yaitu “Sangat Rendah (0,0≤Kp≤0,4)”.
“Rendah (0,4<KAE≤0,8)”. “Sedang (0,8<KAE≤1,2)”. “Tinggi (0,2<KAE≤0,6)”.
“Sangat Tinggi (1,6<KAE≤2,0)”.
Sedangkan pengukuran kapasitas adaptif ekosistem mangrove dihitung
dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
Ni
KpLn = ∑ [ ] x 100%
Nmaks
21
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
22
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
0.18
Nilai Indeks Dimensi Mangrove
0.16
0.14
0.12
(IDMg)
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
Drm
UUK
Klo
Tpy
Slo
Tlm
UUB
Ppc
Shm
Syh
Spg
Jrg
Lei
Rjw
Tmo
Grc
Igo
Lokasi Penelitian
Tlm=Talimau. Grc=Guraici. Drm=Daramafala. Lei=Lelei. Ppc=Popaco.
Jrg=Joronga. Spg=Sapang. Slo=Salo. Tpy=Tapaya. Rjw=Rajawali.
Tmo=Temo. Igo=Igo. Klo=Kelo.
Gambar 1. Distribusi Perbandingan Indeks Dimensi Ekosistem Mangrove
Pada Setiap Pulau Dalam Gugus Pulau Guraici.
23
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
24
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
591
600
Kerapatan Mangrove (phn/ ha)
532
500 451
415
400
311 321 327
297
300
219 225 218
182
200 137
103 109
100
0 0
0
Drm
Tlm
UUK
Klo
Slo
UUB
Tpy
Syh
Spg
Ppc
Shm
Jrg
Lei
Grc
Rjw
Tmo
Igo
Lokasi Penelitian
25
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
memiliki kekhususan sehingga hanya dapat ditumbuhi oleh mangrove dari jenis-
jenis tertentu. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pulau-pulau dalam
gugus pulau-pulau Guraici merupakan pulau-pulau yang terbentuk dari batuan
vulkanik sekitar 40 juta tahun lalu, sehingga sedimen yang terbentuk umumnya
merupakan hasil pelapukan batuan yang kemudian mengedap dan menjadi media
tumbuh bagi mangrove.
Bila dibandingkan dengan jenis mangrove yang ditemukan pada daratan
pulau-pulau besar dengan habitat yang beragam, maka jumlah jenis mangrove yang
ditemukan pada penelitian ini relatif sedikit, namun keberadaannya berperan sangat
penting dalam menjaga kelangsungan atau eksistensi pulau-pulau dalam gugus
pulau Guraici sebagai pelindung garis pantai serta daratan pulau yang umum
berukuran sangat kecil. Perbandingan jumlah genera dan jenis mangrove yang
ditemukan pada pulau-pulau dalam gugus pulau Guraici ditampilkan pada Gambar
3.
5 5 5 5 5 5 5
5 Jlh. Genera
Perbandingan Jumlah Genera dan
3.5
3 3 3 3 3 3 3 3
3
2.5
2 2
2
1.5
1
0.5
00 00
0
Tlm
Tpy
Klo
Spg
Ppc
Drm
Syh
Slo
UUB
UUK
Shm
Lei
Rjw
Jrg
Tmo
Igo
Grc
Lokasi Penelitian
26
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Tipe Substrat
Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang dilakukan secara
bersamaan dengan pengukuran dan pengamatan parameter lainnya pada ekosistem
mangrove, ditemukan bahwa secara umum tipe substrat yang menjadi tempat
tumbuh mangrove pada pulau-pulau dalam gugus pulau Guraici adalah pasir, psair
berlumpur, lumpur, liat serta pecarahan karang. Tipe substrat tersebut ditemukan
pada sebagian besar ekosistem mangrove di dalam gugus pulau Guraici. Tipe
substrat tumbuhnya mangrove berdasarkan hasil pengamatan yaitu di pulau
Talimau didominasi substra pasir berlumpur, P. Rajawali (pasir berlumpur), P.
Ubo-Ubo Kecil (lumpur berpasir), P. Ubo-Ubo Besar (pasir berlumpur), P. Temo
(Pasir Berlumpur), P. Kelo (pasir berlumpur), P. Igo (pasir berlumpur), P. Salo
(pasir berlumpur), P. Tapaya (pasir berlumpur), P. Sonyiha (pasir berlumpur), P.
Sapang (pasir berlumpur), P. Popaco (pasir berlumpur), dan P. Joronga (pasir
berlumpur), P. Daramafala (pasir berkarang) dan P. Sohomao (pasir berlumpur).
Uraian tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pulau-pulau tersebut
memiliki tipe substrat yang relatif seragam kecuali pada P. Ubo-Ubo Kecil
bersubstrat lumpur berpasir dan pulau Daramafala dengan substrat pasir berkarang.
Dengan demikian kemiripan genera dan jenis mangrove pada sebagain besar pulau-
pulau dalam gugus pulau Guraici sangat dipengaruhi tipe substrat pada masing-
masing pulau tersebut.
Jarak Ekosistem Mangrove Pemukiman Penduduk
Suatu sumberdaya yang semakin dekat dengan pusat aktivitas masyarakat
ataupun pemukiman penduduk, maka akan semakin rentan sumberdaya tersebut,
dan sebaliknya semakin jauh suatu sumberdaya dari pusat kegiatan masyarakat atau
pemukiman penduduk maka sumberdaya tersebut akan semakin terjaga
kelestariannya (Algar et al. 2002). Berdasarkan hasil pengukuran serta analisis
dalam penelitian ini, diketahui bahwa, ekosistem mangrove yang tumbuh pada
pulau-pulau dalam gugus pulau Guraici berjarak sekitar 0.5-6 km dari pemukiman
penduduk di pulau Lelei serta pulau Talimau.
27
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
28
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
29
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
rendah nilai kapasitas mangrove, maka akan semakin rendah peranannya, demikian
pula sebalinya semakin tinggi nilai kapasitas yang dimilikinya, maka akan semakin
besar peranannya dalam meningkatkan kapasitas adaptif suatu pulau.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian dari hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa
ekosistem mangrove yang ditemukan tumbuh dan tersebar pada pulau-pulau dalam
gugus pulau Guraici tegolong dalam tiga kategori kapastias adaptif yaitu “sedang”,
“renda”, dan “sangat rendah”. Pada pulau-pulau dengan kapasitas adaptif ekosistem
mangrove sangat rendah, menunjukkan bahwa peranan ekosistem mangrove
sebagai pelindung pantai maupun daratan pulau-pulau tersebut tidak terjadi,
sehingga pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulau yang sangat rentan karena
rendahnya kapasitas adaptif pulau tersebut sebagai akibat dari rendahnya kapasitas
adaptif ekosistem disekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Algar DA, AA Burbidge and GJ Angus. 2002: Cat eradication on Hermite Island,
Montebello Islands, Western Australia. In: Turning the tide: the
eradication of island invasive species. CR Veitch and MN Clout (eds.),
IUCN SSC Invasive Species Specialist Group, IUCN, Gland, pp. 14–
18.
Briguglio L. 1995. Small Island Developing States and Their Economic
Vulnerabilities. Journal World Development. 23: 1615-1632.
Bengen, D.G. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Luat serta
Prinsip Pengelolaannya.Sinopsis. PKSPL-IPB. Bogor 2004.
Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fussel HM and RJT Klein. 2006. Climate Change Vulnerability Assessments: An
Evolution of Conceptual Thinking. Journal Climate change. 75: 301-
329.
Gallopin GC. 2006. Linkages between vulnerability, resiliensi, and adaptive
capacity. Journal Global Environmetal Change. 16:293-303.
Ghina F. 2003. Sustainable Development in Small Island Developing States. Journal
Environment, Development and Sustainability. 5: 139-165.
Lewis J. 2009. An Island Characteristic: Derivated Vulnerabilities to Indigenous
and Exogenous Hazard. Shima: The International Journal of Research
into Island Cultures. Vol. 3 No. 1.
30
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
31
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
ABSTRAK
32
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
ABSTRACT
Diverse interests in meeting the needs of coastal communities will have a negative
impact on the survival of ecosystems, one of which is a mangrove forest. The high
pressure due to the movement activity of locals in meeting specific area can be a
cause of damage to the mangrove ecosystem is slowly but surely. Guraping
mangrove areas in the village have built a bridge infrastructure with the goal of
access to the activities of tourism, it is interesting, but if built without a good
analysis, it will cause a negative impact which is not good for the region of
mangrove areas tersebut.Oleh Therefore research was conducted by aims to 1).
Assessing the ecological structure as a basis for consideration in the utilization of
mangrove areas as ecotourism, and 2). Knowing the level of suitability and carrying
capacity of mangrove areas for mangrove tourism development. The method used
in this research is descriptive method, ie by briefly outlining the analysis of the
community structure of mangrove forests and ecotourism suitability analysis kretria
mangrove ecology. The results showed that based on the results of the analysis of
the community structure of mangrove forest in the village Guraping still relatively
low, the low mangrove forest vegetation caused by a low level of species diversity
and the presence of certain types that predominate in the area of mangrove forest in
the village of Guraping while the results of the analysis of ecological criteria land
suitability and the carrying capacity of mangrove forest for ecotourism activities,
the mangrove forest in the village of Guraping grouped in categories very suitable
for the development of ecotourism mangrove.
Keywords: Mangrove Forests, Land suitability, Ecotourism Mangrove
PENDAHULUAN
Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan
memiliki peran penting sebagai penyedia jasa lingkungan yang sangat potensial
karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi,
sosial dan lingkungan hidup. Namun disadari sepenuhnya bahwa kondisi ekosistem
mangrove saat ini sudah semakin kritis ketersediaannya. Melihat fungsi mangrove
yang sangat strategis dan semakin meluasnya kerusakan yang terjadi, maka upaya
pelestarian mangrove harus segera dilakukan dengan berbagai car, misalnya pada
kegiatan budidaya udang, harus diterapkan teknik budidaya yang ramah terhadap
lingkungan mangrove, artinya tambak yang dibangun perlu ada hamparan
mangrove yang berfungsi sebagai biofilter dan tandon air sebelum air masuk ke
petakan tambak.
33
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Desa Guraping merupakan salah satu desa yang berada di wilayah pesisir
Kecamatan Oba Utara, yang memiliki potensi luasan mangrove berdasarakan
analisis hasil interpretasi citra satelit sebesar 142, 9 Ha. Sejalan dengan penetapan
Sofifi sebagai ibukota Provinsi Maluku Utara, maka Desa Guraping merupakan
sentral penghubung antara wilayah Kota Sofifi dengan pusat pemerintahan Provinsi
Maluku Utara. Faktor ini kemudian diperkirakan akan memberikan berdampak
pada kegiatan pembangunan infrastruktur serta sebaran penduduk. Adanya beragam
kepentingan dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat pesisir akan
memberikan dampak negatif terhadap kelangsungan hidup ekosistem hutan
mangrove.
Saat ini kawasan mangrove di Desa Guraping telah dibangun infrastruktur
jembatan dengan tujuan untuk akses kegiatan parawisata, hal ini menarik, namun
jikalau dibangun tanpa sebuah analisis yang baik, maka akan menimbulkan dampak
negatif yang tidak baik bagi kawasan mangrove diwilayah tersebut. Pengelolaan
hutan mangrove di Desa Guraping sebagai kawasan ekowisata mangrove
merupakan suatu bentuk apresisasi dalam upaya menjaga fungsi mangrove sebagai
penyedia jasa lingkungan, yang juga merupakan salah satu upaya untuk
melestarikan ekosisten mangrove sebagai cerminan dari keadaan ekosisten
mangrove yang sebenarnya. Hal ini tentu saja akan memberikan perlindungan
terhadap komponen-komponen pendukung yang saling berinterkasi, sehingga
membentuk suatu konsep pengelolaan yang nantinya dapat digunakan sesuai
dengan dinamika sumberdaya dan kebutuhan masyarakat yang ada.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1) Mengkaji struktur ekologi sebagai dasar pertimbangan dalam pemanfaatan
kawasan mangrove sebagai ekowisata
2) Mengetahui tingkat kesesuaian dan daya dukung kawasan mangrove untuk
pengembangan ekowisata mangrove.
34
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian tentang Analisis Pemanfaatn Ekosistem Mangrove Untuk
Pengembangan Ekowisata Mangrove berlangsung selama 3 bulan, yaitu bulan Mei
-. Juli 2016 yang berlokasi di perairan Desa Guraping Kecamatan Oba Utara.
Prosedur Penelitian, terdiri atas :
1. Tahap awal / Persiapan, Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data
primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui
pengamatan langsung di lapangan, Pengumpulan data sekunder yaitu dengan
cara mengumpul dokumen yang berkaitan dengan penelitian, Peraturan
Perundang-Undangan , data dari BPS, data dari DKP (Dinas Kelautan Dan
Perikanan), dan data Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata Daerah setempat.
2. Observasi awal, Meliputi survei lapangan untuk melihat langsung lokasi yang
tepat dijadikan lokasi penelitian dan mengetahui gambaran umum lokasi
penelitian.
3. Pengambilan Data Lapangan, Pengumpulan data dilakukan untuk
mendapatkan informasi yang lengkap berkaitan dengan faktor yang
berpengaruh dalam pemilihan lokasi yang berpengaruh terhadap ekowisata di
lokasi ekosistem mangrove. Data yang dikumpulkan berupa data lapangan.
Pengumpulan Data Ekologi
Adapun prosedur pengamatan dan pengambilan data mangrove yaitu:
1) Membuat petak contoh (plot)i transek quadran dengan bentuk bujur sangkar
ukuran luas 10 x 10 m, dengan jumlah plot sebanyak 3 unit.
2) Mengidentifikasi nama jenis-jenis tumbuhan mangrove yang belum diketahui
dengan cara mengambil sebagian/potongan dari ranting, lengkap dengan
bunga dan daunnya.
3) Menghitung jumlah spesies mangrove, jumlah anakan, mengukur diameter
batang pohon mengrove.
Pengolahan Data Ekologi
Data mengenai spesies, jumlah individu, dan diameter pohon yang telah
dicatat pada form mangrove, kemudian diolah untuk memperoleh kerapatan spesies,
35
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
frekuensi spesies, luas areal tutupan, nilai penting suatu spesies, frekuensi spesies,
luas areal tutupan, nilai penting suatu spesies dan keanekaragaman spesies (Bengen,
2002):
Pengumpulan Data Biota
Cara untuk mendapatkan data mengenai objek biota:
1) Ikan. Ikan dikumpulkan dengan menggunakan alat tangkap gill net.
2) Burung. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan teropong.
3) Moluska. Pengamatan moluska dilakukan dengan transek ukuran 20 x 20 cm
pada tiap sisi plot dan ditengah, sehingga terdapat 5 sub plot kemudian
diidentifikasi (Dharma, 1992)
4) Kepiting dan Reptil. Pengamatan secara langsung lapangan sekaligus di
identifikasi.
5) Ketebalan. Pengukuran ketebalan / lebar mangrove dilakukan secara manual
dengan cara diukur dengan menggunakan roll meter. Roll meter ditarik tegak
lurus dengan garis pantai mulai dari hutan mangrove di bagian darat sampai
dengan ujung mangrove di batas laut.
6) Data Oseanografi. Parameter oseanografi yang diukur dilapangan adalah Pasang
Surut. Pengukuran pasang surut dilakukan selama 24 jam dengan interval waktu
60 menit menggunakan alat tiang skala yang ditempatkan pada lokasi dimana
pada saat pasang tertinggi dan surut terendah, tiang skala masih terendam air.
Analisis Data
Analisis kesesuaian lahan digunakan untuk mengetahui tingkat kelayakan
ekowisata mangrove. Inventarisasi sarana dan prasarana termasuk persepsi
stekholder terhadap pengembangan dan penunjang ekowisata di analisis secara
deskriptif.
1. Daya Dukung Kawasan. Untuk menghitung daya dukung kawasan digunakan
rumus oleh Yulianda, (2006):
DDK = K x Lp/Lt x Wt/Wp
36
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Keterangan :
DDK :Daya dukung kawasan
K :Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area
Lp :Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan
Lt :Unit area untuk kategori tertentu
Wt :Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam
satu hari
Wp : Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan
tertentu.
Daya dukung kawasan dalam kawasan konservasi perlu dibatasi dengan
“Daya Dukung Pemanfaatan” (DDP) dengan rumus:
DDP = 0.1 x DDK
2. Kesesuaian Area Untuk Wisata Mangrove. Analisis kelayakan ekowisata
mangrove mencakup ketebalan mangrove, kerapatan mangrove dan jenis
mangrove, kriteria oseanografi mencakup pasang surut, dan obyek biota yang
berasosiasi dengan hutan mangrove. Pembobotan dan nilai untuk mengetahui
besar skor dari penggabungan beberapa variabel sehingga akan terdapat
perbedaan skor antara kelas yang satu dengan kelas yang lain, selanjutnya
digunakan untuk memberi klasifikasi kesesuaian lahan. Untuk menentukan
indeks kesesuaian wisata dapat digunakan persamaan :
IK W = ∑ [ Ni/Nmaks] x 100%
Dimana :
IKW : Indeks Kesesuaian Wisata
Ni : Nilai parameter ke-i (Bobot x Skor)
Nmaks : Nilai maksimum dari suatu kategori wisata
37
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
38
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
6,9 dengan nilai tertinggi dimiliki oleh stasiun 6 yaitu 6,9 dan stasiun 4 memiliki
nilai terendah yaitu 6,0. Rendahnya pH tanah pada lokasi pengamatan
disebabkan adanya proses pembusukan pada areal mangrove yang lebih
bersuasana asam, sedangkan tingginya pH air lebih dipengaruhi oleh larutan
kadar garam yang bersuasana basa dan bersifat larutan penyangga.
4. Pasang Surut, Hasil pengukuran terlihat bahwa naiknya permukaan air pada
saat puncak tertinggi berkisar antara 79.0-197.5 cm. Hasil olahan Mean Sea
Level (MSL) kisaran nilai naik turunnya permukaan laut yaitu 0,94-2,35 cm.
Pasang surut pada perairan Desa Guraping memiliki tipe harian dominasi ganda
(semidiurnal tide). Hal ini ditandai dengan terjadinya dua kali pasang dan dua
kali surut dengan tinggi permukaan hampir sama.
Komposisi dan Struktur Vegetasi Mangrove
Berdasarkan hasil pengambilan data dan identifikasi jenis mangrove di
lokasi penelitian, diperoleh 4 famili : Rhizophoraceae, Sonneratiaceae,
Avicenniaceae, Meliaceae dengan 8 jenis mangrove : Bruguiera gymnorhiza
Rhizophora stylosa Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata. Ceriops
decandra, Sonneratia alba, Avicennia alba, Xylocarpus granatum.
Sedangkan struktur vegetasi terlihat bahwa kategori pohon tertinggi dimiliki
oleh jenis R. apiculata (89 individu) dengan persentase 25,65% dan terendah
terdapat pada jenis Ceriops decandra (7 individu) dengan persentase 2,02% dari
jumlah total 347 individu. Sementara kategori anakan R. apiculata (155 individu)
dengan persentase 19,11% memiliki nilai tertinggi dan R. stylosa (39 individu)
dengan persentase 4,81% memiliki nilai terendah dari jumlah 39 individu dari
jumlah total anakkan 811 individu. Nilai tertinggi untuk kategori semaian masih
berada pada jenis R. apiculata (217 individu) dengan persentase 15,73% dan
terrendah ada pada jenis R stylosa (49 individu) dengan persentase 2,23 % dari
jumlah total 1,036 individu.
Berdasarkan pola pertumbuhan jenis mangrove yang ditemukan dilokasi
penelitian serta berdasarkan jarak transek yang ditarik tegak lurus terhaap garis
pantai sepanjang 60 meter, maka di peroleh sistem zonasi jenis mangrove yang
tumbuh sebagai berikut : Zona depan ditemukan jenis R apiculata, R mucronata
39
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
dan R. stylosa, pada zona tengah ditemukan jenis B gymnorrhiza yang berasosiasi
dengan jenis S alba, serta Zona belakang ada jenis S alba dan avicennia alba yang
berasosasi dengan Xy. granatum.
Gambar 1. Zonasi Hutan Mangrove di Perairan Guraping
40
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
41
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
42
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
43
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
pada prinsipnya penetapan zona wisata kawasan ini sudah berlangsung lama,
sejalan dengan perencanaan pengembangan Kota Sofifi, yang kemudian
merekomendasikan melakukan revitalisasi perencanaan dan percepatan
pengembangan kawasan ini dengan lebih memperhatikan program tata batas yang
lebih baik, pembangunan infrastruktur dan fasilitas pendukung untuk
pengemabangan kegiatan wisata alam.
Pertimbangan Rencana Pengembangan Ekowisata Hutan Mangrove di Desa
Guraping.
Sesuai dengan paraturan perundangan yang berlaku secara nasional,
terutama dalam bidang penataan ruang dan sistem pembangunan nasional
berkelanjutan, terdapat beberapa konsepsi (pertimbangan) pengeloalan dan
pembangunan yang perlu pula diterapkan demi terwujudnya pengeloaan
sumberdaya Hutan Mangrove yang optimal dan berkelanjutan. Dengan demikian,
penyusunan rencana pengembangan ekowisata Hutan Mangrove harus
memperhatikan dengan seksama 5 (lima) konsepsi utama perencanaan pengelolaan
yang dijelaskan sebagai :
a. Pertimbangan Ekologis. Aspek ekologis berkaitan dengan karakteristik
wilayah hutan mngrove di Desa guraping yang relatif peka terhadap gangguan
lingkungan akibat pengembangan kegiatan kelautan dan perikanan yang
kurang bijaksana. Daya dukung ekosistem pesisir harus tetap dipertahankan,
termasuk dengan mengendalikan pemanfaatan ruang di daerah laguna dan
pesisir. .
b. Pertimbangan Penggunaan Lahan Eksisting. Penggunaan lahan ekisting
didasarkan pada pola pemanfaatan ruang saat ini dikawan hutan mangrove
Desa Guraping. Pengembangan kegiatan yang telah sesuai saat ini akan tetap
dipertahankan dan jika memungkinkan dikembangkan, sebaliknya yang tidak
cocok akan ditinjau ulang dan diarahkan pada bentuk kegiatan yang sesuai.
Sektor pariwisata yang telah ada baik yang berkembang maupun belum
berkembang selanjutnya didorong dengan mengalokasikan ruang-ruang
pemanfaatan yang ada dengan penyediaan sarana dan prasarana pendukung
sesuai arah kebijakan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan.
44
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
45
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
SIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh berdasarkan hasil penelitian
tentang kesesuaian ekowisata mangrove di Desa Guraping Kecamatan Oba Utara
Kota Tidore Kepulauan, yaitu :
1. Analisis struktur komunitas hutan mangrove di Desa Guraping masih tergolong
rendah, rendahnya vegetasi hutan mangrove disebabkan oleh rendahnya tingkat
keanekaragaman jenis serta adanya jenis-jenis tertentu yang mendominasi pada
wilayah hutan mangrove di Desa Guraping
2. Hasil analisis kriteria ekologi kesesuaian lahan dan daya dukung kawasan hutan
mangrove untuk kegiatan ekowisata maka kawasan hutan mangrove di Desa
Guraping dikelompokkan dalam kategori sangat sesuai untuk pengembangan
kawasan ekowisata mangrove.
DAFTAR PUSATAKA
46
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
47
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Rusila Noor, Y. 1991. Laporan Penyigian Burung Air di Sumatera Selatan dan
Jambi. PHPA/Asian Wetland Bureau, Bogor.
Rizka M, 2010. Upaya Pelestarian Hutan Mangrove Berdasarkan Pendekatan
Masyarakat. Makalah Ilmiah. Fak. Pertanian. Univ. Bengkulu
Saenger, P., E.J. Hegerl & J.D.S. Davie. 1983. Global Status of Mangrove
Ecosystems. IUCN Commission on Ecology Papers No. 3, 88 hal.
Soerianegara, I. 1987. Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan
Mangrove. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Jakarta. Hal 39.
Supriharyono, M. S. Dr. Ir. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
48
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
49
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Inayah
Pengajar Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Khairun, Ternate
inaicaila@gmail.com
ABSTRAK
Wilayah perairan pantai dalam pembangunan dewasa ini menjadi pusat perhatian
dan cenderung meningkat penggunaannya. Dengan adanya pengaruh aktivitas dari
darat, bisa menimbulkan pencemaran yang tentunya berdampak negative terhadap
kualitas lingkungan. Limbah organic selama ini merupakan bagian utama yang
masuk dan menumpuk pada perairan pantai. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis kandungan bahan organic dan bakteri pathogen (E. coli) serta melihat
hubungan kedua parameter tersebut. Penelitian ini dilaksanakan kurang lebih 1
bulan. Pelaksaan kegiatan penelitian dilakukan di Pelabuhan Bastiong dan Pantai
Kayu Merah Kota Ternate Provinsi Maluku Utara. Pengamatan parameter untuk
BOD, COD, TSS, Bahan organic Terlarut dan bakteri Escherichia coli .Untuk
pengamatan parameter BOD, COD, TSS, Bahan organic Terlarut dan bakteri
Escherichia coli di lakukan di Laboratorium Produktifitas dan Kualitas Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Sedangkan untuk pH, suhu dan salinitas dilakukan secara insitu. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa konsentrasi tertinggi bahan organic didapatkan pada stasiun
1 Titik 2, demikian pula halnya dengan bakteri yang didapatkan dalam jumlah besar
pada stasiun tersebut. Sedangkan pada Stasiun 2 Titik 2 didapatkan jumlah bahan
organic yang paling rendah dan begitu pula dengan jumlah bakterinya. Tingginya
kandungan bahan organic pada Stasiun 1 disebabkan karena pada stasiun ini
terdapat industry PLN yang menghasilkan buangan limbah berupa minyak yang
dapat menyebabkan peningkatan bahan organic di perairan.
Kata kunci : Escherichia coli, Bahan Organik Terlarut, Organik, Anorganik
ABSTRACT
Coastal waters in development today become the center of attention and are likely
to increase their use. With the influence of activity on the ground, could cause
contamination which would impact negatively on the quality of the environment.
Organic waste has been a major part of incoming and accumulate in coastal
waters. This study aimed to analyze the content of organic material and bacterial
50
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
pathogens (E. coli) and see the relationship between both parameters. This study
was conducted approximately one month. Implementation of research activities
conducted at the Port Bastiong and Coastal Redwoods Ternate of North Maluku
province. Observation parameters for BOD, COD, TSS, dissolved organic material
and bacteria Escherichia coli . For observation parameters BOD, COD, TSS,
dissolved organic material and bacteria Escherichia coli was conducted in the
Laboratory Productivity and Water Quality of Faculty of Fisheries and Marine
Sciences University of Hasanuddin, Makassar, As for pH, temperature and salinity
performed insitu. The results showed that the highest concentration of organic
material obtained at station 1 point 2, so does the bacteria obtained in large
quantities at the station. While at Station 2 point 2 obtained the most number of
organic materials is low and so is the number of bacteria. The high content of
organic material at Station 1 is because in this station are PLN industry that
produces waste disposal in the form of oil which can lead to increased organic
matter in the water.
Keywords : Escherichia coli, Dissolved Organic Materials, Organic, Inorganic
PENDAHULUAN
Wilayah perairan pantai dalam pembangunan dewasa ini menjadi pusat
perhatian dan cenderung meningkat penggunaannya. Keadaan ini disebabkan
semakin terbatasnya ketersediaan lahan perkotaan, sehingga penanaman modal
mengarah kewilayah pesisir. Dengan adanya pengaruh aktivitas dari darat, bisa
menimbulkan pencemaran yang tentunya berdampak negative terhadap kualitas
lingkungan. Limbah organic selama ini merupakan bagian utama yang masuk dan
menumpuk pada perairan pantai. Pada dasarnya limbah organic dapat berupa
limbah domestic yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan rumah tangga seperti
bilasan cucian, bangkai hewan dan tumbuhan, limbah pestisida pertanian, usaha
budidaya tambak maupun buangan kegiatan hatchery.
Pelabuhan Bastiong dan Pantai Kayu Merah dimanfaatkan oleh penduduk
antara lain sebagai tempat permandian dan renang, industry (water boom dan PLN),
tempat berlabuhnya kapal-kapal baik nelayan maupun kapal penumpang antar
pulau serta para abk kapal melaksanakan aktivitas mencuci dan mandi di atas kapal
serta tempat wisata . Sebagai konsekuensinya perairan tersebut mendapat banyak
masukan bahan organic utamanya berasal dari aktivitas-aktivitas tersebut.
51
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
52
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan kurang lebih 1 bulan. Pelaksaan kegiatan
penelitian dilakukan di Pelabuhan Bastiong dan Pantai Kayu Merah Kota Ternate
Provinsi Maluku Utara. Pengamatan parameter untuk BOD, COD,TSS ,Bahan
organic Terlarut dan bakteri Escherichia coli .
Untuk pengamatan parameter BOD, COD,TSS ,Bahan organic Terlarut dan
bakteri Escherichia coli di lakukan di Laboratorium Produktifitas dan Kualitas
Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Sedangkan untuk pH, suhu dan salinitas dilakukan secara insitu.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Alat-alat yang digunakan selama penelitian
No Nama Alat Kegunaan
1 Botol gelap Tempat sampel
2 Botol sampel Tempat sampel
3 Coll box Tempat menyimpan sampel
4 DO meter Untuk mengukur DO
5 pH meter Untuk mengukur nilai pH
6 Thermometer Untuk mengukur suhu
7 Handrefraktometer Untuk mengukur salinitas
8 GPS (Global Positioning Untuk menentukan spot
System) pengamatan
9 Cawan Goch Untuk menyaring
10 Oven Untuk pemanasan
11 Desikator Pendingin
12 Neraca analitik Timbangan
13 Penjepit/pinset Untuk menjepit kertas saring
14 Erlenmeyer 250 ml Tempat sampel
15 Gelas Ukur 100 ml Mengukur larut
16 Labu ukur Mengukur larut
53
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Penelitian deskriptif
merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi
mengenai suatu variable atau tema, gejala atau keadaan yang ada yaitu keadaan
gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Pendekatan yang
dilakukan melalui pendekatan kualitatif yang didukung oleh data-data kuantitatif.
Pengukuran Parameter Lingkungan
Data penunjang perlu dilakukan pengukuran parameter lingkungan seperti
DO, suhu, pH, salinitas, kecerahan dan kecepatan arus dengan ulangan sebanyak 3
kali untuk masing-masing parameter.
a. DO (Dissolved oxygen) dengan menggunakan DO meter
DO meter dicelupkan ke dalam air selama beberapa detik
Lalu dilakukan pembacaan skala
b. Suhu, pH dan salinitas dengan menggunakan Horiba
Alat horiba dicelupkan ke air selama beberapa detik
54
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Kemudian ditekan tombol power alat horiba untuk dibaca skala yang
sesuai dengan pengukuran parameternya
Dipindahkan ke parameter suhu dengan menekan tombol select, dan
dibaca skala yang tertera
Dipindahkan ke parameter pH dengan menekan tombol select, dan
dibaca skala yang tertera sesuai dengan pergerakan air raksa
Dipindahkan ke parameter salinitas dengan menekan tombol select, dan
dibaca skala yang tertera.
Teknik Analisis Data
Menghitung bakteri
I
MPN = 𝑁𝐼𝑙𝑎𝑖 𝑀𝑃𝑁 (𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙)𝑥
Faktor Pengenceran tengah
1000
TSS = (𝐴 − 𝐵)
ml contoh
55
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Hidup tentang Baku Mutu Air Laut Nomor 51 Tahun 2004 bahwa Total Coliform
yang sesuai untuk perairan (untuk wisata bahari adalah 200 /(g).
Tabel 4. Hasil pengamatan sampel air di Laboratorium
STASIUN
No Parameter Satuan
1.1 1.2 2.1 2.2
Fisik
Total
1 Suspended ppm 6 4 4 4
Soil (TSS)
Kimia
2 pH ppm 7.77 7.71 7.85 7.87
Dissolved
3 ppm 7.82 7.82 7.46 7.46
Oxygen (DO1)
Dissolved
4 ppm 1.9 1.9 1.9 2,6
Oxygen (DO5)
Biological
5 Oxygen ppm 5.3 5.9 5.5 4.89
Demand
Chemical
6 Oxygen ppm 36 82 24 22
Demand
Bahan
7 Organik ppm 103.65 269.86 36.024 27.808
Terlarut
Mikrobiology
Colony/100
8 E. coli 410 1100 75 28
ml
Parameter STASIUN
No Satuan
Kualitas Air 1.1 1.2 2.1 2.2
1 Salinitas ppt 35 35 35 35
2 pH 7.54 7.54 7.65 7.65
o
3 Suhu C 37 37 35 35
4 Dissolved ppm 7.82 7.82 7.46 7.46
Oxygen
56
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
57
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
SIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh selama penelitian ini berlangsung maka
didapatkan kesimpulan bahwa :
1. Hasil pengukuran bahan organic menunjukkan nilai yang tinggi pada Stasiun 1
titik 1 yaitu 269.86 dan nilai yang terendah terdapat pada Stasiun 2 titik 2
dengan nilai 27.808.
2. Kandungan bakteri yang didapatkan pada stasiun 1 titik 2 sudah melampaui
baku mutu yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 51
Tahun 2004.
3. Semakin tinggi bahan organic jumlah bakteripun semakin meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
58
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Wididana, G.N dan M. Muntoyah, 2005. Teknologi EM-4 Dimensi Baru Dalam
Bidang Pertanian Modern. Materi Pelatihan Pertanian Terpadu
dengan Teknologi EM-4. Institute Pengembangan Sumber Daya
Alam (IPSA), Jakarta.
59
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Sudirto Malan
Pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Khairun
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pemberian bioaktif flavanoid ekstrak kulit
buah mahkota dewa, dengan dosis yang berbeda sebagai bahan immunostimulan
dapat meningkatkan sistem immun pada ikan mas (C.carpio). yang diinfeksi
bakteri A.hydrophila.. Untuk mengetahui gambaran histopatologi insang ikan mas
(C. carpio) sebelum dan setelah diinfeksi bakteri A. hydrophila. Metode eksperimen
yang dilakukan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui bioaktif fenolik kulit
buah mahkota dewa dengan ekstraksi bertingkat sebagai immunostimulan dengan
dosis yang berbeda di uji tantang pada ikan mas dengan sistem perendaman dapat
meningkatkan sistem immun dan bagaimana gambaran hematologi dan
histopatologi, pengukuran suhu, pH air dan Oksigen terlarut. Dalam penelitian ini
hasil spekrtom berada pada panjang gelombang yang tinggi, pada kisaran 370-410.
Hal ini menunjukan bahwa ekstraksi bertingkat dengan pelarut heksan (non polar)
aseton (semi polar) dan etanol atau air (polar) diperkirakan menghasilkan flavanoid
auron. Hasil perhitungan analisis sidik ragam menunjukkan masing-masing nilai F
hitung A (5%) lebih besar dari nilai F tabel A(5%) interaksi antara fraksi dan dosis
nilai F hitung AD (5%) lebih besar dari nilai F tabel AD(5%) Ini menunjukkan
bahwa pemberian perlakuan fraksi polar etanol dan fraksi polar air dari buah
mahkota dewa serta dosis yang berbeda pada ikan mas sangat berpengaruh atau
berpengaruh sangat nyata dapat menekan tingkat kerusakan pada insang ikan mas.
ABSTRACT
The object of this research is to find out the application of Mahkota Dewa fruit skin
flavonoid bioactive, with different doses as immunostimulant substance can
increase the immune system of common carp (C scorpio) infected by A hydropilia
bacteria. to find out histopathological description of common carp(C scorpio) gill
and kidney before adn after infected by A, hydrophilia bacteria. The experiment
method used in this research is to find out Mahkota Dewa fruit skin pheonolic
60
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
PENDAHULUAN
Ikan mas (Cyprinus. carpio) merupakan salah satu spesies ikan air tawar
yang banyak dibudidayakan baik untuk pembenihan maupun pembesaran. Ikan
mas merupakan ikan pemakan segala (omnivor) dan dapat dibudidayakan dengan
berbagai sistem budidaya antara lain sistem kolam air deras, kolam air tergenang,
dan karamba jaring apung. Potensi budidaya ikan mas sangat besar karena
pemeliharaannya tidak sulit, pertumbuhannya relatif cepat, dan mempunyai
pasaran yang cukup luas (Endhay, 2006).
Swann dan White (1989) Menjelaskan penyakit yang disebabkan oleh
Aeromonas hydrophila akan mewabah apabila daya tahan tubuh ikan menurun
akibat stress dan penurunan kualitas lingkungan. Gejala ikan yang terserang
bakteri ini akan menampakkan tanda-tanda seperti warna kulit berubah menjadi
gelap, kulit kasat, dan timbul pendarahan. Kemampuan berenang ikan menjadi
turun dan sering tersengal-sengal dipermukaan, hal ini disebabkan karena
kerusakan insang sehingga ikan sulit bernafas. Serangan bakteri yang lebih parah
akan menyebabkan pendarahan pada organ dalam, seperti ginjal, hati, jantung,
dan limfa. Kondisi ini membuat perut ikan mengalami dropsy atau kembung.
Kondisi ini berlanjut sampai seluruh sirip ikan menjadi rusak dan insang
61
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
berwarna keputih-putihan. Pada mata ikan juga mengalami kerusakan dan agak
menonjol atau excopthamia (Munajat dan Budiana, 2003).
Pencegahan dan pengobatan penyakit ikan selama ini menggunakan bahan
kimia dan antibiotik. Penggunaan antibiotik dan bahan kimia secara terus menerus
dapat menimbulkan efek samping baik terhadap lingkungan maupun manusia
sebagai konsumen. Pemberian antibiotik secara berlebihan dapat menyebabkan
resistennya mikroorganisme patogen, dan bahkan dapat menimbulkan galur baru;
sedangkan bahan kimia dapat merusak lingkungan yang sulit didegradasi
(Baticados dan Paclibare, 1992).
Alternatif lain penanggulangan penyakit adalah menggunakan
immunostimulan. Immunostimulan adalah zat kimia, obat-obatan, stressor, atau
aksi yang meningkatkan respon immune non spesifik atau bawaan (innate
immune respon) dengan berinteraksi secara langsung dengan sel dari sistem yang
mengaktifkan respon immune bawaan tersebut. Immunostimulan adalah zat-zat
yang dapat meningkatkan respon immune (acquired immune respon), tetapi
meningkatkan respon immune non spesifik baik melalui mekanisme pertahanan
humoral maupun selular (Sakai, 1999). Ikan telah diketahui lebih mengandalkan
mekanisme sistem kekebalan non spesifiknya atau bawaan (innate immune
system) dari pada sistem kekebalan spesifiknya atau adaptif (Anderson, 1992)
Secara umum dijelaskan oleh Galindo dan Hosokawa (2004) ada 10
kelompok immunostimulan yaitu produk bakteri, jamur, ragi atau khamir, ikatan
partikel terlarut dengan β-glukan, glikan-polisakarida, kitin dan citosan,peptida
ekstrak tumbuhan dan hewan, bahan sintetis dan sitokinin.
Buah mahkota dewa merupakan salah satu bahan potensial yang dapat
digunakan sebagai immunostimulan karena bahan aktif mampu meningkatkan
sistem kekebalan tubuh dalam menghadapi patogen. Komposisi pada tanaman ini
terutama buahnya mengandung senyawa fenolik yang tinggi, disamping senyawa
alkaloid, saponin, fenolik hidrokuinon, tanin, steroid, mono terpen dan sesqui
terpen (Arini et al, 2003). Menurut Gotama et al (2006) dalam kulit buah mahkota
dewa terkandung senyawa alkaloid, saponin, dan flafanoid. sedangkan dalam
daunnya terkandung alkaloid, saponin, dan polyfenol.
62
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
63
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari Bulan Nopember 2010 sampai Januari 2011.
Penelitian ini dilakukan di tiga Laboratorium pada Universitas Brawijaya Malang
yaitu : Laboratorium Biokimia Organik, Fakultas MIPA , Laboratorium Parasit dan
Penyakit Ikan Fakultas Perikanan, dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas
Kedokteran.
Ektraksi Kulit Buah Mahkota Dewa
Ekstrak senyawa bioaktif dari buah mahkota dewa menggunakan metode
maserasi bertingkat. sebanyak 1.Kg sampel kering diekstrasi secara maserasi
bertingkat menggunakan pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Maserasi
pertama digunakan pelarut non polar heksana 2 liter selama 24 jam kemudian
disaring. Maserasi kedua dengan pelarut aseton semi polar 2 liter selama 24 jam.
Setelah itu ampas disaring dan dikeringkan hingga terbebas dari pelarut aseton.
Sampel di bagi 2 dan dimaserasi kembali dengan etanol (polar) 1:3 dan dimaserasi
dengan air (polar) 1:3 selama 24 jam, kemudian disaring dan filtratnya di pekatkan
dengan rotary vacum evaporator pada suhu 60-700C sampai diperoleh ekstrak pekat
(Pambayun et al, 2007)
Perendaman dalam Senyawa Fenolik Kulit Buah Mahkota
Ikan mas diaklimatisasi terlebih dahulu 7 hari. Media (air) sebelum
digunakan telah ditretment terlebih dahulu dengan pemberian 5 ml chlorin dalam
akuarium volume 30 liter selama 3 hari, kemudian diberikan 5 ml Na.thiosulfat
untuk menghilangkan toksik dari efek pemberian chlorin. Sebelum ikan di rendam
pada akuarium yang berbeda, senyawa fenolik kulit buah mahkota dewa terlebih
dahulu diencerkan dengan dosis 0,01, 0,015 dan 0,02 ppm dengan rumus
pengenceran (N1.V1= N2. V2).
Uji Tantang Dengan Bakteri A. hydrophila
Uji tantang/diinfeksi dilakukan 3 hari setelah pengambilan darah pertama.
Proses infeksi dilakukan dengan cara perendaman ikan mas pada aquarium berbeda
yang telah diisi bakteri A. hydrophila dengan kepadatan 10750-6 jam sel/ml,
64
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
65
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
tulang rawan penopang, sel interlamela dan sel mukus. Menurut Fujaya (2004)
insang normal terdapat filament insang yang terdiri atas banyak lamella, yang
merupakan tempat pertukaran gas.. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.
Tabel 2 kerusakan insang ikan mas sebelum dan setelah diinfeksi
Kerusakan Kerusakan
insang ikan mas insang ikan mas
Pelarut Dosis Jumlah Sel
sebelum setelah diinfeksi
diinfeksi (%) (%)
Kontrol (K) 0. ppm (D1) 75 - 44.0
0,01. ppm
73 - 5,40
(D2)
Fraksi Polar
0.015 ppm
Etanol 74 - 1,35
(D3)
(A1)
0.02. ppm
73 -
(D4)
0,01. ppm
73 - 4,10
(D2)
Fraksi Polar
0.015 ppm
Air 73 - 1,36
(D3)
(A2)
0.02. ppm
74 - 1,35
(D4)
K 1 4 E
P
p
l
K P E
l p
2 3 5
66
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
4,10%) D2 (1,35% dan 1,35%) D3 (0, dan 1,35%). Kerusakan ini menunjukan
terjadi perubahan patologis akibat infeksi bakteri A.hydrophila. Hal ini disebabkan
organ insang merupakan salah satu organ yang paling rentan terhadap infeksi
karena berhubunhan langsung dengan air yang mengandung bakteri tersebut.
Menurut Murjani (2002) insang merupakan organ respirasi yang secara langsung
berhubungan dengan lingkungan perairan. Pada waktu ekspirasi, air mengalir
menyebabkan lamela primer melentang, sehingga lamela sekunder saling
bersentuhan. Air yang telah mengandung bakteri langsung menyentuh lamela,
kemudian masuk kekapiler darah dan merusak jaringan yang dilaluinya.
Kerusakan yang terjadi pada lamela disebabkan adanya infeksi bakteri
A.hydrophila. Pada kondisi ini terjadi pembengkakan atau sel-sel epitel membesar
sehingga ruang-ruang antara lamela tertutup dan meneyebabkan terganggunya
proses pertukaran gas-gas dan ion pada lamela sehingga sistem respirasi pada
insang terhambat. Mahardika et.al (2004), mengatakan bahwa membesarnya sel-sel
pada insang disebabkan adanya proses edema dan hipertropi yang dibuktikan pada
ikan Kerapu Macan yang terinfeksi Iridofirus.
Pada penelitian ini juga menunjukkan adanya edema, hyperplasia, dan
hipertropi yaitu penimbunan cairan yang berlebihan diruang interseluler sekaligus
peningkatan ukuran sel pada lamella sekunder. Hipertropi pada insang disebabkan
adanya perkembangan dan penumpukan virion yang berkembang dalam inti sel.
Perkembangan ini akan menyebabkan inti sel bergerak kepinggir, kemudian terjadi
kariolisis yang pada akhirnya sel akan lisis. Inti sel yang membengkak akan
menekan cairan sel, tekanannya yang besar terhadap dinding sel melebihi toleransi
dinding sel akan menyebabkan sel pecah dan lisis (Alifudin et.al,2004).
67
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
1 2
3
4
68
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka ada beberapa simpulan yang
dapat di ambil, diantaranya adalah ;
1. Dari hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa fenolik fraksi polar
etanol dan fraksi polar air dari kulit buah mahkota dewa merupakan salah satu
immunostimulan yang baik untuk ikan mas karena mampu meningkatkan
sistem immun pada ikan mas (C. carpio)
2. Dari hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa semakin tinggi dosis
fenolik fraksi polar etanol dan fenolik fraksi polar air buah mahkota dewa
sebagai immunostimulan , semakin baik untuk meningkatkat sistem immun
pada ikan mas (C. carpio) yang diinfeksi bakteri A.hydrophila.
3. Berdasarkan hasil penelitian, kondisi jaringan insang dan ginjal ikan mas
sebelum diinfeksi, pada dosis D1,D2,D3 terlihat normal, sedangkan setelah
diinfeksi pada jaringan insang terjadi kerusakan, tetapi tingkat kerusakan pada
dosis D1,D2,D3 relatif kecil kecuali pada (K-).
4. Pada insan normal masih memiliki lamela, terdapat ruang antar lamela, tulang
rawan penopang dan pada ginjal, dengan penampakan pancaran moduler,
tubulus proksimal, gromelurus, kapsul bowman dan tubulus distalis. Perubahan
pada jaringan insang dan ginjal antara ikan perlakuan dengan ikan tanpa
perlakuan hampir tidak memiliki perbedaan, karena jaringan tersebut
menunjukan bagian-bagian yang lengkap. Sedangkan pada saat setelah
diinfeksi A. hidrophila. semakin besar dosis yang diberikan semakin kecil
tingkat kerusakan pada insang dan ginjal ikan mas (C. carpio)
69
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
DAFTAR PUSTAKA
70
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Suhirman dan Winarti. 2010. Prospek dan Fungsi Tanaman Obat sebagai
Imunomodulator. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
”Jurnal’ Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian
71
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
ABSTRAK
Padang lamun merupakan ekosistem yang memiliki fungsi ekologis dan ekonomi.
Secara ekologi padang lamun berperan sebagai penangkap sedimen. Mengstabilkan
substrat dasar dan menjernihkan air, merupakan sumber produktivitas primer yang
mempunyai nilai produksi yang cukup tinggi. Selain itu padang lamun dapat
menjadi daerah asuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground)
serta daerah perlindungan bagi organisme-organisme laut seperti ikan, moluska,
penyu laut, dugong dan crustacea. Secara ekonomi lamun dapat dimanfaatkan
sebagai bahan dasar kertas, makanan ternak dan pupuk. Peneitian ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui jenis-jenis ikan yang tertangkap pada ekosistem
padang lamun di perairan Loleo, dan mengetahui struktur komunitas ikan yang
tertangkap pada ekosistem padang lamun di perairan Loleo. Penelitian ini
dilaksanakan di perairan Loleo kecamatan Weda Selatan Kabupaten Halmahera
Tengah, sedangkan waktu pelaksanaannya pada bulan Maret 2015. Proses
penangkapan ikan menggunakan jaring insang dengan panjang 200 meter dan lebar
1 meter dan ukuran mesh size 2,5 inchi. Jaring dioperasikan pada kedalaman 1,5-
2 meter pada waktu pasang dan waktu surut. Hasil tangkapan yang diperoleh
kemudian dibawa ke daratan untuk di determinasi berdasarkan petunjuk
Peristiwady (2006). Komposisi jenis ikan sebanyak 13 jenis yang terdiri dari 3 ordo
dan 9 famili yaitu : Caranx melampygus, Lutjanus fulvus, Hemiramphus sp,
Moolgarda perusi, Lethrinus obsoletus, Lethrinus miniatus, Hyposcarus longiceps,
Scarus quoyi, Plectorhynchu orientalis, Sphyraena barracuda, Siganus
canaliculatus, Siganus doliatus, dan Siganus spinus.
Kata Kunci: Komunitas Ikan, Padang Lamun, Perairan Loleo.
ABSTRACT
Seagrass ecosystems that have ecological and economic functions. Ecologically
seagrass beds serve as sediment catcher. Mengstabilkan base substrate and purify
the water, is a source of primary productivity that have a fairly high production
values. Additionally seagrass can be an area of care (nursery grounds), feeding
(feeding ground) as well as areas for the protection of marine organisms such as
72
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
fish, mollusks, sea turtles, dugong and crustaceans. Economically seagrass can be
used as a basic ingredient of paper, animal feed and pupuk.Peneitian was done in
order to determine the types of fish are caught in seagrass ecosystems in the waters
Loleo, and knowing the structure of fish communities are caught in seagrass
ecosystems in the waters Loleo , This research was conducted in the waters south
Loleo districts Weda Central Halmahera, while its execution time in March 2015.
The process of catching fish using gill nets with a length of 200 meters and a width
of 1 meter and 2.5-inch size of the mesh size. Nets operated at a depth of 1.5-2
meters at high tide and low tide. The catch obtained was then taken to the mainland
for in determination based on the instructions Peristiwady (2006). The composition
of species of fish as many as 13 species consist of three orders and 9 families are:
Caranx melampygus, Lutjanus fulvus, Hemiramphus sp, Moolgarda perusi,
Lethrinus obsoletus, Lethrinus miniatus, Hyposcarus longiceps Scarus quoyi,
Plectorhynchu orientalis, Sphyraena barracuda, Siganus canaliculatus, Siganus
doliatus, and Siganus spinus.
Keywords: Community Fish, Seagrass, Water Loleo.
PENDAHULUAN
Padang lamun merupakan ekosistem yang memiliki fungsi ekologis dan
ekonomi. Secara ekologi padang lamun berperan sebagai penangkap sedimen.
Mengstabilkan substrat dasar dan menjernihkan air, merupakan sumber
produktivitas primer yang mempunyai nilai produksi yang cukup tinggi. Selain itu
padang lamun dapat menjadi daerah asuhan (nursery ground), tempat mencari
makan (feeding ground) serta daerah perlindungan bagi organisme-organisme laut
seperti ikan, moluska, penyu laut, dugong dan krustasea. Secara ekonomi lamun
dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar kertas, makanan ternak dan pupuk
(supriharyono, 2002).
Komunitas ikan di Indonesia ditemukan yang berasosiasi dengan padang
lamun sebanyak 360 jenis,78 jenis tercatat di Kepulauan Seribu, 165 jenis di Teluk
Banten dan 205 jenis di Pulau Seram Barat (Hutomo dan Martosewejo, 1977 dalam
Tomascik, 1977).Menemukan bahwa ada 78 jenis ikan yang berasosiasi dengan
padang lamun, dari 32 famili ikan yang ada, 6 famili yang dapat dianggap sebagai
kelompok populasi yang penting yaitu Apogonidae, Atherinidae, Labridae,
Gerridae, dan Monakanthidae.
Peraiaran Loleo merupakan salah satu perairan yang secara administratif
berada dalam wilayah Kecamatan Weda Selatan Kabupaten Halmahera Tengah,
73
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
dimana perairan ini memiliki ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, padang
lamun, dan terumbu karang. Perairan Loleo sering didatangi oleh masyarakat baik
itu masyarakat dari Desa Loleo ataupun dari Desa-desa tetangga yang berada di
sekitar Desa Loleo dengan tujuan untuk menagkap ikan dan mencari kerang.
Khususnya area padang lamun memilki keanekaragaman biota seperti
Echinodermata, Rumput Laut dan ikan. Masyarakat di Desa Loleo sebagian besar
berprofesi sebagai nelayan dengan mengunakan alat tangkap berupa jaring insang.
Pada umumnya mereka melakukan aktifitas penangkapan pada daerah padang
lamun, sehingga di khawatirkan akan mengangu keberadaan ikan-ikan dan
organisme lain serta kerusakan pada ekosistemnya.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis ikan dan
struktur komunitas ikan (keanekaragaman jenis, dominansi jenis dan kemerataan
jenis) yang tertangkap pada ekosistem padang lamum di perairan Loleo.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan diperairan Loleo Kecamatan Weda Selatan,
Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara, Sedangkan waktu
pelaksanaannya yaitu pada bulan Maret 2015. Lokasi penelitian secara geografis
berada pada koordinat 00˚26’61,5 Lintang Utara dan 127˚920’47″ Bujur Timur.
Pengumpulan Data
Proses penangkapan ikan menggunakan jaring insang dengan panjang 200
meter dan lebar 1 meter dan ukuran mesh size 2,5 inchi. Sebelum dilakukan
penangkapan, jaring terlebih dahulu diatur agar tidak mudah terbelit. Jaring
dioperasikan pada kedalaman 1,5-2 meter pada waktu pasang dan waktu surut.
Pengoperasian jaring dilakukan dengan melingkari komunitas lamun bagian terluar
pada stasiun pengamatan dan dilakukan 2 kali penangkapan dalam sehari (waktu
pasang dan waktu surut). Proses penangkapan dengan bantuan perahu dan tenagga
dari beberapa orang. Ikan digiring kearah jaring dengan cara membunyikan air
dengan mengunakan kayu berulang-ulang kali sehingga ikan bergerak kearah
74
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Analisa Data
Untuk mengetahui struktur komunitas ikan yang tertangkap di daerah
padang lamun, maka data jumlah jenis dan jumlah individu yang diperoleh
kemudian dianalisis dengan formula sebagai berikut :
Keanekaragaman Jenis (H')
Untuk menghitung besarnya keanekaragaman digunaka metode Shanon dan
Weinner (Ludwig dan Reynolds, 1988), sebagai berikut :
𝑠
𝑛𝑖 𝑛𝑖
H′ = − ∑ ( ) Ln ( )
𝑁 𝑁
i:I
Keterangan :
H' : Keanekaragaman jenis
ni : Jumlah individu jenis –i
N : Jumlah seluruh individu
Dengan kriteria :
H’ > 1 : Keanekaragaman jenis rendah
1 ≤ H’ ≤ 3 : Keanekaragaman jenis sedang
H’ > 3 : Keanekaragaman jenis tinggi
Indeks Dominansi (C)
Untuk mengetahui indeks dominansi menurut Ludwig dan Reynolds (1988)
adalah :
ni
C = Σ (𝑁) ²
Keterangan :
ni = Jumlah individu tiap jenis
N = Jumlah individu seluruh jenis
Dengan kriteria : Nilai C berkisar 0 - 1.
Jika C mendekati 0 berarti tidak ada spesies yang mendominansi dan apabila
nilai C mendekati 1 berarti adanya salah satu spesies yang mendominansi.
75
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
76
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Tabel 1. Komposisi jenis ikan padang lamun yang tertangkap pada waktu pasang
Nama Jenis
No Ordo Famili Ilmiah Indonesia Inggris Lokal
Perciformes Carangidae Caranx Kweh Bluefin Bubara
1 melampygus Trevally
Mugiliformes Mugilidae Moolgarda Belanak Blue spot Goruwo
2 perusi Grey
Mullet
Perciformes Lethrinidae Lethrinus Lencam Orange Gutila
3 obsoletus striped
Emperor
4 Perciformes Lethrinidae Lethrinus Lencam Trumpet Gutila
miniatus Emperor
5 Perciformes Scaridae Hyposcarus Kakatua Parrotfish Kakatua
longiceps
6 Perciformes Siganidae Siganus Beronang Smudges Uhi
canaliculatus pot
Spinefoot
7 Perciformes Siganidae Siganus Beronang Doublebar
doliatus Spinefoot Uhi Kuning
77
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Tabel 2. Komposisi jenis ikan padang lamun yang tertangkap pada waktu surut
Nama Jenis
No Ordo Famili
Ilmiah Indonesia Inggris Lokal
Perciformes Lutjanidae Lutjanus Gorara Yellow Gaca
1 fulvus margined kuning
Seaperch
Beloniformes Hemiraphidae Hemiramphu Julung Black Golobo
2 s sp barred
Helfbeak
3 Perciformes Siganidae Siganus Beronang Smudgesp Uhi
canaliculatus ot
Spinefoot
4 Perciformes Siganidae Siganus Beronang Doubleba Uhi
doliatus r Kuning
Spinefoot
5 Perciformes Siganidae Siganus Beronang Spiny Tofe
spinus Spinefoot
6 Perciformes Scaridae Scarus quoyi Kakatua Quoy’s Kakatua
Parrotfish
7 Perciformes Haemulidae Plectorhynch Raja bau Oriental Raja bau
u orientalis sweetlips
8 Perciformes Sphyraenidae Sphyraena Susuge Great Suo
barracuda Barracuda
78
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
79
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Gambar 3. Hemiramphus sp
4. Moolgarda seheli
Jenis ini memiliki badan agak memanjang dan agak pipih. Lengkung kepala
bagian atas sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Tinggi badan lebih
besar dari pada panjang kepala. Kelopak mata tidak berkembang. Sirip ekor cagak.
Kepala dan badan bagian atas kehijauan dan keperakan, bagian bawah lebih terang
keperakan. Sirip dada sedikit kekuningan dengan bagian atas dasar sirip dengan
80
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
81
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
82
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
dengan ujung sirip-sirip biru terang. Sirip dada biru dengan bagian tengah
kecoklatan. Sirip ekor kebiruan (Peristiwady, 2006) (Gambar 8).
83
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
ujung sisi sirip ekor bagian bawah putih. Sirip-sirip lainnya transparan
(Peristiwady, 2006) (Gambar 10).
84
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Jenis ini memiliki badan agak tinggi dan pipih. Lengkung kepala bagian atas
cembung. Sirip ekor berlekuk. Kepala dan badan putih kehijauan/ kekuningan,
bagian bawah lebih terang. Kepala dan bagian belakang kepala dengan sirip hitam
menyilang, yang pertama melewati mata, yang kedua melewati belakang keping
penutup insang. Sirip punggung dan ekor kuning kecoklatan. Sirip lainnya putih
(Peristiwady, 2006) (Gambar 12).
85
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
86
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Parameter Lingkungan
Pegukuran parameter lingkungan yang meliputi suhu air, salinitas, dan pH
air selama operasi penangkapan (10 trip penangkapan) diperoleh kisaran suhu
berkisar antara 30 - 32˚C, salinitas berkisar antara 30 - 33‰, dan pH air berkisar
antara 8,0 - 8,2. Hasil pengukuran parameter lingkungan lebih jelas dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan Perairan Loleo.
87
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
lamun dapat hidup pada suhu 29 - 32˚C, salinitas berkisar antara 30 - 35‰, dan pH
air berkisar antara 8,0 - 8,2.
Menurut KepMen Lingkungan Hidup No 200 Tahun 2004 menyebutkan
bahwa standar baku mutu salinitas yang baik untuk kehidupan biota laut yaitu 30 -
34 ‰. Sedangkan kisaran pH yang baik untuk pertumbuhan lamun dan kehidupan
biota laut yaitu berkisar 7 - 8,5, dan suhu berkisar antara 30 - 33˚C. Sedangkan
Menurut Kordi dan Tancung (2007) dalam Latuconsina (2011) yaitu nilai pH 8,0 -
8,2 merupakan kisaran pH optimal bagi pertumbuhan ikan, suhu berkisar antara 29
- 33˚C, dan salinitas 30 - 35 ‰. pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan
karena mempengaruhi kehidupan jasad renik.
Seiring dengan peryataan di atas maka berasarkan hasil pengukuran
parmeter lingkungan yang diperoleh selama penelitian berlangsung, maka dapat
dikatakan bahwa perairan Loleo tergolong dalam kondisi perairan yang ideal bagi
pertumbuhan dan perkembangan ikan padang lamun yang hidup di perairan Loleo.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dikemukakan beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Komposisi jenis ikan sebanyak 13 jenis yaitu Siganus spinus, Siganus doliatus,
Siganus canaliculatus, Sphyraena barracuda, Plectorhynchu orientalis, Scarus
quoyi, Hyposcarus longiceps, Lethrinus miniatus, Lethrinus obsoletus,
Moolgarda seheli, Hemiramphus sp, Lutjanus fusvus, dan Caranx melampygus.
2. Keanekaragaman jenis ikan yang tertangkap pada ekosisitem padang lamun di
perairan Loleo tergolong sedang, dan tidak ada salah satu spesies yang
mendominansi komunitas ikan pada ekosistem padang lamun di perairan Loleo,
serta penyebaran jenisnya sangat merata
DAFTAR PUSTAKA
88
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
89
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Suhud, 2009. Kajian Komunitas Ikan Pada Ekosistem Padang Lamun di Pulau
Sali Kecamatan Gane Barat Kabupaten Halmahera Selatan. Skripsi.
Jurusan MSP. FPIK. Unkhair. Ternate.
Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di
Wilayah Pesisir Tropis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Penerbit PT. Gramedia
Widiasarana. Jakarta.
90
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan metode budidaya
terhadap laju pertumbuhan. Rumput laut Kappapycus alvarezii. Manfaatan
penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
pembudidaya rumput lautinstansi pemerintah, dan pengusaha dalam bidang
budidaya rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii. Penelitian ini dilaksanakan pada
Bulan Desember-Januari 2016 di Perairan Obi Utara Halmahera Selatan.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 3 perlakuan dan masing-masing perlakuan di ulangi sebanyak 3 kali.
Data yang diambil dalam penelitian ini adalah laju pertumbuhan harian
Kapppapycus alvarezii suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut, kecepatan arus,
kedalaman. Nilai hasil prensentasi laju pertumbuhan harian Kappapycus alvarezii
dapat dikatakan bahwa laju pertumbuhan tertinggi dari ketiga metode tersebut
terdapat pada perlakuan C 5,15 % kemudian diikuti dengan perlakuan A (metode
rakit apung) sebesar 4,86 %, dan perlakuan B (metode longline) sebesar 4,62 %.
Parameter kualitas air seperti suhu berada pada kisaran kuhu 28-33 OC, kecepatan
arus 22,34-40,12 cm/dtk, kedalaman 5,6-7,1 m, salinitas 30-23 ppt, pH 8,41-8,15,
oksigen terlarut 6,00-8,42 mg/l sehingga kondisi kualitas air ini masih dikatakan
layak bagi pertumbuhan Kappapycus alvarezii. Berdasarkan hasil analisis sidik
ragam menunjukkan bahwa. Fhitung = 74,27 lebih besar dari Ftabel pada taraf 5% dan
1% maka sesuai dengan kaidah keputusan Ho ditolak H1 diterima.Hasil beda nyata
terkecil (BNT) menunjukkan bahwa antar perlakuan berbeda sangat nyata.
ABSTRACT
This study aims to determine the effect of different methods of cultivation to the
growing rate. Kappapycus alvarezii seaweed. Utilization of this research is
expected to provide information to the public lautinstansi grass farmers
government, and entrepreneurs in the field of cultivation of seaweed Kappaphycus
alvarezii.Penelitian was conducted in December-January Month 2016 North
Halmahera Selatan.Rancangan Obi Bodies were used in this study is a randomized
block design complete (CRD) with 3 treatments and each treatment in repeat 3
91
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
times. Data taken in this study is the daily growth rate Kapppapycus alvarezii
temperature, pH, salinity, dissolved oxygen, flow velocity, depth. The resulting
value is prensentasi Kappapycus alvarezii daily growth rate can be said that the
highest growth rate of the three methods are in treatment C 5.15%, followed by
treatment with A (floating raft method) amounted to 4.86%, and treatment B
(longline method) amounted to 4.62%. Water quality parameters such as
temperature in the range of 28-33 OC kuhu, current speed from 22.34 to 40.12 cm
/ sec, 5.6 to 7.1 m depth, 30-23 ppt salinity, pH 8.41 to 8, 15, dissolved oxygen from
6.00 to 8.42 mg / l so that the condition of the water quality is still said to be feasible
for growth Kappapycus alvarezii. Based on the analysis of variance showed that.
Fhitung = 74.27 is greater than F table at the level of 5% and 1% then in
accordance with the rules of decision-Ho rejected H1 diterima.Hasil least
significant difference (LSD) showed that significantly different between treatments.
PENDAHULUAN
Maluku Utara memiliki potensi perairan cukup subur untuk
pengembangan budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii, beberapa lokasi yang
telah dilakukan budidaya rumput laut yakni salah satunya Kabupaten Halmahera
Selatan khususnya di Perairan Pulau Obi dengan karakteristik Perairan substrat
berpasir dan terlindung dari ombak dengan adanya terumbu karang. Kebutuhan
dunia terhadap rumput laut yang meningkat mendorong kegiatan budidaya, dalam
ketersediaan stok alam karena sudah menunjukan. Eucheuma cottonii merupakan
salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi
Kappaphycus alvarezii yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan (Doty
1978 b; Lem, 2002).Keberhasilan budidaya rumput laut selain pemilihan lokasi
yang sesuai target sangat tergantung pada teknologi budidaya yang tepat. Metode
budidaya yang diterapkan hendaknya dapat memberikan laju pertumbuhan rumput
laut yang baik. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2014). Umumnya metode
teknologi dikembangkan di Indonesia antara lain metode rakit apung, metode lepas
dasar dan metode longline. Penerapan Metode teknologi budidaya harus tepat untuk
menjamin keberhasilan usaha budidaya rumput laut oleh itu penggunaan metode
budidaya rumput laut secara tepat sangat diperlukan. Kajian ilmiah yang mendalam
mengenai ”Pengaruh Perbedaan Metode Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus
92
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama 35 hari. Dimulai pada Tangal 17
Desember 2014 sampai 20 Januari 2015 di Perairan Pulau Madapolo Kecamatan
Obi Utara Kabupaten Halmahera Selatan.
Metode Penelitian
Rangcangan Percobaan
Rancangan penelitian ini menggunakan rancang acak lengkap (RAL)
dengan 3 perlakuan dan masing-masing perlakuan diulangi sebanyak 3 kali.
Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
Perlakuan A = Metode rakit apung
Perlakuan B = Metode longline / tali rawai
Perlakuan C = Metode lepas dasar
Penetapan tata letak wadah setiap perlakuan di lakukan dengan cara
mengikuti bilangan acak tata letak wadah percobaan setelah di acak. Perbandingan
antara ketiga metode bertujuan untuk membandingkan tingkat lajupertumbuhan
harian Kappaphycus alvarezii dalam perlakuan tanaman uji. Rumput laut secara
acak dan dilakukan penimbangan berat kegiatan ini dilakukan setiap satu minggu
sekali selama 5 minggu penelitian.
93
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Prosedur Penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara mengenai budidaya oleh
petani rumput laut di Desa Madapolo terdapat tiga metode penelitian.
1. Metode rakit apung merupakan cara membudidayakan rumput laut dengan
mengunakan rakit yang terbuat dari bambu. Metode ini cocok diterapkan
padaperairan di mana pergerakan airnya didominasi oleh ombak, dan pada
umumnya 1 unit rakit dengan masing-masing berukuran 3x3 m. Satu rakit
terdiri dari 9 tali utama dengan jarak antara tali masing-masing 30 cm. Untuk
tiap tali ris dapat diikatkan 12 rumpun thallus rumput laut, dan satu rakit akan
terdiri dari 108 rumpun dengan berat rata-rata thallus rumput laut pada awal 50
gram.
2. Penerapan metode longline dengan menggunakan patok dari bahan kayu yang
berjumlah 5 buah yang berhadapan setiap satu tali mememiliki panjang 3 meter
tali ini dapat direntangkan pada kayu sehingga tanaman uji yang diikat
mengunakan tali ris dengan jarak 25 cm digunakan dalam proses
pengampungan bibit rumput laut yang telah ditanam. Kayu yangdipancang
kedalam substrat perairan dengan tujuan agar tanaman tidak terbawa arus dan
ombak. Bibit rumput laut yang digunakan adalah Kappapycus alvarezii dengan
berat awal 50 gram, dan dalam kondisi basah segar yang diperoleh dari daerah
setempat.
Dengan jarak di peroleh menggunakan satu buah perahu sampan sebagai
alat transprotasi untuk rumput laut basa ketempat yang dimana penelitian mulai
melakukan. Penyortiran dan pengikatan rumput laut sebagai bibit dilakukan di darat
dengan jarak tanam rata-rata yang telah ditentukan 25 cm. Sehingga di perlukan 9
tali rentang cabang yang akan diamati sampel rumput laut. Dari setiap tali ris
digantungkan 12 bibit tanaman sebagai sampel pengamatan (sebagai ulangan) yang
di ambil dari posisi pertama ujung yaitu ujung kanan dan kiri serta tiga dari
pertengahan tali rentang.
Metode lepas dasar (monoline method), disiapkan kayu berukuran panjang
3 meter sebanyak 13 potong dan tiang yang memiliki jarak 30 cm kayu tanam yang
membentuk persegi dan jaring yang dapat dilakukan sebagai kurungan dari patok-
94
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
patok kayu yang digunakan, agar tanaman rumput laut benar-benar terlindung oleh
hewan peredator, pada lokasi penelitian tali dengan panjang masing-masing 3 meter
hal ini dapat direntangkan didasar perairan dan tali ris dari bahan plastik yang
berdiameter 4 mm dapat diikat tanaman uji rumput laut dengan jarak tanam 25 cm.
Patok dihubungkan dengan patok yang lainnya dengan tali ris yang digantung
thallus rumput laut sebanyak 108 digunakan pada dasar perairan pasir atau batu
berkarang.
Keberhasilan budidaya rumput laut sangat tergantung pada teknologi atau
metode penanamannya, metode yang dipilih hendaknya dapat memberikan
pertumbuhan yang menguntungkan, mudah pelaksanaannya dengan bahan
bangunan yang murah dan mudah di dapat.
Pemilihan Lokasi
Keberhasilan budidaya rumput laut merupakan tujuan penelitian yang
sangat ditentukan sejak penentuan lokasi. Hal ini dikarenakan produksi dan kualitas
rumput laut dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologi yang meliputi kondisi substrat
perairan, kualitas air, iklim dan geografis dasar perairan, yang pada akhirnya akan
menurunkan daya dukung lingkungan terhadap perkembangan rumput laut yang
dikembangkan di perairan pulau madapolo merupakan jenis Kappaphycus
alvarezii,memiliki beberapa hubungan dalam pemilihan perairan yang sangat
ditentukan oleh kondisi air laut Prihanigrum dkk., (2001).
Tahapan Pengambilan Data
Penelitian ini menggunakan 9 perlakuan yang masing-masing satuan
percobaan diulang sebanyak 3 kali data yang diambil dalam penelitian ini adalah
laju pertumbuhan harian sampel Kapppapycus alvarezii dan parameter kualitas air
(Suhu, pH, Salinitas, Oksigen terlarut, Kecepatan arus, Kedalaman) penentuan laju
pertumbuhan harian diketahui dari perbandingan berat pada akhir penelitian dan
waktu interval berat awal dirumuskan dengan InWt dikurangi dengan InWo lalu
dikalikan dengan 100%.Untuk mengetahui laju pertumbuhan harian(Spesifik
Growth Rate/SGR) berdasarkan bobot tubuh rumput laut menggunakan rumus.
Changboo et al., (2004) sebagai berikut:
95
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
InWt − InWo
SGR = X 100%
t
96
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
97
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
3.50
1 2 3 4 5
98
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
99
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
100
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
101
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
pertumbuhan yang tidak kurang dari 3–5% masih dianggap mendukung bagi berat
tanaman perhari (Kawaroe et al., 2012).
Dari pengamatan rata-rata laju pertumbuhan harian memperlihatkan
tingkatpertumbuhan rumput laut. Kappapycus alvarezii setelah tanam dengan berat
bibit basah awal 50 gr di setiap rumpun tanaman dapat meningkat dari minggu
pertama sampai akhir penanaman minggu ke 5 terlihat menggalami peningkatan.
6.00 5.15
4.81 5.02
5.00 4.23 4.51
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
1 2 3 4 5
Gambar 5. Laju Pertumbuhan harian Kappapycus alvarezii
Berdasarkan gambar diatas menunjukan bahwa pertumbuhan harianjenis
Kappaphycus alvarezii pada minggu pertama dan kelimah pada semua perlakuan
rumpun mengalami peningkatan pertambahan berat. Hal ini karena masih terjadi
pergerakan arus dan gelombang yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut
sehingga memiliki peluang yang cukup besar dalam penyerapan unsur hara, selain
itu pergerakan air juga dapat membersihkan alga laut dari kotoran yang menempel
sehingga tidak menghalangi proses fotosintesis. (Aslan 1999) dan (Atmadja 1996).
Memungkinkan setiap jumlah pertumbuhan thallus Kappapycus
alvareziiyang baik dapat mendistribusikan unsur hara merata disetiap ikatan bibit
diletakan di dasar perairan terlihat mendukung bagi pertumbuhan harian yang dapat
tumbuh secara baikdengan kedalaman lokasi penelitian diperoleh 2,28-3,46 meter
didapatkan suhu 29-31°C, salinitas 30-33 ppt, kecepatan arus 22,34-40,12 cm/detik,
pH 8,15-8, oksigen terlarut 6,5-8 mg/l sesuai dengan syarat kualitas perairan
tersebut. Dapat dilihat pada Gambar 6.
102
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
103
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
berat rumput laut telah mencapai empat kali dari berat bibit awal yang ditanam
(Lundsor 2002).
Bibit yang digunakan dalam penelitian berasal dari petani budidaya
setempat yakni rumput laut yang telah berumur 25 hari dengan bibit bagian ujung
dan pangkal juga telah dilakukan dalam proses penanaman disetiap metode
percobaan dapat dilihat dengan adanya laju pertumbuhan harian memiliki sudut
pandangan pertumbuhan awal dan akhir disetiap perlakuan ukuran bibit yang
ditanam sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan yang berasal dari bagian
ujung akan memberikan laju pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan bibit
thallusdari bagian pangkal (Dawes 1991).
Penanaman jenis rumput laut Kappapycus alvareziidi lokasi penelitian
hanya membutuhkan waktu 35 hari. Dengan minggu ke-1 samapi minggu ke 5,
memiliki nilai rata-rataterbesar diperlakuanC dengan metode lepas dasar diduga
pertumbuhan harian di lokasi penelitian didukung oleh faktor-faktor parameter
lingkungan relatif stabil stabil faktor kecerahan yang mendukung pertumbuhan
rumput laut adalah minimal 1,5 meter kondisi ini mendukung pertumbuhan rumput
laut dapat berlangsung secara maksimal tumbuh diperairan dengan kedalaman
tertentu dimana proses fotosintesis, sampai ke dasar perairan (Atmadja, dkk 1996).
Penelitian khusus membahas salah satu jenis rumput laut yang
dibudidayakan oleh masyarakat adalah Kappaphycus alvarezii. Dengan teknologi
metode budidaya yang dikembangkan antara lain metode lepas dasar, metode rakit
apung dan metode longline dengan manfaat sifat pertumbuhan yaitu memperbanyak
tanaman melalui stek atau potongan-potongan thallus tanaman dalam kecepatan
tumbuh Kappapycus alvareziidengan metode lepas dasar dapat bervariasi untuk
perairan lokasi budidaya, pertambahan berat suatu laju pertumbuhan per hari
sangat menentukan hasil paska panen produksi rumput laut Atmadja (1996)
SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa metode
tanam rumput laut selama penelitian yaitu metode rakit apung,metode longline,
metodelepas dasar yang ditandai dengan laju pertumbuhan harian (SGR) tertinggi.
104
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
DAFTAR PUSTAKA
Azanza. C, R., SS Mamauag, E. Alfiler, dan MJ Orolfo, 1992: Reproduksi di
Eucheuma cottonii (Burman) Collins dan Hervey dan Kappaphycus
alvarezii Doty Ternak di Danajon Reef, Filipina. Budidaya, 103, 29-34
hlm
Afrianto, E dan Liviawati, E. 1993.Budidaya Rumput Laut dan Cara.Pengolahann
ya. Penerbit B hratara. Jakarta. 389-397 hml
Atmadja,W. 1996. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia.Puslibang
Oseanografi LIPI. Jakarta. 189 hml
Azizah,T.N.2006. Percobaan Berbagai Macam Metode Budidaya Latoh
(Caulerparacemosa) Sebagai Upaya Menunjang kontinuitas Produksi.
Journal Ilmu Kelautan. 11(2): 101–105.
Aslan 1999. Budidaya Rumput Laut.Yogyakarta: Kanisius. 97 hml
Brotowidjojo, Mulbyantoro dan Tribawono, 1995. Pengantar Lingkungan Perairan
dan Budidaya Air. Liberty. Yogyakarta.345-351 hlm.
Chandrasekaran, S., Nagendran, N.A., Pandiaraja, D., Krishnankutty, N., and
Kamalakannan,. B2008. Bioinvasion of Kappaphycus alvarezii on
Corals in The Gulf of Mannar,India. Current Science, 1167-1172 hlm.
Doty, M. S. 1985: Kappapycus alvarezii. November (Gigartinales, Rhodophyta)
dari Malaysia. Taksonomi rumput laut ekonomi: Dengan referensi
untuk beberapa Pacific dan spesies Karibia, IA Abbott dan JN Norris,
Eds., La Jolla, 37- 45 hlm
Dawes, C. J. and E. W. Koch, 1991: Branch, micropropagule and tissue-culture of
the red algae Eucheuma denticulatum and Kappaphycus alvarezii
farmed in the Philippines. Journal of Applied Phycology, 247-257 hlm
Diskanlut Sulteng dan LP3L TALINTI 2007. Grand Strategi Pengembangan
Budidaya Rumput Laut di Propinsi Sulawesi Tengah “Menuju Sulawesi
Tengah sebagai Propinsi Rumput Laut Tahun 2011”. Laporan Final
Dinas Kelautan Dan Perikanan Propinsi Sulawesi Tengah dan LP3L
TALINTI hml 52
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2014. Produksi Rumput Laut Indonesia.
Ditjen Perikanan. Jakarta. 50 hml
Effendi H 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan Penerbit Kanisium Jl. Cempaka. Yogyakarta 258
hlm.
Gaspersz, V. 1994. Metode Perancangan percobaan ARMICO. Bandung,472 hlm
105
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
106
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
107
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Sahlan Norau
Pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Khairun
ABSTRAK
Bencana diartikan sebagai suatu kejadian yang diluar kebiasaan (kondisi normal).
Bencana dapat dibagi dalam bencana fisik dan bencana non fisik. Bencana selain
disebabkan oleh faktor alam yang diluar kondisi normal dapat juga disebabkan oleh
tindakan manusia yang secara simultan dapat mendatangkan bencana. Laju
kenaikan muka air laut di Indonesia yang mencapai 20-100 cm dalam waktu 100
tahun (WWF dan IPCC, 1999), mengakibatkan semakin rentannya kota-kota besar
di Indonesia terhadap dampak kenaikan muka air laut. Salah satu kota pesisir yang
rentan adalah Kota Ternate Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui
tingkat ancaman dan kerentanan wiayah pesisir Kota Ternate. Dari
hasil analisis di atas maka secara umum indeks ancaman Kenaikan Muka Laut
(KML) wilayah pesisir Kota Ternate masih dapat dikategorikan sedang dengan
prosentase nilai indeks ancaman sebesar 40,5 % dengan jumlah wilayah ancaman
sebesar 2.110 Ha. Dari hasil analisis dapat dikatakan bahwa hasil analisis
kerentanan KML di wilayah pesisir Kota Ternate jika di lihat dari sisi sosial maka
daerah yang paling tinggi prensentase kerentanannya adalah kota Ternate dengan
prensentase adalah 100% dengan jumlah wilayah kerentanannya adalah 16,304.
Hasil analisis kerentanan ekonomi pada table 2.1 , jika terjadi laju tingkat KML di
wilayah pesisir Kota Ternate dengan nilai indeks kerentanan tinggi yakni 50.9 %,
dimana angka jumah penduduk yang bekerja pada wilayah rentan KML lebih besar.
Kata Kunci: Kenaikan Muka Air laut, Kerentanan Wilayah Pesisir
ABSTRAC
Disasters defined as an incident that is out of the ordinary (normal
conditions). Disasters can be divided into physical disaster and non-physical
disaster. Disasters not only caused by natural factors that are beyond the normal
condition can also be caused by human action that can simultaneously be
disastrous. The rate of sea level rise in Indonesia which reaches 20-100 cm in 100
years (WWF and IPCC, 1999), led to an increased vulnerability of major cities in
Indonesia to the impacts of sea level rise. One of the vulnerable coastal town of
108
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Ternate is the purpose of this study was to determine the level of threat and
vulnerability of coastal wiayah Ternate.Dari City on the analysis above, the general
index of the threat of Sea Level Rise (KML) coastal areas of Ternate still be
categorized as being a percentage threat index value amounted to 40.5% of total
area of 2,110 Ha threats. From the analysis it can be said that the results of
vulnerability analysis KML coastal city of Ternate if in view of the social side of the
area's most high-prensentase vulnerability is the city of Ternate prensentase is
100% of total area of vulnerability is 16.304. The results of the analysis of economic
vulnerability in table 2.1, in case the rate of KML levels in coastal areas of Ternate
with high vulnerability index value that is 50.9%, which figures the sheer number
of people who work in vulnerable areas KML larger.
Keywords: Sea Level Rise, Vulnerability of Coastal Zones
PENDAHULUAN
Wilayah pesisir merupakan wilayah sangat rentan terhadap tekanan
lingkungan baik yang berasal dari darat maupun dari laut. Salah satu tekanan yang
akhir-akhir ini mengancam keberlangsungan wilayah pesisir di seluruh belahan
dunia adalah adanya kenaikan muka air laut.
Secara umum, kenaikan muka air laut merupakan dampak dari pemanasan
global (global warming) yang melanda seluruh belahan bumi ini. Berdasarkan
laporan IPCC (International Panel On Climate Change) bahwa rata - rata suhu
permukaan global meningkat 0,3 - 0,6 0C sejak akhir abad 19 dan sampai tahun
2100 suhu bumi diperkirakan akan naik sekitar 1,4 - 5,8 0C (Dahuri, 2002 dan
Bratasida, 2002). Naiknya suhu permukaan global menyebabkan mencairnya es di
kutub utara dan selatan bumi sehingga terjadilah kenaikan muka laut (Sea Level
Rise). Diperkirakan dari tahun 1999-2100 mendatang kenaikan muka air laut sekitar
1,4-5,8 m (Dahuri, 2002). Bencana diartikan sebagai suatu kejadian yang diluar
kebiasaan (kondisi normal). Bencana dapat dibagi dalam bencana fisik dan bencana
non fisik. Bencana selain disebabkan oleh faktor alam yang diluar kondisi normal
dapat juga disebabkan oleh tindakan manusia yang secara simultan dapat
mendatangkan bencana.
Laju kenaikan muka air laut di Indonesia yang mencapai 20-100 cm dalam
waktu 100 tahun (WWF dan IPCC, 1999), mengakibatkan semakin rentannya kota-
kota besar di Indonesia terhadap dampak kenaikan muka air laut. Mitigasi, yang
109
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini direncanakan selama dua bulan, yang meliputi beberapa tahap
yaitu pengumpulan data, survei awal, tahap pengolahan dan analisis awal data citra,
survei lapang akhir, analisis dan pembuatan laporan. Sedangkan yang menjadi
lokasi penelitian adalah sekitar wilayah pesisir Kota Ternate.
Bahan dan alat
Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Piranti Pengolahan Citra dan Analisis Data :
Seperangkat komputer; untuk melakukan analisis sistem informasi geografis
dan penyusunan laporan.
Perangkat lunak pengolah citra dan analisis data yang compatibel .
Pencetak (Printer); peralatan ini dipergunakan untuk melakukan pencetakan
peta–peta tematik hasil analisis dan pencetakan laporan penelitian..
Perangkat Survey lapangan :
Global Positioning System (GPS) untuk menentukan posisi.
110
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
111
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
dilakukan dengan melakukan perkiraan kenaikan muka air laut berdasarkan hasil
pengamatan kenaikan muka air laut. Ha-hal yang perlu diidentifikasi meliputi
kemiringan pantai, tinggi gelombang, kisaran pasut, kenaikan muka air laut
relative, kondisi erosi dan geomorfologi pantai. Secara skematik metode analisis
ancaman bencana kenaikan muka air laut di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
terdapat pada Gambar 1 dibawah ini.
Peta ancaman yang dihasilkan lebih lanjut di klasifikasikan kedalam tiga
kelas yaitu Rendah (R), Sedang (S) dan Tinggi (T) kemudian masing-masing kelas
diberi sekor sebagai mana terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi dan skoring tingkat ancaman bencana di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil
No Kelas Skor
1 Rendah (R) 1
2 Sedang (S) 3
3 Tinggi (T) 5
112
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Laut (SLR)
113
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
114
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
115
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
116
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Ti P.Ternate
Te Te Te P
N ngkat
rnate rnate rnate ulau H
o Kerentan %
Tengah Utara Selatan Ternate a
an Sosial
Re
1 - -
ndah
Se
2 - -
dang - - - -
Ti
3
nggi 157.3 246.9 265.9 294.8 964.9 100
9 1
Jumlah
64.9 00
Sumber: Data diolah, 2015
Pada Tabel 3 di atas, maka dapat dikatakan bahwa hasil analisis kerentanan
KML di wilayah pesisir Kota Ternate jika di lihat dari sisi sosial maka semua
wilayah kecamatan yang ada di Pulau Ternate berada pada kategori rawan dengan
nilai prensentase kerentanan sebesar 100 % yakni, Kecamatan Ternate Tengah,
Kecamatan Ternate Utara, Kecamatan Ternate Selatan, dan Kecamatan Ternate
Pulau dengan luas wilayah kerentanan sebesar 964,9 Ha.
Dari hasil analisis pada tabel di atas dapat dikatakan bahwa, tingginya
tingkat kerentanan sosial wilayah pesisir akibat KML di Kota Ternate diakibatkan
oleh lahan pemukiman yang sangat terbatas (sempit) dimana hasil perhitungan
pemanfaatan lahan untuk pemukiman di kota Ternate yaitu per kilomteter (KM2)
adalah 762 jiwa, dengan angka laju pertumbuhan pendududuk sebesar 1.72
jiwa/Tahun
Pada bagian lain wilayah Kota Ternate merupakan kota terkemuka di
Maluku Utara, sehingga pusat-pusat pengembangan bisnis di Kota Ternate masih
terus dikembangkan karena Kota Ternate merupakan pusat perekonomian dan
perdagangan di wilayah Kota Ternate, hal inilah yang dapat menarik minat para
pencari kerja diberbagai sector suasta maupun pemerintah dari diberbagai wilayah
diluar wilayah Kota Ternate untuk datang ke Kota Ternate. Kondisi ini dapat
memberikan dampak terhadap penggunaan lahan (space) untuk tempat pemukiman
dan lainnya sehingga untuk pemukiman yang layak sangat terbatas dan pada
akhirnya lahan yang berada di wilayah pesisir menjadi target untuk diubah atau di
reklamasi untuk perluasan wilayah kota. Pemanfaatan lahan di wilyah pesisir yang
117
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
118
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
yakni 16.0 %, dengan luas wilayah rentan sebesar 154.6 Ha. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa wilayah kecamatan ternate Tengah, Ternate Utara dan Ternate Selatan telah
tersebar atau dapat menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup bagi penduduknya
dan juga pencari kerja dari wilayah lain yang datang dan bekerja di Kota Ternate.
Ketersediaan lapangan kerja yang cukup bagi para pencari kerja sehingga
kebanyakan penduduknya memilih untuk tidak keluar untuk mencari pekerjaan di
wilayah lain sehingga tidak dapat menimbulkan kerentanan ekonomi di wilayah
Kota Ternate. Namun jika dilihat dari sebaran lapangan pekerjaan yang ada maka
dapat dipastikan bahwa di wilayah kecamatan Ternate Pulau belum tersebar
lapangan pekerjaan yang layak untuk penduduknya, sementara jumlah penduduk
mengalami peningkatan setaiap saat. Kondidisi jika terus berlangsung maka
wilayah kecamatan Ternate Pulau akan sangat rentan terhadah Kenaikan Muka Air
Lut karena hamper sebahgian besar penduduknya hidup dan menempati wilayah
pesisir pantai dan memilih menambang pasir pantai dan batu kerikil untuk dijual
guna memenuhi kehidupan ekonominya.
2.2.3. Kerentanan Fisik
Ketahanan wilayah pesisir dalam menghadapi mengahadapi ancaman KML,
menggambarkan tentang tanggapan eleman masyarakat dan kondisi wilayah, sarana
pendukung lain (fisik) dalam mengahadapai bencana alam khususnya kenaikan
muka air laut, salah satunya adalah pemahaman masyarakat tentang bencana
kenaikan muka air laut (KML) yaitu kemampuan masyarakat untuk siap atau
tidaknya untuk di relokasi, dan juga kemampuan lahan untuk pemukiman baru jika
sewaktu waktu bencana KML di wilayah pesisir mengalami peningkatan KML.
Tingkat ketahanan wilayah pesisir dapat di lihat pada Table dibawah ini.
Tabel 4. Tingkat Kerentanan Fisik
Ti P.Ternate
P
ngkat Te Te Te
B ulau
Kerenta rnate rnate rnate H
No Ternat %
nan Tengah Utara Selatan a
e
Fisik
R
1 - -
endah
Se
2 - - - - - -
dang
119
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
Ti 15 24 26 2 9 1
3
nggi 7.3 6.9 5.9 94.8 64.9 00
9 1
Jumlah
64.9 00
Sumber: Data diolah, 2015
Berdasrkan data analisis ketahanan wilayah pesisir table 5.1 di atas
menggambarkan bahwa tingkatan ketahanan kenaikan muka air laut (KML)
wilayah pesisir di seluruh wilayah kecamatan Kota Ternate, kecuali Kecamatan
Ternate Pulau yanga berada pada tingkat ketahanan tinggi dengan nilai indeks
ketahanan wilayah pesisir sebesar 100 % dengan luas wilayah 294.8 Ha. Sedangkan
di wilayah kecamatan ternate Tengah, Ternate Utara, dan Ternate Selatan secara
fisik siap karena dipengaruhi oleh lingkungan yang jangkauan informasi yang cepat
dan sarana transportasi yang cukup memadai untuk merespon jika terjadi bencana.
Selin itu, pemerintah dan stakeholder serta masyarakat di ada di wilayah Kota
Ternate Tengah, Utara, dan Selatan masih tergolong tinggi dalam merespon
dampak KML. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil Focus discusi group (FDG)
yang di laksananakan di lokasi penelitian dibeberapa wilayah mengggambarkan
bahwa pada umumnya masyarakat sudah memahami dampak dari kenaikan muka
laut serta ancaman bagi kehidupannya di wilayah pesisir.
Kenaikan muka laut yang terjadi di wilayah pesisir Kota ternate tidak
terlepas dari kenaikan muka laut global yang melanda seluruh dunia. Kenaikan
muka laut global sendiri disebabkan oleh meningkatnya suhu global akibat
peningkatan gas-gas rumah kaca dan bahan perusak ozon sehingga suhu yang
semakin panas tersebut mencairkan es di kutub dan menambah volume air laut di
seluruh dunia.
Dewasa ini metode pengukuran yang dipakai untuk mengamati
perkembangan muka laut global adalah dengan menggunakan data altimetri satelit
karena metode ini memiliki keunggulan dalam hal padatnya data yang didapat dan
mampu mengcover seluruh permukaan bumi (Miler, 2005). Satelit
TOPEX/Poseidon dan Jason-1 telah merekam data altimetry sejak tahun 1992 dan
menunjukkan kenaikan muka laut sebesar 2,4 mm/tahun (Miler, 2005). Satelit
Eropa ERS 1 juga telah merekam data altimeter sejak bulan April 1992- Maret
120
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
1995. Dari data tersebut didapatkan nilai kenaikan muka laut global sebesar 2,0
+1,9 mm/tahun, (Anzenhofer dkk., 2005).
SIMPULAN
Dari hasil penelitian di atas maka dapat disimpulkan bahwa.
1. Secara umum indeks ancaman Kenaikan Muka Laut (KML) wilayah pesisir
Kota Ternate dapat dikategorikan sedang yakni Kecamatan Ternate Tengah,
Kecamatan Ternate Utara, dan Kecamatan Ternate Pulaua dengan prosentase
nilai indeks ancaman sebesar 52,7 % dengan jumlah wilayah ancaman sebesar
508.1 Ha. Hanya pada wilayah Kecamatan Ternate Selatan yang telah
mengalami tingkat ancaman KML cukup tinggi dengan nilai indeks ancaman
sebesar 30,7% dengan jumlah luas wilayah ancaman sebesar 100.6 Ha.
2. Dari hasil analisis di atas dapat dikatakan bahwa, tingginya tingkat kerentanan
sosial wilayah pesisir akibat KML di Kota Ternate diakibatkan oleh lahan
pemukiman yang sangat terbatas (sempit) dimana hasil perhitungan pemanfaatan
lahan untuk pemukiman di kota Ternate yaitu per kilomteter (KM2) adalah 762
jiwa, dengan angka laju pertumbuhan pendududuk sebesar 1.72 jiwa/TahunHasil
analisis kerentanan ekonomi pada table 2.1 di atas, jika terjadi laju tingkat KML
di wilayah pesisir Kota ternate dengan nilai indeks kerentanan tinggi yakni 50.9
%, dimana angka jumlah penduduk yang bekerja pada wilayah rentan KML lebih
besar.
DAFTAR PUSTAKA
Bratasida, L., 2002. Tinjauan Dampak Pemanasan Global Dari Aspek Lingkungan
Hidup. Seminar Nasional Pengaruh Global Warming terhadap Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil Ditinjau dari Kenaikan Permukaan Air Laul
dan Banjir. Jakarta.
Dahuri, R. dkk. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu. Pradnya Paramita : Jakarta
Dahuri, R., 2002. Pengaruh Global Warming terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil. Seminar Nasional Pengaruh Global Warming terhadap Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil Ditinjau dari Kenaikan Permukaan Air Laut
dan Banjir. Jakarta.
121
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088
IPCC, 2000. Special Report on Emissions Scenarios, The Press Syndicate of The
University of Cambridge. United Kingdom
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR), 2007. Basis Saintifik:
Analisis dan Proyeksi Kenaikan Muka Air Laut dan Cuaca Ekstrim.
Miller, L., 2005. Satellite Altimetry and the NOAA/NESDIS NOAA/NESDIS, Silver
Spring, Maryland.
Peraturan Pemerintah No 64 Tahun 2010. Pedoman Mitigasi Bencana Alam di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
The World Bank dan Department for International Development. 2007. Working
Paper: Indonesia and Climate Change.
UU No. 27 Thn 2007. Tentang Pengelolaan Wilayah dan Pulau-Pulau Kecil.
122
KETENTUAN PENULISAN
UMUM.
1. Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan memuat hasil-hasil penelitian,
analisis kebijakan dan ulasan ilmiah yang berkaitan dengan bidang
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan
2. Naskah yang dikirm merupakan karya asli dan belum pernah
diterbitkan/dipublikasikan pada jurnal lainnya.
3. Naskah artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan menggunakan jenis
huruf Arial, besar huruf 12, Naskah diketik dalam 1,5 spasi, disetiap
halaman diberi nomor halaman pada bagian bawah (Bottom of page)
sebelah kanan. Naskah diketik diatas kertas dengan menggunakan ukuran
A4.
4. Naskah dikirim melalui alamat : Program Pascasarjana Program Studi Ilmu
Kelautan Gedung Pascasarjana Unkhair Lantai 1. Jalan Raya Kampus II
Unkhair Kel. Gambesi Kec.Ternate Selatan. Telp/Faks. (0921) 3121854 e-
mail : pasca.ik.unkhair@gmail.com
PENULISAN NASKAH.
1. Judul :
Jangan lebih dari 15 kata dan harus mencerminkan isi tulisan, diikuti dengan
nama penulis, jabatan atau instansi serta alamat e-mail.
2. Abstrak.
Dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris, paling banyak 200 kata berisi
tujuan, metode dan hasil penelitian.
3. Kata Kunci :
Dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris, terdiri dari 4 sampai 6 kata tulis
dibawah abstrak.
4. Pendahuluan :
Berisi latar belakang, perumusan masalah, kerangka teoritis dan tujuan
penelitian yang dibuat secara ringkas.
5. Metodologi :
Diuraikan rinci dan jelas mengenai lokasi dan waktu penelitian, bagaimana data
diperoleh dan sumberdaya serta bagimana metode analisis datanya. Jika
metode yang digunakan telah diketahui sebelumnya harus dicantumkan
acuannya.
6. Hasil Pembahasan :
Diuraikan secara jelas serta dibahas suatu topik dan waktu permasalahan yang
terkait dengan judul. Didukung dengan tabel dan gambar yang dibahas secara
komprehensif, dikomplementasikan dengan referensi yang mendukung, update
serta advance
7. Simpulan dan implikasi kebijakan :
Diuraikan secara ringkas dan jelas mengacu pada pokok-pokok bahasan serta
kemampuan mengartikulasi temuan pokok untuk rekomendasi kebijakan.
8. Daftar Pustaka
Dicantumkan dalam naskah bila ada pengutipan dari sumber lain. Proporsi
daftar pustaka yang diacu yaitu 80% merupakan rujukan primer dan 80%
merupakan terbitan 10 tahun terakhir. Disusun berdasarkan abjad dan
penulisan sesuai dengan peraturan yang baku.
Fabanjo, M.A. 2009, Kajian Tingkat Pemanfaatan Ekosistem Mangrove dan
Pengarunya Terhadap Sediaan Cadangan Sumberdaya Daya
Ikan di Perairan Kecamatan Oba Utara. Tesis Pascasarjana
Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Tabel.
Ditulis dalam bahasa Indonesia , diberikan judul singkat, jelas dan diberi nomor
urut, diketik menggunakan program MS-Word dan tidak dalam bentuk JPEG.
Gambar dan Grafik
Diberikan judul dan nomor urut dengan angka arab. Judul dan keterangan
gambar ditulis dalam bahasa Indionesia dan diletakkan dibawah gambar. Grafik
disertai dengan data digital menggunakan program MS-Excel.