Anda di halaman 1dari 129

VOL.2,No.

1,Sept
ember,2016

2 1 1-
108 Sept
ember2016
JURNAL SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Volume 2 Nomor 1 September 2016

PenanggungJawab :
Dr. Kusdi Hi Iksan, SP, MSi
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Program Pascasarjana Unkhair

Pimpinan Redaksi :
Dr Ir Martini Djamhur, M.Si

Dewan Ahli:
Dr Kusdi Hi Iksan, SP, MSi (Manajemen Sumberdaya Perairan)
Dr Irham, SPi, MSi (Manajemen Sumberdaya Perikanan)
Dr Yuliana, SPi, MSi (Manajemen Sumberdaya Perairan)
Dr A. Baksir, SPi, MSi (Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan)

Mitra Bestari :
Prof Dr Ir Dietrie ch G Bengen, DEA (Pengelolaan Sumberdaya PLP2K)
Prof Dr Ir Muhajir K Marsaoli, MSi (Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan)
Prof Dr Ir Mulyono Baskoro, MSc (Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan)

Redaksi Pelaksana :
M Abjan Fabanjo
Suriyati A Sabu

AlamatRedaksi :
Program Pascasarjana Program StudiIlmu Kelautan
Gedung Pascasarjana Unkhair Lantai 1
Jalan Raya Kampus II UnkhairKel. Gambesi Kec.Ternate Selatan
Telp/Faks. (0921) 3121854/081356559009
e-mail : pasca.ik.unkhair@gmail.com
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa Karena
berkat Rahmat_Nya, Jurnal Sumberdaya Kelauatan dan Perikanan yang
merupakan edisi kedua dengan tampilan dan letak yang sederhana dapat
diterbitkan.
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan diterbitkan mulai tahun 2015
dengan frekuensi 2 kali setahun oleh Program Pascasarjana Program Studi Ilmu
Kelautan Unkhair, berisi hasil penelitian dan ulasan ilmiah dalam bidang
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.
Guna peningkatan mutu penulisan, maka pengelola jurnal senantiasa
memperhatikan arahan dan petunjuk Tim Akreditsi Junal Pusat Dekomentasi
Ilmia Indonesia-Lembaga Ilmi Pengehuan Indonesia (PDII LIPI).
Pada edisi September Vol 2, Nomor 1 tahun 2016 menampilkan enam tulisan
yang meliputi : i). Pengelolaan Perikanan Cakalang Berkelanjutan di Provinsi
Maluku Utara, ii). Kapasitas Adaptif Ekosistem Mangrove di Pulau-Pulau Kecil
(Studi di Gugus Pulau Guraici) Kabupaten Halmahera Selatan Propinsi Maluku
Utara, iii). Analisis Pemanfaatan Hutan Mangrove Untuk Pengembangan
Ekowisata Mangrove di Desa Guraping Kecamatan Oba Utara Kota Tidore
Kepulauan, iv). Analisis Kandungan Bahan Organik dan Bakteri Patogen (e. Coli)
Di Pelabuhan Bastiong Dan Pantai Kayu Merah Kota Ternate, v). Pengaruh
Ekstrak Bioaktif Fenolik Kulit Buah Mahkota Dewa (phaleria macrocarpa boerl)
sebagai Immunostimulan Terhadap Jaringan Insang Ikan Mas (cyprinus carpio l)
yang diinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila, vi). Studi Komunitas Ikan Pada
Ekosistem Padang Lamun di Perairan Loleo Kecamatan Weda Selatan
Kabupaen Halmahera Tengah vii). Pengaruh Perbedaan Metode Budidaya
Rumput Laut Kappapycus Alvarezii Terhadap Laju Pertumbuhan di Perairan Obi
Utara Halmahera Selatan, analisis tingkat ancaman dan kerentanan bencana
wilayah pesisir kota ternate dan viii.
Dengan diterbitkannya jurnal ini, diharapkan dapat memberikan informasi hasil
penelitian dibidang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan kepada
para pengguna dan atau pelaku pengelola sumberdaya serta dapat menambah
wawasan ilmu pengetahuan bagi kaum akademisi dan peneliti. Saran dan
masukkan dari pembaca sangat diharapkan guna kesempurnaan penerbitan
jurnal di masa mendatang.

Redaksi

ii
JURNAL SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Volume 2 Nomor 1 September 2016

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
PENGELOLAAN PERIKANAN CAKALANG BERKELANJUTAN 1 – 14
DI PROVINSI MALUKU UTARA
AMIRUL KARMAN, ASMAR HI. DAUD
KAPASITAS ADAPTIF EKOSISTEM MANGROVE DI PULAU- 15 – 31
PULAU KECIL (STUDI DI GUGUS PULAU GURAICI)
KABUPATEN HALMAHERA SELATAN PROPINSI MALUKU
UTARA
RIYADI SUBUR
ANALISIS PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE UNTUK 32 – 49
PENGEMBANGAN EKOWISATA MANGROVE DI DESA
GURAPING KECAMATAN OBA UTARA KOTA TIDORE
KEPULAUAN
IDA BT HANAFI, M. IRFAN, RIYADI SUBUR
ANALISIS KANDUNGAN BAHAN ORGANIK DAN BAKTERI 50 – 59
Patogen (E. coli) DI PELABUHAN BASTIONG DAN PANTAI
KAYU MERAH KOTA TERNATE
INAYAH
PENGARUH EKSTRAK BIOAKTIF FENOLIK KULIT BUAH 60 – 71
MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa Boerl) SEBAGAI
IMMUNOSTIMULAN TERHADAP JARINGAN INSANG IKAN
MAS (Cyprinus carpio L) YANG DIINFEKSI BAKTERI Aeromonas
hydrophila
SUDIRTO MALAN
STUDI KOMUNITAS IKAN PADA EKOSISTEM PADANG 72 – 90
LAMUNDI PERAIRAN LOLEOKECAMATAN WEDA SELATAN
KABUPAEN HALMAHERA TENGAH
SUNARTI, FARJAN KAELI, RINA
PENGARUH PERBEDAAN METODE BUDIDAYA RUMPUT 91 – 107
LAUT KAPPAPYCUS ALVAREZII TERHADAP LAJU
PERTUMBUHAN DI PERAIRAN OBI UTARA HALMAHERA
SELATAN
MUH. ARIS, SURYANI, RUSMAWATI LABENUA
ANALISIS TINGKAT ANCAMAN DAN KERENTANAN BENCANA 108-122
WILAYAH PESISIR KOTA TERNATE
SAHLAN NORAU

iii
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

PENGELOLAAN PERIKANAN CAKALANG BERKELANJUTAN


DI PROVINSI MALUKU UTARA
Sustainable Fisheries of Management Skipjack in
the Province of North Maluku

Amirul Karman1), Asmar Hi Daud1)


1)
Pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Khairun Ternate
Email : karmanamirul@yahoo.co.id

ABSTRAK
Perikanan pole and line di Provinsi Maluku Utara, dikhususkan untuk menangkap
ikan cakalang. Kegiatan penangkapan ikan cakalang dilakukan dengan intensif dan
hingga saat ini belum ada upaya pengelolaan. Penelitian bertujuan merumuskan
konsep pengelolaan perikanan cakalang berkelanjutan di wilayah perairan barat dan
selatan Provinsi Maluku Utara. Perumusan konsep pengelolaan tersebut dilakukan
melalui pendekatan metode deskriptif berdasarkan kondisi umum perikanan
cakalang dan biologi perikanan cakalang. Hasil penelitian menunjukan trend
produksi hasil tangkapan dan trend produktivitas trip penangkapan (ton/trip/tahun)
selama 10 tahun (2003-2012) di perairan barat meningkat. Perairan selatan trend
produktivitas trip penangkapan cenderung mengalami penurunan, hasil tangkapan
pole and linedi dua daerah penangkapan ikan di dominasi ikan cakalang yang belum
layak tangkap, berdasarkan panjang pertama kali matang gonad (Lm= 43 cm).
Perikanan pole and line harus menerapkan pancing yang selektif terhadap cakalang
layak tangkap, pembatasan operasi penangkapan cakalang pada bulan Januari
ketika cakalang di dominasi oleh individu yang belum layak tangkap, dan
pelarangan operasi penangkapan cakalang pada bulan Maret di perairan barat dan
bulan Juli di perairan selatan untuk memberikan kesempatan cakalang memijah.
Kata Kunci: Pengelolaan perikanan, cakalang,berkelanjutan, Maluku Utara

ABSTRACT
Pole and line fisheries in North Maluku province is specialized for catching
skipjacks. Skipjack fishing activities have been carried out intensively for years
with no management effortsfor their sustainability. The research objective is to
formulate the concept of sustainable management of skipjack fisheries in the
western and southern waters of North Maluku Province. The formulation of the
management concept is done through descriptive method approach which is based
on general conditionsof skipjack fishing efforts and fishery biology.The research
results show that there is rising trend of annual fishing trip productivity
(ton/trip/year) for 10 years period (2003-2012) in the western waters and decreasing
trend in southern waters. Fish catched with pole and line in those two fishing areas
is dominated by undersized skipjack population based on their gonads length at first
maturity time (Lm = 43 cm). It is recommended that pole and line fishery should
implement size selective for skipjack fishing and limitate skipjack fishing activities

1
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

on January when skipjack populations in those two waters are dominated by


undersize fish. It is also recommended that there should be strict fishing closing
season during skipjack spawning months which is on March in western waters and
on July in southern waters.
Keywords: Management of fishery, skipjack, sustainable, North Maluku

PENDAHULUAN
Pengembangan usaha perikanan cakalang di Maluku Utara, merupakan
salah satu kegiatan ekonomi yang sangat strategis setelah diberlakukan UU
Kelautan No.32/2014, dimana Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya melakukan pengelolaan kelautan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat melalui pemanfaatan dan pengusahaan sumberdaya kelautan
dengan menggunakan prinsip ekonomi biru. Selanjutnya UU Pemeritah Daerah No.
23/2014 mengamanatkan bahwa semua kewenangan termasuk perizinan di wilayah
12 mil dari pesisir menjadi wewenang Provinsi. Pembangunan perikanan pada
hakekatny aterarah pada pemanfaatan sumberdaya secara optimal dan rasional bagi
kesejahteraan masyarakat, tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya ikan itu
sendiri maupun lingkungannya (Wiryawan, et al., 2008).
Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya milik bersama (common
property) yang bersifat open access, artinya setiap orang berhak menangkap ikan
dan mengeksploitasi sumberdaya hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapapun
jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Secara empiris, keadaan ini menimbulkan
dampak negatif, antara lain apa yang dikenal dengan tragedy of common baik
berupa kerusakan sumberdaya kelautan dan perikanan maupun konflik antar orang
yang memanfaatkannya. Oleh karena itu, perlu diatur regulasi dalam pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Sumberdaya perikanan yang bersifat
diperbaharui (renewable) ini menuntut adanya pengelolaan dengan pendekatan
yang bersifat menyeluruh dan hati-hati (Fauzi, 2006).
Pengelolaan perikanan bertujuan untuk menjamin kelestarian sumberdaya
ikan sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat berlanjut dalam jangka
panjang. Selanjutnya UU Perikanan No. 31/2004 mengamanatkan bahwa
pengelolaan perikanan harus dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan,

2
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Menurut Mallawa (2006), pengertian


pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan adalah pengelolaan yang mengarah
pada bagaimana sumberdaya ikan yang ada saat ini mampu memenuhi kebutuhan
sekarang dan kebutuhan generasi yang akan datang, dimana aspek berkelanjutan
harus meliputi aspek ekologi, sosial-ekonomi, masyarakat dan institusi.
Pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan tidak melarang aktivitas penangkapan
yang bersifat ekonomis/komersil tetapi menganjurkan dengan persyaratan bahwa
tingkat pemanfaatan tidak melampaui daya dukung (carrying capacity) lingkungan
perairan atau kemampuan pulih sumberdaya ikan, sehingga generasi mendatang
tetap memiliki aset sumberdaya ikan yang sama atau lebih banyak dari generasi saat
ini (Mallawa, 2006).
Ada dua lokasi penangkapan ikan cakalang di Provinsi Maluku Utara yaitu
di perairan barat dan perairan selatan, ada dua basis armada penangkapan ikan, dan
ada dua wilayah administrasi yang bertanggungjawab mengelola perikanan
cakalang. Kedua lokasi penangkapan ikan cakalang ini masing-masing
dimanfaatkan oleh armada pole and line yang berbasis di PPI Dufa-Dufa Kota
Ternate dan PPP Panamboang Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku
Utara.Nelayapole and line dari kedua lakosi tersebut berkompetisi dalam
melakukan kegiatan penangkapan ikan cakalang. Persaingan dalam memanfaatkan
sumberdaya milikbersama (common property) dan bersifat terbuka untuk
dimanfaatkan oleh siapa saja (open access) akan menyebabkan kerugian yang harus
dipikul bersama, seperti terancamnya kelestarian sumberdaya ikan, kerugian
ekonomi karena kelebihan kapasitas penangkapan ikan (fishing capacity), dan
ketidak-harmonisanhubungan di antaraparapelaku penangkapan ikan.Terkait
dengan masalah di atas, diperlukan penelitian untuk merumuskan konsep
pengelolaan perikanan yang tepat untuk diterapkan di lokasi penelitian. Konsep
pengelolaan tersebut mencakup pengendalian faktor input dan output pengelolaan
perikanan. Faktor input yang dimaksud di antaranya adalah spesifikasi alat
penangkapan ikan (ukuran mata pancing), alokasi tempat dan waktu penangkapan
ikan. Faktor output yang dimaksud di antaranya adalah kualitas hasil tangkapan
(ukuran minimum ikan cakalang yang boleh ditangkap) dan larangan pendaratan

3
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

ikan dan perdagangan ikan cakalang yang tidak layak tangkap. Tujuan penelitian
adalah merumuskan konsep pengelolaan perikanan cakalang berkelanjutan di
wilayah perairan barat dan selatan Provinsi Maluku Utara. Perumusan konsep
pengelolaan tersebut dilakukan melalui pendekatan metode deskriptif berdasarkan
kondisi umum perikanan cakalang dan biologi perikanan cakalang di kedua lokasi
tersebut.
KONDISI UMUM PERIKANAN CAKALANG
Kegiatan penangkapan cakalang di perairan barat dan selatan Provinsi
Maluku Utara menggunakan alat tangkap pole and line. Nilai produksi cakalang
yang tertangkap di perairan barat maupun perairan selatan Provinsi Maluku Utara
dalam kurun waktu 10 tahun (2003-2012) meningkat (Gambar 1), sedangakan trend
produktivitas trip penangkapan pole and line di perairan selatan menunjukkan trend
yang cenderung menurun pada tahun 2011 dan 2012 (Gambar 2).
1400
Hasil Tangkapan/catch (ton)

1200
1000
800
600
400
200
0
2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
Tahun (Year)

Perairan barat Perairan selatan

Gambar 1. Fluktuasi hasil tangkapan cakalang yang tertangkap di perairan


barat dan selatan Provinsi Maluku Utara, 2003-2012.

1.20
Produktivitas/productivity

1.00
(ton/trip/thn)

0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
Tahun (Year)

PPI Dufa-Dufa Kota Ternate PPP Panamboang Kab. Halsel

4
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Gambar 2. Fluktuasi lajutangkap pole and lineyang beroperasi di perairan


barat dan selatan Provinsi Maluku Utara, 2003-2012.

Teknologi penangkapan ikan yang digunakan untuk memanfaatkan


sumberdaya perikanan cakalang adalah alat tangkap yang sudah tersedia dan
dimanfaatkan oleh nelayan setempat yaitu pole and line. Pole and line merupakan
alat tangkap ikan cakalang yang ramah lingkungan dan memiliki selektivitas yang
tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Syamsuddin (2008) yang mengkaji tentang alat
tangkap ikan cakalang yang ramah lingkungan di perairan Kabupaten/Kota Kupang
menemukan bahwa alat tangkap pole and line adalah alat tangkap yang paling
ramah lingkungan dari alat tangkap lainnya seperti pancing ulur, rawai dasar, dan
mini purse seine. Dianggap ramah lingkungan karenapole and line hanya
menangkap ikan cakalang yang merupakan ikan target tangkap. Selanjutnya
menurut Baskoro (1987) dalam Syamsuddin (2008) bahwa unit penangkapan
pancing memiliki nilai aspek biologi yang tinggi, hal ini dikarenakan unit
penangkapan pancing memiliki selektivitas yang tinggi dan pengaruh
eksploitasinya terhadap kelestarian sumberdaya tidak membahayakan (tidak
mengancam kelestarian sumberdaya ikan).
Alat tangkap pole and line merupakan alat tangkap ikan cakalang yang ramah
lingkungan dan memiliki selektivitas yang tinggi namun alat tersebut masih
menangkap ikan cakalang dengan ukuran yang belum layak tangkap di perairan
barat dan selatan Provinsi Maluku Utara. Berdasarkan hasil pengukuran panjang
cagak cakalang yang tertangkap pole and line dengan nomor mata pancing yang
digunakan adalah 2,50-3,00 memiliki ukuran terkecil di wilayah perairan barat dan
selatan Provinsi Maluku Utarasekitar 26 cm dimana pada ukuran tersebut masih
dikategorikan sebagai juvenil dari cakalang. Selanjutanyahasil penelitian dari Jamal
(2011) di perairan Teluk Bone menunjukkan bahwa rata-rata ukuran panjang cagak
cakalang yang tertangkap pole and line dengan nomor mata pancing 2,8 memiliki
ukuran terkecilsekitar 31,5 cm. Menurut Matsumoto et al. (1984), bahwa ukuran
juvenile cakalang berkisar antara 1,4-30 cm. Ikan layak tangkap didefenisikan
sebagai ikan yang memiliki panjang yang lebih besar dari panjang pertama kali
matang gonad (length at first maturity, Lm). Nilai Lm cakalang di perairan barat dan

5
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

selatan Provinsi Maluku Utara diperoleh sebesar 43cm. Nilai Lm cakalang berbeda
pada setiap tempat, namun umumnya lebih besar dari 40cm (Tabel 1). Oleh karena
itu teknologi penangkapan cakalang yang dilakukan oleh armada pole and line di
perairan barat dan selatan Provinsi Maluku Utara harus dapat menyeleksi ikan
cakalang dengan ukuran yang belum layak tangkap. Hal ini dapat dilakukan dengan
memperbesar mata pancing dari ukuran mata pancing yang sekarang digunakan.
Tabel 1. Beberapa nilai Lm cakalang pada lokasi lain
Nilai Lm (cm) Jenis
Negara Lokasi
FL Kelamin Ikan
43,5 – 45,4*) - USA Nort Carolina
40,0 – 45,0*) Betina USA Hawai
40,0*) Betina Cuba Northeast region
43,0*) - Polinesia Marquesas and Tuamotu
Islands
43,0*) - Filipina Bohol Sea
45,0*) - Papua New Papua New Guinea
Guinea
41,0 – 43,0**) - Madagaskar Barat Daya Madagaskar
*
) Collette B.B and C. E. Naeun (1983) diacu dalam Froose and Pauly 2011)
**
) Stequert (1976) diacu dalam Matsumoto (1984)

BIOLOGI PERIKANAN CAKALANG


Keberlanjutan perikanan tangkap sebaiknya didukung oleh peraturan yang
menetapkan ukuran ikan yang layak tangkap. Salah satu kriteria ikan layak tangkap
adalah jika memiliki panjang yang lebih besar dari panjang pertama kali ikan
matang gonad (length at first maturity, Lm). Nilai Lm cakalang di perairan barat dan
selatan Provinsi Maluku Utara adalah 43 cm. Bulan penangkapan cakalang yang
layak tangkap di kedua lokasi tersebut relatif sama yaitu dijumpai pada Februari
sampai Desember. Adapun musim puncak cakalang layak tangkap di perairan barat
pada bulan Maret, sedangkan di perairan selatan pada bulan Juli (Gambar 3 dan 4).

6
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

20

Frekuensi/Frequency (%)
15

10

5
3
0

Bulan (Month)

Layak tangkap Tidak layak tangkap

Gambar 3.Ukuran cakalang layak tangkap di perairan barat


Provinsi Maluku Utara.

20
Fekuensi/Frequency (%)

15

10

Bulan (Month)

Layak tangkap Tidak layak tangkap

Gambar 4. Ukuran cakalang layak tangkap di perairan selatan


Provinsi Maluku Utara.
Cakalang yang tertangkap diperairan barat dan selatan Provinsi Maluku
Utara yang sudah matang gonad (TKG I dan TKG II), ditemukan pada bulan Januari
sampai pada bulan September, sedangkan cakalang yang sudah TKG I ditemukan
sepanjang periode bulan penelitian yaitu dari bulan Januari sampai Desember.
Selanjutnya TKG V dari cakalang yang tertangkap di perairan barat ditemukan pada
bulan Maret dan di perairan selatan pada bulan Juli, sehingga dapat diduga cakalang
di perairan barat dan perairan selatan memijah sepanjang tahun dengan puncak
terjadi pada bulan Maret di perairan barat dan bulan Juli di perairan selatan Provinsi
Maluku Utara (Gambar 5 dan 6).
Berdasarkan hasil penelitian Manik (2007) tentang pemijahan cakalang di
Sekitar pulau Seram Selatan dan pulau Nusa Laut diperoleh bahwa cakalang yang
tertangkap pada bulan September terdiri dari 40 % TKG II, 54 % TKG III, dan 6 %

7
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

TKG V; pada bulan Oktober terdiri dari 8 % TKG I, 28 % TKG II, 60 % TKG III,
dan 4 % TKG V. Sedangkan pada bulan Desember teridiri dari 39 % TKG II, 50 %
TKG III, dan 11 % TKG V. Selanjutanya menurut Wouthuyzen et al (1990), puncak
pemijahan cakalang di laut Banda dan sekitarnya terjadi pada bulan Juni dan
Desember dengan karakteristik sebagai ikan pemijah majemuk (multi spawner).
Operasi penangkapan ikan cakalang ditutup secara serentak pada waktu
(bulan) musim puncak pemijahan yaitu di perairan barat Provinsi Maluku Utara
pada bulan Maret, dimana pada bulan tersebut merupakan puncak musim pemijahan
di perairan barat. Sedangkan di perairan selatan Provinsi Maluku Utaradilakukan
penutupan operasi penangkapan pada bulan Juli, dimana pada bulan tersebut
merupakan puncak musim pemijahan di perairan selatan. Saat penutupan operasi
penangkapan cakalang yang berkaitan dengan musim puncak pemijahan di perairan
barat pada bulan Maret maka armada pole and line yang beroperasi di perairan barat
diarahkan untuk melakukan penangkapan di perairan selatan, begitupun sebaliknya
sehingga armda pole and line tetap beroperasi walapun salah satu zona ditutup
Persentase/Percentage (% )

100
80
60
40
20
0

Bulan (Month)

TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG V

Gambar 5. Fluktuasi tingkat kematangan gonad cakalang yang tertangkap


di perairan barat Provinsi Maluku Utara.
Persentase /Percentage (%)

100
80
60
40
20
0

Bulan (Month)

TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG V

8
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Gambar 6. Fluktuasi tingkat kematangan gonad cakalang yang tertangkap


di perairan selatan Provinsi Maluku Utara.

Kemudian berdasarkan ukuran ikan belum layak tangkap maka kedua zona
dilakukan penutupan operasi penangkapan pada bulan Januari. Hal ini dapat di
laksanakan dengan jalan dikeluarkan PERDA oleh Pemerintah Provinsi Maluku
Utara yang berkaitan dengan penutupan musim penangkapan cakalang, karena
sesuai dengan UU Pemeritah Daerah No. 23/2014 yang mengamanatkan bahwa
semua kewenangan termasuk perizinan di wilayah 12 mil dari pesisir menjadi
wewenang Provinsi.Daerah penangkapan cakalang di perairan barat dan selatan
Provinsi Maluku Utara disajikan dalam Gambar 7.
Penutupan musim penangkapan ikan merupakan pendekatan pengelolaan
sumberdaya ikan (manajemen) yang umumnya dilakukan di Negara yang sistem
penegakan hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini berdasarkan sifat
sumberdaya ikan yang sangat tergantung pada musim. Pada bulan-bulan tertentu,
ikan mungkin saja melimpah di suatu perairan dan sebaliknya tidak ditemukan sama
sekali di tempat yang sama pada bulan yang lain. Musim ikan juga bergantung pada
siklus hidup ikan yang lahir, besar, dan mati pada waktu tertentu. Dengan
mempertimbangkan musim ikan ini, pengelolaan sumberdaya ikan dengan cara
penutupan musim penangkapan dapat dilakukan. Menurut Beddington & Retting
(1983), bahwa paling tidak ada dua bentuk penutupan musim penangkapan ikan.
Pertama, menutup musim penangkapan ikan pada waktu tertentu untuk
memungkinkan ikan dapat memijah dan berekembang. Kedua penutupan kegiatan
penangkapan ikan karena sumberdaya ikan telah mengalami degradasi dan ikan
yang ditangkap semakin sedikit. Oleh karena itu kebijakan penutupan musim harus
dilakukan untuk membuka peluang pada sumberdaya ikan yang masih tersisa
memperbaiki populasinya.
Menurut Nikijuluw (2002), bahwa penutupan musim penangkapan ikan akan
efektif jika dapat dibedakan dengan jelas antara musim dan bukan musim ikan.
Salah satu indikator yang dapat dipakai untuk menunjukkan waktu penutupan atau

9
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

pembukaan kegiatan penangkapan ikan adalah status siklus hidup dari sumberdaya
ikan itu sendiri.

Gambar 7. Daerah penangkapan cakalang diperairan barat (zona A)


dan selatan (zona B) Provinsi Maluku Utara
Berdasarkan hasil penelitian Wouthuyyzen et al(1990) puncak pemijahan
cakalang di Laut Banda dan sekitarnya, terjadi pada bulan Juni dan Desember
dengan karakteristik sebagai ikan pemijah majemuk (multi spawner). Dalam
penelitian ini ditemukan cakalang terkecil yang sudah matang gonad berukuran
43,6 cm FL jantan dan 42,8 cm FL . Di perairan sebelah Selatan Bali dan sebelah
Barat Sumatera adalah cakalang jantan dan betina terkecil yang sudah matang
gonad berukuran 41,7 cm FL dan 42,8 cm FL (Merta, 1982). Sedangkan yang
ditemukan di perairan Sorong berukuran 49 cm FL jantan dan 47 cm FL betina
(Suhendra dan Merta, 1986). Di perairan Philipina, cakalang betina yang pertama
kali matang gonad hanya berukuran 34 cm FL, tetapi kebanyakan di atas 40 cm FL.
Adanya diferensiasi panjang cakalang pertama kali matang gonad diduga karena
adanya perbedaan kecepatan tumbuh sehingga ikan-ikan yang di tetaskan pada
waktu yang sama akan mencapai tingkat kematangan gonad pada umur yang
berbeda.Jika berdasarkan bukti-bukti ilmiah diketahui waktu ikan kawin, memijah,
atau mengasuh anaknya, waktu itu harus dipertimbangkan sebagai musim
penangkapan ikan ditutup.
Kebijakan penutupan musim penangkapan ikan cakalang dapat
diimplementasikan secara baik dengan cara pengendalian dan pengawasan di basis-

10
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

basis pemukiman nelayan atau di pelabuhan perikanan untuk mencegah mereka


melakukan kegiatan penangkapan ikan pada saat penutupan musim penangkapan
ikan cakalang. Meski demikian, pengawasan dan patroli langsung di lapangan atau
di daerah penangkapan ikan masih perlu dilakukan untuk menjamin bahwa
penutupan musim ini berlangsung secara efektif. Selain itu, perlu juga dilakukan
pengawasan di pasar karena seringkali adanya permintaan konsumen menjadi
pendorong bagi nelayan untuk melanggar peraturan.
KONSEP PENGELOLAAN PERIKANAN CAKALANG
Konsep pengelolaan perikanan cakalang berkelanjutan di wilayah perairan
barat dan selatan Provinsi Maluku Utara digambarkan dalam bentuk atau pola
pemanfaatan terhadap sumberdaya cakalang, bukan merupakan pemodelan atau
model matematik. Secara umum pengelolaan perikanan cakalang berkelanjutan di
perairan barat dan selatan Provinsi Maluku Utara adalah pengendalian ukuran
cakalang yang tertangkap dan pengendalian musim penangkapan yang berkaitan
dengan tingkat kematangan gonad sebagai respon terhadap keberlanjutan
sumberdaya perikanan cakalang. Pengendalian tersebut dilakukan dalam dua cara,
yaitu; (1) pengaturan ukuran mata pancing yang digunakan yang berkaitan dengan
ukuran ikan layak tangkap; dan (2) menentukan bulan penangkapan berdasarkan
tingkat kematangan gonad (TKG).
Beberapa Konsep pengelolaan perikanan cakalang berkelanjutan yang
dihasilkan dari pola pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di wilayah
perairan barat dan selatan Provinsi Maluku Utara adalah sebagai berikut:
1) Teknologi penangkapan cakalang yang dilakukan oleh armada pole and line
harus dapat menyeleksi ikan cakalang dengan ukuran yang belum layak
tangkap. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbesar mata pancing dari
ukuran mata pancing yang sekarang digunakan.
2) Operasi penangkapan ditutup secara serentak pada waktu (bulan) musim
puncak pemijahan yaitu di perairan barat Provinsi Maluku Utara pada bulan
Maret, dimana pada bulan tersebut merupakan puncak musim pemijahan di
perairan barat. Sedangkan di perairan selatan Provinsi Maluku Utara
dilakukan penutupan operasi penangkapan pada bulan Juli, dimana pada

11
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

bulan tersebut merupakan puncak musim pemijahan di perairan selatan. Saat


penutupan operasi penangkapan cakalang yang berkaitan dengan musim
puncakpemijahan di perairan barat pada bulan Maret maka armada pole and
line yang beroperasi di perairan barat diarahkan untuk melakukan
penangkapan di perairan selatan, begitupun sebaliknya sehingga armda pole
and line tetap beroperasi walapun salah satu lokasi ditutup. Kemudian
berdasarkan ukuran cakalang belum layak tangkap maka kedua lokasi
(perairan barat dan selatan) dilakukan penutupan operasi penangkapan pada
bulan Januari (satu bulan).
3) Pelarangan terhadap pendaratan dan jualbeli ikan cakalang yang masih
berukuran kecil dan belum layak tangkap (ukuran FL ≤ 43 cm).

SIMPULAN
Hasil tangkapan pole and line dari dua daerah penangkapan ikan yang
ditelitih di dominasi oleh ikan cakalang yang belum layak tangkap, berdasarkan
panjang pertama kali matang gonad (Lm= 43 cm).Perikananpole and line harus
menerapkan pancing yang selektif terhadap cakalang layak tangkap, pembatasan
operasi penangkapan cakalang pada bulan Januari ketika cakalang di dominasi oleh
individu yang belum layak tangkap, dan pelarangan operasi penangkapan cakalang
pada bulan Maret di perairan barat dan bulan Juli di perairan selatan untuk
memberikan kesempatan cakalang memijah.

12
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

DAFTAR PUSTAKA

Beddington J.R &Retting. 1993. Approaches to the Regulation of Fishing Effort.


FAO Fisheries Technical Paper. 243: 39.
Fauzi. A. (2006). Turning the Tide “Kebijakan Ekonomi Perikanan.
http://www.duniaesai.com/index.php/direktori / esai / 42 - lingkungan/
220-qturning-the-tideq-kebijakan-ekonomi-perikanan.html. Diunduh
pada tgl 25 Maret 2014. Jam 11.30.
Froose R and Pauly D. 2011. Sustainable Exploitation of Small Pelagic Fish Stocks
Challenged by Environmental and Ecosystem Changes: A Review.
Bulletin of Marine Science, 76(2): 385-462.
Jamal.M., M.F.A. Sondita., J. Haluan& B. Wiryawan. 2011. Pemanfaatan data
biologi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dalam rangkapengelolaan
perikanan bertanggungjawab di perairan Teluk Bone. Jurnal Natur
Indonesia.14 (1): 107-113.
Mallawa. A. 2006. Pengelolaan Sumberdaya ikan berkelanjutan dan
berbasismasyarakat. Disajikan pada lokakarya agenda penelitian
program COREMAP II Kabupaten Selayar. 31 p.
Manik. N. 2007. Beberapa aspek biologi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di
perairan sekitar Pulau Seram dan Pulau Nusa Laut. Osenologi dan
Limnologi Indonesia. 33: 17-25.
Matsumoto. M.W., R.A. Skillman & A.E. Dizon. 1984. Synopsis of biological data
on skipjack tuna, Katsuwonus pelamis. NOAA Technical Report NMFS
Circular 451. FAO Fisheries Synopsis, No. 136. Honolulu. 92 p.
Merta. S.G.I. 1982. Studi pendahuluan makanan tingkat kematangan gonad ikan
cakalang, Katsuwonus pelamis (LINN.1758), dari perairan sebelah
Selatan Bali dan sebelah Barat Sumatera. Jurnal Penelitian Perikanan
Laut. 26: 69-74.
Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. PT. Pustaka
Cidesindo. Jakarta Selatan. 254 hal
Syamsuddin. 2008. Analisis pembengan sumberdaya ikan cakalang (Katsuwonus
Pelamis) ramah lingkungan dan berkelanjutan. Jurnal. Sains &
Teknologi, April Vol 8. No. 1:38-49
Suhendrata. T&S.G.I. Merta. 1986. Hubungan Panjang-Berat, Tingkat Kematangan
Gonad, dan Fekunditas Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di
Perairan Sorong. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 34: 11-19.
Undang-Undang RI No. 31/2004 tentang Perikanan. Jakarta. 60p
Undang-Undang RI No. 23/2014 tentangPemerintah Daerah. Jakarta. 60p.
Undang-Undang RI No. 32/2014 tentangKelautan. Jakarta. 60p.

13
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Wisudo& M.S. Baskoro. 2008. Permasalahan dalam implementasi Konsep


Pengembangan perikanan terpadu. Buletin PSP. 17 (2): 231-240.
Woutthuyzen. S., P. Teguh., N. Manik., D.E. Djoko. S.,& F.D. Hukom. 1990.
Makanan dan aspek reproduksi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis )
di Laut Banda, suatu studi perbandingan. Dalam : Soepanaat I,
Ruyitno, dan Soedibjo B S. (eds.) Perairan Maluku dan Sekitarnya.
Balitbang SDL, P3O – LIPI : 1-16.

14
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

KAPASITAS ADAPTIF EKOSISTEM MANGROVE


DI PULAU-PULAU KECIL (STUDI DI GUGUS PULAU GURAICI)
KABUPATEN HALMAHERA SELATAN
PROPINSI MALUKU UTARA

Adaptive Capacity of Mangrove ecosystem in the Small Islands


(Study in Group Of Guraici) Regency of South Halmahera
North Moluccas Province

Riyadi Subur
Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Khairun
Email : riyadisubur58@gmail.com

ABSTRACT
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang mampu tumbuh
dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Sebagai salah satu
ekosistem khas diwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, mengrove memiliki
berbagai fungsi diantaranya sebagai pelindung garis pantai dengan mereduksi
kecepatan gelombang dan badai, pelindung pantai dari aberasi, pencegah intrusi air
laut, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air
permukaan. Keberadaan ekosistem tersebut pada suatu suatu wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil berperan penting dalam meningkatkan kapasitas adaptif suatu
pulau terhadap bencana alam karena berperan sebagai pelindung alami. Tujuan
penelitian adalah menghitung dan menilai kapasitas adaptif ekosistem mangrove
yang ditemukan tumbuh pada perairan sekitar pulau-pulau kecil dalam gugus
Guraici. Penelitian ini dilakukan pada 17 pulau yang terdapat dalam gugus pulau
Guraici. Pengukuran kapasitas adaptif ekosistem mangrove dilakukan dengan
menganalisis enam parameter yaitu Indeks Dimensi mangrove (IDMg), Spesies
Mangrove Dominan, Kerapatan pohon per hektar (pohon/ha), Jumlah Genera, Tipe
Substrat, Jarak Ekosistem Mangrove dari Pemukiman. Nilai kapasitas adaptif
ekosistem mangrove berada pada kisaran antara 0.0-1.0, dengan lima kategori
kapasitas yaitu “sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi”. hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa ekosistem mangrove yang ditemukan pada
tumbuh pada pulau-pulau kecil dalam gugus pulau Guraici tergolong kedalam tiga
kategori kapasitas adaptif yaitu “sedang”, “rendah” dan “sangat rendah”, dengan
nilai kapasitas adaptif yang terdistribusi antara 0.0-0.51. Sebanyak tiga belas pulau,
memiliki ekosistem mangrove dengan kapasitas adaptif berkategori “sedang”, dua
pulau berkategori “rendah” dan dua pulau berkategori “sangat rendah”.
Kata Kunci: Kapasitas Adaptif, Ekosistem Mangrove

15
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

ABSTRACT
Mangrove forests is a tropical coastal vegetation communities dominated by several
species of mangrove trees that can grow and thrive in muddy coastal tidal areas.
This vegetation community generally grows in intertidal and supratidal areas have
adequate water flow, and is protected from large waves and strong tidal currents.
As one of the unique ecosystem of the coastal region and small islands, mengrove
has various functions such as shoreline protection by reducing the speed of waves
and storms, coastal protection of the aberration, preventing sea water intrusion,
mudguard and trap sediment transported by the flow of surface water . The
existence of an ecosystem is in a coastal region and small islands play an important
role in enhancing the adaptive capacity of a natural disaster because of the island
serves as a natural protector. The research purpose to calculate and assess the
adaptive capacity of mangrove ecosystems are found growing in the waters around
the small islands in the group Guraici. The research was conducted on 17 islands
located in the island group Guraici. Mangrove ecosystem adaptive capacity
measurements carried out by analyzing the six parameters of the mangrove
Dimension Index (IDMg), Dominant Mangrove Species, density of trees per
hectare (trees / ha), Number of Genera, substrate type, distance of the Mangrove
Ecosystem of Settlement. Value of mangrove ecosystem adaptive capacity in the
range between 0.0-1.0, with a capacity of five categories of "very low, low,
medium, high and very high". These results indicate that mangrove ecosystems are
found on islands grown on a small island in the group Guraici classified into three
categories adaptive capacity that is "medium", "low" and "very low", with the
adaptive capacity of the distributed between 0.0-0.51 . A total of thirteen islands,
has a mangrove ecosystem adaptive capacity categories "medium", the two islands
categorized as "low" and the two islands have category "very low".

Key Notes: Adaptive Capacity, Mangrove ecosystem

PENDAHULUAN
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini
umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat
aliran air, dan terlindung dari gelombang besar serta arus pasang surut yang
kencang (Dahuri 2003; Benge 2004). Hutan mangrove seringkali juga disebut
dengan hutan pasang surut, hutan payau, atau utan bakau. Bakau sebenarnya hanya
salah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove yaitu jenis Rhizophora
spp. (Dahuri 2003). Nybakken (1992) mengemukakan bahwa hutan mangrove

16
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas


komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang
khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam
perairan asin.
Bengen (2004) menyampaikan bahwa hutan mangrove meliputi pohon-
pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera
tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops,
Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan
Conocarpus. Sebagai salah satu ekosistem khas diwilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil, hutan mengrove memeiliki berbagai fungsi diantaranya sebagai pelindung
garis pantai dengan mereduksi kecepatan gelombang dan badai, pelindung pantai
dari aberasi, pencegah intrusi air laut, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang
diangkut oleh aliran air permukaan.
Menurut Moberg dan Folk (1999) ekosistem mangrove adalah satu dari tiga
ekosistem pesisir utama cukup efektif berfungsi sebagai pelindung terhadap
keselamatan lahan daratan pulau-pulau kecil. Secara fisik peran ekosistem tersebut
adalah sebagai pencegah erosi, perangkap sedimen serta penghalang gelombang
serta arus. Keberadaan ekosistem tersebut pada suatu wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil berperan penting dalam meningkatkan kapasitas adaptif suatu pulau
terhadap bencana alam karena berperan sebagai pelindung alami.
Menurut Gallopin (2006) kapasitas adaptif adalah kemampuan suatu sistem
untuk menyesuaikan diri terhadap suatu gangguan atau potensi kerusakan.
Selanjutnya Fusel and Klien (2006) menambahkan bahwa kapasitas adaptif sebagai
kemampuan dari sistem untuk melakukan penyesuaian terhadap suatu perubahan
yang menyebabkan potensi dampak lebih moderat, mengambil manfaat untuk
mengatasi konsekwesi yang ditimbulkan akibat perubahan tersebut. Luers (2005)
mengemukakan bahwa kapasitas adaptif memiliki potensi untuk menggeser posisi
sistem pada permukaan kerentanan tinggi ke tingkat kerentanan yang lebih rendah
dengan mengurangi sensitivitas (sensitivity) atau keterbukaan (exposure). Kapasitas
adaptif yang tinggi dapat mengurangi kerentanan dari tingkat kerentanan yang
tinggi ke tingkat kerentanan yang rendah, dengan demikian jika kapasitas adaptif

17
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

yang dimiliki oleh suatu sistem itu rendah, maka sistem tersebut cenderung
memiliki kerentanan yang tinggi.
Dengan kapasitas adaptif tinggi, suatu ekositem dapat mempertahankan
dirinya sendiri dari gangguan dan tekanan. Sebaliknya jika kapasitas adaptif
ekosistem tersebut rendah, akan berdampak pada rendahnya kemampuan ekosistem
tersebut dalam menghadapi setiap tekanan dan perubahan. Ekosistem mangrove
dengan kapasitas adaptif yang tinggi akan memberikan kemampuan bagi ekosistem
tersebut untuk tetap mempertahankan eksistensinya, serta bagi wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil, manfaat yang diperoleh dari tingginya kapasitas ekosistem
mangrove adalah terlindungnya wilayah pesisir dan daratan suatu pulau kecil dari
aksi gelombang serta arus air laut serta mencegah terjadinya erosi, maupun intrusi
air laut.
Pulau-pulau yang terdapat dalam gugus pulau Guraici tergolong sebagai
pulau sangat kecil dan pada dasarnya rentan. Briguglia (1995); Mimura (1999);
Ghina (2003); dan Lewis (2009), bahwa pulau-pulau kecil pada umumnya rentan
dan rapuh. Namun demikian umumnya pada wilayah pesisir pulau-pulau tersebut
memiliki ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem penting diwilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil. Keberadaan ekosistem tersebut apabila memiliki
kapasitas adaptif yang tinggi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya dapat
meningkatkan kapasitas adaptif dari suatu pulau kecil sehingga kerentanan yang
menjadi salah satu ciri dari pulau-pulau kecil dapat berkurang, namun sebaliknya
jika kapasitas adaptif yang dimiliki oleh ekosistem tersebut rendah, maka fungsi
dan peranannya dalam mereduksi kerentanan yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil
tidak akan maksimal. Kajian ini dilakukan guna menghitung dan menganalisis
kapasitas adaptif ekosistem mangrove yang ditemukan pada suatu wilayah perairan
pulau. Terungkapnya kapasitas adaptif dari ekosistem mangrove, akan memberikan
kontribusi yang besar dan penting bagi pengelolaan pulau-pulau kecil secara
bekelanjatan.

18
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

METODE PENELITIAN
Waktu Dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada pulau-pulau kecil yang tedapat dalam gugus
pulau Guraici. Gugusan ini secara administrasi berada dalam wilayah Kabupaten
Halmahera Selatan Propinsi Maluku Utara, dan secara geografis terletak pada posisi
127°9'-127°16' Bujur Timur dan 0°0'-0°8' Lintang Selatan. Penelitian ini dilakukan
terhadap 17 pulau. Pulau terbesar berukuran sekitar 215 ha dan pulau terkecil
berukuran 0.2 ha. Pulau-pulau tersebut adalah P.Daramafala, P. Talimau, P. Salo,
P. Temo, P. Popaco, P. Rajawali, P. Sohomao, P. Ubo-Ubo Kecil, P. Ubo-Ubo
Besar, P. Sonyiha, P. Igo, P. Kelo, P. Joronga, P. Sapang, P. Lelei, P.Tapaya dan P.
Guraici.
Pengumpulan Data
Pengambilan data pada ekosistem mangrove secara umum dilakukan
langsung dilapangan dengan menggunakan metode garis transek (line transect)
dengan teknik sampling kuadrat, dan menggunakan analisis GIS. Pengukuran
kapasitas adaptif ekosistem mangrove, dilakukan dengan mengukur parameter-
parameter yang diasumsikan akan berpengaruh terhadap tinggi atau rendahnya
kapasitas ekosistem tersebut.
Keenam parameter tersebut masing-masing diberi bobot sesuai dengan
peranannya yang dianggap penting dalam ekosistem mangrove. Indeks dimensi
mangrove (IDMg) diberi bobot (5). Spesies Mangrove Dominan diberi bobot (5).
Kerapatan pohon per hektar (pohon/ha) diberi bobot (3). Jumlah Genera diberi
bobot (3). Tipe substrat diberi bobot (1). Jarak ekosistem mangrove dari
pemukiman penduduk (1). Paramter-paramter tersebut tergolong ke dalam 5
kategori berskala ordinal yaitu “sangat rendah (1), rendah (2), sedang (3), tinggi (4),
sangat tinggi (5)”. Nilai maksimal dari semua parameter tersebut diatas adalah 90
(Nmax : 90). Nilai maksimal diperoleh dengan mengalikan bobot dari setiap
parameter dengan nilai skala/ skor tertinggi.
Langkah awal dalam menghitung dan menganalisis kapasitas adaptif
ekosistem mangrove adalah dengan menghitung Indeks dimensi mangrove (IDMg).
Untuk menghitung indeks tersebut, hal pertama yang dilakukan adalah mengukur

19
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

dimensi ketebalan serta dimensi panjang dari hamparan mangrove pada suatu
kawasan pulau. Pengukuran tersebut dibagi kedalam segmen-segmen yang
mencakup dimensi ketebalan serta dimensi panjang tertentu. Dalam penelitian ini
yang dimaksud dengan dimensi ketebalan mangrove adalah ketebalan yang diukur
dari titik pertama kali mangrove ditemukan ke arah laut. Sedangkan yang dimaksud
dengan dimensi panjang adalah diukur sejajar dengan garis pantai. Sedangkan yang
dimaksud dengan “segemen” adalah penggolongan atau pengelompokan mangrove
berdasarkan ukuran dimensi ketebalan serta dimensi panjang dengan ukuran
tertentu. Setiap pertambahan dimensi lebar sebesar 10 meter, maka akan diikuti
dengan pertambahan nilai sebesar 0.01, dan akan mencapai nilai maksimal 1.0 pada
saat dimensi ketebalan mangrove ≥1000 meter dan tersebar secara merata pada
suatu wilayah pulau kecil.
Selanjutnya setiap pertambahan dimensi panjang 120 meter pada dimensi
ketebalan yang sama, maka nilai dimensi panjang juga akan bertambah sebesar
0.01, nilai akan mencapai nilai maksimal 1.0, pada saat panjang hamparan
mangrove mencapai ≥12.000 m. Nilai dimensi lebar berkisar antara 0.0-1.0,
demikian juga dengan nilai dimensi panjang berkisar antara 0.0-1, sehingga dengan
demikian Nilai Indeks Dimensi Mangrove (IDMg) memiliki kisaran antara 0.0-2.0.
Panjang 12.000 meter, digunakan berdasarkan panjang garis pantai pulau terbesar,
dan dalam penelitian ini pulau terbesar adalah pulau Talimau yang panjang garis
pantai sekitar ± 12.000 meter sehingga panjang tersebut juga dijadikan sebagai
kontrol.
Spesies mangrove dominan, diamati dan dicatat langsung dilokasi penelitian
saat sampling (insitu). Dalam penelitian ini spesies dominan yang diasumsikan
memiliki kapasitas adaptif lebih tinggi atau rendah terurai sebagai berikut Spesies
dari genus Ceriops dan Nypa, dikategorikan berkapasitas “sangat rendah”. Spesies
dari genus, Bruguieria, dikategorikan berkapasitas “rendah”. Spesies dari genus
Rhizophora, dikatogorikan berkapasias “sedang”. Spesies Soneratia dikategorikan
berkapasitas “tinggi”, dan Spesies dari genus Avicenia dikategorikan berkapasitas
“sangat tinggi”.

20
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Kerapatan pohon per hektar (pohon/ha), dihitung langsung dilokasi penelitian


dengan menggunakan bantuan petak contoh ukura 10 x 10 m, dan kemudian
menghitung jumlah individu tiap spesies. Penentuan jumlah genera dilakukan
dengan menghitung langsung berdasarkan pengumpulan data jumlah jenis yang
kemudian dikelompokkan. Pengamatan terhadap tipe substrat langsung dilakukan
dilapangan saat pengumpulan data (insisut). Untuk mengetahui jarak ekosistem
mangrove dari pemukiman penduduk, dilakukan pengukuran dengan menggunakan
Global Positioning System (GPS).
Analisis Data
Indeks dimensi Mangrove (IDMg), dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut;
NL NP
IDLn = ∑ [ ] +∑[ ]
SL SP
Keterangan:
IDLn : Indeks Dimensi Mangrove
NL : Jumlah total seluruh nilai segmen dimensi Ketebalan
SL : Jumlah total segmen dimensi Ketebalan
NP : Jumlah total seluruh nilai segmen dimensi Panjang
NP : Jumlah total segmen dimensi Panjang

Nila Indeks Dimensi Mangrove (IDMg) berada pada kisaran antara 0,0-2.0,
dan tergolong kedalam lima kategori yaitu “Sangat Rendah (0,0≤Kp≤0,4)”.
“Rendah (0,4<KAE≤0,8)”. “Sedang (0,8<KAE≤1,2)”. “Tinggi (0,2<KAE≤0,6)”.
“Sangat Tinggi (1,6<KAE≤2,0)”.
Sedangkan pengukuran kapasitas adaptif ekosistem mangrove dihitung
dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
Ni
KpLn = ∑ [ ] x 100%
Nmaks

KpLn : Kapasitas Ekosistem Mangrove


Ni : Total Nilai Parameter Hasil pengukuran
Nmaks : Nilai maksimum.

Nilai kapasitas adaptif ekosistem mangrove beriksar antara 0.0-1.0, dalam


penelitian ini pembagian kategori kapasitas mangrove dibagi kedalam lima kategori
yaitu “Sangat Rendah (0,0≤Kp≤0,2)”. “Rendah (0,2<KAE≤0,4)”. “Sedang
(0,4<KAE≤0,6)”. “Tinggi (0,6<KAE≤0,8)”. “Sangat Tinggi (0,8<KAE≤1,0)”.

21
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

HASIL DAN PEMBAHASAN


Indeks Dimensi Mangrove (IDMg)
Analisis indeks dimensi mangrove (IDMg) pada setiap pulau dalam gugus
pulau Guraici, menunjukkan bahwa indeks dimensi pada pulau-pulau tersebut
terdistribusi pada kisaran antara 0.0-0.165, kisaran nilai tersebut termasuk kedalam
kategori “sangat rendah”, yang masing-masing terurai sebagai berikut; P.Tapaya
(0.165), P. Joronga (0.152), P. Rajawali (0.137), P. Popaco (0.13), P.Sapang
(0.126), P. Igo (0.08), P. Salo (0.086), P. Temo (0.085), P. Talimau (0.055), P.Ubo-
Ubo Kecil (0.06), P. Kelo (0.062), P. Daramafala (0.03), P. Ubo-Ubo Besar (0.047),
P.Sohomao (0.041) dan P. Sonyiha (0.042). Sedangkan P. Lelei dan P.Guraici nilai
kapasitasnya sebesar 0.00, hal ini menunjukkan bahwa tidak ditemukan ekosistem
mangrove yang tumbuh pada pesisir serta daratannya, yang dapat disebabkan oleh
berbagai faktor diantaranya terbuka terhadap aksi gelombang serta arus air laut.
Nilai indeks tersebut juga menunjukkan bahwa ekosistem mangrove yang
ditemukan pada pulau-pulau dalam gugus pulau Guraici memiliki penyebaran yang
sangat sempit. sedangkan pada pulau yang tidak ditemukan ekosistem mangrove.
Semakin tinggi nilai (IDMg) ekosistem mangrove di suatu kawasan pulau,
mengindikasikan bahwa ekosistem tersebut tersebar luas dan merata, sebaliknya
jika semakin rendah nilai (IDMg), mengindikasikan bahwa penyebaran ekosistem
tersebut tersebar relatif sempit. Dengan demikian pengaruh ekosistem mangrove
terhadap suatu wilayah pesisir dan daratan pulau kecil dapat ditunjukkan pula
dengan tinggi atau rendahnya (IDMg) tersebut. Perbandingan nilai indeks dimensi
mangrove pada setiap lokasi penelitian ditempilkan pada Gambar 1.

22
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

0.18
Nilai Indeks Dimensi Mangrove
0.16
0.14
0.12
(IDMg)

0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
Drm

UUK

Klo
Tpy
Slo
Tlm

UUB
Ppc
Shm
Syh
Spg
Jrg
Lei
Rjw

Tmo
Grc

Igo
Lokasi Penelitian
Tlm=Talimau. Grc=Guraici. Drm=Daramafala. Lei=Lelei. Ppc=Popaco.
Jrg=Joronga. Spg=Sapang. Slo=Salo. Tpy=Tapaya. Rjw=Rajawali.
Tmo=Temo. Igo=Igo. Klo=Kelo.
Gambar 1. Distribusi Perbandingan Indeks Dimensi Ekosistem Mangrove
Pada Setiap Pulau Dalam Gugus Pulau Guraici.

Spesies Mangrove Domian


Hasil analisis menunjukkan bahwa spesies dominan yang umumnya
ditemukan pada ekosistem mangrove di pulau-pulau dalam gugus pulau Guraici
umumnya didominasi oleh jenis mangrove dari genus Rhizophora sp.
Spesies domian spesies dan jumlah spesies mangrove yang ditemukan pada
setiap pulau dalam gugus pulau Guruaici adalah sebagai berikut (1) P.Talimau:
Rhizophora, Sonneratia, Bruguiera dan Xylocarpus. (2) P.Temo: Rhizophora,
Sonneratia, Bruguiera, dan Xylocarpus. (3) P. Rajawali: Rhizophora, Sonneratia,
Aegiceras dan Xylocarpus. (4) P.Tapaya: Rhizophora, Sonneratia dan Bruguiera.
(5) P. Kelo: Rhizophora, Bruguiera, Sonneratia dan Xylocarpus. (6) P.Salo:
Rhizophora, Sonneratia dan Xylocarpus. (7) P.Joronga: Rhizophora, Bruguiera dan
Sonneratia. (8) P.Ubo-Ubo Besar: Rhizophora, Bruguiera, Sonneratia dan
Xylocarpus. (9) P.Ubo-Ubo Kecil: Rhizophora, Bruguiera, Xylocarpus dan
Sonneratia. (10) P.Igo: Rhizophora, Sonneratia, Bruguiera dan Xylocarpus. (11) P.
Sapang: Rhizophora, Bruguiera, dan Sonneratia. (12) P. Sohomao: Rhizophora,
Bruguiera dan Sonneratia. (13) P.Sonyiha: Rhizophora dan Bruguiera. (14) P.

23
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Poipaco: Rhizophora, Bruguiera dan Sonneratia. (15) P. Daramafala: Sonneratia


dan Rhizophora.
Kerapatan Pohon Mangrove (pohon/ ha)
Berdasarkan pada hasil penelitian ini, diperoleh bahwa pada pulau-pulau
yang ditumbuhi mangrove dalam gugus pulau Guraici, memiliki tingkat kerapatan
pohon per hektar berkisar antara 0-591 pohon/ ha. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa sebanyak 15 pulau dari 17 pulau yang diteliti memiliki
ekosistem mangrove serta terdapat dua pulau yang tidak memiliki ekosistem
mangrove yaitu pulau Lelei dan pulau Guraici. Sesuai sifatnya ekosistem mangrove
umumnya ditemukan pada pesisir pantai yang relatif dangkal serta cukup terlindung
dengan substrat yang relatif stabil sehingga buah mangrove yang tersebar oleh arus
dapat tertahan dan tumbuh. Sedangkan pulau Lelei dan pulau Guraici secara umum
memiliki pantai yang relatif terbuka terhadap aksi gelombang ataupun obak serta
arus sehigga menyebabkan ketidakstabilan pada substrat dasar perairan serta
menyebabkan buah mangrove sebagai bakal bibit hanyut terbawa gelombang serta
arus air laut. Tingkat kerapatan pohon mangrove per hektar yang ditemukan pada
setiap lokasi penelitian pada gugus pulau Guraici ditampilkan pada Gambar 2.
Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa terdapat pulau-pulau dengan tingkat
kerapatan mangrove cukup tinggi untuk kategori pulau kecil, hal ini menunjukkan
bahwa ekosistem mangrove pada lokasi tersebut relatif terjaga serta tidak
mengalami pengrusakan khususnya oleh aktivitas manusia. Sedangkan pulau-pulau
yang tidak ditemukan mangrove, lebih disebabkan karena ketidak cocokan habitat
minimun yang mendukung tumbuh dan berkembangnya ekosistem mangrove pada
pulau-pulau tersebut. Walaupun demikian jika dibandingkan dengan komunitas
mangrove di daratan pulau besar, dimana mangrove dapat tumbuh dengan optimal
pada muara-muara sungai besar yang menyediakan substrat belumpur yang luas,
sedangkan untuk wilayah pesisir dan pulau-pualu kecil yang relatif terbuka,
komuntas mangrove tidak tumbuh secara optimal serta sulit utuk tumbuh pada
daerah yang berombak serta terjal.

24
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

591
600
Kerapatan Mangrove (phn/ ha)
532

500 451
415
400
311 321 327
297
300
219 225 218
182
200 137
103 109
100
0 0
0

Drm
Tlm

UUK

Klo

Slo
UUB

Tpy
Syh
Spg
Ppc

Shm
Jrg

Lei
Grc
Rjw

Tmo

Igo

Lokasi Penelitian

Tlm=Talimau. Grc=Guraici. Drm=Daramafala. Lei=Lelei. Ppc=Popaco.


Jrg=Joronga. Spg=Sapang. Slo=Salo. Tpy=Tapaya. Rjw=Rajawali.
Tmo=Temo. Igo=Igo. Klo=Kelo.
Gambar 2. Perbandingan kerapatan pohon mangrove/ ha yang ditemukan
pada setiap lokasi penelitian.
Jumlah Genera
Berdasarkan hasil penelitian ini, diperoleh bahwa secara keseluruhan
ditemukan sekitar 5 genera yaitu Rhizophora sp, Sonneratia sp, Bruguiera sp,
Xylocarpus sp, dan Aegiceras sp, dengan 6 spesies yaitu Rhizophora mucronata, R.
apiculata, Sonneratia alba, Bruguiera gymnorrhiza Xylocarpus granatum, dan
Aegiceras corniculatum.
Umumnya genus dan jenis tersebut diatas, ditemukan tumbuh dan tersebar
pada hampir sebagian besar pulau-pulau dalam gugus pulau Guraici, kecilai pulau
Lelei dan pulau Guraici yang tidak ditemukan ekosistem mangrove. Kemiripan
jenis mangrove yang ditemukan tersebut dapat disebabkan karena kemiripan habitat
yang dimiliki setiap pulau, serta jarak antara pulau yang relatif berdekatan sehingga
buah mangrove yang jatuh dari pohon setelah matang kemudian terdistribusi oleh
arus air laut dan menemukan substrat yang sesuai serta stabil maka mangrove
tersebut akan tumbuh dan berkembang.
Keberadaan jenis yang hampir sama dan dapat ditemukan tumbuh pada
hampir semua pulau juga menunjukkan bahwa wilayah pulau-pulau Guraici

25
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

memiliki kekhususan sehingga hanya dapat ditumbuhi oleh mangrove dari jenis-
jenis tertentu. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pulau-pulau dalam
gugus pulau-pulau Guraici merupakan pulau-pulau yang terbentuk dari batuan
vulkanik sekitar 40 juta tahun lalu, sehingga sedimen yang terbentuk umumnya
merupakan hasil pelapukan batuan yang kemudian mengedap dan menjadi media
tumbuh bagi mangrove.
Bila dibandingkan dengan jenis mangrove yang ditemukan pada daratan
pulau-pulau besar dengan habitat yang beragam, maka jumlah jenis mangrove yang
ditemukan pada penelitian ini relatif sedikit, namun keberadaannya berperan sangat
penting dalam menjaga kelangsungan atau eksistensi pulau-pulau dalam gugus
pulau Guraici sebagai pelindung garis pantai serta daratan pulau yang umum
berukuran sangat kecil. Perbandingan jumlah genera dan jenis mangrove yang
ditemukan pada pulau-pulau dalam gugus pulau Guraici ditampilkan pada Gambar
3.

5 5 5 5 5 5 5
5 Jlh. Genera
Perbandingan Jumlah Genera dan

4.5 Jlh. Spesies


4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
4
Jlh. Spesie Mangrove

3.5
3 3 3 3 3 3 3 3
3
2.5
2 2
2
1.5
1
0.5
00 00
0
Tlm

Tpy
Klo

Spg

Ppc
Drm
Syh
Slo

UUB
UUK

Shm

Lei
Rjw

Jrg
Tmo

Igo

Grc

Lokasi Penelitian

Tlm=Talimau. Grc=Guraici. Drm=Daramafala. Lei=Lelei.


Ppc=Popaco. Jrg=Joronga. Spg=Sapang. Slo=Salo. Tpy=Tapaya.
Rjw=Rajawali. Tmo=Temo. Igo=Igo. Klo=Kelo.

Gambar 3. Perbandingan jumlah Genera dan Jumlah Jenis Mangrove


yang ditemukan pada setiap lokasi penelitian.

26
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Tipe Substrat
Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang dilakukan secara
bersamaan dengan pengukuran dan pengamatan parameter lainnya pada ekosistem
mangrove, ditemukan bahwa secara umum tipe substrat yang menjadi tempat
tumbuh mangrove pada pulau-pulau dalam gugus pulau Guraici adalah pasir, psair
berlumpur, lumpur, liat serta pecarahan karang. Tipe substrat tersebut ditemukan
pada sebagian besar ekosistem mangrove di dalam gugus pulau Guraici. Tipe
substrat tumbuhnya mangrove berdasarkan hasil pengamatan yaitu di pulau
Talimau didominasi substra pasir berlumpur, P. Rajawali (pasir berlumpur), P.
Ubo-Ubo Kecil (lumpur berpasir), P. Ubo-Ubo Besar (pasir berlumpur), P. Temo
(Pasir Berlumpur), P. Kelo (pasir berlumpur), P. Igo (pasir berlumpur), P. Salo
(pasir berlumpur), P. Tapaya (pasir berlumpur), P. Sonyiha (pasir berlumpur), P.
Sapang (pasir berlumpur), P. Popaco (pasir berlumpur), dan P. Joronga (pasir
berlumpur), P. Daramafala (pasir berkarang) dan P. Sohomao (pasir berlumpur).
Uraian tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pulau-pulau tersebut
memiliki tipe substrat yang relatif seragam kecuali pada P. Ubo-Ubo Kecil
bersubstrat lumpur berpasir dan pulau Daramafala dengan substrat pasir berkarang.
Dengan demikian kemiripan genera dan jenis mangrove pada sebagain besar pulau-
pulau dalam gugus pulau Guraici sangat dipengaruhi tipe substrat pada masing-
masing pulau tersebut.
Jarak Ekosistem Mangrove Pemukiman Penduduk
Suatu sumberdaya yang semakin dekat dengan pusat aktivitas masyarakat
ataupun pemukiman penduduk, maka akan semakin rentan sumberdaya tersebut,
dan sebaliknya semakin jauh suatu sumberdaya dari pusat kegiatan masyarakat atau
pemukiman penduduk maka sumberdaya tersebut akan semakin terjaga
kelestariannya (Algar et al. 2002). Berdasarkan hasil pengukuran serta analisis
dalam penelitian ini, diketahui bahwa, ekosistem mangrove yang tumbuh pada
pulau-pulau dalam gugus pulau Guraici berjarak sekitar 0.5-6 km dari pemukiman
penduduk di pulau Lelei serta pulau Talimau.

27
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

KAPASITAS ADAPTIF EKOSISTEM MANGROVE


Berdasarkan uraian beberapa paramter diatas maka diperoleh hasil
pengukuran nilai kapasitas adaptif ekosistem mangrove pada pulau-pulau dalam
gugus pulau Guraici dengan kisaran antara 0,0-0,51. Kisaran nilai-nilai tersebut
tergolong pada tiga (3) kategori kapasitas yaitu “sedang, rendah dan sangat rendah”.
Distribusi nilai dan kategori kapasitas adaptif ekosistem mangrove pada pulau-
pulau dalam gugus pulau Guraici secara rinci ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Distribusi kategori Kapasitas Mangrove pada setiap pulau dalam gugus
pulau Guraici.
Kapasitas Adaptif
No. Pulau Kategori
Ekosistem Mangrove
1 Joronga 0,51 Sedang
2 Daramafala 0,49 Sedang
3 Rajawali 0,47 Sedang
4 Popaco 0,44 Sedang
5 Sohomao 0,44 Sedang
6 Temo 0,42 Sedang
7 Igo 0,42 Sedang
8 Tapaya 0,42 Sedang
9 Salo 0,42 Sedang
10 Sapang 0,42 Sedang
11 Ubo-Ubo Kecil 0,42 Sedang
12 Ubo-Ubo Besar 0,41 Sedang
13 Talimau 0,40 Sedang
14 Kelo 0,38 Rendah
15 Sonyiha 0,33 Rendah
16 Lelei 0,0 Sangat Rendah
17 Guraici 0,0 Sangat Rendah

Sebanyak 13 pulau dari 17 pulau dalam gugus pulau Guraici, memiliki


kapasitas ekosistem mangrove dengan kategori “sedang” dengan nilai kapasitas
berkisar antara 0.40-0.51, pulau-pulau tersebut adalah P. Joronga, P. Daramafala,
P. Rajawali, P. Popaco, P. Sohomao, P. Temo, P. Igo, P. Tapaya, P. Salo, P. Sapang,
P. Ubo-Ubo Kecil, P. Ubo-Ubo Besar dan P. Talimau. Dua pulau tergolong
“rendah” dan dua pulau lainnya tergolong “sangat rendah”. Pulau Lelei dan P.
Guraici adalah dua pulau dengan kategori kapasitas adaptif mangrove “sangat
rendah”, nilai kapasitasnya sebesar 0.00, artinya kedua pulau ini tidak memiliki

28
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

ekosistem mangrove di wilayah pesisirnya, dengan demikian peranan ekosistem


mangrove sebagai salah satu komponen ekosistem diwilayah pesisir yang dapat
meningkatkan kapasitas adaptif suatu pulau tidak berlangsung pada kedua pulau
tersebut. Sebagaimana sifatnya, mangrove akan tumbuh dengan baik pada wilayah
dengan substrat yang stabil, terlindung, perairan yang tenang, sedangkan kedua
pulau tersebut relatif terbuka terhadap aksi gelombang serta arus air laut.
Secara umum kapasias adaptif ekologi ekosistem mangrove yang ditemukan
pada sebagian besar pulau dalam gugus pulau Guraici dengan kategori “sedang”,
hal tersebut sangat ditentukan oleh setiap parameter yang terukur dalam ekosistem
mangrove, salah satunya ditunjukkan oleh nilai indeks dimensi mangrove yang
seluruhnya berkategori “sangat rendah”. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
ekosistem mangrove pada pulau-pulau dalam gugus pulau Guraici memiliki
penyebaran yang sempit. Keadaan tersebut terjadi karena ekosistem mangrove
memiliki ketergantungan yang tinggi akan kebutuhan substrat yang sesuai untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal yang biasanya ditemukan pada ekosistem
di pulau besar. Sedangkan di pulau kecil sebagaimana pulau-pulau dalam gugus
pulau Guraici memiliki keterbatasan ruang sehingga penyebaran mangrove juga
terbatas pada wilayah tertentu yang sesuai untuk pertumbuhan, hal ini juga
ditunjang oleh jumlah pohon per hektar yang umumnya tergolong rendah dan
sangat rendah, kecuali pada pulau Rajawali, P. Popaco, P. Joronga dan P.Sohomao
yang memiliki jumlah pohon per hektar dengan kategori sedang.
Keseragaman tipe habitat yang umumnya ditemukan pada setiap pulau
menyebakan kemiripan jenis mangrove dengan didominasi oleh spesies yang relatif
sama pada semua pulau, yaitu spesies dari genus Rhizopohora spp. Selain itu
jumlah genera mangrove yang ditemukan pada setiap pulau hanya berkisar antara
2-4 genera dengan jumlah yang teridiri dari 3-5 jenis mangrove. Secara umum
semua parameter yang diteliti pada ekosistem mangrove pada setiap pulau memiliki
kategori “rendah hingga sangat rendah”, kecuali pada beberapa pulau dengan
kategori sedang dan tinggi.
Nilai kapasitas adaptif ekosistem mangrove dapat menunjukkan peranan
ekosistem tersebut terhadap perlindungan suatu pulau sehingga apabila semakin

29
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

rendah nilai kapasitas mangrove, maka akan semakin rendah peranannya, demikian
pula sebalinya semakin tinggi nilai kapasitas yang dimilikinya, maka akan semakin
besar peranannya dalam meningkatkan kapasitas adaptif suatu pulau.

SIMPULAN
Berdasarkan uraian dari hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa
ekosistem mangrove yang ditemukan tumbuh dan tersebar pada pulau-pulau dalam
gugus pulau Guraici tegolong dalam tiga kategori kapastias adaptif yaitu “sedang”,
“renda”, dan “sangat rendah”. Pada pulau-pulau dengan kapasitas adaptif ekosistem
mangrove sangat rendah, menunjukkan bahwa peranan ekosistem mangrove
sebagai pelindung pantai maupun daratan pulau-pulau tersebut tidak terjadi,
sehingga pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulau yang sangat rentan karena
rendahnya kapasitas adaptif pulau tersebut sebagai akibat dari rendahnya kapasitas
adaptif ekosistem disekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Algar DA, AA Burbidge and GJ Angus. 2002: Cat eradication on Hermite Island,
Montebello Islands, Western Australia. In: Turning the tide: the
eradication of island invasive species. CR Veitch and MN Clout (eds.),
IUCN SSC Invasive Species Specialist Group, IUCN, Gland, pp. 14–
18.
Briguglio L. 1995. Small Island Developing States and Their Economic
Vulnerabilities. Journal World Development. 23: 1615-1632.
Bengen, D.G. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Luat serta
Prinsip Pengelolaannya.Sinopsis. PKSPL-IPB. Bogor 2004.
Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fussel HM and RJT Klein. 2006. Climate Change Vulnerability Assessments: An
Evolution of Conceptual Thinking. Journal Climate change. 75: 301-
329.
Gallopin GC. 2006. Linkages between vulnerability, resiliensi, and adaptive
capacity. Journal Global Environmetal Change. 16:293-303.
Ghina F. 2003. Sustainable Development in Small Island Developing States. Journal
Environment, Development and Sustainability. 5: 139-165.
Lewis J. 2009. An Island Characteristic: Derivated Vulnerabilities to Indigenous
and Exogenous Hazard. Shima: The International Journal of Research
into Island Cultures. Vol. 3 No. 1.

30
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Luers AL. 2005. The surface of vulnerability: an analytical framework for


examining environmetal change. Journal Global Inveronmental
Change. 15: 214-223.
Mimura N. 1999. Vulnerability of Island Countries in the South Pacific to Sea Level
Rise and Climate Change. Journal Climate change research. Vol.12.
Moberg F and Folke C. 1999. Ecological goods and Services of Coral reef
Ecosystems. Ecological Economics. 29:215-233.
Nybaken, J.W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. (Penerjemah: M.
Eidman; Koesoebione; Bengen; Hutomo; dan Sukarjo). PT. Gramedia.
Jakarta.

31
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

ANALISIS PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE UNTUK


PENGEMBANGAN EKOWISATA MANGROVE
DI DESA GURAPING KECAMATAN OBA UTARA
KOTA TIDORE KEPULAUAN

Forest Utilization Analysis For Development Ecotourism Mangrove


Mangrove Oba in the Village Of North District Guraping City Tidore Islands

Ida Bt Hanafi1), M. Irfan Koda2), Riyadi Subur2)


1)
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Kelautan
Program Pascasarjana Unkhair
2)
Pengajar Pascasarjana Program Studi Ilmu Kelautan
Program Pascasarjana Unkhair

ABSTRAK

Beragam kepentingan dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat pesisir


akan memberikan dampak negatif terhadap kelangsungan hidup ekosistem, salah
satunya adalah hutan mangrove. Tingginya tekanan akibat adanya aktivitas
pergerakan penduduk setempat dalam memenuhi kawasan tertentu dapat menjadi
penyebab rusaknya ekosistem mangrove secara perlahan namun pasti. kawasan
mangrove di Desa Guraping telah dibangun infrastruktur jembatan dengan tujuan
untuk akses kegiatan parawisata, hal ini menarik, namun jikalau dibangun tanpa
sebuah analisis yang baik, maka akan menimbulkan dampak negatif yang tidak baik
bagi kawasan mangrove diwilayah tersebut.Oleh karena itu Penelitian ini dilakukan
dengan bertujuan untuk 1). Mengkaji struktur ekologi sebagai dasar pertimbangan
dalam pemanfaatan kawasan mangrove sebagai ekowisata, dan 2). Mengetahui
tingkat kesesuaian dan daya dukung kawasan mangrove untuk pengembangan
ekowisata mangrove. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode
deskriptif, yaitu dengan menguraikan secara singkat analisis struktur komunitas
hutan mangrove serta analisis kretria ekologi kesesuaian ekowisata mangrove.
Hasil penelitian menunjukan bahwa berdasarkan hasil analisis struktur komunitas
hutan mangrove di Desa Guraping masih tergolong rendah, rendahnya vegetasi
hutan mangrove disebabkan oleh rendahnya tingkat keanekaragaman jenis serta
adanya jenis-jenis tertentu yang mendominasi pada wilayah hutan mangrove di
Desa Guraping sedangkan hasil analisis kriteria ekologi kesesuaian lahan dan daya
dukung kawasan hutan mangrove untuk kegiatan ekowisata maka kawasan hutan
mangrove di Desa Guraping dikelompokkan dalam kategori sangat sesuai untuk
pengembangan kawasan ekowisata mangrove.
Kata Kunci : Hutan Mangrove, Kesesuaian lahan, Ekowisata Mangrove

32
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

ABSTRACT

Diverse interests in meeting the needs of coastal communities will have a negative
impact on the survival of ecosystems, one of which is a mangrove forest. The high
pressure due to the movement activity of locals in meeting specific area can be a
cause of damage to the mangrove ecosystem is slowly but surely. Guraping
mangrove areas in the village have built a bridge infrastructure with the goal of
access to the activities of tourism, it is interesting, but if built without a good
analysis, it will cause a negative impact which is not good for the region of
mangrove areas tersebut.Oleh Therefore research was conducted by aims to 1).
Assessing the ecological structure as a basis for consideration in the utilization of
mangrove areas as ecotourism, and 2). Knowing the level of suitability and carrying
capacity of mangrove areas for mangrove tourism development. The method used
in this research is descriptive method, ie by briefly outlining the analysis of the
community structure of mangrove forests and ecotourism suitability analysis kretria
mangrove ecology. The results showed that based on the results of the analysis of
the community structure of mangrove forest in the village Guraping still relatively
low, the low mangrove forest vegetation caused by a low level of species diversity
and the presence of certain types that predominate in the area of mangrove forest in
the village of Guraping while the results of the analysis of ecological criteria land
suitability and the carrying capacity of mangrove forest for ecotourism activities,
the mangrove forest in the village of Guraping grouped in categories very suitable
for the development of ecotourism mangrove.
Keywords: Mangrove Forests, Land suitability, Ecotourism Mangrove

PENDAHULUAN
Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan
memiliki peran penting sebagai penyedia jasa lingkungan yang sangat potensial
karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi,
sosial dan lingkungan hidup. Namun disadari sepenuhnya bahwa kondisi ekosistem
mangrove saat ini sudah semakin kritis ketersediaannya. Melihat fungsi mangrove
yang sangat strategis dan semakin meluasnya kerusakan yang terjadi, maka upaya
pelestarian mangrove harus segera dilakukan dengan berbagai car, misalnya pada
kegiatan budidaya udang, harus diterapkan teknik budidaya yang ramah terhadap
lingkungan mangrove, artinya tambak yang dibangun perlu ada hamparan
mangrove yang berfungsi sebagai biofilter dan tandon air sebelum air masuk ke
petakan tambak.

33
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Desa Guraping merupakan salah satu desa yang berada di wilayah pesisir
Kecamatan Oba Utara, yang memiliki potensi luasan mangrove berdasarakan
analisis hasil interpretasi citra satelit sebesar 142, 9 Ha. Sejalan dengan penetapan
Sofifi sebagai ibukota Provinsi Maluku Utara, maka Desa Guraping merupakan
sentral penghubung antara wilayah Kota Sofifi dengan pusat pemerintahan Provinsi
Maluku Utara. Faktor ini kemudian diperkirakan akan memberikan berdampak
pada kegiatan pembangunan infrastruktur serta sebaran penduduk. Adanya beragam
kepentingan dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat pesisir akan
memberikan dampak negatif terhadap kelangsungan hidup ekosistem hutan
mangrove.
Saat ini kawasan mangrove di Desa Guraping telah dibangun infrastruktur
jembatan dengan tujuan untuk akses kegiatan parawisata, hal ini menarik, namun
jikalau dibangun tanpa sebuah analisis yang baik, maka akan menimbulkan dampak
negatif yang tidak baik bagi kawasan mangrove diwilayah tersebut. Pengelolaan
hutan mangrove di Desa Guraping sebagai kawasan ekowisata mangrove
merupakan suatu bentuk apresisasi dalam upaya menjaga fungsi mangrove sebagai
penyedia jasa lingkungan, yang juga merupakan salah satu upaya untuk
melestarikan ekosisten mangrove sebagai cerminan dari keadaan ekosisten
mangrove yang sebenarnya. Hal ini tentu saja akan memberikan perlindungan
terhadap komponen-komponen pendukung yang saling berinterkasi, sehingga
membentuk suatu konsep pengelolaan yang nantinya dapat digunakan sesuai
dengan dinamika sumberdaya dan kebutuhan masyarakat yang ada.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1) Mengkaji struktur ekologi sebagai dasar pertimbangan dalam pemanfaatan
kawasan mangrove sebagai ekowisata
2) Mengetahui tingkat kesesuaian dan daya dukung kawasan mangrove untuk
pengembangan ekowisata mangrove.

34
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian tentang Analisis Pemanfaatn Ekosistem Mangrove Untuk
Pengembangan Ekowisata Mangrove berlangsung selama 3 bulan, yaitu bulan Mei
-. Juli 2016 yang berlokasi di perairan Desa Guraping Kecamatan Oba Utara.
Prosedur Penelitian, terdiri atas :
1. Tahap awal / Persiapan, Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data
primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui
pengamatan langsung di lapangan, Pengumpulan data sekunder yaitu dengan
cara mengumpul dokumen yang berkaitan dengan penelitian, Peraturan
Perundang-Undangan , data dari BPS, data dari DKP (Dinas Kelautan Dan
Perikanan), dan data Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata Daerah setempat.
2. Observasi awal, Meliputi survei lapangan untuk melihat langsung lokasi yang
tepat dijadikan lokasi penelitian dan mengetahui gambaran umum lokasi
penelitian.
3. Pengambilan Data Lapangan, Pengumpulan data dilakukan untuk
mendapatkan informasi yang lengkap berkaitan dengan faktor yang
berpengaruh dalam pemilihan lokasi yang berpengaruh terhadap ekowisata di
lokasi ekosistem mangrove. Data yang dikumpulkan berupa data lapangan.
Pengumpulan Data Ekologi
Adapun prosedur pengamatan dan pengambilan data mangrove yaitu:
1) Membuat petak contoh (plot)i transek quadran dengan bentuk bujur sangkar
ukuran luas 10 x 10 m, dengan jumlah plot sebanyak 3 unit.
2) Mengidentifikasi nama jenis-jenis tumbuhan mangrove yang belum diketahui
dengan cara mengambil sebagian/potongan dari ranting, lengkap dengan
bunga dan daunnya.
3) Menghitung jumlah spesies mangrove, jumlah anakan, mengukur diameter
batang pohon mengrove.
Pengolahan Data Ekologi
Data mengenai spesies, jumlah individu, dan diameter pohon yang telah
dicatat pada form mangrove, kemudian diolah untuk memperoleh kerapatan spesies,

35
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

frekuensi spesies, luas areal tutupan, nilai penting suatu spesies, frekuensi spesies,
luas areal tutupan, nilai penting suatu spesies dan keanekaragaman spesies (Bengen,
2002):
Pengumpulan Data Biota
Cara untuk mendapatkan data mengenai objek biota:
1) Ikan. Ikan dikumpulkan dengan menggunakan alat tangkap gill net.
2) Burung. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan teropong.
3) Moluska. Pengamatan moluska dilakukan dengan transek ukuran 20 x 20 cm
pada tiap sisi plot dan ditengah, sehingga terdapat 5 sub plot kemudian
diidentifikasi (Dharma, 1992)
4) Kepiting dan Reptil. Pengamatan secara langsung lapangan sekaligus di
identifikasi.
5) Ketebalan. Pengukuran ketebalan / lebar mangrove dilakukan secara manual
dengan cara diukur dengan menggunakan roll meter. Roll meter ditarik tegak
lurus dengan garis pantai mulai dari hutan mangrove di bagian darat sampai
dengan ujung mangrove di batas laut.
6) Data Oseanografi. Parameter oseanografi yang diukur dilapangan adalah Pasang
Surut. Pengukuran pasang surut dilakukan selama 24 jam dengan interval waktu
60 menit menggunakan alat tiang skala yang ditempatkan pada lokasi dimana
pada saat pasang tertinggi dan surut terendah, tiang skala masih terendam air.

Analisis Data
Analisis kesesuaian lahan digunakan untuk mengetahui tingkat kelayakan
ekowisata mangrove. Inventarisasi sarana dan prasarana termasuk persepsi
stekholder terhadap pengembangan dan penunjang ekowisata di analisis secara
deskriptif.
1. Daya Dukung Kawasan. Untuk menghitung daya dukung kawasan digunakan
rumus oleh Yulianda, (2006):
DDK = K x Lp/Lt x Wt/Wp

36
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Keterangan :
DDK :Daya dukung kawasan
K :Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area
Lp :Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan
Lt :Unit area untuk kategori tertentu
Wt :Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam
satu hari
Wp : Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan
tertentu.
Daya dukung kawasan dalam kawasan konservasi perlu dibatasi dengan
“Daya Dukung Pemanfaatan” (DDP) dengan rumus:
DDP = 0.1 x DDK
2. Kesesuaian Area Untuk Wisata Mangrove. Analisis kelayakan ekowisata
mangrove mencakup ketebalan mangrove, kerapatan mangrove dan jenis
mangrove, kriteria oseanografi mencakup pasang surut, dan obyek biota yang
berasosiasi dengan hutan mangrove. Pembobotan dan nilai untuk mengetahui
besar skor dari penggabungan beberapa variabel sehingga akan terdapat
perbedaan skor antara kelas yang satu dengan kelas yang lain, selanjutnya
digunakan untuk memberi klasifikasi kesesuaian lahan. Untuk menentukan
indeks kesesuaian wisata dapat digunakan persamaan :
IK W = ∑ [ Ni/Nmaks] x 100%
Dimana :
IKW : Indeks Kesesuaian Wisata
Ni : Nilai parameter ke-i (Bobot x Skor)
Nmaks : Nilai maksimum dari suatu kategori wisata

HASIL DAN PEMBAHASAN


Deskripsi Lokasi Penelitian
Keadaan iklim Desa Guraping sangat dipengaruhi oleh iklim laut dan 2
musim yakni musim utara barat dan musim timur atau selatan dan diselingi dua kali
masa peralihan sehingga musim hujan dan musim kemarau tidak jelas. Daerah ini
Juga memiliki dua musim yang sangat dipengaruhi hembusan angin utara selatan,
yaitu musim barat dan timur. Musim barat pada umumnya ditandai dengan keadaan
gelombang laut yang tinggi, sedangkan musim timur ditandai dengan gelombang
laut yang lemah.

37
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Desa Guraping memiliki ekosistem perairan yang sangat kompleks, terdiri


dari ekosistem mangrove, eksosistem terumbu karang, dan ekosistem padang lamun
sedangkan jenis substrat bervariasi dari pasir, pasir berlumpur, pecahan karang,
pasir berlempung, dan liat. Khususnya mangrove sangat mendominasi ekosistem
perairan pantai di wilayah ini. Penyebarannya mangrove di Desa Guraping
Kecamatan Oba Utara terfokus pada bagian utara dimana luasan mangrove
berdasarkan hasil citra landsat ETM 7+ memiliki luasan sebesar 142, 9 Ha.
Karakteristik lokasi penelitian tersebar sepanjang luasan mangrove dengan 3 titik
pengamatan di dalam laguna, 2 titik pengamatan di bagian luar laguna dan 1 titik
pengamatan di Pulau Sibu.
Kondisi Lingkungan Perairan.
1. Suhu. Dari hasil pengukuran diperoleh bahwa penyebaran suhu pada semua
stasiun pengamatan berkisar antara 28,5 - 31,6°C. Suhu tertinggi ditemukan
pada stasiun 6 dengan nilai 31,6°C. Suhu terendah diperoleh pada stasiun 1
yaitu 28,5°C. Dari hasil pengukuran ini dapat dilihat bahwa kisaran suhu
tersebut dapat mendukung tumbuhnya mangrove pada habitat tersebut. Suhu
yang ideal untuk pertumbuhan mangrove berkisar antara 26 - 32°C. Kisaran
suhu tersebut dapat menunjang berjalannya proses nitrifikasi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Effendi (2003) dalam Bahri (2006) bahwa bakteri nitrifikasi
dapat melakukan nitrifikasi pada suhu 20 - 30°C. Pada suhu kurang atau lebih
dari kisaran tersebut maka kecepatan nitrifikasi akan berkurang.
2. Salinitas, Dari hasil pengukuran salinitas pada setiap stasiun pengamatan,
diperoleh kisaran salinitas antara 24,5-29,5‰. Nilai salinitas tertinggi diperoleh
pada stasiun 6 dengan nilai 29,5‰ Adapun nilai salinitas yang terendah terdapat
pada stasiun 2 yaitu 24,5‰. Tingginya kandungan salinitas pada stasiun ini
disebabkan lokasi stasiun 6 berada pada daerah terbuka dengan laut, sedangkan
rendahnya salinitas pada stasiun 2 diduga karena lokasi stasiun berada dalam
laguna yang mendapatkan pasokan air dari daratan.
3. Derajat Keasaman Air dan Tanah, Hasil pengukuran diperoleh bahwa kisaran
pH air 6,6 - 7,9 dengan nilai tertinggi berada pada stasiun 6, sementara nilai
terendah berada pada stasiun 2 sebesar 6,6. Kisaran nilai pH tanah yaitu 6,0 -

38
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

6,9 dengan nilai tertinggi dimiliki oleh stasiun 6 yaitu 6,9 dan stasiun 4 memiliki
nilai terendah yaitu 6,0. Rendahnya pH tanah pada lokasi pengamatan
disebabkan adanya proses pembusukan pada areal mangrove yang lebih
bersuasana asam, sedangkan tingginya pH air lebih dipengaruhi oleh larutan
kadar garam yang bersuasana basa dan bersifat larutan penyangga.
4. Pasang Surut, Hasil pengukuran terlihat bahwa naiknya permukaan air pada
saat puncak tertinggi berkisar antara 79.0-197.5 cm. Hasil olahan Mean Sea
Level (MSL) kisaran nilai naik turunnya permukaan laut yaitu 0,94-2,35 cm.
Pasang surut pada perairan Desa Guraping memiliki tipe harian dominasi ganda
(semidiurnal tide). Hal ini ditandai dengan terjadinya dua kali pasang dan dua
kali surut dengan tinggi permukaan hampir sama.
Komposisi dan Struktur Vegetasi Mangrove
Berdasarkan hasil pengambilan data dan identifikasi jenis mangrove di
lokasi penelitian, diperoleh 4 famili : Rhizophoraceae, Sonneratiaceae,
Avicenniaceae, Meliaceae dengan 8 jenis mangrove : Bruguiera gymnorhiza
Rhizophora stylosa Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata. Ceriops
decandra, Sonneratia alba, Avicennia alba, Xylocarpus granatum.
Sedangkan struktur vegetasi terlihat bahwa kategori pohon tertinggi dimiliki
oleh jenis R. apiculata (89 individu) dengan persentase 25,65% dan terendah
terdapat pada jenis Ceriops decandra (7 individu) dengan persentase 2,02% dari
jumlah total 347 individu. Sementara kategori anakan R. apiculata (155 individu)
dengan persentase 19,11% memiliki nilai tertinggi dan R. stylosa (39 individu)
dengan persentase 4,81% memiliki nilai terendah dari jumlah 39 individu dari
jumlah total anakkan 811 individu. Nilai tertinggi untuk kategori semaian masih
berada pada jenis R. apiculata (217 individu) dengan persentase 15,73% dan
terrendah ada pada jenis R stylosa (49 individu) dengan persentase 2,23 % dari
jumlah total 1,036 individu.
Berdasarkan pola pertumbuhan jenis mangrove yang ditemukan dilokasi
penelitian serta berdasarkan jarak transek yang ditarik tegak lurus terhaap garis
pantai sepanjang 60 meter, maka di peroleh sistem zonasi jenis mangrove yang
tumbuh sebagai berikut : Zona depan ditemukan jenis R apiculata, R mucronata

39
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

dan R. stylosa, pada zona tengah ditemukan jenis B gymnorrhiza yang berasosiasi
dengan jenis S alba, serta Zona belakang ada jenis S alba dan avicennia alba yang
berasosasi dengan Xy. granatum.
Gambar 1. Zonasi Hutan Mangrove di Perairan Guraping

Karakteristik Kawasan Ekowisata Mangrove di Desa Guraping


A. Ketebalan Mangrove. Ketebalan mangrove pada masing-masing stasiun
diperoleh dari hasil pengukuran secara digital dengan menggunakan program
GIS Art View. Garis ditarik tegak lurus dengan garis pantai mulai dari hutan
mangrove di bagian laut sampai dengan ujung mangrove di batas darat. Untuk
Stasiun 1 dengan ketebalan 450 m, Stasiun 2 dengan ketebalan 560 m, dan
stasiun 3 dengan ketebalannya 250 m, Stasiun 4 dengan ketebalan 280 m,
Stasiun 5 dengan ketebalan 390 m dan Stasiun 6 dengan ketebalan 220 m. Maka
hasil pengukuran rata-rata ketebalan mangrove Desa Guraping adalah 358, 33
m. dari hasil tersbeut dapat dikatakan bahwa ketebalan kawasan mangriove
pada Desa Guraping masuk dalam kategori sangat sesuai.

40
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

B. Jenis Ekosistem Mangrove. Dari hasil pengamatan mangrove di seluruh stasiun


diperoleh 8 jenis mangrove yang terdiri dari yaitu Bruguiera gymnorrhiza,
Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Sonneratia
alba, Avicennia alba, Ceriops decandra dan Xylocarpus granatum.
C. Kerapatan Mangrove. Dengan memperhatikan distribusi dari komposisi jenis
mangrove ditemukan R. apiculata merupakan jenis yang dominan. Hal ini
disebabkan R. apiculata ditemukan hampir pada semua stasiun pengamatan,
selain karena jenis substrat yang mendukung pertumbuhan jenis ini. Jenis R.
apiculata juga mampu bertahan hidup pada kondisi yang sangat ekstrem. Hasil
kerapatan mangrove dari setiap stasiun yaitu stasiun 1 berkisar antara 26 – 77
ind / 100 m2, stasiun 2 terdapat 51 – 81 ind / 100 m2, stasiun 3 terdapat 7 ind /
100 m2, stasiun 4 berkisar antara 53 – 82 ind/100 m2, stasiun 5 berkisar antara
51 – 70 ind/100 m2 dan stasiun 6 berkisar antara 41 – 74 ind/100 m2, dengan
kerapatan rata-rata mangrove Desa Guraping 64 ind / 100 m2.
D. Biota Hutan Mangrove. Hasil pengamatan dan wawancara terhadap beberapa
responden tentang kelompok biota yang ada pada kawasan mangrove Desa
Guraping terdapat jenis burung, reptil (biawak dan kadal) serta ikan.
E. Pasang Surut. Hasil pengukuran terlihat bahwa naiknya permukaan air pada
saat puncak tertinggi berkisar antara 79.0-197.5 cm. Hasil olahan Mean Sea
Level (MSL) kisaran nilai naik turunnya permukaan laut yaitu 0,94-2,35 cm.
Pasang surut pada perairan Desa Guraping memiliki tipe harian dominasi
ganda (semidiurnal tide). Hal ini ditandai dengan terjadinya dua kali pasang
dan dua kali surut dengan tinggi permukaan hampir sama. Hal ini diperkuat
oleh Ongkosan dan Suyarso (1989), yang menyatakan bahwa berdasarkan
analisis pasang surut perairan Indonesia oleh Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL
diperoleh tipe pasang surut termasuk tipe campuran dominasi ganda (mixed
semidiurnal) hal ini ditandai terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam
sehari yang tingginya hampir sama.
F. Karakteristik Kawasan. Hasil pengamatan parameter karakteristik kawasan
menunjukan bahwa ekosistem mangrove Desa Guraping memiliki objek yang
menarik, baik flora, fauna maupun aspek fisik, yang di maksud disini adalah

41
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

flora yang terdapat di kawasan ekosistem mangrove yang menarik untuk di


lihat maupun untuk fotografi, terdapat fauna hutan mangrove yang beraneka
ragam, juga terdapat panorama alam yang indah, yang memiliki daya tarik
tertentu yaitu seperti terdapat hamparan pantai yeng berpasir dengan perairan
yang jernih di lokasi penelitian, bentangan alam pantai yang berbentuk laguna
dan teluk-teluk kecil yang sangat indah dan menarik serta tempat yang baik
untuk pengamatan matahari terbenam.
G. Aksesibilitas. Aksesibilitas dinilai dari tersedianya sarana dan prasarana serta
aksesibilitas untuk menuju ekosistem mangrove di Desa Guraping pada saat ini
dengan menggunakan angkutan darat baik dari jenis kendaraan roda empat
maupun roda dua dan atau angkutan laut, terdapat jalan yang bagus untuk
mencapai lokasi, sehingga pengunjung mudah untuk mengunjungi daerah
ekowisata nantinya tanpa hambatan, juga terdapat banyak jalan alternatif baik
dari darat maupun dari arah laut untuk menuju lokasi, sedangkan untuk sarana
pendukungnya telah tersedia jembatan tracking di seputaran mangrove (stasiun
4), rumah makan dan tempat parkir yang memadai.
Hasil Analisis Kesesuaian Ekowisata dan Daya Dukung Hutan Mangrove
Berdasarkan hasil analisis kriteria kesesuaian ekowisata hutan mangrove di
Desa Guraping diketahui bahwa nilai x bobot kesesuaian ekowisata sebesar 72
sedangkan jumlah nilai maksimum adalah 88. Dengan demikian nilai persentase
kalkulasi nilai kesesuaian ekowisata hutan mangrove di Desa Guraping Kecamatan
Oba Utara adalah 81,82%, hal ini berarti keputusan kriteria kesesuaian ekowisata
berdasarkan struktur ekologi tergolong kedalam kategori Sangat Sesuai (S1). Wisata
mangrove di Desa Guraping memiliki daya tarik karena kehadiran beberapa satwa
liar seperti beberapa jenis reptil dan burung-burung selain fasilitas pendukung
seperti tracking dan tempat duduk. Adanya usaha pembibitan dan penanaman
mangrove, sebagai salah satu pendekatan pengembangan kawasan ini dengan
konsep keberlanjutan secara luas dalam pemanfaatan ekosistem pesisir serta
menambah jenis aktivitas di wisata mangrove.
Adapun luas wilayah kesesuaian ekowisata mangrove Desa Guraping
Kecamatan Oba Utara (luas wilayah yang diteliti) adalah 142, 9 ha (Gambar 1).

42
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Analisis Daya Dukung Kawasan (DDK) untuk pengembangan ekowisata mangrove


di Desa Guraping Kecamatan Oba Utara adalah 28.580 orang sedangkan Daya
Dukung Pemanfaatan (DDP) yaitu 2,858 orang. Artinya bahwa jumlah kunjungan
perhari yang bisa diterima pada saat pelaksanaan kungjungan ekowisataan tidak
boleh lebih dari 2,858 orang pada areal kawasan ekowisata mangrove di Desa
Guraping Kecamatan Oba Utara
Persepsi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Ekowisata.
Persepsi merupakan tanggapan langsung dari suatu serapan, proses seseorang
mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya (Depdikbud, 1986). Leavitt
(1978) menyatakan definisi persepsi (perception) dalam arti sempit adalah
penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas
ialah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau
mengartikan sesuatu.
Dari hasil analisis terhadap 50 responden dengan beragam karakteristik
kehidupan terlihat bahwa 31 responden sudah mengetahui fungsi dan peranan hutan
mangrove, sementara 16 responden menyatakan kurang mengetahui dan 3
responden tidak mengetahui. Sementara pemahaman masyarakat tentang aktivitas
ekowisata di daerah hutan mangrove masih belum dipahami secara benar. Hal ini
dapat dilihat dari 50 responden, 21 responden menyatakan mengetahui, 26
responden menyatakan kurang mengetahui dan 12 responden menyatakan tidak
mengetahui aktivitas ekowisata mangrove. Sementara keinginan masyarakat untuk
terlibat dalam proses pengelolaan kawasan hutan mangrove sebanyak 43 responden
menyatakan keinginan untuk terlibat, sementara 7 responden menyatakan keraguan
untuk melibatkan diri. Sedangkan responden yang mengetahui adanya kegiatan
konservasi hutan mangrove sebanyak 29 responden, 17 responden menyatakan
kurang mengetahui dan 4 menyatakan tidak mengetahui.
Arahan Pengembangan Ekowisata Mangrove di Desa Guraping
Berdasarkan hasil analisis kesesuain lahan dan daya dukung kawasan hutan
mangrove dan karakteristik laguna yang tenang, dapat dimanfaatkan sebagai salah
satu daya tarik wisata alam. Hal ini sejalan arahan Rencana Zonasi Wilayah Peisisii
dan Pulau-Pulau Kecil Kota Tidore Kepualauan (2011) yang menyatakan bahwa

43
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

pada prinsipnya penetapan zona wisata kawasan ini sudah berlangsung lama,
sejalan dengan perencanaan pengembangan Kota Sofifi, yang kemudian
merekomendasikan melakukan revitalisasi perencanaan dan percepatan
pengembangan kawasan ini dengan lebih memperhatikan program tata batas yang
lebih baik, pembangunan infrastruktur dan fasilitas pendukung untuk
pengemabangan kegiatan wisata alam.
Pertimbangan Rencana Pengembangan Ekowisata Hutan Mangrove di Desa
Guraping.
Sesuai dengan paraturan perundangan yang berlaku secara nasional,
terutama dalam bidang penataan ruang dan sistem pembangunan nasional
berkelanjutan, terdapat beberapa konsepsi (pertimbangan) pengeloalan dan
pembangunan yang perlu pula diterapkan demi terwujudnya pengeloaan
sumberdaya Hutan Mangrove yang optimal dan berkelanjutan. Dengan demikian,
penyusunan rencana pengembangan ekowisata Hutan Mangrove harus
memperhatikan dengan seksama 5 (lima) konsepsi utama perencanaan pengelolaan
yang dijelaskan sebagai :
a. Pertimbangan Ekologis. Aspek ekologis berkaitan dengan karakteristik
wilayah hutan mngrove di Desa guraping yang relatif peka terhadap gangguan
lingkungan akibat pengembangan kegiatan kelautan dan perikanan yang
kurang bijaksana. Daya dukung ekosistem pesisir harus tetap dipertahankan,
termasuk dengan mengendalikan pemanfaatan ruang di daerah laguna dan
pesisir. .
b. Pertimbangan Penggunaan Lahan Eksisting. Penggunaan lahan ekisting
didasarkan pada pola pemanfaatan ruang saat ini dikawan hutan mangrove
Desa Guraping. Pengembangan kegiatan yang telah sesuai saat ini akan tetap
dipertahankan dan jika memungkinkan dikembangkan, sebaliknya yang tidak
cocok akan ditinjau ulang dan diarahkan pada bentuk kegiatan yang sesuai.
Sektor pariwisata yang telah ada baik yang berkembang maupun belum
berkembang selanjutnya didorong dengan mengalokasikan ruang-ruang
pemanfaatan yang ada dengan penyediaan sarana dan prasarana pendukung
sesuai arah kebijakan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan.

44
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

c. Pertimbangan Kesesuaian Lahan dan Perairan. Kesesuaian lahan perairan


pada pengembangan wilayah hutan mangrove tidak saja dipandang
berdasarkan faktor pembatas fisik tanah di kawasan pesisir darat. Pertimbangan
kesesuaian lahan juga harus dilakukan dengan memasukan parameter
oseanografi perairan agar dapat di peroleh kesesuaian lahan yang akurat.
Pertimbangan kedua parameter (darat dan laut) ini dilakukan mengingat
kawasan mangrove merupakan kawasan spesifik yang mendapat pengaruhi
dari darat dan laut. Melalui pertimbangan ini selanjutnya akan dapat ditetapkan
lokasi-lokasi mana yang layak dikembangkan sebagai kawasan pemanfaatan
umum, kawasan konservasi, kawasan budidaya air payau maupun ketam kenari
serta kawasan alur rotasi pengunjung.
d. Pertimbangan Kebijakan Sektor Kelauta. Kebijakan ini diarahkan guna
mendorong kemampuan masyarakat setempat, baik melalui peningkatan
pengetahuan maupun teknologi dan modal. Pengelolaan potensi sektor
kelautan harus dimanfaatkan secara optimal. Diversifikasi kegiatan usaha
perikanan akan terus dipacu agar mampu mendorong perkembangan sektor
perikanan. Kegiatan industri pengolahan lanjutan berbahan baku hasil laut,
khususnya perikanan air payau dan kegiatan budidaya ketam kenari.
e. Pertimbangan Sosial Ekonomi dan Budaya. Keterkaitan antara aspek sosial
ekonomi dan budaya masyarakat pesisir sangat penting, karena jangan sampai
menimbulkan konflik sosial dan menyebabkan tercerabutnya nilai – nilai
budaya dan adat istiadat serta nilai luhur dan kearifan tradisional masyarakat
Kota Tidore Kepulauan.

45
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

SIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh berdasarkan hasil penelitian
tentang kesesuaian ekowisata mangrove di Desa Guraping Kecamatan Oba Utara
Kota Tidore Kepulauan, yaitu :
1. Analisis struktur komunitas hutan mangrove di Desa Guraping masih tergolong
rendah, rendahnya vegetasi hutan mangrove disebabkan oleh rendahnya tingkat
keanekaragaman jenis serta adanya jenis-jenis tertentu yang mendominasi pada
wilayah hutan mangrove di Desa Guraping
2. Hasil analisis kriteria ekologi kesesuaian lahan dan daya dukung kawasan hutan
mangrove untuk kegiatan ekowisata maka kawasan hutan mangrove di Desa
Guraping dikelompokkan dalam kategori sangat sesuai untuk pengembangan
kawasan ekowisata mangrove.

DAFTAR PUSATAKA

Ardi. 2002. Pemanfaatan Makrozoobentos sebagai Indikator Perairan Pesisir.


[Makalah]. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Aziz A. 2003. Kajian Pengembangan Pariwisata Bahari di Kelurahan Pulau
Kelapa Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. (Tesis). Bogor:
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Baksir, A. 2010. Pengelolaan pulau-pulau kecil untuk pemanfaatan ekowisata
berkelanjutan di Kecamatan Morotai Selatan dan Morotai Selatan
Barat Kabupaten Pulau Morotai Provinsi Maluku Utara. Disertasi IPB.
Bogor. 2010
Bengen, G.B. 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan,Institut
Pertanian Bogor, Bogor. hlm. 50.
Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut.
Pusat Kajian Bengkulu Utara, Bengkulu. 2004. Jakarta.
Bengen, D.G. 2004. Pedoman Teknis. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. PKSPL-IPB, Bogor
Bibby, C. Jones, M. Marsder, S. 2000. Teknik-Teknik Ekspedisi Lapangan : Survey
Burung. SMKG Mardi Yuana. Bogor.
Buchsbaum BD. 2004. Ecotourism and Sustainable Development in Costa
Rica.Virginia Polytechnic and State University. USA.

46
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Ceballos-Lascurain H. 1991. Tourism, Ecotourism and Protected Areas. Parks.


Journal of Sustainable Tourism. 2: 31-35
Chapman, V.J. 1976b. Coastal Vegetation. Pergamon Press, 292 hal.
Choy, S.c & W.E. Booth. 1994. Prolongued Inundatioan and Ecological Changes
ini An Avicenia mangrove: Impications for Conservation and
Management. Hydrobiologia, 285:237-247.
Dahuri, R, J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dahuri, R. 2002. Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional
Pengelolaan Ekosistem mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002
Damanik, J. dan Weber,H.F. 2006. Perencanaan ekowisata. PUSPAR UGM dan
Andi, Yogyakarta.
Dharma, B., 1992. Siput dan Kerang Indonesia Shell II. PT. Sarana Graha, Jakarta.
Fandeli C. 2000. Perencanaan Kepariwisataan Alam. Dalam Fandeli, C dan
Mukhlisin (Editor). Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 157-167 Hal.
Frederick A, Victoria ECC, Jeddah LDP and Danilo TD. 2005. Impacts of
Recrational Scuba Diving on A Marine Protected Area in Central
Philippines: A Case of Gilutongan Marine Sanctuari. Philip. Scient 42:
144-158.
Gunarto, 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati
Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004.
Hall C.M. 2001. Trends in Ocean and Coastal Tourism: The End of the Last
Frontier. Ocean & Coastal Management 44: 601-608
Hidayat A. 2000. Konsep dan Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari. Seawatch
Indonesia. BPPT Jakarta
Hilmi, C. Kusmana & Suhendra. 1997. Studi lebar jalur hijau mangrove di Angke
Kapuk Jakarta. Tesis Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. (tidak
dipublikasikan)
Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M. Afwan Affendi, K. R. Sudarma, and I.N. Budiana.
1999. Sustainable management models for mangrove forest. Japan
International Cooperation Agency, hlm. 46.
Rusila Noor, Y., M. Khazali, dan I N.N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. PHKA/ Wetlands International – Indonesia
Programme, Bogor.
Meika Rizka, 2010. Upaya Pelestarian Hutan Mangrove Berdasarkan Pendekatan
Masyarakat. Makalah Ilmiah. Fak. Pertanian. Univ. Bengkulu

47
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Kasim, Ma’ruf. 2006. Kawasan Mangrove dan Konsep Ecotorism. http//www


ecoutorisem.org (Diakses tanggal 26 Maret 2011)
Kusmana, C. 2005. Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan Pantai Pasca
Tsunami di NAD dan Nias. Makalah dalam Lokakarya Hutan
mangrove Pasca sunami, Medan, April 2005
MacNae, W. 1968. A General Account of the Fauna and Flora of Mangrove
Swamps and Forests in the Indo-West-Pacific Region. Adv. mar. Biol.,
6: 73-270.

Maulida S, Dony Apdillah, Andi Zulfikar. 2013. Kesesuain Pengembangan


Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat di Desa Malang Rapat.
Muflih A, Achmad Fahrudin, Yusli Wardianto, 2015. Kesesuaian dan daya dukung
Wisata Pesisir Tanjung Pasir dan Pulau Untung Jawa. Jurnal Ilmu
Pertanian Indonesia. Vol. 20 (2). Hal 141-149.
Noor, Y.R., Khazali, M. dan Suryadiputra, I. N. N. 1999. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. PKA/ WI-IP, Bogor
Nirarita, Ch. E. 1994. Hutan Mangrove: Antara Nilai Ekonomi dan Fungsi Ekologi.
Warta Konservasi Lahan Basah. Vol. 2 No. 1.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia,
Jakarta.
Orams M. 1999. Marine Tourism. Development, Impact and Management.
Routledge. London and New York.
Peristiwady, T. 2006. Ikan-Ikan Laut Ekonomis Penting Di Indonesia. LIPI Press.
Jakarta
Ratnayake. 2011. A Collaborative Approach Between Tourism and Coastal
Communities: A Present-Day Need and Opportunity for Mangrove
Management and Conservation in Sri Lanka. Tourism Planning and

Rusila Noor, Y. 1991. Laporan Penyigian Burung Air di Sumatera Selatan dan
Jambi. PHPA/Asian Wetland Bureau, Bogor.
Rizka M, 2010. Upaya Pelestarian Hutan Mangrove Berdasarkan Pendekatan
Masyarakat. Makalah Ilmiah. Fak. Pertanian. Univ. Bengkulu
Saenger, P., E.J. Hegerl & J.D.S. Davie. 1983. Global Status of Mangrove
Ecosystems. IUCN Commission on Ecology Papers No. 3, 88 hal.
Soerianegara, I. 1987. Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan
Mangrove. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Jakarta. Hal 39.
Supriharyono, M. S. Dr. Ir. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

48
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Subadra, IN 2008. Akademi Pariwisata Triatma Jaya-Dalung http//Bali Tourism


Watch Ekowisata sebagai Wahana Pelestarian Alam « Welcome to
Bali Tourism Watch.htm [diakses tanggal 4 April 2011].
Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Brilian Internasional.
Surabaya.
Tomlinson, P.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press,
Cambridge, U.K., 419 hal.
Yulianda, F. 2006. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya
Pesisir Berbasis Konservasi. Makalah Seminar Sehari Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Laut, Institut Pertanian Bogor.
van Steenis, C.G.G.J. 1958. Ecology of Mangroves. Introduction to Account of the
Rhizophoraceae by Ding Hou, Flora Malesiana, Ser. I, 5: 431- 441.
Wightman, G.M. 1989. Mangroves of the Northern Territory. Northern Territory
Botanical Bulletin No. 7. Conservation Commission of the Northern
Territory, Palmerston, N.T., Australia.
Zakai D, Nanette E and Furman C. 2001. Impact of Intensive Recreational Diving
on Reef Coral at Eilat, Northen Red Sea. Biological Conservation.
105:179–187

49
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

ANALISIS KANDUNGAN BAHAN ORGANIK DAN


BAKTERI Patogen (E. coli) DI PELABUHAN BASTIONG DAN
PANTAI KAYU MERAH KOTA TERNATE

Obstetrical Analysis of Organic Materials and Bacterium of Pathogens (E.


coli) in Port of Bastiong and Red Coast Wood of Town at Ternate

Inayah
Pengajar Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Khairun, Ternate
inaicaila@gmail.com

ABSTRAK
Wilayah perairan pantai dalam pembangunan dewasa ini menjadi pusat perhatian
dan cenderung meningkat penggunaannya. Dengan adanya pengaruh aktivitas dari
darat, bisa menimbulkan pencemaran yang tentunya berdampak negative terhadap
kualitas lingkungan. Limbah organic selama ini merupakan bagian utama yang
masuk dan menumpuk pada perairan pantai. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis kandungan bahan organic dan bakteri pathogen (E. coli) serta melihat
hubungan kedua parameter tersebut. Penelitian ini dilaksanakan kurang lebih 1
bulan. Pelaksaan kegiatan penelitian dilakukan di Pelabuhan Bastiong dan Pantai
Kayu Merah Kota Ternate Provinsi Maluku Utara. Pengamatan parameter untuk
BOD, COD, TSS, Bahan organic Terlarut dan bakteri Escherichia coli .Untuk
pengamatan parameter BOD, COD, TSS, Bahan organic Terlarut dan bakteri
Escherichia coli di lakukan di Laboratorium Produktifitas dan Kualitas Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Sedangkan untuk pH, suhu dan salinitas dilakukan secara insitu. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa konsentrasi tertinggi bahan organic didapatkan pada stasiun
1 Titik 2, demikian pula halnya dengan bakteri yang didapatkan dalam jumlah besar
pada stasiun tersebut. Sedangkan pada Stasiun 2 Titik 2 didapatkan jumlah bahan
organic yang paling rendah dan begitu pula dengan jumlah bakterinya. Tingginya
kandungan bahan organic pada Stasiun 1 disebabkan karena pada stasiun ini
terdapat industry PLN yang menghasilkan buangan limbah berupa minyak yang
dapat menyebabkan peningkatan bahan organic di perairan.
Kata kunci : Escherichia coli, Bahan Organik Terlarut, Organik, Anorganik

ABSTRACT
Coastal waters in development today become the center of attention and are likely
to increase their use. With the influence of activity on the ground, could cause
contamination which would impact negatively on the quality of the environment.
Organic waste has been a major part of incoming and accumulate in coastal
waters. This study aimed to analyze the content of organic material and bacterial

50
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

pathogens (E. coli) and see the relationship between both parameters. This study
was conducted approximately one month. Implementation of research activities
conducted at the Port Bastiong and Coastal Redwoods Ternate of North Maluku
province. Observation parameters for BOD, COD, TSS, dissolved organic material
and bacteria Escherichia coli . For observation parameters BOD, COD, TSS,
dissolved organic material and bacteria Escherichia coli was conducted in the
Laboratory Productivity and Water Quality of Faculty of Fisheries and Marine
Sciences University of Hasanuddin, Makassar, As for pH, temperature and salinity
performed insitu. The results showed that the highest concentration of organic
material obtained at station 1 point 2, so does the bacteria obtained in large
quantities at the station. While at Station 2 point 2 obtained the most number of
organic materials is low and so is the number of bacteria. The high content of
organic material at Station 1 is because in this station are PLN industry that
produces waste disposal in the form of oil which can lead to increased organic
matter in the water.
Keywords : Escherichia coli, Dissolved Organic Materials, Organic, Inorganic

PENDAHULUAN
Wilayah perairan pantai dalam pembangunan dewasa ini menjadi pusat
perhatian dan cenderung meningkat penggunaannya. Keadaan ini disebabkan
semakin terbatasnya ketersediaan lahan perkotaan, sehingga penanaman modal
mengarah kewilayah pesisir. Dengan adanya pengaruh aktivitas dari darat, bisa
menimbulkan pencemaran yang tentunya berdampak negative terhadap kualitas
lingkungan. Limbah organic selama ini merupakan bagian utama yang masuk dan
menumpuk pada perairan pantai. Pada dasarnya limbah organic dapat berupa
limbah domestic yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan rumah tangga seperti
bilasan cucian, bangkai hewan dan tumbuhan, limbah pestisida pertanian, usaha
budidaya tambak maupun buangan kegiatan hatchery.
Pelabuhan Bastiong dan Pantai Kayu Merah dimanfaatkan oleh penduduk
antara lain sebagai tempat permandian dan renang, industry (water boom dan PLN),
tempat berlabuhnya kapal-kapal baik nelayan maupun kapal penumpang antar
pulau serta para abk kapal melaksanakan aktivitas mencuci dan mandi di atas kapal
serta tempat wisata . Sebagai konsekuensinya perairan tersebut mendapat banyak
masukan bahan organic utamanya berasal dari aktivitas-aktivitas tersebut.

51
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Adanya bahan organic di perairan sangat dibutuhkan bagi kelangsungan


hidup di ekosistem tapi bahan organic yang melimpah dapat menimbulkan efek
buruk bagi perairan dan kesehatan manusia. Efek buruk yang timbul akibat bahan
organic yang melimpah di perairan yaitu kekeruhan, berkurangnya oksigen terlarut
serta dapat memicu munculnya bakteri pathogen termasuk bakteri E. coli
Kelompok bakteri diatas terdapat dalam usus manusia dan hewan berdarah
panas yang dapat berkembang biak di dalam sewage dan air permukaan. Kehadiran
bakteri Coliform di lingkungan perairan dapat dipakai sebagai bakteri indicator
pencemar, karena bakteri Coliform bersifat pathogen opportunis yaitu bakteri yang
kadang-kadang menimbulkan penyakit (Feliatra, 2001).
Letak Kota Ternate di wilayah pesisir khususnya di pelabuhan Bastiong dan
Pantai Kayu Merah banyak dimanfaatkan oleh penduduk antara lain sebagai tempat
permandian dan renang, tempat berlabuhnya kapal-kapal baik nelayan maupun
kapal penumpang antar pulau serta para abk kapal melaksanakan aktivitas mencuci
dan mandi di atas kapal serta tempat wisata yang pada akibatnya dapat
menimbulkan banyaknya hasil buangan baik berupa limbah organic maupun
anorganik. Banyaknya limbah organic di perairan dapat menyebabkan terjadinya
penurunan kualitas perairan sehingga menyebabkan peningkatan tingkat
pencemaran perairan.
Banyaknya limbah diperairan juga memacu meningkatnya kandungan
bahan organik dan bakteri Escherichia coli di perairan. Efek yang buruk yang
timbul akibat bahan organik yang melimpah diperairan yaitu kekeruhan,
berkurangnya oksigen terlarut. Sedangkan dampak negatif banyaknya bakteri
Escherichia coli di tempat wisata pantai dapat mengakibatkan penyakit terhadap
manusia.
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kandungan bahan organic dan
bakteri pathogen (E. coli) serta melihat hubungan kedua parameter tersebut.
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai bahan informasi dalam upaya
pengendalian pencemaran di perairan pantai Kota Ternate utamanya di perairan
Bastiong dan Pantai Kayu Merah.

52
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan kurang lebih 1 bulan. Pelaksaan kegiatan
penelitian dilakukan di Pelabuhan Bastiong dan Pantai Kayu Merah Kota Ternate
Provinsi Maluku Utara. Pengamatan parameter untuk BOD, COD,TSS ,Bahan
organic Terlarut dan bakteri Escherichia coli .
Untuk pengamatan parameter BOD, COD,TSS ,Bahan organic Terlarut dan
bakteri Escherichia coli di lakukan di Laboratorium Produktifitas dan Kualitas
Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Sedangkan untuk pH, suhu dan salinitas dilakukan secara insitu.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Alat-alat yang digunakan selama penelitian
No Nama Alat Kegunaan
1 Botol gelap Tempat sampel
2 Botol sampel Tempat sampel
3 Coll box Tempat menyimpan sampel
4 DO meter Untuk mengukur DO
5 pH meter Untuk mengukur nilai pH
6 Thermometer Untuk mengukur suhu
7 Handrefraktometer Untuk mengukur salinitas
8 GPS (Global Positioning Untuk menentukan spot
System) pengamatan
9 Cawan Goch Untuk menyaring
10 Oven Untuk pemanasan
11 Desikator Pendingin
12 Neraca analitik Timbangan
13 Penjepit/pinset Untuk menjepit kertas saring
14 Erlenmeyer 250 ml Tempat sampel
15 Gelas Ukur 100 ml Mengukur larut
16 Labu ukur Mengukur larut

53
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

17 Buret 50 ml Mengukur larut


18 Pipet skala 2 ml Mengukur larut
19 Pipet skala 10 ml Mengukur larut
20 Gelas Piala 100 ml Tempat sampel
21 Pipet Godok 10 ml Mengukur larut

Tabel 3. Bahan-bahan yang digunakan selama penelitian, adalah :


No Nama Bahan No Nama Bahan
1 Kertas saring 8 Larutan Kalium Dikromat
2 Air suling 9 Fero Alumunium Sulfat (FAS)
3 Larutan MnSO4 10 Indikator Ferroin
4 Larutan Alkaliodida azida Aquades
11
(NaOH-KI)
5 Asam Sulfat Pekat (H2SO4) Kristal Natrium Tiosulfat
(Na2S2O35H2O)
6 Larutan Indikator Kanji 2%

Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Penelitian deskriptif
merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi
mengenai suatu variable atau tema, gejala atau keadaan yang ada yaitu keadaan
gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Pendekatan yang
dilakukan melalui pendekatan kualitatif yang didukung oleh data-data kuantitatif.
Pengukuran Parameter Lingkungan
Data penunjang perlu dilakukan pengukuran parameter lingkungan seperti
DO, suhu, pH, salinitas, kecerahan dan kecepatan arus dengan ulangan sebanyak 3
kali untuk masing-masing parameter.
a. DO (Dissolved oxygen) dengan menggunakan DO meter
 DO meter dicelupkan ke dalam air selama beberapa detik
 Lalu dilakukan pembacaan skala
b. Suhu, pH dan salinitas dengan menggunakan Horiba
 Alat horiba dicelupkan ke air selama beberapa detik

54
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

 Kemudian ditekan tombol power alat horiba untuk dibaca skala yang
sesuai dengan pengukuran parameternya
 Dipindahkan ke parameter suhu dengan menekan tombol select, dan
dibaca skala yang tertera
 Dipindahkan ke parameter pH dengan menekan tombol select, dan
dibaca skala yang tertera sesuai dengan pergerakan air raksa
 Dipindahkan ke parameter salinitas dengan menekan tombol select, dan
dibaca skala yang tertera.
Teknik Analisis Data
Menghitung bakteri
I
MPN = 𝑁𝐼𝑙𝑎𝑖 𝑀𝑃𝑁 (𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙)𝑥
Faktor Pengenceran tengah

Menghitung kandungan BOT (Bahan Organik Terlarut)


I(x − y)x 31,6 x 0.01 x 1000
BOT =
ml contoh
dimana : x = ml titran untuk air contoh
y = ml titran untuk aquadest

Menghitung kandungan BOD


BOD = DO1 – DO5

Menghitung kandungan COD

(B − S)x 8 x 0.025x 1000


COD =
ml contoh

Menghitung kandungan TSS

1000
TSS = (𝐴 − 𝐵)
ml contoh

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hubungan antara Bakteri dan Bahan Organik
Menurut Laboratorium Aquatic Departement Makassar (dalam Massinal,
2004), bahwa kandungan bahan organic berada di bawah 50 ppm dapat mendukung
kehidupan biota, sedangkan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan

55
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Hidup tentang Baku Mutu Air Laut Nomor 51 Tahun 2004 bahwa Total Coliform
yang sesuai untuk perairan (untuk wisata bahari adalah 200 /(g).
Tabel 4. Hasil pengamatan sampel air di Laboratorium

STASIUN
No Parameter Satuan
1.1 1.2 2.1 2.2
Fisik
Total
1 Suspended ppm 6 4 4 4
Soil (TSS)
Kimia
2 pH ppm 7.77 7.71 7.85 7.87
Dissolved
3 ppm 7.82 7.82 7.46 7.46
Oxygen (DO1)
Dissolved
4 ppm 1.9 1.9 1.9 2,6
Oxygen (DO5)
Biological
5 Oxygen ppm 5.3 5.9 5.5 4.89
Demand
Chemical
6 Oxygen ppm 36 82 24 22
Demand
Bahan
7 Organik ppm 103.65 269.86 36.024 27.808
Terlarut
Mikrobiology
Colony/100
8 E. coli 410 1100 75 28
ml

Tabel 5. Hasil pengukuran parameter lingkungan perairan

Parameter STASIUN
No Satuan
Kualitas Air 1.1 1.2 2.1 2.2
1 Salinitas ppt 35 35 35 35
2 pH 7.54 7.54 7.65 7.65
o
3 Suhu C 37 37 35 35
4 Dissolved ppm 7.82 7.82 7.46 7.46
Oxygen

56
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Tabel 4 memperlihatkan bahwa konsentrasi tertinggi bahan organic


didapatkan pada stasiun 1 Titik 2, demikian pula halnya dengan bakteri yang
didapatkan dalam jumlah besar pada stasiun tersebut. Sedangkan pada Stasiun 2
Titik 2 didapatkan jumlah bahan organic yang paling rendah dan begitu pula dengan
jumlah bakterinya. Hal tersebut disebabkan oleh unsur-unsur atau senyawa-
senyawa bahan organic yang didegradasi oleh bakteri digunakan sebagai sumber
energy untuk pertumbuhan dan perkembangan sel. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan (Effendie, 2003) bahwa selain factor lingkungan yang berpengaruh
terhadap degradasi bahan organic adalah ketersediaan nutrisi. Selanjutnya
dikatakan bahwa nutrisi yang penting untuk keperluan metabolisme bakteri untuk
aktivitas hidupnya adalah (a) karbon, yang merupakan sumber energy dalam proses
metabolisme dan perbanyakan sel, (b) Nitrogen, merupakan unsure pokok dalam
pembentukan protein dan asam nukleat dan komponen sel lainnya, (c) fosfor
merupakan unsure yang diperlukan untuk pertumbuhan dan reproduksi bakteri serta
dapat mendorong kemmapuan bakteri untuk membentuk vitamin yang berfungsi
sebagai factor tumbuh, (d) sulfur, merupakan unsure yang diperlukan untuk
pembentukan asam amino. Kesemua unsure tersebut umumnya terdapat pada bahan
organic.
Bahan organic yang masuk ke perairan akan mengalami proses penguraian
oleh mikroba. Proses penguraian tersebut disertai dengan proses oksidasi
(penambahan oksigen pada atau penghilangan hydrogen dari atau melalui proses
reduksi (penghilangan oksigen atau penambahan hydrogen) pada molekul organic
tersebut yang dapat terjadi secara bergantian atau secara bersamaan. Proses oksidasi
lebih efisien atau lebih baik jika oksigen tersedia di kolom perairan tersebut.
Kebutuhan pemakaian oksigen oleh mikroba untuk proses biodegradasi bahan
organic sangat penting dalam system perairan alami. Ketika pemanfaatan oksigen
dari atmosfer atau dari proses fotosintesis alga maka kondisi anaerobic yang
memberikan efek buruk pada system ekologi dapat terjadi.
Tingginya kandungan bahan organic pada Stasiun 1 disebabkan karena pada
stasiun ini terdapat industry PLN yang menghasilkan buangan limbah berupa
minyak yang dapat menyebabkan peningkatan bahan organic di perairan. Hal ini

57
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

sejalan dengan pernyataan Supriharyono (2002) bahwa minyak merupakan bahan


yang terbentuk dari bahan organic maupun anorganik.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh selama penelitian ini berlangsung maka
didapatkan kesimpulan bahwa :
1. Hasil pengukuran bahan organic menunjukkan nilai yang tinggi pada Stasiun 1
titik 1 yaitu 269.86 dan nilai yang terendah terdapat pada Stasiun 2 titik 2
dengan nilai 27.808.
2. Kandungan bakteri yang didapatkan pada stasiun 1 titik 2 sudah melampaui
baku mutu yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 51
Tahun 2004.
3. Semakin tinggi bahan organic jumlah bakteripun semakin meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Arisandi, Prigi., 2005. Solusi Polusi. http://www.ecoton.or.id/tulisan


lengkap.php?id=1588. Diakses pada tanggal 30 Desember 2014.
Effendie Hefni, 2003. Telaah Kualitas Air. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Feliatra, 2001. Buku Ajar Mikrobiologi Laut. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan, Universitas Riau.
Givin Mike dan Jan McGee., 2005. Total Suspended Solids. Tippecanoe
Enviromental Lake and Watershed Foundation. North Webster.
http://www.telwf.org/watertesting/suspendedsolids.htm. Diakses
tanggal 20 Oktober 2015.
Monoarfa, W., 2002. Dampak Pembangunan Bagi Kualitas Air di Kawasan Pesisir
Pantai Losari. http://www.pascaunhas.net. Diakses tanggal 25
Oktober 2015.
Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Pesisir
Tropis . PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Suriawiria U., 2007. Mikrobiologi Air Pengolah Buangan Secara Mikrobiologis.
Laporan Hasil Penelitian, ITB Bandung.
Salle A., 1961. Fundamental Principles of Bakteriologis. University of Californis
Los Angeles, Mc. Grow Teill Book Compani, Inc. New York
W. Lay Bibiana dan Sugyo, 1992. Mikrobiologi. PAU-Bioteknologi, IPB. Bogor

58
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Wididana, G.N dan M. Muntoyah, 2005. Teknologi EM-4 Dimensi Baru Dalam
Bidang Pertanian Modern. Materi Pelatihan Pertanian Terpadu
dengan Teknologi EM-4. Institute Pengembangan Sumber Daya
Alam (IPSA), Jakarta.

59
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

PENGARUH EKSTRAK BIOAKTIF FENOLIK


KULIT BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa Boerl) SEBAGAI
IMMUNOSTIMULAN TERHADAP JARINGAN INSANG IKAN MAS
(Cyprinus carpio L) YANG DIINFEKSI BAKTERI Aeromonas hydrophila

Effect Of Bioactive Phenolic Extract


Skin Fruit Mahkota Dewa (Phaleria Macrocarpa Boerl) As To The Network
Gills Immunostimulan Goldfish (Cyprinus Carpio L) Infected Bacteria
Aeromonas Hydrophila

Sudirto Malan
Pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Khairun

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pemberian bioaktif flavanoid ekstrak kulit
buah mahkota dewa, dengan dosis yang berbeda sebagai bahan immunostimulan
dapat meningkatkan sistem immun pada ikan mas (C.carpio). yang diinfeksi
bakteri A.hydrophila.. Untuk mengetahui gambaran histopatologi insang ikan mas
(C. carpio) sebelum dan setelah diinfeksi bakteri A. hydrophila. Metode eksperimen
yang dilakukan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui bioaktif fenolik kulit
buah mahkota dewa dengan ekstraksi bertingkat sebagai immunostimulan dengan
dosis yang berbeda di uji tantang pada ikan mas dengan sistem perendaman dapat
meningkatkan sistem immun dan bagaimana gambaran hematologi dan
histopatologi, pengukuran suhu, pH air dan Oksigen terlarut. Dalam penelitian ini
hasil spekrtom berada pada panjang gelombang yang tinggi, pada kisaran 370-410.
Hal ini menunjukan bahwa ekstraksi bertingkat dengan pelarut heksan (non polar)
aseton (semi polar) dan etanol atau air (polar) diperkirakan menghasilkan flavanoid
auron. Hasil perhitungan analisis sidik ragam menunjukkan masing-masing nilai F
hitung A (5%) lebih besar dari nilai F tabel A(5%) interaksi antara fraksi dan dosis
nilai F hitung AD (5%) lebih besar dari nilai F tabel AD(5%) Ini menunjukkan
bahwa pemberian perlakuan fraksi polar etanol dan fraksi polar air dari buah
mahkota dewa serta dosis yang berbeda pada ikan mas sangat berpengaruh atau
berpengaruh sangat nyata dapat menekan tingkat kerusakan pada insang ikan mas.

Kata kunci : Flavanoid, Mahkota Dewa, C. carpio, A.hydrophila

ABSTRACT
The object of this research is to find out the application of Mahkota Dewa fruit skin
flavonoid bioactive, with different doses as immunostimulant substance can
increase the immune system of common carp (C scorpio) infected by A hydropilia
bacteria. to find out histopathological description of common carp(C scorpio) gill
and kidney before adn after infected by A, hydrophilia bacteria. The experiment
method used in this research is to find out Mahkota Dewa fruit skin pheonolic

60
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

bioactive with multilevel extraction as immunostimulant with different doses, and


then it is challenge tested on common carp with immersion system can increase its
immune system and how are the hematological and histopatological description,
temperature measuring, Water pH and dissolved oxygen. In the research, specrtom
result is at high wave length, at approximately 370-410. The matter of this show
taht multilevel extraction with hexane (non polar) acetone (semi polar) and ethanol
or water (polar) solvent are expected to produce aurone flavaniod. Calculation
result of analysis of variance indicates each of F count A (5%) values. Interaction
between fraction and doses of F count AD (5%) value is larger then F indicates that
application of Mahkota Dewa fruit ethanol polar fraction and water polar fraction
treatment as well as in different? doses on common carp are very effective or
obviously effective toward the number of erythocyte and leucocytes. Application
of ethanol polar fraction and water polar fraction phenolic as immunostimulent are
able to suppress the damage level of common carp gills .

Keywords : Flavanoid, Mahkota Dewa, C. carpio, A.hydrophila

PENDAHULUAN
Ikan mas (Cyprinus. carpio) merupakan salah satu spesies ikan air tawar
yang banyak dibudidayakan baik untuk pembenihan maupun pembesaran. Ikan
mas merupakan ikan pemakan segala (omnivor) dan dapat dibudidayakan dengan
berbagai sistem budidaya antara lain sistem kolam air deras, kolam air tergenang,
dan karamba jaring apung. Potensi budidaya ikan mas sangat besar karena
pemeliharaannya tidak sulit, pertumbuhannya relatif cepat, dan mempunyai
pasaran yang cukup luas (Endhay, 2006).
Swann dan White (1989) Menjelaskan penyakit yang disebabkan oleh
Aeromonas hydrophila akan mewabah apabila daya tahan tubuh ikan menurun
akibat stress dan penurunan kualitas lingkungan. Gejala ikan yang terserang
bakteri ini akan menampakkan tanda-tanda seperti warna kulit berubah menjadi
gelap, kulit kasat, dan timbul pendarahan. Kemampuan berenang ikan menjadi
turun dan sering tersengal-sengal dipermukaan, hal ini disebabkan karena
kerusakan insang sehingga ikan sulit bernafas. Serangan bakteri yang lebih parah
akan menyebabkan pendarahan pada organ dalam, seperti ginjal, hati, jantung,
dan limfa. Kondisi ini membuat perut ikan mengalami dropsy atau kembung.
Kondisi ini berlanjut sampai seluruh sirip ikan menjadi rusak dan insang

61
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

berwarna keputih-putihan. Pada mata ikan juga mengalami kerusakan dan agak
menonjol atau excopthamia (Munajat dan Budiana, 2003).
Pencegahan dan pengobatan penyakit ikan selama ini menggunakan bahan
kimia dan antibiotik. Penggunaan antibiotik dan bahan kimia secara terus menerus
dapat menimbulkan efek samping baik terhadap lingkungan maupun manusia
sebagai konsumen. Pemberian antibiotik secara berlebihan dapat menyebabkan
resistennya mikroorganisme patogen, dan bahkan dapat menimbulkan galur baru;
sedangkan bahan kimia dapat merusak lingkungan yang sulit didegradasi
(Baticados dan Paclibare, 1992).
Alternatif lain penanggulangan penyakit adalah menggunakan
immunostimulan. Immunostimulan adalah zat kimia, obat-obatan, stressor, atau
aksi yang meningkatkan respon immune non spesifik atau bawaan (innate
immune respon) dengan berinteraksi secara langsung dengan sel dari sistem yang
mengaktifkan respon immune bawaan tersebut. Immunostimulan adalah zat-zat
yang dapat meningkatkan respon immune (acquired immune respon), tetapi
meningkatkan respon immune non spesifik baik melalui mekanisme pertahanan
humoral maupun selular (Sakai, 1999). Ikan telah diketahui lebih mengandalkan
mekanisme sistem kekebalan non spesifiknya atau bawaan (innate immune
system) dari pada sistem kekebalan spesifiknya atau adaptif (Anderson, 1992)
Secara umum dijelaskan oleh Galindo dan Hosokawa (2004) ada 10
kelompok immunostimulan yaitu produk bakteri, jamur, ragi atau khamir, ikatan
partikel terlarut dengan β-glukan, glikan-polisakarida, kitin dan citosan,peptida
ekstrak tumbuhan dan hewan, bahan sintetis dan sitokinin.
Buah mahkota dewa merupakan salah satu bahan potensial yang dapat
digunakan sebagai immunostimulan karena bahan aktif mampu meningkatkan
sistem kekebalan tubuh dalam menghadapi patogen. Komposisi pada tanaman ini
terutama buahnya mengandung senyawa fenolik yang tinggi, disamping senyawa
alkaloid, saponin, fenolik hidrokuinon, tanin, steroid, mono terpen dan sesqui
terpen (Arini et al, 2003). Menurut Gotama et al (2006) dalam kulit buah mahkota
dewa terkandung senyawa alkaloid, saponin, dan flafanoid. sedangkan dalam
daunnya terkandung alkaloid, saponin, dan polyfenol.

62
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Menurut De Padua et al (1999) diantara senyawa alkaloid, saponin, fenolik


dan polifenol tersebut, fenolik mempunyai bermacam-macam efek, yaitu efek anti
tumor anti HIV, immunostimulant, antioksidan, analgesik (anti inflamasi), anti
virus, antibakteri, antifugal, antidiare, antihepatotoksik, antihiperglikermik, dan
sebagai vasodilator. Menurut Suhirman dan Winarti (2010) senyawa-senyawa yang
mempunyai prospek cukup baik yang dapat meningkatkan aktivitas sistem
imun biasanya dari golongan fenolik, kurkumin, limonoid, vitamin C, vitamin E
(tokoferol) dan katekin. Hasil test secara in vitro dari favonoid golongan
flavones dan avonols telah menunjukkan adanya respon imun (Hollman et al.,
1996).
Demikian pula yang dinyatakan oleh Gotama et al (2006) senyawa fenolik
yang terkandung dalam buah mahkota dewa memiliki efek immunostimulan yang
dapat digunakan untuk melawan infeksi bakteri patogen intraseluler seperti
salmonella typhimurium melalui peningkatan fagositosis.
Saat ini tanaman terutama buah mahkota dewa banyak digunakan sebagai
obat tradisional baik secara tunggal maupun dicampur dengan obat-obatan lainnya,
akan tetapi belum banyak penelitian yang dilakukan khususnya mengenai
pemanfaatan jenis ini sebagai kandidat immunostimulan pada ikan mas.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian bioaktif fenolik ekstrak kulit buah
mahkota dewa sebagai bahan immunostimulan untuk meningkatkan sistem
immun pada ikan mas (C.carpio).
2. Untuk mengetahui berapa dosis bioaktif fenolik ekstak kulit buah
mahkota dewa yang efektif untuk meningkatan sistem immun pada ikan
mas (C. carpio) yang diinfeksi bakteri A.hydrophila.
3. Untuk mengetahui gambaran histopatologi insang ikan mas (C. carpio)
sebelum dan setelah diinfeksi bakteri A. hydrophila

63
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari Bulan Nopember 2010 sampai Januari 2011.
Penelitian ini dilakukan di tiga Laboratorium pada Universitas Brawijaya Malang
yaitu : Laboratorium Biokimia Organik, Fakultas MIPA , Laboratorium Parasit dan
Penyakit Ikan Fakultas Perikanan, dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas
Kedokteran.
Ektraksi Kulit Buah Mahkota Dewa
Ekstrak senyawa bioaktif dari buah mahkota dewa menggunakan metode
maserasi bertingkat. sebanyak 1.Kg sampel kering diekstrasi secara maserasi
bertingkat menggunakan pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Maserasi
pertama digunakan pelarut non polar heksana 2 liter selama 24 jam kemudian
disaring. Maserasi kedua dengan pelarut aseton semi polar 2 liter selama 24 jam.
Setelah itu ampas disaring dan dikeringkan hingga terbebas dari pelarut aseton.
Sampel di bagi 2 dan dimaserasi kembali dengan etanol (polar) 1:3 dan dimaserasi
dengan air (polar) 1:3 selama 24 jam, kemudian disaring dan filtratnya di pekatkan
dengan rotary vacum evaporator pada suhu 60-700C sampai diperoleh ekstrak pekat
(Pambayun et al, 2007)
Perendaman dalam Senyawa Fenolik Kulit Buah Mahkota
Ikan mas diaklimatisasi terlebih dahulu 7 hari. Media (air) sebelum
digunakan telah ditretment terlebih dahulu dengan pemberian 5 ml chlorin dalam
akuarium volume 30 liter selama 3 hari, kemudian diberikan 5 ml Na.thiosulfat
untuk menghilangkan toksik dari efek pemberian chlorin. Sebelum ikan di rendam
pada akuarium yang berbeda, senyawa fenolik kulit buah mahkota dewa terlebih
dahulu diencerkan dengan dosis 0,01, 0,015 dan 0,02 ppm dengan rumus
pengenceran (N1.V1= N2. V2).
Uji Tantang Dengan Bakteri A. hydrophila
Uji tantang/diinfeksi dilakukan 3 hari setelah pengambilan darah pertama.
Proses infeksi dilakukan dengan cara perendaman ikan mas pada aquarium berbeda
yang telah diisi bakteri A. hydrophila dengan kepadatan 10750-6 jam sel/ml,

64
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

HASIL DAN PEMBAHASAN


Ekstrak
Dalam penelitian ini telah dilakukan identifikasi senyawa fenolik dari fraksi
polar etanol dan fraksi polar air pada kulit buah mahkota dewa, ekstrasi
menggunakan metode ekstrasi bertingkat dengan kepolaran pelarut non polar, semi
polar dan polar.
Dalam penelitian ini hasil spekrtofotometer UV-Vis, fraksi polar etanol
berada pada panjang gelombang yang tinggi 380 nm. Untuk fraksi polar air berada
pada panjang gelombang yang tinggi 385 nm. Hal ini menunjukan bahwa kedua
fraksi tersebut menghasilkan flavanoid auron yang merupakan bagian dari
flavanoid dan turunan dari fenolik. Menurut (Markham 1980) Flavanoid auron
dapat dideteksi dengan spekrtofotometer UV-Vis pada panjang gelombang antara
370-410. Grafik hasil spektrom dapat dilihat pada Gambar 1., dan total fenolik
dapat dilihat pada tabel 1.

Gambar 1. Spektro UV-Vis senyawa fenolik buah mahkota dewa


Tabel 1. Data Total fenolik
Ekstrak polar buah mahkota dewa Total Fenolik (mg/L)
Pelarut etanol 98,622
Pelarut air 17,178

Gambaran Histotologi Insang Ikan Mas Sebelum Diinfeksi


Hasil penelitian, insang ikan mas tanpa perlakuan/kontrol (K0). dan dosis
D1,D2,D3 terlihat normal. karena memiliki lamela, terdapat ruang antara lamela,

65
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

tulang rawan penopang, sel interlamela dan sel mukus. Menurut Fujaya (2004)
insang normal terdapat filament insang yang terdiri atas banyak lamella, yang
merupakan tempat pertukaran gas.. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.
Tabel 2 kerusakan insang ikan mas sebelum dan setelah diinfeksi
Kerusakan Kerusakan
insang ikan mas insang ikan mas
Pelarut Dosis Jumlah Sel
sebelum setelah diinfeksi
diinfeksi (%) (%)
Kontrol (K) 0. ppm (D1) 75 - 44.0
0,01. ppm
73 - 5,40
(D2)
Fraksi Polar
0.015 ppm
Etanol 74 - 1,35
(D3)
(A1)
0.02. ppm
73 -
(D4)
0,01. ppm
73 - 4,10
(D2)
Fraksi Polar
0.015 ppm
Air 73 - 1,36
(D3)
(A2)
0.02. ppm
74 - 1,35
(D4)

K 1 4 E
P
p
l
K P E
l p
2 3 5

Keterangan: D. Perlakuan 1. Lamela. 2. Ruang anta lamela, 3. Tulang rawan


penopang 4. Sel interlamela. 5. Sel mukus Pl. Sel pilar Ep. Sel epitel
Gambar 2. Insang Ikan Mas Sebelum Diinfeksi (pembesaran (400).

Gambaran Histopatologi Insang Ikan


Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 6. Ikan mas setelah diinfeksi bakteri
A.hydrophila. Pada perlakuan D1,D2,D3 terjadi pembengkakan pada
lamela/Edema (1), sedangkan pada K-, terjadi kerusakan seperti edema(1),
hyperplasia (2), fusi lamela (3) autropi (4) dan neokrisis (4). Jumlah kerusakan yang
diamati pada insang ikan kontrol (K-) 44,0%. pada perlakuan dosis D1 (5,40% dan

66
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

4,10%) D2 (1,35% dan 1,35%) D3 (0, dan 1,35%). Kerusakan ini menunjukan
terjadi perubahan patologis akibat infeksi bakteri A.hydrophila. Hal ini disebabkan
organ insang merupakan salah satu organ yang paling rentan terhadap infeksi
karena berhubunhan langsung dengan air yang mengandung bakteri tersebut.
Menurut Murjani (2002) insang merupakan organ respirasi yang secara langsung
berhubungan dengan lingkungan perairan. Pada waktu ekspirasi, air mengalir
menyebabkan lamela primer melentang, sehingga lamela sekunder saling
bersentuhan. Air yang telah mengandung bakteri langsung menyentuh lamela,
kemudian masuk kekapiler darah dan merusak jaringan yang dilaluinya.
Kerusakan yang terjadi pada lamela disebabkan adanya infeksi bakteri
A.hydrophila. Pada kondisi ini terjadi pembengkakan atau sel-sel epitel membesar
sehingga ruang-ruang antara lamela tertutup dan meneyebabkan terganggunya
proses pertukaran gas-gas dan ion pada lamela sehingga sistem respirasi pada
insang terhambat. Mahardika et.al (2004), mengatakan bahwa membesarnya sel-sel
pada insang disebabkan adanya proses edema dan hipertropi yang dibuktikan pada
ikan Kerapu Macan yang terinfeksi Iridofirus.
Pada penelitian ini juga menunjukkan adanya edema, hyperplasia, dan
hipertropi yaitu penimbunan cairan yang berlebihan diruang interseluler sekaligus
peningkatan ukuran sel pada lamella sekunder. Hipertropi pada insang disebabkan
adanya perkembangan dan penumpukan virion yang berkembang dalam inti sel.
Perkembangan ini akan menyebabkan inti sel bergerak kepinggir, kemudian terjadi
kariolisis yang pada akhirnya sel akan lisis. Inti sel yang membengkak akan
menekan cairan sel, tekanannya yang besar terhadap dinding sel melebihi toleransi
dinding sel akan menyebabkan sel pecah dan lisis (Alifudin et.al,2004).

Insang ikan tanpa Insang ikan dengan


perlakuan (K-), setelah perlakuan, setelah diinfeksi
diinfeksi

67
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Edema pada insang Hyperplasia pada


insang

1 2

Fusi lamela pada insang Neokrisis pada insang

3
4

Atropi pada insang

Keterangan: D. Perlakuan 1. Edema 2. Hyperplasia 3.Fusi lamela


4. Neokrisis 5. Autropi
Gambar 3. Insang Ikan Mas Setelah Diinfeksi (pembesaran (400)

Imunostimulan adalah senyawa tertentu yang dapat meningkatkan


mekanisme pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik, baik seluler
maupun humoral. Sel tujuan paramunitas adalah makrofag, granulosit, limfosit T;
karena induktor paramunitas ini terutama menstimulasi mekanisme pertahanan
seluler (Widianto, 1987).
Gambaran Histologi Ginjal Ikan sebelum diinfeksi
Ginjal merupakan organ ekskresi pada semua hewan. Ginjal mengekskresi
produk metabolisme seperti ammonia dan mempunyai fungsi sebagai organ
ekskresi adalah nepron (unit terkecil ginjal) sebuah nepron tersusun dari badan
malphigi dan saluran kemih. Badan malphigi terdiri dari gromelurus dan kapsul
bowman. Pada badan malphigi dihasilkan urine sederhana (Us). Ketika urine
sederhana melewati saluran kemih, bahan bahan penting diserap kembali dan
bahan-bahan tidak penting mengalir keluar dari tempat ini (Sk). Regenerasi saluran
kemih (Rs). (Panigoro 2007)

68
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Kondisi histologi ginjal


ikan mas yang diberi fenolik fraksi polar etanol dan fenolik fraksi polar air sebagai
immunostimulan terlihat normal, dengan penampakan pancaran moduler, tubulus
proksimal (3), gromelurus (2), kapsul bowman (1) dan tubulus distalis.(Irianto,
2005).

SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka ada beberapa simpulan yang
dapat di ambil, diantaranya adalah ;
1. Dari hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa fenolik fraksi polar
etanol dan fraksi polar air dari kulit buah mahkota dewa merupakan salah satu
immunostimulan yang baik untuk ikan mas karena mampu meningkatkan
sistem immun pada ikan mas (C. carpio)
2. Dari hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa semakin tinggi dosis
fenolik fraksi polar etanol dan fenolik fraksi polar air buah mahkota dewa
sebagai immunostimulan , semakin baik untuk meningkatkat sistem immun
pada ikan mas (C. carpio) yang diinfeksi bakteri A.hydrophila.
3. Berdasarkan hasil penelitian, kondisi jaringan insang dan ginjal ikan mas
sebelum diinfeksi, pada dosis D1,D2,D3 terlihat normal, sedangkan setelah
diinfeksi pada jaringan insang terjadi kerusakan, tetapi tingkat kerusakan pada
dosis D1,D2,D3 relatif kecil kecuali pada (K-).
4. Pada insan normal masih memiliki lamela, terdapat ruang antar lamela, tulang
rawan penopang dan pada ginjal, dengan penampakan pancaran moduler,
tubulus proksimal, gromelurus, kapsul bowman dan tubulus distalis. Perubahan
pada jaringan insang dan ginjal antara ikan perlakuan dengan ikan tanpa
perlakuan hampir tidak memiliki perbedaan, karena jaringan tersebut
menunjukan bagian-bagian yang lengkap. Sedangkan pada saat setelah
diinfeksi A. hidrophila. semakin besar dosis yang diberikan semakin kecil
tingkat kerusakan pada insang dan ginjal ikan mas (C. carpio)

69
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

DAFTAR PUSTAKA

Arini S, Nurmawan D, Alfiani F, Hertiani T. 2003. Daya antioksidan dan kadar


flavonoid hasil ekstraksi etanol-air daging buah mahkota dewa
(Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.). Buletin Penalaran Mahasiswa
UGM, 10 (1): 2-6.
Baticados, M.C.L.E.R.Lavilla-Pitogo, L.D.Cruz-Lacierda de la Pena, and
N.A.Sunaz. 1990. Studies The chamical control of luminous bacteria
Vebrio harveyi and V. splendidus isolated from disaesed Penaeus
monodon larvae and rearing water. Dis Aquat. Org., 9:133-139
De Padua, L.S., Bunyapraphatsara, N. dan Lemmens, R.H.M.S., 1999. Plant
Resources of South East Asia. Medical and Poisonous Plants. Printed in
Bogor. Indonesia (PROSEA). Backhuys Publishers, Leiden, the
Netherlands, h. 36
Endhay. 2006. Prospek Pengembangan Potensi Perikanan dan Kelautan. Seminar
Nasional. MAI. Graha ITS, Surabaya
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rineka
Cipta. Jakarta
Gotama, I. B. I. , Sugiarto, S., Nurhadi, M., Widiyastuti, Y. Wahyono, S., Prapti,
I.J. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jilid V. Jakarta, Departemen
Kes. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 1999: 147-148.
Hollman. P.C.H., M.G.L. Hertog and M.B. Katan, 1996. Analysis and Health
Effects of Flavanoids. Food Chemistry, 57 (1) : 43
Irianto. A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gajah Mada University Press. Yogyakarta
256 hal
Markham. K.R. 1988. Cara mengidentifikasi Flafanoid, Terjemahan Kosasi
Padmawinata. ITB. Bandung
Munajat, A. dan N. S. Budiana. 2003 Pestisida Nabati Untuk Penyakit Ikan.
Penebar Swadaya. Jakarta. 88 hal
Murdjani, M. 2002. Identifikasi dan Patologi Bakteri Vibrio alginoliticus Pada Ikan
Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis). Disertasi. Program Pascasarjana.
Universitas Brawijaya. Malang.
Panigoro. 2007. Teknik Dasar Histologi dan Atlas Dasar-Dasar Histopatologi
Ikan. BBAT. Jambi
Swann, L. And M.R. White, D.V.M. 1989. Diagnosis and Treatment of”
Aeromonas hydrophila” Infection of Fish, A. Guide to Approved
Chemicals in Fish Production and Fishery Resouce Management,
University of Arcansas Cooperative Xtension Service.

70
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Suhirman dan Winarti. 2010. Prospek dan Fungsi Tanaman Obat sebagai
Imunomodulator. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
”Jurnal’ Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian

71
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

STUDI KOMUNITAS IKAN PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN


DI PERAIRAN LOLEOKECAMATAN WEDA SELATAN
KABUPATEN HALMAHERA TENGAH

Study On Community Fish Seagrass Ecosystems In Waters Loleo Weda


District South Central Kabupaen Halmahera

Sunarti1, Farjan Kaeli2, Rina1


1)
Pengajar Fakultas Perikanandan Ilmu Kelautan-UNKHAIR
2)
Mahasiswa Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK-
UNKHAIR
Email sunarti_palit@yahoo.co.id

ABSTRAK
Padang lamun merupakan ekosistem yang memiliki fungsi ekologis dan ekonomi.
Secara ekologi padang lamun berperan sebagai penangkap sedimen. Mengstabilkan
substrat dasar dan menjernihkan air, merupakan sumber produktivitas primer yang
mempunyai nilai produksi yang cukup tinggi. Selain itu padang lamun dapat
menjadi daerah asuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground)
serta daerah perlindungan bagi organisme-organisme laut seperti ikan, moluska,
penyu laut, dugong dan crustacea. Secara ekonomi lamun dapat dimanfaatkan
sebagai bahan dasar kertas, makanan ternak dan pupuk. Peneitian ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui jenis-jenis ikan yang tertangkap pada ekosistem
padang lamun di perairan Loleo, dan mengetahui struktur komunitas ikan yang
tertangkap pada ekosistem padang lamun di perairan Loleo. Penelitian ini
dilaksanakan di perairan Loleo kecamatan Weda Selatan Kabupaten Halmahera
Tengah, sedangkan waktu pelaksanaannya pada bulan Maret 2015. Proses
penangkapan ikan menggunakan jaring insang dengan panjang 200 meter dan lebar
1 meter dan ukuran mesh size 2,5 inchi. Jaring dioperasikan pada kedalaman 1,5-
2 meter pada waktu pasang dan waktu surut. Hasil tangkapan yang diperoleh
kemudian dibawa ke daratan untuk di determinasi berdasarkan petunjuk
Peristiwady (2006). Komposisi jenis ikan sebanyak 13 jenis yang terdiri dari 3 ordo
dan 9 famili yaitu : Caranx melampygus, Lutjanus fulvus, Hemiramphus sp,
Moolgarda perusi, Lethrinus obsoletus, Lethrinus miniatus, Hyposcarus longiceps,
Scarus quoyi, Plectorhynchu orientalis, Sphyraena barracuda, Siganus
canaliculatus, Siganus doliatus, dan Siganus spinus.
Kata Kunci: Komunitas Ikan, Padang Lamun, Perairan Loleo.

ABSTRACT
Seagrass ecosystems that have ecological and economic functions. Ecologically
seagrass beds serve as sediment catcher. Mengstabilkan base substrate and purify
the water, is a source of primary productivity that have a fairly high production
values. Additionally seagrass can be an area of care (nursery grounds), feeding
(feeding ground) as well as areas for the protection of marine organisms such as

72
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

fish, mollusks, sea turtles, dugong and crustaceans. Economically seagrass can be
used as a basic ingredient of paper, animal feed and pupuk.Peneitian was done in
order to determine the types of fish are caught in seagrass ecosystems in the waters
Loleo, and knowing the structure of fish communities are caught in seagrass
ecosystems in the waters Loleo , This research was conducted in the waters south
Loleo districts Weda Central Halmahera, while its execution time in March 2015.
The process of catching fish using gill nets with a length of 200 meters and a width
of 1 meter and 2.5-inch size of the mesh size. Nets operated at a depth of 1.5-2
meters at high tide and low tide. The catch obtained was then taken to the mainland
for in determination based on the instructions Peristiwady (2006). The composition
of species of fish as many as 13 species consist of three orders and 9 families are:
Caranx melampygus, Lutjanus fulvus, Hemiramphus sp, Moolgarda perusi,
Lethrinus obsoletus, Lethrinus miniatus, Hyposcarus longiceps Scarus quoyi,
Plectorhynchu orientalis, Sphyraena barracuda, Siganus canaliculatus, Siganus
doliatus, and Siganus spinus.
Keywords: Community Fish, Seagrass, Water Loleo.

PENDAHULUAN
Padang lamun merupakan ekosistem yang memiliki fungsi ekologis dan
ekonomi. Secara ekologi padang lamun berperan sebagai penangkap sedimen.
Mengstabilkan substrat dasar dan menjernihkan air, merupakan sumber
produktivitas primer yang mempunyai nilai produksi yang cukup tinggi. Selain itu
padang lamun dapat menjadi daerah asuhan (nursery ground), tempat mencari
makan (feeding ground) serta daerah perlindungan bagi organisme-organisme laut
seperti ikan, moluska, penyu laut, dugong dan krustasea. Secara ekonomi lamun
dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar kertas, makanan ternak dan pupuk
(supriharyono, 2002).
Komunitas ikan di Indonesia ditemukan yang berasosiasi dengan padang
lamun sebanyak 360 jenis,78 jenis tercatat di Kepulauan Seribu, 165 jenis di Teluk
Banten dan 205 jenis di Pulau Seram Barat (Hutomo dan Martosewejo, 1977 dalam
Tomascik, 1977).Menemukan bahwa ada 78 jenis ikan yang berasosiasi dengan
padang lamun, dari 32 famili ikan yang ada, 6 famili yang dapat dianggap sebagai
kelompok populasi yang penting yaitu Apogonidae, Atherinidae, Labridae,
Gerridae, dan Monakanthidae.
Peraiaran Loleo merupakan salah satu perairan yang secara administratif
berada dalam wilayah Kecamatan Weda Selatan Kabupaten Halmahera Tengah,

73
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

dimana perairan ini memiliki ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, padang
lamun, dan terumbu karang. Perairan Loleo sering didatangi oleh masyarakat baik
itu masyarakat dari Desa Loleo ataupun dari Desa-desa tetangga yang berada di
sekitar Desa Loleo dengan tujuan untuk menagkap ikan dan mencari kerang.
Khususnya area padang lamun memilki keanekaragaman biota seperti
Echinodermata, Rumput Laut dan ikan. Masyarakat di Desa Loleo sebagian besar
berprofesi sebagai nelayan dengan mengunakan alat tangkap berupa jaring insang.
Pada umumnya mereka melakukan aktifitas penangkapan pada daerah padang
lamun, sehingga di khawatirkan akan mengangu keberadaan ikan-ikan dan
organisme lain serta kerusakan pada ekosistemnya.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis ikan dan
struktur komunitas ikan (keanekaragaman jenis, dominansi jenis dan kemerataan
jenis) yang tertangkap pada ekosistem padang lamum di perairan Loleo.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan diperairan Loleo Kecamatan Weda Selatan,
Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara, Sedangkan waktu
pelaksanaannya yaitu pada bulan Maret 2015. Lokasi penelitian secara geografis
berada pada koordinat 00˚26’61,5 Lintang Utara dan 127˚920’47″ Bujur Timur.
Pengumpulan Data
Proses penangkapan ikan menggunakan jaring insang dengan panjang 200
meter dan lebar 1 meter dan ukuran mesh size 2,5 inchi. Sebelum dilakukan
penangkapan, jaring terlebih dahulu diatur agar tidak mudah terbelit. Jaring
dioperasikan pada kedalaman 1,5-2 meter pada waktu pasang dan waktu surut.
Pengoperasian jaring dilakukan dengan melingkari komunitas lamun bagian terluar
pada stasiun pengamatan dan dilakukan 2 kali penangkapan dalam sehari (waktu
pasang dan waktu surut). Proses penangkapan dengan bantuan perahu dan tenagga
dari beberapa orang. Ikan digiring kearah jaring dengan cara membunyikan air
dengan mengunakan kayu berulang-ulang kali sehingga ikan bergerak kearah

74
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

jaring. Hasil tangkapan yang diperoleh kemudian dibawa ke daratan untuk


dideterminasi berdasarkan petunjuk Peristiwady 2006. Pada saat pengamatan
dilakukan pula pengukuran parameter lingkungan yang meliputi suhu, salinitas, pH
air. Untuk pengambilan sampel kualitas air dilakukan dengan ulangan sebanyak tiga
kali untuk masing-masing parameter.

Analisa Data
Untuk mengetahui struktur komunitas ikan yang tertangkap di daerah
padang lamun, maka data jumlah jenis dan jumlah individu yang diperoleh
kemudian dianalisis dengan formula sebagai berikut :
Keanekaragaman Jenis (H')
Untuk menghitung besarnya keanekaragaman digunaka metode Shanon dan
Weinner (Ludwig dan Reynolds, 1988), sebagai berikut :
𝑠
𝑛𝑖 𝑛𝑖
H′ = − ∑ ( ) Ln ( )
𝑁 𝑁
i:I

Keterangan :
H' : Keanekaragaman jenis
ni : Jumlah individu jenis –i
N : Jumlah seluruh individu
Dengan kriteria :
H’ > 1 : Keanekaragaman jenis rendah
1 ≤ H’ ≤ 3 : Keanekaragaman jenis sedang
H’ > 3 : Keanekaragaman jenis tinggi
Indeks Dominansi (C)
Untuk mengetahui indeks dominansi menurut Ludwig dan Reynolds (1988)
adalah :
ni
C = Σ (𝑁) ²
Keterangan :
ni = Jumlah individu tiap jenis
N = Jumlah individu seluruh jenis
Dengan kriteria : Nilai C berkisar 0 - 1.
Jika C mendekati 0 berarti tidak ada spesies yang mendominansi dan apabila
nilai C mendekati 1 berarti adanya salah satu spesies yang mendominansi.

75
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Indeks Kemerataan (E)


Kemerataan jenis digunakan untuk melihat penyebaran setiap organisme
pada suatu habitat yang ditempati. Kemerataan jenis mengikuti formula
(Wibisono,2005) sebagai berikut :

E = Hmax
Keterangan :
E : Indeks kemerataan
H’ : Keanekaragaman jenis
Hmax : Ln S
S : Jumlah taksa
Dengan kriteria :
> 0,81 : Penyebaran jenis sangat merata.
0,61 – 0,81 : Penyebaran jenis lebih merata.
0,41 – 0,60 : Penyebaran jenis merata.
0,21 – 0,40 : Penyebaran jenis cukup merata.
< 0,21 : Penyebaran jenis tidak merata.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Komposisi Hasil Tangkapan Ikan
Penangkapan yang dilakukan selama 10 kali penangkapan, yaitu pada waktu
pasang dan surut diperoleh 186 ekor ikan dengan komposisi jenis sebanyak 13 jenis
yang terdiri dari 3 ordo (Perciformes, Beloniformes, dan Mugiliformes) dan 9
famili. Dari hasil tangkapan tersebut diketahui bahwa penangkapan yang dilakukan
pada waktu pasang memperoleh jumlah hasil tangkapan yang lebih banyak
ketimbang dengan pada waktu surut. Komposisi hasil tangkapan tersebut lebih
jelasnya dapat dillihat pada Tabel 1 dan 2.
Berdasarkan tabel tersebut, menunjukan bahwa famili Siganidae memiliki
jumlah jenis lebih banyak yaitu 3 jenis (Siganus canaliculatus, Siganus doliatus,
dan Siganus spinus), selanjutnya diikuti oleh famili Lethrinidae (Lethrinus
obsoletus, dan Lethrinus miniatus) dan famili Scaridae (Hyposcarus longiceps, dan
Scarus quoyi). Sedangkan beberapa famili yang hanya memiliki 1 jenis saja yaitu
dari famili Carangidae (Caranx melampygus), Lutjanidae (Lutjanus fulvus),
Hemiramphidae (Hemiramphus sp), Mugilidae (Moolgarda seheli), Haemulidae
(Plectorhynchus orientalis), dan Sphyraenidae (Sphyraena barracuda).

76
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Tabel 1. Komposisi jenis ikan padang lamun yang tertangkap pada waktu pasang
Nama Jenis
No Ordo Famili Ilmiah Indonesia Inggris Lokal
Perciformes Carangidae Caranx Kweh Bluefin Bubara
1 melampygus Trevally
Mugiliformes Mugilidae Moolgarda Belanak Blue spot Goruwo
2 perusi Grey
Mullet
Perciformes Lethrinidae Lethrinus Lencam Orange Gutila
3 obsoletus striped
Emperor
4 Perciformes Lethrinidae Lethrinus Lencam Trumpet Gutila
miniatus Emperor
5 Perciformes Scaridae Hyposcarus Kakatua Parrotfish Kakatua
longiceps
6 Perciformes Siganidae Siganus Beronang Smudges Uhi
canaliculatus pot
Spinefoot
7 Perciformes Siganidae Siganus Beronang Doublebar
doliatus Spinefoot Uhi Kuning

8 Perciformes Siganidae Siganus spinus Spiny


Beronang Spinefoot Tofe

9 Perciformes Haemulidae Plectorhynchu Raja bau Great Suo


orientalis Barracud
a

Berdasarkan komposisi jenis ikan tersebut, menunjukan bahwa daerah


padang lamun secara umum berperan secara ekologis bagi berbagai jenis ikan. Hal
ini disebakan ditemukannya golongan penghuni padang lamun selama tahap juvenil
sebanyak 3 jenis (Siganus canaliculatus, Siganus doliatus,dan Siganus spinus) dan
penghuni yang hanya sekali-kali atau sementara mengunjungi padang lamun untuk
mencari makan atau tempat berlindung sebanyak 10 jenis (Caranx melampygus,
Lutjanus fulvus, Hemiramphus sp Moolgarda seheli , Lethrinus obsoletus,
Lethrinus miniatus, Hyposcarus longiceps, Scarus quoyi, Plectorhynchu orientalis,
Sphyraena barracuda,).

77
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Tabel 2. Komposisi jenis ikan padang lamun yang tertangkap pada waktu surut
Nama Jenis
No Ordo Famili
Ilmiah Indonesia Inggris Lokal
Perciformes Lutjanidae Lutjanus Gorara Yellow Gaca
1 fulvus margined kuning
Seaperch
Beloniformes Hemiraphidae Hemiramphu Julung Black Golobo
2 s sp barred
Helfbeak
3 Perciformes Siganidae Siganus Beronang Smudgesp Uhi
canaliculatus ot
Spinefoot
4 Perciformes Siganidae Siganus Beronang Doubleba Uhi
doliatus r Kuning
Spinefoot
5 Perciformes Siganidae Siganus Beronang Spiny Tofe
spinus Spinefoot
6 Perciformes Scaridae Scarus quoyi Kakatua Quoy’s Kakatua
Parrotfish
7 Perciformes Haemulidae Plectorhynch Raja bau Oriental Raja bau
u orientalis sweetlips
8 Perciformes Sphyraenidae Sphyraena Susuge Great Suo
barracuda Barracuda

Tomascik dkk., (1997), menyatakan bahwa daerah padang lamun sebagai


daearah asuhan dan pembesaran bagi ikan yang sebagian besar bukan penghuni
tetap. Lebih lanjut dikatakan Dahuri dkk., (2001), bahwa daerah padang lamun
sangat berperan sebagai tempat mencari makan dan tempat berlindung.
Hutomo dan Martosewejo (1977), dalam Tomascik dkk., (1997),
menyatakan bahwa ikan penghuni daerah padang lamun yang hanya selama tahap
juvenile yaitu, family Siganidae dan penghuni hanya sekali-kali atau sementara
mengunjungi padang lamun untuk mencari makan atau tempat berlindung yaitu dari
family Lethrinidae, Carangidae, dan Scaridae. Menurut Hutomo (1985) dalam
Dahuri (2003), menyatakan bahwa ikan yang tertangkap di padang lamun memiliki
nilai ekonomis penting. Pernyataan ini didukung hasil penelitian dimana jenis-jenis
ikan yang tertangkap merupakan ikan yang selalu dikonsumsi oleh masyarakat di
Desa Loleo dan sekitarnya.

78
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Deskripsi Jenis Ikan Padang Lamun


Hasil determinasi yang dilakukan berdasarkan petunjuk Peristiwady (2006),
maka jenis ikan yang tertangkap dapat dideskripsikan sebagi berikut :
1. Caranx melampygus
Jenis ini memiliki badan lonjong dan pipih. Lengkung badan bagian atas
lebih cembung dari pada bagian bawah. Maxilla bagian belakang tidak sampai di
pertengahan mata. Pada ikan dewasa, rahang atas dengan gigi seperti taring yang
kuat. Garis rusuk yang lurus mulai kira-kira pada jari-jari lemah ke-8 sisrip
punggung yang kedua. Dada seluruhnya bersisik. Kepala dan badan bagian atas
kuning keperakan, bagian bawah putih keperakan. Sisi badan dengan bintik-bintik
biru kehitaman. Sirip dada kuning. Sirip perut putih. Sirip punggung, sirip dubur,
dan sirip ekor kehitaman (Peristiwady, 2006) (Gambar 1).

Gambar 1 . Caranx melampygus


2. Lutjanus fusvus
Jenis ini memiliki badan agak tinggi dan agak pipih. Lengkung kepala
bagian atas sampai mata lurus, setelah mata sampai awal sirip punggung agak
cembung. Keping tulang penutup insang bagian depan dengan lekukan tajam. Jarak
antara rahang dan mata lebar. Deret sisik diatas garis rusuk menyilang, dibawah
garis rusuk mendatar. Sirip ekor berlekuk. Kepala dan badan bagian atas abu-abu
kekuningan. Sirip punggung kekuningan dengan tepi luar sirip merah sampai
kecoklatan. Sirip dada, sirip perut, dan sirip dubur kuning. Sirip ekor coklat
kehitaman (Peristiwady, 2006) (Gambar 2).

79
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Gambar 2. Lutjanus fusvus


3. Hemiramphus sp
Jenis ini memiliki badan sub-silindris dan agak tinggi. Kepala tidak bersisik.
Jarak interorbital sedikit lebih besar dari pada garis tengah mata. Mata besar, garis
tengah mata lebih kecil dari pada moncong. Badan dengan sisik lingkaran yang
relatif besar. Badan bagian atas hijau kebiruan, bagian bawah biru muda keperakan.
Badan dengan strip datar memanjang. Ujung rahang bawah merah. Sirip ekor
kehitaman (Peristiwady, 2006) (Gambar 3).

Gambar 3. Hemiramphus sp
4. Moolgarda seheli
Jenis ini memiliki badan agak memanjang dan agak pipih. Lengkung kepala
bagian atas sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Tinggi badan lebih
besar dari pada panjang kepala. Kelopak mata tidak berkembang. Sirip ekor cagak.
Kepala dan badan bagian atas kehijauan dan keperakan, bagian bawah lebih terang
keperakan. Sirip dada sedikit kekuningan dengan bagian atas dasar sirip dengan

80
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

bercak kebiruan. Sirip-sirip lainnya putih transparan (Peristiwady, 2006) (Gambar


4).

Gambar 4. Moolgarda seheli


5. Lethrinus obsoletus
Jenis ini memiliki bentuk badan agak tinggi dan pipih. Lengkung kepala
bagian atas sampai setelah mata hamper lurus, dari mata sampai awal dasar sirip
punggung agak cembung. Sirip ekor berlekuk. Kepala dan badan bagian atas hijau
kecoklatan, bagian bawah lebih terang. Badan dengan sirip yang mempunyai bercak
putih. Sirip-sirip putih dengan bercak kecoklatan (Peristiwady, 2006) (Gambar 5).

Gambar 5. Lethrinus obsoletus


6. Lethrinus miniatus
Jenis ini memiliki badan agak tinggi dan agak pipih. Lengkung kepala
bagian atas agak cembung. Moncong agak panjang dan cekung. Mata relatif kecil
dan terletak lebih dekat kebagian atas kepala. Pipi tinggi. Kepala dan badan putih
kehijauan dan kekuningan dengan bercak-bercak tegak yang kurang jelas. Dasar
sirip dada merah. Selaput membran sirip perut, sirip punggung sirip dubur dan sirip
ekor kemerah (Peristiwady, 2006) (Gambar 6).

81
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Gambar 6. Lethrinus miniatus


7. Hyposcarus longiceps
Jenis ini memiliki badan agak tinggi, memanjang dan agak pipih. Lengkung
kepala bagian atas dan bagian bawah hampir sama cembung. Mulut dan mata relatif
kecil. Sirip ekor berlekuk ganda. Kepala dan badan abu-abu kekuningan. Sirip dada
bagian atas biru tua dan kekuningan. Sirip punggung dan sirip dubur dengan gari
memanjang biru.Sirip ekor coklat kekuningan (Peristiwady, 2006) (Gambar 7).

Gambar 7. Hyposcarus longiceps


8. Scarus quoyi
Jenis ini memiliki bentuk badan agak tinggi dan agak pipih. Lengkung
kepala bagian atas sampai awal dasar sirip pungung agak cembung. Sirip ekor
tegak. Moncong atas dan bawah dengan kombinasi warna biru, dahi dan pipi coklat,
badan bagian belakang coklat dan semakin kepangkal ekor dengan pola warna
lingkaran coklat pada sisik. Sirip punggung dan sirip dubur dengan dua garis jinga

82
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

dengan ujung sirip-sirip biru terang. Sirip dada biru dengan bagian tengah
kecoklatan. Sirip ekor kebiruan (Peristiwady, 2006) (Gambar 8).

Gambar 8. Scarus quoyi


9. Plectorhynchu orientalis
Jenis ini memiliki badan agak tinggi dan pipi. Lengkung kepala semakin
diatas mata hampir lurus, diatas mata sampai awal dasar sirip punggung cembung.
Sirip ekor tegak. Kepala dan badan bagian atas kehitaman, bagian bawah lebih
muda. Kepala dan badan dengan 6-7 strip lebar putih, semakin ke bagian
punggunng strip semakin lebar. Sirip-sirip kekuningan (Peristiwady, 2006)
(Gambar 9).

Gambar 9. Plectorhynchu orientalis


10. Sphyraena barracuda
Jenis ini memiliki badan memanjang dan agak silindris. Lengkung kepala
sampai setelah mata lurus. Mempunyai satu buah tulang saring insang. Mata relatif
besar. Rahang kokoh. Pada ikan-ikan muda sirip ekor tegak atau agak berlekuk,
pada ikan-ikan dewasa berlekuk ganda. Kepala dan badan bagian atas abu-abu,
bagian bawa putih keperakan. Badan dengan bercak kehitaman. Sirip dubur dan

83
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

ujung sisi sirip ekor bagian bawah putih. Sirip-sirip lainnya transparan
(Peristiwady, 2006) (Gambar 10).

Gambar 10. Sphyraena barracuda


11. Siganus canaliculatus
Jenis ini memiliki badan oval, agak tinggi dan pipih. Bentuk lengkung
kepala bagian atas agak cembung sampai diatas mata, agak cekung. Moncong
tumpul dengan lubang hidung dengan tonjolan yang akan hilang apabila ikan telah
dewasa. Antara bagian keras dan lemah sirip punggung dan sirip dubur dengan
sedikit lekukan. Jari-jari terakhir sirip punggung dan sirip dubur paling pendek.
Sirip ekor cagak, pada ikan-ikan muda hampir berlekuk. Kepala dan badan bagian
atas abu-abu kehijauan, bagian bawah lebih muda sedikit keperakan. Kepala dan
badan dengan bintik-bintik pitih, bintik yang lebih besar ukurannya terdapat
dibagian badan bagian bawah. Kepala dan badan bagian atas lebih kecil. Sirip-sirip
abu-abu kehitaman (Peristiwady, 2006) (Gambar 11).

Gambar 11. Siganus canaliculatus


12. Siganus doliatus

84
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Jenis ini memiliki badan agak tinggi dan pipih. Lengkung kepala bagian atas
cembung. Sirip ekor berlekuk. Kepala dan badan putih kehijauan/ kekuningan,
bagian bawah lebih terang. Kepala dan bagian belakang kepala dengan sirip hitam
menyilang, yang pertama melewati mata, yang kedua melewati belakang keping
penutup insang. Sirip punggung dan ekor kuning kecoklatan. Sirip lainnya putih
(Peristiwady, 2006) (Gambar 12).

Gambar 12. Siganus doliatus


13. Siganus spinus
Jenis ini memiliki badan agak memanjang. Lengkung badan bagian atas dan
bawah hampir sama cembung. Lengkung kepala bagian atas sampai mata cekung,
dari mata sampai dahi cekung. Antara bagian keras dan lemah sirip punggung
dengan lekukan. Jari-jari keras pertama sirip punggung dan sirip dubur terpendek.
Sirip ekor berlekuk. Kepala dan badan bagian atas abu-abu kebiruan, bagian bawah
sedikit lebih mudah. Kepala dan badan dengan garis dan bercak melingkar yang
bentuknya kurang beraturan. Sirip dada kuning. Sirip perut putih. Sirip punggung,
sirip dubur, dan sirip ekor kekuningan dengan bercak-bercak kehitaman
(Peristiwady, 2006) (Gambar 13).

85
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Gambar 13. Siganus spinus


Berdasarkan hasil penangkapan yang dilakukan selama 10 kali
penanngkapan diperoleh rata-rata panjang total ikan yang tertangkap berkisar antara
18 - 40 cm, dan berat berkisar antara 80 – 700 gram.
Keanekaragaman Jenis, Dominansi Jenis, dan Kemerataan Jenis
Hasil analisis keanekaragaman jenis ikan padang lamun yaitu : H’
= 2,539 yang menunjukan keanekaragaman jenis ikan yang hidup pada ekosistem
padang lamun di perairan Loleo tergolong sedang. Keanekaragaman jenis yang
diperoleh tersebut, dipengaruhi oleh jumlah spesies serta jumlah individu yang
diperoleh sedikit yaitu sebanyak 13 jenis dengan 186 individu. Soegiarto (1994),
menyatakan bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman yang
tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies, sebaliknya jika komunitas
itu disusun oleh sedikit spesies maka keanekaragamannya rendah. Keanekaragaman
komunitas ditandai oleh banyaknya spesies yang membentuk komunitas. Indeks
keanekaragaman menunjukan hubungan antara jumlah spesies dengan jumlah yang
menyusun suatu komunitas dan nilai indeks ini berlawanan dengan nilai indeks
dominansi (Heddy dan Kurniati 1994 dalam Lohoo, 2004).
Keanekaragaman merupakan indeks yang digunakan untuk menduga
kondisi suatu perairan berdasarkan komponen biologisnya, kondisi perairan
dikatakan baik bila memiliki keanekaragaman yang tinggi, jumlah organisme yang
banyak dan tidak terjadi dominansi dari salah satu atau beberapa jenis organisme.
Hal tersebut menunjukan bahwa perairan Loleo masih tergolong baik.
Dari hasil analisis dominansi jenis di perairan Loleo menunjukan bahwa
tidak ada salah satu spesies yang mendominansi dengan nilai dominansi jenis yaitu
: C = 0,11, serta penyebaran jenisnya sangat merata dengan nilai kemerataan jenis
: E = 0,990. Menurut Ludwig dan Reynolds (1988), bahwa jika 1 ≤ C ≥ 3, maka
keanekaragaman sedang, dan jika nilai C mendekati 0 berarti tidak ada spesies yang
mendominansi dan apabila nilai C mendekati 1 berarti adanya salah satu spesies
yang mendominansi.
Kemerataan jenis yang diperoleh, menunjukan bahwa semua jenis ikan yang
tertangkap memiliki penyebaran yang sangat merata pada setiap area ekosistem

86
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

padang lamun di Perairan Loleo. Sebagaimana Wibisono (2005), menyatakan


bahwa nilai kemerataan > 0,81 menunjukan penyebaran jenis sangat merata.

Parameter Lingkungan
Pegukuran parameter lingkungan yang meliputi suhu air, salinitas, dan pH
air selama operasi penangkapan (10 trip penangkapan) diperoleh kisaran suhu
berkisar antara 30 - 32˚C, salinitas berkisar antara 30 - 33‰, dan pH air berkisar
antara 8,0 - 8,2. Hasil pengukuran parameter lingkungan lebih jelas dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan Perairan Loleo.

Trip Waktu (WIT) Parameter Lingkungan


Penangkapan Pagi dan Siang Suhu (˚C) Salinitas pH Air
(‰)
1 08.30 30 30 8,0
2 13.14 32 32 8,2
3 08.50 30 30 8,0
4 12.14 31 32 8,2
5 09.22 30 30 8,1
6 14.13 32 33 8.2
7 08.40 30 30 8,0
8 13.20 32 33 8,2
9 09.40 30 31 8,1
10 12.20 31 32 8,2
Kisaran 30 - 32 30 - 33 8,0 – 8,2
Faktor-faktor suhu, salinitas, ombak, dan pasang surut merupakan pembatas
dalam penyebaran dan perkembangan organisme daerah intertidal. Suhu dapat
merupakan faktor pembatas bagi beberapa fungsi biologis hewan air seperti
migrasi, pemijahan, efesiensi makanan, kecepatan renang, dan kecepatan
metabolisme (Nybakken, 1988).
Berbagai hasil penelitian jenis-jenis ikan yang hidup didaerah ekosistem
padang lamun seperti dilaporkan oleh Souhoka (2006), bahwa parameter
lingkungan yang sesuai dengan kondisi padang lamun dan keberadaan jenis-jenis
ikan yang hidup didalamnya yaitu suhu berkisar antara 28 - 29˚C, salinitas berkisar
antara 29 - 30‰, dan pH air 7 - 8,5. Sedangkan hasil penelitian Suhud (2009) di
Pulau Sali Kecamatan Ganebarat, memperoleh ikan yang hidup didaerah padang

87
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

lamun dapat hidup pada suhu 29 - 32˚C, salinitas berkisar antara 30 - 35‰, dan pH
air berkisar antara 8,0 - 8,2.
Menurut KepMen Lingkungan Hidup No 200 Tahun 2004 menyebutkan
bahwa standar baku mutu salinitas yang baik untuk kehidupan biota laut yaitu 30 -
34 ‰. Sedangkan kisaran pH yang baik untuk pertumbuhan lamun dan kehidupan
biota laut yaitu berkisar 7 - 8,5, dan suhu berkisar antara 30 - 33˚C. Sedangkan
Menurut Kordi dan Tancung (2007) dalam Latuconsina (2011) yaitu nilai pH 8,0 -
8,2 merupakan kisaran pH optimal bagi pertumbuhan ikan, suhu berkisar antara 29
- 33˚C, dan salinitas 30 - 35 ‰. pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan
karena mempengaruhi kehidupan jasad renik.
Seiring dengan peryataan di atas maka berasarkan hasil pengukuran
parmeter lingkungan yang diperoleh selama penelitian berlangsung, maka dapat
dikatakan bahwa perairan Loleo tergolong dalam kondisi perairan yang ideal bagi
pertumbuhan dan perkembangan ikan padang lamun yang hidup di perairan Loleo.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dikemukakan beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Komposisi jenis ikan sebanyak 13 jenis yaitu Siganus spinus, Siganus doliatus,
Siganus canaliculatus, Sphyraena barracuda, Plectorhynchu orientalis, Scarus
quoyi, Hyposcarus longiceps, Lethrinus miniatus, Lethrinus obsoletus,
Moolgarda seheli, Hemiramphus sp, Lutjanus fusvus, dan Caranx melampygus.
2. Keanekaragaman jenis ikan yang tertangkap pada ekosisitem padang lamun di
perairan Loleo tergolong sedang, dan tidak ada salah satu spesies yang
mendominansi komunitas ikan pada ekosistem padang lamun di perairan Loleo,
serta penyebaran jenisnya sangat merata

DAFTAR PUSTAKA

Arief, F. 2007. Identifikasi Jenis-Jenis Ikan Yang Tertangkap Di Daerah Padang


Lamun (Seagrass) Perairan Maitara Kecamatan Tidore Utara. Skripsi
jurusan MSP FPIK Unkhair. Ternate.

88
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Cox, S. 1967. Laboratory Manual of General Ecology. WMC Brown Company


Peblisher, USA.
Dahuri, R. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara
Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan
Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama.jakarta.412 hal.
Garusu,Y. 2006. Jenis-Jenis Ikan Di Hamparan Ruput Laut (Seagrass) Perairan
Pantai Boyong Pante Kecamatan Sinonsayang Kabupaten Minahasa
Selatan. Skripsi. Fpik. Unstrat. Manado.
Hutomo,M. dan Parino.1994. Fauna Ikan Padang Lamun di Lombok Selatan.
Struktur Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai Selatan Lombil
dan Kondisi Lingkungannya. P30-LIPI.Jakarta.
Kepmen LH., 2004, Nomor : 200, Kriteria Baku Kerusakan Dan Pedoman
Penentuan Status Padang Lamun, Deputi Menteri Lingkungan Hidup
Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup.
Kordi, K.,M.,G.,H., 2011, Ekositem Lamun (Seagrass), Rineka Cipta,
Yogyakarta
Ludwing, E. J. and Reynolds. 1988. Statistical Ecology A Primer in Methods and
Compting. Jhon Wiley and Sons. New York.
Lohoo, A.V. 2004. Struktur Ikan Yang Tertangkap Pada Bulan Baru dan Bulan
Purnama di Daerah Intertidal Perairan Likupang. Tesis. Program
Pascsarjana. Unsrat. Manado.
Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.367 hal.
Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut. Suatu Pedekatan Ekologi. PT. Gramedia.
Jakarta.
Odum,E.P. 1996. Dasar - dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gajah Mada Universitas
Press. Yogyakarta.
Peristiwady, T. 1992. Studi Pendahuluan Struktur Komunitas Ikan di Padang
Lamun Pulau Obi dan Marsegu Seram Barat, Maluku Tengah dalam
Perairan Maluku dan Sekitarnya. Balitbang P30- LIPI. Ambon.
Peristiwady, T. 2006. Ikan-ikan Laut Ekonomis Penting di Indonesia. Petunjuk
Identifikasi. Penerbit LIPI. Jakarta.
Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya.
Souhoka, J. 2006. Konektifitas Padang Lamun dan Terumbu Karanng.Fungsi
Padang Lamun Sebagai Habitat Penting Bagi Ikan Karang di Perairan
Tanjung Merah Bitung. Tesis. Program Pasca Sarjana UNSRAT.
Manado.

89
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Suhud, 2009. Kajian Komunitas Ikan Pada Ekosistem Padang Lamun di Pulau
Sali Kecamatan Gane Barat Kabupaten Halmahera Selatan. Skripsi.
Jurusan MSP. FPIK. Unkhair. Ternate.
Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di
Wilayah Pesisir Tropis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Penerbit PT. Gramedia
Widiasarana. Jakarta.

90
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Pengaruh Perbedaan Metode Budidaya Rumput Laut Kappapycus


alvarezii terhadap Laju Pertumbuhan di Perairan Obi Utara Halmahera
Selatan

Effect of Difference Method Seaweed Cultivation Kappaphycus alvarezii


against Obi Growth Rate in Water North South Halmahera

Muh. Aris1),Suryani2), Rusmawati Labenua2)


1)
Pengajar Pascasarjana Ilmu Kelautan UNKHAIR,
2)
Pengajar Fakutas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNKHAIR

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan metode budidaya
terhadap laju pertumbuhan. Rumput laut Kappapycus alvarezii. Manfaatan
penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
pembudidaya rumput lautinstansi pemerintah, dan pengusaha dalam bidang
budidaya rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii. Penelitian ini dilaksanakan pada
Bulan Desember-Januari 2016 di Perairan Obi Utara Halmahera Selatan.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 3 perlakuan dan masing-masing perlakuan di ulangi sebanyak 3 kali.
Data yang diambil dalam penelitian ini adalah laju pertumbuhan harian
Kapppapycus alvarezii suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut, kecepatan arus,
kedalaman. Nilai hasil prensentasi laju pertumbuhan harian Kappapycus alvarezii
dapat dikatakan bahwa laju pertumbuhan tertinggi dari ketiga metode tersebut
terdapat pada perlakuan C 5,15 % kemudian diikuti dengan perlakuan A (metode
rakit apung) sebesar 4,86 %, dan perlakuan B (metode longline) sebesar 4,62 %.
Parameter kualitas air seperti suhu berada pada kisaran kuhu 28-33 OC, kecepatan
arus 22,34-40,12 cm/dtk, kedalaman 5,6-7,1 m, salinitas 30-23 ppt, pH 8,41-8,15,
oksigen terlarut 6,00-8,42 mg/l sehingga kondisi kualitas air ini masih dikatakan
layak bagi pertumbuhan Kappapycus alvarezii. Berdasarkan hasil analisis sidik
ragam menunjukkan bahwa. Fhitung = 74,27 lebih besar dari Ftabel pada taraf 5% dan
1% maka sesuai dengan kaidah keputusan Ho ditolak H1 diterima.Hasil beda nyata
terkecil (BNT) menunjukkan bahwa antar perlakuan berbeda sangat nyata.

Kata kunci : Kappapycus alvarezii, Pertumbuhan, Metode budidaya, Kualitas


perairan

ABSTRACT
This study aims to determine the effect of different methods of cultivation to the
growing rate. Kappapycus alvarezii seaweed. Utilization of this research is
expected to provide information to the public lautinstansi grass farmers
government, and entrepreneurs in the field of cultivation of seaweed Kappaphycus
alvarezii.Penelitian was conducted in December-January Month 2016 North
Halmahera Selatan.Rancangan Obi Bodies were used in this study is a randomized
block design complete (CRD) with 3 treatments and each treatment in repeat 3

91
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

times. Data taken in this study is the daily growth rate Kapppapycus alvarezii
temperature, pH, salinity, dissolved oxygen, flow velocity, depth. The resulting
value is prensentasi Kappapycus alvarezii daily growth rate can be said that the
highest growth rate of the three methods are in treatment C 5.15%, followed by
treatment with A (floating raft method) amounted to 4.86%, and treatment B
(longline method) amounted to 4.62%. Water quality parameters such as
temperature in the range of 28-33 OC kuhu, current speed from 22.34 to 40.12 cm
/ sec, 5.6 to 7.1 m depth, 30-23 ppt salinity, pH 8.41 to 8, 15, dissolved oxygen from
6.00 to 8.42 mg / l so that the condition of the water quality is still said to be feasible
for growth Kappapycus alvarezii. Based on the analysis of variance showed that.
Fhitung = 74.27 is greater than F table at the level of 5% and 1% then in
accordance with the rules of decision-Ho rejected H1 diterima.Hasil least
significant difference (LSD) showed that significantly different between treatments.

Keywords: Kappapycus alvarezii, Growth, cultivation methods, water qualit

PENDAHULUAN
Maluku Utara memiliki potensi perairan cukup subur untuk
pengembangan budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii, beberapa lokasi yang
telah dilakukan budidaya rumput laut yakni salah satunya Kabupaten Halmahera
Selatan khususnya di Perairan Pulau Obi dengan karakteristik Perairan substrat
berpasir dan terlindung dari ombak dengan adanya terumbu karang. Kebutuhan
dunia terhadap rumput laut yang meningkat mendorong kegiatan budidaya, dalam
ketersediaan stok alam karena sudah menunjukan. Eucheuma cottonii merupakan
salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi
Kappaphycus alvarezii yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan (Doty
1978 b; Lem, 2002).Keberhasilan budidaya rumput laut selain pemilihan lokasi
yang sesuai target sangat tergantung pada teknologi budidaya yang tepat. Metode
budidaya yang diterapkan hendaknya dapat memberikan laju pertumbuhan rumput
laut yang baik. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2014). Umumnya metode
teknologi dikembangkan di Indonesia antara lain metode rakit apung, metode lepas
dasar dan metode longline. Penerapan Metode teknologi budidaya harus tepat untuk
menjamin keberhasilan usaha budidaya rumput laut oleh itu penggunaan metode
budidaya rumput laut secara tepat sangat diperlukan. Kajian ilmiah yang mendalam
mengenai ”Pengaruh Perbedaan Metode Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus

92
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

alvarezii) terhadap Laju Pertumbuhan, di Perairan Pulau Madapolo Kecamatan Obi


Utara Kabupaten Halmahera Selatan”.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan metode
budidaya terhadap laju pertumbuhan. Rumput laut Kappapycus alvarezii. Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat pembudidaya
rumput laut instansi pemerintah, dan pengusaha dalam bidang budidaya rumput laut
jenis Kappaphycus alvarezii serta sebagian bahan refrensi untuk penelitian
selanjutnya.

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama 35 hari. Dimulai pada Tangal 17
Desember 2014 sampai 20 Januari 2015 di Perairan Pulau Madapolo Kecamatan
Obi Utara Kabupaten Halmahera Selatan.
Metode Penelitian
Rangcangan Percobaan
Rancangan penelitian ini menggunakan rancang acak lengkap (RAL)
dengan 3 perlakuan dan masing-masing perlakuan diulangi sebanyak 3 kali.
Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
 Perlakuan A = Metode rakit apung
 Perlakuan B = Metode longline / tali rawai
 Perlakuan C = Metode lepas dasar
Penetapan tata letak wadah setiap perlakuan di lakukan dengan cara
mengikuti bilangan acak tata letak wadah percobaan setelah di acak. Perbandingan
antara ketiga metode bertujuan untuk membandingkan tingkat lajupertumbuhan
harian Kappaphycus alvarezii dalam perlakuan tanaman uji. Rumput laut secara
acak dan dilakukan penimbangan berat kegiatan ini dilakukan setiap satu minggu
sekali selama 5 minggu penelitian.

93
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Prosedur Penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara mengenai budidaya oleh
petani rumput laut di Desa Madapolo terdapat tiga metode penelitian.
1. Metode rakit apung merupakan cara membudidayakan rumput laut dengan
mengunakan rakit yang terbuat dari bambu. Metode ini cocok diterapkan
padaperairan di mana pergerakan airnya didominasi oleh ombak, dan pada
umumnya 1 unit rakit dengan masing-masing berukuran 3x3 m. Satu rakit
terdiri dari 9 tali utama dengan jarak antara tali masing-masing 30 cm. Untuk
tiap tali ris dapat diikatkan 12 rumpun thallus rumput laut, dan satu rakit akan
terdiri dari 108 rumpun dengan berat rata-rata thallus rumput laut pada awal 50
gram.
2. Penerapan metode longline dengan menggunakan patok dari bahan kayu yang
berjumlah 5 buah yang berhadapan setiap satu tali mememiliki panjang 3 meter
tali ini dapat direntangkan pada kayu sehingga tanaman uji yang diikat
mengunakan tali ris dengan jarak 25 cm digunakan dalam proses
pengampungan bibit rumput laut yang telah ditanam. Kayu yangdipancang
kedalam substrat perairan dengan tujuan agar tanaman tidak terbawa arus dan
ombak. Bibit rumput laut yang digunakan adalah Kappapycus alvarezii dengan
berat awal 50 gram, dan dalam kondisi basah segar yang diperoleh dari daerah
setempat.
Dengan jarak di peroleh menggunakan satu buah perahu sampan sebagai
alat transprotasi untuk rumput laut basa ketempat yang dimana penelitian mulai
melakukan. Penyortiran dan pengikatan rumput laut sebagai bibit dilakukan di darat
dengan jarak tanam rata-rata yang telah ditentukan 25 cm. Sehingga di perlukan 9
tali rentang cabang yang akan diamati sampel rumput laut. Dari setiap tali ris
digantungkan 12 bibit tanaman sebagai sampel pengamatan (sebagai ulangan) yang
di ambil dari posisi pertama ujung yaitu ujung kanan dan kiri serta tiga dari
pertengahan tali rentang.
Metode lepas dasar (monoline method), disiapkan kayu berukuran panjang
3 meter sebanyak 13 potong dan tiang yang memiliki jarak 30 cm kayu tanam yang
membentuk persegi dan jaring yang dapat dilakukan sebagai kurungan dari patok-

94
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

patok kayu yang digunakan, agar tanaman rumput laut benar-benar terlindung oleh
hewan peredator, pada lokasi penelitian tali dengan panjang masing-masing 3 meter
hal ini dapat direntangkan didasar perairan dan tali ris dari bahan plastik yang
berdiameter 4 mm dapat diikat tanaman uji rumput laut dengan jarak tanam 25 cm.
Patok dihubungkan dengan patok yang lainnya dengan tali ris yang digantung
thallus rumput laut sebanyak 108 digunakan pada dasar perairan pasir atau batu
berkarang.
Keberhasilan budidaya rumput laut sangat tergantung pada teknologi atau
metode penanamannya, metode yang dipilih hendaknya dapat memberikan
pertumbuhan yang menguntungkan, mudah pelaksanaannya dengan bahan
bangunan yang murah dan mudah di dapat.
Pemilihan Lokasi
Keberhasilan budidaya rumput laut merupakan tujuan penelitian yang
sangat ditentukan sejak penentuan lokasi. Hal ini dikarenakan produksi dan kualitas
rumput laut dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologi yang meliputi kondisi substrat
perairan, kualitas air, iklim dan geografis dasar perairan, yang pada akhirnya akan
menurunkan daya dukung lingkungan terhadap perkembangan rumput laut yang
dikembangkan di perairan pulau madapolo merupakan jenis Kappaphycus
alvarezii,memiliki beberapa hubungan dalam pemilihan perairan yang sangat
ditentukan oleh kondisi air laut Prihanigrum dkk., (2001).
Tahapan Pengambilan Data
Penelitian ini menggunakan 9 perlakuan yang masing-masing satuan
percobaan diulang sebanyak 3 kali data yang diambil dalam penelitian ini adalah
laju pertumbuhan harian sampel Kapppapycus alvarezii dan parameter kualitas air
(Suhu, pH, Salinitas, Oksigen terlarut, Kecepatan arus, Kedalaman) penentuan laju
pertumbuhan harian diketahui dari perbandingan berat pada akhir penelitian dan
waktu interval berat awal dirumuskan dengan InWt dikurangi dengan InWo lalu
dikalikan dengan 100%.Untuk mengetahui laju pertumbuhan harian(Spesifik
Growth Rate/SGR) berdasarkan bobot tubuh rumput laut menggunakan rumus.
Changboo et al., (2004) sebagai berikut:

95
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

InWt − InWo
SGR = X 100%
t

SGR = Laju pertumbuhan spesifik


Wt = Bobot rata-rata individu pada akhir penelitian(gram)
Wo = Bobot rata-rata individu pada awal penelitian (gram)
t = Lama pemeliharaan (hari)

Prosedur pengukuran kualitas air di ukur secara langsung di lapangan


(insitu) yaitu dengan menggunakan alat seperti pH meter, thermometer,
Refractometer, DO meter, serta bola pimpong dan kedalaman perairan diukur
dengan meter berskalah sesuai dengan kebutuhan pemilihan lokasi diperoleh dalam
penelitian ini, menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian berada dalam tingkat
kesuburan sedang atau mesotrofik, sehingga masih dapat dikatagori mendukung
lokasi yang di tentukan untuk suatu kesuburan perairan yang dimana terdapat
pengembangan kawasan budidaya rumput laut
Analisis Data
Data yang diperoleh berupa laju pertumbuhan harian dianalisis dengan
analisis statistik rancangan acak lengkap (RAL). Hasil perhitungan disajikan dalam
bentuk tabel dan gambar. Model linear rancangan percobaan model matematis
mengukiti petunjuk Gaspersz (1994) adalah:
Yij = µ + ┬i + ∑ij
Dimana :
Yij : Hasil pengamatan ke-i dari perlakuan ke-j
𝜇 : Rata-rata percobaan
┬i : Pengaruh perlakuan terhadap ke-i
∑ij : Galat (pengaruh galat yang timbul secara acak pada pengamatan ke-i dari
perlakuan ke-j).
i : Perlakuan (1,2,3…)
j : Ulangan (1,2,3…..)
Bilamana perlakuan yang diujicobakan memberi pengaruh yang berbeda
terhadap laju pertumbuhan rumput laut.Kappaphycus alvarezii dilanjutkan dengan
uji beda nyata terkecil (BNT).

96
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengaruh Setiap Metode Terhadap Laju Pertumbuhan Harian
Metode budidaya rumput laut Kappapycus alvarezii terdiri dari beberapa
metode yang disesuaikan berdasarkan lokasi budidaya penelitian dengan. teknologi
yang diterapkan diperairan Pulau Madapolo merupakan tiga indikasi metode
pemeliharaan rumput laut yang dilakukan pada permukaan air dan dasar perairan
dengan menggunakan tali sebagai wadah. Penggunaan metode tanam di daerah
setempat, dengan kebiasaan tumbuh rumput laut yangmemiliki kedalaman yang
lebih di inginkan sehingga diharapkan dapat meningkatkan laju pertumbuhan harian
yang optimal.
Metode Rakit Apung
Metode budidaya untuk permukaan perairan ini dengan menggunakan rakit
dari bambu dengan ukuran rakit bervariasi tergantung dari ketersediaan material,
tetapi umumnya 1unit rakit dengan masing-masing berukurang 3x3 meter. Untuk
membuat satu buah rakit memerlukan 4 buah bambu ukuran panjang 3 meter, untuk
membentuk persegi empat satu rakit terdiri dari 9 tali utama dengan jarak antara tali
masing-masing 25 cm setiap tali ris dapat diikatkan 12 rumpun dalam satu rakit
terdapat 108 bibit thallusposisi tanaman terapung dipermukaan mengikuti gerakan
pasang surut. Untuk mempertahankan agar rakit tidak hanyut digunakan pemberat
dari jangkaruntuk menghemat areal, rakit dapat dijadikan menjadi satu jarak 30 cm,
untuk memudahkan dalam pemeliharaan. Bibit diikatkan pada tali ris masing-
masing dengan ikatan simpul hidup yang bertujuan agar mempermudah dalam
monitoring dan evaluasi pertumbuhan rumput laut telah direntangkan pada rakit,
memeliki keuntungan lain yaitu pemeliharaannya mudah dilakukan, dan adapun
kerugian dari metode ini yang dapat diketahui pada lokasi penelitian sering
tanaman terlalau dekat dengan permukaan air, sehingga pada saat laut kurang
berombak. Munculnya tanaman kepermukaan air dalam waktu lama, menyababkan
cabang-cabang tanaman menjadi pucat karena kehilangan pigmen umur tanaman
yang lama akan menghasilkan produksi bahan kering (Patadjai 2007)
Hasil rata-rata laju pertumbuhan harian (%) Kappapycus alvareziidi
perairan pulau madapolo selama penelitian berdasarkan. Gambar 7.Dapat

97
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

dijelaskan bahwa rata-rata laju pertumbuhan mengalami penurunan dan


peningkatan selama penelitian hal ini dapat dilihat pada grafik di bawah.

5.00 4.73 4.86


4.55
4.50 4.40
4.18
4.00

3.50
1 2 3 4 5

Gambar 1. Laju Pertumbuhan Harian Kappapycus alvarezi


Faktor lain yang menyebabkan laju pertumbuhan harian pada kedalaman
penanaman 5,6-7,1 meterpada perlakuan B adalah terdapat hama dan penyakit yang
menyerang rumput laut, pada saat dilokasi penelitian didominasi oleh hama yang
menempel pada rumput laut adanya ikan baronang (Siganus sp) yang masih
berukuran kecil. Juga diduga merupakan salah satu hama yang menggangu
Kappapycus alvarezii selam penelitian, walaupun sangat jarang ditemui sehingga
keberadaannya hanya diketahui dari bekas gigitan yang ditinggalkan pada thallus
hanya kerangka thallus yang berwarna putih sehingga akan mudah terserang epifit.
Indikasi serangan mulai terlihat pada saat Kappapycus alvarezii berumur 14 hari.
Diduga ini merupakan salah satu penyebab rendahnya nilai rata-rata pertumbuhan
harian Kappapycus alvarezii yang diteliti pada gamabr 8 dibawah.

Gambar 2. Gigitan Ikan Baronang Pada Thallus


Rata-rata pertumbuhan harian Kappapycus alvarezii setelah usia 14 hari
hingga usia 35 hari menunjukkan adanya peningkatan. Jumlah thallusdi tiap ikatan
tinggal sedikit menyebabkan ruang untuk tumbuh kembali menjadi lebih luas dan

98
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

distribusi nutrien di sela-sela rakit ikatan menjadi lebih merata sehingga


Kappapycus alvarezii akan memproduksi senyawa metabolit sekunder yang
berfungsi untuk mempertahankan diri serta memulihkan bagian organnya yang
terganggu akibat serangan hama. Metabolit sekunder merupakan suatu hasil
samping metabolisme yang merupakan suatu bagian penting dalam pertahanan
hidup organisme tersebut, juga sebagai upaya proses adaptasinya terhadap
lingkungan yang selalu berubah pada setiap musim. Lingkungan menjadi berbeda
misalnya sifat pH, kelarutan oksigen dan juga kuantiitas interaksi organisme yang
tersisa dapat tumbuh kembali untuk membentuk thallusbaru pertumbuhan
Kappapycus alvarezii cenderung mengalami peningkatan pertumbuhan yang
diamati pada lokasi penelitian berdasarkan banyaknya rumpun percabangan yang
terbentuk(Anggadirdja et.al.,2008).
Metode Longline
Wadah budidaya rumput laut yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari tali utam kayu pancang/pengganti jangkar. Metode Longline yang diterapkan
oleh penelitian di perairan Pulau Madapolo dengan metode menggunakan tali
sebanyak 9 dengan panjang perjarak masing-masing 3 meter, kedua ujungnya saling
berhadapan dengan empat patok kayu sebagai pelampung botol plastik 600 ml pada
tali utama digantunkan sebanyak 12 tali ris satu dengan yang lain berjarak 25 cm.
sesuai dengan pernyatan jarak ikatan rumput laut yang baik antara 20-25 cm, botol
pelampung diikatkan pada tali utama agar menjaga keseimbangan tanaman pada
setiap rumpundengan jarak pada tali sepanjang 30 cm digunakan pelampung
sebanyak 6 botol. Pada saat pemasangan tali utama penelitian memperhatikan arah
arus pada posisi sejajar atau sedikit menyudut untuk menghindari terjadinya belitan
tali satu dengan yang lainnya (Alsan, 1999).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perbedaan laju pertumbuhan
berpengaruh terhadap pertambahan berat rumput laut Kappapycus alvarezii. terjadi
penurunan dan peningkatan terhadap laju pertumbuhan disetiap rentangan tali yang
diikatkan, selamah pengamatanmengalmi penurunan laju pertumbuhan harian.
Dengan berat awal perlakuan sampel 50 gram. Dengan melihat angka pertumbuhan
dapat diketahui perbedaan hasil yang akan diperoleh dari minggu pertama sampai

99
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

akhir penanaman Kappapycus alvarezii telah mengalami penurunan dan penigkatan


laju pertumbuhan, pada Gambar 9 dapat terlihat di bahwa.
4.80
4.62
4.60 4.54
4.40
4.40 4.28
4.20 4.10
4.00
3.80
1 2 3 4 5

Gambar 3. Laju Pertumbuhan harian Kappapycus alvarezii


Laju pertumbuhan harian yang rendah pada thallus rumput laut disebabkan
karena adanya. Hama yang hidup secara epifitik yang teramati di areal penelitian
bidudaya terlihat seperti rambut yang berwarna hitam kecoklatan, menempel pada
thallus, seluruh bagian tubuhnya mengakibatkan permukaan thallus menjadi kasar
seperti terdapat tonjolan-tonjolan halus menutupi semua lapisan permukaan luar
thallus serta menyebar di rumput laut yang terikat di tali ris lainnya. Minggu I
pertumbuhan harian mengalami penurunan. Kondisi kualitas perairan dilokasi
budidaya mempengaruhi pertumbuhan karena sedimen atau lumpur menempel pada
thallus rumput laut sehingga akan menghalangi penetrasi fotosintesa berdasarkan
hasil pengamatan selama 35 hari ternyata laju pertumbuhan harian Kappapycus
alvarezii mengalami peningkatan pada minggu ke 2-5 dipengaruhi oleh kecerahan,
nutrient dalammeningkatkan maupun menghambat pertumbuhan rumput laut.
Perairan dengan kedalam 5,6-7,1 meter sering terjadi meliputicuaca yang selalu
berubah-ubah di loksasi penelitian. Silt (endapan lumpur) merupakan kotoran yang
terbawa oleh arus yang menempel di sekitar thallus rumput laut maupun terlihat
melekat pada rentangan tali utama dan tali ris tersebut dapat dilihat pada gambar 4
dibahwa.

Gambar 4. Epifit yang Menempel thallus Rumput Laut

100
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Terjadi arus dan gelomban yang menyebabkan terangkatnya endapan


lumpur dari dasar perairan yang kemudian akan melekat dan menutupi badan
rumput laut yang dibudidayakan tersebut. Tetapi penempelan silt yang berwarna
putih kehitaman itu mudah terlepas atau menempel lemah sehingga dengan
pengontrolan yang berkala dapat dihindari dengan mengoyang-goyangkan tali ris
dapat melepaskan endapan lumpur dari permukaan thallus. kondisi ini
menyebabkan kemampuan rumput laut untuk menyerap sinar matahari sedikit
berdampak terhadap terganggunya proses fotosintesis lamun yang bertumbuh di
dasar perairan budidaya rumput laut akan terjadi kompetisi dalam penyerapan unsur
hara. Akibatnya rumput laut yang dibudidayakan terhambat pertumbuhan
sebagaimana diharapkan pemanenan bisa berlangsung lama (Nurdjana 2006).Pada
metode longline yang berada di pantai dekat hutan mangrove memiliki substrat
berlumpur yang dikategorikan kurang layak karena lokasi tersebut
mengindikasikan arus yang kurang sehingga menghalangi pertumbuhan rumput
laut(Mamang 2008).
Metode lepas dasar
Material yang di perlukan pada penelitian dengan menggunakan metode
lepas dasar ini adalah nylon monofilamen dijadikan sebagai tali utama dalam
penanaman rumput laut, kerangka dasar ditempatkan dekat dasar perairan dengan
menggunakan tali utama sepanjang 3 meter. Metode lepas dasar dilakukan dengan
cara mengikat bibit rumput laut pada tali ris yang telah diikatkan pada tali utama
yang kemudian direntangkan dengan jarak (30 cm dari dasar perairan) dengan cara
tali ris direntang kemudian diikat pada patok yang telah disiapkan. Jarak pengikatan
bibit rumput laut yang satu dengan yang lain berjarak 25 cm. dengan
mempertimbangkan kondisi arus dan gelombang setempat, ini secara teknis hampir
sama dengan metode rakit apung, metode longline, metode lepas dasar hanya lokasi
penempatannya saja yang berbeda pada kedalaman perairan,
Rumput laut merupakan tumbuhan yang memiliki syarat-syarat lingkungan
tertentu agar dapat hidup dan tumbuh dengan baik. Semakin sesuai kondisi
lingkungan perairan dengan areal yang dibudidayakan akan semakin baik
pertumbuhannya diperoleh didalam budidaya rumput laut apabila terjadi laju

101
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

pertumbuhan yang tidak kurang dari 3–5% masih dianggap mendukung bagi berat
tanaman perhari (Kawaroe et al., 2012).
Dari pengamatan rata-rata laju pertumbuhan harian memperlihatkan
tingkatpertumbuhan rumput laut. Kappapycus alvarezii setelah tanam dengan berat
bibit basah awal 50 gr di setiap rumpun tanaman dapat meningkat dari minggu
pertama sampai akhir penanaman minggu ke 5 terlihat menggalami peningkatan.
6.00 5.15
4.81 5.02
5.00 4.23 4.51
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
1 2 3 4 5
Gambar 5. Laju Pertumbuhan harian Kappapycus alvarezii
Berdasarkan gambar diatas menunjukan bahwa pertumbuhan harianjenis
Kappaphycus alvarezii pada minggu pertama dan kelimah pada semua perlakuan
rumpun mengalami peningkatan pertambahan berat. Hal ini karena masih terjadi
pergerakan arus dan gelombang yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut
sehingga memiliki peluang yang cukup besar dalam penyerapan unsur hara, selain
itu pergerakan air juga dapat membersihkan alga laut dari kotoran yang menempel
sehingga tidak menghalangi proses fotosintesis. (Aslan 1999) dan (Atmadja 1996).
Memungkinkan setiap jumlah pertumbuhan thallus Kappapycus
alvareziiyang baik dapat mendistribusikan unsur hara merata disetiap ikatan bibit
diletakan di dasar perairan terlihat mendukung bagi pertumbuhan harian yang dapat
tumbuh secara baikdengan kedalaman lokasi penelitian diperoleh 2,28-3,46 meter
didapatkan suhu 29-31°C, salinitas 30-33 ppt, kecepatan arus 22,34-40,12 cm/detik,
pH 8,15-8, oksigen terlarut 6,5-8 mg/l sesuai dengan syarat kualitas perairan
tersebut. Dapat dilihat pada Gambar 6.

102
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Gambar 6. Thallus Rumput Laut Sehat


Terumbu karang yang berfungsi sebagai barrier reef yang dapat
menpengaruhi laju arus dan gelombang dimana masih dipengaruhi pasang surut dan
substrat dasar perairan, berupa pasir kasar bercampur dengan pecahan karanguntuk
pengembangan budidaya rumput laut, Hal ini karena tidak ada pengaruh langsung
dari daratan dan ombak yang keras sehingga jarang atau tidak ditemukan adanya
penempelan dari sedimen lumpur atau epifit diperairan pulau madapolo penanam
rumput laut berdasarkan penentuan perairan dilakukan dengan metode lepas dasar
pada umumnya masih memiliki suatu kelebihan Msuya dkk,(2007)
Laju Pertumbuhan HarianKappapycus alvarezii
Dari hasi penelitian mengetahui pengaruh dari perlakuan yang di ujicobakan
selama penelitian 35 hari. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan
masing-masing perlakuan memiliki tiga metode tanam dengan hasil akhir rata-rata
yang berbeda perhitungan laju pertumbuhan rumput laut Kappapycus alvarezii
dengan penanaman menggunakan metode lepas dasar palingefektif dibandingkan
dengan metode rakit apung dan metode longline. Hal ini diketahui bahwa nilai
pertumbuhan relatif dan laju pertumbuhan harian rumput laut dengan metode lepas
dasar lebih tinggi dibandingkan dengan kedua metode penanaman dengan
menerapkan sistem kurungan tancap atau lepas dasar dengan hasil bervariasi.
Kappapycus alvareziiakan terlihat meningkat pada minggu percobaan
hasil laju pertumbuhan dengan. Kondisi dinamika perairan dengan tingkat
kecepatan arus yang memungkinkan setiap rumpun rumput laut memperoleh
jumlah zat hara sebagai faktor pemicu laju pertumbuhan harian, yang
dibudidayakan. Pemanenan rumput laut diperairan madapolo dilakukan apabila

103
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

berat rumput laut telah mencapai empat kali dari berat bibit awal yang ditanam
(Lundsor 2002).
Bibit yang digunakan dalam penelitian berasal dari petani budidaya
setempat yakni rumput laut yang telah berumur 25 hari dengan bibit bagian ujung
dan pangkal juga telah dilakukan dalam proses penanaman disetiap metode
percobaan dapat dilihat dengan adanya laju pertumbuhan harian memiliki sudut
pandangan pertumbuhan awal dan akhir disetiap perlakuan ukuran bibit yang
ditanam sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan yang berasal dari bagian
ujung akan memberikan laju pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan bibit
thallusdari bagian pangkal (Dawes 1991).
Penanaman jenis rumput laut Kappapycus alvareziidi lokasi penelitian
hanya membutuhkan waktu 35 hari. Dengan minggu ke-1 samapi minggu ke 5,
memiliki nilai rata-rataterbesar diperlakuanC dengan metode lepas dasar diduga
pertumbuhan harian di lokasi penelitian didukung oleh faktor-faktor parameter
lingkungan relatif stabil stabil faktor kecerahan yang mendukung pertumbuhan
rumput laut adalah minimal 1,5 meter kondisi ini mendukung pertumbuhan rumput
laut dapat berlangsung secara maksimal tumbuh diperairan dengan kedalaman
tertentu dimana proses fotosintesis, sampai ke dasar perairan (Atmadja, dkk 1996).
Penelitian khusus membahas salah satu jenis rumput laut yang
dibudidayakan oleh masyarakat adalah Kappaphycus alvarezii. Dengan teknologi
metode budidaya yang dikembangkan antara lain metode lepas dasar, metode rakit
apung dan metode longline dengan manfaat sifat pertumbuhan yaitu memperbanyak
tanaman melalui stek atau potongan-potongan thallus tanaman dalam kecepatan
tumbuh Kappapycus alvareziidengan metode lepas dasar dapat bervariasi untuk
perairan lokasi budidaya, pertambahan berat suatu laju pertumbuhan per hari
sangat menentukan hasil paska panen produksi rumput laut Atmadja (1996)

SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa metode
tanam rumput laut selama penelitian yaitu metode rakit apung,metode longline,
metodelepas dasar yang ditandai dengan laju pertumbuhan harian (SGR) tertinggi.

104
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Kondisi dinamika parameter kualitas air mendukung rumput laut untukmelakukan


pertumbuhan.

DAFTAR PUSTAKA
Azanza. C, R., SS Mamauag, E. Alfiler, dan MJ Orolfo, 1992: Reproduksi di
Eucheuma cottonii (Burman) Collins dan Hervey dan Kappaphycus
alvarezii Doty Ternak di Danajon Reef, Filipina. Budidaya, 103, 29-34
hlm
Afrianto, E dan Liviawati, E. 1993.Budidaya Rumput Laut dan Cara.Pengolahann
ya. Penerbit B hratara. Jakarta. 389-397 hml
Atmadja,W. 1996. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia.Puslibang
Oseanografi LIPI. Jakarta. 189 hml
Azizah,T.N.2006. Percobaan Berbagai Macam Metode Budidaya Latoh
(Caulerparacemosa) Sebagai Upaya Menunjang kontinuitas Produksi.
Journal Ilmu Kelautan. 11(2): 101–105.
Aslan 1999. Budidaya Rumput Laut.Yogyakarta: Kanisius. 97 hml
Brotowidjojo, Mulbyantoro dan Tribawono, 1995. Pengantar Lingkungan Perairan
dan Budidaya Air. Liberty. Yogyakarta.345-351 hlm.
Chandrasekaran, S., Nagendran, N.A., Pandiaraja, D., Krishnankutty, N., and
Kamalakannan,. B2008. Bioinvasion of Kappaphycus alvarezii on
Corals in The Gulf of Mannar,India. Current Science, 1167-1172 hlm.
Doty, M. S. 1985: Kappapycus alvarezii. November (Gigartinales, Rhodophyta)
dari Malaysia. Taksonomi rumput laut ekonomi: Dengan referensi
untuk beberapa Pacific dan spesies Karibia, IA Abbott dan JN Norris,
Eds., La Jolla, 37- 45 hlm
Dawes, C. J. and E. W. Koch, 1991: Branch, micropropagule and tissue-culture of
the red algae Eucheuma denticulatum and Kappaphycus alvarezii
farmed in the Philippines. Journal of Applied Phycology, 247-257 hlm
Diskanlut Sulteng dan LP3L TALINTI 2007. Grand Strategi Pengembangan
Budidaya Rumput Laut di Propinsi Sulawesi Tengah “Menuju Sulawesi
Tengah sebagai Propinsi Rumput Laut Tahun 2011”. Laporan Final
Dinas Kelautan Dan Perikanan Propinsi Sulawesi Tengah dan LP3L
TALINTI hml 52
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2014. Produksi Rumput Laut Indonesia.
Ditjen Perikanan. Jakarta. 50 hml
Effendi H 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan Penerbit Kanisium Jl. Cempaka. Yogyakarta 258
hlm.
Gaspersz, V. 1994. Metode Perancangan percobaan ARMICO. Bandung,472 hlm

105
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Gavino, C dan J. Trono, 1992: Eucheuma dan Kappaphycus: Taksonomi dan


Penanaman. Buletin Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Kochi
51- 65 hml
Hurtado, A. Q., R. F. Agbayani, R. Sanares, and M. T. R. deCastro-Mallare 2001:
The seasonality and economic feasibility of cultivating Kappaphycus
alvarezii in Panagatan Cays, Caluya, Antique, Philippines.
Aquaculture, 199, 295-310 hlm
Hung, L. D., Hori, K., Nang, H. Q., Kha, T. And Hoa, L. T. 2009. Seasonal Changes
In Growth Rate, Carragenan Yield and Lectin Content In The Red Alga
Kappaphycus alvarezii Cultivated In Camranh Bay, Vietnam. Journal
of Applied Phyciology 265-272 hlm.
Indriani H dan E. Suminarsih. 2003. Budidaya, Pengelolaan dan Pemasaran
Komonitas Perikanan Potensial. Rumput Laut. Penebaran Swadaya.
Jakarta99 hlm.
Johnstone, R. dan O. Linden 1999: managenent wilayah pesisir di Afrika Timur
berpacu dengan waktu. Pertanian + pembangunan pedesaan, 36-39 hlm
Kawaroe, H., D. G. Bengen, dan W. O. B. Barat. 2012. Pemanfaatan
Karbondioksida CO2 untuk Optimalisasi Pertumbuhan Kappaphycus
alvarezii., Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Omni-
Akuatika. 78–90 hlm
Kushartono, E. W., Suryono dan E. Setyaningrum. 2009. Aplikasi Perbedaan
Komposisi N, P, dan K pada Budidaya Eucheuma cottonii di Perairan
Teluk Awur, Jepara. Jurnal Ilmu Kelautan. 14(3): 164–169 hlm.
Lundsor, E. 2002. Eucheuma Farming in Zanbira. Broadcast System, an
Alternative Method for Seaweed Farming. Thesis. Candidat
Scientiarium in Marine Biology. University of Bergen 62 hlm.
Mubarak, H. dan I. Wahyuni. 1981. Percobaan Budidaya Rumput Laut Di Perairan
Lorok, Pancitan Dan Kemungkinan Pengembangannya. Bull. Pen.
PerikananI(2): 157-166 hlm
Msuya, EF, MA Ngoile, Dan JP Shunula, 1996: Dampak budidaya rumput laut
PADA macrophytes Dan makrobentos Dari pesisir timur Pulau
Unguja, Zanzibar Tanzania. Laporan Yang Kepada disampaikan
internasional New York. 27-28 hlm.
Nurdjana, M.L. (2006). Pengembangan budi daya rumput laut di Indoesia, dalam
Diseminasi Teknologi dan Temu Bisnis Rumput Laut, Makassar 11
September 2006. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.Departemen
Kelautan dan Perikanan 1 – 35 hlm.
Neish, C.I. 2003. The ABC of Eucheuma Seaplant. Jurnal Ilmiah. www.
SuriaLink.com. 82 hlm.
Prihanigrum A., M. Meiyana dan Evalawati 2001. Biologi Rmput laut; Teknologi
Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii). Petunjuk Tekhnis.

106
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan


Budidaya. Balai Budidaya Laut. Lampung. 66 hml.
Patadjai, R., S. 2007. Pertumbuhan Produksi dan Kualitas Rumput Laut
Kappaphycus alvarezii Doty pada Berbagai Habitat Budidaya yang
Berbeda. Program Pascasarjana. Universitas Hasanuddin. Makasar 307
hlm.
Santos, GA, 1989: karagenan spesies Eucheuma Agardh, J. dan Kappaphycus Doty
(Solieriaceae, Rhodophyta). Air Botani 55-67 hlm
Sutika. N 1989. Ilmu Air. Universitas Padjadjarang. UNPAD Bandung 16-17 hl
Sijian, L. dan Z. Ping, 1984: Budidaya komersial Eucheuma di Cina.
Hydrobiologia, 116/117, 243-245.
Sulistijo. 1996. Perkembangan Budidaya Rumput Laut di Indonesia.Dalam
Pengenalan jenis-jenis rumput laut. Puslitbang Oseanografi LIPI.
Jakarta120-151 hlm
Umaly, R.C., dan L.A Cuvin. 1988. Lymnology : Laboratory And Field Guide,
PhysicoChemical Factors, Biological Factors. National Book Store,
Inc. Publishers. Metro Manila. 322 hml
Winarno F.G.1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta : pustaka sinar
Harapan 37 hlm
Zatnika, A. I. A. and Wisman 1994. Teknik Budidaya Rumput Laut. Tim Rumput
Laut BBP. Jakarta. 56 hlm.

107
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

ANALISIS TINGKAT ANCAMAN DAN KERENTANAN BENCANA


WILAYAH PESISIR KOTA TERNATE

ANALYSIS OF THREATS AND VULNERABILITY OF COASTAL


AREAS OF DISASTER CITY TERNATE

Sahlan Norau
Pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Khairun

ABSTRAK

Bencana diartikan sebagai suatu kejadian yang diluar kebiasaan (kondisi normal).
Bencana dapat dibagi dalam bencana fisik dan bencana non fisik. Bencana selain
disebabkan oleh faktor alam yang diluar kondisi normal dapat juga disebabkan oleh
tindakan manusia yang secara simultan dapat mendatangkan bencana. Laju
kenaikan muka air laut di Indonesia yang mencapai 20-100 cm dalam waktu 100
tahun (WWF dan IPCC, 1999), mengakibatkan semakin rentannya kota-kota besar
di Indonesia terhadap dampak kenaikan muka air laut. Salah satu kota pesisir yang
rentan adalah Kota Ternate Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui
tingkat ancaman dan kerentanan wiayah pesisir Kota Ternate. Dari
hasil analisis di atas maka secara umum indeks ancaman Kenaikan Muka Laut
(KML) wilayah pesisir Kota Ternate masih dapat dikategorikan sedang dengan
prosentase nilai indeks ancaman sebesar 40,5 % dengan jumlah wilayah ancaman
sebesar 2.110 Ha. Dari hasil analisis dapat dikatakan bahwa hasil analisis
kerentanan KML di wilayah pesisir Kota Ternate jika di lihat dari sisi sosial maka
daerah yang paling tinggi prensentase kerentanannya adalah kota Ternate dengan
prensentase adalah 100% dengan jumlah wilayah kerentanannya adalah 16,304.
Hasil analisis kerentanan ekonomi pada table 2.1 , jika terjadi laju tingkat KML di
wilayah pesisir Kota Ternate dengan nilai indeks kerentanan tinggi yakni 50.9 %,
dimana angka jumah penduduk yang bekerja pada wilayah rentan KML lebih besar.
Kata Kunci: Kenaikan Muka Air laut, Kerentanan Wilayah Pesisir

ABSTRAC
Disasters defined as an incident that is out of the ordinary (normal
conditions). Disasters can be divided into physical disaster and non-physical
disaster. Disasters not only caused by natural factors that are beyond the normal
condition can also be caused by human action that can simultaneously be
disastrous. The rate of sea level rise in Indonesia which reaches 20-100 cm in 100
years (WWF and IPCC, 1999), led to an increased vulnerability of major cities in
Indonesia to the impacts of sea level rise. One of the vulnerable coastal town of

108
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Ternate is the purpose of this study was to determine the level of threat and
vulnerability of coastal wiayah Ternate.Dari City on the analysis above, the general
index of the threat of Sea Level Rise (KML) coastal areas of Ternate still be
categorized as being a percentage threat index value amounted to 40.5% of total
area of 2,110 Ha threats. From the analysis it can be said that the results of
vulnerability analysis KML coastal city of Ternate if in view of the social side of the
area's most high-prensentase vulnerability is the city of Ternate prensentase is
100% of total area of vulnerability is 16.304. The results of the analysis of economic
vulnerability in table 2.1, in case the rate of KML levels in coastal areas of Ternate
with high vulnerability index value that is 50.9%, which figures the sheer number
of people who work in vulnerable areas KML larger.
Keywords: Sea Level Rise, Vulnerability of Coastal Zones

PENDAHULUAN
Wilayah pesisir merupakan wilayah sangat rentan terhadap tekanan
lingkungan baik yang berasal dari darat maupun dari laut. Salah satu tekanan yang
akhir-akhir ini mengancam keberlangsungan wilayah pesisir di seluruh belahan
dunia adalah adanya kenaikan muka air laut.
Secara umum, kenaikan muka air laut merupakan dampak dari pemanasan
global (global warming) yang melanda seluruh belahan bumi ini. Berdasarkan
laporan IPCC (International Panel On Climate Change) bahwa rata - rata suhu
permukaan global meningkat 0,3 - 0,6 0C sejak akhir abad 19 dan sampai tahun
2100 suhu bumi diperkirakan akan naik sekitar 1,4 - 5,8 0C (Dahuri, 2002 dan
Bratasida, 2002). Naiknya suhu permukaan global menyebabkan mencairnya es di
kutub utara dan selatan bumi sehingga terjadilah kenaikan muka laut (Sea Level
Rise). Diperkirakan dari tahun 1999-2100 mendatang kenaikan muka air laut sekitar
1,4-5,8 m (Dahuri, 2002). Bencana diartikan sebagai suatu kejadian yang diluar
kebiasaan (kondisi normal). Bencana dapat dibagi dalam bencana fisik dan bencana
non fisik. Bencana selain disebabkan oleh faktor alam yang diluar kondisi normal
dapat juga disebabkan oleh tindakan manusia yang secara simultan dapat
mendatangkan bencana.
Laju kenaikan muka air laut di Indonesia yang mencapai 20-100 cm dalam
waktu 100 tahun (WWF dan IPCC, 1999), mengakibatkan semakin rentannya kota-
kota besar di Indonesia terhadap dampak kenaikan muka air laut. Mitigasi, yang

109
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

merupakan berbagai tindakan/upaya preventif untuk meminimalkan


dampak negatif bencana yang diantisipasi akan terjadi di masa datang di
suatu daerah tertentu, merupakan investasi jangka panjang bagi
kesejahteraan semua lapisan masyarakat. Mitigasi dapat bersifat struktural
ataupun non struktural. Kedepan terdapat kecenderungan bahwa sudah
menjadi kebutuhan untuk lebih menitikberatkan pada upaya mitigasi
ketimbang respon paska bencana.
Dalam rangka mengembangkan prosedur mitigasi bencana yang
sesuai untuk wilayah pesisir Kota Ternate, maka perlukan penyusunan
pedoman mitigasi bencana di wilayah pesisir Kota Ternate Maluku Utara
baik yang bersifat struktural maupun non struktural.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat
ancaman dan kerentanan wiayah pesisir Kota Ternate. Sasaran
yang hendak dicapai dalam pedoman ini adalah terlaksananya peningkatan
upaya-upaya mitigasi bencana di wilayah pesisir Kota Ternate.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini direncanakan selama dua bulan, yang meliputi beberapa tahap
yaitu pengumpulan data, survei awal, tahap pengolahan dan analisis awal data citra,
survei lapang akhir, analisis dan pembuatan laporan. Sedangkan yang menjadi
lokasi penelitian adalah sekitar wilayah pesisir Kota Ternate.
Bahan dan alat
Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
 Piranti Pengolahan Citra dan Analisis Data :
 Seperangkat komputer; untuk melakukan analisis sistem informasi geografis
dan penyusunan laporan.
 Perangkat lunak pengolah citra dan analisis data yang compatibel .
 Pencetak (Printer); peralatan ini dipergunakan untuk melakukan pencetakan
peta–peta tematik hasil analisis dan pencetakan laporan penelitian..
 Perangkat Survey lapangan :
 Global Positioning System (GPS) untuk menentukan posisi.

110
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

 Kamera untuk dokumentasi.


 Roll Meter.
 Alat tulis –menulis.
Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah :
 Data Citra Satelit daerah liputan lokasi penelitian.
 Peta Rupa Bumi Indonesia Lembar Pulau Ternate terbitan Badan Koordinasi
Survei Dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) Jakarta.
 Data Ground ceck dilapang.
Prosedur Penelitian
Kegiatan yang dilakukan dibagi ke dalam beberapa tahap, yaitu persiapan
penelitian, pelaksanaan penelitian mencakup pengolahan data citra satelit,
penentuan lokasi stasiun dan pengumpulan data populasi, pengambilan data
parameter lingkungan, dan analisis data.
Persiapan Penelitian
Tahap ini meliputi studi literatur, penyiapan data Citra, penyiapan peta rupa
bumi yang meliputi daerah penelitian, penyiapan alat-alat yang akan digunakan
selama kegiatan penelitian, survey lapangan yaitu mengukur parameter lingkungan,
dan pengambilan sampel serta analisis data sampai pada tahapan penyusunan
penelitian.
Pelaksanaan Penelitian
Kegiatan ini mencakup kerja di laboratorium (pengolahan dan analisis citra)
yang dilakukan di ruang Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Khairun Ternate dan kerja lapangan atau pengumpulan data populasi
yang dilakukan di lokasi penelitian.
Analisis Data
Analisis Ancaman Kenaikan Muka Air Laut
Metode pengkajian analisis data pengkajian bencana mengacu pada
pedoman Peraturan Pemerintah No 64 Tahun 2010 dan Pedoman Mitigasi Bencana
Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Analisis ancaman kenaikan paras
muka air laut atau Sea Level Rise (SLR) ditujukan untuk mengidentifikasi lokasi
yang sering mengalami bencana kenaikan muka air laut (SLR). Analisis ini

111
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

dilakukan dengan melakukan perkiraan kenaikan muka air laut berdasarkan hasil
pengamatan kenaikan muka air laut. Ha-hal yang perlu diidentifikasi meliputi
kemiringan pantai, tinggi gelombang, kisaran pasut, kenaikan muka air laut
relative, kondisi erosi dan geomorfologi pantai. Secara skematik metode analisis
ancaman bencana kenaikan muka air laut di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
terdapat pada Gambar 1 dibawah ini.
Peta ancaman yang dihasilkan lebih lanjut di klasifikasikan kedalam tiga
kelas yaitu Rendah (R), Sedang (S) dan Tinggi (T) kemudian masing-masing kelas
diberi sekor sebagai mana terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi dan skoring tingkat ancaman bencana di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil
No Kelas Skor
1 Rendah (R) 1
2 Sedang (S) 3
3 Tinggi (T) 5

Gambar 1. Diagram Alir Analisis Ancaman Bencana Kenaikan Muka air

112
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Laut (SLR)

Analisis Kerentanan Bencana Alam


Analisis kerentanan bencana alam di wilayah pesisir dan pulau kecil
ditujukan untuk mengidentifikasi dampak kejadian bencana alam terhadap
jatuhnya korban jiwa maupun kerugian ekonomi baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang serta hancurnya permukiman infrastruktur, sarana dan prasarana
dan bangunan lainnya yang terdapat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Analisis kerentanan tersebut didasarkan pada beberapa aspek antara lain
aspek sosial, aspek ekonomi dan aspek fisik. Secara skematik metode pengkajian
kerentanan bencana alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terdapat pada
Gambar 2

Gambar 2 Diagram Alir Analisis Kerentanan Bencana di Wilayah Pesisir


dan Pulau-Pulau Kecil

HASIL DAN PEMBAHASAN

113
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Gambaran Umum Wilayah Kota Ternate


1. Pasang Surut. Selain kemiringan lahan dan daerah aliran sungan, pasang surut
dan tinggi gelombang juga juga merupakan factor penyebab meningkatnya
kenaikan muka air laut. Tipe pasang surut di perairan Maluku Utara adalah tipe
semi diurnal. Adanya pola pasang surut yang demikian akan memberikan pengaruh
kepada kondisi lingkungan setempat. Dimana pada saat air surut kedalaman akan
rendah dan begitu sebaliknya. Berdasarkan prediksi kondisi pasang surut di
perairan Maluku Utara tahun 1975 terdapat perbedaan tinggi antara pasang dan
surut mencapai 2,5 meter. Prediksi pada tahun 2000, kondisi pasang surut masih
dikategorikan terjadi pasang dua kali dan surut dua kali dalam hitungan sehari
semalam (semidiurnal tide) denganperbedaan tinggi pasang surut mencapai
berkisar 2,7 meter. Pada tahun 2011 perkiraan hasil model pada kordinat yang sama
memiliki Perbedaan tinggi pasang surut mencapai berkisar 2 meter. Dapat di
sajikan pada gravik pasang surut pada gambar 2 dibawah ini.

114
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

2. Risiko Bencana di wilayah Pesisir Kota Ternate


2.1. Ancaman Kenaikan Muka Laut (Sea Level Rise). Indonesia diapit oleh 3
lempeng besar yaitu lempeng Eurasia, Hindia-Australia, dan Lempeng Pasifik,
sehingga ketika salah satu lempeng dengan lempeng bersentuhan atau saling
bergeser maka akan terjadi gempa bawah laut yang mengakibatkan terjadinya
bencana. Bencana di wilayah pesisir yang pasti terjadi adalah Kenaikan Muka Air
laut (Sea Level Rise) akibat laju perubahan iklim yang sangat signifikan tiap
tahunnya yaitu sekitar 0,5 *C dalam kurun waktu 70 tahun terakhir, dengan rata-
rata kenaikan 1-7 *C dengan kenaikan muka air laut rata-rata dari tahun 1993-2003
yaitu sebesar 3,1 mm/tahun (2,4- 3,8 mm/tahun) (Diposaptono, 2009; 5).
Dalam proses perkembangannya, kenaikan muka air laut mampu merubah tatanan
potensial kawasan pesisir khususnya kabupaten/Kota di wilayah pesisir Kota
Ternate. Sea Level Rise (SLR) menjadi bencana yang harus diwaspadai sehingga
perlunya antisipasi dalam hal perkembangan kawasan pesisir Kota Ternate serta
aspek pendukung kawasan pesisir dalam menghadapi bencana kenaikan muka air
laut. Sehingga dimasa mendatang perlunya arahan pengembangan berbasis
mitigasi bencana kenaikan muka air laut yang mampu mengantisipasi bencana
SLR. Tingkat ancaman kenaikan muka air laut (SLR) wilayah pesisir Kota
Ternate dapat dilihat pada Tabel 2. Dibawah ini.
Tabel 2. Indeks Ancaman Kenaikan Muka Air laut Kota Ternate
Ti P.Ternate
Te Te Te P
N ngkat
rnate rnate rnate ulau H
o Ancama %
Tengah Utara Selatan Ternate a
n
Re
1
ndah 0.0 3.6 67.4 89.5 160.5 16.6
Se
2
dang 93.2 173.4 97.9 143.5 508.1 52.7
Ti
3
nggi 64.0 69.9 100.6 61.7 296.3 30.7
9 1
Jumlah
64.9 00
Sumber: Data diolah, 2015
Dari hasil analisis di atas maka secara umum indeks ancaman Kenaikan
Muka Laut (KML) wilayah pesisir Kota Ternate yakni, Kecamatan Ternate

115
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Tengah, kecamatan Ternate Utara, dan Kecamatan Ternate Pulau dapat


dikategorikan sedang dengan prosentase nilai indeks ancaman sebesar 52,7 %
dengan jumlah luas wilayah ancaman sebesar 508.1 Ha. Sedangkan wilayah yang
mengalami tingkat ancaman tertinggi yakni, Kecamatan Ternate Selatan dengan
nilai indeks ancaman sebesar 30,7% dengan jumlah luas wilayah ancaman sebesar
100.6 Ha.
Hasil analisis ancaman KML di kawasan pesisir Kota Ternate dilihat dari
nilai indeks ancaman maka dapat dikatakan bahwa terdapat beberapa wilayah
kecamatan yang masuk kategori sedang dan hanya satu wilayah kecamatan Ternate
Selatan yang mengalami ancaman Kenaikan Muka Laut yang cukup tinggi. Hal ini
dapat dikatakan bahwa wilayah Kecamatan Ternate Selatan dilihat dari tingkat
kemiringan lereng, geomorfologi pantai maka hampir sebahgian besar wilayah
pesisir pantai kecamatan Ternate Selatan sangan landai atau tingkat kemiringannya
sangat tinggi, selain itu letak geografis wilayah yang berhadapan dengan laut
terbuka sehinggan ancaman kenaikan muka air laut sangat berpengaruh.
Dari hasil proyeksi kenaikan muka air laut di atas, maka kenaikan air laut
akibat pemanasan global, angin, dan pasang surut dengan persentase masukan
11,56% diambil dari rata-rata genangan hingga 100 tahun ke depan. Dengan
menggunakan pendekatan analisis dynamic ice melting pasca IPCC AR4 (1990)
diprediksikan pada tahun 2030 kenaikan muka air laut naik hingga 52,5 cm atau
0,52 meter hingga pada tahun 2100 kenaikan muka air laut yaitu 175 cm atau sekitar
1,75 meter dari level muka air saat ini. Sebagaimana terlihat pada tabel 5.2 di
bawah.
2.2. Kerentanan Akibat Kenaikan Muka Laut
2.2.1. Kerentanan Sosial.
Kerentanan sosial merupakan dampak yang ditimbulkan oleh KML yang
dapat memberikan pengaruh terhadap keselamatan jiwa/kesehatan penduduk
apabila ada bencana atau bahaya. Dari beberapa indikator antara lain kepadatan
penduduk, laju pertumbuhan penduduk terpapar, persentase penduduk usia tua-
balita dan penduduk wanita sebagaimana terlihat pada Tabel 3 dibawah ini.
Tabel 3. Tingkat Kerentanan Sosial

116
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Ti P.Ternate
Te Te Te P
N ngkat
rnate rnate rnate ulau H
o Kerentan %
Tengah Utara Selatan Ternate a
an Sosial
Re
1 - -
ndah
Se
2 - -
dang - - - -
Ti
3
nggi 157.3 246.9 265.9 294.8 964.9 100
9 1
Jumlah
64.9 00
Sumber: Data diolah, 2015
Pada Tabel 3 di atas, maka dapat dikatakan bahwa hasil analisis kerentanan
KML di wilayah pesisir Kota Ternate jika di lihat dari sisi sosial maka semua
wilayah kecamatan yang ada di Pulau Ternate berada pada kategori rawan dengan
nilai prensentase kerentanan sebesar 100 % yakni, Kecamatan Ternate Tengah,
Kecamatan Ternate Utara, Kecamatan Ternate Selatan, dan Kecamatan Ternate
Pulau dengan luas wilayah kerentanan sebesar 964,9 Ha.
Dari hasil analisis pada tabel di atas dapat dikatakan bahwa, tingginya
tingkat kerentanan sosial wilayah pesisir akibat KML di Kota Ternate diakibatkan
oleh lahan pemukiman yang sangat terbatas (sempit) dimana hasil perhitungan
pemanfaatan lahan untuk pemukiman di kota Ternate yaitu per kilomteter (KM2)
adalah 762 jiwa, dengan angka laju pertumbuhan pendududuk sebesar 1.72
jiwa/Tahun
Pada bagian lain wilayah Kota Ternate merupakan kota terkemuka di
Maluku Utara, sehingga pusat-pusat pengembangan bisnis di Kota Ternate masih
terus dikembangkan karena Kota Ternate merupakan pusat perekonomian dan
perdagangan di wilayah Kota Ternate, hal inilah yang dapat menarik minat para
pencari kerja diberbagai sector suasta maupun pemerintah dari diberbagai wilayah
diluar wilayah Kota Ternate untuk datang ke Kota Ternate. Kondisi ini dapat
memberikan dampak terhadap penggunaan lahan (space) untuk tempat pemukiman
dan lainnya sehingga untuk pemukiman yang layak sangat terbatas dan pada
akhirnya lahan yang berada di wilayah pesisir menjadi target untuk diubah atau di
reklamasi untuk perluasan wilayah kota. Pemanfaatan lahan di wilyah pesisir yang

117
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

terus menerus dilakukan akan menimbulkan dampak kerusakan lingkungan akibat


KML sebagaimana terjadi di Kcamatan Ternate Tengah, dan Ternate Seatan.
Fenomena ini jika terus dibiarkan akan menimbulkan kesenjangan social bagi
masyarakat yang terkena dampak KML.
2.2.2. Kerentanan Ekonomi.
Kerentanan ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya
kegiatan kegiatan pusat ekonomi yang di timbulkan apabila terjadi laju erosi pantai.
Indikator kerentanan ekonomi dijika terjadi bahaya laju erosi pantai adalah
presentase jumlah penduduk yang bermukim dan bekerja di wilayah yang rentan
laju erosi pantai, seperti masyarakat di kota Ternate dimana pusat kegiatan ekonomi
pada umunya berada di pesisir kota.
Dengan demikian maka berdasarkan data menunjukan, bahwa tingkat
kerentanan ekonomi di Kota Ternate jika terjadi laju erosi pantai di pesisir provinsi
Kota Ternate pada umumnya di katagorikan tinggi dimana angka presentasinya
adalah 49,0% dengan jumlah wilayah rentan adalah 16.304. Sebagaimana tabel 3
dibawah ini.
Tabel 3. Tingkat Kerentanan Ekonomi
Ti P.Ternate
ngkat Ternat Ternat
Ternat Pulau
Kerentan e e
No e Utara Ternate Ha
an Tengah Selatan
Ekonomi
1 Re 1 2 2 1 78 8
1 ndah 57.3 46.9 36.5 40.2 1.0 0.9
2 Se 2 29 3
- - -
2 dang 9.4 .4 .0
2 Ti 1 1 1
- - -
3 nggi 54.6 54.6 6.0
96 1
Jumlah
4.9 00
Sumber: Data diolah, 2015

Hasil analisis kerentanan ekonomi pada table 3 di atas, dapat dikatakan


bahwa hampir semua wilayah kecamatan di Kota Ternate dikategorikan rendah,
kecuali kecamatan Ternate Pulau dengan nilai indeks kerentanan sangat tinggi

118
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

yakni 16.0 %, dengan luas wilayah rentan sebesar 154.6 Ha. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa wilayah kecamatan ternate Tengah, Ternate Utara dan Ternate Selatan telah
tersebar atau dapat menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup bagi penduduknya
dan juga pencari kerja dari wilayah lain yang datang dan bekerja di Kota Ternate.
Ketersediaan lapangan kerja yang cukup bagi para pencari kerja sehingga
kebanyakan penduduknya memilih untuk tidak keluar untuk mencari pekerjaan di
wilayah lain sehingga tidak dapat menimbulkan kerentanan ekonomi di wilayah
Kota Ternate. Namun jika dilihat dari sebaran lapangan pekerjaan yang ada maka
dapat dipastikan bahwa di wilayah kecamatan Ternate Pulau belum tersebar
lapangan pekerjaan yang layak untuk penduduknya, sementara jumlah penduduk
mengalami peningkatan setaiap saat. Kondidisi jika terus berlangsung maka
wilayah kecamatan Ternate Pulau akan sangat rentan terhadah Kenaikan Muka Air
Lut karena hamper sebahgian besar penduduknya hidup dan menempati wilayah
pesisir pantai dan memilih menambang pasir pantai dan batu kerikil untuk dijual
guna memenuhi kehidupan ekonominya.
2.2.3. Kerentanan Fisik
Ketahanan wilayah pesisir dalam menghadapi mengahadapi ancaman KML,
menggambarkan tentang tanggapan eleman masyarakat dan kondisi wilayah, sarana
pendukung lain (fisik) dalam mengahadapai bencana alam khususnya kenaikan
muka air laut, salah satunya adalah pemahaman masyarakat tentang bencana
kenaikan muka air laut (KML) yaitu kemampuan masyarakat untuk siap atau
tidaknya untuk di relokasi, dan juga kemampuan lahan untuk pemukiman baru jika
sewaktu waktu bencana KML di wilayah pesisir mengalami peningkatan KML.
Tingkat ketahanan wilayah pesisir dapat di lihat pada Table dibawah ini.
Tabel 4. Tingkat Kerentanan Fisik
Ti P.Ternate
P
ngkat Te Te Te
B ulau
Kerenta rnate rnate rnate H
No Ternat %
nan Tengah Utara Selatan a
e
Fisik
R
1 - -
endah
Se
2 - - - - - -
dang

119
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

Ti 15 24 26 2 9 1
3
nggi 7.3 6.9 5.9 94.8 64.9 00
9 1
Jumlah
64.9 00
Sumber: Data diolah, 2015
Berdasrkan data analisis ketahanan wilayah pesisir table 5.1 di atas
menggambarkan bahwa tingkatan ketahanan kenaikan muka air laut (KML)
wilayah pesisir di seluruh wilayah kecamatan Kota Ternate, kecuali Kecamatan
Ternate Pulau yanga berada pada tingkat ketahanan tinggi dengan nilai indeks
ketahanan wilayah pesisir sebesar 100 % dengan luas wilayah 294.8 Ha. Sedangkan
di wilayah kecamatan ternate Tengah, Ternate Utara, dan Ternate Selatan secara
fisik siap karena dipengaruhi oleh lingkungan yang jangkauan informasi yang cepat
dan sarana transportasi yang cukup memadai untuk merespon jika terjadi bencana.
Selin itu, pemerintah dan stakeholder serta masyarakat di ada di wilayah Kota
Ternate Tengah, Utara, dan Selatan masih tergolong tinggi dalam merespon
dampak KML. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil Focus discusi group (FDG)
yang di laksananakan di lokasi penelitian dibeberapa wilayah mengggambarkan
bahwa pada umumnya masyarakat sudah memahami dampak dari kenaikan muka
laut serta ancaman bagi kehidupannya di wilayah pesisir.
Kenaikan muka laut yang terjadi di wilayah pesisir Kota ternate tidak
terlepas dari kenaikan muka laut global yang melanda seluruh dunia. Kenaikan
muka laut global sendiri disebabkan oleh meningkatnya suhu global akibat
peningkatan gas-gas rumah kaca dan bahan perusak ozon sehingga suhu yang
semakin panas tersebut mencairkan es di kutub dan menambah volume air laut di
seluruh dunia.
Dewasa ini metode pengukuran yang dipakai untuk mengamati
perkembangan muka laut global adalah dengan menggunakan data altimetri satelit
karena metode ini memiliki keunggulan dalam hal padatnya data yang didapat dan
mampu mengcover seluruh permukaan bumi (Miler, 2005). Satelit
TOPEX/Poseidon dan Jason-1 telah merekam data altimetry sejak tahun 1992 dan
menunjukkan kenaikan muka laut sebesar 2,4 mm/tahun (Miler, 2005). Satelit
Eropa ERS 1 juga telah merekam data altimeter sejak bulan April 1992- Maret

120
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

1995. Dari data tersebut didapatkan nilai kenaikan muka laut global sebesar 2,0
+1,9 mm/tahun, (Anzenhofer dkk., 2005).

SIMPULAN
Dari hasil penelitian di atas maka dapat disimpulkan bahwa.
1. Secara umum indeks ancaman Kenaikan Muka Laut (KML) wilayah pesisir
Kota Ternate dapat dikategorikan sedang yakni Kecamatan Ternate Tengah,
Kecamatan Ternate Utara, dan Kecamatan Ternate Pulaua dengan prosentase
nilai indeks ancaman sebesar 52,7 % dengan jumlah wilayah ancaman sebesar
508.1 Ha. Hanya pada wilayah Kecamatan Ternate Selatan yang telah
mengalami tingkat ancaman KML cukup tinggi dengan nilai indeks ancaman
sebesar 30,7% dengan jumlah luas wilayah ancaman sebesar 100.6 Ha.
2. Dari hasil analisis di atas dapat dikatakan bahwa, tingginya tingkat kerentanan
sosial wilayah pesisir akibat KML di Kota Ternate diakibatkan oleh lahan
pemukiman yang sangat terbatas (sempit) dimana hasil perhitungan pemanfaatan
lahan untuk pemukiman di kota Ternate yaitu per kilomteter (KM2) adalah 762
jiwa, dengan angka laju pertumbuhan pendududuk sebesar 1.72 jiwa/TahunHasil
analisis kerentanan ekonomi pada table 2.1 di atas, jika terjadi laju tingkat KML
di wilayah pesisir Kota ternate dengan nilai indeks kerentanan tinggi yakni 50.9
%, dimana angka jumlah penduduk yang bekerja pada wilayah rentan KML lebih
besar.

DAFTAR PUSTAKA

Bratasida, L., 2002. Tinjauan Dampak Pemanasan Global Dari Aspek Lingkungan
Hidup. Seminar Nasional Pengaruh Global Warming terhadap Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil Ditinjau dari Kenaikan Permukaan Air Laul
dan Banjir. Jakarta.
Dahuri, R. dkk. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu. Pradnya Paramita : Jakarta
Dahuri, R., 2002. Pengaruh Global Warming terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil. Seminar Nasional Pengaruh Global Warming terhadap Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil Ditinjau dari Kenaikan Permukaan Air Laut
dan Banjir. Jakarta.

121
Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ISSN.2460-7088

IPCC, 2000. Special Report on Emissions Scenarios, The Press Syndicate of The
University of Cambridge. United Kingdom
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR), 2007. Basis Saintifik:
Analisis dan Proyeksi Kenaikan Muka Air Laut dan Cuaca Ekstrim.
Miller, L., 2005. Satellite Altimetry and the NOAA/NESDIS NOAA/NESDIS, Silver
Spring, Maryland.
Peraturan Pemerintah No 64 Tahun 2010. Pedoman Mitigasi Bencana Alam di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
The World Bank dan Department for International Development. 2007. Working
Paper: Indonesia and Climate Change.
UU No. 27 Thn 2007. Tentang Pengelolaan Wilayah dan Pulau-Pulau Kecil.

122
KETENTUAN PENULISAN

UMUM.
1. Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan memuat hasil-hasil penelitian,
analisis kebijakan dan ulasan ilmiah yang berkaitan dengan bidang
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan
2. Naskah yang dikirm merupakan karya asli dan belum pernah
diterbitkan/dipublikasikan pada jurnal lainnya.
3. Naskah artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan menggunakan jenis
huruf Arial, besar huruf 12, Naskah diketik dalam 1,5 spasi, disetiap
halaman diberi nomor halaman pada bagian bawah (Bottom of page)
sebelah kanan. Naskah diketik diatas kertas dengan menggunakan ukuran
A4.
4. Naskah dikirim melalui alamat : Program Pascasarjana Program Studi Ilmu
Kelautan Gedung Pascasarjana Unkhair Lantai 1. Jalan Raya Kampus II
Unkhair Kel. Gambesi Kec.Ternate Selatan. Telp/Faks. (0921) 3121854 e-
mail : pasca.ik.unkhair@gmail.com

PENULISAN NASKAH.
1. Judul :
Jangan lebih dari 15 kata dan harus mencerminkan isi tulisan, diikuti dengan
nama penulis, jabatan atau instansi serta alamat e-mail.
2. Abstrak.
Dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris, paling banyak 200 kata berisi
tujuan, metode dan hasil penelitian.
3. Kata Kunci :
Dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris, terdiri dari 4 sampai 6 kata tulis
dibawah abstrak.
4. Pendahuluan :
Berisi latar belakang, perumusan masalah, kerangka teoritis dan tujuan
penelitian yang dibuat secara ringkas.
5. Metodologi :
Diuraikan rinci dan jelas mengenai lokasi dan waktu penelitian, bagaimana data
diperoleh dan sumberdaya serta bagimana metode analisis datanya. Jika
metode yang digunakan telah diketahui sebelumnya harus dicantumkan
acuannya.
6. Hasil Pembahasan :
Diuraikan secara jelas serta dibahas suatu topik dan waktu permasalahan yang
terkait dengan judul. Didukung dengan tabel dan gambar yang dibahas secara
komprehensif, dikomplementasikan dengan referensi yang mendukung, update
serta advance
7. Simpulan dan implikasi kebijakan :
Diuraikan secara ringkas dan jelas mengacu pada pokok-pokok bahasan serta
kemampuan mengartikulasi temuan pokok untuk rekomendasi kebijakan.
8. Daftar Pustaka
Dicantumkan dalam naskah bila ada pengutipan dari sumber lain. Proporsi
daftar pustaka yang diacu yaitu 80% merupakan rujukan primer dan 80%
merupakan terbitan 10 tahun terakhir. Disusun berdasarkan abjad dan
penulisan sesuai dengan peraturan yang baku.
Fabanjo, M.A. 2009, Kajian Tingkat Pemanfaatan Ekosistem Mangrove dan
Pengarunya Terhadap Sediaan Cadangan Sumberdaya Daya
Ikan di Perairan Kecamatan Oba Utara. Tesis Pascasarjana
Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Tabel.
Ditulis dalam bahasa Indonesia , diberikan judul singkat, jelas dan diberi nomor
urut, diketik menggunakan program MS-Word dan tidak dalam bentuk JPEG.
Gambar dan Grafik
Diberikan judul dan nomor urut dengan angka arab. Judul dan keterangan
gambar ditulis dalam bahasa Indionesia dan diletakkan dibawah gambar. Grafik
disertai dengan data digital menggunakan program MS-Excel.

Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan diterbitkan mulai tahun 2015


dengan frekuensi 2 kali setahun oleh Program Pascasarjana Program Studi
Ilmu Kelautan Unkhair, berisi hasil penelitian dan ulasan ilmiah dalam
bidang Sumberdaya Perikanan dan Kelautan
Alamat Redaksi : ISSN. 2460-7088
Gedung Pascasarjana Unkhair Lantai 1
Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Kelautan
Jalan Raya Kampus II Unkhair Kel. Gambesi Kec.Ternate Selatan
Telp/Faks. (0921) 3121854/081356559009
e-mail : pasca.ik.unkhair@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai